• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712013005 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1 712013005 Full text"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Kritis dari Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas terhadap Isi dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Anak dengan Tantangan

Mental di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga

Oleh

Yurischa Auxiliadora Makoni 712013005

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

Teologi (S.Si Teol)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... i

Abstrak ... iii

1. Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 3

1.3. Pembatasan Masalah ... 3

1.4. Pertanyaan Penelitian ... 4

1.5. Tujuan Penelitian ... 4

1.6. Manfaat Penelitian ... 4

1.7. Metode ... 4

1.8. Sistematika Penulisan ... 6

2. Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas Terhadap Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth ... 7

2.1. Pengertian Kurikulum ... 7

2.2. Muatan Kurikulum ... 9

2.3. Tantangan Mental (Pemahaman dasar tentang Insan dengan Tantangan mental) ... 12

2.4. Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental dari Perspektif Disabilitas.... 15

3. Hasil Penelitian Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth ... 17

3.1. Tinjauan Historis Yayasan Sosial Elisabeth ... 17

3.2. Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth . 20 3.3. Tujuan PAK di Yayasan Sosial Elisabeth ... 20

3.4. Isi Kurikulum dan Proses Pelaksanaan Kurikulum PAK ... 21

3.5. Evaluasi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth ... 22

4. Kajian Kritis dari Perspektif Teori Kurikulum Disabilitas Terhadap Isi dan Pelaksanaan Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga ... 24

4.1. Tujuan Kurikulum PAK menurut Teori Kurikulum dalam Perspektif Disabilitas ... 24

4.2. Isi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth ... 25

4.3. Proses Pelaksanaan Kurikulum PAK dari Perspektif Disabilitas ... 27

4.4. Evaluasi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth dalam Perspektif Disabilitas . 29 5. Penutup ... 30

5.1. Kesimpulan ... 30

5.2. Saran ... 30

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih dan

penyertaanNya penulis dimampukan untuk menyelesaikan kewajiban belajar sebagai

Mahasiswa Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sampai pada

penyelesaian Tugas Akhir dengan baik guna memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar

Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol).

Penulis menyadari bahwa semua tugas dan tanggungjawab sebagai Mahasiswa Teologi

tidak akan dilalui dengan baik hingga saat ini tanpa berkat kasih kemurahan dan pertolongan

dari Tuhan Yesus Kristus. Banyak hal yang penulis alami selama menjalani proses tersebut,

susah, senang, canda dan tawa silih berganti terjadi dalam kehidupan penulis namun penulis

percaya bahwa rancangan Tuhan akan indah pada waktuNya. Proses yang dialami penulis

mengajarkan kepada penulis bahwa hasil yang baik membutuhkan kerja keras, kedisiplinan

dan ketekunan. Tugas akhir ini juga tidak dapat diselesaikan menjadi sebuah karya ilmiah

tanpa adanya dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D selaku pembimbing 1 yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membimbing penulis. Dengan bimbingan

beliau, penulis dapat mengungkapkan ide-ide dalam sebuah karya tulis. Penulis

mengucap syukur dan berterimakasih karena beliau senantiasa memberikan kritik,

saran, hingga motivasi yang memampukan penulis menyelesaikan tugas akhir dengan

baik.

2. Ibu Feriningsih P. Hagni, M.Th selaku pembimbing 2 yang telah bersedia membimbing

penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Beliau meminjamkan buku-buku dan

menunjukkan sumber-sumber yang berkaitan dengan PAK.

3. Seluruh dosen Fakultas Teologi UKSW yang telah membagikan ilmu pengetahuan

kepada penulis selama empat tahun masa perkuliahan. Penulis bersyukur karena

memiliki kesempatan untuk belajar dari dosen-dosen yang luar biasa di Fakultas

Teologi UKSW.

4. Keluarga yang terkasih papa Viktor Makoni, mama Festi Makoni Dimu, opa Petrus

Makoni, oma Rosalina Makoni dan kedua adik tersayang Vito dan Aurel. Penulis

bersyukur karena mereka senantiasa memberikan dukungan baik dari segi materi

(7)

besar yang terus mendukung dan mendengarkan curahan hati dari penulis selama

menyelesaikan tugas akhir.

5. Seluruh pengurus Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga yang telah bersedia berbagi

pengetahuan dan pengalaman kepada penulis untuk menunjang penelitian tugas akhir.

6. Sahabat-sahabat terkasih Tirsa, Kiki, Wasti, Alti, Dhavid, Yunus dan kekasih hati Juan

yang selalu setia dan tidak kenal lelah untuk memberikan ide-ide, dukungan dalam doa

dan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Saudara-saudara seperjuangan angkatan 2013 Fakultas Teologi UKSW. Penulis

bersyukur untuk kebersamaan dan kekeluargaan baik dalam suka dan duka. Penulis

percaya bahwa bukan tanpa suatu alasan ketika Tuhan mempertemukan kami di

angkatan 2013.

Akhir kata, penulis mengucap syukur kepada Tuhan karena Tuhan telah menempatkan

orang-orang terbaik untuk membantu penulis dalam menyelesaikan proses pembelajaran dan

penulisan tugas akhir hingga penulis mampu menyelesaikan tugas dan tanggungjawab di

ranah akademik dengan sangat baik. Tugas akhir ini diharapkan bukan sebagai akhir dari

perjalanan pembelajaran penulis melainkan awal menuju tahap pembelajaran yang

baru.Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Salatiga, 11 September 2017

(8)

Abstrak

Anak dengan tantangan mental yang beragama Kristen berhak mendapatkan Pendidikan

Agama Kristen yang menjawab pergumulan dan kebutuhan mereka. Yayasan sosial

merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki kewajiban untuk mendidik dan

membimbing anak-anak dengan tantangan mental sesuai dengan agamanya masing-masing,

salah satunya Pendidikan Agama Kristen. Maka dari itu kurikulum Pendidikan Agama

Kristen sangat diperlukan sebagai sebuah acuan dasar untuk mencapai tujuan pendidikan.

Kurikulum bukan sekedar mata pelajaran, melainkan segala sesuatu yang telah direncanakan

untuk mengembangkan pemikiran anak dengan tantangan mental berdasarkan pengalaman

hidup mereka, kebutuhan, pergumulan, pengetahuan yang baru dan interaksi sosial dengan

masyarakat. Sayangnya penyususnan kurikulum Pendidikan Agama Kristen oleh Yayasan

Sosial Elisabeth belum berkaitan dengan aspek-aspek kurikulum dan kebutuhan insan dengan

disabilitas. Hal ini terlihat jelas karena tidak adanya buku pedoman bagi para pengasuh

sebagai pendidik yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Kristen maupun psikologi.

Tidak tersedianya buku dan keterbatasan sumber daya pendidik mengakibatkan tidak

berkembangnya kurikulum Pendidikan Agama Kristen baik dari segi metode pengajaran,

materi yang tidak variatif dan tidak adanya pembahasan yang berkaitan dengan kebutuhan

nara didik dengan tantangan mental. Aspek-aspek dalam pengembangan kurikulum diabaikan

karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya kurikulum.

(9)

Kajian Kritis dari Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas terhadap Isi dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Anak dengan Tantangan

Mental di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kehidupan merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah. Hal ini menunjukkan

bahwa semua manusia berharga di mata Allah karena manusia diciptakan segambar dan

serupa dengan Allah (Imago Dei). Namun sangat disayangkan ketika manusia dalam

menjalani kehidupannya mulai membangun sebuah standar „kenormalan‟ atau sebuah standar kesempurnaan sehingga orang-orang yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental,

kognitif atau yang sering disebut sebagai IDD (insan dengan disabilitas) sering diasingkan

dan dikucilkan dalam kehidupan bersama sebagai umat manusia. Anak-anak dengan

tantangan mental adalah salah satu dari begitu banyak IDD yang mengalami perlakuan yang

tidak layak di dalam masyarakat.

Menurut Amin, anak-anak dengan tantangan mental adalah mereka yang kecerdasannya

jelas berada di bawah rata-rata. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang

abstrak, yang sulit-sulit, dan yang berbelit-belit.1 Disamping itu, anak-anak dengan tantangan

mental tidak mampu untuk berinteraksi sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan

sehingga mereka membutuhkan pelatihan dan pendidikan khusus untuk bisa mandiri.

Kelompok anak dengan tantangan mental terbagi atas: Idiocy, Imbisil, Debil, Down Syndrom

dan cacat ganda.2

Yayasan Sosial Elisabeth yang berlokasi di daerah Karangalit Kelurahan Dukuh

Salatiga, hadir sebagai salah satu wadah atau tempat untuk mendidik, membimbing dan

mengajarkan anak-anak dengan tantangan mental tentang berbagai pengetahuan yang

berhubungan dengan kebutuhan mereka di masa yang akan datang seperti adanya pengajaran

untuk menulis, membaca, pengajaran tentang agama Kristen, dsb. Pengajaran yang diberikan

setara dengan pemberian materi di taman kanak-kanak dan sekolah luar biasa sehingga dapat

dikatakan bahwa Yayasan Elisabeth merupakan salah satu tempat yang memberikan

pendidikan informal kepada anak-anak dengan tantangan mental.

Di dalam pelaksanaan pendidikan di Yayasan Elisabeth, pendidikan atau pengajaran

agama Kristen menjadi fokus utama yang perlu untuk di ajarkan kepada anak-anak dengan

1

Moh Amin, Ortopedagogik Anak Tunagrahita (Jakarta: Depdikbud Dikti, P2TG, 1995), 11.

2

(10)

tantangan mental. Ini berarti bahwa sekalipun mereka memiliki tingkat kecerdasan yang

rendah, memiliki tetap hak sebagai umat Kristen untuk mengenal Tuhan. Iman mereka harus

terus terpelihara karena iman adalah pemberian atau anugerah dari Tuhan.3 Pendidikan

Agama Kristen mengandung tiga unsur yaitu pendidikan, agama, dan Kristen. Pendidikan

tidak selalu berpusat pada pengetahuan akademik melainkan pembentukan karakter,

pewarisan nilai sosial dan budaya, memberikan keterampilan, maupun pengalaman kepada

nara didik. Agama berkaitan dengan penghayatan dan pemaknaan seseorang terhadap

relasinya dengan yang transenden atau yang Maha Kuasa dan pemaknaan tersebut

diaplikasikan dalam cara hidup atau praxis yang sesuai dengan apa yang dimaknai.

Sedangkan kata Kristen menunjukkan bahwa Pendidikan Agama dilakukan oleh persekutuan

iman Kristen sesuai dengan perspektif agama Kristen.4 Hal yang membedakan Pendidikan

Agama Kristen dengan Pendidikan Agama atau pendidikan yang lain adalah nilai Kristen

yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Kristen adalah suatu

usaha untuk mengkomunikasikan Firman Allah melalui pembelajaran yang dilakukan secara

sengaja, terencana dan berkelanjutan tidak hanya diberikan bagi orang-orang dewasa

melainkan pendidikan Agama Kristen perlu ditanamkan sejak dini kepada anak sehingga

anak bisa bertumbuh dalam karakter Kristus.

Pendidikan agama Kristen yang dilakukan harus sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

kebutuhan anak-anak dengan tantangan mental. Di yayasan sosial Elisabeth, para pengasuh

sebagai pendidik hanya menggunakan sebuah kurikulum yang dibuat seadanya oleh yayasan

yaitu hanya sebatas sebuah kurikulum binadiri yang meliputi kemampuan merawat diri,

mengurus diri, menolong diri, komunikasi, dan sosialisasi sehingga peneliti merasa bahwa

perlu adanya kurikulum yang memadai terkhususnya kurikulum PAK agar anak-anak dengan

tantangan mental juga bisa belajar dan bertumbuh dalam karakter Kristus. Sama seperti

bidang pendidikan yang lain, PAK juga membutuhkan sebuah kurikulum. Menurut Wyckoff,

kurikulum adalah pengalaman yang dibimbing menuju kepada pemenuhan tujuan PAK yang

meliputi tindakan dan usaha dalam menjalin relasi dengan sesama.5 Oleh karena itu,

penyusunan materi dalam kurikulum harus dipertimbangkan dalam beberapa aspek. Menurut

Nasution, ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah kurikulum, antara lain

dasar filosofis, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dasar organisator.6

3 Johannes, Abineno, Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 3. 4

Daniel, Nuhamara, Pembimbing PAK Pendidikan Agama Kristen, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 23.

5

D. Campbell Wyckoff, Theory and Design of Christian Education Curriculum (Philadelphia :The Westminster Press, 1960), 27.

6

(11)

Melalui tulisan ini, penulis ingin melakukan kajian kritis terhadap isi dan pelaksanaan

kurikulum PAK yang ada di yayasan sosial Elisabeth karena penulis merasa bahwa

kurikulum PAK yang ada di yayasan tersebut belum mampu menjawab kebutuhan dan

pergumulan iman anak-anak dengan tantangan mental. Menurut Hilda Taba, Curriculum is a

plan for learning7 atau kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang

bersifat umum dan khusus, dan materinya dipilih dan diorgnanisasikan berdasarkan suatu

pola tertentu untuk kepentingan proses belajar-mengajar. Biasanya dalam suatu kurikulum

sudah termasuk dengan program penilaian hasilnya. Oleh karena itu, penyususnan materi

dalam kurikulum perlu untuk dipertimbangkan secara matang dan memperhatikan

aspek-aspek yang berkaitan dengan kebutuhan dan pergumulan nara didik. Berdasarkan latar

belakang tersebut penulis menuliskan judul: “Kajian Kritis dari Perspektif Teori

Kurikulum dan Disabilitas terhadap Isi dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga”

1.2. Identifikasi Masalah

Yayasan sosial merupakan salah satu tempat yang memungkinkan anak dengan

tantangan mental untuk mendapatkan PAK karena adanya keterbatasan keluarga dan gereja

dalam pengajaran PAK. Anak-anak dengan tantangan mental perlu untuk mendapatkan PAK

disamping keterampilan untuk bisa mengurus diri sendiri karena PAK dapat membantu

mereka untuk tumbuh di dalam pengenalan akan Kristus. PAK dapat memberikan mereka

penguatan untuk menghadapi berbagai situasi yang ada di sekitar mereka seperti penolakan

dalam masyarakat. Penolakan yang terjadi di dalam masyarakat terjadi karena adanya sebuah

standar kenormalan yang dibangun masyarakat dalam menilai sesama manusia. Dengan

adanya sebuah standar kenormalan dalam masyarakat maka anak dengan tantangan mental

belum bisa diterima untuk berkerjasama dengan orang-orang „normal‟ baik itu dalam dunia

pekerjaan, pendidikan, lingkungan sosial, dan bahkan di dalam gereja. Oleh karena itu, PAK

dibutuhkan oleh anak dengan tantangan mental agar mereka dapat hidup bersama-sama

dengan masyarakat non disabilitas.

1.3. Pembatasan Masalah

Dari masalah yang telah dijelaskan, penulis akan memfokuskan diri kepada masalah

PAK yang didapatkan oleh anak dengan tantangan mental di Yayasan Sosial Elisabeth.

Penulis ingin meninjau kurikulum PAK yang digunakan oleh Yayasan Sosial Elisabeth dan

7

(12)

mengkaji isi dan pelaksanaan kurikulum PAK tersebut berdasarkan perspektif teori

kurikulum dan disabilitas.

1.4. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang ditujukan adalah :

a. Apa isi kurikulum PAK untuk anak dengan tantangan mental di Yayasan Sosial

Elisabeth ditinjau dari perspektif teori kurikulum dan disabilitas?

b. Bagaimana pelaksanaan kurikulum PAK untuk anak dengan tantangan mental di

Yayasan Sosial Elisabeth ditinjau dari perspektif teori kurikulum dan disabilitas?

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian maka tujuan penelitian adalah:

a. Menganalisa isi kurikulumPAK di Yayasan Sosial Elisabeth dilihat dari

perspektif teori kurikulum dan disabilitas

b. Melakukan kajian kritis terhadap pelaksanaan kurikulum PAK di Yayasan Sosial

Elisabeth berdasarkan perspektif teori kurikulum dan disabilitas

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi

masyarakat maupun yayasan-yayasan sosial yang ada di Indonesia khususnya Yayasan Sosial

Elisabeth untuk lebih memperhatikan penerapan kurikulum PAK bagi anak dengan tantangan

mentaldengan mengingat bahwa IDD juga mempunyai hak sama sebagai umat Kristen untuk

bisa bertumbuh dalam karakter Kristus.

1.7. Metode

a. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dan observasi lapangan. Alasan peneliti memilih pendekatan tersebut karena

pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang

berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah. Karena orientasinya demikian,

maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa

dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun langsung di lapangan. Oleh sebab itu,

penelitian semacam ini disebut dengan field study (studi lapangan).Metode kualitatif

selalu dimulai dengan beberapa konsep pertanyaan untuk mencari tahu proses yang

terjadi. Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep awal yang

(13)

yang terjadi di lapangan.Selain itu, metode kualitatif memiliki perspektif dinamis, yakni

terus berkembang.8

Alasan mendasar metode pendekatan kualitatif dipilih karena data kualitatif

memuat penjelasan mengenai proses yang terjadi sehingga kita dapat memahami alur

secara kronologis, menilai sebab-akibat, dan memperoleh banyak penjelasan. Data

kualitatif sangat terbuka terhadap penemuan yang baru.9

b. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan adalah data primer. Data primer adalah data yang

dikumpulkan dari situasi aktual ketika peristiwa terjadi.10Cara yang dipilih untuk

mendapatkan data primer yakni melalui observasi dan wawancara secara langsung.

Peneliti menggunakan teknik wawancara karena dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada narasumber maka peneliti dapat menggali lebih

dalam informasi yang hendak didapatkan dari seorang narasumber. Selain itu, teknik

wawancara membantu peneliti untuk membangun relasi yang baik dengan narasumber

agar informasi yang didapat bersifat akurat. Peneliti juga hendak mengumpulkan data

dengan melakukan observasi atau pengamatan langsung tentang bagaimana pengajaran

agama Kristen di Yayasan Sosial Elisabeth. Cara observasi sangat baik untuk dilakukan

karena peneliti dapat memastikan hasil wawancara dengan kenyataan yang terjadi di

lapangan. Selain itu, peneliti juga akan mengumpulkan data melalui tinjauan pustaka

terhadap kurikulum PAK yang digunakan di Yayasan Sosial Elisabeth.

c. Pengumpulan Data

Peneliti melakukan dua tahap untuk melakukan pengumpulan data. Tahap

pertama adalah melakukan wawancara. Dalam wawancara, pertanyaan yang diajukan

bersifat terbuka dan tidak terstruktur. Hal ini tergantung dari jawaban-jawaban yang

diberikan oleh informan dan pertanyaan dapat disesuaikan dengan kondisi pada saat

wawancara dilakukan. Untuk merekam data, peneliti akan menggunakan catatan kasar.

Tahap kedua adalah analisis kritis terhadap kurikulum yang telah disusun oleh para

pengurus yayasan. Analisis kritis ini dilakukan untuk untuk meninjau kembali apakah

kurikulum yang ada mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan anak-anak dengan

tantangan mental.

8 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitan Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),

25-26.

9

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2009) mengutip Matthew B Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: U-I Pres, 1992), 284-285.

10

(14)

d. Informan

Informan yang akan diwawancarai untuk pengumpulan data adalah pengurus

Yayasan Sosial Elisabeth sebagai pembuat kurikulum, para pengasuh untuk mengetahui

sejauh mana pelaksanaan kurikulum PAK telah dilaksanakan dan anak-anak dengan

tantangan mental sebagai nara didik. Melalui pengurus yayasan, para pengasuh dan

anak-anak dengan tantangan mental, peneliti dapat memperoleh informasi mengenai

cara mengajar maupun kurikulum.

1.8. Sistematika Penulisan

Di dalam proses penulisan, karya tulis ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama

merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, identifikasi serta rumusan

masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika

penulisan. Pada bagian pendahuluan inilah dikemukakan akar permasalahan dan opini awal

penulis yang mendasari penulisan.

Bagian kedua berisi teori-teori yang relevan dengan karya tulis. Teori-teori yang

digunakan adalah teori mengenai kurikulum PAK dan teori mengenai disabilitas khususnya

teori disabilitas bagi anak-anak dengan tantangan mental. Teori tersebut diharapkan mampu

menjelaskan mengenai isi dan pelaksanaan kurikulum PAK bagi anak-anak dengan tantangan

mental. Selain itu, teori-teori tersebut juga diharapkan mampu menjelaskan kebutuhan serta

pengalaman iman Kristen anak-anak dengan tantangan mental.

Bagian ketiga berisi hasil penelitian. Dalam bagian ini akan dilakukan penelitian

terhadap isi dan pelaksanaan kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga. Penelitian

akan dilakukan dengan wawancara dan pengumpulan data tertulis. Bagian keempat berisi

kajian terhadap hasil penelitian. Setelah dilakukan penelitian, data yang telah dikumpulkan

akan ditinjau berdasarkan teori yang sudah di paparkan pada bagian kedua. Isi dan

pelaksanaan kurikulum akan dikaji berdasarkan teori kurikulum PAK dan teori disabilitas

bagi anak-anak dengan tentangan mental.

Bagian kelima yang merupakan penutup berisi kesimpulan dari hasil kajian penelitian

yang akan ditinjau secara kritis dari teori-teori dan saran. Saran akan diberikan kepada

Yayasan Sosial Elisabeth di Salatiga apabila setelah melakukan analisa dari hasil penelitian

terdapat ketidaksesuaian kurikulum PAK yang digunakan dengan teori yang ada serta

(15)

2. Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas Terhadap Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth

2.1. Pengertian Kurikulum

Pendidikan adalah salah satu alat penting yang dibutuhkan manusia untuk mencapai

makna dan pemenuhan hidup.11 Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia nomor

20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa

dan negara. Pendidikan diselenggarakanpada jalur formal, nonformal, dan informal pada

setiap jenjang dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan formal bersifat terstruktur dan

berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi

sedangkan jalur pendidikan nonformal dan informal yang sering diasosikan sebagai

pendidikan luar sekolah bisa didapatkan melalui berbagai institusi atau kelembagaan

salah satunya yaitu yayasan sosial. Phillips H. Combs mengungkapkan bahwa pendidikan

luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di

luar sistem formal untuk memberikan layanan kepada nara didik dalam rangka mencapai

tujuan belajar.12

Yayasan sosial menjadi salah satu wadah terlaksananya pendidikan luar sekolah

karena pada hakekatnya pendidikan tersebut dapat terlaksana kapan saja dan di mana saja,

asalkan “ada insan yang berkomunikasi secara sadar dan bermakna, baik secara langsung ataupun dengan perantara medium komunikasi”.13

Suatu pendidikan dapat mencapai tujuan

yang optimal apabila struktur pendidikannya jelas terarah dan terencana. Kurikulum adalah

cara agar pendidikan menjadi sistematis.

Kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga di zaman Yunani kuno yang

berasal dari kata curir dan curere, artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari (start

sampai finish).14 Mengacu pada pemikiran Hilda Taba, dalam bukunya Nasution menuliskan

kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai

anggota yang produktif dalam masyarakatnya. Dalam proses tersebut ada dua subjek yang

terlibat, yakni pendidik dan nara didik. Pendidik memiliki tanggungjawab untuk membawa

11Elly Macha, “Disability and Public Issues: Health, Poverty, Education, Gender, and Unemployment”, Doing Theology from Disability Perspective (Manila: ATESEA, 2011), 95.

12

Soelaiman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1992), 50.

13

Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, 66.

14

(16)

para nara didik pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Pendidik tidak

semata-mata sebagai “pengajar” yang melakukan transfer of knowledge tetapi juga sebagai

“pendidik” yang melakukan transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing yang

memberikan pengarahan dan menuntun nara didik dalam belajar.15 Kurikulum tidak hanya

meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi, hubungan

sosial antara guru dan murid, metode mengajar, mengevaluasi termasuk kurikulum.16 Selain

itu, kurikulum juga tidak hanya dilaksanakan di dalam kegiatan akademik, melainkan juga

melalui kegiatan-kegiatan non akademik seperti pengabdian masyarakat dan kegiatan yang

berhubungan dengan keterampilan.

Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam

mempersiapkan nara didik dengan kemampuannya menginternalisasi nilai atau hidup sesuai

dengan norma masyarakat dan mampu mengembangkan kemampuan nara didik sesuai

dengan minat dan bakatnya. Kurikulum juga harus bisa menyajikan pengalaman eksistensial

manusia yakni memperkenalkan kebebasan dan kemandirian berpikir, kekuasaan sosial dan

politik, menghargai kebebasan orang lain, dan menerima keberagaman pendapat serta

keberagaman individu di dalam masyarakat tanpa memperhatikan golongan, ras, ataupun

keyakinan.17

Wina Sanjaya yang mengacu pada pemikiran Hamalik menjelaskan bahwa kurikulum

memiliki tiga peranan penting, yaitu:18Pertama, peranan konservatif yaitu kurikulum

membantu nara didik untuk memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup

masyarakatnya agar ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka dapat menjunjung tinggi

dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Kedua, peran kreatif yaitu kurikulum

harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat

yang terus berubah. Kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu

nara didik untuk mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berpartisipasi

aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang terus bergerak maju secara dinamis. Ketiga,

peran kritis dan evaluatif yaitu kurikulum berperan dalan menyeleksi dan mengevaluasi

segala sesuatu yang dianggap bermanfaat bagi kehidupan nara didik.

Oleh karena itu, kurikulum sebagai sebuah rencana belajar membutuhkan perencanaan

yang baik dan tepat sasaran. Kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi

15 Sadirman, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 125. 16

Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 5-6.

17

Patrick Slattery, Curriculum Development in the Postmodern Era (New York dan London: Garland Publishing Inc., 1995), xii.

18

(17)

bagaimana proses pelaksanaan rencana yang melibatkan dua subjek yaitu pendidik sebagai

implementator dan nara didik yang akan menerapkan kurikulum secara konkret dalam

kehidupan mereka. Melalui kurikulum yang tepat sasaran, nara didik mampu produktif di

tengah masyarakatnya.

2.2. Muatan Kurikulum

Kurikulum sebagai suatu sistem tentu mempunyai mempunyai komponen-komponen

yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ralph W.

Tyler mengemukakan empat prinsip dasar yang menjadi inti kajian kurikulum, yaitu:19

Pertama, rumusan tujuan pendidikan dan tujuan kurikulum yang hendak dicapai. Tujuan yang

telah dirumuskan berfungsi untuk menentukan arah dan corak kegiatan pendidikan dan tujuan

tersebut menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan pendidikan. Kedua, pengalaman

pendidikan dan pengalaman nara didik digunakan dalam proses pendidikan. Proses ini akan

membantu nara didik untuk berkembang karena mereka belajar untuk mengeksplorasi

pengalaman pribadi mereka ke dalam pengetahuan yang baru mereka dapat sehingga

memberi mereka pengalaman yang baru.

Ketiga, pengalaman pendidikan maupun pengalaman kehidupan nara didik

diorganisasikan secara efektif dengan menggunakan metode yang tepat dalam pengajaran.

Metode yang dipilih harus kreatif agar nara didik mendapat pengalaman pendidikan yang

baru, bukan sekedar menghafal materi yang diberikan dalam proses belajar. Metode perlu

disusun sekreatif dan seinovatif mungkin, bahkan bisa menggunakan kurikulum tersembunyi.

Kurikulum tersembunyi adalah bagian yang tidak secara sengaja diajarkan, misalnya

peraturan untuk menjaga sikap.20 Keempat, melakukan evaluasi untuk kurikulum yang telah

dilaksanakan untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan tujuan awal. Evaluasi terhadap

kurikulum bertujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan program pendidikan untuk

nara didik dan strategi bagaimana program itu harus dilaksanakan.

Keberhasilan pendidikan juga bisa diukur dari hasil empat pilar pengalaman belajar

menurut UNESCO. Empat pilar pendidikan diorientasikan pada pencapaian ranah kognitif,

afektif, dan psikomotorik, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat

(learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), dan belajar hidup bersama

19

Ralph W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (London: The University of Chicago Press, 2013), vii.

20

(18)

(learning to live together).21 Keempat pilar ini dapat membantu pendidik untuk bisa

mengembangkan proses belajar mengajar yang lebih kondusif dan komunikatif karena

naradidik diajak untuk bisa mengeksplor materi yang didapatkan dalam kelas dalam proses

interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Nasution, dalam melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum

terdapat empat asas pokok, yaitu asas filosofis, asas psikologis, asas sosiologis, dan asas

organisatoris.22Pertama, asas filosofis berkaitan dengan tujuan pendidikan yang sesuai

dengan filsafat negara. Asas filosofis yang digunakan di Indonesia adalah Pancasila. Maka

nara didik perlu didik menjadi manusia yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Pendidikan

tidak selalu mengajarkan hal-hal akademik saja melainkan juga nilai-nilai kehidupan. Filsafat

sebagai sebuah pandangan hidup agar tujuan pendidikan dan pengajaran bisa tercapai untuk

menghasilkan nara didik yang menjadi manusia beriman, berilmu, selaras dan seimbang.

Penerapan asas filosofis bisa diterapkan melalui metode-metode kreatif seperti menempelkan

tulisan-tulisan yang berisi tentang nilai-nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat di

tembok atau dinding.

Kedua, asas psikologis dalam kurikulum mempertimbangkan faktor anak yakni

psikologi anak (perkembangan anak) dan psikologi belajar (proses belajar anak). Kebutuhan

anak juga harus diperhatikan seperti kebutuhan jasmaniah, kebutuhan pribadi, kebutuhan

sosial, dan beragam kebutuhan lain. Sebagai manusia yang berkembang, anak juga perlu

diperhatikan perkembangannya seperti perkembangan intelektual dan perkembangan

sosial-emosional. Psikologi perkembangan anak diperlukan terutama dalam menetapkan isi

kurikulum yang diberikan kepada anak agar tingkat keluasan dan kedalaman bahan pelajaran

sesuai dengan taraf perkembangan anak.23

Ketiga, asas sosiologis meliputi keadaan individu sebagai makhluk sosial. Anak tidak

hidup sendiri terisolasi dari manusia lainnya, ia selalu hidup dalam suatu masyarakat. Anak

perlu memahami tugas dan tanggungjawabnya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai

dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik dari segi budaya

maupun kemajuan iptek. Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat menuntut kurikulum

untuk ikut berkembang. Kurikulum juga harus mampu menggunakan masyarakat sebagai

bentuk pembelajaran. Keempat, asas organisatoris mempertimbangkan bentuk dan organisasi

21

Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 116.

22

Nasution, Asas-Asas Kurikulum, 11-14.

23

(19)

bahan pelajaran yang disajikan. Bahan ajar yang sering digunakan dalam proses belajar

mengajar ialah buku pegangan. Akan tetapi pendidik juga bisa menggunakan bahan ajar lain

yang menunjang proses pendidikan.

Keempat asas yang dikemukakan oleh Nasution masih sangat bersifat umum bagi

pengembangan kurikulum di bangku pendidikan karena asas-asas tersebut tidak didasarkan

pada jenjang usia pendidikan. Dalam mengembangkan kurikulum bagi anak khsusnya anak

dengan tantangan mental maka pemahaman tentang masa perkembangan anak sangat

diperlukan. Sanjaya mengemukakan pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan

disebabkan pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu.

Pada setiap tahapan itu anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu.

Kedua, nara didik yang sedang berada pada masa perkembangan merupakan periode yang

sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Ketiga, pemahaman

akan perkembangan anak akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan.24

Kurikulum yang dibuat bagi nara didik harus di terapkan terlebih dahulu dalam kehidupan

pendidik. Artinya bahwa nara didik tidak saja sebagai pengajar tetapi juga menjadi model

bagi nara didik dalam berperilaku. Pendidik sebagai model yang baik akan memberikan

konsep berpikir kepada nara didik.

Jadi, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsep dari seorang anak terhadap sesuatu

dapat mempengaruhi pengertiannya sekaligus tingkah lakunya. Anak sebagai subjek belajar

harus mampu menghayati dan melakukan apa yang dipahaminya dalam proses belajar. Dalam

proses pendidikan yang menyangkut dalam hal belajar danmengajar pasti harus tepat sasaran

dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan

asas-asas dari kurikulum yang dijadikan sebagai landasan dalam pengembangannya sehingga

dengan begitu akan membantu kemampuan anak-anak dalam hal pengertian mereka untuk

menentukkan jenis penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak dari hasil belajar

untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Beberapa bentuk kurikulum yang ditawarkan adalah subject curriculum, activity

curriculum, experience curriculum, life curriculum dan core curriculum. Subject curriculum

yaitu penyajian mata pelajaran secara terpisah sesuai dengan minat dan kebutuhan nara didik

dan hanya menggunakan satu bahan ajar. Activity curriculum yaitu kurikulum yang berpusat

pada kegiatan. Materi yang diberikan kepada nara didik dalam bentuk sebuah proyek yang

harus diselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan pendidik. Nara didik dilatih untuk bisa

24

(20)

memecahkan masalah dan menyelesaikan sendiri tugas-tugasnya. Experience curriculum

yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman nara didik. Life curriculum yaitu kurikulum

yang berlandaskan pada proses sosial dan fungsi kehidupan sehingga kurikulum tersebut

berisi materi-materi pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan nara didik. Core

curriculum yaitu kurikulum yang bertujuan mengembangkan integrasi, melayani kebutuhan

nara didik dan meningkatkan keaktifan belajar serta hubungan antara kehidupan dan belajar.

Kurikulum bukanlah sekedar silabus atau daftar mata pelajaran tetapi keseluruhan

proses pendidikan yang dimulai dari tujuan hingga evaluasi. Penulis memilih core curriculum

yang memperhatikan isi mata pelajaran, mengajak nara didik untuk berpartisipasi aktif,

memasukkan pengalaman hidup nara didik, dan mempertimbangkan keseharian nara didik

karena dalam proses belajar, anak sebagai subjek belajar harus mampu menghayati dan

melakukan apa yang dipahaminya. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan asas-asas

dari kurikulum yang dijadikan sebagai landasan dalam pengembangan kurikulum sehingga

dapat membantu kemampuan anak-anak dalam hal pengertian mereka untuk menentukkan

jenis penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak dari hasil belajar untuk mencapai

tujuan yang diinginkan.

2.3. Tantangan Mental (Pemahaman dasar tentang Insan dengan Tantangan mental)

Mental bagi manusia merupakan pelengkap kehidupan yang paling „sempurna‟ sebab

kecerdasan adalah satu-satunya pembenar yang menjadi pembeda antara manusia dengan

makhluk lain yang ada di muka bumi ini. Sepanjang waktu selama manusia beraktivitas, ia

akan melibatkan mental sebagai pengendali motorik tubuh dalam beraktivitas. Oleh sebab itu,

kelainan atau gangguan alat sensoris ini pada seseorang berarti ia telah kehilangan sebagian

besar kemampuan untuk mengabstraksi peristiwa yang ada di lingkungan secara akurat.

Istilah tantangan mental dalam beberapa referensi disebut pula dengan berkelainan mental

subnormal, terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded, tunagrahita.25 Defenisi tantangan

mental yang dikemukakan oleh The American Association on Mental Deficiency yang

mengacu kepada pendapat Grossman menyatakan bahwa tantangan mental merupakan

keadaan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, dan terjadi bersamaan dengan

kekurangan pada perilaku adaptif.26

25

Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 87-88.

26

(21)

Menurut data dari International Labour Organization (ILO) pada tahun 2010, insan

dengan tantangan mental di Indonesia berjumlah sekitar 1.389.614.27 Payne & Patton dalam

bukunya menyatakan bahwa tantangan mental terjadi karena dua faktor yaitu faktor biologi

dan faktor psikososial.28 Faktor biologi yaitu adanya kelainan kromosom pada aspek jumlah

maupun bentuknya. Kelainan pada jumlah kromosom menyebabkan terjadinya down

syndrom pada anak. Selain itu, terjadinya infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat

berakibat rusaknya jaringan otak, adanya gangguan metabolisme dan kekurangan kelenjar

getah bening pada ibu hamil. Sedangkan faktor psikososial yaitu tidak terpenuhinya

kebutuhan psikososial awal-awal perkembangan seperti kurangnya penerimaan orang tua

terhadap kondisi anak, trauma, anti sosial karena adanya tekanan dan stigma negatif

masyarakat. Anak dengan tantangan mental bukan sekedar kehilangan fungsi bagian

tubuhnya tetapi juga merasakan diskriminasi dalam kehidupan sosial. Adanya stigma negatif

masyarakat sehingga mereka kesulitan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, kesulitan

dalam menggunakan fasilitas umum yang diciptakan oleh dan untuk orang non disabilitas,

sulitnya mendapatkan pekerjaan, dan kesulitan mendapatkan kesetaraan dengan orang non

disabilitas.

Secara psikologis, anak dengan tantangan mental diklasifikasikan menurut indeks

mental inteligensinya yaitu IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan

IQ 50-75 kategori debil dan moron. Melalui indeks inteligensinya, anak dengan tantangan

mental dapat dikelompokan menjadi anak dengan tantangan mental mampu didik, anak

dengan tantangan mental mampu latih dan anak dengan tantangan mental mampu rawat.29

Anak dengan tantangan mental mampu didik memiliki kemampuan untuk mengikuti

program sekolah biasa walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat

dikembangkan dari anak dengan tantangan mental mampu didik yaitu membaca, menulis,

mengeja, berhitung. Selain itu, mereka juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

dan mandiri untuk mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Mereka juga

mampu dilatih untuk memiliki keterampilan untuk kepentingan kerja di kemudian hari.

Namun, anak retardasi memiliki kesulitan untuk mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa.

Hal ini terjadi karena kurikulum yang digunakan di sekolah luar biasa bersifat umum tanpa

memperhatikan klasifikasi insan dengan disabilitas. Nara didik dengan dengan tantangan

27 International Labour Organization, “Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia” yang diunduh dari

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf

pada 16 Maret 2017 pukul 21.00, 2.

28

Payne, Patton, Mental Retardation, 62&91.

29

(22)

mental hanya mampu berpikir secara konkret, mereka kesulitan berpikir secara abstrak. Anak

dengan tantangan mental mampu latih bisa diberdayakan untuk mengurus diri sendiri,

menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan melakukan fungsi sosial kemasyarakatan

menurut kemampuannya. Anak dengan tantangan mental mampu rawat adalah mereka yang

memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau

melakukan sosialisasi. Ia membutuhkan perawatan sepenuhnya dari orang lain sepanjang

hidupnya.

Di Indonesia anak dengan tantangan mental ataupun insan dengan disabilitas sering

disebut sebagai penyandang cacat, bahkan dalam undang-undang pun disebut sebagai

penyandang cacat. Dalam UU 4/1997 penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai

kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat

fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental. Definisi mengenai

insan dengan disabilitas ini secara tidak langsung menunjukkan kuatnya budaya kenormalan

di tengah masyarakat Indonesia. Pertama, adanya stigma negatif dalam masyarakat terhadap

anak dengan tantangan mental. Kedua, penolakan dan diskriminasi terhadap anak dengan

tantangan mental. Ketiga, marjinalisasi terhadap anak dengan tantangan mental dalam akses

pelayanan publik. Keempat, marjinalisasi dan diskriminasi anak dengan tantangan mental

dalam penafsiran teks-teks.

Agama pun seakan-akan menambah kesulitan bagi anak-anak dengan tantangan mental,

termasuk agama Kristen Protestan. Demi perkembangan teologi disabilitas, terdapat beberapa

tantangan dalam berteologi disabilitas.30 Pertama, tantangan mental sebagai sebuah upah

dosa. Di Indonesia, anak dengan tantangan mental dianggap sebagai orang berdosa atau anak

dari pendosa. Kedua, anak dengan tantangan mental dianggap sebagai sebuah penyakit yang

harus disembuhkan. Menurut Kirk, mental retarded is not disease but a condition.31

Tantangan mental tidak bisa disembuhkan atau diobati untuk menjadi manusia yang sehat

secara jasmani. Paradigma masyarakat kerap menganggap bahwa mereka yang tidak dapat

disembuhkan berarti memiliki kekurangan dalam iman. Selain itu, keutuhan hanya milik

mereka yang non-disabilitas.

Ketiga, tantangan mental sebagai sebuah takdir. Takdir adalah sesuatu yang ditetapkan

oleh Tuhan sehingga kerap kali Tuhan disalahkan karena ketidakadilan yang Tuhan ciptakan.

30 Christiani, “Persons with Disabilities in Indonesia”, Doing Theology from Disability Perspective

(Manila: ATESEA, 2011), 8.

31

(23)

Keempat, tantangan mental dikaitkan dengan spiritualitas dan tubuh. Tubuh kerap

dikesampingkan sebab roh yang dianggap lebih penting. Padahal tubuh sama pentingnya

dengan roh sehingga penerimaan terhadap tubuh juga penting. Kelima, rumah untuk semua.

Salah satu rumah yang dapat orang dengan disabilitas merasa aman dan nyaman adalah panti

ataupun yayasan sosial. Di yayasan sosial mereka berkumpul dan saling menerima.

Tantangan berteologi di Indonesia adalah membuat Indonesia sebagai rumah bagi semua.

Bukan hanya penerimaan, tetapi terwujud juga dalam fasilitas yang bisa diakses insan dengan

disabilitas. Mereka membutuhkan dan berhak dicintai dan diterima apa adanya, mendapat

pendidikan, bekerja, menikah, memiliki anak, hidup sesuai dengan hukum negara,

diperbolehkan memilih tempat serta bersama siapa ia akan tinggal, memiliki sahabat dan

teman, beribadah, dan bisa mengekspresikan emosi mereka.32

Yayasan sosial menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi insan dengan

disabilitas karena di tempat tersebut mereka diterima dengan berbagai kondisi dan keadaan

yang ada pada mereka. Dengan tinggal di yayasan sosial ataupun panti, insan dengan

disabilitas diasingkan dari keluarga dan masyarakat mereka. Ini adalah tantangan bagi teologi

untuk mengembangkan lingkungan yang mempromosikan rumah bagi semua orang, di mana

orang mengembangkan komunitas yang dipenuhi cinta, akseptabilitas dan solidaritas. Melalui

ini, dunia bisa menjadi rumah bagi semua orang.33

2.4. Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental dari Perspektif Disabilitas

“Kurikulum” dalam pengertian pendidikan agama Kristen dipahami sebagai program pembelajaran lengkap untuk anak-anak berdasarkan pada Alkitab yang bertujuan untuk

mengerjakan iman dalam hati anak-anak, untuk membawa iman yang baru menjadi nyata

dalam perbuatan.34 Menurut Lois E. Lebar, isi kekristenan tanpa pengalaman adalah hampa

dan pengalamn tanpa isi adalah kebutaan. Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah

kebenaran-kebenaran sebagaimana diungkapkan atau diwahyukan oleh Kristus dan dalam

Alkitab melalui bimbingan roh kudus.35

Terdapat lima asas yang bisa menjadi pembimbing dalam melaksanakan PAK.36

Pertama, Alkitab sebagai pembimbing. Segala sesuatu yang disampaikan dan diajarkan dalam

PAK harus sesuai dengan pengajaran dalam Alkitab. Kedua, memecahkan masalah

32 Tom Tait dan Nicky Genders, Caring for People with Learning Disabilities (London: Arnold, 2002), 16. 33

Tabita Kartika Christiani, “Persons with Disabilities in Indonesia”, Doing Theology from Disability Perspective (Manila: ATESEA, 2011), 10

34

Louis Berkhof dan Cornelius Van Til, Foundation of Christian Education, (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2012), 6.

35

Lois E. Lebar, “Curriculum, “ in An Introduction to Evangelical Christian Education, (Chicago: Moody, 1964), 89.

36

(24)

kehidupan. Pendidikan yang relevan seharusnya dapat membantu nara didik memecahkan

masalah-masalah yang penting dalam kehidupannya. Isi Alkitab yang disampaikan harus

menyentuh pergumulan nara didik. Ketiga, memberikan perhatian kepada nara didik.

Kebutuhan maupun pengalaman nara didik yang selalu mengalami perubahan sesuai

kondisinya menjadi suatu bimbingan untuk mendesain kurikulum yang sesuai dengan

pengalaman dan kebutuhan mereka. Keempat, gereja dan jemaat. Kegiatan pelayanan jemaat

bagi Tuhan dan sesamamenjadi panggilan utama.Kegiatan pelayanan gereja perlu berfokus

kepada mereka di luar komunitas gereja, mereka yang didiskriminasi dan dimarjinalisasi

dalam kehidupan sosial. Kelima, Injil Yesus Kristus. Injil sebagai pernyataan Allah sekaligus

sebagai kunci untuk memahami makna sejarah dan keberadaan manusia. Di samping itu,

Tuhan Yesus diakui sebagai pusat firman Allah dan alasan keberadaan gereja.

Alkitab yang didalamnya berisi tentang Yesus dan Injil menjadi acuan utama dalam

PAK. Namun pada kenyataannya, insan dengan disabilitas mengalami marjinalisasi,

igonorisasi dan diskriminasi dalam penafsiran teks-teks keagamaan termasuk Alkitab.

Berbagai narasi mujizat di dalam teks-teks Alkitab menjadi beban bagi IDD dari pada

sebuah cerita pembebasan.37Oleh karena itu, perlu untuk melakukan dekonstruksi dan

pemaknanan teks dari perspektif disabilitas untuk pembebasan kemanusiaan yang tertindas

dan teks-teks biblis yang selama ini juga dijajah. Komitmen untuk melakukan pembacaan

Alkitab dalam berbagai macam perspektif, termasuk perspektif disabilitas juga merupakan

upaya untuk membuat warisan tradisi Kristen yang paling menentukan menjadi kekuataan

konstruktif dan kreatif demi penciptaan masyarakat inklusif.

Pemaknaan teks Alkitab dari perspektif disabilitas dapat membantu PAK untuk bisa

berfokus pada kebutuhan dan pergumulan nara didik dengan disabilitas. Demikian juga dalam

memperkenalkan Yesus Kristus kepada nara didik harus disesuaikan dengan pengalaman

kehidupan mereka. Tanpa memperhatikan kondisi nara didik maka Yesus, Injil dan kisah

dalam Alkitab hanya akan menjadi dongeng yang tidak dapat menjadi bagian dari kehidupan

mereka.

Tantangan teologis yang perlu masuk dalam kurikulum PAK dilihat dari perspektif

disabilitas yakni mengenai dosa dan takdir. Nara didik yang hidup di tengah budaya dan

masyarakat Indonesia memerlukan bekal untuk menghadapi stigma negatif yang kuat.38 Nara

didik dengan disabilitas harus mampu berkompetisi di tengah-tengah masyarakat non

37

Yusak B. Setyawan, Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas: Menuju Hermeneutik Disabilitas, prosiding UKSW, 15.

(25)

disabilitas maka dari itu selain keterampilan, karakter dan kepribadian yang kuat juga perlu

dipersiapkan.

Tujuan dan isi kurikulum PAK dari perspektif disabilitas perlu memberikan

pemahaman kepada nara didik dengan tantangan mental untuk bisa memahami Tuhan

berdasarkan pengalaman disabilitas mereka, penerimaan diri, stigma negatif masyarakat,

bertahan hidup di tengah masyarakat non disabilitas dan pembentukan karakter Kristiani yang

sesuai dengan nilai Kerajaan Allah seperti kasih, keadilan serta kedamaian. Perkenalan

terhadap Yesus juga harus disesuaikan dengan pengalaman dan kebutuhan nara didik.

Misalnya cerita-cerita dalam Alkitab tentang perhatian Yesus kepada orang-orang yang

lemah dalam hal ini kaum minoritas seperti anak-anak dengan tantangan mental.

Selanjutnya, metode yang digunakan dalam proses PAK pun harus kreatif dan inovatif

karena adanya kekurangan anak-anak dengan tantangan mental dalam hal intelektual.

Anak-anak dengan tantangan mental perlu diperkenalkan terlebih dahulu tentang sosok Yesus

kemudian mereka bisa diminta untuk menceritakan pengalaman mereka tentang Tuhan,

bagamaina mereka mendeskripsikan Tuhan berdasarkan kondisi dan keadaan mereka. Metode

ceramah dan menghafal perlu dikurangi dalam pengajaran PAK karena keterbatasan

intelektual mereka dalam mengingat dan mencerna materi yang diberikan. Pendidik juga

perlu menerapkan metode bermain yang bisa meningkatkan kreativitas nara didik. Anak-anak

dengan tantangan mental perlu dibiasakan untuk bisa mengungkapkan pengalaman dan

perasaan mereka agar mereka memiliki kepercayaan diri. Dengan demikian PAK membantu

anak dengan tantangan mentaluntuk hidup mandiri di tengah masyarakat dan bahkan

berperan aktif di dalamnya.

Pada akhirnya, perlu dilakukan evaluasi secara bertahap untuk memahami pencapaian

tujuan kurikulum. Evaluasi harus dilakukan setiap bulannya untuk meninjau perkembangan

anak dengan tantangan mentaldalam berbagai aspek. Evaluasi yang sering dilakukan akan

membantu pendidik untuk memperbaiki dan meningkatkan metode kurikulum yang semakin

memenuhi kebutuhan dan pergumulan anak-anak dengan tantangan mental. Dengan demikian

titik berat dalam kurikulum bukan pendidik atau materi melainkan kebutuhan nara didik.

3. Hasil Penelitian Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth 3.1. Tinjauan Historis Yayasan Sosial Elisabeth

Yayasan Sosial Elisabeth berdiri atas inisiatif Matu sebagai seorang yang bergerak

(26)

no. 16 tahun 1984 dengan modal Rp. 10.000,00. Pada mulanya, Yayasan Sosial Elisabeth

didirikan dengan tujuan untuk membantu anak-anak terlantar yatim piatu dan menampung

manusia lanjut usia (manula). Namun, hampir empat bulan lebih Yayasan Sosial Elisabeth

belum bisa menjalankan kegiatannya karena disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya tidak

adanya dukungan dana dan sasaran kegiatan yang jelas.

Pada pertengahan tahun 1988 Matu selaku pendiri dan ketua yayasan mengadakan

pendekatan dengan N. A. Rood yang merupakan salah seorang relawan sosial dari Belanda

untuk meminta bantuan beliau menjadi direktur yayasan yang menampung manula. Namun

tawaran itu ditolak oleh beliau dan beliau memberikan solusi agar yayasan tersebut didirikan

untuk menampung orang-orang yang menderita keterbelakangan mental, mengingat di

Indonesia masih banyak sekali penyandang cacat yang belum dapat penanganan yang baik.

Solusi Rood mendapatkan dukungan dari berbagai pihak sehingga pada tanggal 1 november

1988, Yayasan Sosial Elisabeth untuk anak tunagrahita39di buka di Jalan Muhammad Yamin

no. 2 Salatiga dan menampung 6 orang anak. Pada tahun 1989 Yayasan Sosial Elisabeth

masuk sebagai anggota Federasi Nasional bagi Kesejahteraan Cacat Mental (FNKCM)

dengan nomor anggota 132 sekaligus bapak N. A. Rood diangkat sebagai konsultan.

Yayasan Sosial Elisabeth menunjukkan eksistensinya sebagai yayasan yang bidang

kegiatannya membina dan mengasuh anak tunagrahita. Namun, Yayasan Sosial Elisabeth

masih belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai sehingga Rood mulai melakukan

serangkaian kegiatan untuk menggali dana. Berkat usaha tersebut, pada bulan oktober 1991

Yayasan Sosial Elisabeth berhasil memiliki sebidang tanah di daerah Karangalit kelurahan

Dukuh Salatiga. Maka pada tanggal 22 November 1991 pembangunan Yayasan Sosial

Elisabeth dimulai dan pada awal bulan oktober 1992 pembangunan tersebut dapat

diselesaikan.

Pada awal tahun 1993 Yayasan Sosial Elisabeth terus melanjutkan tugasnya untuk

membina dan mendidik anak tunagrahita dengan sarana dan prasarana yang memadai di

tempat yang baru. Pengurus Yayasan Sosial Elisabeth kemudian memulai kepengurusannya

di tempat yang baru dengan merumuskan visi misi pendirian Yayasan Sosial Elisabeth.

Adapun visi misi pendirian Yayasan Sosial Elisabeth, yaitu Pertama, mendidik anak agar

dapat berfungsi secara optimal, paling tidak dapat mandiri dengan baik atau dapat mengurus

39

(27)

dirinya sendiri. Kedua, membina dan medidik anak tunagrahita dengan menumbuh

kembangkan rangsang gerak dan rangsang berpikir serta bina diri. Ketiga, memberikan

ketrampilan-ketrampilan yang berkaitan dengan bakat, minat serta kemampuan anak agar

mereka dapat diterima saat bersosialiasi dengan masyarakat dan menanamkan rasa percaya

diri pada anak agar tidak merasa rendah diri ketika berada di tengah masyarakat.40

Di tahun 2017, ada 35 anak tunagrahita yang dibina dan dididik di Yayasan Sosial

Elisabeth. Anak-anak tersebut memiliki klasifikasi yang berbeda-beda sehingga proses

belajar mengajar dibagi dalam dua kelas yaitu bagi anak tunagrahita yang mampu didik dan

latih serta anak tunagrahita yang mampu rawat. Di Yayasan Sosial Elisabeth tersebut juga

menyediakan asrama bagi anak tunagrahita sehingga mereka bisa menetap disana. Orang tua

yang mengantarkan anak-anak mereka untuk dirawat di Yayasan Sosial Elisabeth hanya perlu

membayar uang bulanan untuk setiap fasilitas yang disediakan Yayasan Sosial Elisabeth.

Anak tunagrahita dibina oleh 8 orang pengasuh yang memiliki latar belakang pendidikan

sosial dan 1 orang pengurus dibidang pendidikan. Administrasi Yayasan Sosial Elisabeth

diurus oleh 1 orang, 2 orang tukang cuci, 2 orang juru masak, 1 orang juru taman dan 3 orang

satpam. Yayasan Sosial Elisabeth juga dilengkapi dengan ruang untuk fisiotherapy dan

memotherapy bagi anak-anak tungrahita.41

Yayasan Sosial Elisabeth juga memiliki program-program yang telah dirancang untuk

bisa memenuhi visi dan misi yang telah disusun oleh yayasan. Pertama, program pendidikan.

Program ini direalisasikan dengan kegiatan pendidikan yaitu proses belajar mengajar di kelas.

Adanya pemberian materi seperti mengenal huruf dan angka, mengenal bentuk dan warna,

menulis, membaca dan berhitung. Kedua, program pemberian laporan tahunan. Laporan

tahunan diberikan kepada orang tua agar mereka bisa mengetahui kemajuan dan tumbuh

kembang anak selama di Yayasan Sosial Elisabeth. Ketiga, program pengembangan diri.

Program ini direalisasikan dalam kegiatan membuat ketrampilan atau karya seni seperti

mambuat bunga, menyulam, bercocok tanam, dsb. Anak-anak diarahkan ke suatu bidang

tertentu sesuai dengan bakat dan minatnya agar ketika mereka berada di tengah-tengah

masyarakat, mereka bisa menjadi orang-orang yang produktif dan bisa berpartisipasi dalam

lingkungan sosialnya. Keempat, program peningkatan kebutuhan religius. Program ini

40

Berdasarkan buku sekilas info Yayasan Sosial Elisabeth tahun 2017.

41

(28)

bertujuan untuk memperkenalkan anak-anak kepada Tuhan sebagai pencipta dan anak-anak

diharapkan mampu untuk bisa mengahayati karya Tuhan.42

3.2. Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth

Pendidikan agama Kristen bagi anak dengan tantangan mental di Yayasan Sosial

Elisabeth telah diberikan bagi anak-anak. PAK diberikan kepada anak-anak selama satu jam

setiap minggunya. Selain itu, PAK bagi anak-anak juga disertai dengan diadakannya

kebaktian dua kali dalam satu bulan karena mengingat keterbatasan anak-anak yang tidak

bisa untuk mengikuti kebaktian minggu.43 PAK bagi anak dengan tantangan mentaljuga

dibantu oleh salah satu gereja yang ada di Salatiga yaitu GBI Ora Et Labora Salatiga. Kerja

sama ini dimulai pada tahun 2006 dan biasanya kebaktian setiap minggu akan dipersiapkan

dan dilayani oleh gereja namun dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada lagi pelayanan dari

gereja tersebut sehingga kebaktian dilaksanakan secara mandiri oleh para pengasuh dengan

memberikan cerita dan puji-pujian.44

3.3. Tujuan PAK di Yayasan Sosial Elisabeth

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan cara wawancara, tujuan kurikulum

PAK di Yayasan Sosial Elisabeth disesuaikan dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan

tersebut yaitu mendidik anak-anak agar dapat berfungsi secara optimal dan mengarahkan

anak-anak agar dapat diterima saat bersosialisasi dengan masyarakat.45 Tujuan didirikannya

Yayasan Sosial Elisabeth menjadi patokan bagi para pengurus dan pengasuh dalam

memberikan PAK bagi anak-anak dengan tantangan mental.

Kurikulum PAK yang digunakan di Yayasan Sosial Elisabeth memiliki dua tujuan yang

ingin dicapai. Pertama, memperkenalkan sosok Tuhan Yesus dan teladan baik yang diberikan

Tuhan. Kedua, menanamkan pemahaman tentang Tuhan Yesus dan karya-Nya dalam hidup

manusia.46 Tujuan yang telah dirumuskan menjadikan para pengasuh lebih mudah dalam

memberikan PAK bagi anak-anak dengan tantangan mental. Namun, salah satu kesulitan

yang dialami para pengasuh adalah menerjemahkan sosok Tuhan Yesus kepada anak dengan

tantangan mental yang masuk dalam kategori tantangan mental mampu latih karena mereka

42

Berdasarkan wawancara dengan pengurus di bidang pendidikan pada tanggal 12 Mei 2017 pukul 13.00.

43 Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 8-13 Mei 2017 di Yayasan Sosial Elisabeth 44

Berdasarkan wawancara terhadap pengurus Yayasan Sosial Elisabeth pada tanggal 10 Mei 2017.

45

Berdasarkan buku pedoman tentang sejarah didirikannya Yayasan Sosial Elisabeth.

46

(29)

hanya mampu berpikir secara konkret, mereka kesulitan berpikir secara abstrak. Kurikulum

PAK yang digunakan di Yayasan Sosial Elisabeth tidak tertulis sehingga menyulitkan

pengurus maupun para pengasuh sebagai pendidik dalam mengajar dan membina iman

anak-anak dengan tantangan mental. Ketiadaan kurikulum baku yang terstruktur di Yayasan Sosial

Elisabeth dikarenakan kurangnya pemahaman pengurus dan para pengasuh tentang arti

kurikulum. Mereka memahami kurikulum hanya sebatas sesuatu yang akan diajarkan kepada

anak-anak dan kurikulum sebagai sebuah kegiatan yang perlu dirancang bagi anak-anak

dengan tantangan mental.47 Kurikulum disamakan dengan program sehingga mengakibatkan

tidak tersedianya aturan-aturan tertulis tentang pendidikan dan tidak tersedinya buku

pedoman mengajar bagi para pengasuh. Padahal pendidikan merupakan usaha yang sadar dan

terencana agar proses belajar bisa berjalan secara sistematis.

3.4. Isi Kurikulum dan Proses Pelaksanaan Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth

PAK bagi anak dengan tantangan mental di Yayaysan Sosial Elisabeth dilakukan

selama satu jam dalam satu minggu. Dalam proses belajar mengajar, anak-anak diberikan

materi khusus sesuai dengan buku pegangan masing-masing pengasuh dan materinya

bervariasi namun tetap sesuai dengan cerita di dalam Alkitab. Metode yang paling sering

digunakan para pengasuh dalam proses PAK adalah ceramah.48 Para pengasuh sebagai

seorang pendidik masih mendominasi proses PAK.

Selain kegiatan yang dilakukan dalam ruang kelas, anak dengan tantangan mental juga

melakukan kegiatan di luar jam belajar. Biasanya mereka mengikuti ibadah bersama ketika

ada kunjungan dari pihak luar. Ibadah ini membantu anak-anak untuk bisa bersosialisasi

dengan masyarakat dan membuat mereka tidak terus merasa rendah diri atau mengasihani diri

mereka sendiri. PAK yang diberikan kepada anak-anak juga dipraktekan dalam keseharian

mereka seperti mereka harus berdoa sebelum tidur dan makan, mereka harus bersikap baik

seperti yang diteladankan Tuhan Yesus.

Penulis melakukan wawancara dengan dua orang anak dengan tantangan mental yaitu

Eka dan Meli terkait dengan PAK yang mereka dapatkan di kelas. Kedua anak ini masuk

dalam kategori anak dengan tantangan mental mampu didik bahkan sekarang mereka sudah

mampu untuk hidup secara mandiri di tengah-tengah masyarakat. Menurut Eka, pelajaran

tentang agama Kristen yang dia dapatkan di dalam kelas sangat membantunya dirinya untuk

47

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Endang (salah satu pengurus) dan Ibu Hana (salah satu pengasuh) pada tanggal 9, 15, 16 Mei 2017.

48

(30)

mengenal sosok Tuhan Yesus sebagai pencipta. Dia juga belajar untuk melakukan kebaikan

kepada semua orang seperti yang ditelandankan oleh Tuhan Yesus. Namun dia mengalami

kesulitan dalam memahami beberapa materi seperti materi tentang iman dan Allah

Tritunggal. Materi ini dirasa sulit karena pengasuh dalam mengajar materi ini menggunakan

bahasa yang terlalu sulit dipahami.49

Menurut Meli, saat dia belajar tentang agama Kristen dia mulai untuk mengenal Tuhan

Yesus sebagai sosok yang baik dan luar biasa. Dia mengatakan Yesus baik karena

perbuatan-perbuatan Yesus seperti menyembuhkan orang yang buta dan menolong orang tidak memiliki

uang. Perbuatan baik yang dilakukan Yesus itu kemudian dia praktekan dalam kehidupannya

seperti menolong teman-temannya untuk mengambil mainan, memberikan obat ketika ada

teman yang sakit dan menyapu ruangan belajar. Materi mengenai iman dan Allah Tritunggal

juga masih sulit dipahami oleh Meli. Iman yang di pahami oleh Meli yaitu ketika dia sakit,

dia berdoa kepada Tuhan Yesus dan dia sembuh sedangkan konsep mengenai Allah

Tritunggal tidak sama sekali dia mengerti.50

PAK yang dilakukan di Yayasan Sosial Elisabeth masih belum bisa mencapai

tujuannya karena para pengasuh sebagai pendidik tidak memiliki buku pedoman khusus yang

disediakan oleh pihak yayasan. Maka dari itu para pengasuh harus menyusun sendiri rencana

pelaksanaan pelajaran.51 Para pengasuh juga harus mencari buku-buku pegangan sendiri

seperti buku tentang psikologi anak ataupun buku PAK. Penyampaian materi pun disesuaikan

dengan kemampuan anak-anak dengan tantangan mental. Para pengasuh harus

menyederhanakan materi secara khusus untuk anak-anak dengan tantangan mental. Tidak

tersedinya buku pegangan bagi para pengasuh membuat hal-hal yang disampaikan kepada

anak dengan tantangan mental masih terlalu umum sehingga masih ada kebutuhan dan

pergumulan anak dengan tantangan mental yang tidak tersentuh, misalnya bagaimana para

pengasuh menyampaikan materi dari sudut pandang insan dengan disabilitas, bagaimana

pandangan Tuhan terhadap mereka yang dikucilkan dalam kehidupan sosial.

3.5. Evaluasi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth

Kegiatan pembinaan iman yang dilakukan setiap minggunya oleh anak dengan

tantangan mental akan dicatat dan kemudian di evaluasi. Ada tiga buku catatan yang

digunakan para pengasuh yaitu buku observasi yang berisikan kegiatan menonjol yang

dilakukan anak, buku kejadian yang berisikan kejadian luar biasa yang dialami

49

Berdasarkan wawancara dengan Eka (Anak dengan Tantangan Mental) pada tanggal 11 Mei 2017.

50

Berdasarkan wawancara dengan Meli (Anak dengan Tantangan Mental) pada tanggal 13 Mei 2017.

51

Referensi

Dokumen terkait

“Pembinaan akhlak adalah usaha untuk menjadikan perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak”. 37 Dengan demikian akhlak bagi kehidupan manusia tidak

Berdasarkan hasil analisis data angket siswa dan wawancara dengan orang tua, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum perhatian orangtua terhad prestasi siswa SMP

Sedangkan untuk kandungan karbohidrat tanaman duku pada saat akhir trubus tidak berbeda nyata untuk semua umur namun ada kecenderungan bahwa tanaman duku yang berumur

menggunakan Cx-Supervisor , setelah merancang alat mesin stempel dan menguji coba plant dengan menyambungkan plant dengan PLC dan Laptop untuk mendapatkan tampilan HMI sesuai

Yang dimaksud dengan “bantuan program” adalah dukungan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota kepada BUMN, BUMD, UPT, UPTD, Kelompok Masyarakat, dan Badan Usaha

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan

Investasi Tanah Kavling Wisata Kebun Kurban @Maros,

Konsep dasar ilmu negara, teori Pembenaran Hukum suatu Negara (penghalalan hukum sutau negara), Teori Pertumbuhan dan Lenyapnya negara, Teori Tujuan dan Fungsi negara, Tipe