• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah Lingkungan di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah Lingkungan di Kota Medan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Jaringan Telepon Seluler

Sebuah jaringan komunikasi telepon selular GSM pada dasarnya (Smith dan Collins, 2007) terdiri dari Mobile Station (MS), Base Transceiver Station (BTS), Base Station Controller (BSC), dan Mobile Switching Center (MSC). Pada saat berlangsung komunikasi, MS mengirim dan menerima sinyal ke dan dari BTS. BSC mengontrol BTS dalam memproses bentuk panggilan, operation and maintenance (O&M) dan menyediakan interface antara BSS dan MSC (A-interface). Sedangkan fungsi utamanya adalah mengatur kanal radio dan mentransfer sinyal informasi dari dan ke MS. BSC juga dapat berfungsi sebagai hub yang menghubungkan BTS dengan BTS lainnya, atau BTS dengan switch. BTS menyediakan kanal radio (RF- carriers) untuk suatu area cakupan. Kanal RF digunakan untuk hubungan antara MS dan BSS (Air-interface). BTS mengandung transceiver radio yang menangani sebuah sel dan hubungan dengan MS dengan menggunakan FCA seperti pada Gambar 2.1.

sumber : Sanguthevar and Naik (2015)

(2)

Komunikasi antara BTS dengan MS maupun sebaliknya dilakukan melalui media transmisi udara dengan menggunakan gelombang radio sebagai media untuk menyampaikan informasi berupa sinyal yang mengandung medan elektromagnetik atau yang disebut dengan EMF (Electromagnetic Field) dengan besar daya yang dipancarkan antena BTS antara 20-40 watt pada GSM 900 (Mamilus et al., 2012). MSC merupakan inti dari jaringan GSM, fungsinya untuk menghubungkan MS dengan pelanggan PSTN (Public Switched Telephone Network) atau ke MS lainnya. MSC berfungsi sebagai switch yang menghubungkan BTS dengan BTS lainnya dalam area MSC yang berbeda, atau menghubungkan BTS dengan fixed telepon pada PSTN.

2.2. Frequency Channel Assignment (FCA)

Keberhasilan suatu hubungan komunikasi melalui telepon merupakan hal yang sangat penting dan menjadi prioritas pertama, bila keberhasilan semakin tinggi maka kegagalan panggilan akan semakin kecil, artinya komunikasi akan semakin baik bila kegagalan panggilan semakin kecil (Gupta et al., 2012). Dalam dunia telekomunikasi tingkat kegagalan ini disebut dengan Grade of Service (GOS), sebagai contoh bila sebuah jaringan telepon memiliki GOS sebesar 2% artinya dalam 100 panggilan terjadi kegagalan panggilan sebanyak 2 panggilan. Kegagalan ini disebabkan karena tidak adanya saluran yang dapat menerimanya.

(3)

frekuensi yang tersedia dibagi diantara BTS oleh frequency chnannel (FC). Pada saat spektrum frekuensi berkurang, frequency channel assigment (FCA) mencoba untuk melayani permintaan jalur dari setiap BTS dan mempertahankan kualitas koneksi dengan memperhatikan tingkat interferensi.

Smith et al. (1998) mengajukan model pewarnaan graph untuk menyelesaikan persoalan FCA ini, namun cara demikian ini tidak dapat dipakai untuk persoalan berskala besar (Garey dan Johson, 1979). Beberapa peneliti seperti Floriani dan Mateus (1997), dan fischetti et al. (2003) mengajukan model program linier cacah. Perbedaan utama dalam model yang mereka ajukan adalah pada kendala interferensi.

