• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Studi Pada Desa Dagang Kelambir Kecamatan Tanjung Morawa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Studi Pada Desa Dagang Kelambir Kecamatan Tanjung Morawa)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penelitian

Kemiskinan merupakan masalah yang pada umumnya dihadapi hampir di

semua negara-negara berkembang, terutama negara yang padat penduduknya

seperti Indonesia. Kemiskinan merupakan fenomena global yang sangat

memprihatinkan, dari tahun ke tahun masalah kemiskinan ini tidak kunjung surut

bahkan meningkat seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat serta

menurunnya kondisi perekonomian negara Indonesia.

Sejarah sebuah Negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan

telah membuat jutaan anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan yang

berkualitas, sulit membiayai kesehatan, kurangnya akses kepelayanan publik,

kurangnya lapangan pekerjaan, bahkan lebih parah lagi jutaan rakyat tidak dapat

lagi memenuhi kebutuhan mendasarnya.

Secara keseluruhan fenomena kemiskinan kini telah mewarnai segala

akses mendasar manusia seperti : hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak,

memperoleh perlindungan hukum, memperoleh rasa aman, memperoleh akses

atas kebutuhan hidup, memperoleh pendidikan yang layak, pelayanan

kesehatan, dan memperoleh hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan publik, berinovasi dan ikut serta dalam menata pemerintahan yang

baik.

Kemiskinan merupakan masalah bersama yang harus ditanggulangi

(2)

pemerintah saja. Akan tetapi hal ini merupakan masalah setiap warga negara

Indonesia. Kepedulian dan kesadaran antar sesama warga diharapkan dapat

membantu menekan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Masalah kemiskinan ini dapat dikategorikan ke dalam masalah

kemiskinan struktural dan budaya, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat

dalam ruang-ruang publik, serta tidak tersedianya akses ke prasarana dan

sarana yang tersedia. Melihat jumlah kemiskinan yang semakin bertambah

tentunya pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh

pemerintah.

Hal ini dilaksanakan karena pemerintah menganggap bahwa

orientasi program penanggulangan kemiskinan yang terdahulu ternyata tidak

mampu menjawab permasalahan kemiskinan karena pendekatan program kepada

masyarakat hanya bersifat parsial, sektoral serta tidak menyentuh akar

kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program-program yang telah dilaksanakan

tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat, namun sebaliknya

masyarakat menjadi manja dan ketergantungan.

Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pembangunan yang multi

dimensi sehingga cara pemecahannya diperlukan suatu strategi komprehensif

terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Selanjutnya permasalahan tersebut

telah membawa dampak pada peningkatan pengangguran dan jumlah penduduk

miskin baik daerah perkotaan maupun di desa. Oleh karena itu, pemerintah

Departemen Pekerjaan Umum telah merancang suatu program untuk

menanggulangi kemiskinan yang ada di perkotaan yaitu Program

(3)

Program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) ini

dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai upaya pemerintah untuk membangun

kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi

kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini utamanya ditujukan bagi

masyarakat miskin di daerah perkotaan yang menerima dampak paling berat

akibat krisis ekonomi. Dijelaskan pula bukan berarti masyarakat miskin di

pedesaan tidak diperhatikan. Tetapi masyarakat di perkotaan menjadi skala

prioritas utama program ini, karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain

sandaran ekonomi keluarganya. (Buku Pedoman P2KP)

Program P2KP ini bukan sekedar program pemberdayaan ekonomi yang

bersifat penyelamatan atau pemulihan yang berjangka pendek seperti program

sejenis lainnya. Tetapi lebih merupakan pengentasan kemiskinan melalui

pemberdayaan masyarakat secara utuh, simultan, berkelanjutan dan berjangka

panjang.

Melalui pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan masyarakat

diharapkan masalah kemiskinan dapat ditanggulangi oleh masyarakat sendiri,

yang mampu bersinergi dengan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok

peduli setempat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelestarian

program-program pembangunan. Sehingga, jelas bahwa faktor kapasitas dan

kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah menempati posisi yang sangat

strategis dalam penyiapan kemandirian dan keberlanjutan upaya-upaya

penanggulangan kemiskinan.

(4)

menyalurkan bantuan kepada masyarakat. Selanjutnya anggota pelaksana P2KP

tidak mendampingi warga untuk membuka usaha mereka. Kemudian juga dinilai

lepas tangan setelah mereka menerima bantuan khususnya pinjaman modal.

Selain itu modal yang dipinjamkan tidak mencukupi untuk membantu

perekonomian masyarakat karena begitu kecil.

Mengacu pada realitas dan kondisi riil masyarakat secara umum, maka

kondisi Kecamatan Tanjung Morawa merupakan salah satu daerah yang

mendapatkan bantuan dana program P2KP, yang salah satu desanya yang

mendapatkan bantuan program P2KP adalah Desa Dagang Kelambir.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

masalah di atas dengan mengambil judul mengenai “Implementasi Kebijakan

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Studi Kasus pada

Desa Dagang Kelambir Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.”

I.2 Perumusan Masalah.

Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan terarah dan tepat sasaran,

maka perumusan masalah harus dirumuskan dengan jelas. Berdasarkan judul

penelitian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Program Penanggulangan Kemiskinan

di Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli

Serdang ?

2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam implementasi program

penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) di Kecamatan Tanjung

(5)

I.3 Tujuan Penelitian.

Adapun penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk menjelaskan implementasi kebijakan program penanggulangan

kemiskinan di perkotaan (P2KP) di Kecamatan Tanjung Morawa

Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan

program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) di Kecamatan

Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.

