• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 9 Pid.sus 2016 PN-Gst)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak (Studi Putusan Nomor 9 Pid.sus 2016 PN-Gst)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu

pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.

Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam

produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh

melalui satelit dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dampak negatifnya

antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang

berpotensi meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai

bentuk. 1

Mengingat bahwa pembangunan nasional berjalan seiring dengan

kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan

bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku

demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat

dikategorikan sesuai dengan norma dan ada yang tidak. Seseorang akan cenderung

berusaha memenuhi kebutuhannya dalam rangka mempertahankan hidup. Bagi

mereka yang memiliki keahlian dibidang tertentu dan ditunjang dengan tingkat

pendidikan yang memadai akan cenderung memiliki tingkat ekonomi yang lebih

terjamin karena mereka dapat memperoleh pekerjaan berdasarkan keahlian yang

dimilikinya tersebut. Lain halnya bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan

yang bisa dikatakan rendah dan tidak memiliki keahlian tertentu. Mereka

1

(2)

cenderung memiliki tingkat ekonomi yang menengah ke bawah. Seiiring

kemajuan jaman, kebutuhan mereka akan terus bertambah sedangkan di sisi lain

perekonomian mereka semakin terpuruk, serta dapat memicu seseorang untuk

mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhannya dengan melakukan

tindakan yang dapat merugikan masyarakat, yaitu kejahatan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, anak sebagai

korban kekerasan selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari

2011 sampai 2015, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178

kasus, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus, 2015

tercatat 6006 kasus.2

Setiap tindak pidana kriminal pasti ada pelaku baik itu orang dewasa

maupun anak-anak yang menimbulkan korban. Siapa saja dapat menjadi korban

kejahatan namun pada umumnya adalah perempuan dan anak karena berdasarkan

fisik mereka lebih lemah dari pelaku yang pada umumnya laki-laki, maupun

korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain.

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan sebuah bangsa

dan negara. Memelihara keberlangsungan hidup anak adalah tanggung jawab

orangtua yang tidak boleh diabaikan.3 Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat dari tindakannya sendiri maupun tindakan dari

2

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat diakses pada tanggal 5 Juni 2017 jam 22.00 Wib.

3

(3)

pihak lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain

yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan4.

Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam

melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam

pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.5 Adapun tindak pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum terhadap rasa

kesopanan masyarakat. Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya

selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga

dilandasi oleh norma-norma pergaulan yaitu norma-norma kesopanan.

Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal

rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.

Pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak tentunya akan berdampak

pada psikologis maupun perkembangan lainnya. Dampak psikologi pada

anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan

sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa

terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut

kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pemerkosaan

tersebut.

Perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor

4

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta; Akademi Prassindo, 1993), hlm. 63

5

(4)

seperti kondisi ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat. Dalam berbagai

peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan mengatur tentang

anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang

terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak mengatur mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Ketentuan

tersebut terdapat dalam Pasal 81 ayat 1 yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang

yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)7 Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang

dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan

kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan

yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu

ada hubungan yang erat pula. Kejadian itu tidak dapat dilarang, jika yang

menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak

karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.8

6

Ibid, hlm. 32

7

Pasal 81 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

8

(5)

Kaitannya dengan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak terdapat

Putusan Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst, dalam perkara tersebut terjadi perbuatan

pemerkosaan yang berakhir pada persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa

yang memaksa korbannya yaitu seorang anak perempuan dengan kekerasan

memaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut, oleh

karenanya perbuatan terdakwa terbukti memenuhi dakwaan Pasal 81 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana serta Peraturan Perundang-undangan di Pengadilan Negeri Gunung

Sitoli menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan

denda sejumlah Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4

(empat) bulan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah

tersebut dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan

PN Gunung Sitoli Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap

(6)

2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana

dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor

9/Pid.sus/2016/PN Gst)?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan

terhadap anak.

2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak

pidana dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor

9/Pid.sus/2016/PN Gst.

D. Manfaat Penulisan

a. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan

ilmu hukum khususnya hukum pidana.

2. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian lain yang sesuai

dengan bidang penelitian yang penulis teliti.

b. Manfaat praktis :

1. Sebagai informasi bagi masyarakat atau praktisi hukum instansi terkait

tentang tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak.

