• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Komunitas Konsumen dalam Penciptaan Nilai Bersama: C0-Creation Value T2 912009114 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Komunitas Konsumen dalam Penciptaan Nilai Bersama: C0-Creation Value T2 912009114 BAB II"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

RERANGKA TEORITIS

Sebagai landasan dari sebuah penelitian, rerangka teoritis berguna sebagai dasar berpikir dan menganalisis masalah penelitian yang hendak diteliti. Dalam bab ini akan diuraikan rerangka teoritis yang akan digunakan untuk menganalisis masalah penelitian.

2.1 Peranan Komunitas

(2)

2

lebih dalam mengenai konsep peranan komunitas, berikut akan disampaikan definisi tentang kelompok dan komunitas terlebih dahulu.

2.1.1 Kelompok

(3)

3

normatif oleh kelompok tersebut. Kekuatan pengaruh antar anggota kelompok terletak pada kesepakatan yang dibuat bersama.

Robbins dan Judge (2008) mencatat ada beberapa alasan mengapa individu bergabung dalam suatu kelompok. Alasan tersebut adalah:

1) Rasa Aman. Dengan bergabungnya individu dalam suatu kelompok, individu tersebut dapat mengurangi rasa tidak aman karena berdiri sendiri. Seseorang akan merasa aman dan nyaman karena dikelilingi oleh banyak orang. 2) Status. Bergabung dalam suatu kelompok yang

dianggap akan memiliki sebuah status dan mendapatkan pengakuan dari orang lain.

3) Harga Diri. Bergabung dalam suatu kelompok dapat memberikan kepercayaan diri dan dapat menaikkan harga diri seseorang.

4) Afiliasi. Suatu kelompok dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dari individu. Kebutuhan sosial tersebut berupa interaksi antar anggotanya, di dalam kelompok terdapat komunikasi dua arah.

(4)

4

6) Pencapaian Tujuan. Pencapaian sebuah tujuan atau tugas pada hakekatnya akan lebih mudah dicapai apabila diselesaikan dalam sebuah kelompok.

Menurut Ristiyanti dan Ihalauw (2004) kelompok dapat dibagi dalam beberapa dikotomi, yaitu sebagai berikut:

1) Kelompok Formal. Kelompok yang terdiri dari anggota-anggota kelompok yang berinteraksi menurut struktur yang baru, adanya pembagian kekuasaan dan wewenang (birokrasi) dan tujuan kelompok sangat spesifik. Contohnya kepengurusan RT dan RW di perkampungan. 2) Kelompok Informal. Kelompok ini terbentuk

karena anggota-anggotanya mempunyai tujuan, pengalaman, kesukaan dan kegiatan yang sama, tidak ada struktur maupun pembagian wewenang dan kekuasaan yang baku. Contohnya grup musik.

(5)

5

waktu bersama dan merasa bahwa mereka saling mengenal satu sama lain dengan baik. Contohnya adalah keluarga.

4) Kelompok Sekunder. Kelompok sosial yang besar dan bersifat tidak pribadi berdasarkan atas kesukaan dan kegiatan yang sama. Hubungan kerap kali berlangsung singkat. Contohnya sekelompok orang yang datang ke seminar kesehatan dalam sehari.

5) Kelompok Keanggotaan. Kelompok ini memberikan identitas kepada anggotanya sebagai bukti keanggotaan. Contohnya keanggotaan dalam perpustakaan buku.

6) Kelompok Simbolis. Kelompok yang tidak memberikan tanda keanggotaan kepada anggota-anggotanya tetapi mereka bertindak atau berperilaku seperti anggota karena mengadopsi nilai-nilai, sikap dan perilaku kelompok tersebut. Contohnya fans berat Agnes Monica yang memiliki nama Agnezmo, kelompok ini menggunakan atribut-atribut tertentu yang mencerminkan nilai, sikap dan perilaku kelompok yang dimasukinya.

(6)

6

kelompok. Robbin dan Judge (2008) membagi proses perkembangan kelompok menjadi 5 tahapan, yaitu sebagai berikut:

1)Tahan pembentukan (forming). Tahap ini memiliki karakteristik adanya ketidakpastian atas tujuan, struktur dan kepemimpinan kelompok tersebut. Para anggotanya sama-sama masih melakukan penjajakan terhadap perilaku masing-masing anggotanya. Tahap ini selesai ketika para anggotanya mulai menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok.

2)Tahap timbulnya konflik (storming stage).

Merupakan satu dari konflik intra kelompok. Para anggotanya menerima keberadaan kelompok tersebut, tetapi terdapat penolakan terhadap batasan-batasan yang diterapkan kelompok tersebut terhadap setiap individu. Lebih jauh lagi, terdapat konflik atas siapa yang akan mengendalikan kelompok tersebut. Tahapan ini selesai ketika akhirnya diputuskan terhadapnya sebuah hirarki yang relatif jelas atas kepemimpinan dalam kelompok tersebut. 3)Tahap normalisasi (norming stage). Pada

(7)

7

tahap ini terdapat sebuah rasa yang kuat akan identitas kelompok dan persahabatan. Tahap ini selesai ketika struktur telah solid dan kelompok telah mengasimilasi serangkaian ekspektasi umum definisi yang benar atas perilaku anggota.

