• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya ini terlihat dari

letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan. Perbedaan tidak dapat

dipungkiri lagi, mulai dari kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup serta

tingkah laku masyarakatnya. Keanekaragaman bangsa Indonesia di tandai dengan

adat istiadatnya masing-masing dan sesuai dengan kebudayaan yang dipatuhi dan

dilaksanankan warganya.

Dapat dilihat pada suku-suku yang ada di Indonesia, yakni contohnya

Suku Batak. Suku Batak sediri terbagi menjadi beberapa bagian suku antara lain

batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Mandailing

dan yang terakhir adalah Batak Angkola. Suku Angkola atau Batak Angkola,

adalah suatu suku yang berdiam tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan terutama di daerah Angkola termasuk Padang Sidimpuan di provinsi

Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan menuliskan1, sebelah

Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Labuhan

Batu. Sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing

Natal. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Madailing Natal dan juga

1

(2)

Samudera Hindia. Terdapat 14 Kecamatan di Tapanuli Selatan, 212 desa dan

kelurahan sebanyak 36 kelurahan.2

Orang Angkola merupakan suatu kelompok masyarakat dari etnis Batak,

yang menurut cerita menduduki wilayah Angkola sejak berabad-abad yang lalu.3

Nama Angkola diyakini berasal dari nama sebuah sungai yakni “batang

Angkola” yang berada di daerah Angkola. Dari cerita rakyat Angkola, bahwa

sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola

(1014 – 1044M ) yang berasal dari India Selatan, yang memasuki Angkola

melalui daerah Padang Lawas.4

Daerah Angkola terdiri dari 2 wilayah, yaitu sebelah selatan Batang

Angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan sebelah Utara diberi nama Angkola

Julu (hulu).5 Setelah sekian lama masyarakat Angkola tumbuh dan berkembang

di daerah Angkola, maka kemudian orang-orang dari suku-suku lain masuk dari

segala penjuru hidup berbaur dan turut dalam adat istiadat suku Angkola, tetapi

ada juga kelompok yang tetap mempertahankan adat nya sendiri.

Sistem kekerabatan batak Angkola adalah Patrilineal, yakni menurut garis

keturunan ayah. Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki, dan

menjadi punah kalau tidak ada laki-laki yang dilahirkannya. Sistem kekerabatan

Patrilineal itulah yang menjadi tulang punggung masayarakat batak yang terdiri

2

Badan Pusat Statistik Kabupaten tapanuli Selatan,Op. Cit, Hal. 74

(3)

dari turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling

dihubungkan menurut garis laki-laki.6 Seluruh kehidupan orang Batak diatur oleh

struktur patrilineal masyarakatnya. Struktur tersebut tidak berbatas pada lingkup

hukum waris saja, tetapi menyangkut pemerintahan dan pemilikan tanah,

perkawinan dan pemujaan arwah, penyelenggaraan peradilan, tempat

permukiman, dan penggarapan tanah semua langsung berkaitan.

Seperti etnis Batak pada umumnya, tradisi marga juga berkembang dalam

masyarakat suku Batak Angkola. Marga-marga yang terdapat pada masyarakat

Angkola pada umumnya adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Nasution,

Ritonga, Daulay, Pane.7 Beberapa marga pada masyarakat Angkola terlihat

masih memiliki kekerabatan dengan marga-marga yang ada di suku Batak Toba

dan Batak Mandailing. Orang batak Angkola sebagian besar memeluk agama

Islam yang pada sekitar tahun 1821 mendapat serbuan dari pasukan Padri dari

minangkabau yang menyebarkan Islam dibawah pimpinan Tuanku Lelo.

Sebagian besar orang Angkola yang takluk dari pasukan Padri memeluk Islam,

sedangkan yang menghindar masuk ke pedalaman hutan dan tetap

mempertahankan agama adat mereka.8 Setelah beberapa tahun berlangsung

kekuasaan Padri di tanah Angkola di taklukkan oleh Belanda. Masukkanya

Belanda ke wilayah Angkola mempengaruhi masyarakat untuk memeluk Kristen

(4)

yang dibawa oleh misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola

terdapat 2 (dua) Agama yang berbeda tapi kerukunan beragama sangat terjaga

dengan baik dari dahulu hingga sekarang.

Dalam pembagian warisan Orang Tua, biasanya yang mendapat warisan

adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapat bagian dari orang tua

suaminya atau denga kata lain pihak perempuan mendapat warisan dengan cara

hibah.9 Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan,

karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang

paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut siapudan.10

Di Angkola terdapat Indahan Arian atau Holong ate, ini adalah istilah di

Batak Angkola sebagai istilah untuk menjelaskan pemberian harta kepada anak

perempuan biasanya sebidang tanah atau dengan bangunan kepada anak Putri

atau Perempuannya.11 Pemberian ini tentu selagi masih hidup Indahan Arian atau

holong ate biasanya berbentuk pemberian yang cukup hanya disetujui oleh

Istrinya tanpa persetujuan seluruh anak atau ahliwaris lainnya. Besarannya tentu

sudah diperhitungkan dengan cermat, tanpa melebihi legitimasi porsi, atau

besaran hak kewarisan lainnya secara seimbang. Indahan Arian atau Holong ate,

tentu tindakan Arif dan Bijaksana bagi seorang orang tua, sebab, menurut adat

9

Rudini Silaban, http://rudini76ban.wordpress.com/2009/06/07/pembagian -warisan-dalam-adat-batak-toba/html, diakses pada tanggal 19 November 2015 pada pukul 21.30 WIB.