(4)

Montemanni dan Smith (2010) mengelola FCA pada jaringan telepon seluler dengan melakukan pemisahan frekuensi antar saluran untuk menghindari terjadinya interferensi, tetapi pemisahan yang tidak perlu akan dapat mengakibatkan kebutuhan/kelebihan spektrum, jadi menurut Montemanni dan Smith akan lebih baik meminimalkan interferensi dan spektrum yang diperlukan dan ini dilakukan dengan menggunakan algoritma tabu search. Sedangkan menurut Smith et al. (1997), untuk meminimalkan terjadinya interferensi antar saluran dengan tingkat keberhasilan hubungan komunikasi yang tinggi, makan dilakukan memodelkan FCA dengan menggunakan nonlinear integer programming sebagai representasi baru dari static channel assignment (SCA). Hal ini dilakukan dilakukan dengan menggunakan dua model neural network yang berbeda, pertama menggunakan jaringan Hopfield dan yang kedua menggunakan new neural network yang mampu mengorganisir diri sendiri untuk memecahkan masalah FCA. Rajasekaran et al. (2015) menggunakan algoritma pewarnaan untuk penetapan frekuensi FCA agar satu saluran dengan saluran lainnya tidak terjadi interferensi, sedangkan Wang et al. (2002) menggunakan algoritma genetic dari Ngo dan Li untuk FCA guna memenuhi permintaan panggilan pada saluran yang terjadi dari tingkat gangguan interferensi yang minimal. Menurut Pasapoor dan Bilstrup (2013) masalah FCA dapat diselesaikan dengan metode ant colony optimization (ACO) sebagai sebuah metode untuk memperoleh efesiensi FCA dengan interferensi minimal. Alokasi kanal berbasis ACO ini memungkinkan untuk tidak tergantung terhadap jumlah cluster.

2.3. Lokasi BTS

(5)

warga (Community Permit), dan regulasi pemerintah. Antena BTS harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat mencakup daerah geografis yang memenuhi kualitas layanan pemakai telepon selular. Namun pada umumnya dalam pemodelan BTSL diformulasikan dengan meminimumkan biaya koneksi yang mencakup biaya instalasi dan peralatan . Dalam beberapa literatur seperti, George dan Laurence (1988), Mirchandani dan Francis (1990), dan Rappaport (1996) dapat diperoleh secara rinci tentang optimasi jaringan. Model PLCC (Program Linier Cacah Campuran) yang berkenaan dengan BTS diajukan oleh Mathar dan Niessem (2000). Model tersebut menentukan optimalisasi lokasi base station untuk jaringan radio seluler yang dapat dibuat sebagai masalah optimasi matematika, tergantung pada

kebijakan penetapan saluran, minimalisasi gangguan atau saluran yang diblokir.

Masing-masing memiliki keuntungan. Optimalisasi diformalkan sebagai program

linier integer dan pada optimasi ini digunakan teknik simulasi annealing sebagai

optimasi perkiraan .

Fischetti et al. (2001) menghasilkan sebuah model optimasi interkoneksi jaringan pada sistem telepon seluler UMTS (Universal Mobile Telecommunications Service) dengan menggunakan mixed integer linear programming yang dalam prosedur mencari solusinya menggunakan branch and cut untuk memperoleh batas bawah. Setiap BTS dikoneksikan melalui node inti yaitu CSS (Cell Site Switch) dan setiap CSS dikoneksikan ke dalam jaringan melalui LE (Local Exchange) seperti pada Gambar 2.2.

(6)

Gambar 2.2. Arsitektur UMTS tipe bintang 3 level

Biaya yang diperkirakan untuk merealisasikan koneksi jaringan tersebut adalah : 1. Biaya untuk BTS :

a. Biaya peralatan,

b. Biaya koneksi aktual yang tergantung melalui CSS atau LE, biaya ini diasumsikan linier dengan jumlah modul yang digunakan.

2. Biaya untuk CSS :

a. Biaya perencanaan, tergantung dari jenis peralatan dan lokasi

b. Biaya koneksi, tergantung hubungan dengan LE, biaya ini linier dengan jumlah modul yang digunakan.

3. Biaya untuk LE

a. Biaya perencanaan yang tergantung pada lokasi

Model yang diperoleh Fischetti et al. (2001) untuk meminimalkan koneksi jaringan tersebut adalah :

LE aktif CSS aktif

BTS aktif

LE tdk aktif

CSS tdkaktif CSS

(7)

∑ ∑ −ℎ −ℎ+ ∑ � �+ ∑ ∑+ − −

dengan memenuhi ketentuan-ketentuan berupa 12 kendala seperti pada Lampiran D.1.

Semua variabel dengan situasi yang tidak layak seperti koneksi yang terlalu lama ditetapkan sebagai nol dan dikeluarkan dari model, dan ukuran minimal pada model Fischetti ini adalah berdasarkan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk terkoneksi.