4)Tahap berkinerja (performing). Pada titik ini struktur telah berfungsi sepenuhnya dan dapat diterima. Energi kelompok telah berpindah dari saling mengenal dan memahami menjadi mengerjakan tugas yang telah ditetapkan. Untuk kelompok-kelompok kerja yang permanen tahap berkinerja adalah tahapan terakhir dalam pembentukan kelompok. Tetapi untuk kelompok yang memiliki tugas yang terbatas untuk dilakukan, terdapat tahap pembubaran. Contohnya kelompok kepanitiaan HUT Kemerdekaan.

(8)

8

dari mereka gembira, bersenang-senang dalam pencapaian kinerja kelompok tersebut, tetapi yang lainnya mungkin merasa tertekan atas kehilangan persahabatan dan pertemanan yang didapatkan selama kehidupan kelompok kerja tersebut.

Gambar 2.1 Tahap-tahap perkembangan kelompok

Sumber: Robin & Judge dalam Organizational Behavior, 14 Maret 2008

(9)

kelompok-9

kelompok yang memiliki visi yang sama dan memiliki minat yang sama pula serta memiliki hubungan komunikasi yang kuat antar anggotanya pada akhirnya kelompok-kelompok tersebut bergabung membentuk sebuah komunitas.

Di era zaman yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme membuat manusia atau kelompok sosial semakin tergantung pada sebuah produk baik barang maupun jasa. Semakin banyaknya barang dan jasa yang disediakan oleh perusahaan maka semakin tinggi derajat kebingunan konsumen, untuk itu mereka membentuk komunitas konsumen. Komunitas konsumen memudahkan dalam mencari preferensi sebuah produk.

2.1.2 Komunitas Konsumen

Gusfeld (1975) menyebutkan terdapat 2 karakter sebuah komunitas, yaitu pertama adalah keterikatan geografis (misalnya komunitas Pawarsa; Paguyuban Warga Salatiga), kedua adalah keterikatan pada hubungan sosial (misalnya, komunitas kompasiana).

(10)

10

yaitu fenomena menikmati suatu aturan yang mengikat tetapi orang yang mengalami dapat menikmatinya tanpa merasa terikat oleh suatu aturan. Menurut pendapat Turner bahwa komunitas berada diantara struktur dan anti struktur.

Lebih lanjut Turner (1982) merinci tiga tahapan dalam komunitas, yaitu sebagai berikut:

1)Tahap eksistensial (spontan community). Hubungan langsung, segera dan konfrontasi total terhadap identitas. Kata eksistensi dalam hal ini berasal dari to exist yang berarti to stand outside, yaitu berada diluar posisi struktural. Disebut spontan, karena hubungan tersebut bersifat temporer atau tidak permanen. Dalam hubungan tersebut tidak ada kekuasaan yang mempengaruhinya, tidak ada perbedaan status sehingga segera terjadi pemahaman bersama (communal understanding). Ketika hubungan tersebut terjadi, pihak yang terlibat meletakkan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan menjauhi prasangka sebagai nilai-nilai tertinggi.

(11)

11

Mereka yang terlibat dalam komunitas memiliki ideologi dalam mengkontruksi model baru.

3)Tahap komunitas normatif. Tahap ini merupakan modifikasi dari komunitas spontan sehingga tidak lagi bersifat temporer, tetapi memiliki jangka waktu tertentu. Dalam komunitas normatif terbentuk berbagai simbol. Yang menarik adalah bahwa bukan saja adanya berbagai simbol tersebut, tetapi juga sesuai karakter keterbatasan, bagaimana mereka yang terlibat dalam komunitas normatif bersikap terhadap berbagai simbol tertentu.

McMillan dan Chavis (1986) melalui kajian sosiologinya mendefinisikan komunitas melalui 3 karakteristik, yaitu sebagai berikut:

1) Kesatuan tempat (locality). Komunitas didefinisikan secara fisik sebagai entitas spasial dimana titik beratnya lebih kepada lokasi geografis seperti desa atau kota.

2) Jaringan sosial (social network). Komunitas dikatakan eksis apabila didalamnya terdapat network of relationship antar anggotanya didalam suatu tempat yang sama.

3) Hubungan rasa sejati diri bersama

(12)

12

didefinisikan sebagai suatu hubungan perasaan saling berbagi identitas (share sense of identity) diantara individual-individual dari anggota komunitas tersebut.

Konsep komunitas lainnya dikemukakan oleh Muniz dan O’guinn (2001) yang menegaskan bahwa konsep komunitas merupakan jaringan hubungan sosial yang ditandai dengan kebersamaan dan ikatan emosi. Bukan lagi seperti konsep yang dikemukakan oleh pakar sosiolog, Gusfeld ataupun McMillan dan Chavis yang menekankan pada geografis yaitu komunitas dibedakan antara kota dan desa. Bagi Muniz

dan O’guinn (2001) konsep tersebut tidak relevan lagi

jika komunitas dikaitkan dengan geografis seseorang, hal ini dikarenakan perkembangan teknologi internet.

(13)

13

stabil. Pendapat Cova dan Cova tersebut terkait dengan pandangan Maffesoli (1996) yang menyatakan bahwa komunitas mengandung konsep struktur. Konsep komunitas oleh Maffesoli dikontraskan dengan konsep rumpun. Baginya konsep komunitas dilatarbelakangi oleh strukturalisme dan moderenisme, sedangkan konsep rumpun dilatarbelakangi oleh posstrukturalisme dan posmodernisme (Baurman, 1993). Oleh Cova dan Cova perbedaan konsep antara komunitas dengan rumpun diuraikan sebagai berikut:

1) Dalam rumpun mengandung kesementaraan (ephemeral), sedangkan dalam komunitas mengandung ketetapan (permanent).

