• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Peer Relationships Pada Remaja Etnis Minoritas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Peer Relationships Pada Remaja Etnis Minoritas"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Peralihan dari masa kanak-kanak menjadi orang dewasa ditandai dengan suatu periode yang dikenal dengan sebutan masa remaja. Masa remaja adalah periode perkembangan dari transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognisi, dan perubahan sosioemosional (Papalia, 2007). Pada masa remaja, dibandingkan pada masa kanak-kanak terdapat perubahan dramatik pada hubungan sosial. Perubahan dramatik tersebut yaitu perubahan dari hubungan orangtua-anak menjadi hubungan romantis, dan hubungan sesama gender menjadi hubungan mixed gender (Connolly, dkk dalam Marcus, 2007). Menurut Papalia (2007), pada masa remaja, remaja mulai mencapai puncak daya tarik, kekuatan, dan kesehatan fisik sehingga remaja semakin bergerak menuju teman sebaya.

(2)

dekat ditemukan dalam interaksi antara anak dan keluarganya (termasuk orang tua), seiring dunia sosial anak berkembang, proses perkembangannya semakin lebih dipengaruhi oleh interaksi dengan teman sebaya (Ary et al., 1999), dan khususnya pada remaja, hubungan paling dekat yaitu teman-teman sebaya.

Crosnoe & McNeely (2008) menyatakan bahwa pada semua tahap kehidupan, relasi sosial dan semua lapisannya secara umum memiliki perkembangan yang signifikan, namun hubungan relasi teman sebaya lebih kuat pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak-kanak ataupun masa dewasa. Crosnoe & McNeely juga menyatakan fenomena ini terjadi karena pemenuhan satu dari kunci tugas perkembangan remaja (menjadi lebih independen dari orang tua) sangat besar meningkatkan peer relationships (hubungan teman sebaya) dibandingkan dengan hubungan keluarga. Remaja akhirnya memiliki pandangan internal mengenai teman sebaya pada konsep diri mereka sendiri, dimana mempertahankan hubungan sebaya mendapatkan priorotas yang yang tinggi, dan remaja menjadi sensitif terhadap pengaruh teman sebaya mereka, bahkan kebanyakan remaja cenderung meningkatkan tekanan-tekanan agar dapat diterima oleh teman sebaya.

(3)

remaja juga lebih sedikit mendapat pendampingan dari orang dewasa bila dibandingkan dengan kelompok sebaya anak-anak (Santrock, 2008). Melalui penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa peer relationships merupakan salah satu karakteristik yang menonjol pada masa remaja.

Menurut Santrock (2008), yang merupakan peers (teman sebaya) adalah orang dengan tingkat umur dan tingkat kedewasaan yang kira-kira sama. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pengertian, pengarah moral, tempat untuk membuat pengalaman, tempat untuk meraih kemandirian, dan independensi dari orang tua (Papalia, 2003). Salah satu fungsi utama dari teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi yang di dapat di luar keluarga mengenai dunia.

Santrock (2008), menyatakan bahwa peer relationships memiliki tiga aspek penting pada masa remaja yaitu, persahabatan, kelompok teman sebaya dan hubungan romantis. Membangun, meningkatkan dan mempertahankan hubungan yang sehat dengan teman sebaya akan menghasilkan perkembangan yang sehat bagi individu. Setiap individu ingin diterima oleh orang lain, ingin terhubung dengan orang lain, serta ingin dapat berbagi sikap, minat, atau hal-hal tertentu yang sama dengan dirinya.

(4)

berhasil melakukannya maka remaja akan mudah memasuki tahap perkembangan sosial selanjutnya. Sedangkan Hops, dkk (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa ketika remaja memiliki peer relationships yang rendah dimana remaja terisolasi secara sosial, atau remaja memiliki ketidakmampuan untuk bergabung dalam suatu kelompok sosial bersama-sama temannya maka remaja akan rentan dengan banyak masalah dan gangguan pada remaja, misalnya remaja merasa kesepian dan depresi.

(5)

dapat mengakibatkan remaja yang tidak memiliki klik akan merasa sangat sedih, dan fenomena ini sangat khas pada remaja.

Hubungan remaja dengan peer, apakah mereka mudah atau sulit untuk dapat bergabung dengan peer mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Santrock (2003), peer relationships pada remaja dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor budaya dan status sosial ekonomi yang dimiliki remaja. Faktor budaya yang dimiliki remaja dapat menjadi hambatan pada peer relationships remaja khususnya dikarenakan latar belakang budaya yang dimiliki remaja tersebut. Faktor budaya mempengaruhi peer relationships remaja yang dimaksud dalam hal ini adalah ketika remaja menjadi anggota suatu etnis minoritas (Santrock, 2003).

