• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kota Medan merupakan kota yang memiliki banyak peninggalan sejarah.

Salah satunya yang dapat terlihat dengan jelas adalah bangunan-bangunan

bersejarah yang masih tampak hingga saat ini. Bangunan-bangunan ini telah

mengukir sejarahnya masing-masing sehingga dapat mendukung perkembangan

Kota Medan itu sendiri. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumatera Utara

mengatakan, tanpa bangunan bersejarah, kota Medan tidak akan menjadi

kotamadya. (

http://www.waspada.co.id/index.php/bangunan-sejarah-tentukan-kota-medan).

Bangunan-bangunan bersejarah termasuk dalam kategori cagar

budayamenurut UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dijelaskan bahwa

cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan (tangible heritage)

berupa:

1. Benda cagar budaya

2. Bangunan cagar budaya

3. Struktur cagar budaya

4. Situs cagar budaya, dan

5. Kawasan cagar budaya di darat dan/ atau di air

(2)

Benda, bangunan atau struktur dapat diusulkan menjadi benda cagar budaya,

bangunan cagar budaya atau struktur cagar budaya apabila:

a. Berusia 50 tahun atau lebih

b. Mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun

c. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama dan/atau kebudayaan; dan

d. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa

Berdasarkan penjelasan dalam UU tersebut di atas maka yang termasuk

dalam cagar budaya yang ada di Kota Medan antara lain adalah:

- Masjid Al Osmani

- Kawasan Kesawan

- Masjid Raya Al-Mashun

- Istana Maimun

- Rumah Tjong A Fie

- Kantor Pos Medan

- Gedung Kantor Bank Indonesia dan

- Taman Sri Deli yang masih menjadi perdebatan; dan lain-lain

(www.kompasiana.com/febrih/gedung-gedung-tua-bersejarah-di-medan_55297e61de788b458b)

Penelitian ini sendiri memfokuskan pada tiga situs cagar budaya yang ada

di Kota Medan yaitu Istana Maimun, Mesjid Raya Al-Mashun dan Taman Sri Deli

Ketiga situs cagar budaya ini saling berhubungan dan menjadi tempat iconic di

kota Medan dan ketiganya sama-sama masih digunakan baik untuk umum

(3)

Maimun, Masjid Raya Al-Mashun dan Taman Sri Deli adalah aset peninggalan

Kesultanan Deli yang memiliki unsur sejarah, ilmu pengetahuan, seni, pendidikan,

agama dan nilai budaya yang kuat di wilayah Sumatera khususnya di Sumatera

Utara.

Wilayah Sumatera Utara (dulunya Sumatera Timur) sudah terkenal sejak

dahulu sampai sekarang ini akan hasil buminya, seperti kapur barus, rotan, kayu

gaharu, gambir, perak, tembaga dan emas (Wolters, 1967: 122; Reid, 2010: 15,30

dalam Suprayitno, 2012 : 32). Potensi sumber daya alam dan posisinya yang

strategis ini telah menempatkan Sumatera Utara dalam jaringan perdagangan

internasional.

Hal ini menyebabkan wilayah pesisir timur Sumatera atau di muara-muara

sungai yang menghubungkan kawasan pedalaman dengan pesisir, tumbuh

Bandar-bandar perdagangan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik.

Keadaan geografis tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya kerajaan-kerajaan

seperti kerajaan Aru, Deli dan Serdang. Kerajaan-kerajaan ini memegang peranan

penting dalam hal perubahan penggunaan hutan menjadi lahan pertanian dan

perkebunan. Kesultanan Deli selalu memiliki peran politik antara Aceh, Siak dan

Johor. Namun berkat kepiawaian para penguasa pada masa Kesultanan Deli

tersebut, wilayah Kesultanan Deli tidak pernah menjadi arena pertempuran yang

mematikan peradaban manusia seperti pembunuhan atas bangsawan di Johor dan

Perak, Malaysia oleh pasukan Aceh.

Kesultanan Deli mencapai puncak kekuasaannya ketika hadir perusahaan

(4)

Deli mampu membangun istana dan masjid yang megah beserta simbol-simbol

kekuasaan lainnya di Kota Medan sebagai sebuah Kesultanan yang dihormati.

Kerajaan Deli juga memiliki peninggalan-peninggalan sejarah dalam bidang

arsitektur diantaranya Taman Sri Deli, Masjid Raya dan juga Istana Maimun.

Masa peralihan penjajahan Belanda ke Jepang pada tahun 1942 menjadi

salah satu faktor mulai runtuhnya ekonomi Kesultanan Deli. Hal ini terjadi karena

pada saat masa penjajahan Belanda konsesi tanah dan keuntungan yang diperoleh

dibagi antara Kesultanan Deli dan Belanda. Sementara, pada saat masa penjajahan

Jepang 1942-1945 hak tanah dan keuntungan yang diperoleh sepenuhnya menjadi

hak Pemrintahan Jepang pada saat itu.

Jepang yang menyerah pada perang dunia di tahun 1945 berakibat pada

selesainya masa pendudukan Jepang di bumi Nusantara. Kondisi seperti ini

menyebabkan terjadinya era kekosongan kekuasaan. Bagi rakyat Indonesia, ada

rasa kebebasan yang mendorong kebanyakan dari mereka untuk menganggap

dirinya sebagai pro-Republik, tetapi tanpa pengetahuan yang jelas tentang

konsekuensi dari sikap ini. Euforia Revolusi segera mulai melanda negeri ini.

Khususnya kaum muda Indonesia merespons kegairahan dan tantangan

kemerdekaan. Para komandan pasukan Jepang di daerah-daerah seringkali

meninggalkan wilayah-wilayah perkotaan dan menarik mundur pasukan mereka

ke pinggir kota guna menghindari konfrontasi. (Ricklefs, 2010 : 23).