2) Dalam rumpun, seseorang dapat menjadi bagian dari beberapa rumpun, sementara dalam komunitas seseorang hanya milik satu komunitas.

3) Batasan rumpun bersifat konsep, sedangkan komunitas bersifat fisik.

(14)

14

Sementara itu, Schaefer (2007) yang memandang melalui ruang lingkup sosial mendefinisikan komunitas sebagai unit spasial atau unit politik dari suatu organisasi sosial yang dapat memberikan sebuah perasaan kebersamaan kepada individu dan perasaan saling memiliki (sense of belonging). Kebersamaan ini dapat didasarkan atas kesamaan daerah tempat tinggal seperti di kota tertentu atau hubungan ketentangaan. Perasaan kebersamaan ini juga didasarkan pada identitas yang sama.

Dari berbagai uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa komunitas disatu sisi bersifat kekeluargaan atau tidak terstruktur, tetapi disisi lain tidak bersifat sebebas-bebasnya. Disamping itu komunitas memiliki ciri-ciri:

 Keterbatasan

 Berbagi karena saling memiliki.  Saling memelihara ritual dan tradisi.  Memiliki tanggung jawab moral.

 Seseorang dapat menjadi bagian dari beberapa

rumpun.

2.2 Perilaku Konsumsi Komunitas Konsumen

(15)

15

darat, bertemu dan bertatap muka untuk melaksanakan kegiatan dengan bertemu langsung. Saat ini di era teknologi modern berbasis komputer dengan menggunakan kecanggihan internet, para anggota komunitas tidak perlu repot untuk bertemu langsung, umumnya mereka menggunakan internet sebagai media untuk berkomunikasi satu dengan lainnya. Melalui media internet ini para anggota komunitas dapat berdiskusi kapanpun, dimanapun mengenai minat ataupun membicarakan produk tertentu. Melalui media internet komunikasi mereka semakin berkembang dengan membuat suatu kotak surat elektronik (milis), yaitu sebuah fasilitas di internet untuk menggabungkan beberapa surat elektronik (email) atau dengan kata lain milis adalah sebagai kotak pos bersama untuk para anggota komunitas. Selain melalui kotak surat elektronik (milis), mereka berkomunikasi melalui catatan pribadi (blog) ataupun media sosial yang semakin marak sekarang ini seperti facebook, twitter dan sebagainya. Komunikasi yang terjalin melalui media ini memunculkan sebutan baru untuk perilaku komunitas yaitu komunitas dunia maya (virtual).

(16)

16

membeli, menggunakan atau menghentikan pemakaian produk, jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka memuaskan keinginan dan hasrat tertentu.

Menurut Schiffman dan Kanuk (2004) dan Engel, Blackwell dan Paul (dalam Saladin, 2003), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli, yaitu:

1) Faktor Sosial

a. Group (kelompok)

Sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok-kelompok kecil. Kelompok dimana orang tersebut berada yang mempunyai pengaruh langsung atau disebut membership group (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

b. Family Influence (pengaruh keluarga)

Keluarga memberikan pengaruh yang besar dalam perilaku pembelian. Para pelaku pasar telah memeriksa peran dan pengaruh suami, istri dan anak dalam pembelian barang atau jasa yang berbeda (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

c. Roles and Status (peran dan status)

(17)

17

yang diharapkan pada seseorang untuk dilakukan sesuai dengan orang-orang di sekitarnya. Tiap peran membawa sebuah status yang merefleksikan penghargaan umum yang diberikan oleh masyarakat (Kotler dan Amstrong, 2006).

2) Faktor Personal

a. Economic Situation (situasi ekonomi)

Situasi ekonomi seseorang amat sangat mempengaruhi pemilihan dan pembelian suatu barang atau jasa tertentu (Kotler dan Amstrong, 2006).

b. Lifestyle (gaya hidup)

Pola kehidupan seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas, ketertarikan dan opini orang tersebut. Orang-orang yang datang dari kebudayaan, kelas sosial dan pekerjaan yang sama mungkin saja mempunyai gaya hidup yang berbeda (Kotler dan Amstrong, 2006). c. Personality and Self Concept (kepribadian dan

konsep diri)

(18)

18

Amstrong, 2006). Tiap orang memiliki gambaran diri yang kompleks dan perilaku seseorang cenderung konsisten dengan konsep diri tersebut (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

d. Age and Life Cycle Stage (usia dan siklus hidup)

Orang-orang merubah barang atau jasa yang dibeli seiring dengan siklus kehidupannya. Rasa makanan, baju, perabot dan rekreasi seringkali berhubungan dengan umur, membeli juga dibentuk oleh family life cycle. Faktor-faktor penting yang berhubungan dengan umur sering diperhatikan oleh para pelaku pasar. Ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan yang besar dalam umur antara orang-orang yang menentukan strategi pemasaran dan orang-orang yang membeli barang atau jasa tersebut (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

e. Occupation (pekerjaan)

(19)

19

service restoran, sedangkan pekerja kantor membawa makan siangnya dari rumah atau membeli dari restoran cepat saji terdekat (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

3) Faktor Psycological a. Motivation (motiasi)

Kebutuhan yang mendesak untuk mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan dari kebutuhan. Berdasarkan teori Maslow, seseorang dikendalikan oleh suatu kebutuhan pasa suatu waktu. Kebutuhan manusia diatur menurut sebuah hirarki, dari yang paling mendesak sampai paling tidak mendesak (kebutuhan psikologikal, keamanan, sosial, harga diri, pengaktualisasian diri). Ketika kebutuhan yang paling mendesak itu sudah terpuaskan, kebutuhan tersebut berhenti menjadi motivator dan kemudian orang tersebut akan mencoba memuaskan kebutuhan paling penting berikutnya (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

b. Perception (persepsi)