I.4 Manfaat Penelitian.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta

kemampuan penulis dalam menganalisis gejala-gejala sosial yang muncul

di masyarakat dan kemampuan penulis dalam membuat suatu karya

ilmiah.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

empiris dalam pemecahan masalah, perumusan kebijakan, dan penyusunan

program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) di masa yang

akan datang.

3. Bagi masyarakat, untuk dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya di

bidang Administrasi Negara mengenai pelaksanaan kebijakan

penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) melalui proses

(6)

4. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan ke

depan dalam menetapkan kebijakan khususnya dalam kebijakan-kebijakan

yang bersinggungan dengan masalah kemiskinan.

I.5 Kerangka Teori

I.5.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa

Yunani ”polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin

menjadi ”politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris

”policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah

administrasi pemerintahan. (William N. Dunn 2000 ; 22-25)

Secara umum, istilah ”kebijakan” atau ”policy” dipergunakan untuk

menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok

maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang

kegiatan tertentu. (Budi Winarno 2002 ; 14)

Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan kebijakan publik yang

dapat digunakan salah satunya menurut Robert Eyestone, ia mengatakan

kebijakan publik dapat didefenisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah

dengan lingkungannya. Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye yang

mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah

yang untuk dilakukan dan tidak untuk dilakukan. Konsep kebijakan publik

menurut Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik

tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan swasta dan kebijakan publik menyangkut

pilihan yang harus dilakukan atau tidak untuk dilakukan oleh badan pemerintah.

(7)

Harrold Laswell dan Abraham Kaplan memandang kebijakan publik

tersebut hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada

dalam masyarakat. Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada di dalam masyarakat. (AG

Subarsono, Ibid ; 3)

Batasan lain juga disebutkan oleh James Anderson, ia mengatakan bahwa

kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan

oleh seorang aktor atau sejumlah aktor yang mengatasi suatu masalah atau suatu

persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa

implikasi yakni ; Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan

publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara

serampangan. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan

keputusan-keputusan sendiri. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh

pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau

mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh

pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk

tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu.

Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh

pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk

melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang melibatkan pemerintah. (Budi

Winarno, Ibid ; 16-18)

(8)

keputusan pemerintah untuk memecahkan masalah yang diutarakan atau dapat

juga kebijakan diartikan sebagai suatu keputusan untuk mengakhiri atau

menjawab pertanyaan yang diajukan kepada kita. Penekanan aktivitas birokrasi

pemerintah pada proses kebijakan publik lebih pada tahapan implementasi

dengan menginterprestasikan kebijaksananan menjadi program, proyek dan

aktivitas. (Tangkilisan, 2003. Hal 2-3)

Menurut Charles O Jones, bahwa kebijakan publik terdiri dari

komponen-komponen yaitu :

1. Goal atau tujuan yang diinginkan.

2. Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesipik untuk mencapai tujuan.

3. Programs yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.

4. Decision atau keputusan yaitu tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.

5. Efek yaitu akibat dari program baik yang sengaja atua tidak sengaja.

Meskipun terdapat berbagai defenisi kebijakan publik yang telah

dikemukakan diatas, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan

publik adalah suatu serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh

pemerintah yang mempunyai tujuan dan berorientasi pada tujuan dan

kepentingan masyarakat.

I.5.2 Tahapan Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena

melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,

(9)

membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa

tahapan. Seperti tahapan-tahapan kebijakan publik yang dikemukakan oleh

William N. Dunn berikut ini. (1998 ; 24-25)

1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk

dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah

masuk ke agenda para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah

mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan

masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)

Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)

Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Bagan I.1 : Tahapan Kebijakan Publik

2. Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para

(10)

dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari

berbagai alternatif kebijakan. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah

untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang

diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor

akan ‘bermain’ untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

Tahapan kebijakan publik juga dapat kita lihat dari pandangan Ripley (1985)

berikut ini : (AG Subarsono Ibid ; 11)

Bagan I.2 : Tahapan Kebijakan Publik Menurut Ripley 3. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus

kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi

dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus antara direktur lembaga

(11)

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika

program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program

kebijakan yang diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi

maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah

diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber

daya finansial dan manusia. Beberapa implementasi kebijakan mendapat

dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang

oleh para pelaksana.

5. Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan

masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang

diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat.

Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang

menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak

yang diinginkan.

I.5.2 Implementasi Kebijakan

I.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan

dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi

hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja

(12)

yang diinginkan. (Budi Winarno, Ibid ; hal 101)

Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van

Meter dan Van Horn (Winarno, 2008;146) mengemukakan implementasi

kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu

atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan –tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan

dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi

hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja

bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan

yang diinginkan.

Dari beberapa defenisi implementasi kebijakan publik yang telah

dikemukakan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi

kebijakan publik adalah pelaksaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi

negara dalam mengatasi masalah.

I.5.2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak

variabel atau faktor dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan

satu sama lain. Kita akan melihat beberapa teori implementasi kebijakan sebagai

berikut :

Menurut George C. Edwards III (1980), implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh empat variabel, yakni : (a) komunikasi, (b) sumberdaya, (c)

disposisi dan (d) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling

(13)

a. Komunikasi

Syarat pertama dalam pelaksanaan kebijakan yang efektif adalah bahwa

yang melaksanakan tugas tersebut mengetahui apa yang harus mereka

lakukan. Jadi, ada suatu kejelasan tentang apa yang harus mereka

lakukan. Selanjutnya dalam komunikasi perlu adanya konsistensi dari

aspek komunikasi yaitu bagaimana penetralisiran tugas dan fungsi

tertentu yang akan dilakukan. Agar implementasi menjadi efektif maka

mereka yang mempunyai tanggung jawab untuk mengimplementasikan

sebuah keputusan mesti tahu apa yang seharusnya mereka lakukan.

Sukses tidaknya implementasi yang dilihat dari aspek komunikasi

adalah bagaimanaa pentransmisian tugas atau fungsi tertentu yang

akan dilakukan.

b. Sumber daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan

konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk

melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya

tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi

implementor, serta sumber daya finansial.

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi Disposisi

Struktur Birokrasi

(14)

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementor, seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat

kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang

berbeda dengan pembuat kebijakan makan maka menjadi tidak efektif.

d. Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan kebijakan.

Salah satu dari aspek stuktur yang penting dari setiap organisasi adalah

adanya prosedur operasi standar (standart operating prosedures atau

SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor yang bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderungh melemahkan

pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur brirokrasi yang

rumit dan kompleks ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas

organisasi tidak fleksibel.

Dalam pandangan Weimer dan Vining (Subarsono. 2005;103), ada tiga

(3) kelompok variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi

suatu program yaitu :

a. Suatu kebijakan yang ditetapkan dapat mendapat dukungan teoritis

b. Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan mempengaruhi

keberhasilan implementasi suatu kebijakan

(15)

kompetensi dan keterampilan dari para implementor kebijakan.

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975) ada enam (6) variabel yang

mempengaruhi implementasi, yakni : (a) ukuran dan tujuan kebijakan, (b)

sumberdaya, (c) komunikasi, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) disposisi

implementor, dan (f) kondisi sosial, ekonomi dan politik. (AG. Subarsono, Ibid ;

hal 99 – 101)

a. Ukuran dan tujuan kebijakan

Standar dan tujuan kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standar dan tujuan kebijakan kabur, maka akan terjadi

multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen.

b. Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya

manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human

resources).

c. Komunikasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan

koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

(16)

Bagan I.4 : Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn

d. Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur

birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,

yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

e. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga (3) hal yang penting, yakni : (1)

respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni

pemahamannya terhadap kebijakan dan (3) intensitas disposisi

implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

f. Kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat Komunikasi antar

organisasi & kegiatan pelaksanaan

Ukuran dan tujuan kebijakan

Karakteristik badan pelaksana

Sumberdaya

Lingkungan ekonomi, sosial dan politik

Disposisi pelaksana

(17)

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana

kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan,

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana

sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik

mendukung implementasi kebijakan.

Keberhasilan menurut Merilee S Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua (2)

variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan

implementasi (context of implementation). (AG. Subarsono, Ibid ; hal 93)

Variabel isi kebijakan mencakup : (a) sejauh mana kepentingan

kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, (b) jenis

manfaat yang diterima oleh target group, (c) sejauh mana perubahan yang

diinginkan dari sebuah kebijakan, (d) apakah letak sebuah program sudah tepat,

(e) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci

dan (f) apakah sebuah program didukung oleh sebuah sumberdaya yang

memadai.

Sedangkan variabel lingkungan mencakup : (a) seberapa besar

kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat

dalam implementasi kebijakan, (b) karakteristik institusidan rejim yang sedang

berkuasa dan (c) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Demikian juga menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga (3)

kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (AG.

Subarsono, Ibid ; hal 94)

a. Variabel independent, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang

(18)

keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk

menstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan

konsistensi tujuan, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana dan

perekrutan pejabat pelaksanaan dan keterbukaan kepada pihak luar.

c. Variabel dependent, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana

dalam bentuk kebijakan pelaksanaan, kepatuhan objek, hasil nyata,

penerimaan atas hasil nyata dan kebijakan yang bersifat mendasar.

Sedangkan menurut Jones (1994;296) menyebutkan beberapa dimensi

dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah

disyahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor

yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga

eksekutor. Selanjutnya Jones mengatakan apakah suatu program

terimplementasikan dengan efektif atau dapat diukur dengan standar penilaian

yaitu :

1. Organisasi yaitu : merupakan unit atau wadah untuk menempatkan

program ke dalam tujuan kebijakan. Setiap organisasi harus memiliki

struktur organisasi, sumber daya manusia yang berkualitas sebagai tenaga

pelaksana serta didukung dengan perangkat hukum yang jelas.

2. Interpretasi yaitu : mereka yang bertanggung jawab yang dapat

melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang

berlaku, harus dilihat apakah pelaksanaannya telah sesuai dengan

petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang telah dikeluarkan oleh

(19)

3. Penerapan yaitu : adanya prosedur kerja dan program yang jelas, tujuan

dan sasaran yang jelas serta pengawasan terhadap pelaksanaan program.

Dengan demikian, implementasi merupakan suatu proses mengubah

gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara

menjalankan perubahan tersebut agar tujuan dari program tersebut dapat berjalan

efektif dan efisien.

Implementasi yang sesuai dengan penelitian ini adalah sebagaimana yang

dimaksudkan menurut teori Van Meter dan Van Horn dengan menggunakan

enam variabel yaitu standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi,

karakteristik agen pelaksana, disposisi implementor dan kondisi sosial, ekonomi

dan politik.