Kondisi seperti inilah yang memantik aksi perlawanan dan kekerasan

terhadap kaum aristokrat yang selama ini dianggap pro penjajah dan bersikap

(5)

sebagai “revolusi sosial” ini juga terjadi di Surakarta, Jawa Tengah dan Aceh. Di

Surakarta, rakyat menuntut di hapuskannya hak tanah konversi. Hak konversi

merupakan hak feodal dalam penyewaan tanah kepada perusahaan perkebunan

orang-orang Eropa sebelum kemerdekaan dengan jangka waktu 75 tahun. Aksi

daulat dilancarkan oleh rakyat terhadap kepala-kepala desa warisan pemerintahan

kerajaan. Aksi daulat ini dapat dipandang sebagai proses defeodalisasi dari

struktur masyarakat feodal. (Suyatno: Prisma, 1984 : 45)

Pergolakan yang terjadi pada Maret 1946 ini, oleh Anthony Reid, disebut

sebagai Revolusi sosial. Konsep “revolusi” adalah salah satu konsep paling utama

dalam perangkat analisis sejarah perbandingan. Digunakan untuk apapun istilah

itu oleh para politisi, sejarawan mau tidak mau harus menggunakannya sebagai

sebuah kategori, terlepas dari memuji atau menyalahkan. Sebuah revolusi adalah

perombakan mendasar struktur sistem politik melalui kekerasan dalam waktu

yang relatif singkat. Meski revolusi didunia banyak sekali ragamnya, ada pola

tertentu yang dapat dikenali dalam hampir semua revolusi, mulai dengan tindakan

awal menghancurkan tata pemerintahan lama dan berakhir dengan pembentukan

pemerintahan tipe baru dan relatif stabil, biasanya jauh berbeda dari apa yang

dibayangkan oleh pemuka-pemuka revolusi tahap pertama. (Reid, 2011 : 320).

Revolusi sosial inilah yang menjadi titik balik peralihan kekuasaan

Kesultanan Deli. Kesultanan Deli yang dianggap sebagai pihak yang pro

pemerintah Kolonial akhirnya harus mengakui Kemerdekaan Indonesia dan juga

menyatakan keikutsertaannya dalam bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Nasionalisasi perusahaan Belanda yang dilakukan oleh Soekarno juga membuat

(6)

perusahaan Tembakau Deli. Kehilangan perusahaan Tembakau Deli menjadi

pukulan berat untuk perekonomian Kesultanan Deli. Hingga pada akhirnya

keluarga Kesultanan sudah tidak mampu mandiri mengelola Istana Maimun,

Masjid Raya Al Mashun dan Taman Sri Deli.

Revolusi sosial tersebut turut juga mengubah wajah Kesultanan Deli pada

masa kini, baik Pemangku Adat maupun Keturunan Sultan harus bekerja untuk

mendapatkan uang untuk menghidupi diri dan keluarganya. Hal inilah yang

membuat beragam permasalahan hadir, mulai dari penjualan asset-asset,

pertengkaran antar keluarga dengan keluarga karena merasa memiliki hak lebih

dan lain-lain.

Pada awal tahun ’80-an Istana Maimun yang terletak di Jl. Brigjen Jend.

Katamso ini dibuka untuk umum. Pembukaan istana yang dibangun atas

kerjasama pihak kerajaan dan pihak kolonial Belanda sehingga bangunan istana

memiliki banyak sekali perpaduan gaya arsitektural seperti arsitektur Islam,

Melayu, India, Spanyol, Belanda dan lain-lain.yang ini pada mulanya “hanya”

untuk mendekatkan Kesultanan Deli dengan masyarakat Kota Medan pada masa

kini sistem tiket sudah diberlakukan untuk memasuki istana dengan nominal Rp.

5.000 untuk umum.

Hal ini diberlakukan atas dasar keinginan yayasan pengelolaan istana agar

wisatawan ikut membantu dalam melakukan perawatan ke Istana Maimun itu

sendiri. Disinilah mulai terlihat bahwa Kesultanan sudah mulai kekurangan dana

(7)

terhadap bapak Tengku Moharsyah ketika diajukan pertanyaan: “Apakah

pemerintah gak membantu dalam hal keuangan Bang?”

“yah bisa kamu lihat sendiri, kami menghidupi diri kami sendiri. Yah dengan tiket masuk inilah, mau gak mau yah dicukup-cukupkan. Selain itu, kami juga menyewakan lapangan istana apabila ada event-event yah untuk membantu pemasukan tadi”

Menurut informasi yang diperoleh peneliti pada saat observasi dan

pengkajian pada sumber literatur yang ada menunjukan bahwa pengelolaan tiga

kawasan cagar budaya yaitu Istana Maimun, Masjid Raya dan Taman Sri Deli

pada saat ini dilakukan oleh keluarga Kesultanan Deli. Namun, menurut informasi

pada tahun ’90 Taman Sri Deli pernah dijual pada pihak pengusaha. Penjualan

asset ke pihak swasta ini mendapat pertentangan dari masyarakat Kota Medan dan

pihak-pihak pemerhati bangunan bersejarah. Melalui berbagai proses pada

akhirnya situs ini dibeli oleh pemerintah dan saat ini dikelola oleh Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata.

Untuk pengelolaan Istana Maimun pihak keluarga kerajaan cukup

mengalami kesulitan dana dikarenakan pemasukan “hanya” dari tiket masuk para

pengunjung di setiap harinya. Sementara itu pengelolaan Masjid Raya mendapat

dukungan dari infak yang diberikan oleh jama’ah yang Shalat di Masjid Raya

tersebut. Hal yang menjadi masalah adalah pemeliharaan bangunan cagar budaya

Taman Sri Deli yang mengalami kesimpang siuran dalam hal pengelolaan.

Sesungguhnya Pemko Medan dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kota Medan sudah diberikan mandat untuk mengelola Taman ini, tetapi sampai

(8)

Dengan berbagai fakta yang ada membuat peneliti merasa tertarik untuk

mengkaji permasalahan pengelolaan cagar budaya ini dalam sudut pandang

Antropologi. Menurut Bhaswara (2008) melakukan telaah antropologis terhadap

arsitektur akan membawa kita kepada sebuah dunia yang baru dan cukup

mengasyikkan. Baru dan mengasyikkan bagi calon Antropolog yang sedang

berusaha memahami dunia arsitektur dalam kacamata Antropologi.