Mixed integer programming juga digunakan oleh Yoshihiro dan Xu (2010) untuk optimasi topologi dengan menggunakan optimasi topologi Robust truss yang didesain untuk beban eksternal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya atau beban dalam ketidakpastian, tetapi model ini sulit dilakukan untuk skala besar.

(8)

jaringan telepon seluler teknologi W-CDMA (Wideband Code Division Multiple Access). Selain pemilihan lokasi menara BTS juga dilakukan analisis permintaan pelanggan, dan jaminan kualitas pelayanan yang diukur berdasarkan sinyal-to-noise ratio (S/N). Pemilihan lokasi menara antena BTS untuk melayani sejumlah pelanggan pada coverage area dilakukan dengan biaya minimal dan keuntungan yang besar. Model yang dihasilkan oleh Kalvenes et al. (2005) untuk memperoleh keuntungan yang maksimal adalah sebagai berikut :

∑ ∑

− ∑ �

 

pendapatan biaya

dengan sembilan kendala seperti pada Lampiran D.2.

Model yang dihasilkan Kalvenes et al. (2005) ini adalah sebuah model topologi menara BTS yang menghasilkan keuntungan yang besar dengan biaya minimal dan jaminan kualitas layanan yang diukur berdasarkan SIR (Signal to Interference Ratio).

(9)

memfokuskan pada penghematan pemakaian energi, biaya operasi dan emisi CO2

diajukan oleh Diamantoulakis dan Karagiannidis (2013).

2.4. Radiasi Gelombang EMF

Gelombang EMF merupakan gelombang transversal, terbentuk dari medan magnet dan medan listrik yang bergetar dalam arah yang saling tegak lurus (hukum Faraday). Gelombang ini merambat dengan kecepatan yang nilainya ditentukan oleh dua besaran yaitu permitivitas listrik dan permeabilitas magnetik. Kecepatan rambatnya dalam ruang hampa udara mendekati 3 x 108 m/s. Frekuensi dari setiap spektrum sumber gelombang elektromagnetik memiliki rentang frekuensi yang berbeda-beda, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Rentang frekuensi spektrum gelombang EMF

Spektrum Frekuensi (Hz.)

Sinar Gamma 1019 - 1025

Sinar X 1016 - 1020

Sinar Ultraviolet 1015 - 1018

Sinar Tampak 4 x 1014 – 7,5 x 1014

Sinar Infra Merah 1011 - 1014

Gelombang Radio 104 - 1012

Besar energi yang diradiasikan oleh suatu spektrum gelombang EMF, menurut Planck akan memenuhi persamaan,

E = hv (joule) (2.1) dimana,

h = konstanta Planck = 6,62 x 10-34 Js, v = frekuensi dari gelombang EMF (Hz).

(10)

2.4.1. Power density

Power density adalah besarnya daya dari EMF yang melewati luas area 1 meter persegi dalam satuan watt/m2 seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Power density

Secara matematis, intensitas dari power density (PD) dirumuskan sebagai berikut :

=

Pr

A (watt/m2) (2.2)

dimana,

= power desity, besar intensitas radiasi (W/m2), Pr = besar daya yang diterima (W) dan,

A = luas permukaan yang terkena radiasi (m2).

Jika radiasi tersebut bersifat omnidirectional, maka intensitas radiasi yang diterima akan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara benda yang menerima radiasi dengan sumber radiasi,

~

.

Semakin jauh jarak dengan sumber, maka intensitas radiasi akan semakin berkurang, semakin dekat dengan sumber radiasi maka intensitas yang diterima akan semakin besar. Intensitas radiasi atau yang disebut dengan power density () dapat juga dikatakan sebagai besarnya daya yang diterima pada satu titik per meter kuadrat yang dinyatakan dengan rumus berikut :

=

E

=

(2.3)

dimana, E = kuat medan listrik (V/m)

1m Power

1 1 1

Power density W/m2

1m

(11)

L

H = kuat medan magnet (A/m) 377 = impedansi pada ruang bebas (Ω)