2. Memberikan masukan kepada pihak kepolisian dalam rangka

menangulangi tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan terhadap

(7)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat

dan itu di pertanggungjawabkan pada si pembuat. Ada dua istilah yang menunjuk

pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.

Liability merupakan istilah hukum yang sangat luas yang menunjuk hampir semua

karakter resiko atau tanggungjawab yang pasti, yang bergantung atau yang

mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensi

seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas

untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,

keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban

bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksanakan.

Pertanggungjawaban pidana yang melakukan tindak pidana pemerkosaan

terhadap anak yang tertulis di dalam Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu:

Pasal 81 berbunyi:9

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp.5000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

9

(8)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya

tiga unsur pokok, yaitu :

1. Unsur perbuatan

Perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik

pengubung dan dasar untuk pemberian pidana.10 2. Unsur orang atau pelaku

Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia.

Maka hubungan ini mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku

tindak pidana. Hanya dengan hubungan batin ini, perbuatan yang dilarang

dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku dan baru akan tercapai

apabila ada suatu tindakan yang pelakunya dapat dijatuhkan hukuman.

3. Unsur pidana melihat dari si pelaku

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu.11

Asas dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan

(Geen straf zonder schuld; actus non facit reumnisi mens sist rea). Asas ini tidak

tersebut dalam hukum tertulis tetapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di

indoneesia berlaku. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang

10

Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang; Fak.Hukum UNDIP,1997), hlm.64

11

(9)

melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle).12 Bahwa orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan

pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa

melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk

mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karena dapat bahkan harus

menghindari untuk berbuat demikian.

Menurut Simons “Kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu

pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara

keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikan rupa, hingga

orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”.13

Seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan, untuk dapat dicela

atas perbuatannya sebagai berikut :

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si

pelaku dalam keadaan sehat dan normal.

b. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang

disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa).

c. Tidak ada alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan.14

Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan

yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain.

Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam

hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Sebenarnya

menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi

12

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta Rineka Cipta,2008), hlm.165

13

Ibid, hlm.171

14

(10)

dalam hukum pidana yang menjadi pokok permasalahan hanyalah tingkah laku

yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana. Ketentuan undang-undang tidak

memuat tentang apa yang dimaksud dengan “tidak mampu bertanggungjawab”

yang ada adalah alasan yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang

mengakibatkan perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Tidak mampu dan kurang mampu bertanggungjawab berdasarkan pasal 44

ayat (1) KUHP berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya

(gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelije storing), tidak

dipidana”15

2. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa

sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak

pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata

delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tercantum “delik adalah

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang tindak pidana”16 sedangkan menurut pendapat Van Hamel, strafbaar feit adalah “kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana

(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.17

15

Ibid, hlm.89

16

Ibid, hlm.47

17

(11)

Delik strafbaar feit memuat beberapa unsur yakni:18 1. Suatu perbuatan manusia

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang dan

3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan

yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)

juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum).19

Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung

dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan

tidak berbuat. Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP hanya

ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk

menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaar feit)20. Asas legalitas atau yang dikenal dengan asas nulla poena dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP itu berasal dari rumusan bahasa latin oleh Anselm von

Feuerbsch yang berbunyi : “nullum crimen, nulla poena, sine praevia lege

18

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana ,edisi revisi cet , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada , 2012, hlm 48

19

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.50

20

(12)

poenali” yang artinya : tiada kejahatan/ delik, tiada pidana, kecuali jika sudah ada

undang-undang sebelumnnya yang mengancam dengan pidana.21

Simons dalam P.A.F Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak

dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan yang oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum. Alasan dari Simons apa sebabnya “strafbaar feit”

harus dirumuskan seperti diatas adalah karena:

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus

terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwaajibkan oleh

undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban

semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut

harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yangdirumuskan

didalam undang-undang; dan

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan

suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige

handeling.

Rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh Simons, menunjukan

bahwa dalam membicarakan perihal tindak pidana selalu dibayangkan bahwa

21

(13)

didalamnya telah ada orang yang melakukan, dan oleh karenanya ada orang yang

dipidana. Menurut Simons sifat yang melawan hukum seperti dimaksud di atas itu

timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah

bertentangan dengan suatu peraturan dari undang-undang hingga pada dasarnya

sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang

tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur lain. Di dalam beberapa rumusan

delik, undang-undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari

pelakunya itu harus bersifat Wederrechtelijk. Apabila suatu tindakan itu telah

dilakukan dalam keadaan-keadaan dimana undang-undang sendiri telah

menentukan akibat hukumnya yaitu pelakunya tidak dapat dihukum, maka

jelaslah bahwa sifat wederrechtelijk dari tindakannya itu telah ditiadakan oleh

undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara mengenai

adanya suatu strafbaar feit.22

Menurut Konsep KUHP Baru tindak pidana pada hakikatnya adalah

perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materil. Pasal

11 konsep KUHP Baru menyebutkan:

1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana.

2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang

dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga

22 M.

(14)

bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat.

3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali

ada alasan pembenar.

3. Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

Pemerkosaan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas

seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita,

dengan kekerasan. Pengertian pemerkosaan atau perkosa dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu proses, cara, perbuatan memperkosa, melanggar

dengan kekerasan. Pengertian lain pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal

berwatak sesuai yang terjadi ketika seseorang manusia atau lebih memaksa

manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina

atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan atau benda-benda

tertentu secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Menurut R. Soesilo, bahwa pemerkosaan dijelaskan dengan istilah lain

yaitu persetubuhan adalah perpaduan antara anggauta kemaluan laki-laki dan

perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggauta laki-laki

harus masuk kedalam anggauta perempuan, sehingga mengeluarkan air mani,

sesuai dengan Arrest Hoge Raad.23

Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto, yang dimaksud dengan perkosaan

adalah suatu melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang

perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar.

23

(15)

Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak

dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa

hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan dilain pihak dapat dilihat sebagai

suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.

Tindak pidana pemerkosaan dengan menyalahgunakan yang timbul dari

suatu keadaan adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,

baik itu ada hubungan keluarga maupun tidak memiliki hubungan keluarga,

kepada seseorang yang bermotif untuk menjadikannya sebagai objek kepuasan

seksual dengan cara memaksa dan mengancam untuk melakukan persetubuhan.

Mengenai kasus tindak pidana pemerkosaan, juga mempunyai beberapa

unsur baik unsur objektif maupun unsur subjektif seperti yang tercantum dalam

Pasal 287 KUHP ayat (1), yang bunyinya: “Barangsiapa bersetubuh dengan

seorang perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut

disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata

berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum

penjara selama-lamanya sembilan tahun ”.

Unsur objektif :24

a. Perbuatan : bersetubuh

b. Objek : dengan perempuan di luar kawin c. Yang umurnya belum 15 tahun;

d. atau jika umurnya tidak jelas belum waktunya kawin Unsur subjektif

e. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun

24

(16)

4. Pengertian anak dalam tindak pidana pemerkosaan

Secara nasional defenisi anak menurut perundang-perundangan, di

antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun

atau yang belum menikah. Ada yang mengatakan anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 tahun, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan

bahkan masih di dalam kandungan.

Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, memperjelaskan anak ke dalam pengertian sebagai berikut:

a) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

menjalani pidana di Lapas Anak yang paling lama sampai berumur 18

tahun.

b) Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan pada negara untuk dididik dan di tempatkan di Lapas Anak

paling lama sampai berumur 18 tahun.

c) Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling

lama sampai berumur 28 tahun.

Anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan anak menurut

hukum islam dan hukum adat. Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat

sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia

anak, sebab masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat

(17)

Hukum Islam menentukan pengertian anak dilihat dari tanda-tanda pada

sesorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang

dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut memiliki tanda-tanda yang dimiliki

oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum islam. Menurut Ter

Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk

menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat

unsur yang dipenuhi seseorang yaitu apakah anak tersebut sudah kawin,

meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan

keluarga sendiri.25

Beberapa negara memberikan pengertian seseorang dikatakan anak atau

dewasa dilihat dari umur dan aktivitas atau kemampuan berpikirnya. Perbedaan

anak pada setiap negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh sosial

perkembangan anak di setiap negara. Aktivitas sosial dan budaya serta ekonomi

disebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan

seorang anak.26

Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat beberapa pengertian anak

yaitu sebagai berikut:27

1. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur

12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.

25

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Repika Aditama, 2009), hlm.34

26

Ibid, hlm.36

27

(18)

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut

anak korban adalah anak yang berumur 18 (delapan belas) tahun yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh tindak pidana.