Membicarakan arsitektur dari jendela antropologi hanya salah satu cara

untuk melihat arsitektur dari orbit luarnya. Dengan meminjam jendela antropologi

kita akan melihat arsitektur sebagai sebuah proses kebudayaan yang utuh. Gejala

dan wujud kebudayaan dalam arsitektur merupakan indikasi yang semakin

mendekatkan arsitektur dengan proses terciptanya kebudayaan (Bhaswara, 2008:

1)

1.2.Tinjauan Pustaka

Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979:186-187).

Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua, wujud

kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat.

Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera

penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan

banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak

bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap

(9)

Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia

adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang

berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan

adat istiadat (Koentjaraningrat, 1979: 187).

Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial

(Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai

keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang

berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan

membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat

tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem

sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat

pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.

Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik

(Koentjaraningrat, 1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena

merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau

perbuatan manusia dalam masyarakat.

Pembuatan bangunan Masjid Raya, Taman Sri Deli dan Istana Maimun

merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dari tiga wujud kebudayaan

tadi. Bahwa nilai-nilai ataupun ide yang ada didalam kepala masyarakat Melayu

terutama pihak Kesultanan Deli mempengaruhi mereka dalam setiap kegiatannya.

Sebagian besar nilai-nilai yang dianut oleh Kesultanan Deli yang bernuansa

Melayu adalah nilai-nilai Islam, sebagaimana diketahui Melayu memang identik

(10)

Nilai-nilai, ide dan aktifitas sehari-hari ini lah yang kemudian mencapai

puncaknya pada saat membuat suatu benda (artefak). Dalam penelitian ini benda

tersebut adalah berupa bangunan Istana, sebuah Masjid dan juga Taman. Kita

dapat melihat bagaimana nuansa Islam yang begitu kental berada didalam

bangunan Istana Maimun. Sementara itu dengan kedekatan hubungan antara

Kesultanan Deli dengan bangsa-bangsa lain membuat gaya arsitektur Masjid Raya

dan Taman Sri Deli memiliki perpaduan corak dari berbagai macam kebudayaan

seperti Arab dan Eropa.

Dalam mengkaji sejarah pengelolaan warisan budaya di Indonesia. Daud

dalam tulisannya berjudul : “Gagasan Untuk Nominasi Benda Cagar Budaya Di

Indonesia” (Tanudirjo, 2003: 1-3) mengatakan bahwa harus diakui, minat terhadap warisan budaya di Indonesia dan upaya pelestariannya muncul dan

berkembang dalam alam lingkungan kolonial, terutama atas usaha komunitas

Eropa pecinta barang seni dan benda unik-antik. Upaya G.E. Rumphius, seorang

ahli ilmu alam yang banyak berkarya di Maluku, untuk menguraikan berbagai

temuan kuno seperti kapak batu, kapak perunggu, dan nekara (sejenis genderang)

perunggu dengan mitos-mitos yang ada di baliknya dalam bukunya berjudul

D’Amboinsche Rariteitkamer (terbit 1705 dalam Tanudirjo 2003) seringkali dianggap sebagai pemicu minat terhadap warisan budaya di Indonesia.

Sejak itu, banyak peminat benda seni-unik-antik mulai melakukan

penelitian dan mengoleksi tinggalan- tinggalan masa lampau termasuk

candi-candi dan situs prasejarah. Bahkan, pada tahun 1778 berdirilah organisasi peminat

dan peneliti benda seni dan antik yang diberinama Koninklijk Bataviaasch

(11)

museum yang kini menjadi Museum Nasional di Jakarta. Ketika Sir Thomas S.

Raffles menjadi gubernur jendral di Indonesia (awal abad ke-19), ia dan para

asisten-nya giat meneliti dan mempopulerkan warisan budaya Indonesia di luar

negeri. Bahkan Raffles sempat menulis buku The History of Java yang

monumental (Tanudirjo, 2013: 3).

Upaya orang-orang Inggris ini amat mengesankan pemerintah Belanda,

sehingga ketika penguasaan atas Indonesia kembali ke tangan Belanda mereka

mendirikan komisi khusus yang menangani warisan budaya Indonesia (tahun

1822). Saat itulah, upaya pengelolaan warisan budaya untuk pertama kalinya

secara formal menjadi urusan ‘negara’, meskipun kenyataannya komisi yang

dibentuk tidak bekerja efektif. Tahun 1885, pemerintah Belanda ikut mendukung

berdirinya komunitas peminat tinggalan sejarah dan purbakala di Yogyakarta

yang ternyata lebih aktif bekerja ketimbang komisi pemerintah. Lembaga ini

mewariskan museum yang kini dikenal sebagai Museum Sono Budoyo di

kompleks Kraton Yogyakarta (Tanudirjo 2013 : 5).

Tahun 1900, benda-benda warisan budaya Indonesia yang dipamerkan

dalam Pameran Kolonial Internasional di Paris mendapat perhatian yang luar

biasa dari khalayak Eropa. Sukses ini mendorong pemerintah Belanda untuk

menggiatkan lagi komisi pengelola warisan budaya di Indonesia. Setahun

kemudian J.L.A. Brandes ditunjuk secara khusus untuk mengelola lembaga yang

dinamai Commisie in Nederlandsche-Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op

Java en Madoera. Komisi ini bekerja efektif cuma hingga tahun 1905 dan

kinerjanya merosot setelah ditinggal Brandes yang wafat tahun itu juga. Baru

(12)

Bagi Krom, sebuah komisi tidak cukup untuk mengurusi warisan budaya

Indonesia yang begitu banyak dan beragam, karena itu ia mengusulkan agar

lembaga ‘komisi’ ditingkatkan menjadi ‘jawatan’ dengan diperkuat oleh peneliti

arkeologi dan sejarah yang handal.

Atas desakan Krom, akhirnya pada tanggal 14 Juni 1913 pemerintah

Belanda menetapkan berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie

(Jawatan atau Dinas Purbakala). Sejak itu, semua urusan yang berkaitan dengan

warisan budaya di negara ini, termasuk upaya untuk mengumpulkan, mendaftar,

meneliti, serta melestarikan dan memanfaatkannya menjadi urusan negara. Bagi

Kohl and Fawcett (dalam Tanudirjo : 2003) pelembagaan seperti ini diistilahkan

sebagai ‘Arkeologi pengabdi negara’ atau “archaeology in the service of the

state”.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan warisan budaya berangsur-angsur

diserahkan kepada bangsa Indonesia sendiri. Namun, kebijakan pengelolaan tidak

mengalami perubahan berarti. Monumenten Ordonnantie 1931 tetap menjadi

landasannya. Urusan warisan budaya makin ketat menjadi urusan negara. Tidak

mengherankan jika para peneliti dan petugas pelestariannya pun (bahkan juga

pengajar arkeologi) adalah pegawai negeri. Pada umumnya, mereka memaknai

warisan budaya secara ‘formal’ sebagaimana disebut dalam MO 1931 yang lebih

menekankan pada nilai penting dari segi keilmuan. Padahal, masyarakat tentu

memiliki pemaknaannya sendiri yang lebih beragam dan umumnya bersifat

praktis. Akibatnya, upaya pengelolaan warisan budaya di Indonesia seringkali

diwarnai dengan konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah (a.l.

(13)

Ironinya, ketika undang-undang baru tentang benda cagar budaya

pengganti MO 1931 dirancang pada awal 1990-an, cara pandang yang lama itu

masih dominan. Akhirnya, Undang- Undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda

Cagar Budaya (UU BCB) yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan MO 1931.

Peranan negara tetap sangat dominan, sementara hak dan peran partisipatif

masyarakat luas belum terakomodasi dengan baik.

Penelitian di situs-situs purbakala hanya dilakukan oleh lembaga

penelitian pemerintah, sebagaimana juga di bidang pemugaran dan pelestarian.

Pemanfaatan benda cagar budaya pun hampir selalu ditentukan oleh pemerintah

dan amat jarang memperhatikan aspirasi masyarakat. Konflik kepentingan antara

berbagai pihak yang terjadi baik di situs Sangiran maupun di Borobodur hanyalah

sedikit contoh yang terungkap secara luas. Sikap masyarakat luas terhadap

kebijakan pengelolaan warisan budaya menjadi skeptis atau bahkan apatis. Hal ini

antara lain juga diakibatkan oleh sikap pemerintah yang cenderung melakukan

pendekatan ‘satu arah dari atas ke bawah’ (trickle down) dengan dilatari dengan

sikap yang cenderung tidak peduli kepada masyarakat luas.

Padahal, dalam banyak hal, pemerintah sendiri belum mampu mengemban

tanggung jawab mereka untuk melaksanakan amanat UU BCB itu. Bahkan,

pengelola warisan budaya kadangkala tidak mampu mencegah kerusakan dan

pemusnahan warisan budaya oleh unsur pemerintah lainnya. Di era Global ini,

masyarakat banyak mengalami pencerahan termasuk dalam bidang warisan

budaya, sehingga makin sadar akan hak-hak mereka. Ada kesadaran yang makin

(14)

itu, segala sesuatu yang akan terjadi pada sumberdaya budaya itu haruslah

sepengetahuan masyarakat luas (Tanudirjo, 2003: 7).

Kesadaran seperti juga muncul di Indonesia dalam beberapa dasawarsa

terakhir ini. Masyarakat tidak lagi terlalu menggantungkan harapan terhadap

upaya pemerintah dalam pelestarian warisan budaya dan juga sering meragukan

kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan warisan budaya. Situasi seperti ini

akhirnya memunculkan berbagai organisasi atau lembaga kemasyarakatan

maupun pribadi-pribadi yang berperhatian terhadap pelestarian warisan budaya.

Tidak mengherankan, pendukung lembaga-lembaga ini justru berasal dari

lingkungan di luar arkeologi yang masih terlena sebagai ‘state archaeology’.

Namun saat ini yang terjadi di kawasan berikat1 Kota Medan menjadi kebalikan akan semua tulisan Daud tersebut. Pemerintah bukan saling berebut

untuk mengelola dan memanfaatkan cagar budaya tersebut. Akan tetapi

pemerintah malah memalingkan wajahnya terhadap pengelolaan cagar budaya

dengan berbagai alasan. Bukti yang sangat nyata saat ini adalah usaha dari pihak

Kesultanan Deli yang menjual Taman Sri Deli kepada pihak swasta karena sudah

tidak memiliki dana untuk mengelola Taman Sri Deli tersebut walaupun pada

akhirnya dikembalikan kepada pemerintah karena berbagai tekanan yang hadir.

Dalam artikelnya yang berjudul “Sekilas tentang Warisan Budaya”

Tanudirjo memaparkan bahwa istilah “warisan budaya” sudah begitu akrab di

telinga kita (Tanudirjo, 2006 : 1). Namun, ternyata tidak mudah untuk

merumuskannya secara tepat dan lugas (discrete). Ada cukup banyak pengertian

      

1Berikat merupakan Istilah yang dipakai oleh masyarakat untuk menyebut kawasan yang saling 

(15)

warisan budaya, yang seringkali mempunyai nuansa pemahaman yang berbeda.

Karena itu, pada bagian tinjauan pustaka ini perlu kiranya dikemukakan beberapa

kerangka konseptual tentang warisan budaya, agar dapat diperoleh suatu

pemahaman yang cukup luas tentang istilah itu.

Bukan bermaksud untuk mengulang bahasan sebelumnya, tetapi untuk

merunutkan secara lebih sistematis saja bahwa apabila merujuk pada pengertian

umum “budaya”, maka didalam istilah “warisan budaya” akan terkandung tiga

unsur budaya, yaitu gagasan, tindakan, dan budaya bendawi (Koentjaraningrat,

1979: 12). Unsur yang disebut pertama dan kedua bersifat tak-bendawi

(intangible), sedangkan unsur ketiga lebih bersifat bendawi (tangible) . Jadi,

secara hurufiah, pengertian warisan budaya merujuk pada semua unsur budaya

yang telah dihasilkan manusia (intangible maupun tangible), serta diteruskan dari

generasi sebelumnya ke generasi sekarang dan mendatang. Untuk lebih

memahami konsep ini, barangkali skema Michael B. Schiffer (1976, 1985 dalam

Tanudirjo 2006: 6) di bawah ini dapat membantu kita memahami hakekat warisan

budaya dalam proses budaya.

Schiffer menunjukkan dua konteks yang mewadahi proses budaya, yaitu

konteks sistem dan konteks arkeologi. Konteks sistem mewadahi proses budaya

yang semua unsur budayanya, baik yang tangible maupun intangible, masih dapat

teramati. Dalam kaitan dengan ini, sering digunakan istilah warisan budaya hidup

(living heritage). Semua unsur itu tertuang dalam proses budaya, yang terdiri dari

aktivitas : dapat – buat – pakai – pakai ulang – daur ulang –

buang/hilang/tertinggal. Sebaliknya, dalam konteks arkeologis, unsur budaya yang

(16)

sudah tidak ada lagi. Seringkali tinggalan ini disebut monumen mati (dead

monuments). Unsur bendawi ini kalau dibiarkan bisa jadi akan mengalami

kepunahan, baik karena kegiatan manusia (C-transform) maupun kegiatan alam

(N-transform). Karena itu, ada upaya untuk memasukkan kembali unsur bendawi

itu ke dalam konteks sistem agar dapat dimanfaatkan kembali dan dilestarikan.

Proses ini disebut reklamasi atau revitalisasi. Dalam penelitian ini Masjid Raya

dan Istana Maimun masuk dalam kategori living heritage karena sampai saat ini

masih digunakan oleh keluarga sultan dan Masyarakat umum. Sementara Taman

Sri Deli masuk dalam kategori benda arkeologis.

Nilai (values) dalam kegunaan sumberdaya budaya (cultural resources)

menurut Darvill (dalam Kriswandhono 2012) dapat dimanfaatkan untuk keperluan

sebagai berikut : Archaelogical research, Scientific Research, Creative arts,

Education, Recreation and tourism, Symbolic representation, Legitimation of action, Social solidarity and integration, Monetary and economic gain. Jadi masih banyak hal-hal yang bisa dikerjakan untuk pengelolaannya.

Terlepas dari aspek pendidikan dan penelitian, maka permasalahan

menjadi lebih jelas dan terfokus untuk dibicarakan, yakni aspek pelestarian dan

pengelolaan. Maksud penyederhanaan ini bukan untuk mengesampingkan aspek

pendidikan dan penelitian, tapi untuk memfokuskan pada istilah- istilah yang

sesuai dengan UU RI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pelestarian

dipahami sebagai kesatuan pengertian Perlindungan – Pengembangan –

Pemanfaatan, sedangkan Pengelolaan semestinya seperangkat alat dan peralatan

(17)

Mencermati ’manfaat’ versi Darvill maka sumberdaya budaya (cultural

resources) atau warisan budaya (cultural heritage) menjadi murni urusan

manajemen, walaupun didalam skenario besarnya peran arkeolog tetap mutlak

dibutuhkan.

Untuk itu dalam tulisan ini sisi manajemen dari pengelolaan cagar budaya

menjadi penting, mengingat penulis sebisa mungkin untuk menghindari

keruwetan dalam penulisan jika harus menulis dalam kerangka berfikir yang

100% arkeologis, ataupun 100% Antropologis. Peneliti mengambil jalan tengah

dengan mengkaji permasalahan ini dalam kacamata antropologi, manajemen dan

arkeologi.

Menurut Stoner dkk (dalam Kriswhandono 2012 : 2) manajemen adalah

suatu proses yang terdiri atas rangkaian kegiatan, seperti perencanaan,

pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/ pengawasan, yang dilakukan

untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui

pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.

Definisi Manajemen : (Stoner, dkk. Dalam Kriswhandono 2012)

Manajemen adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya untuk mencapai

suatu hasil atau mewujudkan suatu harapan yang akan diperoleh (visi), dengan

melakukan strategi-strategi tertentu (misi) yang akan didukung oleh lima unsur

manajemen, yaitu :

1. Perencanaan (planning)

(18)

3. Petunjuk dan Pengarahan (directing)

4. Pelaksanaan (actuating)

5. Pengontrolan dan Evaluasi (controlling)

Di dalam pengertian manajemen di atas apabila dikaitkan dengan

pemanfaatan sumberdaya budaya materi yang paling awal harus ditentukan adalah

visi dan misi, dan menentukan visi pemanfaatan. Untuk menjabarkan misi, maka

dimulai dengan kerangka berfikir strategik melalui manajemen strategis.

Manajemen strategis adalah sekelompok keputusan dan tindakan

manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang organisasi. Manajemen

strategis mencakup semua dasar fungsi manajemen; yakni strategi organisasi

harus direncanakan, diorganisasi, dilaksanakan, dan dikendalikan( Robbin &

Coulter 2004: 196). Sedangkan Proses Manajemen Strategis adalah proses

delapan langkah yang mencakup perencanaan, implementasi, dan evaluasi

stategis.

1.3.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka yang telah

diuraikan maka masalah penelitian yang akan saya rumuskan adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana konsep pengelolaan cagar budaya; kawasan berikat ?

2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam pengelolaan ? dan

(19)

1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya

konsep pengelolaan cagar budaya kawasan berikat di Kota Medan. Kemudian

secara simultan juga menjelaskan siapa saja pihak-pihak yang mengelola cagar

budaya kawasan berikat tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengungkap masalah

yang membelit kawasan berikat tersebut sehingga memaksa pemiliknya untuk

menyewakan kawasan cagar budaya tersebut kepada pihak swasta untuk tujuan

komersil.

Selain memiliki tujuan, penelitian ini juga memiliki manfaat bagi bidang

ilmu pengetahuan dan yang lebih penting adalah sebagai bahan penjelasan untuk

melihat bagaimana pengelolaan cagar budaya di Indonesia terkususnya di Kota

Medan. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan menjadi bahan pertimbangan

dalam usaha menyelamatkan kawasan-kawasan ataupun benda-benda cagar

budaya lainnya di Indonesia.

1.5.Metode penelitian

Metode penelitian yang akan saya gunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian kualitatif yang bertipe deskriptif. Penelitian ini akan

mengoptimalkan bermacam-macam instrumen penelitian guna mencari informasi

yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

Data yang dikumpulkan nantinya akan diklasifikasikan menjadi dua jenis

data yakni data yang bersifat sekunder dan data yang bersifat primer. Data yang

bersifat sekunder merupakan data literatur yang sifatnya tambahan yang berasal

(20)

prioritas utama dalam penelitian ini berupa hasil yang didapatkan dari lapangan

melalui observasi dan wawancara mendalam.

Adapun diantara cara yang akan dilakukan peneliti dalam usaha

mendapatkan data untuk menjawab masalah penelitian ini adalah :

a. Observasi

Observasi yang akan saya lakukan dalam penelitian ini adalah teknik

pengamatan lapangan dalam hal ini bangunan cagar budaya. Observasi dilakukan

pada objek tempat penelitian yang berlokasi di Kecamatan Medan Maimun, Kota

Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Tujuan dari dilaksanakannya observasi ini adalah untuk memotret kondisi

dan pengelolaan keterkaitan ketiga bangunan berikat tersebut. Serta bagaimana

perlakuan masyarakat umum terhadap ketiga cagar budaya tersebut sebagai

cerminan sikap masyarakat terhadap cagar budaya tersebut.

Peneliti akan mencari data melalui wawancara dengan informan yang

mengerti betul sejarah dan manajemen pengelolaan kawasan cagar budaya berikat

tersebut. Peneliti juga akan mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang

mengelola kawasan Cagar budaya tersebut untuk menyempurnakan data.

b. Wawancara

Peneliti akan mencari data melalui wawancara dengan informan yang

mengerti betul sejarah dan manajemen pengelolaan kawasan cagar budaya berikat

tersebut. Peneliti juga akan mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang

(21)

Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam yang mana peneliti berusaha memperoleh data melalui tanya jawab dan

bertemu secara langsung dengan informan yang sudah dipilih berdasarkan proses.2

Adapun daftar informan yang akan dimintai informasi oleh peneliti adalah

sebagai berikut :

- Pihak Kesultanan Deli sebagai pihak yang memiliki mengelola

Masjid Raya, Istana Maimun, dan Kolam Sri Deli

- Nazir Masjid Raya sebagai orang yang selalu bersinggungan dalam

pengelolaan secara langsung pada Masjid Raya

- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang menjadi perpanjangan tangan

Pemerintah dalam hal pengelolaan aset-aset wisata

- Dinas Perumahan & Pemukiman Kota Medan sebagai perpanjangan

tangan Pemerintah dalam hal pemugaran Taman Sri Deli

- Badan Warisan Sumatera (BWS) sebagai lembaga yang mengawasi

aset-aset bersejarah di Kota Medan

- Balai Arkeologi Medan

- BP3

Dalam melakukan penelitian ini tentunya peneliti akan memerlukan tools

atau alat penelitian guna membantu peneliti untuk menjalankan kegiatan mencari

datanya. Adapun alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

      

(22)

- Pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara ini

sangat diperlukan oleh peneliti guna membantu peneliti mengarahkan

poin-poin utama dalam menyampaikan pertanyaan kepada informan.

- Alat perekam. Peneliti juga memerlukan alat perekam guna

menyimpan setiap informasi yang diucapkan oleh narasumber. Hal ini

dilakukan mengingat keterbatasan otak manusia dalam mengingat

setiap kata yang diucapkan.

- Kamera Foto. Kamera diperlukan oleh peneliti untuk mengabadikan

momen-momen yang kiranya dirasa penting dalam menggambarkan

suasana penelitian.

- Peneliti. Dari sekian banyak alat penelitian yang digunakan tentu

yang paling penting adalah si peneliti itu sendiri. Sebab peneliti

mempunyai tugas penting dalam menganalisis data yang telah didapat

serta menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Kemudian untuk tahap analisis nya peneliti akan menggunakan analisis

data secara kualitatif yang juga menjelaskan ilmu Antropologi sosial budaya dan

ilmu Arkeologi di dalamnya. Data akan dikelompokkan pada bagian-bagian yang

sesuai dengan struktur penulisan yang peneliti rasa penting, dan data yang dipilih,

akan berdasarkan relevansi rumusan masalah yang dibuat.

1.6 Pengalaman Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan oktober 2015, jauh sebelum itu penulis

sudah diperkenalkan oleh Dosen Pembimbing penulis dengan seminar-seminar

(23)

diperkenalkan kepada ibu Isnen Fitria dari Arsitektur USU dan juga pendiri BWS

(Badan Warisan Sumatera) sebagai lembaga independen yang memang sangat

peduli dengan Cagar Budaya di Kota Medan dan peneliti juga pernah ikut seminar

yang didakan BWS yakni “Desain Strategi dan Rencana Pelestarian Cagar Budaya

Kota Medan” pada tanggal 22 September 2015.

Penelitian saya dimulai ketika saya ingin mengantarkan surat penelitian

kepada BWS sekitar tanggal 13 Oktober 2015, ketika saya mencari alamat mereka

saya membuka smartphone yang saya miliki dan melihat website mereka, ternyata

website yang mereka miliki sepertinya sudah lama tidak dipergunakan karena

tidak ada berita ataupun kegiatan kegiatan dari BWS yang disampaikan.

Sampailah saya pada bagian profil dan melihat alamat mereka di Jalan Sei

Selayang No 39, Medan Baru. Kota Medan didalamnya juga terletak nomor

handphone. Tanpa berfikir panjang saya lalu mendatangi alamat yang tertera tadi,

tanpa disangka alamat yang diberikan itu salah dan nomor telfon yang bisa

dihubungi pun juga telah berpindah tangan dan bukan BWS lagi yang

mengelolanya.

Kemudian saya kembali ke rumah dengan wajah murung, lalu saya

kembali membuka Handphone saya dan kembali berselancar di internet tentang

BWS ini, sampailah saya pada sebuah berita yang diselenggarakan oleh BWS.

Tanpa disangka artikel berita tersebut memasukkan Nomor Bang Khairul yang

mana bang Khairul ini juga sempat saya kenal di beberapa seminar yang diadakan

oleh BWS, kemudian singkat cerita berjumpalah kami pada tanggal 15 oktober

2015 dan meminta izin kepadanya agar langsung wawacara sambil melihat

(24)

Kemudian sampailah kami pada pertanyaan bahwa Taman Sri Deli dijual

dan bagaimana tanggapan abang sendiri (BWS) terhadap hal tersebut :

“itu begini ceritanya, kolam sri deli kan memang asset kesultanan jadi mereka berhak menjualnya kepada pengusaha, pengusaha tersebut ingin membangun hotel. Tetapi masyarakat yg peduli dan BWS tidak setuju kami juga sempat turun ke pemko dan lapangan dan akhirnya pemko membelinya lagi yah bicara untung rugi yah mau bilang apa yah terpaksa pemko membelinya dengan harga yg fantastis, tahun penjualannya kira kira 2002-2003 begitulah

Kalo dari pandangan saya memang lebih baik ada orang yg membeli asset asset ini sehingga management bisa lebih terfokus dalam hal pengelolaan tapi harus ada kesepakatan bahwa si pembeli tetap mempertahankan cagar budaya tersebut, seperti contoh ada namanya blue house dipenang itu dibeli pihak ketiga dan pengusahanya tetap mempertahankan konsep bangunan lebih baik pengelolaannya dalam hal management juga lebih baik dan juga lebih terkontrol karena satu pemilik. Itu jauh lebih baik dari keadaan istana apabila masih dimiliki oleh pihak kesultanan. Apabila tetap dimiliki kesultanan tidak akan jauh lebih baik deh ini aja baru punya anak dua, nanti bercucu lagi dia bercicit lagi dia mau dibagi berapa lagi kesultanan. Apabila tidak dimiliki kesultana ada 2 kemungkinan, akan lebih baik atau lebih buruk lagi. Tapi masyarakat bisa lebih banyak berbicara apabila itu tidak milik sultan lagi, masyrakat lebih bisa memberikan pendapatnya. Nah apabila dibandingkan dengan kesultanan jogja, yah kesultanan pasti kalah, karena kesultanan jogja masih memiliki asset yg sangat banyak dan mereka masih berkuasa, jadi pasti kesultanan deli kalah jauh.”

Sebenanrnya alas an peneliti memilih BWS sebagai tempat untuk

melakukan wawancara adalah karena BWS lembaga yang indepent dan tidak

memihak kepada siapapun dalam hal ini, seperti pernyataan di atas, jujur saja

peneliti merasa terkejut dengan jawaban itu. Pemikiran- pemikiran dari Bang

Khairul ini yang membuat skripsi peneliti dan penelitinya sendiri ikut berkembang

(25)

Pada tanggal 14 oktober 2015 saya mengirim surat penelitian dari FISIP

USU kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, saya masih ingat

ketika saya datang kesana pukul 10:00 pagi dan resepsionis dinas tersebut

menyuruh saya kembali pada pukul 14:00 untuk mengetahui surat saya diterima

atau tidak untuk penelitian di Dinas mereka. Kemudian, saya pun datang sekitar

pukul 14:15 dan saya pun kembali ke resepsionis yang bersangkutan dan

menanyakan surat yang saya kirim tadi. Beliau pun mengajak saya menjumpai

seorang pria untuk menanyakan hal tersebut,tanpa saya duga saya menjumpai

bapak tersebut di kantin dan beliau sedang bermain catur dengan temannya dan

beliau menyuruh saya kembali besok hari karena beliau ingin melanjutkan

permainannya. Jujur saja saya kecewa dengan sikap seorang PNS yang seperti itu

yang mana beliau digaji oleh masyarakat sementara di tempat kerja beliau seperti

itu,

Karena saya esok harinya atau tanggal 15 Oktober sudah berjanji dengan

Bang Khairul lalu kembalilah saya mendatangi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kota Medan tanggal 16 Oktober 2015 dan menanyakan kembali pada kakak

resepsionis yang beberapa hari lalu saya jumpain. Lalu kami kembali menjumpai

bapak yang beberapa hari lalu saya jumpai dan kali ini iya berpakaian rapi dan

langsung mempersilahkannya masuk ke ruangannya lalu dia langsung menyetujui

proposal penelitian saya dan langsung mengajak saya menjumpai seorang wanita

yang memang menjadi juru bicara dinas Kebudayaan dan pariwisata kota Medan.

Kemudian peneliti langsung memperkenalkan diri dan wawancara ke wanita

(26)

yang sudah lakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk

mempromosikan asset-asset wisata di kota Medan?”

“yah hanya melalui brosur-brosur, kemudian kalo datang tamu tamu dari mancanegara kita bawa ke istana, kemudian kita juga ada program ke sekolah-sekolah (SD dan SMP) kita bawa juga ke istana, mesjid raya dan itu program berkelanjutan setiap tahun”

“konsep2 pariwisata dari pemko sendiri kayak mana bu?”

“yah hanya melalui brosur-brosur saja”

Disini peneliti bingung untuk menyampaikan pertanyaan apalagi yang

akan ditanyakan karena sepertinya ibu wanita jubir ini tidak mengetahui apa saja

yang saya tanyakan, kemudian peneliti menanyakan proses tukar guling Taman

Sri Deli kepada juru bicara tersebut dia pun menjawab

“Kalo tentang kayak mana proses tukar guling dan pemugaran kolam sri deli itu lebih ke dinas perumahan dan pemukiman nak karena kami dari dinas pariwisata hanya menikmatinya dan menjadikannya sebagai objek wisata. Kalopun soal pemugaran itu ditanyakan pada dinas perumahan dan pemukiman nak, lebih bagus kau tanya kesana”

Lalu saya datang ke Dinas Perumahan dan Pemukiman kota Medan

tepatnya pada tanggal 13 Nov 2015 cukup lama jarak antara penelitian di Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata dengan Dinas Perumahan dan Pemukiman ini, karena

ribetnya pengurusan surat menyurat ke dinas dinas terkait dengan skripsi saya,

dan saya pun jenuh dengan data yang saya bisa ambil dari dinas dinas itu.

Sesampainya saya di Dinas ini keribetan kembali terjadi dan saya disuruh

menunggu sekitar 30 menit lebih di pelataran parkir dinas tersebut. Lalu mulailah

(27)

ketika saya berikan interview guide beliau langsung menyuruh saya menjumpai

Kabag Keuangan Dinas Perumahan dan Pemukiman yaitu ibu Elinadra. Peneliti

pun bertanya “apa sebenarnya tupoksi dari dinas Perumahan dan Pemukiman ini

bu”

“tupoksi kami sebenarnya rehab kantor, gedung, jalan setapak, air bersih, mck”

“Jadi hubungan dinas ini dengan pemugaran kolam sri deli apa yah bu?”

“itu ditanyakan kepada KPA(kuasa pengguna anggaran) kami hanya diberi perintah melakukan pemugaran”

Peneliti semakin melihat banyak hal ganjil mengenai pemugaran ini

sendiri karena sepertinya ada pesanan dari pejabat-pejabat terkait terhadap hal itu

(pemugaran dan pembelian Taman Sri Deli)

Kemudian pada tanggal 17 November 2015, peneliti mengirimkan surat

izin penelitian ke Istana Maimun melalui receptionis yang juga berjualan tiket di

istana maimun. Keesokan harinya saya dihubungi oleh pihak istana dan

mempersilahkan saya datang pada hari Rabu 19 Nov 2015.

Rabu tanggal 19 Nov 2015 sekitar pukul 15:30 datang ke istana maimun,

pada penelitian kaliini saya bersama teman saya Bendry Ritonga, awalnya kami

melihat lihat dahulu kemegahan Istana Maimun ini, ketika kami melihat kedalam

kami melihat orang yang lalu lalang hanya untuk berfoto di dalam ruangan istana

maimun itu sendiri, masyarakat tidak tertarik mengenai sisi kesejarahan istana ini

sendiri. Setelah kami melihat lihat semua bagian istana kami menemukan papan

(28)

terletak di sudut ruangan dan apabila wisatawan yang memang bukan ingin

melihat keseluruhan istana dia tidak akan menemukan tulisan itu.

Kemudian kami memulai wawancara dengan Tengku Moharsyah yang

menjabat sebagai sekretaris Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, saya bertanya

“sejak kapan istana maimun ini dibuka untuk umum bang”

“ . . . Istana Maimun dibuka setahu saya itu pada akhir tahun 70an atau 80an awal. Dimana Istana Maimun terbuka untuk umum pada masa itu bagaimana Sultan Deli beserta keluarga Kesultanan yang lainnya ingin menunjukan relevan dia kepada masyarakat yang dulunya pada masa pemerintahan Kesultanan Deli dimana Istana Maimun ini menjalankan fungsinya sebagai Istana Negara tempat Sultan Deli melaksanakan upacara adat beserta keluarganya tentu menjadi area steril bagi siapapun yang tidak berkepentingan. Kemudian dengan berjalannya waktu Sultan Deli beserta keluarga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih dekat kepada Sultan untuk mendatangi Istana Negaranya secara umum yang berjalan waktunya yang terakhir menjadi tempat destinasi wisata budaya . . .”

Banyak yang diceritakan bang Moharsyah ini kepada kami mengenai

sejarah kesultanan itu sendiri, seperti salah satu contoh yang baru kami ketahui

adalah hukum yang berlaku pada masa pemerintahan Kesultanan Deli terbagi

menjadi 2 hukum yang dibuat oleh Belanda dengan daerah yang meliputi Timur

Kesultanan Deli yaitu daerah Kesawan sampai Pulo Brayan, dan hukum

Kesultanan Deli yang meliputi wilayah Barat sampai daerah Pancurbatu. Ini

hanya salah satu contoh dari banyaknya keistimewaan Kesultanan Deli pada

zaman dahulu.

Pada hari itu juga setelah selesai Sholat Isya kami melakukan penelitian ke

(29)

sekretaris badan kenadziran masjid raya. Saya bertanya tentang “bagaimana

sumber dana untuk mengelola Masid Raya ini”

“sumber dana kami kebanyakan dari infaq, kadang pemerintah mau bantu juga Cuma jarang jarang yah di cukup-cukupkan sajalah”

Ini menambah miris peneliti dengan tidak adanya bantuan pemerintah

yang datang padahal situs cagar budaya ini adalah situs keagamaan dan menjadi

ciri khas umat Islam di Kota Medan.

Selang beberapa lama dan juga sambil mengerjakan Skripsi ini saya baru

berkesempatan mendatangi Balai Arkeologi Medan untuk melakukan wawancara

bersama Bapak Lucas P Koestoro dan Bapak Ketut Wiradyana selaku peneliti di

Balai Arkeologi medan.

Saya pun mewawancarai pak Lucas P Koestoro, saya akui beliau orang

yang sangat ahli dalam bidang ini dan penjelasan-penjelasan yang beliau jabarkan

membuka pengetahuan saya yang selama ini sempit menjadi sangat luas, dan

mewawancarai pak Ketut Wiradyana juga sama tetapi penjelasan pak Ketut sangat

jelas menunjukkan bahwa beliau seorang dosen dengan penelitian sebagai

tonggak pemecahan masalah interkoneksi pengelolaan Istana Maimun.

Itulah pengalaman selama melakukan penelitian, banyak hal baru dan

pandangan-pandangan baru yang didapat oleh peneliti dengan berbagai

wawancara yang telah dilakukan, diharapkan dengan banyaknya orang yang

peneliti wawancarai akan semakin menjelaskan bagaimana seharusnya

Referensi

Dokumen terkait