Seperti yang juga diungkapkan oleh Hinde (dalam Chen, 2002) yang mengatakan bahwa konteks budaya memainkan peran penting pada perkembangan sosial individu, karakteristik perilaku dan hubungan teman sebaya. Spencer & Dornbusch (dalam Santrock, 2003) juga mengatakan bahwa remaja yang merupakan golongan etnis minoritas, khususnya imigran lebih bergantung pada teman sebaya mereka. Anak yang berasal dari golongan etnis minoritas ketika beranjak remaja dan memasuki suatu sekolah dengan populasi sekolah yang lebih heterogen, menjadikan mereka lebih peka terhadap status minoritas mereka (Santrock, 2003).

(6)

diasingkan, ditekan, atau dirugikan. Hambatan hubungan dengan teman sebaya juga terjadi di berbagai belahan dunia pada anak dengan etnis minoritas. Kasus etnis minoritas di Amerika misalnya, McLoyd (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa etnis minoritas Asia-Amerika dan Afrika-Amerika sering kali mendapat kerugian seperti diskriminasi, prejudice, dan bias karena status etnis minoritas mereka.

Sama halnya dengan remaja etnis minoritas di negara lain, remaja etnis minoritas di Indonesia (khususnya di kota Medan) yang sering menjadi sorotan karena adanya stereotype dan diskriminasi adalah etnis Tionghoa dan etnis Tamil. Kota Medan memiliki beberapa kelompok etnis minoritas diantaranya etnis Arab, Tamil dan Tionghoa dan etnis mayoritas adalah suku Jawa dan suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing dan Karo). Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Sumatera Utara, jumlah etnis Tionghoa di kota Medan hanya berjumlah sekitar 10, 65 % saja, dan etnis India dan Arab berkisar 3,95 %.

Kota Medan seperti kota-kota lain di Indonesia memiliki ciri yaitu (Putra, 1999):

1. Adanya stereotype etnik.

2. Pasar sebagai pusat perekonomian

3. Kebiasaan warga mengunjungi kedai tuak

4. Judi sebagai kebiasaan yang tidak mudah dihilangkan 5. Keberadaan preman di pusat-pusat keramaian

(7)

Bagi masyarakat kota Medan, etnis Tamil memiliki stereotype etnis pemabuk dan penipu, sedangkan etnis Tionghoa memiliki stereotype yaitu sifat spekulatif, menghalalkan semua cara, sombong, lekas curiga, eksklusif, orientasi bisnis, hemat, ulet, egois, dan paternalis (Realita Pos, 2008). Setiap kelompok etnis mengalami perlakuan rasisme dan diskriminasi dari yang halus hingga yang kejam, baik secara individu atau secara kelompok minoritas.

Pengalaman tersebut memperjelas “status minoritas” dari orang-orang yang memiliki warna kulit berbeda, yang sering mengakibatkan stress dalam permusuhan, prejudice, dan hambatan mendapatkan informasi, hambatan dukungan sosial, pengasingan, dan isolasi secara sosial. Pengalaman ini seringkali berhubungan dengan meningkatnya disfungsi psikologis khususnya diantara remaja etnis minoritas (Rosenbloom & Way dalam Yasui, 2006). Disfungsi psikologis yang dimaksud misalnya kesepian, dan depresi pada remaja dikarenakan bagian dari kelompok minoritas, (Rice, 2008).

(8)

juga akan mempengaruhi self esteem remaja dan penyesuaian dirinya di sekolah (La Gracea, 2005).

Rosenbloom, dan Way (dalam Yasui, 2006) menemukan di sekolah menengah atas, remaja Afrika Amerika dan remaja Latin dilaporkan mendapat dikriminasi ras oleh guru, polisi, dan penjaga toko; sedangkan remaja Asia Amerika mendapatkan diskriminasi, kekerasan fisik dan kekerasan verbal oleh teman sebaya mereka. Broman, Mavaddat, & Hsu (2000) melaporkan bahwa 77% remaja Afrika Amerika mengalami diskriminasi ras, dan remaja pria Afrika Amerika mengalami paling banyak diskriminasi oleh polisi dan dalam hal mencari pekerjaan (dalam Yasui, M. & Dishion , T. 2006).

