• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Intensitas Nyeri Pada Pasien Karsinoma Nasofaring (KNF) di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Intensitas Nyeri Pada Pasien Karsinoma Nasofaring (KNF) di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.Nyeri

2.1.1. Defenisi Nyeri

Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Alimul, 2009).

Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan

nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005).

Menurut Brunner & Suddarth (2002), nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

(2)

2.1.2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri merupakan suatu organ tubuh yang berfungsi dalam penerimaan rangsangan nyeri. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak meliliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visare, persendihan, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulus tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulus yang lain dapat berupa termal, listrik, atau mekanis. Selanjutnya, stimulus yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan berupa impuls-implus nyeri ke sumsum tulang belakang (Alimul, 2009).

2.1.3 Teori Nyeri

2.1.3.1. Teori Pemisahan (Specivicity Thory)

(3)

rangsangan nyeri tersebut diteruskan (Alimul, 2009). Teori spesivitas ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010).

2.1.3.2. Teori Pola (Pattern Theory)

Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi resepror yang menghasilkan pola dari implus saraf (Andarmoyo, 2013). Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsalke medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang kebagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Peraepsi di pengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel T (Alimul, 2009).

(4)

yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat, rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri.

2.1.3.4. Endogenous Opiat Theory

(5)

2.1.4 Klasifikasi Nyeri

2.1.4.1. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

1. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 (enam) bulan dan di tandai adanya pengingkatan tegangan otot (Alimul, 2009). Nyeri akut timbul secara mendadak dan lenyap bila penyebabnya hilang. Nyeri akut di tandai oleh aktivitas sistem saraf otonom berupa takikardia, hipertensi, hiperhidrosis, midriasis, dan pucat dan terdapat perubahan pada wajah seperti menyeringai, cemas, atau menangis (Aziz, F, dkk, 2006).

2. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjan suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, 2005).

(6)

2.1.4.2. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Asal

1. Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat rangsangan pada eferen serta saraf perifer. Nyeri ini terjadi akibat pengaruh Prostaglandin E2 sehingga nosiseptor serat saraf perifer menjadi lebih peka terhadap bahan mediator penyebab nyeri.

2. Nyeri Neurogenik

Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan ini bisa terjadi akibat terpotongnya serat saraf misalnya: interkostal akibat mastektomi atau torakotomi; Tekanan kronis pada saraf-saraf perifer misalnya: invasi tumor yang menekan pleksus brakhialis atau lumbosakralis.

3. Nyeri Psikogenik

Nyeri psikogenik terjadi akibat faktor non fisik atau lazim disebut faktor kejiwaan. Faktor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya nyeri, terutama pada kanker yang stadium lanjut. Nyeri psikogenik dapat timbul akibat, Merah (anger), Cemas (anxiety), Depresi (Aziz, F, dkk, 2006).

2.1.4.3Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

(7)

2. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.

3. Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan kerena penyakit organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

4. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi kerena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain sebagainya (Asmadi, 2008).

2.1.5 Nyeri Kanker

Nyeri yang dihubungkan dengan penyakit kanker, dapat berarti nyeri akut maupun kronik. Keluhan nyeri kanker merupakan keluhan yang paling ditakutkan oleh penderita kanker (Desen, 2008).

Beberapa keadaan yang dapat dihubungkan dengan nyeri pada pasien kanker yaitu:

1. Nyeri yang langsung ditimbulkan oleh kanker misalnya infiltrasi kanker, terkenanya sistem saraf dan organ dalam.

2. Nyeri kanker juga dapat timbul akibat dari terapi dan pemeriksaan penunjang kanker misalnya pembedahan, atau radiasi.

2.1.6 Intensitas Nyeri

2.1.6.1 Pengukuran Intensitas Nyeri

(8)

sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Beberapa skala intensitas nyeri:

1. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VD diranking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsika nyeri (Andarmoyo, 2013).

(9)

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz)

2. Skala Intensitas Nyeri Numerik

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS) lebih digunak sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menila nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013).