Untuk pola radiasi horisontal omnidirectional pada antena vertikal (Gambar 2.4), power density dirumuskan (Marshall and Skitek, 1990) sebagai berikut :

= � �� � / (2.4)

dimana R = Jari-jari coverage area (m) L = Tinggi antena (m)

Gambar 2.4 Pola Radiasi Omnidirectional untuk antena Vertikal

Untuk pola radiasi dari sebuah titik sumber radiasi dengan pola radiasi spherical (Gambar 2.5.) dinyatakan dengan rumus berikut (ITU-R2005):

=

�� �

� /

(2.5)

dengan Pt = besarnya daya pada pemancar (W) G = gain atau penguatan antena (dB) R = radius coverage area (m)

Gambar 2.5. Pola radiasi spherical bersumber dari satu titik pancar

Besarnya paparan radiasi yang diserap oleh tubuh manusia dinyatakan dengan SAR (Spesific Absortion Rate) yang dinyatakan dengan rumus berikut :

= � |� | (2.6)

dimana,

σ = Conductivity (s/m)

k = Kerapatan massa (Kg/m3) E = Kuat medan listrik (V/m)

Antena

L

R

(12)

Secara garis besar, radiasi total yang diserap oleh tubuh manusia tergantung dari beberapa hal, diantaranya :

1. Frekuensi dan panjang gelombang elektromagnetik 2. Polarisasi EMF

3. Jarak antara badan dan sumber radiasi EMF

4. Sifat-sifat elektrik tubuh, sangat tergantung pada kadar air di dalam tubuh, radiasi akan lebih banyak diserap pada media dengan konstanta dielektrik tinggi seperti otak, otot dan jaringan lainnya dengan kadar air tinggi.

Setiap sinyal yang dipancarkan melalui antena pemancar BTS dari operator telepon selular akan menghasilkan EMF. Penerima yang menggunakan telepon selular yang berada pada suatu titik tertentu akan terpapar radiasi EMF yang berasal dari BTS dan juga yang berasal dari telepon selular itu sendiri. Besarnya dapat diukur dengan besaran PD dan radiasi yang diserap oleh tubuh dinyatakan dengan SAR. Besarnya PD dan SAR diharapkan tidak melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 Mhz. dan 9 watt/m2 untuk

frekuensi 1800 Mhz.) karena akan dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan hidup khususnya kesehatan manusia (efek psikologi dan fisiologis). Secara garis besar hubungan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.6.

= PtGt

πR →=

E

≈ H → SAR =σ |E |k

Gambar 2.6. Paparan radiasi EMF dari antena BTS terhadap manusia

Pt = Daya yang pemancar (watt) Gt = Gain antena

E = Kuat medan listrik (V/m) H = Kuat medan magnet (A/m)

σ = Conductivity (s/m)

(13)

2.4.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap lingkungan hidup

Gelombang EMF yang dipancarkan oleh BTS mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan hidup terutama yang berada pada daerah cakupan antena BTS.

2.4.2.1. Pengaruh gelombang EMF terhadap kesehatan manusia Secara garis besar radiasi gelombang elektromagnetik dibagi 2 (dua) kelompok (The International EMF Project, May 1998) yaitu. :

1. Radiasi peng-ion (ionisasi)

2. Radiasi tidak peng-ion (non-ionisasi).

Perbedaan antara kedua kelompok radiasi gelombang elektromagnetik tersebut terletak pada kemampuan radiasi gelombang elektromagnetik untuk mengionisasi molekul, secara garis besar perbedaan tersebut adalah :

1. Kelompok gelombang elektromagnetik ionisasi dapat mengionisasi molekul sehingga apabila terkena tubuh manusia, maka dapat menyebabkan efek akut dan kronis. Efek akut yang terjadi dapat menyebabkan sindrom saraf pusat, mual dan ingin muntah, tidak enak badan dan lesu, meningkatnya suhu tubuh manusia. Sedangkan efek kronisnya dapat menyebabkan perubahan genetika,kanker, katarak. Termasuk gelombang elektromagnetik ionisasi adalah sinar x, sinar gamma, dan sebagian sinar ultra violet.