Menurut Siburian (2005), dibandingkan dengan etnis lain seperti Tamil dan Arab, etnis Tionghoa lebih banyak mendapatkan diskriminasi dan stereotype dari masyarakat pribumi. Hal ini dapat dilihat dari fakta mengenai masih adanya kesenjangan hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis pribumi di kota Medan. Adanya istilah dikotomis yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu etnis Pribumi dan etnis non-Pribumi. Etnis Pribumi adalah semua etnis yang ada di Indonesia di luar etnis Tionghoa, sedangkan etnis non-Pribumi biasanya diasosiasikan dengan etnis Tionghoa (Mendatu, 2007).

(9)

tersebut tentunya yang memberi indikasi bahwa hubungan antar-etnis khususnya antara etnis Tionghoa dengan etnis "asli" Indonesia tidak harmonis (Siburian, 2005). Keterasingan etnis Tionghoa di mata pribumi adalah akibat kurang bersosialisasinya etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Tionghoa hanya dipasar. Siburian juga mengatakan bahwa interaksi yang terjadi antara warga pribumi dan non-pribumi (etnis Tionghoa) itu adalah kaitannya dengan perdagangan saja. Interaksi yang hanya berlangsung dalam arena pasar atau jual beli saja tidak akan mampu untuk memahami satu sama lain secara mendalam (Siburian, 2005).

Menurut Suryadinata (2002) beberapa stereotype yang diberikan pada etnis Tionghoa diantaranya adalah suka berkelompok-kelompok menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri. Hal tersebut senada dengan hasil penelitian Sentosa Tarigan, dkk (1992), yang mengatakan, warga masyarakat Tionghoa Medan (studi kasus di Kelurahan Petisah Tengah, kecamatan Medan Barat) masih bersikap eksklusif dan kurang mau bergaul dengan masyarakat etnis lainnya.

(10)

aktivitas sehari-hari. Di kota Medan dan sekitarnya, etnis Tionghoa yang mayoritas adalah Tionghoa totok, dimana mereka menggunakan bahasa Hokkien dalam aktifitas sehari-hari, kecuali ketika berkomunikasi dengan masyarakat pribumi.

Mungkin dikarenakan etnis Tionghoa terlihat eksklusif dan menjadi etnis sorotan, dalam kalangan pribumi masih terdapat golongan yang tidak pernah berhasil menganggap bahwa sesungguhnya warga Tionghoa itu sudah menjadi warga negara Indonesia dan merupakan in-group-nya. Sebaliknya, secara umum masyarakat Tionghoa di kota Medan masih belum mampu untuk menjadikan orang Indonesia sebagai in-group-nya, dimana mereka belum dapat merasakan bahwa sesungguhnya yang bernama bangsa Indonesia termasuk adalah diri mereka sendiri (Sianturi, 2005).

Kesenjangan hubungan antaretnis tersebut juga dirasakan oleh remaja pribumi yang berdomisili di kota Medan dan sekitarnya, berikut pernyataan seorang remaja Pribumi mengenai etnis Tionghoa, Christy (15 tahun) :

“Mereka itu kan sok, kalo ada maunya baru baik sama kita. Aku kalo di sekolah malas lah begaul sama orang itu kak, mending sama yang pribumi aja. Di lingkungan rumah ini juga banyak Tionghoa kak, tapi aku gak ada yang kenal.” (Komunikasi personal, Maret 2010).

Elka (16 tahun) :

“Menurut aku kak, orang Tionghoa itu pintar-pintar, politik dagangnya bagus, tapi orang itu agak pendiam, trus dendam kak, maksudnya dendam nyimpan masalah kalo ada yang gak disenangi” (Komunikasi Personal, Agustus 2011).

(11)

Tionghoa. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari beberapa pendapat remaja etnis Tionghoa mengenai perlakuan negatif yang pernah diterima dari etnis Pribumi sebagai berikut yang dikutip dari artikel Rasisme yang Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat Indonesia :

Remaja (P)

“pengalaman.. dulu waktu saya kecil ketika lagi di jalan.. ada anak lebih tua dari saya manggil-manggil ngata-ngataiin cina gitu.. duh rasis banget si.. trus dulu mungkin lagi mo maen dirumah temen gua.. temen gua di hasut ma temen-temennya yang laen ga suruh nemenin gua.. kagak bolehin gua masuk waduh parah mentang-mentang ni...(dikutip dari artikel Rasisme yang Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat Indonesia).

