• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752016016 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752016016 BAB IV"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

86 BAB IV

TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA

DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

Bab ini berisikan pembahasan yang meliputi kajian asal usul, tujuan, dan pemaknaan Tunjuitam dari perspektif pastoral budaya, kajian kumpul keluarga dalam tradisi Tunjuitam sebagai solidaritas sosial dalam kedukaan.

A.Tunjuitam Dari Perspektif Pastoral Budaya

Falsafah orang Maluku, ”ale rasa beta rasa” dan “potong di kuku rasa di daging,” sebenarnya juga memiliki dasar refleksi suatu kultur kedukaan, “ale pung susah, beta pung susah” (kamu rasa, saya juga rasa). Falsafah ini membentuk pemahaman orang di Maluku dalam suka dan duka sehingga terkait dengan kematian yang dialami oleh salah seorang anggota keluarga atau kerabat dekat berarti ”kematian separuh tubuh mereka.”

Pemahaman ini muncul sebagai bentuk ikatan emosional orang basudara (klan/marga) yang kemudian menimbulkan reaksi kepedulian, keprihatinan terhadap suatu peristiwa yang tidak pernah diharapkan yaitu kematian. Ketika keluarga yang berduka merasakan krisis, maka secara bersama-sama sedang mengalami krisis. Hal ini terlihat lewat kebersamaan dengan keluarga yang berduka, mulai ketika berita kematian itu terdengar, proses pemakaman hingga pelaksanaan Tunjuitam.

Koenjaraningrat1 mengatakan bahwa nilai budaya memiliki nilai paling tinggi dari adat istiadat, sebab nilai ini ada dalam hidup dan pikiran manusia. Tunjuitam memiliki nilai budaya melalui sesuatu yang hidup dalam pikiran manusia yang dilakukan saat ada kematian dan merupakan karya manusia yang bernilai serta mengalami proses sampai kepada menghasilkan suatu budaya, yang mencakup nilai, kultur, norma dan hasil cipta manusia. Nilai budaya itu terlihat dalam asal usul Tunjuitam yang dipahami dalam

1

(2)

87

tujuan menyatukan “keluarga besar” yang terikat sistim kekeluargaan berdasarkan hubungan darah. Tunjuitam dipahami sebagai instrumen untuk menjaga tradisi „kumpul keluarga” sehingga ada kesadaran terhadap tindakan kolektif.

(3)

88

dan kebijaksanaan lokal”2 (cultural means and wisdom) untuk membantu umat dalam menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia, yakni kematian dan kedukaan.

Dengan perangkat dan kebijaksanaan lokal itu diharapkan bisa menolong umat tertentu menjalani masa-masa sulit. Dengan perangkat dan kebijaksanaan lokal, umat bisa ditolong secara kultural sehingga mereka yang mengalami kehilangan dan kedukaan tidak merasa sendiri menjalani masa-masa sulit itu. Peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian mungkin dianggap “kafir” dan membawa beban komersial secara ekonomi tetapi dalam praktek pastoral dapat dikatakan sebagai bentuk perjumpaan bukan hanya sekedar perjumpaan yang bersifat hura-hura, tetapi perjumpaan atas dasar solidaritas antar sesama dengan orang yang berduka, yang membawa topangan dan pemulihan. Kenapa? Karena perjumpaan kita dengan keluarga yang berduka hanya akan sampai saat jenazah dimakamkan, setelah itu keluarga yang berduka akan dibiarkan seorang diri menjalani masa-masa krisisnya. Erick Lindeman dalam artikelnya yang diterbitkan pada tahun 1944, “Symptomatology and Management of Acute Grief”, menemukan berbagai

gejala gangguan kejiwaan yang dialami oleh orang yang mengalami kedukaan, dan itu berlangsung 10-14 hari (shock awal). Setelah shock awal ini, datang kesedihan yang intens yang menyebabkan orang yang berduka mengasingkan diri dari kontak sosial.3 Pikiran Lideman ini, jika dikaji dalam realitas waktu, maka shock awal itu akan muncul saat orang yang berduka kembali ditinggalkan oleh kaum keluarga karena harus kembali ke tempat mereka semula. Jika, peringatan 3,7,40 dan 100 hari masih diberlakukan, maka perjumpaan ulang antara keluarga/tetangga/jemaat masih akan terjadi. Shock

awal seperti yang dikatakan oleh Lindeman pasca kematian tidak akan terjadi

2

Totot S. Wiryasyaputra, Mengapa Berduka; Kreatif Mengelolah Perasaan Duka,

(Yogyakarta: Kanisius,2003), 28-29.

3

(4)

89

karena ada kaum keluarga/tetangga/jemaat yang mengunjungi dan menemani orang yang berduka.

Pikiran ini, bukan berarti mau menolak apa yang sudah dilakukan oleh gereja dan dijalankan selama bertahun tahun dalam pelayanan GPM. Namun, deregulasi GPM terhadap peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian membuat sempitnya ruang perjumpaan pelayanan gereja, melemahnya perjumpaan antara keluarga dengan keluarga, pelayan dan umat padahal ini sangat dibutuhkan oleh keluarga yang berduka. Kalau gereja melakukan deregulasi terhadap ruang-ruang perjumpaan, berarti gereja harus memiliki alternatif yang lain bagi pendampingan orang yang berduka supaya tidak terkesan bahwa mereka diabaikan dan dibiarkan sendiri menjalani masa-masa krisis. Apakah orang berduka tidak perlu mendapat pelayanan dari gereja? Apakah pelayanan gereja hanya berakhir pada saat jenazah dimakamkan? Hal positif, justru muncul dari kesadaran jemaat sebagai bentuk persaudaraan, bahwa walaupun gereja telah melakukan deregulasi terhadap peringatan-peringatan kematian tetapi ada inisiatif keluarga untuk melakukan ibadah syukur pada hari-hari kematian tersebut. Di ibadah syukur ini, ada perjumpaan antara orang berduka dengan kaum keluarga/tetangga/kerabat/ dan pelayan. Bagi saya, apa bedanya peringatan syukur yang dilakukan oleh keluarga dengan peringatan 3,7,40 dan 100 hari yang dulu diberlakukan? Mungkin, namanya saja yang berbeda tetapi isi/muatan dari syukur kematian itu, sama dengan peringatan 3,7,40 dan 100. Begitu juga cara dan bentuk pelayanan gereja, sama seperti pelaksanaan proses pemakaman jenazah. Ada nyanyian, ada khotbah, ada doa, ada nasihat dan kalimat-kalimat penguatan. Normatif dan tradisonal.

(5)

90

kelompok masyarakat. Melalui kehadiran anggota masyarakat dalam kedukaan suatu keluarga bertujuan untuk menghibur, menguatkan serta empati dan solidaritas sosial bagi keluarga yang sedang berduka. Sementara itu, lembaga agama dalam hal ini gereja telah memberikan sebuah anjuran lewat liturgi pemakaman GPM untuk melanjutkan tindakan pastoral kepada keluarga yang berduka. Ini bertujuan untuk melakukan pendampingan agar orang berduka bisa menjalani masa kedukaannya dengan normal. Persoalannya, apakah lembaga sosial masyarakat dan gereja sudah dengan sungguh melakukan peran mereka untuk menjawab persoalan manusia terkait dengan krisis situasional akibat kematian orang-orang kekasih mereka? Upaya gereja (GPM) mengarah ke hal itu, tetapi selalu diperhadapkan dengan kemampuan pelayan, jumlah pelayan yang tidak seimbang dengan jumlah warga jemaat dan tekniks pelayanan gereja yang terfokus pada program pelayanan hasil sidang jemaat.

Tindakan pastoral yang umum terjadi di GPM, hanya dilakukan berdasarkan program pelayanan hasil sidang, empat kali setahun, yaitu perkunjungan awal tahun, menjelang Paskah, perkunjugan tengah tahun dan perkunjungan akhir tahun. Perkunjungan cenderung dipahami sebatas pemenuhan program pelayanan dan terbingkai dalam konsep ritual saja, misalnya: ada ibadah bersama keluarga, memberi nasihat, lalu berdoa tanpa disertai percakapan yang mendalam dengan jemaat seputar masalah-masalah yang dihadapi. Ini menggambarkan bahwa perkunjungan pastoral gereja hanya di kulit saja dan tidak menyentuh pergumulan riil jemaat. Kendala yang kedua, yang dihadapi oleh GPM terkait dengan ketrampilan pelayan menggunakan terkni-teknik pastoral. Ini disebabkan karena keterbatasan akademik dan pelayan tidak diperlengkapi dengan pelatihan-pelatihan penunjang lainnya seperti konseling, cara melakukan percakapan, psikologi, sosial, menajemen dan lain-lain serta buku-buku pengembalaan yang dipakai cenderung konvensional.