(14)

Efek gelombang medan elektromagnetik terhadap manusia memiliki 2 efek, yaitu : 1. Efek Bio : Mempengaruhi stimulus dan perubahan di atmosfer

2. Efek Kesehatan : Mempengaruhi kesehatan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang

Gelombang EMF yang dipacarkan oleh Jaringan Telepon Selular berdampak negatif terhadap kesehatan manusia, dampak tersebut memiliki efek dalam jangka waktu pendek dan dalam jangka waktu panjang (The International EMF Project, May 1998). Efek Jangka pendek dan jangkan panjangnya adalah sebagai berikut :

1. Efek Jangka Pendek

Pemanasan jaringan terjadi sebagai interaksi antara energi frekuensi radio dan tubuh manusia, sebagian besar energi diserap oleh kulit dan jaringan permukaan lainnya, sehingga terjadi kenaikan suhu pada otak atau organ-organ tubuh lainnya. 2. Efek Jangka Panjang

(15)

terjadinya kanker terutama pada kaum wanita (Ronni Wolf dan Danny Wolf, 2004).

Sedangkan menurut NPRB ( The National Radiological Protection Board) UK, Inggris, efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik dari jaringan telepon selular dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Efek fisiologis, merupakan efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik yang mengakibatkan gangguan pada organ-organ tubuh manusia berupa kanker otak dan pendengaran, tumor, perubahan pada janringan mata termasuk retina dan lensa mata, gangguan pada reproduksi, hilang ingatan, dan pusing kepala.

2. Efek psikologi, merupakan efek kejiwaan yang ditimbulkan oleh radiasi tersebut misalnya stress dan ketidakyamanan karena terkena radiasi berulang-ulang.

2.4.2.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap hewan

Paparan gelombang EMF juga akan memiliki efek kepada kehidupan lingkungan lainnya, oleh sebab itu radiasi gelombang medan elektromagnetik saat ini dimasukkan sebagai polutan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang disebut dengan “Electro Pollution” .

(16)

kemampuan navigasinya akibat mengalami disorientasi dalam menentukan arah sehingga burung-burung tersebut salah arah untuk kembali ke sarangnya.

2.4.3. Nilai ambang batas paparan radiasi EMF

Nilai ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP (International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection) yang diakui oleh WHO (World Health Organisation) dan yang ditetapkan oleh IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers) berdasarkan besarnya power density dalam satuan watt/m2 dan berdasarkan besarnya paparan radiasi yang diserap oleh tubuh manusia yang dinyatakan dengan SAR (Spesific Absortion Rate) dalam satuan w/kg. ICNIRP dan IEEE menetapkan batas ambang untuk PD pada frekuensi 900 MHz. adalah sebesar 4,5 watt/m2 dan pada frekuensi 1.800 MHz. adalah 9 watt/m2 (IEEE Std C95.1, 1999) sedangkan nilai ambang batas SAR adalah 1,6 watt/kg. Pada beberapa negara, nilai batas ambang ini ditetapkan lebih kecil dari pada yang ditetapkan oleh WHO, seperti negara Switzerland/Schweizer Bunndesrat menetapkan nilai ambang batas PD untuk 900 MHz. maupun untuk 1.800 MHz. adalah sebesar 0,001 watt/m2. Tabel 2.2.

memperlihatkan nilai ambang batas power density untuk beberapa negara. Tabel 2.2. Nilai ambang batas power density untuk beberapa negara

Nama Negara/ Organisasi Dokumen

900 MHz 1800 MHz

ionizing radiation protection ICNIRP, 1998 4,5 9,0

(17)

Lanjutan Tabel 2.2.

Nama Negara/ Organisasi Dokumen

900 MHz 1800 MHz

Power Density (W/m2)

Power Density (W/m2)

Belgium Belgium 1,1 2,4

Italy/Ministry of Enviroment Italy 1, 1998 1,0 1,0

Italy/Ministry of Enviroment Italy 2, 1998 0,1 0,1

Switzerland/Schweizer Bunndesrat NISV, 1999 0,001 0,001

Austria Local S vorGW

1998

0,001 0,001

Sumber : Report of the inter-ministerial Committee on EMF Radiation, Government of India Ministry of Communications & Information Technology Department of Telecommunications, 25th Nov,2010.