(20)

20

informasi untuk membentuk sebuah gambaran yang berarti dari dunia. Orang dapat membentuk berbagai macam persepsi yang berbeda dari rangsangan yang sama (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

c. Learning (pembelajaran)

Pembelajaran adalah suatu proses, yang selalu berkembang dan berubah sebagai hasil dari informasi terbaru yang diterima atau dari pengalaman sesungguhnya, baik informasi terbaru yang diterima maupun pengalaman pribadi bertindak sebagai umpan balik bagi individu dan menyediakan dasar bagi perilaku masa depan dalam situasi yang sama (Schiffman, Kanuk, 2004).

d. Beliefs and Attitude

(21)

21 4) Faktor Cultural

Nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan perilaku yang dipelajari seseorang melalui keluarga dan lembaga penting lainnya (Kotler dan Amstrong, 2006). Budaya merupakan penentu paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Budaya, mengkrompromikan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan perilaku yang dipelajari seseorang secara terus menerus dalam sebuah lingkungan (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

a. Subculture, sekelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan persamaan pengalaman hidup dan keadaan, seperti kebangsaan, agama dan daerah (Kotler dan Amstrong, 2006). Meskipun konsumen pada negara yang berbeda mempunyai suatu kesamaan, nilai, sikap dan perilakunya seringkali berbeda secara dramatis (Kotler, Bowen dan Makens, 2003).

(22)

22 2.2.1 Konsumsi

Konsep konsumsi sejak awal telah dibahas dalam kajian ekonomi politik, salah satu tokoh yang membahas itu adalah Karl Marx. Pada tahun 1981, Karl Mark telah membahas mengenai hubungan konsep produksi dengan konsumsi. Ia menyatakan bahwa hubungan produksi dengan konsumsi sangatlah erat dan saling membutuhkan. Bagi Karl Marx (1981) produksi tidak mungkin ada tanpa konsumsi dan demikian pula sebaliknya. Lebih dari itu, dalam produksi mengandung konsumsi, dan dalam konsumsi juga mengandung produksi. Oleh karena itu ia menyebutnya productive consumption dan consumptive production.

Dalam ilmu ekonomi mikro, konsumsi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan faedah suatu benda baik barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan.

(23)

23

(Desmond, 2003), sekaligus juga mengalami refleksi diri atau introspeksi personal melalui konsumsi (Holbrook, 1996).

Lain lagi dengan pendapat Clarke, dkk (2003) yang mecoba memahami konsep konsumsi melalui penelusuran bahasa. Kata “consumption” dalam bahasa

inggris berpadanan dengan “consummation”. Baginya

kata “consumption” disandingan dengan kata

consumere; con sumere” (bahasa latin), yang berarti

menghabiskan. Kata “consummation” itu sendiri

disandingkan dengan kata “consumare; con summa

(bahasa perancis), yang dapat berarti pemenuhan (fulfilment). Berdasarkan penelusuran kata “consumption” tersebut, Clarke, dkk menyatakan bahwa konsumsi bersifat paradoks.

Dari sekian banyak konsep tentang konsumsi yang ada, melalui Ardianto (2008), konsep konsumsi memiliki tiga ciri yaitu:

1) Konsumen aktif melakukan pemaknaan ulang terhadap makna yang telah diproduksi oleh produsen.

2) Konsumen mengkontruksi berbagai makna diberbagai situasi dan perilaku.

(24)

24

dipertunjukkan “ke dalam”. Konsumsi dalam pengertian ini bersifat paradoks.

2.2.2 Hubungan Konsumsi dan Komunitas

Ada beberapa konsep yang dapat menjelaskan hubungan konsumsi dan komunitas konsumen. Konsep-konsep tersebut didefinisikan dan dipahami secara berbeda oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah:

(25)

25

Gambar 2.2 Matrik Jenis Komunitas yang Mengonsumsi

Sumber: Kozinets, Robert V., dalam E-Tribalized Marketing?: The Strategic Implications of Virtual Communities of Consumption, 17 Juni 1999.

Ada empat tipe komunitas virtual yang mengonsumsi, yaitu:

1) Penggemar (devotee), mengacu pada mereka yang sangat tertarik pada suatu topik tertentu, tetapi jaringan hubungan antara mereka berdimensi rendah.

(26)

26

3) Penggaul (mingler), mereka kurang tertarik pada suatu topik tertentu, tetapi jaringan hubungan mereka berdimensi kuat.

4) Pemain (insider), mereka sangat tertarik pada suatu topik tertentu dan jaringan hubungan mereka berdimensi kuat.

Kozinets mengartikan komunitas sebagai jaringan hubungan personal yang berdimensi tinggi dan rendah, sedangkan konsumsi adalah ketertarikan terhadap topik tertentu yang berdimensi kuat dan lemah. Hubungan komunitas dengan konsumsi bersifat matriks. Pembentukan komunitas bersifat tunggal, dimulai dari pertukaran informasi terhadap topik yang diminatinya. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

(27)

27

Sumber: Kozinets, Robert V., dalam E-Tribalized Marketing?: The Strategic Implications of Virtual Communities of Consumption, 17 Juni 1999.