(6)

91

disebut sehat bukan karena “tidak ada penyakit tertentu” atau terlihat secara fisik baik adanya, melainkan mampu hidup sehat secara utuh: fisik, mental, spiritual dan sosial, atau yang dikatakan Van Beek4, melihat manusia secara holistik, dan prespektif Integratis, seperti pendekatan Daan Engel5, maka manusia tidak bisa direduksi menjadi kasus dari satu aspek tertentu secara parsialistik, misalnya hanya melihat aspek fisik tanpa melihat aspek kehidupan yang lainnya seperti mental, spiritual dan sosial. Hal ini pun sama dengan ukuran umum yang berlaku dalam penilaian keberhasilan pelayan gereja, yang hanya dilihat dari kinerja pembangunan secara fisik. Memiliki gereja dan pastori yang megah, memperoleh pendapatan jemaat yang lebih dari anggaran yang dirancangkan, menjadi ukuran keberhasilan seorang pelayan. Tetapi, cobalah untuk di verifikasi. Pendapatan terbesar jemaat ada dalam pos pendapatan syukur jemaat. Syukur ini berupa syukur HUT pribadi, pernikahan dan keberhasilan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa, orientasi pelayanan Gereja lebih banyak di perayaan-perayaan ini dan mengabaikan unsur pelayanan pendampingan dan konseling pastoral kepada umat. Pelayan gereja (Pendeta/ Penatua/Diaken) lebih berenergi ada di pelayanan ini sebab bernuansa sukacita, dijamu dengan makanan yang istimewa daripada melakukan pendampingan kepada orang yang berduka.

Selanjutnya, warga jemaat bukan lagi dilihat sebagai objek pelayanan gereja semata, melainkan sekaligus juga sebagai subjek dari pelayanan sehingga untuk jumlah jemaat yang besar seperti jemaat GATIK memperlihatkan ketidakseimbangan jumlah anggota jemaat dengan ketersediaannya tenaga pendeta. Akhirnya pelayanan dinilai tidak efektif dan efisien. Idealnya dalam sebuah jemaat 1 pendeta berbanding 500 jiwa jemaat. Tetapi, kenyataan di GATIK menunjukkan sebuah angka yang tidak sesuai, yakni seorang pendeta harus menjangkau tiga-empat unit pelayanan, dengan 1:1000 jiwa. Suatu kebijakan yang hasilnya tidak maksimal.

4

Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015),15-16. 5

(7)

92

Di sisi yang lain, peristiwa kematian pada orang di GATIK yang dilanjutkan dengan pelaksanaan Tunjuitam menunjukkan bahwa kematian dalam setiap budaya selalu disikapi dengan cara/ritualisasi tersendiri dengan berbagai alasan. Tunjuitam adalah sebuah ritual dari kematian yang terlihat pada akta syukur (doa) sehingga Tunjuitam dimaknai sebagai konsensus nilai yang berfungsi sebagai “pengucapan syukur”. Cara mengucap syukur itu sudah ada sejak para leluhur sehingga kesadaran untuk mengucap syukur sudah menggenerasi di GATIK. Di era kemajuan dan globalisasi, cara mengucap syukur ini tetap dipahami sebagai suatu bentuk kesadaran diri atas karya Allah, yang telah membebaskan dari penderitaan tetapi dilain sisi pengucapan syyukr ini dilihat sebagai cara menunjukkan kekayaan yang dimiliki. Sebab, orang di GATIK merangkaikan cara mengucap syukur mereka dengan makan bersama yang dipahami sebagai ungkapan terima kasih kepada kaum keluarga/ tetangga/kerabat yang telah bersama mereka melewati masa-masa krisisi. Cara ini yang kemudian menjadi polimik di antara orang tua dan orang muda. Bagi Clinbell,6 salah satu tugas dalam kedukaan adalah sentuhan fisik dan pemberian makanan, yang merupakan sentuhan simbolik untuk berkomunikasi. Hal inipun terjadi saat pelaksanaan Tunjuitam yakni makan sesudah suatu acara (ibadah), menandakan adanya keberlangsungan hidup. Itu artinya, orang GATIK tidak perlu mempersoalkan berat atau ringan memberi makan kaum keluarga sebab makan adalah simbol keberlangsungan hidup yang bisa diciptakan dalam hal yang sederhana. Terpenting adalah, di moment ini ada sebuah ruang guna terciptanya suatu komunikasi antara kaum keluarga/tetangga/pelayan dengan orang yang berduka. Kalau Tunjuitam

dipahami sebagai moment “pengucapan syukur” yang dilakukan secara vertikal maupun horisontal, maka soal memberi makan bukanlah sesuatu yang diperdebatkan. Ini adalah bentuk pengucapan syukur kepada Allah yang dibagikan kepada sesama.

6

(8)

93

Terhadap fungsi-fungsi pastoral yang ditawarkan oleh para ahli, sebetulnya menyatakan tanggung jawab pelayan dalam seluruh realitas pelayanan. Persoalan dalam konteks di GATIK adalah apakah fungsi-fungsi itu teraktualisasi secara konkrit di dalam dinamika pelayanan pastoral kedukaan? Pertanyaan ini sangat penting, sebab dari sisi anggota jemaat, pelayan (pendeta), hanya terlihat jelas ketika ia melakukan fungsi-fungsi pastoral itu secara bertanggung jawab. Selain itu, usaha pelayan untuk memenuhi fungsi pastoral dimaksud, sangat terkait dengan harapan dan kebutuhan warga jemaat. Sering, warga jemaat menuntut pelayanan yang lebih dari seorang pelayan tanpa memikirkan bahwa pelayan juga manusia biasa. Penghargaan yang diberikan warga jemaat kepada pelayan dipengaruhi oleh persepsi jemaat tentang pelayan yang “serba tahu”, tahu banyak hal dan pastinya juga menguasai cara-cara melakukan pastoral. Hal ini menyebabkan, semua hal harus dilakukan oleh pelayan (pendeta), akhirnya pelayan tidak dapat berfungsi dengan baik, sesuai kemampuannya. Tidak ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang merata di jemaat yang memiliki 2-3 pelayan (pendeta). Semua ini karena pengaruh pola kepimpinan tradisional budaya Maluku sebagai warisan pola kepemimpinan zending dan pandangan teologis yang hidup dalam jemaat.

(9)

94

sini, Tunjuitam mengalami perkembangan zaman, bahwa kehadiran kaum keluarga/ kerabat adalah juga bagian dari informasi di media sosial.

Lebih lanjut, kumpul keluarga bukanlah persoalan yang muncul pada saat ini. Sejak dahulu orang di GATIK sudah melihatnya sebagai proses hidup dimana tiap individu dan keluarga berintekasi secara personal dengan orang lain. Adanya Tunjuitam merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan orang yang mengalami kedukaan akibat kematian anggota keluarga yang dikasihi. Orang di GATIK melakukannya sebagai bagian dari pewarisan nilai leluhur yang perlu dihormati, tetapi tanpa disadari bahwa Tunjuitam

menanamkan nilai-nilai luhur yang kalau dipraktekkan akan memunculkan sebuah tanggungjawab bersama untuk menopang kehidupan orang yang berduka.

Sanchez mengatakan bahwa keluarga yang melupakan atau meninggalkan budaya seperti kapal yang kehilangan kompas. Dalam penyelesaian persoalan keluarga, jangan melepaskan budaya karena melalui budaya termanisfestasi fungsi dari suatu perilaku manusia. Melalui perilaku manusia yang dimunculkan, maka akan terlihat gambaran yang mengancam keutuhan keluarga.7 Tunjuitam menjadi cara bagi orang GATIK untuk berelasi dan menujukan sikap care community. Namun, seriring perkembangan zaman menyebabkan jemaat ini dihadapkan dengan maraknya nilai-nilai baru secara ekonomi, politik, budaya yang berakibat langsung bagi berubahnya orientasi dan perilaku warga jemaat serta penilaian terhadap tradisi/kebiasaan. Dulu, tradisi dipandang sebagai hal yang penting dan memiliki nilai untuk mengatur manusia supaya hidup tertib dan baik. Dalam tradisi yang terus menerus dilakukan dari satu generasi ke generasi yang lain, termuat nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Saat ini, nilai-nilai kemanusiaan, mengalami pergeseran karena harta, jabatan sosial, pendidikan yang telah menjadi ukuran bagi hidup yang baik dan sukses. Orang lebih suka menghabiskan waktu untuk bekerja menghasilkan uang untuk meraih kehidupan yang dianggap baik dan

7Arthur R.Sanchez, “Multicultural Family Counseling”,

(10)

95

mapan. Seiring waktu pula, kebiasaan sebagai tradisi turun temurun ditinggalkan diganti dengan nilai material. Misalnya, kebiasaan menyuguhkan

snack (roti dan teh) sewaktu selesai proses pemakaman di gantikan dengan

snack yang di hidangkan di dalam kotak snack. Dengan langsung menyuguhkan snack, berarti menciptakan ruang dan waktu yang lama antar kaum pelayat dengan keluarga yang berduka, dibandingkan dengan pemberian

snack di kotak. Secara perlahan kebiasaan ini ditinggalkan dengan alasan tidak mau repot dan tidak mengikuti perkembangan zaman atau kuno.

Jemaat GATIK cenderung berpikir bahwa tindakan mereka dalam peristiwa kedukaan merupakan suatu rutinitas sebagai tradisi yang dilakukan secara turun temurun dari orang totua/ leluhur sehingga makna dan nilai luhur dalam tiap-tiap aktifitas kedukaan tidak disadari oleh mereka. Tunjuitam bukan hanya mengandung makna religius karena dilakukan pada hari ketujuh, diaktakan dalam kebaktian bersama di gereja pada hari minggu, ada simbol

natzar sebagai bentuk spiritualitas umat, berpakaian hitam sebagai tanda berkabung yang diindetikkan dengan pemahaman GPM yang bercorak Calvinis, tetapi juga mengandung makna sebagai bentuk solidaritas sosial yang mampu mengintegrasikan jemaat GATIK dalam berbagai lapisan, sehingga solidaritas ini bekerja sebagai perekat sosial, dalam hal ini berupa nilai dan kepercayaan yang dianut bersama oleh jemaat dalam ikatan kolektif. Sehingga, betul apa yang dikatakan Durkheim, bahwa solidaritas sosial pada dasarnya merujuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.8 Perekat sosial ini bersifat personal dan kolektif. Personal, yakni terkait dengan mengumpulkan “keluarga besar” yang terikat sistim kekeluargaan berdasarkan hubungan darah (ayah/ibu) dan secara kolektif menyatukan komunitas jemaat.

Orang yang berduka di GATIK selalu memakai baju hitam ke manapun ia pergi dan dalam aktifitas apapun. Ini merupakan isyarat atau tanda suatu

8

(11)

96

masa perkabungan, situasi sulit yang sementara dijalani. Konseptuliasasi kematian lewat tindakan ini mengarahkan orang GATIK bukan hanya mengungkapan bentuk kehilangan mereka tetapi juga suatu realitas kematian sehingga mereka mencarinya lewat konteks sosial dan budaya mereka. Berbeda dengan orang di Barat, yang memandang kematian hanya sebagai pengalaman pribadi. Orang-orang di GATIK melihat kedukaan sebagai pengalaman komunal yang tidak hanya melibatkan keluarga inti, tetapi juga keluarga besar dan komunitas jemaat. Wolfelt,9 menyatakan bahwa salah satu tugas dalam kedukaan adalah menerima dukungan orang lain. Dengan arti harafia

Tunjuitam, yang diidentikan dengan masa hitam/perkabungan, telah menyatakan bahwa orang di GATIK harus menerima dukungan orang lain lewat kehadiran kaum keluarga dan komunitas jemaat guna sebuah penyembuhan.

Gejala-gejala kedukaan seperti yang disampaikan Wiryasaputra,10 seperti: air mata dan kepedihan hati, stress, penolakan, marah, depresi,marah dan tertekan batin, putus asa, rasa bersalah dan menerima kenyataan bukanlah merupakan sebuah gejala yang mutlak teralami oleh orang yang mengalami kedukaan akibat kematian orang yang dikasihi di Maluku, sebab iklim Maluku yang keras membuat orang sulit melihat gejala-gejala ini. Berbeda dengan mereka yang berduka di GATIK, gejala kedukaan terlihat ketika keluarga menggunakan pakaian hitam dalam aktifitas apapun, menggumpulkan keluarga dekat/kaum kerabat, berjalan beriringan ke gereja di hari minggu dan bersama jemaat membawa natzar mereka sebagai tanda pergumulan dan syukur bersama. Hal ini memiliki makna bahwa kedukaan yang sebenarnya terjadi di GATIK sementara di go publik oleh orang di GATIK sendiri untuk meminta perhatian dari kaum keluarga dan komunitas hidup bersama. Apa yang terlihat adalah gejolak dari rasa kehilangan yang tidak mau untuk disembunyikan,

9Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare Nurse, 29.No.2.

10

(12)

97

sehingga orang yang melihat bentuk kedukaan keluarga yang berduka ini, harus menunjukkan kepeduliaan bersama.

Konseptualisasi kematian lewat tindakan yang beragam atas pelaksanaan Tunjuitam menunjukkan bahwa ada pergeseran pola pemikiran orang di GATIK terhadap makna Tunjuitam. Tunjuitam tidak lagi dipahami sebagai “kumpul keluarga” tetapi lebih kepada makna religius, yakni mengucap syukur. Hal ini, berakar pada pengalaman iman orang di GATIK atas bukti penyertaan Allah tetapi juga pada soal ekonomi. Kumpul keluarga dianggap memberatkan, karena harus menggumpulkan kaum keluarga, kecil - besar, laki-laki, perempuan, tua – muda, generasi satu ke generasi yang lain, dan harus dilakukan setelah tujuh hari kematian seseorang seperti pemaknaan arti harafia ”tujuh hari masa hitam.” Ini waktu yang lama. Hal ini menyatakan bahwa orang GATIK hanya menangkap kulit luar dari tradisi Tunjuitam yang telah menggenerasi yakni dibuat untuk menghormati orang mati tanpa menangkap nilai dan makna yang hakiki untuk mendampingi, menemani, menolong orang yang berduka sehingga sebenarnya, bukan soal Tunjuitam

dilakukan waktu kapan, dihitung berapa lama dari terjadi kematian seseorang tetapi apakah Tunjuitam telah dilakukan sesuai dengan nilai dan maknanya? Kalau seseorang yang adalah keluarga dekat dari individu/orang yang berduka baru tunju muka/ hadir pada saat pelaksanaan Tunjuitam di hari minggu, apakah ini adalah wujud kebersamaan sebagai keluarga dalam sebuah kedukaan? Tunjuitam sebenarnya adalah wujud kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan orang yang berduka mulai dari saat kematian itu terjadi.

Karl dan Evelin11, dalam ulasannya menggenai buku Petter Vierch yang berjudul “The Unadjusted Man: A New Hero For Americans”, berpendapat bahwa zaman kita adalah zaman yatim piatu, zaman yang penuh dengan realitas kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan akibat perubahan zaman yang begitu dinamis. Oleh karena itu, pada zaman ini setiap individu yang berada

11

(13)

98

dalam “kesepian dan keramaian”, sering dihantui oleh perasaan yang ditinggalkan dan merasa kesepian tanpa teman. Untuk itu berjuta juta manusia tidak mendapat sumber untuk menghadapi pengalaman hidup manusia pada umumnya. Penyataan ini ingin menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia membutuhkan sumber-sumber yang bisa dipakai sebagai referensi untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup. Sumber-sumber itu berupa orang lain untuk mengisi kehidupannya, mendengar keluhan-keluhan batinnya. Sama halnya dengan keluarga yang berduka. Mereka merasakan kesepian dan kehilangan arah ketika orang yang mereka kasihi (suami/istri/orang tua/anak/saudara) tidak lagi ada bersama dengan mereka.

Manusia tidak bisa berdiri sendiri sebagai individu yang bebas terlepas dari aspek-aspek lain yang mempengaruhi kehidupan individunya. Jika manusia mengalami krisis, seperti kehilangan akibat kematian orang yang dikasihi, maka krisis kedukaan harus dilihat dari berbagai aspek yang turut mempengaruhi terciptanya krisis tersebut. Dalam kaitan dengan hal ini, maka perspektif pastoral kedukaan harus bersifat holistik (menyeluruh). Holistik yang berusaha untuk memungkinkan terjadinya penyembuhan dan pertumbuhan keutuhan manusia dalam dimensinya. Manusia harus dilihat secara utuh, mencangkup keseluruhan aspek kehidupannya, begitu pun dengan individu/keluarga yang berduka dalam krisis hidupnya, dan dalam pertolongan kepada mereka, maka pendekatan holistik adalah pendekatan yang dilihat sangat relevan. Keutuhan meliputi kesatuan atas seluruh dimensi manusia, yakni tubuh, roh dan jiwa. Dalam sudut pandang holistik, gambaran Alkitab sebagai tubuh adalah Bait Allah (I Kor. 6:19-20). Hal ini merefleksikan pentingnya tubuh rohani. Ini merupakan dimensi pertama dari keutuhan.

(14)

99

baik, akan mempengaruhi kesehatan tubuh (seperti, tidak dapat tidur, tidak ada nafsu makan, menangis). Dengan demikian pertolongan dari keluarga/ tetangga/ kerabat maupun komunitas jemaat, harus juga bermuara pada kebutuhan fisiologi dari individu/ keluarga yang berduka. Untuk aspek psikologi, sangat berkaitan dengan kognitif,emosi dan tindakan manusia (motivasi). Dalam konteks menolong dampak psikologi dari individu/ keluarga yang mengalami kedukaan, maka tiga dimensi (kognitif, emosi dan motivasi), harus diperhatikan. Perintah di Markus 12: 30, yang menyatakan bahwa “kasihilah Allah dengan segenap jiwamu” (hati, roh dan kekuatan), menegaskan bahwa dalam konteks psikologi makna intelektul/pikiran (kognitif) sama seperti emosi dan jiwa. Dalam pengertian kontemporer tentang mengasihi Allah dengan segenap jiwa dapat direflesikan bahwa kognitif, emosi dan tindakan manusia harus dijadikan sebagai alat untuk mengasihi Allah sehingga keinginan untuk menolong individu/keluarga yang berduka harus dihantar ke arah yang baik supaya keluarga/tetangga, komunitas umat dan pelayan gereja dapat mengintegrasikan ketiga fungsi ini sebagai alat pendorong upaya menyembuhkan luka batin, akibat tidak dapat konsentrasi, emosi yang tidak terkontrol secara baik, misalnya suka marah-marah dan suka mengasingkan diri.

(15)

100

meninggalkan orang yang menderita itu mengalami penderitaannya sendiri, melainkan akan turut bekerja dalam penderitaan itu, dan menjadikan penderitaan itu sebagai sarana pernyataan kasih Allah kepada manusia. Dalam kepentingan inilah maka, pastoral kedukaan terhadap individu/keluarga yang berduka adalah salah satu sarana menuju transformasi itu. Budaya GATIK yakni Tunjuitam menyediakan dukungan sosial oleh keluarga dan jemaat lewat lembaga sosial, dengan cara-cara ritual-spiritual membantu untuk memfasilitasi ekspresi kedukaan. Keluarga/tetangga dan jemaat berkumpul memberikan dukungan. Orang yang berdukapun bisa dengan sendiri keluar dari masa kedukaannya.

B.Tunjuitam diKaji Dari Fungsi Pastoral

Dalam Tunjuitam, terdapat nilai moral dari semua proses pelaksanaanya, sehingga keluarga dan jemaat terikat dalam satu rasa emosional yang kemudian membawa mereka secara sadar berempati terhadap individu/ keluarga yang mengalami kehilangan atas kematian salah satu anggota keluarga. Empati tersebut, mereka tunjukkan dengan membantu, memberikan sumbangan (material), menemani, menguatkan dan bersama-sama menghadiri proses Tunjuitam.

1. Mendamaikan

(16)

101

sesama dalam suka dan duka. Konflik dapat mengganggu kesehatan yang mengakibatkan tubuh mengalami sakit karena terjadinya disfungsi tubuh.

Satu hal penting yang termuat dalam tujuan Tunjuitam adalah bikin bae orang sodara/ mendamaikan dari konflik internal. Saat konflik masih ada maka kebutuhan fisik dan psikologi tidak akan terpenuhi dalam relasi kekeluargaan dan sesama lainnya. Oleh sebab itu, konflik individu/keluarga harus diselesaikan oleh keluarga itu sendiri karena pelaku konflik adalah anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang berkonflik harus terlibat dalam penyelesaiannya. Tunjuitam dilakukan oleh keluarga yang berduka karena keinginan untuk menyatakan “syukur” dengan cara berbagi bersama kaum keluarga /kerabat/ tetangga yang bersama dengan mereka saat kedukaaan. Secara spiritual, jika hidup dijalani dengan konflik maka ketentraman batin tidak dirasakan. Fokus utama untuk mengumpul kaum keluarga memberi kesempatan untuk semua anggota keluarga guna berdamai. Inipun menjadi aspek penting dalam proses pendampingan dan konseling pastoral. Sebab, dalam proses pendampingan dan konseling hal yang penting ditekankan adalah kesediaan konselor dan klien, yakni keduanya harus terbuka untuk mengubah diri. Dalam menyelesaikan konflik ini, siapakah yang menjadi konselor? Konselor adalah anggota keluarga yang memiliki keinginan dan memulai dalam membuka komunikasi keluarga antara mereka yang berkonflik. Gerkin12 mengatakan konseling pastoral sebagai suatu seni pengenalan. Dengan demikian, konseling pastoral mempunyai tugas utama yaitu menimbulkan kepekaan. Disebut sebagai konselor, karena menaruh perhatian pada masalah, peka dan terbuka terhadap tindakan masing-masing individu/keluarga yang berkonflik serta menghayati nilai-nilai kebersamaan. Konselor yang memulai sebagai upaya pengutuhan keluarga. Konselor dalam

Tunjuitam bisa dimulai dari orang tua, anak, pelayan gereja. Inilah saat proses konseling pastoral dalam Tunjuitam dilakukan.

Dengan melakukan proses konseling dalam Tunjuitam atas konflik internal, maka Tunjuitam menjadi fungsi menyembuhkan kaum keluarga.

(17)

102

Clebsch dan Clinbell13 mangatakan bahwa fungsi menyembuhkan sangat penting bagi mereka yang berduka atau terbuang, sebab akan melahirkan tekanan mental yang kuat. Konflik yang berkepanjangan menimbulkan keterasingan dan luka batin yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Dengan menyampaikan undangan dari pihak yang berkonflik kepada orang yang berkonflik dengannya, maka secara otomatis menimbulkan rasa dihargai dan diterima kembali. Sebuah cara yang sederhana untuk menyembuhkan luka batin dan cara penyembuhan ini bersifat alami dan pribadi, artinya dikembalikan pada masing-masing individu/keluarga, berjuang menerima kekurangan diri sendiri, belajar memahami dan menerima orang lain dengan kekurangannya. Jika ada kemarahan, sakit hati dan luka hati karena dipermalukan atau dikecewakan akan mengalami penurunan menuju kepada penyembuhan. Penyembuhan merupakan upaya yang dilakukan oleh individu/keluarga untuk kebaikan individu/keluarga bahkan jemaat. Hal ini, tidak sulit dilakukan pada jemaat GATIK, sebab salah satu ciri jemaat kota adalah tingkat pendidikan jemaat cukup baik, cenderung kristis terhadap persoalan, bersikap terbuka. Ini akan menolong sebuah perkembangan dan perubahan pemaham terhadap kondisi konflik jemaat.

Secara sosial, hal itu teralami tetapi luka-luka batin akibat konflik apakah terselesaikan? Sebelumnya, telah dikatakan bahwa budaya sudah menyediakan ruang untuk berdamai dan yang harus menolong menyelesaikan konflik guna mendamaikan adalah keluarga itu sendiri karena pelaku konflik adalah anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang berkonflik harus terlibat dalam penyelesaiannya. Tetapi, bukan berarti upaya mendamaikan ini terhindar dari pandangan gereja. Pelayan gereja bisa berperan menjadi konselor.

Apa peran gereja terhadap konflik internal ini? Kita harus melihat peran gereja dalam upaya “mendamaikan”. Mengutip pikiran John Titaley14

,

13William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive

(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36.

(18)

103

dalam buku Religiositas di Aline Tiga, Gereja merupakan organisasi keagamaan “universal” yang bermakna dalam konteks sosial tertentu. Dalam hal ini, gereja bukan sebagai “tubuh Kristus” yang menyebabkan gereja tidak menyadari kedudukannya sebagai bagian dari suatu kehidupan tertentu dengan kebudayaan tertentu juga. Jemaat GPM GATIK merupakan organisasi yang mampu memberikan solusi demi perdamaian individu/keluarga, sebab, tanggung jawab gereja bukan hanya sebagai pemberitaan firman melalui mimbar-mimbar gereja semata tetapi juga sebagai perdamian umat manusia dan ini juga merupakan bagian dari tanggung jawa dan panggilan gereja yang sebenarnya. Jika gereja tidak dalam menyelesaikan konflik keluarga/individu, maka konflik dapat meledak sewaktu-waktu dan tindakan kekerasan akan kembali terjadi ke generasi selanjutnya. Dalam konsep ini, gereja pun sangat berperang dalam pelaksanaan Tunjuitam keluarga. Tunjuitam akan dilakukan oleh keluarga yang berduka tetapi, jika ada konflik antar keluarga yang berduka, gereja bisa menjadi otorisator atas budaya dengan cara menyelesaikan dulu konflik internal, baru dilanjutkan dengan pelaksanaan Tunjuitam. Oleh karena itu, syarat utama dalam pelaksanaan Tunjuitam, adalah melakukan perdamaian semua anggota keluarga.

2. Menyembuhkan

Kehilangan menimbulkan kedukaan tentu membawa luka batin yang mendalam. Secara psikologis hal ini sangat menggangu individu/keluarga yang berduka dalam kehidupan secara religius dan sosial. Dengan kehadiran keluarga bersama lainnya di pelaksanaan Tunjuitam, ada nilai menyembuhan bagi orang berduka, dihibur karena ada yang menemani dalam kedukaan.

(19)

104

Tunjuitam menawarkan sharing keluarga sebagai percakapan atas kelangsungan hidup ke depan, entah itu terkait dengan kehidupan lebih lanjut dari keluarga yang berduka, misalnya pendidikan anak-anak jika yang meninggal adalah tulang punggung keluarga, percakapan tentang sakit/penderitaan orang yang meninggal, apa penyebabnya sehingga bisa diatasi soal genetiknya kepada generasi penerus. Percakapan keluarga yang terjadi merupakan proses dari penyembuhan luka batin akibat kematian orang yang dikasihi sehingga percakapan menjadi media atau alat penyambung sebuah komunikasi yang sempat terputus karena konflik sekaligus juga proses penyembuhan dan pemulihan dari kedukaan sehingga menjadikan mereka yang berduka sebagai manusia dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertumbuh. Ketika percakapan keluarga terjadi dalam Tunjuitam adalah sebuah proses penyembuhan, sebab dalam percakapan itu ada keterlibatan keluarga besar, ada keluarga yang menemani, mendengar, memberikan solusi terhadap beban individu/keluarga yang berduka untuk secara bersama di atasi. Percakapan keluarga memberi ruang bagi orang yang berduka untuk berbagi cerita tentang penderitaanya, menangis jika ingin meluapkan tangisan yang tertunda akibat kehadiran banyak pelayat. Dengan menceritakan ulang tentang sakit, penderitaan almarhum, tentang rencana ke depan bersama almarhum, tentang harapan keluarga terhadap anak-anak yang ditinggalkan, menjadi sebuah tugas dalam kedukaan (tasks of grief). Di sini orang yang berduka bisa berbagi tentang penderitaan dan kesakitan almarhum, bahkan sebaliknya, keluarga/kerabat lainnya bisa berbagi kenangan bersama almarhum kepada individu/keluarga yang berduka. Semakin kita mampu menceritakan kisah kematian tersebut sebagai sebuah kenangan, maka semakin besar pula kemungkinan kita menyembuhkan kesedihan.

Telah dikatakan sebelumnya, bahwa menurut Clebsch dan Clinbell15, fungsi menyembuhkan sangat penting bagi mereka yang mengalami dukacita karena kehilangan. Percakapan keluarga menjawab beban situasional orang yang berduka. Percakapan yang bersifat terbuka dan saling mendukung untuk

15

(20)

105

kebaikan bersama akan pula menghasilkan proses membimbing untuk menentukan apa yang baik bagi masa depan indivudu/keluarga yang berduka. Ini juga yang dikatakan Wolfelt16, bahwa dengan percakapan keluarga, yakni sebagai upaya untuk mengingat almarhum. Ingatan ini timbal balik, antara keluarga yang berduka bersama dengan kaum keluarga. masing-masing menceritakan sebagai hubungan emosional. Semakin kuat mereka mengingat, maka kesembuhan cepat terjadi.

Dalam ruang percakapan keluarga juga ada istilah laeng kasih nasihat laeng/ saling menasihati adalah ruang unik yang tercipta dari Tunjuitam guna menjalani hidup yang lebih baik. Pemikiran radikal orang Maluku bahwa penderitaan, kesusahan bahkan kematian itu karena dosa. Hal ini bisa mengakibatkan individu/keluarga yang berduka mengalami keterpurukan akibat tekanan batin. Kehidupan baru harus ditata dengan baik agar mendatangakan kebaikan bersama. Dalam hal ini, Clinbell, memberikan fungsi menasihati dan membimbing supaya tahu dalam menentukan sikap dan pilihan serta akibat dari sikapnya.17 Tunjuitam memiliki otoritas untuk membimbing anak-cucu/keluarga dan jemaat dalam menentukan sikap dan pilihan bagi kehidupan masa depan supaya proses kedukaan tidak mengorbankan hal-hal penting lain dalam hidup. Tindakan menasihati dan membimbing senada dengan pendapat Clinbell bahwa dalam tindakan membimbing ada upaya menyingkapi masalah batiniah dan hikmat konseli, sehingga terjadilah perjumpaan diantara kedua unsur ini, yaitu masalah dan hikmat konseli dengan pengetahuan dan pemahaman konseli. Hal ini akan mengurangi kelemaham emosional dan konflik batin sehingga individu dituntut untuk menerima serangkaian nilai dan kriteria yang sudah ditentukan terlebih dahulu dalam rangka pengambilan keputusan. Agen membimbing dan menasihati ini merupakan significant other (orang yang paling dekat) dengan manusia tersebut seperti orang tua, kakak adik, saudara, teman, guru, pelayan dan lain sebagainya. Mereka bertindak juga sebagai konselor yang membimbing dan

16Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare Nurse, 29.No.2.1-2

17

(21)

106

menasihati untuk menjalani hidup yang lebih baik. Pemahaman konselor, di point ini berasal dari tradisi, studi dan pengalaman spiritual, yang dimanfaatkan untuk mengambil keputusan. Konselor adalah orang tua, yang menjadi soko guru dan pelayan gereja.

Dalam study kedukaan, perjumpaan orang berduka secara emosional merangsang terjadinya komunikasi yang terbuka. Keterbukaan atas kelangsungan hidup ke depan, entah itu terkait dengan kehidupan lebih lanjut dari keluarga yang berduka, misalnya pendidikan anak-anak jika yang meninggal adalah tulang punggung keluarga, percakapan tentang sakit/ penderitaan orang yang meninggal, apa penyebabnya sehingga bisa diatasi soal genetiknya kepada generasi penerus. Komunikasi dalam Tunjuitam

menunjukkan ada rasa kepercayaan satu dengan yang lain, ada yang mendengar, ada yang memberikan solusi, ada tempat untuk mengungkapkan ekspresi verbal dan non verbal lewat kata-kata, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kualitas suara dan respon psikologi yang mungkin dipikirkan dalam keluarga dan ditindak lanjuti. Jika kematian akibat penyakit, maka di ruang ini akan dicari solusi genetik. Sebab masalah keturunan adalah masalah yang berulang-ulang terjadi dari satu generasi ke generasi berikut. Tunjuitam sebagai penyatuan keluarga besar secara genealogis (ayah/ibu), bisa menggambarkan suatu pohon keluarga (genogram), mencatat keterangan atau asal usul tentang anggota-anggota keluarga, relasi antar mereka, paling tidak untuk tiga generasi. Hal ini bisa dikomunikasikan dalam kumpul keluarga di pelaksanaan

Tunjuitam sehingga dengan cepat dapat melihat pola-pola kekerabatan dan penyakit yang kompleks dalam kurun waktu tertentu.

(22)

107

pribadi. Krisis adalah tahapan perkembangan emosional yang terkait dengan psikologi dan usia.18 Dalam kematian orang yang dikasihi mengakibatkan kedukaan. Ini titik krisis manusia yang berat. Individu/keluarga yang berduka tidak bisa menghindar dari krisis ini, sebab kematian adalah universal19. Kapan saja, di mana saja dan dalam bentuk apapun kematian bisa datang. Gejala-gejala kedukaan normal bagi orang yang berduka, jika krisis ini dilalui dengan baik. Dengan cara yang bagaimana, seseorang menghadapi krisis hidupnya hingga mengalami pertumbuhan dan peningkatan dalam hidup?

Tunjuitam menawarkan cara untuk membantu individu/keluarga yang berduka. Dalam kepedulian bersama menjadi penyembuhan bagi krisis hidup itu. Jika kerena kematian orang yang dikasihi individu/keluarga mengalami kedukaan, untuk apa lagi kesedihan, tekanan batin ditambah dengan konflik internal yang tidak terselesaikan. Kedukaan bertumpuk akan teralami.

Tunjuitam memiliki kesempatan mengalami kesembuhan dan pemulihan dari tekanan batin, sehingga bagi individu/keluarga yang berduka memiliki cara pandang yang baru terhadap krisis hidup dan konflik yang terjadi bukan lagi sebagai hal yang memisahkan tetapi harus dipandang sebagai adanya gangguan pada relasi yang harus segera dikelola secara bersama. Dalam relasi seperti ini, tiap anggota keluarga menjadi pendamping dan yang didampingi. Peran pendamping dan yang didampingi dimiliki oleh anggota keluarga besar dan jemaat untuk proses penyembuhan. Tanpa melupakan peran dari orang yang berduka.

3. Memperbaiki

Pengucapan syukur keluarga, bukan hanya soal bersyukur kepada Tuhan, Pencipta atas hidup yang dianugerahkan bagi almarhum dan berkenan menggambil kembali hidupnya dari dunia. Tunjuitam mempembaiki relasi

18

William M.Clemets, Care And Caunseling Of The Aging (Philadelpia : Fortress Press,1979),29

19

(23)

108

vertikal dan horisontal dari kehidupan spiritual individu/kaum keluarga/kerabat dalam hal hubungan sosial maupun keterlibatan bersama dalam persekutuan yang berdoa dan bernyanyi. Ketika Tunjuitam dilakukan di gereja pada hari Minggu, secara tidak langsung melibatkan kaum keluarga yang tidak pernah/ jarang beribadah, pelayan dan umat sebagai bagian dari persekutun jemaat. Terlihat bahwa pelayan dan umat memberikan topangan dan dukungan secara bersama lewat sebuah akta (doa) atau saling mendoakan kepada Tuhan untuk kehidupan individu/kaum keluarga yang berduka. Fungsi mendukung ala Clinbell20, dinyatakan melalui kehadiran dan sapaan yang terbuka. Di Tunjuitam fungsi mendukung terlihat ketika jemaat menopang hidup orang yang berduka dalam persekutuan yang berdoa secara bersama. Hal ini nyata dan dirasakan oleh orang yang berduka, lewat nyanyian, doa, jabatan tangan dan khotbah dari pelayan. Dukungan bersama dari orang banyak menjadikan individu/kaum keluarga bersemangat menjalani hidup ke depan tanpa orang yang mereka kasihi, melalui pekerjaan, pendidikan dan hubungan sosial lainnya.

Tunjuitam telah memainkan perannya dalam pastoral, yang mencangkup dua pendekatan yakni pendampingan dan konseling pastoral. Hal ini terlupakan karena kita hanya menangkap kulit luar dari sebuah warisan budaya leluhur, yang sering dipakai sebagai sebuah seremonial budaya sehingga budaya tidak dipandang sebagai bentuk dari kecerdasan leluhur dalam mengelolah kedukaan secara kreatif dan efektif. Akibatnya adalah tradisi/ budaya sering dilaksanakan tanpa menangkap nilai dan makna yang hakiki. Sebelumnya, telah dikatakan bahwa Tunjuitam memiliki seperangkat nilai yang bisa dipakai oleh seorang pendamping untuk mendampingi yang didampingi (klien) dan Tunjuitam juga bisa digunakan oleh sang penduka untuk mengelolah kedukaannya dan membantunya mengatasi persoalan hidup. Pemahaman yang ada selama ini dikalangan masyarakat kita, bahwa semua tradisi yang terkait dengan soal kematian entah dilakukan sebelum atau sesudah jenazah dimakamkan seolah-olah hanya ditujukan untuk menghormati

20

(24)

109

orang mati, orang yang hidup terabaikan. Ini perlu diperbaharui. Sebab, tradisi tidak semata-mata ditujukan untuk orang mati, melaikan juga untuk keluarga yang masih hidup. Dalam pengertian bahwa tradisi tersebut dilaksanakan sebagai sarana bagi individu/keluarga yang berduka untuk melewati dan mengatasi kedukaan mereka. Ibadah/spiritual dapat memberi hiburan yang menenangkan batin bagi orang yang mengalami kehilangan.

Praktek Tunjuitam di GATIK menunjukkan ada sarana pelaksanaan pastoral konseling bagi individu/keluarga yang berduka akibat kematian orang yang dikasihi. Kapan proses pendampingan dan proses konseling pastoral itu berjalan dalam Tunjuitam di GATIK? Sejak berita kematian didengar oleh keluarga atau komunitas jemaat dan rumah duka dipenuhi dengan keluarga/tetangga bahkan anggota jemaat. Proses pendampingan kepada orang yang berduka telah terjadi. Pendampingan ini, berjalan tanpa melihat waktu-waktu tertentu (long time) sebab pendampingan pastoral sangat membutuhkan proses. Dengan kehadiran dan keterlibatan dari kaum keluarga serta jemaat dalam kedukaan seseorang, maka proses pendampingan terjadi lewat dukungan moril. Ini membantu individu/keluarga yang berduka untuk dengan cepat mengakhiri masa kedukaan. Sedangkan, konseling pastoral terjadi, jika ada masalah yang dialami baik individu maupun antar keluarga, seperti yang terlihat dari data, yaitu konflik antar adik kaka, orang tua anak, saudara bersaudara dalam klan/marga. Penyelesain terhadap masalah ini, harus segera dilakukan supaya tidak menyebabkan tekanan batin yang bertumpuk kepada individu/keluarga yang berduka maupun kepada kaum keluarga yang lainnya sehingga menyebabkan hilangnya relasi dan hubungan yang saling mendukung.

(25)

110

menopang dengan doa, keluarga yang berduka mampu bertahan dalam masa krisis mereka.

Fungsi spiritual dalam Tunjuitam ini bukan hanya milik para pelayan yang memiliki otoritas dalam pekerjaan melayani. Tunjuitam dipraktekkan dalam bingkai spiritual sebagai bentuk “syukur” kepada Allah pencipta dan menjadi penguat untuk keluarga yang berduka agar sabar dan tabah menerima kedaulatan Allah pencipta. Satu hal yang tetap berlaku dalam pelaksanaan

Tunjuitam mulai dari leluhur/orang totua adalah natzar/uang sumbayang yang diletakan di meja sumbayang. Natzar/uang sumbayang yang diletakan di meja sumbayang, memiliki simbol kehadiran Tuhan. Ketika kaum keluarga/tetangga /pelayan membawa natzar bukti dukungan mereka lewat doa untuk keluarga yang berduka. Oleh sebab itu Tunjuitam dalam komunitas kristiani di GATIK membuktikan bahwa saling mendoakan adalah wujud persekutuan yang terus berlangsung dari satu generasi ke generasi yang lain.

Gerkin21 dalam bukunya “konseling Pastoral dalam Transisi” menyebutkan bahwa penyembuhan batin, harus secara fundamental dilaksanakan dengan bahan mentah pengalaman religius (the raw stuff of religious experiences), artinya bagaimana fungsi-fungsi pengalaman religius orang GATIK terhadap masalah-masalah kehidupan mereka, bagaimana mereka berpandangan tentang realitas tertinggi yang mereka yakini. Bila konsep ini dipakai untuk menganalisa pengalaman religius orang-orang di GATIK, antara lain, peristiwa tsunami/ aer turun naik tahun 1950 yang meluluh lantahkan dua desa ini, pengalaman konflik kemanusiaan lewat aksi tembak menembak, tebakarnya tepat tinggal, gereja, sekolah di tanggal 24 Juni 2000, menjadikan mereka lebih percaya akan pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka. Terlebih lagi, pengalaman-pengalaman ini adalah salah satu cara Tuhan agar umat bisa dekat pada-Nya. Oleh karena itu, kenyataan ini harus disambut dengan rasa syukur, sebab Tuhan mengantikan apa yang pernah diambil/dirampas dari kami, lebih dari yang kami harapakan.

21

(26)

111 4. Mengutuhkan

Kepedulian kepada sesama memberi ruang “kumpul keluarga”. Ide atau gagasan leluhur/orang totua waktu itu hanya sekedar datang menemani, membantu meringgankan kesusahan individu/kaum keluarga yang berduka dengan cara mereka. Tanpa disadari bahwa budaya ini memiliki nilai luhur bagi anak/cucu dan komunitas berjemaat. Pelaksanaan Tunjuitam dalam budaya orang GATIK di Maluku menunjukan suatu hubungan kekeluargaan yang tidak terputus. Hal ini dapat dilihat dari dua bentuk. Pertama, ketika berita tentang kematian seseorang terdengar, maka kaum keluarga berdasarkan keturunan (genealogis) yang berdominsili di manapun akan datang. Kaum keluarga akan kembali ke tempat mereka semula dan beraktifitas setelah selesai pelaksanaan Tunjuitam. Kehadiran kaum keluarga ini bukan hanya secara fisik, tetapi secara intelektual dan emosi yang menunjukkan kepeduliaan. Pada titik ini, budaya menjadi kontrol dan memiliki otoritas untuk memaksa orang melakukan sesuatu bagi dirinya dan bagi sesama. Kesediaan keluarga yang berduka untuk melakukan Tunjuitam bukan hanya untuk mengutuhkan keluarga/kaum kerabat terdekat sebagaimana tradisi yang diwariskan leluhur/orang totua tetapi mau meminta dukungan moril lewat kehadiran dan kebersamaan. Dalam konteks kematian seseorang adalah sesuatu yang tidak pernah diharapkan/rencanakan dan keluarga yang berduka akan merasa senang jika dalam masa-masa sulit ada keluarga dan sesama yang datang menemani dan menghibur mereka. Kehadiran kaum keluarga dan kerabat adalah bukti solidaritas manusia. Ruang mengutuhkan menjadi luas, bukan hanya kaum keluarga secara biologis tetapi komunitas jemaat di gereja sebab, dalam pelaksaan Tunjuitam yakni di hari minggu, bukan hanya terlihat kaum keluarga saja, tetapi nilai mengutuhkan sudah merangkum pelayan gereja, tetangga,kaum kerabat dan komunitas jemaat sebagai persekutuan orang-orang percaya.

(27)

112

merupakan wujud dari relasi dengan manusia. Konsep kumpul keluarga yang bersyukur terlahir karena mengutuhkan individu/keluarga jemaat dengan Tuhan. Peran keluarga/jemaat sangat besar, sehingga Tunjuitam adalah kesempatan bagi individu/keluarga dan jemaat di satukan dalam hidup yang damai dan harmonis. Ini yang mau ditunjukan kepada generasi selanjutnya agar konsep mengutuhkan ini bisa dipahami dengan baik.

Kedua, mengutuhkan kaum keluarga untuk Laeng kasih kanal laeng/

(28)

113

langkah bijak untuk menghindari perkawinan antar saudara sehingga tercipta hidup kekeluargaan yang rukun dan damai.

Secara umum, dalam pengalaman kematian, ada tiga kelompok orang yang hadir dalam suatu kematian, pertama, kelompok orang yang berduka/keluarga; kelompok inilah yang paling merasakan kesedihan itu, sebab selain ada hubungan darah juga mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan almarhum (ada ikatan batin). Jadi, dengan kata lain merekalah sesungguhnya orang yang sedang merasakan kedukaan; kedua kelompok para pelayat, yang merupakan tamu-tamu yang hadir dalam kedukaan tersebut. Rasa kedukaan mungkin tidak terlalu mendalam bagi orang-orang ini, sebab mereka hanya sekedar teman biasa, tetangga, kenalan dan sebagainya. Tujuan kehadiran mereka hanya merupakan suatu jalinan persahabatan, kenalan, tidak ada ikatan batin. Namun, jikalau mereka rela meninggalkan segala tugas-tugas, itu berarti kehadiran mereka cukup serius, dan ketiga adalah pelayan. Para pelayan merupakan orang-orang yang bertugas memimpin acara doa, yang sengaja diundang oleh keluarga duka untuk membantu mereka melakukan ritual kematian (doa). Jadi, apa saja yang mereka kehendaki dalam ritual tersebut biasanya akan dituruti oleh keluarga duka.

Ruang sosial mengisi dinamika pelayanan pastoral dalam krisis kedukaan, sebab sosial bermakna dalam sebuah pastisipasi manusia di lingkup keluarga, komunitas bergereja maupun masyarakat. Setiap tanggung jawab sosial mesti berlangsung dalam kesadaran bahwa baik orang yang berduka, kaum kerabat/pelayat/pelayan dan jemaat adalah sama-sama saling membutuhkan. Kesadaran ini harus mewarnai seluruh partisipasi dan relasi antar keluarga dan warga jemaat yang menindas kemanusia, misalnya memandang dari strata keluarga apa orang yang meninggal dan keluarga yang berduka.

(29)

114

dan dikuatkan oleh kaum keluarga/kerabat/ dan tetangganya dan ditopang secara bersama untuk kuat, sabar menjalani krisis hidup. Kesadaran dan kehadiran bersama dengan individu/keluarga yang berduka menjadi perekat sosial di jemaat GATIK.

Berdasarkan paparan tentang pemaknaan Tunjuitam dapat disimpulkan bahwa nilai, Tunjuitam memiliki empat nilai spiritual, yaitu : mendamaikan, menyembuhkan, memperbaiki dan mengutuhkan. Secara keseluruhan nilai-nilai spiritual dalam Tunjuitam ini berperspektif pastoral untuk individu/keluarga yang berduka, kaum keluarga bahkan jemaat GPM GATIK. Melalui Tunjuitam, individu/keluarga yang berduka diposisikan pada tiitk sentral pendampingan yang harus dilakukan seumur hidup guna mengutuhkan hidup mereka secara fisik, mental, spiritualitas dan sosial. Keempat fungsi ini, memberikan suatu nilai yang baru dari pastoral Barat yang selama ini diterapkan. William A. Clebsch dan Charles R.Jaekle dalam buku “Pastoral Care in Historical Perspektive” mengatakan fungsi pendampingan dan konseling pastoral secara tradisonal ada empat22 yaitu, menyembuhkan (healing), mendukung (sustaining), membimbing (guiding), rekonsiliasi (reconciling). Howard Clinebell dalam buku “Basic Types of Pastoral Care & Counseling” mengatakan fungsi pendampingan dan konseling pastoral secara tradisonal ada empat,23 menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara (nurturing),24 dan Arrt Van Beek25 menambahkan fungsi yang keenam, yaitu mengutuhkan.26Tunjuitam, memberikan tiga nilai pastoral yang berbeda dari empat nilai yang ada, yakni : mendamaikan, memperbaiki dan menyatuhkan.

C.Kumpul Keluarga Dalam Tradisi Tunjuitam Sebagai Solidaritas Sosial

22William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive

(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36.

23

Howard Jhon Clinebell, Basic Types Of Pastoral Care and Caunseling-Resources For The Ministry of Healing & Growth (Nashville: Abidong Press, 1966),42-43.

24

Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 89-172.

(30)

115

Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial, dimana mereka tidak bisa hidup sendiri dalam kesehariannya. Manusia saling ketergantungan satu dengan lainnya dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kematian yang menimbulkan reaksi kedukaan. Setiap peristiwa kematian yang terjadi dalam suatu lingkungan baik itu jemaat atau masyarakat, di desa atau di kota, turut menyita perhatian semua warganya tanpa kecuali. Relasi sosial ini bersifat intim, pribadi dan relatif dalam lingkungan yang terbatas, akhirnya menimbulkan kolektifitas dan solidaritas yang tumbuh semakin kuat.

Dalam pelaksanaan Tunjuitam seluruh kaum keluarga/kerabat/ tetangga almarhum diberitahukan. Pemberitahuan ini, hanya bersifat lisan. Ini adalah kebiasaan orang Maluku yang mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar/terhormat dari pada cara yang lain. Ada penghargaan kepada kaum keluarga/ kerabata/tetangga serta memiliki sentuhan emosional yang mengharapkan keterlibatan seluruh keluarga guna mempererat hubungan kekeluargaan. Nilai sosial budaya yang terungkap dari kebiasaan mengundang lisan ini dapat dieksplorasi, walaupun zaman sudah modern tetapi tradisi mengundang secara lisan masih dianut dan dilaksanakan hingga saat ini. Memang untuk hal kematian, sebenarnya tidak perlu diundang tetapi dengan mengundang maka hubungan kekerabatan dan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik.

(31)

116

mendamaikan. Dengan demikian, saling mengundang di Tunjuitam dirasakan sebagai ikatan kekeluargaan yang memiliki nilai solidaritas/ caring community, walaupun tidak terkait hubungan darah.

Sekalipun Tunjuitam hanya dilakukan dalam peristiwa kedukaan, tetapi Tunjuitam dipahami sebagai upaya mempererat solidaritas persaudaraan/ kekeluargaan/kekerabatan. Sebab, Tunjuitam memberi ruang untuk sebuah perjumpaan, entah perjumpaan antara pelayan dengan umatnya, perjumpaan antara keluarga dekat, perjumpaan satu generasi dengan generasi yang lain, perjumpaan antar tetangga/kerabat bahkan perjumpaan antar satu komunitas jemaat di gereja. Kehadiran keluarga/tetangga/kaum kerabat bahkan komunitas jemaat pada saat kematian seseorang merupakan media interaksi antara anggota keluarga satu dengan lainnya bahkan antar sanak saudara, tetangga, kerabat dan jemaat yang mungkin jarang bertemu karena kesibukan tetapi dengan peristiwa kematian ini, mereka saling bertemu satu dengan lainnya, sehingga Tunjuitam di GATIK bukan hanya dipahami dalam konsep kumpul keluarga secara genealogis, tetapi dalam jemaat ini, ide persaudaraan diperluas meliputi orang lain yang dapat hidup bersama seakan-akan saudara sekandung.

Di GATIK Tunjuitam terkenal sebagai budaya sebagai salah satu cara jemaat GATIK menghayati kehidupan kolektifitas atau kehidupan bersama serta mengutuhkan kekerabatan dengan keluarga dan jemaat. Kesadaran kolektif bersama ini yang dikatakan Durkheim sebagai solidaritas mekanik atas dasar totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata terdapat pada jemaat tersebut. Karena, kesadaran untuk bersyukur maka jemaat ini diikat oleh kesadaran kolektif dan kesadaran ini yang mempersatukan jemaat.27

Hal lain yang dapat dilihat pada saat terjadi kematian, maka keluarga, kerabat, pelayan dan jemaat berkumpul bersama. Itu berarti bahwa keluarga dihargai sebagai suatu sistem sosial terkecil yang berdampak besar dalam menciptakan solidaritas sosial. Keluarga adalah pusat yang strategi untuk

(32)

117

mengerti dan memahami akan fungsi fisikal, emosional, hubungan sosial dan religius dari anggota keluarga secara mendalam. Artinya, melalui keluarga dapat diketahui adanya gangguan emosional memakai kekuatan jiwa yang juga berhubungan dengan kesehatan dann penyakit serta aspek perkembangan habungan manusiawi. Menurut William J.Goode,28 jika sebuah keluarga mengalami masalah, maka akan terjadi kekacauan dalam keluarga tersebut. Itu artinya, akan pecahnya suatu unit organisasi, yakni keluarga itu sendiri. Terputusnya atau retak struktur sosial, hubungan sosial, peranan dan fungsi sosial. Sama, jika satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka secara baik dan benar maka “energi” dalam keluarga tidak terlihat tetapi ketimpangan fungsi akan nampak.

Masalah-masalah yang timbul di dalam keluarga merupakan hasil dari adaptasi suatu sistem pada konteks dan waktu tertentu. Di mana, ada usaha anggota keluarga dari suatu sistem untuk melakukan adaptasi agar terpancar ke seluruh sistem yang ada, yaitu dari “biologis” sampai “intrapsychic” sampai kepada “interpersonal.” Keluarga sebagai dasar yang paling kecil dalam masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan dalam transformasi kehidupan manusia, karenanya fungsi keluarga dalam hidup bersama di jemaat/masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, keluarga tidak hanya berfungsi untuk anggota dalam keluarga itu saja tetapi bersamaan dengan itu keluarga juga menggemban tanggung jawab sosial bagi jemaat/masyarakat. Ini mengimplikasikan bahwa, praktek-praktek hidup dalam keluarga seperti Tunjuitam harus mampu membawa perubahan yang positif bagi jemaat sekitar.

Jika keluarga menjadi basis penanaman nilai-nilai etis, maka Gereja dan keluarga memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Pada satu sisi, kwalitas gereja ditentukan oleh keluarga yang mengharapkan memiliki keluarga yang ideal. Konsep indeal ini menggambarkan keluarga yang memiliki nilai-nilai etis spiritual yang tinggi. Keluarga yang menjunjung dan

28

(33)

118

mempertahankan nilai-nilai kehidupan seperti keadilan, perdamaian, cinta kasih dan solidaritas. Hal ini akan menjadi indikator dari kwalitas gereja. Namun, pada sisi yang lain, gereja tidak boleh melepaskan kontrol terhadap keluarga. Gereja tidak boleh membiarkan keluarga bertumbuh secara sendiri, melainkan memiliki tanggung jawab bersama dengan keluarga dalam pertumbuhan mereka. Ini disebabkan oleh perkembangan manusia searah perkembangan zaman yang terjadi begitu cepat, sehingga keterlibatan gereja paling tidak dapat mengontrol aktifitas dari keluarga.

Bagi orang yang tidak memahami tradisi Tunjuitam dengan baik, akan bertanya kenapa harus ada kumpul keluarga di saat peristiwa kematian dan kedukaan? Apakah tidak ada moment yang lain untuk kumpul keluarga, seperti acara-acara syukur/slametan, persiapan peminangan yang lazimnya melibatkan keluarga atau kegiatan yang bernuansa pesta keluarga? Atas pertanyaan ini, maka kita akan kembali kepada eksistensi manusia, bahwa manusia siapapun dia, baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan, dari strata dan pendidikan manapun akan menggalami kematian. Kematian universal. Kesadaran ini membimbing manusia untuk hidup bermakna bagi orang lain. Dalam kehidupan yang bermakna seseorang akan merasa kalau dirinya dibutuhkan dan membutuhkan orang lain sehingga keberadaannya berharga. Di titik inilah, manusia diuji. Kesetiaan, keakraban, kepedulian, keprihatinan, rasa tolong menolong, menghormati, menopang dan menguatkan akan dinilai saat krisis situasional (akibat kematian) yang sedang dialami oleh keluarga terdekat almarhum (orang tua/suami/istri/anak/ saudara).

(34)

119

kehilangan suami berarti ia kehilangan pegangan hidup, tulang punggung keluarga, mitra seks, sebaliknya suami kehilangan istri, ia merasakan tidak ada penopang, teman curhat, mitra seks, mitra bekerja dan seseorang kehilangan saudara berarti ia kehilangan teman berbagai, curhat dan pengalaman bersama. Kedukaan terbesar adalah akibat kehilangan orang yang dekat/ berharga. Dalam proses kedukaan ini, kualitas hidup apa yang perlu kita tunjukan untuk menyatakan kepeduliaan bersama kita bagi orang yang berduka? Orang yang mengalami kedukaan, ingin untuk dikunjungi, ditemani, dihibur dan dikuatkan, sehingga kualitas kehadiran keluarga/ tetangaan/ jemaat menunjukan bahwa banyak yang memberi dukungan dan ingin berbagai beban dengan orang yang berduka, walau orang yang berduka sendiri tidak memaksakan hal itu. Dukungan, pemahaman dan kehangatan dari lingkungan sekitar orang yang berduka merupakan kunci dari sebuah adaptasi baru dan cara mengatasi kesedihan yang dialami oleh individu/keluarga yang berduka. Memang, dukungan sosial itu tidak semata-mata dilihat dari sisi jumlah atau frekuensinya (kuantitas), melainkan mutu (kualitas). Jumlah dukungan sosial yang banyak, namun tidak mendalam mungkin kurang memiliki arti bagi yang mengalami krisis kehilangan dan kedukaan, sebaliknya dukungan sosial dengan jumlah yang sedikit, tetapi jika dilakukan dengan tulus, maka akan sangat berarti bagi orang yang sedang mengalami kedukaan.

(35)

120

suatu pemulihan atas komunikasi, kepeduliaan, saling menopang, membimbing dan menasihati yang dibangun oleh semua keluarga.

Kemajuan di zaman modern mendorong setiap orang untuk hidup sukses dan berhasil. Keinginan ini menjadikan setiap orang berlomba-lomba untuk meraih sukses sebagai ukuran keberhasilan. Salah satu akibatnya adalah orang malas untuk melakukan “kumpul keluarga” dengan alasan banyak kerja, tidak memiliki waktu yang cukup akibat kesibukan dan kelelahan beraktifitas. Sadar atau tidak sadar, keutuhan keluarga dalam cakupan keluarga besar (ayah/ibu) sedang mengalami krisis. Demi keinginan dan kepuasan hidup, manusia memfokuskan tujuan hidupnya pada kesuksesan yang harus dicapai sehingga nilai kebersamaan dan kemanusiaan dikorban. Bentuk kehadiran manusia, mulai diukur dengan materi, makanan sehingga membuat keluarga yang berduka enggan untuk melibatkan keluarga secara utuh (ayah/ibu) dan sebaliknya, bahkan menjadi persoalan. Waktu pelaksanaan diperdebatkan dan akhirnya kerenggangan kekeluargaan tercipta dan orang yang mengalami kedukaan, akhirnya menjalani hidupnya dalam kesendirian. Hal ini akan menyebabkan individu/orang yang berduka hilang semangat hidup, sedih, gelisah dan lain sebagainya.

Paparan penjelasan di atas menimbulkan pertanyaannya, untuk siapa

Tunjuitam ini dilakukan? Pemahaman orang GATIK bahwa Tunjuitam

dilakukan untuk menjalankan tradisi leluhur, kumpul keluarga dan bersyukur secara bersama. Ini formalitas yang umumnya dilakukan. Tetapi jika di diteliti dari ungkapan-ungkapan orang di GATIK, maka makna sebenarnya dan lebih besar Tunjuitam tidak terletak pada penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dan bersyukur untuk kehidupan yang telah dijalani sepanjang di dunia, namun pada keluarga/jemaat yang masih hidup.

(36)

121

mendukung, menopang dan menguatkan untuk menghidupkan dan menjaga keutuhan bersama. Sebab, dengan relasi yang baik, perhatian dan dukungan yang diberikan kepada individu/orang yang berduka akan membantu menerima keadaan tersulit dalam hidupnya.

Oleh karena itu, pelaksanaan Tunjuitam bagi orang di GATIK yang merupakan pewarisan nilai-nilai luhur dari orang totua/leluhur adalah baik, maka perlu untuk diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain dengan cara menunjukkan nilai dan makna sesungguhnya dari Tunjuitam. Tunjuitam

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penjajaran adalah sistem penataan rekam medis dalam sekuens yang khusus agar rujukan dan pengambilan kembali menjadi mudah dan cepat.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Berdasarkan hasil penelitian shear bond strength dengan menggunakan bahan adhesif chemically cured dan light cured yang terkontaminasi saliva, maka dapat diambil

Sungai Salor merupakan sungai buatan (irigrasi primer) yang digunakan untuk mengaliri sawah di lahan 1.000 ha. Sungai Salor tergolong dalam saluran sekunder yang sumber

sama untuk semua tugas. Gambar 2.2 adalah gambar aliran pure flowshop. Sedangkan general flowshop yaitu flowshop yang memiliki pola aliran berbeda. Ini

e-speaking terdiri dari perintah suara membuka program, menutup program, dan perintah suara mendikte kata dalam microsoft word, yang dapat dilakukan pada menu command, menu

Dalam foto olahraga terkandung banyak materi visual, mulai dari atlit, perangkat pertandingan, penonton, hingga unsur-unsur lain yang kerap muncul dari gelaran

HASIL YANG DICAPAI: hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel event talkshow memiliki pengaruh yang cukup kuat yang ditunjukkan dengan nilai R Square sebesar 58,5%

Maksim kearifan berisi dua submaksim, yaitu a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Berdasarkan