Pada beberapa negara dapat terjadi bahwa power density radiasi EMF dari antena BTS 10 kali lebih besar dari yang direkomendasikan (Saeid, 2015). Ini terjadi karena operator cenderung melakukan penambahan daya pemancar BTS dengan tujuan memperluas daerah cakupan, dengan demikian akan menghemat dana untuk pembangunan menara BTS sehingga akan meningkatkan profit perusahaan operator telepon selular (Mamilus et al., 2012)

2.4.4. Besarnya power density EMF yang dipancarkan antena BTS

Besarnya daya yang dipancarkan oleh sebuah antena BTS tergantung dari besarnya daya pada pemancar, rugi-rugi daya disepanjang saluran antena, dan penguatan antena. sebagai contoh pemodelan power density dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak powersim dan juga dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak estimataor yang dikeluarkan oleh ITU.

(18)

sebuah menara antena BTS yang memiliki beberapa buah antena BTS adalah jumlah dari seluruh power density antena-antena BTS tersebut, total power density (t)

tersebut adalah :

= ∑i

=

.

dimana i adalah power density pada frekuensi fi (i = 1,2, ...n) dengan kondisi :

∑i

Li =

≤ .

dimana Li adalah level referensi power density pada frekuensi fi (i = 1,2, ...n).

2.4.4.1.Pemodelan power density mengguakan powersim.

(19)

x 316 watt = 948 Watt. Dengan menggunakan persamaan 2.3, 2.5, dan 2.6. yang dimasukkan pada simulasi powersim maka diperoleh diagram alir dan simpal kausal seperti pada Gambar 2.7. dan 2.8. dan besarnya power density sebagai fungsi dari jarak diperlihatkan pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.9.

R edam an_Salur an P enguatan_Ant ena em pat_pi

konst anta

K _C airan_otak K M_C airan_ot ak D aya_Pem anc ar

Gambar 2.7. Diagram alir power density dari BTS dalam bentuk persamaan,

init R = 1 flow R = +dt*N aux N = PULSE(1,1,1)

aux Daya_BTS_2 = Daya_Pancar_BTS/empat_pi aux Daya_Density = Daya_BTS_2*(1/R^2)

aux Daya_Pancar_BTS = Daya_Pemancar*10^(Total_Penguatan/10)*3 aux Kuat_Medan_Listrik = SQRT(Daya_Density*konstanta)

aux SAR = (K_Cairan_otak*Kuat_Medan_Listrik^2)/KM_Cairan_otak aux Total_Penguatan = Penguatan_Antena-Redaman_Saluran

const Daya_Pemancar = 20 const empat_pi = 4*3.17 const K_Cairan_otak = 2.2380 const KM_Cairan_otak = 1010 const konstanta = 377

const Penguatan_Antena = 18 const Redaman_Saluran = 6

Total Penguatan B TS

(20)

Tabel 2.3. Besarnya power density sebagai fungsi dari jarak menggunakan powersim

R Power density

Dari Tabel 2.3. power density memiliki nilai yang berubah sebagai fungsi dari jarak atau radius dari antena BTS, artinya semakin dekat dengan antena maka semakin besar paparan radiasi . Semakin besar daya pancar maka semakin jauh paparan radiasinya.

Gambar 2.9. Grafik power density sebagai fungsi dari jarak

2.4.4.2. Pemodelan power density menggunakan estimator ITU

Misalkan daya pada pemancar adalah 20 watt dan losses pada saluran disepanjang antena sebesar 6 dB, sedangkan penguatan antena 18 dB (Gambar 2.10). Besarnya daya yang dipancarkan antena adalah : penguatan antena dikurangi losses pada saluran antena yaitu 20 dB – 3 dB = 17 dB sehingga daya keluaran antena adalah

75.6

1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

P D

(21)

10 Log Pout/30 = 17 dB Pout = 30 x 101,7 = 1.504 Watt untuk 1 kanal trafik. Bila

menggunakan 3 carrier maka besarnya EIRP (Effective Isotropically Radiated Power) untuk 1 sektor BTS tersebut adalah 3 x 1.504 Watt = 4.512 Watt.