2. Friedman dkk. (1993), komunitas adalah hubungan seseorang dengan orang lain yang berkarakteristik sama melakukan konsumsi berdasarkan gaya hidup yang sama terhadap kategori produk tertentu. Hubungan komunitas dengan konsumsi tidak bersifat tunggal. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

(28)

28

Sumber: Friedman, dkk., dalam Age related Change in Scalptopography to Novel and Target Stimuli, 1993.

3. Lee dan Conroy (2005) berpendapat bahwa konsumsi bersifat metafora, yaitu memperlakukan sesuatu yang lain, sedangkan komunitas adalah interaksi dengan orang lain yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap topik tertentu. Hubungan komunitas dan konsumsi tidak bersifat tunggal.

Gambar 2.5 Hubungan Komunitas dan Konsumsi

(29)

29

4. Cova (1997) menjelaskan, konsumsi merupakan pencarian identitas tanpa akhir oleh individu, sedangkan komunitas adalah pencarian jaringan antar individu oleh individu. Hubungan komunitas dengan konsumsi bersifat paradoks.

Gambar 2.6 Hubungan Komunitas dan Konsumsi

Sumber: Cova, B., dalam Community and Consumption: Towards a Definition of The Linking Value of Products or Services, 1997.

2.2.3 Perilaku Konsumsi Komunitas Konsumen

Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), sebelum dan sesudah melakukan pembelian, seorang konsumen akan melakukan sejumlah proses yang mendasari pengambilan keputusan, antara lain

(30)

30

konsumen tidak dapat menemukan produk yang akan dibeli.

2) Pencarian informasi (information source)

Setelah memahami masalah yang ada, konsumen akan termotivasi untuk mencari informasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada melalui pencarian informasi. Proses pencarian informasi dapat berasal dari dalam memori (internal) dan berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal). 3) Mengevaluasi alternatif (alternative

evaluation)

Setelah konsumen mendapat berbagai macam informasi, konsumen akan mengevaluasi alternatif yang ada umtuk mengatasi permasalahan yang dihadapainya.

(31)

31

5) Evaluasi pasca pembelian (post purchase evaluation)

Merupakan proses evaluasi yang dilakukan konsumen tidak hanya berakhir pada tahap pembuatan keputusan pembelian. Setelah membeli produk tersebut, konsumen akan melakukan evaluasi apakah produk tersebut sesuai dengan harapannya. Dalam hal ini, terjadi kepuasan dan ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan puas jika produk tersebut sesuai dengan harapannya dan selanjutnya akan meningkatkan permintan akan merek produk tersebut di masa depan. Sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas jika produk tersebut tidak sesuai dengan harapannya dan hal ini akan menurunkan permintaan konsumen di masa depan.

(32)

32

Pendapat tersebut diperkuat oleh Matsuo dan Yamamoto (2009), bahwa jika seseorang menyukai suatu produk, dimulai dari wacana, ide, olah raga, musik, makanan, hingga suatu barang, muncul kecenderungan dari orang tersebut untuk membagi apa yang dia sukai kepada orang lain serta berinteraksi dengan orang yang menikmati produk yang sama.

Interaksi yang intens tentu saja akan mempengaruhi pola konsumsi seseorang terhadap suatu produk. Saat ini seseorang akan lebih mendengarkan referensi dari komunitasnya dibandingkan dari orang lain yang tidak tergabung dalam komunitas dan dari produsen, hal ini karena bonding yang telah tercipta di dalam hubungan komunitas. Interaksi yang dibangung melalui kegiatan online (milis, media sosial, blog, dll.) dan offline (kopdar) memungkinkan komunitas membagikan informasi sebanyak apapun kepada anggotanya, dapat informasi yang positif terhadap suatu produk maupun informasi yang negatif.

(33)

33

produk tetapi dapat menjadi bumerang yang akan menghancurkan produk tersebut.

2.3 Merek

Di era perkembangan dunia pemasaran yang telah memasuki new wave, hampir tidak akan ditemukan sebuah produk tanpa merek (brand). Merek menjadi sangat penting ditengah banyaknya produk yang lahir dan ditawarkan untuk konsumen. Merek menjadi kunci pembeda suatu produk dengan produk lainnya.

(34)

34

Merek juga menunjukkan fungsi-fungsi yang bernilai bagi perusahaan, diantaranya adalah (Kotler dan Keller, 2006):

1) Merek menyederhanakan penanganan dan penelusuran produk.

2) Merek membantu untuk mengorganisasikan catatan inventori dan catatan akunting.

3) Sebuah merek juga menawarkan perlindungan hukum yang kuat untuk fitur atau aspek produk yang unik.

4) Nama merek dapat dilindungi melalui paten, pengemasan dapat dilindungi melalui merek dagang yang terdaftar, sedangkan proses manufaktur-ing dapat dilindungi melalui hak cipta dan rancangan. Hak properti intelektual ini memastikan bahwa perusaan dapat melakukan investasi secara aman dalam merek dan memperoleh keuntungan dari aset yang bernilai. 5) Merek dapat menandakan satu tingkat mutu

tertentu, sehingga konsumen yang puas dapat mudah memilih produk.

(35)

35

merek, memerlukan landasan yang kuat melalui positioning yang tepat dipikiran konsumen. Membangun positioning adalah menempatkan semua aspek dari nilai sebuah merek (brand value), termasuk manfaat fungsional secara konsisten sehingga selalu menjadi nomor satu dipikiran konsumen. Suatu merek dapat memenangkan pikiran konsumen melalui terciptanya kesadaran merek (brand awareness) dan jika konsumen puas akan berujung pada terciptanya kesetiaan merek (brand loyalty).