Remaja (R)

“pernah juga dulu waktu pulang sekolah aku diludahin ma orang pribumi tapi ya itu tadi aku ambil hikmahnya...orang-orang macam gini ini yang menyebabkan bangsa kita sulit maju...”(dikutip dari artikel Rasisme yang Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat Indonesia).

Remaja (A)

“gua sama temen-temen gua pernah ke kawasan para pemulung dan membaur ikut kegiatan mereka buat bikin buku, pas masuk guwa diteriakin ‘Cina.. cinaa... pulang lo dari sini" sama anak-anak umur 3-5 taonan rame-rame. Gua samperin mereka dan senyum dengan baik-baik gua tanya "Maaf adek-adek, cina tuh apa ya?’ mereka jawab ‘Gatau, cuma kata papa yang matanya sipit orang jahat dan panggilannya cina...’(dikutip dari artikel Rasisme yang Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat Indonesia).

(12)

toko alat olahraga dan peternak. Pemukiman mereka mengelompok dan jauh dari etnis yang lain. Etnis Tamil secara umum tidak meninggalkan adat istiadat dan kebiasaan dari daerah asal. Bahkan ada sebagian dari Etnis Tamil yang berdagang makanan yang merupakan makanan dari etnik mereka (Putra, 1999). Bagi etnis Tamil, istilah Keling sering digunakan untuk menyebut orang-orang yang sering berbuat onar seperti penjudi, penjahat dan pemabuk.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Darma seorang remaja pria etnis Tamil berikut:

“Orang India memang dicap penjahat kak, di kampung Keling itu kak, polisi aja takut kesana kalo sendirian karena takut dikerjai sama orang India... yah macam-macam lah kak, kampung keling tu katanya tempat main judi, mabuk, banyak juga anak mudanya narkobaan di dekat polonia itu” (Komunikasi persnonal, 19 Oktober 2011).

Menurut Moses (dalam Luqman, 2011) sebutan Keling adalah istilah yang derogatif, diskriminatif, dan menghina, dan etnis Tamil bukanlah orang Keling, tapi Tamil, di dunia ini tidak ada suku Keling. Penilaian etnis Pribumi masih sedikit berubah terhadap etnis Tamil, bahkan masih jarang dijumpai etnis Pribumi yang menggunakan kata Tamil untuk merujuk pada etnis India (Luqman, 2011). Masih banyak masyarakat yang mengidentifikasikan warga Tamil dengan penipu dan pemabuk, dimana adanya ungkapan “jika punya uang, orang Tamil tidur di got, jika tidak punya uang baru tidur di rumah” seperti pendapat Moses Allegesan berikut :

(13)

Kalau ada satu makan nangka semua makan getahnya, saya juga satu contoh yang baik, kenapa tidak saya yang disebut? Dari ribuan warga Tamil, berapa yang mereka lihat tidur di parit? Satu dua orang? Apakah itu cukup untuk menjadi representative label Tamil? (dikutip dari artikel India Menolak Keling).

Pemuda keturunan Tamil, Parameshwara (dalam Luqman, 2011) mengatakan dengan stempel dan label negatif yang di dapat etnis Tamil, warga keturunan Tamil pun sulit mencari kerja. Stempel dan lebel negatif juga dirasakan pada remaja etnis Tamil dalam pergaulannya dengan teman sebaya. Spencer & Dornbusch mengatakan kepekaan remaja etnis minoritas terhadap penilaian negatif, nilai-nilai yang bertentangan, dan kesempatan pekerjaan yang terbatas dapat mempengaruhi pilahan dan rencana hidup di masa depan (dalam Santrock, 2003). Penilaian negatif tersebut terjadi seperti yang dinyatakan oleh Darma seorang remaja etnis minoritas Tamil berikut ini :

“kalo ditanya pernah diejek, diganggu karena aku orang India, di sekolah dulu pasti pernah lah kak, apalagi awal-awal masuk...” (Komunikasi persnonal, 19 Oktober 2011).

Adakalanya remaja etnis Tamil merasa kurang nyaman jika dilihat berkelompok dengan teman sesama etnisnya dikarenakan oleh stempel dan penilaian negatif yang diterima mereka, seperti yang diungkapkan oleh Darma seorang remaja pria dengan etnis Tamil berikut :

“janganlah ngumpul ma teman-teman sesama India, nanti nampak kali bandalnya.... maksudnya kak, kalo berkumpul gitu, pasti dicap jahat... kan orang India dibilang penjahat kak, tukang curi, pemabuk... makanya teman aku banyakan orang jawa, ama karo.. kalo sesama India aku menghindari lah.” (Komunikasi persnonal, 19 Oktober 2011).

(14)

kesenjangan yang dihasilkan oleh diskriminasi dan stereotype tidak hanya terjadi pada etnis Tionghoa dan etnis Pribumi saja, melainkan pada etnis Tamil juga. Dengan adanya diskriminasi dan stereotype yang dialami oleh etnis minoritas tentunya akan mempengaruhi peer relationships yang dimiliki etnis tersebut.

Pada umumnya, remaja ingin bergabung dalam suatu kelompok sebaya tertentu, dimana remaja yang tidak menjadi anggota kelompok manapun dapat mengakibatkan stres, frustasi dan kesedihan (Santrock, 2003). Santrock juga mengatakan bahwa peer relationships yang baik, penting untuk perkembangan sosial pada remaja. Hops, dkk (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa ketika remaja terisolasi secara sosial, atau ketidakmampuan untuk bergabung dalam suatu kelompok sosial akan berhubungan dengan banyak masalah dan gangguan pada remaja.

(15)

Eropa–Amerika memiliki sahabat dari latar belakang etnis yang sama dengan dirinya dan 60% remaja etnis Asia-Amerika juga melakukan hal yang sama.

Seperti yang disebutkan di atas, selain faktor budaya atau latar belakang etnis seseorang, faktor status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap peer relationships pada remaja. Pada remaja etnis minoritas, khususnya latar belakang status sosial ekonomi tinggi atau rendah memberikan dampak yang berbeda bagi peer relationships remaja. Menurut Gibbs & Huang (dalam Santrock, 2003) remaja berlatar belakang penghasilan rendah, beresiko tinggi untuk mengalami masalah yaitu kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah psikologis seperti depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja lebih banyak terjadi pada remaja miskin dibandingkan dengan remaja yang lebih berada.

Santrock (2003) mengatakan remaja etnis minoritas kelas menengah masih menghadapi masalah prasangka, diskriminasi dan bias yang berhubungan dengan status sebagai anggota kelompok etnis minoritas. Diskriminasi dan marginalisasi adalah tantangan bagi etnis minoritas yang juga berusaha untuk lepas dari kemiskinan (Corcoran and Nichols, 2004). Menurut McLoyd, (1998) remaja yang memiliki latar belakang status sosial ekonomi yang rendah memiliki tingkat kenakalan remaja yang lebih tinggi.

(16)

mengatakan bagi remaja perempuan, kedekatan,dan ikatan emosi merupakan hal yang paling sering dibagikan dan menjadi esensi dalam hubungan pertemanan. Remaja perempuan sering menggunakan jalinan emosi dalam pertemanan, seringkali persahabatan mereka lebih banyak menimbulkan stress dikarenakan banyaknya konflik yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan hubugan pertemanan pada remaja laki-laki lebih bertahan lama dibandingkan dengan pertemanan remaja perempuan (Cobb, 2007).

Namun, remaja etnis minoritas juga berkesempatan memiliki peer relationships yang tinggi. Santrock (2008) mengatakan bahwa remaja yang berasal dari etnis minoritas memiliki persahabatan yang lebih erat dengan sesama etnis mereka. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Cobb (2007), bahwa remaja dari kelompok etnis minoritas kebanyakan bersahabat dengan teman sebaya dari etnis dan latar belakang yang sama.

Pada aspek persahabatan dari hubungan teman sebaya, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kesamaan mendasari atraksi dan hal tersebut menurut La Gracea dan Harisson (2005) adalah kunci dari persahabatan. Berdasarkan penelitian House, (2007) diakatakan bahwa etnis minoritas juga dapat memiliki peer relationships yang tinggi ketika remaja mendapatkan dukungan dari keluarga yaitu kesatuan di dalam keluarga. Remaja etnis minoritas juga dapat memiliki peer relationships yang tinggi bila remaja mendapat dukungan dari keluarga khususnya bila remaja puas dengan hubungan orang tua-anak, Dekovic´ (2004).

(17)

remaja etnis minoritas sudah berbagi masalah dengan sahabatnya, menerima sahabat apa adanya, memiliki rasa berharga, mampu mengungkapkan diri, dan menerima dukungan emosi dari sahabat mereka. Menjalin hubungan dengan kelompok teman sebaya, dimana remaja etnis minoritas memiliki rasa nyaman, harga diri, memiliki identitas diri karena bersama teman kelompok mereka, remaja juga memiliki wadah untuk menghabiskan waktu maupun tempat sumber informasi. Pada aspek hubungan romantis, remaja etnis minoritas memiliki keinginan memulai suatu hubungan romantis, maupun sudah menjalin suatu hubungan romantis.