Gambar 2.10. Daya yang dipancarkan oleh sebuah antena BTS

Dengan menggunakan perangkat lunak EMF estimator yang dikeluarkan oleh ITU (International Telecommunication Union) maka diperoleh power density sebesar 10,265 w/m2 (melebihi nilai ambang batas) untuk HRP = 10 dB dan VRP = 10 V/V. pada jarak 100 meter. Tabel 2.4. memperlihatkan besarnya power density sebagai fungsi dari jarak dan Gambar 2.10. memperlihatkan perhitungan power density menggunakan software estimator dari ITU.

Tabel 2.4. Besarnya power density sebagai fungsi dari jarak menggunakan estimator

Jarak (m) 10 30 50 70 90 110 130 150 160

PD (w/m2) 64.79 45.33 28.32 18.12 12.24 8.71 6.47 4.98 4.41

Dari Tabel 2.4. dan Gambar 2.11. terlihat besarnya power density sebagai fungsi dari jarak untuk sebuah sinyal dari antena BTS dengan daya pemancar 30 watt, penguatan antena 20 dB., rugi-rugi pada saluran sebesar 3 dB., tinggi antena 42 meter, dan kemiringin antena sebesar 60 derajat. Pemanvar tersebut akan

BTS

TCH TCH BCCH 20 dBi Gain

3 dB Loss

1.504 W

GSM 900 3 Carriers daya Tx = 30 W

1.504 W 1.504 W

(22)

menghasilkan power density pada jarak 10 meter dari antenna BTS sebesar 64,79 watt/m2 dan pada jarak 150 meter sebesar 4,98 watt/m2. Hal ini masih melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP sebesar 4,5 watt/m2. Ambang batas

power density akan terpenuhi mulai dari jarak 160 meter dari antena BTS.

Gambar 2.11. Power Density dengan menggunakan software estimator ITU

(23)

Akumulasi power density terjadi bila ada lebih dari satu carrier pada sebuah antena BTS atau terdapat lebih dari satu antena BTS pada sebuah menara BTS, sehingga paparan EMF akan semakin besar pada daerah cakupan dari BTS tersebut seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12.

Antena BTS dengan pola sektoral memiliki penguatan 10-20 dBi, ini artinya daya yang dipancarkan dapat 10 sampai dengan 100 kali lebih kuat dibandingkan bila menggunakan antena omnidirectional (Mamilus A. et al., 2012). Biasanya sebuah antena memiliki 1-5 buah carrier dimana setiap carrier mentransmisikan daya sebesar 10-20 watt, sehingga satu operator dapat mentransmisikan daya 50-100 watt dan bila ada 3-4 operator dalam sebuah menara BTS, maka total daya yang ditransmisikan dapat berkisar 200-400 watt. Bila menggunakan antena sektoral (directivity) dengan penguatan antena sebesar 17 dB (dalam numerik sama dengan 50) maka daya yang dipancarkan dapat dalam KW.

2.5. Mitigasi Radiasi dari Antena BTS

Beberapa metode teknik mitigasi untuk mengurangi tingkat radiasi EMF terhadap lingkungan hidup yang berada pada daerah cakupan menara BTS telah direkomendasikan oleh ITU dengan mengeluarkan rekomendasi K.70.

2.5.1. Menurunkan kekuatan pemancar

(24)

dari BTS tersebut. Metode ini hanya digunakan bila hanya jika metode lain tidak dapat diterapkan dengan berbagai alasan.

2.5.2. Menambah ketinggian antena

Sebuah antena BTS dibangun dengan ketinggian h meter dengan sudut

elevasi Ө diamati dan dilakukan pengukuran power density pada jarak x dari antena

dengan ketinggian pengukuran h’ seperti pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13. Korelasi Power Density dengan tinggi antena BTS dimana,

h = tinggi antena (meter)

x = jarak titik pengukuran (meter)

R = Jarak antena ke titik pengukuran (meter)

h’’ = h –h’

Besarnya power density pada titik pengukuran x adalah : = ,

� � �

�� �

� +ℎ" (2.9)

dimana,

� = tan− ℎ" �

� � = [ �

� 

Ө ]

EIRP (Equivalent Isotropically Radiated Power) = Pt Gt (watt) Pt = daya pemancar (watt)

(25)

Melalui persamaan (2.9) dapat dilihat bahwa bila tinggi antena dinaikkan, maka power density akan berkurang sehingga paparan radiasi juga akan berkurang. Dapat juga dinyatakan bila antena dinaikkan maka sudut elevasi antena akan bergerak berpindah sehingga paparan radiasi pada titik pengukuran semula akan berkurang tetapi radius paparan radiasi EMF akan bertambah. Penurunan radiasi EMF ini terjadi karena sudut elevasi berpindah ke bagian lain dari VRP (Vertical Radiation Pattern) antena pemancar. Metode ini hanya dapat diterapkan jika kemungkinan untuk menambah tinggi antena dapat dilakukan. Gambar 2.14. adalah grafik power density sebagai fungsi dari jarak yang berkurang bila dilakukan penambahan tinggi antena BTS.

Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)

Gambar 2.14. Distribusi power density untuk tinggi antena 20 m dan 35 m.

(26)

2.5.3. Menurunkan kemiringan (downtilt) VRP

Menurunkan kemiringan (downtilt) antena BTS akan menurunkan power density pada daerah daerah cakupan yang jauh dari menara BTS, tetapi akan meningkatkan power density pada jarak yang sangat dekat dengan menara BTS, sebagai contoh pada Gambar 2.15. antena BTS diturunkan kemiringannya dari 0 derajat menjadi 10 derajat yang mengakibatkan naiknya power density pada jarak sampai dengan 400 meter dari antena BTS pada ground level, dan akan turun pada jarak di atas 400 meter. Kelemahan dari metoda ini adalah dengan menurunkan kemiringan antena BTS akan mengakibatkan luas daerah cakupan antena BTS akan menjadi berkurang dan kelemahan lainnya adalah sulitnya melihat secara visual penurunan kemiringan antena tersebut sehingga harus dilakukan secara elektrik.

K.70(07)_F.D.2

Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)

Gambar 2.15. Distribusi power density dengan metode downlitlt VRP antena BTS.

2.5.4. Mengatur directivity antena BTS

(27)

terkait erat dengan horizontal (HRP) dan vertikal (VRP). Perubahan antena pemancar HRP, dibuat untuk melindungi orang terhadap radiasi khususnya pada area yang berada dekat dengan antena BTS, akan tetapi akan mengurangi area cakupan. Sebagai contoh tinggi antena: 35 meter, frekuensi: 947,5 MHz, daya pemancar 50 W, total atenuasi 2.34 dB, EIRP = 1038 W, maka grafik distribusi power densisty sebagai fungsi dari jarak diperlihatkan pada Gambar 2.16.

Distance [m]

K.70(07)_F.D.4

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300

0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00

BSant_gain_18_dBi BSant_gain_15.5_dBi

EMF-estimator 0

Equivalent plane-wave power density [mW/m ]2

Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)

Gambar 2.16. Distribusi power density dengan gain antena yang berbeda.

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.2. Arsitektur UMTS tipe bintang 3 level
Tabel 2.1. Rentang frekuensi spektrum gelombang EMF
Gambar 2.3. Power density
+7

Referensi

Dokumen terkait

7.Siswa mampu menunjukkan ikon pendukung untuk merancang teks serta mengintegrasikan gambar, tabel, dan grafik ke dalam dokumen..

memberikan kontribusi positif bagi siswa dan mampu meningkatkan kreativitas belajar siswa. Berdasarkan fenomena di atas sebagai gambaran problematika maka di sini

Dari ketiga kriteria di atas penulis memilih account executive sebagai subyek dalam penelitian karena account executive ADITV yang terjun langsung kelapangan dan

29 Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa

sistem pakar diagnosa penyulit kehamilan dapat memaksimalkan deteksi dini mengenai penyulit kehamilan berdasarkan usia kandungan ibu hamil atau trimester kehamilan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS TABLET ATORVASTATIN SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa rasio tepung biji kecipir dan tepung terigu tidak memberikan pengaruh yang nyata

Artinya penyerapan tenaga kerja (Y1) merupakan variabel intervening yang memediasi variabel kunjungan wisatawan asing (X1) terhadap pertumbuhan ekonomi (Y2) di