2.3.1 Kesadaran Merek

Aaker (1991: 61) mendefinisikan kesadaran merek sebagai kemampuan dari seseorang yang merupakan calon pembeli (potential buyer) untuk mengenali (recognize) atau menyebutkan kembali (recall) suatu merek yang merupakan bagian dari suatu kategori produk.

(36)

36

Menurut Aaker (1991:61) kesadaran merek dibagi menjadi dua bagian, yaitu brand recall dan brand recognition. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Peter dan Olsen (1994) berkaitan dengan proses pengambilan keputusan pembelian, menyatakan bahwa apabila konsumen dihadapkan pada suatu pilihan nama, merek, harga, serta berbagai atribut produk lainnya, konsumen akan cenderung memilih nama merek terlebih dahulu, setelah itu konsumen baru memikirkan harga. Pada kondisi seperti ini, merek merupakan alat pertimbangan pertama dalam proses pengambilan keputusan secara cepat. Sejalan dengan bertambahnya pengalaman konsumen menggunakan suatu produk, konsumen akan berusaha mengaitkan merek yang biasa digunakan dengan dirinya sendiri (Foutnier dan Yao, 1997). Setelah mengenal merek tersebut, ada kecenderungan konsumen ingin mengetahui lebih jauh mengenai produk yaitu terkait dengan seberapa besar manfaat produk bagi konsumen.

(37)

37

Sesuai dengan tahap perkembangan suatu merek, pada tahap permulaan (introduction), pada tahap ini Perusahaan mengupayakan pengembangan merek berdasarkan karakteristik fungsional melalui komunikasi yang jelas secara terus menerus kepada konsumen. Hal ini menyebabkan konsumen dapat dengan mudah mengetahui dan membedakan merek yang satu dengan yang lainnya. Merek yang secara jujur mengkomunikasikan atribut produknya secara benar dan jelas merupakan jaminan bahwa kualitas produk tersebut konsisten dan baik. Konsumen yang telah menyadari akan keberadaan suatu merek lalu kemudian mencoba dan merasakan manfaat dari merek tersebut akan melakukan pembelian secara berulang. Kesetiaan konsumen terhadap merek dan kepuasaan terhadap kinerja produk akan membentuk konsumen yang setia, hal ini menjadi peluang bagi produsen untuk mendapatkan laba penjualan sebesar-besarnya.

2.3.2 Kesetiaan Merek

(38)

38

merek. Apabila konsumen tidak tertarik pada merek suatu produk dan membeli dikarenakan karakteristik produknya, harga dan kenyamanan dengan sedikit memperdulikan merek maka dapat diartikan kemungkinan ekuitas terhadap merek nya kecil. Sebaliknya, apabila para konsumen melanjutkan untuk membeli merek tersebut kendati dihadapkan pada para pesaing yang menawarkan karakteristik lebih unggul dari harga dan kepraktisannya, berarti ada nilai yang sangat besar dalam merek tersebut.

Oleh Aaker (1997) kesetiaan merek diartikan sebagai suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang kemungkinan konsumen beralih ke merek lain yang ditentukan oleh pesaing, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga atau atribut lainnya.

(39)

39

dikemukakan oleh Assael dan Schiffman, yang mendefinisikan kesetiaan merek sebagai sikap kesetiaan konsumen terhadap sebuah merek melalui pembelian secara berulang. Konsumen yang memiliki kesetiaan terhadap suatu merek tergolong dalam konsumen yang loyal, mereka memiliki kesetiaan yang tinggi dan pada umumnya melanjutkan pembelian terhadap merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak pilihan merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya.

Menurut Aaker (1997), terdapat tingkatan kesetiaan terhadap merek. Masing-masing tingkatan menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus menjadikannya aset yang dapat dimanfaatkan. Tingkatan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

(40)

40

dianggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak dari jenis konsumen ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.

2) Konsumen yang membeli karena kebiasaan (habitual buyer). Konsumen yang berada pada tingkat ini dapat dikategorikan sebagai konsumen yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk membeli merek produk yang lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai bentuk pengorbanan lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsumen ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

(41)

41

cost) yang terkait dengan waktu, uang atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para konsumen yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh konsumen yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal). 4) Menyukai merek (like this brand). Konsumen

yang masuk dalam kategori ini merupakan konsumen yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh kesan kualitas yang tinggi. Meskipun demikian seringkali rasa suka tersebut merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan kedalam sesuatu yang spesifik.

(42)

42

bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka, dipandang dari segi fungsionalnya maupun sebagai suatu ekspresi bahkan identitas mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas konsumen ditunjukkan dengan tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.

Tujuan besar dari sebuah perusahaan penghasil produk adalah untuk mendapatkan konsumen pada aras kelima ini, yaitu konsumen yang memiliki komitmen terhadap produk yang dapat memberikan referensi terhadap konsumen individu, kelompok maupun dalam komunitas sehingga proses pencarian customer dari custemer yang sudah ada (customer referal) dapat terbentuk dengan segera.

2.4 Hubungan antara Komunitas Konsumen dan Merek

(43)

43

nyaman tergabung dalam komunitas dan melakukan interaksi didalamnya.

Komunitas yang muncul dewasa ini praktis hampir ada di semua bidang kehidupan. Mulai dari komunitas yang sifatnya formal contohnya seperti komunitas agama, komunitas orang tua yang mendidik anaknya secara mandiri di rumah (home schooling), sampai dengan komunitas informal seperti komunitas kuliner, komunitas pecinta kucing, komunitas sepeda, dll.