I.5.3 Konsep Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) I.5.3.1 Latar Belakang Program Penanggulangan Kemiskinan Di

Perkotaan (P2KP)

Masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya melanda wilayah pedesaan,

tetapi juga di wilayah perkotaan. Khusus di wilayah perkotaan, salah satu ciri

umum kondisi masyarakat miskinnya adalah tidak adanya prasarana dan sarana

dasar perumahan dan pemukiman yang memadai, serta kualitas lingkungan yang

kumuh dan tidak layak huni. Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan

multidimensional yang mencakup politik, sosial, aset dan lain-lain. Karakteristik

kemiskinan tersebut, serta krisis ekonomi yang terjadi, telah menyadarkan semua

pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan

(20)

masyarakat.

Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka

membangun organisasi masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah

perjuangan kaum miskin yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan

aspirasi serta kebutuhan mereka. Di samping itu, keberdayaan semacam itu

diharapkan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan upaya pemberdayaan warga miskin di tingkat lokal, baik dari

aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Berdasarkan karakteristik kemiskinan di kawasan perkotaan tersebut,

model program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) diharapkan

mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian persoalan kemiskinan yang

bersifat multi dimensional dan struktural, khususnya yang terkait dengan

dimensi- dimensi politik, sosial, dan ekonomi. Dalam jangka panjang, model

program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) diharapkan mampu

menyediakan aset yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan

pendapatannya ataupun menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan

keputusan. Dengan demikian, program penanggulangan kemiskinan di perkotaan

(P2KP) merupakan program penanggulangan kemiskinan di perkotaan dari

masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

I.5.3.2 Pendekatan dan Tujuan Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP)

Visi dan Misi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

(21)

1. Visi program P2KP adalah terwujudnya masyarakat madani yang maju,

mandiri, sejahtera dalam lingkungan yang sehat dan produktif.

2. Misi program P2KP adalah membangun masyarakat mandiri yang mampu

menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah maupun kelompok

peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan mampu

mewujudkan terciptanya lingkungan pemukiman yang tertata, sehat, produktif

dan berkelanjutan.

Prinsip-prinsip dan Nilai-nilai yang melandasi program P2KP adalah

sebagai berikut :

a) Prinsip-Prinsip Universal Kemasyarakatan (Good Governance) :

1. Demokrasi (musyawarah)

2. Partisipasi (aktif berperan serta)

3. Transparansi (keterbukaan)

4. Akuntabilitas (tanggung gugat)

5. Desentralisasi (pembagian wewenang)

b) Prinsip-Prinsip Universal Universal Berkelanjutan (Tridaya) :

1. Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection). Dalam

pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kegiatan yang

menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terutama kepentingan

masyarakat miskin, perlu didorong agar keputusan dan pelaksanaan

kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan

lingkungan, baik lingkungan alami maupuin lingkungan buatan

termasuk perumahan dan permukiman yang harus layak, aman dan

produktif serta meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

(22)

harus selalu berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan

keswadayaan masyarakat sehingga dapat menciptakan masyarakat

efektif secara sosial sebagai pondasi yang kokoh dalam upaya

menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan.

Pengembangan masyarakat ini juga berarti upaya untuk meningkatkan

potensi segenap unsur masyarakat, terutama kelompok masyarakat

yang rentan dan marjinal yang selama ini tidak memiliki

peluang/akses dalam program/kegiatan setempat.

3. Pengembangan Ekonomi (Economic Development); dalam upaya

menyerasikan kesejahteraan material, maka upaya-upaya kearah

peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat miskin dan atau

penganggur pelu mendapat porsi khusus termasuk upaya untuk

mengembangkan peluang usaha dan akses ke sumberdaya kunci untuk

peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak

lingkungan fisik dan sosial. (Pedoman P2KP)

I.5.3.3 Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Pada dasarnya kelompok sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan

di Perkotaan (P2KP) mencakup 4 (empat) sasaran utama yakni masyarakat,

pemerintah daerah dan para penerima manfaat program baik kelompok maupun

perorangan.

I.5.3.4 Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP)

(23)

adalah mendorong gerakan masyarakat untuk keberdayaan dan kemandirian

dalam penanggulangan kemiskinan dengan jalan :

1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa, partisipasi masyarakat,

dan transparansi. Sehingga proses transformasi sosial dari masyarakat tidak

berdaya/miskin menuju masyarakat berdaya.

2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan organisasi yang berakar di

masyarakat, khususnya dalam membuka akses bagi masyarakat miskin ke

sumber daya kunci yang disediakan program penanggulangan kemiskinan di

perkotaan (P2KP) melalui bantuan langsung masyarakat (BLM), secara

transparan dan akuntabilitas.

3. Menjalin sinergi penanggulangan kemiskinan sebagai gerakan masyarakat

melalui kemitraan antar pelaku pembangunan.

4. Mendorong tumbuhnya kepedulian berbagai pihak sebagai upaya

pengendalian sosial (kontrol sosial) terhadap keberhasilan program

penanggulangan kem

I.5.3.5 Siklus Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) 1. Refleksi Kemiskinan : refleksi kemiskinan dilakukan untuk menumbuhkan

kesadaran kritis masyarakat terhadap akar penyebab masalah kemiskinan.

Kesadaran kritis ini penting dilakukan karena selama ini masyarakat

menjadi “objek”, seringkali masyarakat diajak untuk melakukan berbagai

upaya pemecahan masalah tanpa mengetahui dan menyadari masalah yang

sebenarnya. Dalam pelaksanaannya, dua hal yang harus dilakukan yaitu

(24)

permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat, untuk membuka

mekanisme-mekanisme yang selama ini sering tidak tergali dan

tersembunyi di dalamnya.