Di sisi lain, peer relationships yang rendah menggambarkan jalinan hubungan persahabatan, kelompok teman sebaya dan hubungan romantis yang masih memiliki hambatan pada remaja. Remaja etnis minoritas kutrang berbagi masalah dengan sahabatnya, kurang menerima sahabat apa adanya, tidak memiliki rasa berharga, kurang mampu mengungkapkan diri, dan tidak menerima dukungan emosi dari sahabat mereka. Hubungan dengan kelompok teman sebaya, tidak membuat remaja etnis minoritas memiliki rasa nyaman, harga diri, dan tidak memiliki identitas diri walaupun menghabiskan waktu dengan kelompok mereka sehingga kurang mendapat sumber informasi. Pada aspek hubungan romantis, remaja etnis minoritas belum memiliki keinginan memulai suatu hubungan romantis.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa masa remaja adalah waktu

dimana terjadi perubahan utama pada biologis, psikologis dan konteks sosial,

(18)

melewatinya dengan indah, sedangkan yang lain melewatinya dengan penuh

kesulitan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat adanya dinamika peer relationships pada etnis minoritas khusunya pada remaja etnis Tionghoa dan Tamil dikalangan etnis mayoritas Pribumi. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk meneliti : gambaran peer relationships pada remaja etnis minoritas. Melalui penelitian ini akan diperoleh data tentang gambaran peer relatiosnhip remaja etnis minoritas. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan peer relatiosnhip antara remaja etnis minoritas laki-laki dan remaja etnis minoritas perempuan sehubungan dengan perbedaan psikologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menurut Hurlock (1999), juga perbedaan yang ditinjau dari budaya remaja etnis minoritas, dan perbedaaan menurut status sosial ekonomi. Ketiga hal ini akan menjadi hasil tambahan dalam peneitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. ”Bagaimanakah gambaran peer relationships pada remaja etnis minoritas?”

(19)

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Mengetahui gambaran peer relationships remaja dari etnis minoritas. Melalui gambaran tersebut akan diketahui apakah remaja etnis minoritas memiliki peer relationships yang tinggi, sedang atau rendah.

2. Mengetahui gambaran peer relationships remaja dari etnis minoritas berdasarkan jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi, khususnya dalam Psikologi Perkembangan mengenai peer relationships pada remaja dari etnis minoritas.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan acuan bagi peneliti lain yang meneliti mengenai topik peer relationships pada remaja etnis minoritas.

2. Manfaat praktis

(20)

a. Remaja etnis minoritas (remaja etnis Tionghoa dan remaja etnis etnis Tamil).

Sebagai referensi bagi remaja etnis minoritas dalam mengetahui tingkat peer relationships.

b. Pihak Sekolah

Pihak sekolah dapat mengetahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi peer relationships pada remaja etnis minoritas.

c. Orang tua

Orang tua dapat mengetahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi peer relationships pada remaja etnis minoritas.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

(21)

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.

Bab IV : Analisis Data Dan Pembahasan

Terdiri dari analisis data dan pembahasan yang berisi tentang gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan Dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini mengemukakan hasil penelitian pembuatan arang aktif dari serbuk gergaji kayu, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama waktu aktivasi

Program studi teknik informatika saat ini membutuhkan sistem yang dapat mengatur pendaftaran secara online dan dapat membantu untuk melakukan pengecekan jadwal

refrigerate at least 3 hours or until very cold. Whisk the mixture and then pour into the canister of an ice cream maker. Freeze according to manufacturer's directions. Transfer

Ta otpornost se ispoljava u delu krune, odnosno na pojedinim skeletnim granama obolelih stabala. U tom delu krune, odnosno na skeletnim granama koje pokazuju sektorijalnu

Untuk itu dengan dibuatnya karya ilmiahini diharapkan warga masyarakat dapat sadar dan segera meninggalkan atau mengurangi kebiasaan mereka yang tidak

Penelitian di Indonesia yang membahas topik kecemasan terhadap kematian, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Wisudawanto (2009) mengenai hubungan

Agar hewan peliharaan kita tidak mudah terkena penyakit maka harus diberikan... a.Vaksin dan vitamin b.Makan

Sebuah pusat pelatihan atlet bulutangkis tidak hanya dibutuhkan lapangan bulutangkis saja, namun dibutuhkan juga fasilitas penunjang yang memenuhi kebutuhan para