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak

saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan tentang suatu perkara

pidana yang didengar, dilihat dan/ atau dialaminya sendiri.

5. Pengertian perlindungan anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak merupakan

usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan

peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di

kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan pisik maupun mental

sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

(19)

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak

membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun

tidak tertulis.28

Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta

pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan

dalam rangkah mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan secara

keseluruhan. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengatakan:

“Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi

pendekatan untuk melindungan anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak

semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu

ekonomi,sosial dan budaya.”

Perlindungan Anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian, yaitu:29

1. Luas lingkup perlindungan

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,

pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah.

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder

yang berakimat pada prioritas pemenuhannya.

2. Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada

jaminan terhadap pelaksaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat

28

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm. 33

29

(20)

diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan

perlindungan.

b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam sustu peraturan tertulis

baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah, yang

perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan serta

disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di

Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang

dilakukan di negara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru

(peniruan yang kritis).

Dasar pelaksaan perlindungan anak adalah: 30 1. Dasar filosofis

Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan

keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis

pelaksaan perlindungan anak.

2. Dasar etis

Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi

yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksaan

kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan

anak.

30

(21)

3. Dasar yuridis

Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945

dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu penerapan

terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang

hukum yang berkaitan.

Pelaksanaan perlindungan anak, harus memenuhi syarat yaitu

pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak; yang harus

mempunyai landasan filsafat, etika, dan hukum; secara rasional positif dapat

dipertanggungjawabkan; bermanfaat untuk yang bersangkutan; mengutamakan

perspektif kepentingan yang mengatur; tidak bersifat aksidental dan

komplimenter, tetapi harus dilakukan secara konsisten, mempunyai rencana

operasional, memperhatikan unsur-unsur manajemen; melaksanakan respon

keadilan yang restoratif (bersifat pemulihan); tidak merupakan wadah dan

kesempatan orang mencari keuntungan pribadi/kelompok; anak diberi

kesempatan untuk berpartisipasi sesuai situasi dan kondisinya; berdasarkan citra

yang tepat mengenai anak manusia; berwawasan target; tidak merupakan faktor

kriminogen; tidak merupakan faktor viktimogen.31

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada

anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan ini dapat berupa

antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan

31

(22)

dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,

mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan cara berbagai

cara, menyediakan sarana dan pengembangan diri, dan sebagainya. Perlindungan

anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak.32 Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri, yang

tidak hanya sama, tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu diperlukan

aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang menyangkut kepentingan

anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan

anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Arif Gosita mengatakan

bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis)

yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.33 Hukum Perlindungan Anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak

dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum adat, hukum

perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain

yang menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek

kehidupan dan penghidupan, agar anak-anak dapat tumbuh dan berkembang

dengan wajar sesuai dengan hak azasinya.

Adapun hak-hak anak yang secara umum dapat dikelompokkan dalam 4

(empat) kategori hak-hak anak, antara lain:

1. Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Sursival) yaitu hak-hak

untuk melestarikan dan memperhatikan hidup (The Right of Live) dan hak

32

Ibid, hlm 38

33

(23)

untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang

sebaik-baiknya;

2. Hak terhadap perlindungan (Protection Right) yaitu hak-hak ddalam

konvensi hak-hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,

tidak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai

keluarga bagi anak- anak pengungsi;

3. Hak untuk tumbuh kembang (Development Right) yaitu hak-hak anak

dalam konvensi hak-hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan

(formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak

bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak;

4. Hak untuk berpartisipasi (Partisipation Right) yaitu hak-hak anak yang

meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang

mempengaruhi anak. Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak anak

mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan

pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas.

Berdasarkan Pasal 69A Perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan

seksual sebagaimana dilakukan melalui upaya:34

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;

b. Rehabilitasi sosial

c. Pendampingan psikologisosial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

dan

34

(24)

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan setiap tingkat pemeriksaan

mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang

pengadilan.

Dalam melaksanakan upaya perlindungan anak maka Komisi Perlindungan

Anak mempunyai tugas yang diatur dalam pasar Pasal 76 sebagai berikut:35

1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan

pemenuhan hak anak;

2. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan perlindungan anak;

3. Mengumpulkan data dan imformasi mengenai perlindungan anak;

4. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat

mengenai pelanggaran anak;

5. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak

6. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk maasyarakat

dibidang perlindungan anak; dan

7. Memberikan laporan kepada pihak yang berwajib tentang adanya

pelanggaran undang-undang ini.