2. Pemetaan swadaya : pemetaan swadaya adalah proses identifikasi

kebutuhan masyarakat yang dilakukan dengan cara antara lain :

a. Menggali informasi, bagaimana kondisi nyata dari masalah-masalah

yang dikemukakan dan dirumuskan pada saat refleksi kemiskinan

(sosial, ekonomi, lingkungan, kelembagaan, dan kepemimpinan).

Masalah-masalah tersebut harus didukung oleh data dan fakta

sehingga diperlukan proses penelitian untuk mengumpulkan

informasi yang diperlukan.

b. Mengkaji, informasi dan fakta yang sudah didapatkan dianalisa dan

dikaji secara bersamaan.

c. Merumuskan masalah, pada tahapan ini masalah yang sudah

ditemukan disepakati bersama dikelompokkan kemudian dianalisis

hubungan sebab akibatnya dengan kembali membuat pohon masalah.

3. Pembangunan badan keswadayaan masyarakat (BKM), siklus ini

merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat terhadap adanya organisasi

masyarakat warga yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur yang dimotori

oleh pemimpin yang mempunyai kriteria yang sudah ditetapkan oleh

masyarakat. Posisi organisasi masyarakat warga ini di peroleh dari di luar

institusi pemerintah, di luar institusi militer, di luar institusi agama, di

luar institusi pekerjaan atau usaha dan di luar institusi keluarga yang

(25)

dan kolektif ini secara generik diberi nama badan keswadayaan masyarakat

(BKM).

4. Pengembangan kelompok swadaya masyarakat (KSM), adalah kelompok

sosial pada tingkat akar rumput, yang mempunyai kegiatan-kegiatan sosial

kemasyarakatan, ekonomi dan pemeliharaan lingkungan.

5. Program jangka menengah program penanggulangan kemiskinan

(PJM-Pronangkis), adalah perencanaan partisipatif warga untuk mengembangkan

program penanggulangan kemiskinan, baik jangka pendek selama satu

tahun atau jangka panjang menengah selama tiga tahun.

6. Sinergi program jangka menengah program penanggulangan kemiskinan

(PJM Pronangkis) dengan Perencanaan Pembangunan Daerah, setelah

masyarakat mempunyai program jangka menengah program

penanggulangan kemiskinan (PJM pronangkis) tentu ini bisa menjadi

bagian dari perencanaan program kelurahan. Artinya program jangka

menengah program penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis) harus

diperjuangkan oleh badan keswadayaan masyarakat (BKM) agar menjadi

bagian dari proses perencanaan kelurahan melalui Musrenbang. Agar

program jangka menengah program penanggulangan kemiskinan (PJM

Pronangkis) bisa diakomodir dalam perencanaan pembangunan daerah,

badan keswadayaan masyarakat (BKM) juga dapat langsung

mempresentasikan program kepada Dinas-dinas terkait dalam proses

perencanaan strategis satuan kerja perangkat daerah (Renstra SKPD).

7. Pelaksanaan program dan pemantauan program, program yang telah

(26)

penanggung jawab masing-masing sub program. Kegiatan ini bisa

dilaksanakan oleh panitia pembangunan prasarana, kelompok swadaya

masyarakat (KSM) yang difasilitasi oleh relawan yang tergabung dalam

unit-unit pengelola pada badan keswadayaan masyarakat (BKM). Selain

keterlibatan seluruh warga secara khusus badan keswadayaan masyarakat

(BKM), unit-unit pengelola dan relawan akan melakukan pemantauan

untuk mengetahui bagaimana jalannya kegiatan yang dilakukan oleh

panitia, kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan lembaga lainnya.

8. Evaluasi program, evaluasi program dilakukan dengan dua cara yaitu,

evaluasi rutin pada saat program sedang berjalan, untuk mengetahui

apakah dalam pelaksanaan program harus diperbaiki. Kemudian evaluasi

akhir program atau disebut review program jangka menengah program

penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis), kelembagaan, keuangan

dan evaluasi lainnya sesuai dengan kebutuhan. (Jurnal Pedoman Umum

P2KP-3, Maret 2007)

I.5.4 Kemiskinan.

I.5.4.1 Pengertian Kemiskinan.

Secara umum terdapat beberapa definisi kemiskinan dan kriteria garis

kemiskinan yang digunakan saat ini sehingga mengakibatkan perbedaan strategi

penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan. Kemiskinan adalah suatu situasi

atau kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu

menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi

(27)

psikologi, ekonomi dan akses terhadap aset. Kondisi tersebut menyebabkan tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti : sandang, pangan, papan, afeksi,

keamanan, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan lain-lain.

Menurut Randy dan Riant Nugroho (2007 : 77), kemiskinan di Indonesia

dipandang sebagai kemiskinan budaya dan kemiskinan struktural. Namun,

ada juga yang berpendapat bahwa kemiskinan bukanlah ketentuan atau takdir

Tuhan, bukan pula salah kita, tetapi proses pemiskinan adalah suatu bencana

buatan manusia karena akibat dari suatu kebijakan. (Mansour Fakih, 2003 : 1).

Dengan kata lain, bertambahnya masyarakat miskin diakibatkan dari

suatu proses, kebijakan, dan institusi ataupun mekanisme. Akan tetapi, persoalan

kemiskinan yang dihadapi oleh kaum miskin tidaklah sesederhanan itu. Menurut

Mansour Fakih (2003, 12) bahwa persoalan kemiskinan tidak hanya

berakar dalam lingkungan kebijakan Negara yang dalam hal ini dilaksanakan

oleh pemerintah tetapi juga diperkuat dengan telah dilucutinya Negara sebagai

pelindung rakyat dan telah dilucutinya konsep Negara dalam proses

mensejahterakan rakyat, seperti pencabutan subsidi dan hilangnya berbagai

sistem perlindungan jaminan sosial akibat adanya mekanisme persaingan bebas

dalam perdagangan bebas serta globalisasi, yang menyebabkan Negara

mengabaikan tugas utamanya sebagai pelindung hak-hak rakyat.

Namun, ada yang berpendapat penyebab kemiskinan itu dikarenakan

beberapa hal yaitu :

1. Dilihat dari kajian kepemimpinan : yang menyebabkan kemiskinan karena

orang yang tidak baik dan murni. Pemimpin yang hanya memikirkan

(28)

berasal, mendahulukan kepentingan individu dari pada masyarakat

sehingga timbul ketidakadilan..

2. Dilihat dari kajian kelembagaan : insitusi pengambil keputusan yang tidak

mampu menerapkan nilai-nilai universal kemanusiaan.

3. Dilihat dari kajian kebijakan : adanya kebijakan yang tidak berpihak atau

adil.

4. Dilihat dari berbagai kajian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan

politik, yang tidak membuka akses kepada kaum miskin dan kurangnya

partisipasi. Ekonomi yang tidak memihak, tidak ada kesempatan, tidak ada

akses untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat sehingga tidak

memperoleh akses dalam berpartisipasi dalam pembangunan. Sosial yang

segregatif, marginalisasi, internalisasi budaya miskin, serta banyaknya

lingkungan kumuh dan ilegal. (http:

I.5.4.2 Indikator Kemiskinan.

Menurut rumusan konkrit yang dibuat oleh Bappenas,

indikator-indikator kemiskinan sebagai berikut :

1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.

2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan.

3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan

4. Terbatasnya kesempatan kerja dan lemahnya perlindungan terhadap aset

usaha serta perbedaan upah, dan lemahnya perlindungan tenaga kerja.

5. Terbatasnya layanan perumahan sanitasi.

(29)

Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.

8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam.

9. Lemahnya jaminan rasa aman.

10. Lemahnya partisipasi

11. Besarnya beban kependudukan.

Sedangkan, menurut Emil Salim (Supriatna, 2000:124) bahwa ada lima

karakteristik penduduk miskin yaitu :

1. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.

2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi.

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah.

4. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai fasilitas.

5. Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan

atau pendidikan yang memadai.

I.5.5 Pemberdayaan Masyarakat

Pendekatan pemberdayaan merupakan suatu model dalam pengembangan

masyarakat dimana proses perubahannya menempatkan kreativitas dan prakarsa

masyarakat yang sadar dan terbina sebagai titik tolak. Kaitannya dengan

pembangunan, ini berarti mengutamakan manusia dalam proses

pembangunan yang selama ini hanya dijadikan objek. Sebagai pelaku utama

masyarakat dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai

pengawasan dengan intensitas keterlibatan sampai pada tingkat pengambilan

keputusan (Sekretariat P2KP, 1999 dalam

Menurut Tjandraningsih dan Tjondronegoro Rahayu 2001).

(30)

Pemberdayaan pada awalnya merupakan istilah yang digunakan dikalangan LSM

untuk menunjuk pada upaya untuk memperkuat masyarakat baik secara social,

ekonomi dan politik. Intinya adalah mebuat masyarakat mempunyai posisi tawar

sehingga dapat menjadi pelaku dalam proses pembangunan yang aktif dan tidak

hanya menjadi objek pembangunan. Kelompok masyarakat bawah yang

lemah dan serba kekurangan dalam mutu dan taraf hidup, keterampilan,dsb.

Kondisi ini membuat masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk

berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan.

Dalam upaya pengentasan kemiskinan, diperlukan kebijaksanaan,

komitmen dan kegiatan yang dapat memerangi kemiskinan dan keterbelakangan.

Lebih dari itu satu sikap yang bersumber pada pandangan bahwa mengatasi

masalah kemiskinan tidak memperlakukan orang miskin sekaedar sebagai objek

dari upaya-upaya penanggulangan, tetapi harus memperlakuakn mereka sebagai

subjek. Hal ini bersumber pada keyakinan bahwa betapapun miskin

seseorang

bukannya tidak mempunyai apa-apa sama sekali, melainkan mereka mempunyai

sesuatu walaupun sedikit. Dan jika sesuatu yang mereka miliki tersebut dihimpun

dalam suatu wadah kebersamaan yang mereka percaya dan hormati, maka

mereka akan mampu mengatasi masalah- masalah yang mereka hadapi dengan

kekuatan sendiri yang mereka miliki.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab

kegagalan dalam pogram-program penanggulangan kemiskinan yang ada

pada saat ini adalah diabaikannya faktor pemberdayaan masyarakat lokal. Maka

(31)

Pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal sebagai strategi dalam pelaksanaan

P2KP mengandung dua unsur, yakni kemandirian dan partisipasi.

Pemerintah menganggap perlu untuk memberikan bantuan kepada

masyarakat miskin perkotaan melalui P2KP. Kegiatan ini tidak hanya bersifat

reaktif terhadap keadaan darurat yang kini kita alami, namun juga bersifat

strategis karena dalam kegiatan ini disiapkan landasan berupa institusi

masyarakat yang menguat bagi perkembangan masyarakat di masa mendatang,

pemberdayaan masyarakat yang berakar dari, oleh dan untuk masyarakat itu

sendiri.

I.5.6 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental dan emosional

individu dalam situasi kelompok yang mendorongnya memberikan sumbangan

terhadap tujuan kelompok serta membagi tanggung jawab bersama mereka

(Yusran 2006;11)

Defenisi ini mengandung tiga gagasan penting. Pertama, pasrtisipasi lebih

merupakan keterlibatan mental maupun emosional ketimbang kegiatan otot

semata-mata. Keterlibatan diri, dari pada sekedar keahlian, merupakan produk

ingatan dan emosi. Masyarakat mengetahui bahwa pemimpin mereka seorang

otorat yang tidak menginginkan gagasan mereka. Masyarakat tidak melibatkan

diri pada situasi seperti ini. Kedua, mendorong adanya dukungan. Individu diberi

kesempatan untuk menciptakan prakarsa dan kreatifitas demi tujuan kelompok.

Dengan cara ini partisipasi berbeda dengan perizinan yang hanya menggunakan

(32)

demi kebenaran. Partisipasi membutuhkan lebih dari sekedar kebenaran yang

siap diputuskan. Ketiga, mendorong masyarakat untuk menerima tanggung

jawab untuk suatu kegiatan. Karena mereka melibatkan diri dalam kelompok

mereka juga ingin melihat pekerjaannya berhasil. Dengan membuat dirinya

bertanggung jawab, mereka akan memperoleh rasa kebebasan sebagai seorang

individu yang membuat keputusan sendiri meskipun dipengaruhi lingkungan

kelompoknya.

Partisipasi Masyarakat merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan

oleh perorangan maupun secara kelompok atau masyarakat. Untuk menyatukan

kepentingan ketertarikan mereka terhadap organisasi atau masyarakat yang

bergabung dalam rangka pencapaian tujuan masyarakat tersebut.

Partisipasi masyarakat telah sekian lama diperbincangkan dalam berbagai

forum dan kesempatan. Intinya adalah agar masyarakat umum ikut serta dengan

pemerintah memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar dan

menjamin berhasilnya usaha pembangunan. Maka secara umum partisipasi dapat

diartikan sebagai pengikutsertaan atau pengambilan bagian dalam kegiatan

bersama. Dikatakan telah berpartisipasi apabila mereka telah terlibat secara utuh

dalam proses pelaksanaan pembanguna baik secara fisik maupun mental.

1.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang mengangkat masalah implementasi program

penanggulangan kemiskinan memang sudah banyak dilakukan para peneliti

terdahulu, maka dalam penelitian ini akan diangkat hasil-hasil penelitian

(33)

1. Implementasi Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) (Studi Kasus di Kelurahan Pudak Payung Kecamatan Banyumanik Semarang) 2007.

Dalam penelitian terdahulu dalam judul penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis tentang profil kemiskinan di Kelurahan

Pudak Payung, implementasi program pengentasan kemiskinan di Kelurahan

Pudak Payung dan Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan program

pengentasan kemiskinan di Kelurahan Pudak Payung.

Metode penelitian adalah metode deskriptif persentase, yaitu membuat

pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu yang dilengkapi dengan

penggambaran secara persentase atau tabel.

Hasil penelitian yang di dapatkan dalam judul penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Profil keluarga miskin di Kelurahan Pudak Payung menunjukkan bahwa

sebagian besar keluarga miskin bekerja sebagai pedagang dan tukang

becak dengan tingkat pendidikan tamat SD.

2. Implementasi program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP)

di Kelurahan Pudak Payung berjalan lancar dengan jumlah KSM yang

semakin bertambah

3. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanan P2KP di Kelurahan Pudak

Payung yaitu masih adanya sumber daya manusia dan sumber daya

finansial yang kurang memadai dan juga Kelompok Swadaya Masyarakat

(34)

2. Analisis Penanggulangan Kemiskinan Melalui Implementasi Program P2KP di Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan) 2006.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisi pemanfaatan dana

pinjaman dan pendampingan teknis program P2KP di wilayah Kelurahan

Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dalam rangka pelaksanaan

pembangunan keluarga sejahtera.

Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis data dalam

penelitian ini adalah analisis korelasi dan uji beda dengan variabel dependen

pendapatan usaha dan simpanan usaha. Sedangkan variabel independennya

pendampingan dan pinjaman modal.

Hasil penelitian yang di dapatkan dalam judul penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Faskel dalam melaksanakan tugas kegiatan pendampingan efektif, yang

berarti kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Faskel dapat

meningkatkan usaha peserta program P2KP.

2. Ada hubungan positif antara pendampingan dengan pendapatan usaha.

3. Ada hubungan positif antara pendapatan usaha dengan simpanan usaha.

4. Ada hubungan positif antara pinjaman modal dengan pendapatan usaha.

5. Telah terjadi peningkatan pendapatan dan simpanan usaha (dalam kurun

waktu 6 bulan sebelum dan sesudah program berlangsung) pendapatan

usaha dari rata-rata per bulan.

(35)

Perkotaan (P2KP) di Kota Gorontalo 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu dan menganalisi bentuk-bentuk

implementasi kebijakan program penanggulangan kemiskinan di perkotaan di

kota Gorontalo, mengetahui dan menganalisis tingkat responsivitas pemerintah

kota Gorontalo dalam implementasi kebijakan program penanggulangan

kemiskinan, mengetahui keberterimaan masyarakat terhadap kebijakan program

dan mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan program penanggulangan kemiskinan di perkotaaan di

kota Gorontalo.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode

studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu ; wawancara dan

Focus Group Discussion (FGD).

Hasil penelitian yang di dapatkan dalam judul penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Bentuk-bentuk implementasi penanggulangan kemiskinan di Kota

Gorontalo meliputi :

a. Pendidikan dan keterampilan berupa pelatihan bagi kelompok usaha

masyarakat.

b. Bantuan modal dan dana bergulir bagi kelompok usaha ekonomi

produktif masyarakat.

c. Kegiatan pendampingan oleh aparatur terkait dengan kegiatan dan

tahapan P2KP di Kota Gorontalo.

2. Responsivitas pemerintah kota Gorontalo dalam implementasi

(36)

kepedulian pemerintah terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat

khususnya komitmen pemerintah dalam mengalokasikan dana sharing

melalui APBD Kota Gorontalo setiap tahunnya, sebesar 50 % dari total

anggaran P2KP dari pemerintah pusat.

3. Keberterimaan masyarakat terhadap kebijakan program penanggulangan

kemiskinan di kota Gorontalo ditunjukkan dengan semakin tingginya

tingkat pemahaman dan dukungan atau partisipasi masyarakat dalam

setiap tahapan program kebijakan P2KP di kota Gorontalo. Situasi inilah

yang menjadikan bahwa implementasi kebijakan P2KP dapat terlaksana

sesuai dengan tujuan dan hakikat program P2KP dari rakyat, oleh rakyat

dan untuk rakyat.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program

penanggulangan kemiskinan di kota Gorontalo, yakni a) komunikasi, b)

sumberdaya, c) disposisi dan d) struktur birokrasi. Faktor lainnya sebagai

temuan lain dari empat (4) faktor diatas adalah sebagai berikut :

a. Falsafah hidup masyarakat adat Gorontalo, yakni adat bersendi syara',

syara' bersendikan kitabullah", sebagai bingkai moral masyarakat

Gorontalo dalam menjalankan aktivitas kehidupan bermasyarakat.

b. Semangat bergotong royong masyarakat Gorontalo yang masih

berlangsung dan senantiasa tetap mewarnai dinamika pelaksanaan

program pembangunan.

c. Kebiasaan lain masyarakat dalam membangun desa disebut "Heluma"

yang artinya saling mengajak bermufakat dan bermusyawarah dalam

(37)

I.7 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi

pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat

menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk

beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainya. (Singarimbun, 1995:

33).

1. Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat terhadap suatu objek/sasaran

yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Dalam hal ini implementasi kebijakan program

penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP).

Adapun variabel dalam menganalisis implementasi kebijakan dalam

penelitian ini diambil dari model implementasi kebijakan menurut Van

Meter dan Van Horn (Winarno, 2008:146) ada enam (6) variabel yang

mempengaruhi implementasi, yakni :

a. Ukuran dan tujuan kebijakan

b. Sumberdaya

c. Komunikasi

d. Karakteristik agen pelaksana

e. Disposisi implementor

f. Kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan

(38)

adalah program yang dilaksanakan dalam pemberdayaan masyarakat

miskin melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber daya, dan

membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan

sinergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam

menanggulangi kemiskinan secara efektif dan berkelanjutan.

3. Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya dan

memenuhi kebutuhannya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya,

pendidikan, dan kesehatan.

I.8 Defenisi Operasional

Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang sedang berjalan

(implementasi) dapat dilakukan dengan berbagai model pendekatan seperti di

atas. Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan

variabel-variabel dalam model pendekatan tersebut. Oleh karena itu, model yang dipakai

dalam penelitian Implementasi Kebijakan Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah sebagai berikut : a. Ukuran dan tujuan kebijakan

Standar dan tujuan kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standar dan tujuan kebijakan kabur, maka akan terjadi

multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen.

b. Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya

(39)

(non-human resources).

c. Komunikasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan

dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

kerjasama antar instansi untuk keberhasilan suatu program.

d. Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur

birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,

yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

e. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga (3) hal yang penting, yakni : (1)

respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni

pemahamannya terhadap kebijakan dan (3) intensitas disposisi

implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

f. Kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana

kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi

kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak,

bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit

politik mendukung implementasi kebijakan.

(40)

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep,

definisi operasional, dan sistematika penulisan.

BAB II : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian,

informan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa

data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi

penelitian berupa sejarah singkat, visi dan misi organisasi.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Bab ini berisi data-data yang diperoleh dari hasil penelitian di

lapangan untuk dianalisis.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan pembahasan dan interpretasi dari data-data yang

disajikan dan diperoleh dari lokasi penelitian.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan penelitian dan saran-saran dari hasil

penelitian yang dilakukan serta untuk kemajuan objek penelitian

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Diharapkan melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran mengenai kepatuhan penderita asam urat dalam mengkonsumsi obat asam urat yang dapat digunakan sebagai masukan bagi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pengaruh pulsed lip breathing exercise terhadap penurunan sesak napas pada pasien

Aneka Jasa Grhadika adalah proyek rehablitasi Gudang urea ZA, time schedule telah dibuat dengan perencaan yang rinci namun seringkali realita pengerjaan tidak

berada pada fase mengatur jarak kehamilan, sehingga kontrasepsi yang sesuai memiliki ciri yang reversibilitas tinggi, efektivitas tinggi karena pada usia ini PUS

Universitas Bina Nusantara yang di kelola oleh swasta merupakan salah satu fasilitas pendidikan dan sebagai perguruan tinggi yang cukup besar, jumlah mahasiswa yang dapat ditampung

Dari rangkaian proses penelitian ini setelah dilakukan proses analisis data sebagaimana yang telah diuraikan, maka penulis menyampaikan saransebagai berikut :Sebaiknya