10

Ibid

11

(5)

Batak, yang menganut turunan laki-laki/partianial, hanya laki-lakilah yang

mendapatkan warisan, sedangkan perempuan tidak mendapatkan oleh karena

sudah masuk pada clan suami dengan menerima sejumlah uang

Mahar/boli/jujur.12

Disebut Arif, mengingat rasa keadilan itu pasti muncul bagi si Bapak

karena biar bagaimanapun seorang anak perempuan, pasti ada jasa baiknya untuk

orang tua selama hidupnya sejak kecil sampai menikah bahkan diharapkan juga

setelah menikah, anak perempuan tempat sandaran hidup ketika mereka masuk

usia renta. Selain kepentingan orang tua, juga dikandung maksud, supaya anak

putri itu memiliki modal untuk masuk kepada keluarga baru, untuk menjamin

hidupnya tanpa menghitung apakah suaminya ada atau tidak adamateri yang

cukup dalam perkawinannya. Untuk menjamin kemurnian harta ini secara

hukum.

Harta ini tidak melebur dalam harta gono gini, harta bersama dengan sang

suami tetap menjadi kewenangan penuh bagi si Istrinya, sekalipun penggunaan

pemanfaatannya oleh keluarganya secara penuh. Dikatan di dalam blog ini juga,

“Tidak jarang sebuah keluarga sepeninggal orang tua baik laki-laki dan

perempuan, pembagian harta warisan ini menjadi sumber sengketa bahkan lebih

(6)

Pihak Wanitapun bisa salah menerima jika anak laki menerapkan penuh

hukum adat batak dalam pembagian waris ini. Jika diterapkan murni tentu tidak

salah, maka yang salah pemahaman bersama terhadap hukum adat batak. Betapa

seriusnya, ternyata hukum pembagian waris sesuai adat batak ini, jika tidak

semua memiliki kesamaan pandangan.

Kehidupan masyarakat Angkola khususnya di Tapanuli Selatan secara

fungsional ditata dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, yaitu tiga unsur

yang disebut Kahanggi (teman semarga), Anak Boru (pihak pengambilan isteri),

dan Mora (pihak pemberi isteri). Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan

sebagai tungku penyangganya terdiri dari tiga agar tunggu tersebut dapat

seimbang.14 Secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen

(unsur)nya terdiri dari 3 (tiga).15 Sebagai suatu sistem, dalam Dalihan Na tolu

terdapat sejumlah Hirarki pengelompokan kekerabatan (mora,kahanggi dan anak

boru) yang saling berkaitan dan berbagai fungsional yang harus dipenuhi dalam

melakukan tujuan bersama, memelihara pola dan mempertahankan kesatuan.

Semua kaitan fungsional ini harus dipenuhi demi tercapainya keseimbangan dan

keharmonisan.

Keseimbangan dan keharmonisan masing-masing unsur terlihat pada

ungkapan kata tradisional oraang Tapanuli Selatan, “manat sanga pe jamot

marharanggi, elek marboru, hormat marmora” yang artinya kita harus

14

Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, 2005,(Sumatera Utara: Forkala Prov. Sum. Utara), Hal. 80

15

(7)

hati kepada kahanggi, berlaku sayang kepada anak boru, dan selalu hormat

kepada mora.16 Dalam upacara-upacara adat lemabaga Dalihan Na Tolu ini

memegang peranan penting dalam menetapkan keputusan-keputusan. Kahanggi,

Anak Boru dan Mora mempunyai fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda satu

sama lain. Perbedaan kedudukannya, apakah pada saat itu yang bersangkutan

berkedudukan sebagai kahanggi, anak boru atau mora.17

Jika pada suatu saat tertentu seseorang berkedudukan sebagai kahanggi,

mora dan anak boru maka pada saat lain dapat berubah-ubah sesuai dengan

kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) unsur dalihan

na tolu ataupun sebagai masyarakat. Oleh sebab itulah orang Angkola selalu

dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan.18

Berbicara mengenai adat maka tidak terlepas dengan waris. Berbicara

tentang waris akan sampai ke angka statistik yang menunjukkan sengketa yang

bersumber dari perebutan harta waris di masyarakat. Sulitnya bergulat dengan

perhitungan-perhitungan pembagian waris dan penentuan ahli waris sebenarnya

yang berhak melakukan pengalihan atas suatu objek yang diperjualbelikan.19

Jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan jika dikelompokkan

berdasarkan agama yang dianut pada tahun 2012 adalah sekitar 82,79%

16 Abbas Pulungan, Disertasi: “

Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi Antara Nilai-Nilai Adat Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing Dan Angkola Tapanuli Selatan”, IAIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, Yogyakarta, 2003, Hal. 37

(8)

beragama Islam, agama Katholik 1,44%, agama Kristen mencapai 15,76% dan

0,01% beragama Budha, Hindu dan lainnya.20

Akibat adanya berbagai sistem hukum waris yang berlaku, sering terjadi

perbedaan sangat mencolok antara siapa yang berhak mewarisi. Akibatnya akan

menimbulkan sengketa dalam pembagian waris tersebut. Setiap sengketa yang

timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat.

Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan agar

keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipilhkan.

Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya

dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah

berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa

dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang

disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi

disediakan oleh Negara.21

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh

pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan

dalam empat lingkungan Peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan

menyelesaiakan sengketa sesuai yuridiksinya masing-masing. Keberadaan

20

Badan Pusat Satistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Katalog, BPS: 1102001.1203 Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2014. Hal. 74

21

(9)

pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari

ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan

otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap

sengketa harus diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum

acara serta memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum.

Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan

sengketa melalui peradilan, namun adapula masyarakat yang lebuh suka

menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan.

Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung

mengeyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul

diantara mereka.

Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir

dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai

negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola

sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan

sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan

perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah terbukti tidak mampu

memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul

terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis dan biaya mahal.

Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya

dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa.

(10)

apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu menyelesaikan. Di

Indonesia sendiri, disamping pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang

keberadaanya diakomodir oleh Negara Melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakimann, terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang

mengacu pada pranata adat dan agama. Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya

pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan

hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara (Hukum Negara), tetapi juga

hukum yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat (Hukun Adat) serta hukum yang

berasal dari ajaran-ajaran agam (Hukum Agama).

Mari kita berbicara tentang penyelesaian sengketa secara adat. Apabila

seseorang wafat maka sebagian besar lingkungan masyarakat di Indonesia menjadi

masalah bagaimana harta warisan akan dibagi kepada para waris. Jika harta warisan

itu akan dibagi makan kapankah waktu pembagian dan bagaimana cara pembagian

itu akan dilaksanakan.22 Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu

harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian, begitu pula

siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuan.23 Menurut adat kebiasaan waktu

pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah

atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus

hari atau seribu hari setelah pewaris wafat.24

22

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,1980 (Bandung: Alumni), Hal. 114

23

ibid

24

(11)

Menurut Hilman Hadikusma, 25Apabila harta warisan akan dibagi maka yang akan menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain adalah:

a. Orang Tua yang masih hidup (Janda atau Duda dari pewaris), atau

b. Anak Tertua lelaki atau perempuan, atau

c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur adil dan bijaksana, atau

d. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang

diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru-bagi.

Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan

matematika, tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda

dan kebutuhan waris bersangkutan.26 Jadi walaupun hukum waris adat mengenal

asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian

warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut

banyaknya bagian yang sudah ditentukan.27 Pada dasarnya persoalan

waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan

tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya.

Persoalan perpindahan waris inilah yang sering menimbulkan konflik yang

terkadang tidak dapat menemui titik penyelesaiannya. Di Tapanuli Selatan banyak

terdapat sengketa waris yang terjadi, walau terkadang penyelesaian sengketa tersebut

berujung pada lembaga pengadilan. Pada sengketa yang terjadi pada keluaga T

Harahap. Yang menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang

(12)

menurut salah satu keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan

kabar dari keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun) mantan

suaminya meninggal karena serangan Jantung. Keluarga mantan suaminya

memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara

lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya diberikan

kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia 26 tahun.

Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap secara lisan

melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti tertulis bahwa P

Harahap memang pernah mewasiatkan rumah tersebut untuk anak mereka. Yang

menjadi masalah disini putra dari P Harahap anak dari perkawinan ke duanya

dengan M boru Samosir yaitu F Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui hal ini.

Padahal dia juga sudah mempunyai hak waris yang sudah ditentukan oleh P harahap.

Dari persoalan ini timbul sengketa karena merasa dia anak lelaki seharusnya dia

berhak atas semua harta dari ayahnya.

Dari kasus diatas adalah mengenai tentang wasiat yang menjadi sengketa.

disini yang dimaksud dengan wasiat menurut penjelasan pasal 49 ayat (c) UU

No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama, ialah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada

orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi

(13)

Wasiat memiliki dasar-dasar hukum yang jelas. Di dalam hukum Islam,

sumber hukum yang mengatur tentang wasiat adalah Al-Quran Surah Al-Baqarah

(2) ayat 180, yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang

diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orangtua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang

bertakwa.”

Sementara pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa

wasiat kepada ahli waris masih memungkinkan, dengan syarat telah mendapat

persetujuan ahli waris lainnya. Selain itu terdapat pula syarat-syarat lain.28

Di dalam kompilasi Hukum Islam pasal 195 disebutkan bahwa:

1. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis

dihadapan 2 (dua) orang saksi atau notaris

2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanya-banyaknya (maksimum) 1/3 (sepertiga)

dari seluruh harta warisan; kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

3. Wasiat kepada ahli waris berlaku apabila disetujui oleh semua ahli waris.

4. Pernyataan persetujuan pada Ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di

hadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis dihadapan 2(dua) orang saksi dan notaris.

Mengacu pada pasal 195 ayat 1 KHI, pada dasarnya wasiat yang pernah

dilakukan P Harahap kepada kakaknya adalah sah, asalkan saat pemberian wasiat

minimal 2 (dua) orang saksi yang mendengarnya dan saksi-saksi tersebut, berikut

seluruh ahli waris lain menerima wasiat lisam yang dilakukan P Harahap. Lalu

dengan iktikad baik bersedia melaksanakan wasiat tersebut.29

28

Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Op Cit, Hal. 49

29

(14)

Dikarenakan kajian orang Tapanuli Selatan atau suku Batak bagian

Selatan (Mandailing dan Angkola) jumlahnya terlalu minim 30 kalau

dibandingkan dengan kajian suku Batak di Bagian Utara. Bahkan lebih

disayangkan lagi bahwa penelitian penelitian tentang Tapanuli Selatan dilakukan

oleh orang luar Tapanuli. Perhatian peneliti tentang Batak Selatan baru muncul

setelah tahun 1970-an. Alasannya di antaranya adalah karena beberapa peneliti

yang melihat bahwa orang Tapanuli Selatan (Mandailing dan Angkola) di

perantauan memiliki peradaban yang berbeda dengan orang Batak lainnya, atau

setidaknya berbeda apa yang dipahami dari keputusan dengan kenyataan, seperti

karakteristik, kondisi sosial dan keagamaan masyarakat.31

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirimuskan beberapa masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pembagian waris secara adat pada masyarakat

angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan?

2. Bagaimana Peran lembaga adat jika terjadi sengketa dalam pembagian waris

pada masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan?

30

Hal ini juga diakuai J.Keuning, khususnya di daerah Angkola, Sipirok, Padang lawas dan Mandailing. Lihat J.Keuning, Batak Toba dan Mandailing” dalam Taufik Abdullah, (ed.), sejarah lokal di Indonesia ( Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press, 1990), Hal. 283

31

(15)

3. Bagaimana Kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa waris menurut

lembaga penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Angkola di

Kabupaten Tapanuli Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan yang teridentifikasi diatas, maka

yang menjadi tujuan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganilisis pelaksanaan hukum waris adat pada

masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Untuk mengetahui dan menganisilis Bagaimana Peran lembaga adat jika

terjadi sengketa dalam pembagian waris pada masyarakat Angkola di

Kabupaten Tapanuli Selatan

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana kekuatan hukum dari hasil

penyelesaian sengketa waris menurut lembaga penyelesaian sengketa waris

adat pada masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

referensi lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada

gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum

kewarisan, khususnya pada masyarakat batak Angkola di Kabupaten Tapanuli

Selatan.

(16)

Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan

memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam pembagian harta warisan

yang menjadi sengketa khususnya di Tapanuli Selatan.

3. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pendataan kepustakaan, dimana dari hasil penelitian yang

pernah dilakukan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara,

penelitian mengenai Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Waris Berdasarkan

Huku Adat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan sama sekali belum pernah

dilakukan. Tetapi sebelumnya sudah ada penelitian tentang :

1. Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu (studi di Kecamatan Medan

Maimoon Kelurahan Aur) : Marsella (027011078), permasalahan yang di

teliti adalah:

a. Bagaimanakah porsi masing-masing ahli waris menurut hukum waris

yang berlaku pada suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun

Kelurahan Aur.?

b. Bila momentum Pembagian Harta warisan diberlakukan pada suku

Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur?

c. Bagaimanakah cara penyelesaian Sengketa harta warisan yang terjadi

(17)

2. Sengketa warisan dan upaya penyelesaiannya pada masyarakat Adat

Minangkabau (studi Kasus di Kabupaten Solok) : YUNASRIL (017011067),

permasalahan yang di teliti adalah:

a. Bagaimana prinsip pewarisan pada masyarakat adat Minangkabau?

b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa waris dalam

masyarakat adat di kabupaten solok?

c. Kaidah hukum apa yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa

warisan pada masyarakat adat kabupaten solok?

Mengingat topik dan permasalahan yang diteliti berbeda maka oleh

karena itu penelitian ini dapat dikatakan asli. Sehingga dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah.

4. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut Fred N. Kerlinger, suatu teori adalah seperangkat konsep,

batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentan

fenomena dengan merinci hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan

dan meprediksi gejala tersebut.32 Dimana proposisi merupakan

pernyataan-pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, sedangkan yang menjadi

variabelnya merupakan segala sesuatu yang akan menjadi pengamatan penelitian.

32

(18)

Teori yang digunakan nanti akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam

menguraikan permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk

dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.33

Teori adalah yang bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa

gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak

benarannya. Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian ini agar

tidak salah arah.34 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa “kontinuitas

perkembangan ilmu hukum, selain beraturan pada metodelogi, aktivitas

penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.35

Menurut J.J.H. Bruggink “ Teori Hukum adalah suatu keseluruhan

pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual, aturan-aturan hukum

dan peraturan-peraturan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting

dipositifkan.36 Teori hukum bertujuan menjelaskan postulat-postulatnya hingga

dasar filsafat yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang

abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan

hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya

33

Lexy J. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, 1993,( Bandung : Remaja Rosdakarya), Hal. 35

34

J.J.J.M. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian ilmu-ilmu Sosial, Asas Asas,( Jakarta, Penerbit :FE UI 1996), Hal. 203

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Penerbit: UI Press),1996, Hal. 6

36

(19)

adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya

penderitaan.37

Teori-teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu antar lain

Teori hukum Living Law. teori ini didasarkan pada kerangka teori hukum sebagai

proyek adalah suatu penggambaran bahwa hukum harus dinamis. Hukum yang

demikian merupakan suatu yang harus diwujudkan untuk mencapai keadilan dan

legitimitas menuju ke hukum optimal, yang berorientasi pada nilai-nilai dan

asas-asas hukum sebagai ukuran untuk praktik hukum.38

Berkenaan dengan penelitian hukum adat, dapat digabungkan fungsi

hukum yang dinamis, aspirasi, optimalisasi denga legitimasi yang berorientasi

pada nilai-nilai dan asas-asas hukum serta teori living law sebagaimana dikatakan

oleh Eugen Erlich. Eugen Erlich mengemukakan bahwa “Hukum itu adalah

hukum yang hidup (living law) yaitu; hukum yang nyata hidup dalam

masyarakat, terus berevolusi selalu melebihi hukum negara yang kaku dan tidak

bergerak”. Dalam studi Eugen Erlich tentang sosiologi hukum mempunyai ciri

yang berbeda. Tidak seperti studi Webber, dimana ia bermaksud untuk

membuktikan teori yaitu bahwa “titik berat perkembangan hukum tidak terletak

pada perundang-undangan juga tidak dalam masyarakat itu sendiri”.39

37

Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,1993( Bandung, Penerbit: Remaja Rosdakarya), Hal. 79

38

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Huum, (Sinar Grafika), Hal. 86-87

39

(20)

Untuk memperkuat kerangka teori, penulis dalam penelitian ini juga

menggunakan teori Penyelesaian Sengketa. Teori penyelesaian sengketa

merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang:“kategori atau

penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul dalam masyarakat, faktor

penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau stategi yang digunakan untuk

mengakhiri sengketa tersebut.40

Laura Nader adalah seorang yang mengkonsentrasikan kajiannya

terhadap sengketa namun yang diperhatikan adalah pemrosesan sengketa atau

apa yang dia namakan disputing proces.41 Dalam teorinya, Laura Nader

memandang hukum sebagai suatu proses. Nader fan Todd42 menyebutkan ada

tiga fase dalam sengketa, yaitu:

1. Tahap pra Konflik (grievance/preconflict) mengacu kepada keadaan atau

kondisi dimana seseorang atau kelompok merasa adanya ketidakadilan dan

mengadakan keluhan.

2. Tahap Konflik (conflict), dimana pihak yang merasa dirugikan tersebut

memberitahukan keluhannya kepada pihak yang dianggap melanggar haknya.

3. Tahap sengketa (dispute) merupakan akibat dari adanya eskalasi tahap konflik

yang diumumkan kepada publik.

40

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi, 2013, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), Hal. 137

41

T.O. Ihromi http://books.google.co.id/books.Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Hal. 207, diakses tanggal 10 November 2015, pukul 14.30 WIB

42

(21)

Menurut Guliver seperti yang dikutip oleh Nader dan Todd, suatu

sengketa (dispute) hanya dapat terjadi bila pihak mempunyai keluhan (klaim)

semula atas seseorang atas namanya, telah “meningkatkan perselisihan” pendapat

yang semula dari perdebatan diadik (dua pihak) menjadi hal yang memasuki

bidang publik.43 Menurut Llewelyn dan Hoebel, hanya melalui sengketa dapat

diketahui apakah hukum yang hidup yang sesungguhnya dianut oleh

manysarakat.44

Ruang lingkup penyelesaian sengketa adalah45:

1. Jenis-jenis sengketa; kategori sengketa adalah penggolongan jenis-jenis sengketa

yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, termasuk di dalamnya adalh sengketa

waris tanah adat.

2. Faktor penyebab timbulnya sengketa, adalah sebagai upaya mengungkapkan

hal-hak yang menyebabkan suatu hal terjadi atau menjadi lantaran terjadinya

sengketa.

3. Strategi di dalam penyelesaian sengketa, adalah upaya untuk mencari dan

merumuskan cara-cara mengakhiri sengketa yang timbul di antara para pihak,

seperti melalui pengadilan maupun alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia.

Hukum dalam posisi sebagai peredam konflik juga dikemukakan oleh

Vilhem Aubert bahwa “low as a way of resolving conflict” atau sebagaimana

43

T.O Ihromi, Op. Cit, Hal. 210

44

http://books.google.co.id/books/about.Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara berbagai pilihan hukum, hal. 7, diakses 10 November 2015, pukul 15.30 WIB

45

(22)

dikatakan oleh Austin Turk bahwa “law as a weapon in social conflict”,46 jadi

hukum berguna sebagai alat untuk meredakan konflik sosial dan menjadi alat

penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat.

Di Indonesia, Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara

yaitu:

1. Cara penyelesaian sengketa menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara

Perdata

2. Cara penyelesaian sengketa menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute

Resolution)

3. Cara penyelesaian sengketa menurut Lembaga Adat47

Penyelesaian sengketa melalui peradilan dapat berbentuk keputusan dan

akta perdaiaman (acta van dading). Tujuan pengadilan untuk terwujudnya

keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan ketertiban dibuktikan dengan setiap

perkara perdata yang diajukan ke pengadilan, maka pengadilan sesuai dengan

tujuan utamanya itu tidak langsung memeriksa dan menerapkan aturan

hukumnya. Melainkan berupaya mengajak pihak-pihak untuk berdamai.

Kemudian, dalam penyelesaian sengketa menurut Undang-undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dam Alternatif Penyelesaian Sengketa terdapat

46

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cet. Ke-2, 2013, Bandung: Penerbit Pt. Citra Aditya Bakti, Hal. 2

47

(23)

penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase48 dan melalui alternatif

penyelesaian sengketa yang meliputi: Konsultasi49, negosiasi50, mediasi51,

kosiliasi52, dan penilaian ahli53. Disamping itu terdapat pula penyelesaian

sengketa melalui lembaga adat. Embaga adat dan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat di Indonesia bersifat lokal karena masing-masing etnis atau daerah

mempunyai lembaga adat dan nilai-nilai yang berbeda antara satu sama lain54.

1. Konsepsi

Konsepsi adalah bagian yang terpenting dalam teori, yang diterjemahkan

sebagai usaha membawa dari abstrak menjadi suatu yang konkrit disebut juga

dengan operational defenition. Peranan konsepsi dalam penelitian ini

menghubungkan teori dengan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep

mengandung arti sebagai kata lain defenisi operational.

48

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian asbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

49

Konsultasi adalah perundingan yang dilakukan anatara pihak tanpa melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa mereka. Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbaini, loc. Cit

50

Negosiasi menurut Gary Goodpaster merupakan proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lebut dan bernuansa, sebagaimana manusia itu sendiri (sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, ibid., hal. 66)

51

Mediasi menurut Christopher W. Moore, adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari keuda belah pihak dan bersifat netral. (sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, ibid., Hal. 96

52

Konsiliasi merupakan suatu penyelesaian di luar pengadilan melalui pemufakatan atau musyawarah yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh seorang pihak atau lebih pihak ketiga yang netral dan bersifat aktif sebagai kosiliator. (Ibid., Hal. 128-129)

53

Penilaian ahli adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana para pihak menunkuk seorang ahli yang netral untuk membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat.

54

(24)

Pentingnya defenisi operational adalah untuk menghindarkan perbedaan

pengertian atau penafsiran yang mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai,

dan defenisi-defenisi operational menjadi penganut konkret dalam proses

penelitian. Oleh karena itu dalam menjawab permasalahan yang terjadi

dilapangan maka beberapa konsep dasar untuk menyamakan persepsi sebagai

berikut:

1. Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan

dari abad ke abad.55

2. Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada

perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi

peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam

masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati

oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).56

3. Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara

bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan

yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.57 Djamanat

Samosir 58, mengatakan hukum adat waris adalah peraturan-peraturan yang

55

Soerojo Wignjodipoero, S.H. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,2005,(Jakarta: CV. Haji Masagung,), hal

56

Soerojo Wignjodipoero, S.H. Op. Cit, hal 16

57

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat ,1999,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), Hal. 7

58

(25)

mengatur proses penerusan dan peralihan (harta atau warisan baik berwujud

maupun tidak berwujud dari si pewaris pada waktu ia masih hidup atau

setelah ia meninggal kepada ahlu waris). Hukum waris adat itu meliputi

aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan

kekayaan materiel dan immaterieel dari turunan ke turunan.59

4. Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu

yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui

hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan

hidup dalam rumah tangga. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris

adalah : (a) orang tua (ayah, ibu), (b) saudara-saudara yang belum berkeluarga

atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan, dan (c) suami

atau istri yang meninggal dunia.

5. Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang

meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:

a. Harta bawaan atau harta asal,

b. Harta perkawinan,

c. Harta pusaka biasa,

d. Harta yang menunggu60

6. Pembagian harta adalah merupakan suatu perbuatan daripada ahli waris

bersama-sama, serta pembagian itu diselenggarakan dengan pemufakatan atau

atas kehendak bersama dari pada para ahli waris.61

59

B.Ter Haar Bzn.,Terj: K.Ng. Soebakti Poresponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Tanpa tahun, (Jakarta: Pradnya Pramita), hal. 231

60

(26)

7. Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris,

yakni anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti, dan orang

yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda).62

8. Sistem kekerabatan Patrilineal adalah sistem kekerabatan berdasarkan

pertalian keturunan melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya

dari pihak laki-laki terus keatas.

9. Sengketa menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin adalah persepsi

mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau

suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak

dicapai secara simultan (secara serentak).63 Sedangkan konflik merupakan

perselisihan yang belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat di

dalam perselisihan yang belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat

didalam perselisihan tersebut dan mencakup perselisihan yang bersifat laten,

oleh karena itu konflik mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada

sengketa, namun dalam penggunaanya secara ilmiah, khususnya dalam

ruang lingkup penelitian hukum, istilah sengketa (dispute) telah menjadi istilah

baku dalam praktik hukum.64 Sedangkan menurut Takdir Rahmadi65, konflik

mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada sengketa yang termasuk

61

Soerojo wignjodipoero, S.H pengantar dan asas-asah Hukum Adat, 1988,( jakarta: cv Haji Masagung), hal 181

62

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2009, (Jakarta: Sinar Grafika), Hal,6

63

Ibid, Hal. 160

64

Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, 2011,( Jakarta, PT.Grafindo Press), hal. 12

65

(27)

didalamnya perselisihan-perselisihan yang bersifat laten dan perselisihan yang

mengemukakan yang disebut sengketa. Sengketa atau konflik hakikatnya

merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara

dua pihak atau lebih.66

10.Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan

mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari

warisan.67

2. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa konstruksi yang dilakukan secara metodelogi, sistematis dan

konsisten.68 Dari segi penelitain hukum, penelitian hukum terbagi menjad

dua yaitu penelitian normatif atau doktrin dan empiris.69

Penelitian hukum doktrinal, oleh Sutadnyo Wigyosubroto dibagi menjadi

3 bagian, yaitu:70

66

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan. 2013,( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal.3

67

http://www/bpn.go.id/program/penanganan-kasus-pertanahan, Penanganan Kasus Pertanahan diakses tanggal 6 juli 2015, jam: 09.50 WIB.

68

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 1981, (jakarta:UI-Press), Hal. 42

69

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Op.cit. Hal. 22

70

(28)

a. Penelitian doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai asas

hukum alam dalam sistem moral menurut doktrin hukum alam.

b. Penelitian doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah

perundang-undangan menurut doktrin positivisme.

c. Penelitian doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai

keputusan hakim in concreto menurut doktrin realisme.

Adapun jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif/doktrinal dan yuridis empiris yang didukung studi

lapangan dengan model penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan

sebagai keputusan hakim in concreto menurut doktrin realisme. Dalam metode

penelitian ini objek hukum yang dikaji adalah hasil mediasi dari putusan lembaga

adat dan keputusan hakim Pengadilan Negeri Padang Sidempuan dan pengaruh

norma-norma hukum adat dan hukum yang hidup di masyarakat dilakukan

dengan melakukan studi mengenai norma masyarakat adat Angkola yang

bersengketa secara adat maupun di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan.

Penelitian ini nantinya akan dianalisi secara deskriptif dengan

memaparkan dan menjelaskan data yang ditemukan dalam penelitian. Penelitian

ini juga menggunakan pendekatan kualitatif yang mengacu pada norma hukum

yang terdapat dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan serta

norma-norma hidup yang berkembang dalam masyarakat. Metode penelitian yang

(29)

Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk

menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi atau sedang

berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin

mengenai objek penelitian. Metode penelitian yang bersifat analisis deskriptif ini

dipilih karena bersifat memberikan gambaran atau pemaparan atas objek

penelitian tanpa melakukan justifikasi terhadap hasil penelitian.

1. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan, termasuk

Kota Padang Sidempuan dimana daerah ini adalah mayoritas masyarakat angkola

yang menggunakan hukum adat. Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 14

(empat belas) kecamatan, yakni Batang Angkola, Sayur Matinggi, Angkola

Timur, Angkola Selatan, Angkola Barat, Batang Toru, Marancar, Sipirok, Arse,

Saipar Dolok Hole, Aek Bilah, Muara Batang Toru, Tano Tomabangan Angkola

dan Angkola Sanungkur.71

Dengan sedemikian luasnya Kabupaten Tapanuli Selatan yakni empat

belas Kecamatan, maka yang menjadi lokasi Penelitian ini diambil 3 (tiga)

kecamatan yang dipilih dan ditentukan secara purposive sampling.72 3 (tiga)

kecamatan yakni Batang Angkola, Angkola Timur dan Angkola Barat.

71

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Op. Cit. Hal. 47

72

(30)

Pengambilan lokasi ini dengan mempertimbangkan bahwa masyarakatnya masih

kental menggunakan adat mereka. Terdapat kasus pembagian warisan adat

sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di daerah itu, karena

masyarakat dianggap telah banyak menerima dan menerapkan hukum adat dalam

kehidupan mereka termasuk masalah warisan.

2. Populasi dan Teknik Sampling

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau

seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.73 populasi biasanya sangat besar

dan sangat luas, maka kerap kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu.

Dalam suatu penelitian sebenarnya tidak perlu meneliti semua obyek atau semua

individu atau semua kejadian atau semua unit tersebut untuk dapat memberikan

gambaran yang tepat dan benar mengenai keadaan populasi tersebut, maka cukup

diambil sebagian untuk dapat diteliti sebagai sampel.

Tabel 1

Penyebaran Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan

No. Nama Kecamatan

1. Batang Angkola

2. Sayur Matinggi

3. AngkolaTimur

4. Angkola Selatan

73

(31)

5. Angkola Barat

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Tahun 201474

Dari 14 kecamatan tersebut akan diambil 3 kecamatan sebagai

sampel, dan dari setiap kecamatan akan diambil 1 sampel desa dengan 10

keluarga sebagai responden.

Tabel 2

Sampel Kecamatan, desa dan Responden

No. Sampel Kecamatan Desa Responden

1. Angkola Timur Pargarutan pasar 10 KepalaKeluarga

2. Angkola Barat Parsalakan 10 KepalaKeluarga

3. Batang Angkola Huta Tonga 10 kepala keluarga

Jumlah 30 Kepala Keluarga

Sumber : Data Rencana wawancara pada Masyarakat Angkola, Tahun 2016

74

(32)

Alasan pemilihan 3 kecamatan sebagai sampel adalah karena sebagian

masyarakat Angkola di desa tersebut masih kental dengan hukum adat.75

Kemudian dari tiap kecamatan diambil masing-masing satu desa dengan 10

(sepuluh) Kepala Keluarga sebagai responden. Masyarakat Angkola penetap

lama, yang masih patuh terhadap hukum adat dan telah menggunakan waris adat

dalam menyelesaikan warisannya.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive

sampel. Mardalis dalam bukunya mengemukakan bahwa76 “ penggunaan teknik proposive sampel mempunyai suatu tujuan atau dilakukan dengan sengaja, cara

penggunaan sampel ini diantara populasi sehingga sampel tersebut dapat

mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya”. Penggunaan

teknik ini senantiasa berdasarkan kepada pengetahuan tentang ciri-ciri tertentu

yang telah didapat dari populasi sebelumnya.

Untuk melengkapi data penelitian ini, diperlukan tambahan informasi dari

narasumber lain yang dianggap mengetahui yakni, Pengadila Negeri Padang

Sidempuan, Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan. Serta daerah

Kecamatan-kecamatan yang masih menggunakan hukum adat yang kental.

75

Hasil wawancara dengan Darwin Dalimunte, camat Angkola Timur, tanggal 02 maret 2016

76

(33)

3. Teknik Pengumpulan Data

Data primer dan data sekunder dapat diperoleh dengan tata kerja sebagai

berikut:

1. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara

a. Mengadakan wawancara terstruktur, kepada para responden khususnya yang

menyangkut tentang hukum waris adat Angkola yang berlaku dahulu, hingga

sampai pada perkembangan di zaman ini, terutama mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan sengketa waris yang dilakukan secara adta yang berlaku

pada masyarakkat Angkola.

b. Mengadakan Survey kelapangan melalui wawanacara pada objek Penelitian

berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah penulis siapkan.

Responden, adalah individu atau orang yang diajukan sumber informasi

dalam hal ini pengumpulan data. Responden dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara kepada 30 (tiga puluh) orang warga Kecamatan Batang

Angkola, Angkola Barat dan Angkola Timur.

b. Pengadilan Negeri Kota Padang Sidempuan.

c. Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan.

2. Data Sekunder

Yaitu data yang bersumber dari bahan pustaka yang merupakan alat dasar

digolongkan sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

(34)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat77 yang

diperoleh melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum primer

dalam penelitian ini terdiri dari: Al-Qur‟an dan Hadist, Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang

merupakan dokumen tidak resmi. Bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami

bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya

dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan

dengan masalah-masalah perkawinan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu data yang memberikan penjelasan terhadp bahan

hukum primer dan bahan sekunder dalam bentuk kamus.

d. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Studi Dokumen, yang akan dilakukan dengan kegiatan penelusuran

peraturan perundang-undangan dan sumber hukum positif lain dari

77

(35)

sistem hukum yang dianggap relevan dengan poko persolan hukum

yang sedang dihadapi.

b. Wawancara, yaitu dengan menemui secara langsung pihak-pihak yang

terkait dalam penelitian ini seperti 30 (tiga puluh) perwakilan

masyarakat dari 3 (tiga) kecamatan yakni Batang Angkola, Angkola

Timur dan Angkola Barat serta beberapa pihak terkait lain seperti

ketua atau raja adat di Kabupaten Tapanuli Selatan maupun Kota

Padang Sidempuan.

c. Kuisioner, yaitu memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan

kepada warga lain yang dijadikan respon untuk dijawab.

6. Analisis Data

Analisis Data adalah merupakan mengorganisasikan dan mengumumkan

data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan

hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan secara

kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan data, mentabulasi, mengurangi,

mengurai, mensistematiskan, menganalisa dan menghunungkan dengan pendapat

pakar hukum serta pihak yang terkait. Selanjutnya dilakukan pengolahan data

dengan menggunakan logika berfikir deduktif sehingga tujuan msalah dapat

disimpulkan

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul secara lengkap dan

(36)

penulis memilih metode analisis data secara kualitatif, yakni menguji data denga

teori dan doktrin serta undang-undang. Dengan digunakannya metode kualitatif

akan diperoleh suatu gambaran dan jawaban yang jelas mengenai pokok

permasalahan dan menemukan kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat

manusia dan terbatas pada masalah yang diteliti. sehingga hasil penelitian ini

merupakan deskriptif, yaitu meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan

hukm yang menjadi objek kajian.

Dengan demikian akan terlebih dahulu dilakukan pengkajian terhadap

data yang diperoleh selama penelitian, kemudian dipadukan dengan teori yang

melandasinya untuk mencari dan menetukan hubungan/relevansi antara data

yang diperoleh dengan landasan teori yang digunakan. Sehingga dapat

menggambarkan dan memberikan kesimpulan umum mengenai Analisis Yuridis

Terhadap Penyelesaian Sengketa Waris Secara Adat di Kabupaten Tapanuli

Gambar

Tabel 1
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Total difficulties score : dalam kuesioner SDQ, Total difficulties score merupakan total skor kesulitan anak yang dinilai dari 4 item, yaitu gejala emosional,

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian serta analisis yang telah peneliti lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Dagadu Djokdja sebagai brand cinderamata alternatif melalui garda

Kita tidak perlu membaca ulang bacaan itu secara keseluruhan, tetapi hanya memeriksa bagian-bagian yang dianggap penting yang memberikan gambaran keseluruhan dari

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang sifat-sifat pelabelan cordial dan e-cordial pada beberapa jenis graf sederhana,

Dasar-Dasar Kewirausahaan Panduan Bagi Mahasiswa Untuk Mengenal, Memahami, Dan Memasuki Dunia Bisnis..

Bagaimana perubahan tata ruang yang terjadi pada Desa Wisata Bejiharjo terutama pada Dusun Glaran I dan Bulu akibat adanya aktivitas baru sebagai obyek wisata beserta faktor-