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz)

Skema 2.2. Skala Intensitas Nyeri Numerik

3. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale

(10)

Skema 2.3. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale (Andarmoyo, S. (2013), Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz)

2.1.7 Manajemen Penatalaksanaan Nyeri 2.1.7.1. Manajemen Non Farmakologi

Manajemen nyeri non farmakologi merupakan tidakan menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakolgi. Dalam melakukan intervensi keperawatan/kebidanan, manajemen nonfarmakologi merupakan tindakan dalam mengatasi respon nyeri klien (Aziz, F, 2006).

Mendengarkan bunyi-bunyian untuk menurunkan ketegangan, relaksasi dengan menggunakan imajiner (imagenery-assisted relakxation), kompres panas, pijatan di perineum, mandi siram hangat

atau mendengarkan musik santai serta cahaya yang tentram (Bobak, 2005).

2.1.7.2. Manajemen Farmakologi

(11)

metode ini memerlukan instruksi dari medis. Ada beberapa strategi menggunakan pendekatan farmakologis dengan manajemen nyeri kanker dengan penggunaan analgesia maupun anastesi. Manajemen nyeri kanker dengan penggunaan analgesia merupakan penggunaan atau penghilangan sensasi nyeri, penghilangan sensasi nyeri ini tanpa disertai dengan hilangnya perasaan total sehingga seseorang yang mengkonsumsi analgesik tetap ada dalam keadaan sadar. Manajemen nyeri kanker dengan pengunaan anastesia merupakan menghilangkan sensasi normal yang di capai dengan memberikan obat-obatan anastesi baik secara regional maupun umum (Aziz, F, 2006).

2.2.Karsinoma Nasofaring

2.2.1. Defenisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (Efiaty, 2010).

2.2.2. Histologi

(12)

Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung (Herza, 2010).

2.2.3. Epidemiologi

Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90% yaitu:

1. Sifat endemis menonjol

Kanker nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, maupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/ 100.000. Namun relative sering ditemukan di berbagai Negara Asia Tenggara dan China. 2. Kerentanan suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Insiden

kanker nasofaring menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi kanker nasofaring, di antaranya mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara. 3. Fenomena aregasi familial

Keluarga tingkat I kanker nasofaring memiliki insiden kumulatif kanker nasofaring yang jelas lebih tinggi daripada silsilah pasangannya, sedangkan tumor tidak tampak perbedaan (Cyntia, 2012).

2.2.4. Etiologi Karsinoma Nasofaring

(13)

kepala lainnya,tumor tubuh organ lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun.

Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.

Letak geografis sudah disebutkan diatas, demikian pula faktor rasial. Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain (Efiaty, 2010).

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan-makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas.

2.2.5. Tanda Dan Gejala Karsinoma Nasofaring 2.2.5.1. Gejala Dini

(14)

dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (National Cancer Institute, 2009).

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin & Anida, 2007). 2.2.5.2. Gejala Lanjut

(15)

Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Nurlita, 2009).

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006).

(16)

Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Arima, 2006).

2.2.6. Terapi

Radiologi masih merupakan pengobatan utama dan diletakkan pada penggunaan mengavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus (Azwar, 2012).

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.

Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi paradiasi dengan epirubicin dan cis-patinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan lebih baik.

(17)

ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi (Azwar, 2012).

2.2.7. Gambaran Klinis

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai (Herza, 2010).

(18)

berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjar leher. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intracranial (Herza, 2010).

(19)

sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien (Herza, 2010).

2.2.8. Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Memindah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan dalam penelitian ini, kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan oleh wanita lajang usia dewasa madya juga diperoleh dari

“Pengaruh Daya Tarik Iklan, Kreativitas Iklan, dan Kredibilitas Endorser terhadap Evektivitas Iklan dan Minat Beli pada Minuman Serbuk Buah Merek Nutrisari”, Jurnal

Hasil penelitian menunjukkan untuk struktur yang ditinjau, daktilitas struktur 3.75 tidak dapat digunakan, karena pada gempa dengan periode ulang 135 tahun, beberapa elemen

[r]

Untuk server dan klien yang menggunakan sistem operasi Windows maka akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun dengan menggunakan sifat heterogen dalam jaringan tersebut,

Website toko ayiex furnitur ini juga dilengkapi dengan fasilitas pemesanan online, sehingga konsumen dapat mempersingkat waktu ketika

[r]

Kegiatan belajar menalar/mengasosiasi adalah mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, mengasosiasi atau