(44)

44

batas-batas negara tidak relevan lagi. Glenn juga menyimpulkan, dengan akses yang semakin mudah ke dunia pendidikan dan pasar, individu-individu akan bertindak layaknya kantor pusat (holding company) yang menginvestasikan waktu mereka diberbagai kegiatan, menemukan karir yang sesuai, serta memberikan akses kepada orang lain seperti kebiasaan negara memberikan visa. Orang pun dengan mudah berganti kesetiaan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Mereka bebas menentukan apa yang mereka inginkan dan bagaimana mencapai keinginan itu. Tiap orang menentukan sendiri nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya dan menggunakan jaringan global untuk mendukungnya.

(45)

45

Untuk mengatasi kebingungan dan sekaligus keingintahuan terhadap produk atau merek, pada akhirnya konsumen membentuk komunitas yang disebut komunitas konsumen. Komunitas konsumen ini pada umumnya terbentuk karena kebutuhan untuk bertukar pengetahuan dan berbagi pengalaman mengenai produk atau merek yang sama, sehingga mereka merasa berada dalam lingkungan atau kelompok yang sama.

Komunitas konsumen dapat digunakan oleh produsen untuk memahami konsumennya, sekaligus mendapatkan banyak masukan berharga untuk perbaikan kualitas produk ataupun layanan. Menurut Soehadi dan Ardianto (2007) atas hasil risetnya mengenai komunitas konsumen, menyebutkan bahwa komunitas konsumen merupakan pasar yang paling fokus, akan lebih efektif dan mudah dalam mengembangkan program-program kesetiaan, dapat meningkatkan kesadaran akan merek dan nama baik perusahaan, yang akhirnya diharapkan mampu meningkatkan penjualan.

(46)

46

komunitas yang meskipun dibentuk oleh kesamaan produk atau merek tertentu, mereka bersikukuh bahwa mereka kelompok yang mandiri (independen). Berdasarkan hasil penelitian Ardianto (2007) mengenai keberagaman komunitas konsumen, terdapat 2 (dua) jenis komunitas konsumen, yaitu:

1) Komunitas Dependen. Komunitas yang dibentuk atas prakarsa perusahaan atau pemilik merek (brand). Contohnya: Inspired Kids Club (IKC). 2) Komunitas Independen. Komunitas yang berdiri

atas prakarsa konsumen, dan tidak terikat pada merek (brand) tertentu. Contohnya: Community Nokia Communicator, Timur-e.

(47)

47

macam kegiatan pemasaran untuk menjalin hubungan atas keberadaan komunitas konsumen yang terbentuk.

Menurut Hartono (2008) secara sederhana hubungan perusahaan dengan komunitas konsumen dibagi kedalam dua macam bentuk hubungan, yaitu hubungan simetris dan hubungan asimetris, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Hubungan Simetris. Hubungan ini pada dasarnya merupakan hubungan setara atau sejajar antara pihak perusahaan dengan pihak komunitas. Hubungan ini cenderung tidak memiliki kepentingan untuk saling mengintervensi antara satu pihak dengan pihak lainnya. Terdapat dua pola hubungan simetris yaitu:

a.Mitra Sejajar. Dalam hal ini kedua pihak memiliki posisi yang saling menguntungkan (mutualistis) dan bersepakat untuk saling bekerjasama untuk jangka waktu yang panjang dan pihak perusahaan tidak melakukan campur tangan terhadap keberadaan komunitas konsumen.

(48)

48

pada umumnya berkembang serta memiliki ikatan yang kuat seiring dengan semakin seringnya interaksi konsumen terhadap produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Hal ini terjadi ketika konsumen terpuaskan dalam suatu waktu tertentu, maka mereka akan menjadi agen getok tular (word of mouth).

2) Hubungan Asimetris. Hubungan ini terbagi atas beberapa pola hubungan. Pada dasarnya hubungan ini bukan merupakan hubungan yang saling setara tetapi bisa saja salah satu pihak ada yang lebih menguasai atau sebaliknya. Pada beberapa pola hubungan ini dapat terlihat terdapat campur tangan dari perusahaan.

(49)

49

sedikit atau bahkan tanpa ada bantuan dari pemilik merek.

(50)

50

dengan dengan komunitas dan biasanya hubungan seperti ini cenderung tidak akan bertahan lama karena hubungan ini lebih berorientasi pada jangka pendek saja.

(51)

51

kemajuan dan perkembangan komunitasnya.

Pola hubungan yang saling menguntungkan (mutualis) antara komunitas konsumen dengan perusahaan dapat memunculkan gagasan inovasi produk atau jasa (Ardianto, 1997). Dengan adanya interaksi yang dibangun secara intens, perusahaan akan mendapatkan masukan (feedback) dari komunitas konsumen tentang seperti apa produk yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen. Lantas perusahaan akan melakukan pematangan konsep tentang produknya di internal perusahaannya, sampai kepada rencana mereka untuk masuk ke pasar. Produk yang dihasilkan tersebut akan sampai ditangan konsumen melalui aktifitas bauran pemasaran, sehingga akan muncul sebuah persepsi di benak konsumen berdasarkan janji-janji yang diberikan perusahaan terhadap produknya. Persepsi yang muncul itu tentunya akan dibuktikan oleh konsumennya setelah mereka melakukan konsumsi (Kotler dan Keller: 2006).

(52)

52

dengan dekat konsumennya, layaknya sebuah mitra. Hal tersebut dapat dibangun oleh perusahaan melalui program yang berbasis manajemen relasi pelanggan (customer relationship management).

2.5 Penciptaan Nilai Bersama (co-creation value)

Melalui pandangan Prahalad dan Rameswany (2004), co-creation value diartikan suatu bentuk kerjasama yang lebih dinamis, bersifat interaktif, dan berasal dari multi sumber melalui aktifitas kreatif dan sosial melalui proses kolaborasi antara produsen dengan pengguna untuk menciptakan nilai pada pelanggan. Dalam hal ini nilai diciptakan secara bersama-sama antara perusahaan dan konsumennya. Nilai tidak hanya berupa barang yang siap dikonsumsi, tetapi juga gagasan baru tentang desain produk, desain iklan dan jingle untuk mendukung kegiatan pemasaran.

Yuswohadi dalam bukunya berjudul Crowd (2008) menambahkan, co-creation value tidak hanya sekedar menciptakan produk baru, tetapi ada empat hal yang menjadi nilai tambah dalam menggunakan strategi co-creation, yaitu:

(53)

53

menghasilkan nilai bagi pemangku kepentingan (stakeholder).

2) Co-creation membawa perubahan (change). Yaitu membawa informasi tentang pergeseran kebutuhan yang terjadi di masyarakat.

3) Co-creation menyumbang pemecahan suatu masalah (problem solving). Proses co-creation dapat memberikan pemecahan masalah yang kompleks mengenai pengembangan produk baru. 4) Co-creation dapat menemukan pengembangan

(development). Dalam proses co-creation, internal perusahaan dan pemangku kepentingan (stakeholder) dapat membuka potensi dengan memanfaatkan aset yang ada atau melakukan akuisisi aset yang baru.

Dari kedua konsep tentang co-creation value diatas dapat disimpulkan bahwa co-creation value adalah proses penciptaan bersama antara perusahaan dengan konsumen melalui ide-ide kreatif dan inovatif untuk menghasilkan sebuah produk yang memiliki nilai tinggi dan dapat diterima oleh pasar.

(54)

54

1) Co-defining. Ini adalah fase pertama dari co-creation strategy. Partisipasi dari konsumen relatif tidak besar pada fase ini. Namun konsumen turut berpartisipasi dalam menentukan jenis produk atau layanan yang akan mereka beli atau gunakan. Dalam hal ini perusahaan hanya perlu menyediakan berbagai pilihan yang dapat dipilih oleh konsumen.

2) Co-designing. Dalam fase ini partisipasi dari konsumen lebih dalam lagi. Konsumen yang menentukan preferensi terhadap sebuah produk dan layanan. Konsumen mungkin sudah menentukan atribut yang penting bagi mereka. Produk dan layanan dari hasil co-defining pastinya akan semakin menyesuaikan kebutuhan.

3) Co-developing. Fase ini terjadi apabila perusahaan dan konsumen sudah sama-sama siap, mereka dapat masuk dalam tahapan ini. Pada fase ini konsumen sudah memberikan alternatif solusi produk atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka. Konsumen yang menentukan fitur dan bentukk produk atau layanan yang akan mereka terima. 4) Co-delivering. Fase ini merupakan fase terakhir

(55)

55

melakukan hal yang lebih, artinya mereka melakukan proses delivery sendiri atau mengintegrasikan dengan aktifitas lain.

Banyak sekali keuntungan yang dapat diraih oleh perusahaan dalam melibatkan konsumennya melalui proses co-creation strategy. Selain terciptanya keterikatan (bonding), perusahaan juga akan mendapatkan semacam tenaga sukarela yang berfungsi sebagai mata dan telinga perusahaan tentang apa yang menjadi tren terbaru di masyarakat yang ada hubungannya dengan produk atau merek yang diusung.

Eksekusi pemanfaatan komunitas konsumen dalam co-creation strategy oleh Prasetyo (2010) dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:

(56)

56

walaupun tidak mengenalnya. Dengan memanfaatkan penemuan teknologi informasi ini, akan sangat memudahkan bagi perusahaan dan konsumen untuk saling berinteraksi secara intens atas informasi mengenai sebuah produk yang diusungnya. Untuk menarik minat konsumen pengguna internet melakukan interaksi, tampilan dari media komunikasi tersebut haruslah sangat menarik dan mudah digunakan (friendly user), sehingga memudahkan konsumen untuk mengakses.

(57)

57

Gambar

Gambar 2.1 Tahap-tahap perkembangan kelompok
Gambar 2.2 Matrik Jenis Komunitas yang Mengonsumsi
Gambar 2.3  Hubungan Komunitas dan Konsumsi
Gambar 2.4 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
+3

Referensi

Dokumen terkait

(2) Berita acara penyerahan pekerjaan hasil pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan khadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Subjek uji coba dilakukan pada kelas XI TEI 1 dan kelas XI TGB 2 dengan perlakuan yang sama.Setelah pengembang melakukan analisa data, maka pembahasan analisa

(2011a; 2011b) telah me- ngembangkan perangkat pembelajaran kooperatif dengan tingkat validitas baik pada mata kuliah Biologi Perkembangan Hewan di Program Studi

(9) Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atau denda dan/atau kenaikan pajak terutang yang tercantum dalam Surat Ketetapan

Soil Ecosystem Responses to Climate Change and Land-Use Simulations and Estimation of Carbon Stocks in Steppe and Forest Ecosystems in Northern

Pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan Konsolidasian dan Ringkasan Laporan Keuangan Konsolidasian Negara Kanada dilakukan oleh Office of Auditor General (AG) of