F. Metode Penelitian

a. Jenis–jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

35

(25)

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.36 Penelitian ini melakukan pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan secara

yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji dan mempelajari bahan-bahan

kepustakaan yang berupa peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah

yang dibahas yaitu: 37 1. Sumber Data

Adapun jenis data dilihat dari sudut sumbernya, dibedakan antara data

yang diperoleh langsung dari masyarakatdan data yang diperoleh dari bahan

kepustakaan.38 Data adalah kumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Anak;

3. Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perbaharuan dari

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

4. Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli No.9 Pid.sus/2016/PN Gst;

5. Berbagai sumber hukum primer lain yang berhubungan dengan

masalah penelitian

36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press, (Jakarta, 1986), hlm.43

37

Ibid, hlm.51

38

(26)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam

menganalisa serta memahami permasalahan dalam penelitian, seperti teori atau

pendapat para ahli yang tercantum dalam berbagai fererensi atau liberatur

buku-buku hukum serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah

penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI).

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data untuk penelitian skripsi ini akan disesuaikan dengan

sumber data baik primer,sekunder dengan menggunakan cara yaitu :

a. Studi Pustaka

Studi pustaka ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca,

mencatat, mengutip dari berbagai liberatur peraturan perundang-undangan,

buku-buku media masa dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada hubungannya

dengan penelitian yang dilakukan.

3. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian itu adalah analisis data

(27)

bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci,39 yang kemudian diinterprestasi untuk memperoleh suatu kesimpulan mengenai

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

(Studi Putusan Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst). Sehingga dapat diperoleh

gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut

dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara khusus yang didasarkan atas

fakta-fakta yang bersifat umum, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan

tersebut dapat diajukan saran.

G. Sistematika Penulisan

Pemaparan dari sistematika penulisan ini bertujuan supaya di dalam proses

penyampaian materi dari proposal skripsi ini dapat mudah dipahami. Sistematika

penulisan skripsi ini dibagi menjadi empat bab, pada tiap bab terdiri dari beberapa

sub bab yaitu :

Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi uraian dari atas tulisan yang

bertujuan memberikan gambaran kepada pembaca mengenai topik yang akan

dibahas dalam skripsi ini. Bab I terdiri dari beberapa sub bab, yaitu latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

Bab II menjawab rumusan masalah pertama mengenai bagaimana

pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Dalam bab kedua

ini terdiri atas tiga sub bab yakni pertama tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, sub bab kedua yakni Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,

39

(28)

dan sub bab yang ketiga yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

Bab III menjawab rumusan masalah kedua mengenai bagaimana

penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam Putusan

Pengadilan Negeri Gunung Sitoli (Studi Putusan Nomor 9/Pid.sus/2016/PN Gst).

Dalam bab ketiga ini terdiri atas dua sub bab yakni pertama tentang (kronologi

kasus, fakta-fakta hukum, tuntutan, dakwaan, dan putusan hakim). Dan sub bab

yang kedua yakni tentang analisa yuridis terhadap Pengadilan Negeri Gunung

Sitoli Nomor 9/Pid.sus/2016 ( pertimbangan hukum dan analisa putusan).

Bab IV, merupakan bab penutup, yang terdiri atas kesimpulan dan saran

terhadap pokok permasalahan . Pada bab terakhir dari penulisan proposal ini akan

diuraikan mengenai kesimpulan dari bab-bab yang sebelumnya, dan kemudian

dikemukakan beberapa saran yang relevan dengan permasalahan yang ada, yang

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : Perangkat lunak ini dapat digunakan untuk menangani proses pengisian data, perubahan data,

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan sebanyak dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP N 2 Ngawen dan guru mata

FOR CORPORATE PERMITTED TO MAINTAIN BOOKS OF ACCOUNT IN ENGLISH LANGUAGE AND US DOLLAR CURRENCY. DETAILS OF COST OF GOOD SOLD, OTHER BUSINESS EXPENSE AND COMMERCIAL

[r]

Evolution of the number of total citation per document and external citation per document (i.e. journal self- citations removed) received by a journal's published documents during

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi retinoblastoma melalui analisis citra fundus retina dengan menggunakan Backpropagation Neural Network..

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan