• Tidak ada hasil yang ditemukan

edudukan hukum ahli waris yang mewaris c32ffb87

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "edudukan hukum ahli waris yang mewaris c32ffb87"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS YANG MEWARIS

DENGAN CARA MENGGANTI ATAU AHLI WARIS “BIJ PLAATSVERVULLING” MENURUT BURGERLIJK WETBOEK

Oktavia Milayani

Fakultas Hukum STIP Bunga Bangsa Palangkaraya Jalan Pangeran Samudra III No. 7 Palangkaraya

Email: oktavia.milayani09@gmail.com

Abstract

Basically inheritance is a transfer of all rights and duties of a deceased person to his heirs. The definition of inheritance law is a law that regulates the transfer of wealth left by someone who died and the consequences for his heirs. Inheritance is divided into two, namely Inheritance under the law, also called the inheritance of ab-intestato and testamentair inheritance, namely inheritance based on a testament or testament. In terms of inheritance under the law it is differentiated into Direct Lines "uit eigen hoofde" and the Deed by replacing or heir "plaatsvervulling". Inheritance by way of replacing or heir "bij plaatsvervulling" is possible the replacement of a person's position as inheritance by a particular person.The substitution of this position shall only be made by those who have a legal relationship as the legitimate offspring of the superseded inheritance that should have been inherited. Substitution of inheritance in general can only occur in legacy by law (ab-intestato).Substitution of inheritance is one way to obtain a position as an inheritance according to Burgerlijk Wetboek.A person is said to be inheritance by way of substitution or heir "plaatsvervulling" is a person who receives the inheritance from the testator not because of his own position, but replaces the position of others who should receive the inheritance. Another person who should receive an inheritance has died earlier than the heir, so in the inheritance of the one who replaces it is called / appearing to occupy a vacant place because of the death of the replaced person.

Keywords:

Abstrak

Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal kepada para ahli warisnya. Adapun pengertian dari hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pewarisan dibedakan menjadi dua, yaitu Pewarisan berdasarkan undang-undang, juga disebut pewarisan ab-intestato dan Pewarisan testamentair, yaitu pewarisan berdasarkan suatu testamen atau surat wasiat. Dalam hal mewaris menurut undang-undang dibedakan menjadi Mewaris Langsung “uit eigen hoofde” dan Mewaris

dengan cara mengganti atau ahli waris “bij plaatsvervulling”.Mewaris dengan cara mengganti

(2)

seseorang sebagai waris oleh orang tertentu. Penggantian kedudukan ini hanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai hubungan hukum sebagai keturunan sah dari waris yang digantikan tersebut yang seharusnya mendapat warisan itu. Penggantian waris secara umum hanya dapat terjadi dalam pewarisan berdasarkan undang-undang (ab-intestato). Penggantian waris merupakan salah satu cara untuk memperoleh kedudukan sebagai waris menurut Burgerlijk Wetboek. Seseorang dikatakan mewaris dengan cara mengganti atau ahli waris “bij plaatsvervulling” adalah seseorang yang menerima harta warisan dari pewaris bukan karena

kedudukannya sendiri, akan tetapi menggantikan kedudukan orang lain yang seharusnya menerima warisan. Orang lain yang seharusnya menerima warisan telah meninggal lebih dahulu daripada pewaris, sehingga dalam pewarisan orang yang menggantikan tersebut terpanggil/tampil untuk menduduki tempat yang lowong karena kematian orang yang digantikan tersebut.

Kata Kunci: Waris, Ahli Waris Pengganti “bij plaatsvervulling”.

PENDAHULUAN

Manusia sebagai mahluk sosial (homo

socius) tidak dapat hidup dan memenuhi

kebutuhan hidupnya tanpa bantuan dan

peran orang lain, baik untuk memenuhi

kebutuhan materi maupun non materi

(psikis/biologis), oleh karenanya untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut

diperlukan aturan hukum, sehingga tidak

terjadi benturan kepentingan dan tercipta

keteraturan dan ketertiban dalam

masyarakat1.

Proses perjalanan kehidupan

manusia adalah lahir, hidup dan mati.

Semua tahap itu membawa pengaruh dan

akibat hukum kepada lingkungannya,

1

Akhmad Munawar, Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia, Jurnal Hukum Al Adl Volume VII, Nomor 13, Januari-Juni 2015, hlm. 27.

terutama ,dengan orang yang dekat

dengannya. Baik dekat dalam arti nasab

maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran

membawa akibat timbulnya hak dan

kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta

timbulnya hubungan hukum antara dia

dengan orang tua, kerabat dan masyarakat

lingkungannya. Demikian juga dengan

kematian seseorang membawa pengaruh

dan akibat hukum kepada diri, keluarga,

masyarakat dan lingkungan sekitarnya,

selain itu, kematian tersebut menimbulkan

kewajiban orang lain bagi dirinya yang

berhubungan dengan pengurusan

jenazahnya. Dengan kematian timbul pula

akibat hukum lain secara otomatis, yaitu

adanya hubungan ilmu hukum yang

menyangkut hak para keluarganya (ahli

(3)

peninggalannya. Adanya kematian

seseorang mengakibatkan timbulnya

cabang ilmu hukum yang menyangkut

bagaimana cara penyelesaian harta

peninggalan kepada keluarganya yang

dikenal dengan nama Hukum Waris.

Hukum Waris di Indonesia selalu

dipengaruhi perkembangan tiga konsep

dasar sistem pewarisan. Ketiga sistem

hukum tersebut adalah hukum adat, hukum

Islam dan hukum warisan Belanda

atau civil law yang banyak termuat dalam

Burgerlijk Wetboek. Ketiganya memiliki

beberapa perbedaan mengenai unsur-unsur

pewarisan, salah satunya yaitu mengenai

ahli waris.

Ahli waris merupakan orang yang

menerima harta warisan. Ketentuan

mengenai ahli waris dalam hukum waris

adat, hukum waris perdata, dan hukum

waris Islam memiliki konsep yang

berbeda.

Ahli waris menurut hukum waris

perdata tidak dibedakan menurut jenis

kelamin layaknya dalam beberapa hukum

waris adat. Seseorang menjadi ahli waris

menurut hukum waris perdata disebabkan

oleh perkawinan dan hubungan darah, baik

secara sah maupun tidak (Pasal 832 ayat 1

Burgerlijk Wetboek). Orang yang memiliki

hubungan darah terdekatlah yang berhak

untuk mewaris.

Pada dasarnya pewarisan adalah

suatu perpindahan segala hak dan

kewajiban seseorang yang meninggal

kepada para ahli warisnya. Adapun

pengertian dari hukum waris adalah hukum

yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan seseorang

yang meninggal serta akibatnya bagi para

ahli warisnya2.

Bilamana orang membicarakan

masalah warisan, maka orang akan sampai

kepada dua masalah pokok, yaitu seorang

yang meninggal dunia yang meninggalkan

harta kekayaannya sebagai warisan dan

meninggalkan orang–orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan

tersebut.

Apabila terjadi suatu peristiwa

meninggalnya seseorang, hal ini

merupakan peristiwa hukum yang

sekaligus menimbulkan akibat hukum,

yaitu tentang bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban

seseorang yang meninggal dunia itu.

2Effendi Perangin, Hukum Waris, Cet. IV,

(4)

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban

seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,

warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang

mengatur cara penerusan dan peralihan

harta kekayaan (berwujud atau tidak

berwujud) dari pewaris kepada para

warisnya. Dalam hal ini, bentuk dan sistem

hukum khususnya hukum kewarisan sangat

erat kaitannya dengan bentuk masyarakat.

Bilamana disepakati bahwa hukum

merupakan salah satu aspek kebudayaan

baik rohaniah atau spiritual maupun

kebudayaan jasmani, inilah barangkali

salah satu penyebab mengapa adanya

beraneka ragam sistem hukum terutama

hukum kewarisan.

Pada asasnya hanya hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dalam lapangan

hukum kekayaan/harta benda saja yang

dapat diwariskan. Ada beberapa

pengecualian, misalnya hak seorang bapak

untuk menyangkal sahnya anaknya dan

hak seorang anak untuk menuntut supaya

ia dinyatakan sebagai anak sah dari bapak

atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam

lapangan hukum kekeluargaan),

dinyatakan oleh undang-undang diwarisi

oleh ahli warisnya3.

3

Ibid.

Dalam hukum waris berlaku asas,

bahwa apabila seseorang meninggal maka

pada saat itu juga segala hak dan

kewajibannya beralih kepada para ahli

warisnya Pasal 833 Burgerlijk Wetboek,

artinya anggota keluarga orang yang

meninggal dunia tersebut yang

menggantikan kedudukan Pewaris dalam

bidang hukum kekayaan karena

meninggalnya Pewaris. Ahli waris

menempati kedudukan si meninggal dalam

hal yang menyangkut harta kekayaan

“Saisine” Pasal 833 (1) Burgerlijk

Wetboek4.

Dalam hal mewaris menurut

undang-undang dibedakan menjadi

Mewaris Langsung “uit eigen hoofde” dan

Mewaris dengan cara mengganti atau ahli

waris “bij plaatsvervulling”.

Mewaris dengan cara mengganti

atau ahli waris “bij plaatsvervulling”

dimungkinkan adanya penggantian

kedudukan seseorang sebagai waris oleh

orang tertentu. Penggantian kedudukan ini

hanya dilakukan oleh mereka yang

mempunyai hubungan hukum sebagai

keturunan sah dari waris yang digantikan

tersebut yang seharusnya mendapat

4

(5)

warisan itu.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa kedudukan hukum ahli waris

yang mewaris dengan cara

mengganti atau ahli waris “bij

plaatsvervulling” menurut Burgelijk Wetboek?

2. Bagaimana penentuan pengganti

waris “bij plaatsvervulling”

menurut Burgelijk Wetboek?

METODE PENELITIAN

Untuk menemukan jawaban pada

permasalahn di atas, penulis menggunakan

beberapa cara untuk mendapatkan hasil

penelitian yang tepat dan sesuai di atas

yaitu:

1. Pendekatan Undang-Undang

(statute approach), 5 yang mana

pendekatan perundang-undangan

menggunakan hierarki peraturan

perundang-undangan dalam

mencari pemecahan masalah dari

penelitian yang dilakukan. Dari

pengertian tersebut, secara singkat

5

Yati Nurhayati, Perdebatan Antara Metode Normatif dan Metode Empirik Dalam Penelitian Ilmu Hukum Ditinjau Dari Krakter, Fungsi, dan Tujuan Ilmu Hukum, Jurnal Hukum Al’Adl Volume V Nomor 10 Juli-Desember 2013, hlm. 87.

dapat dikatakan bahwa yang

dimaksd statute berupa legalisasi

dan regulasi. Pendekatan

perundang-undangan dilakukan

dengan menelaah semua

Undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani6. 2. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan tesis ini, bahan

hukum yang digunakan penulis

terdiri dari tiga bahan hukum,

yaitu:

a.Bahan Hukum Primer,

merupakan bahan hukum

yang berasal dari sumber

hukum nasional meliputi:

Burgerlijk Wetboek,

Peraturan

Perundang-undangan dan

ketentuan-ketentuan lainnya

yang mengikat.

b. Bahan Hukum Sekunder,

yaitu bahan-bahan hukum

yang memberikan

penjelasan mengenai hukum

6 Peter Mahmud Maezuki, Penelitian

(6)

primer, berupa penelitian

dan penulisan di bidang

hukum yang diperoleh dari

literatur hukum meliputi :

Buku-buku ilmiah, Karya

ilmiah, Kamus, Majalah,

Surat Kabar, Internet dan

Tesis.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum

dilakukan penulis diperoleh dari

Peraturan Perundang-undangan,

Buku Hukum, Artikel, Internet,

Kamus Hukum, Tesis dan referensi

lainnya, yang berkaitan dengan

penggantian tempat dalam

pewarisan yang terkait dengan

permasalahan di atas.

PEMBAHASAN

Pengertian Penggantian Waris

Mengenai pengertian penggantian

waris tidak diberikan secara tegas dalam

Pasal-pasal 841-848 Burgerlijk Wetboek.

Dalam Pasal 841 Burgerlijk Wetboek

disebutkan bahwa “Penggantian memberi

hak kepada seseorang yang mengganti,

untuk bertindak sebagai pengganti, dalam

derajat dan dalam segala hak orang yang

diganti”. Kalau diperhatikan Pasal 841

Burgerlijk Wetboek tersebut, terutama pada

kalimat “untuk bertindak sebagai pengganti”, seolah-olah mengandung arti

bahwa yang dimaksud di dalamnya adalah

sebagai suatu perwakilan.

Klassen-Eggens mengemukakan

pendapatnya, bahwa pandangan tentang

perwakilan untuk penggantian

tempat/penggantian waris, perlu

dihilangkan. Sebab orang yang

menggantikan kedudukan sebagai waris

disini tidak mewakili orang yang

meninggal lebih dahulu yang digantikan

tersebut, demikian juga orang yang

menggantikan kedudukan sebagai waris

tersebut bukanlah bertindak atas nama

orang yang digantikan, akan tetapi orang

yang menggantikan kedudukan sebagai

waris tersebut adalah memperoleh hak dan

kewajiban orang yang digantikannya,

karena kedudukan atau tempat orang yang

diganti tersebut menjadi lowong karena

kematiannya7.

Pendapat yang dikemukakan oleh

Klassen-Eggens tersebut di atas didukung

oleh beberapa sarjana di antaranya Pitlo

yang menyebutkan bahwa adanya

7

(7)

penggunaan istilah tentang perwakilan

yang ada dalam undang-undang yang

dipakai untuk melukiskan pengertian

penggantian waris, tidaklah begitu tepat8. Yang mana orang yang tempatnya

digantikan itu adalah orang yang

meninggal terlebih dahulu dari pewaris.

Jadi dalam hal ini tidak ada perwakilan.

Menurut pendapat saya, maksud

pembuat undang-undang dengan

menggunakan istilah memberi hak kepada

seseorang untuk bertindak sebagai

pengganti sebagaimana yang ada dalam

Pasal 841 Burgerlijk Wetboek, janganlah

diartikan sebagai suatu perwakilan, akan

tetapi dimaksudkan untuk menggambarkan

penggantian waris sebagai suatu pemberian

hak waris atau sebagai suatu cara

memperoleh kedudukan sebagai waris.

Jadi dalam penggantian waris sebagai

salah satu cara untuk memperoleh

kedudukan sebagai waris di sini diartikan

seseorang yang menerima harta warisan

dari pewaris bukan karena kedudukannya

sendiri, melainkan menggantikan

kedudukan/tempat orang lain yang

8 Pitlo, Hukum Waris: Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jilid I, Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 32.

seharusnya orang tersebut menerima

warisannya. Orang yang seharusnya

mewaris tersebut telah meninggal terlebih

dahulu dari pada pewaris, sehingga dalam

pewarisan orang yang menggantikan

tersebut terpanggil/tampil untuk

menduduki tempat yang lowong karena

kematian orang yang digantikan tersebut.

Orang yang dikatakan mewaris secara

penggantian tempat ialah orang yang

muncul dalam harta pewarisan untuk orang

lain. Orang lain itu haruslah sudah

meninggal sebelum pewaris meninggal.

Hal ini sebagaimana disyaratkan dalam

Pasal 847 Burgerlijk Wetboek.

Penggantian waris sebagai salah

satu cara untuk memperoleh kedudukan

sebagai waris, secara umum hanya dapat

terjadi dalam pewarisan berdasarkan

undang-undang (ab-intestato), di mana

dalam pewarisan ab-instestato ini

seseorang dapat memperoleh warisan.

Dasar hak mewarisnya adalah hubungan

darah dengan pewaris dalam garis lurus ke

bawah/keluarga sedarah dalam garis lurus

ke bawah yaitu keturunan-keturunan sah.

Keluarga sedarah dalam garis

menyimpang/menyamping ke atas tidak

(8)

contohnya saudara dari kakek atau nenek si

pewaris. Hal ini dapat kita lihat dalam

Pasal 842 dan 843 Burgerlijk Wetboek.

Adapun bunyi pasal tersebut adalah

sebagai berikut:

Pasal 842 Burgerlijk Wetboek

“Pergantian dalam garis lurus ke

bawah yang sah, berlangsung terus

dengan tiada akhirnya. Dalam

segala hal, pergantian seperti di

atas selama diperbolehkan, baik

dalam hal bilamana beberapa anak

si yang meninggal mewaris

bersama-sama dengan keturunan

seorang anak yang telah meninggal

lebih dahulu, maupun sekalian

keturunan mereka mewaris

bersama-sama, satu sama lain

dalam pertalian keluarga yang

berbeda-beda derajatnya”. Pasal 843 Burgerlijk Wetboek

“Tiadalah pergantian terhadap

keluarga sedarah dalam garis

menyimpang ke atas. Keluarga

yang terdekat dalam kedua garis,

menyampingkan segala keluarga

dalam perderajatan yang lebih

jauh”.

Dalam garis menyimpang

penggantian waris diperbolehkan seperti

disebutkan dalam Pasal 844 dan 845

Burgerlijk Wetboek, contohnya anak dan

keturunan saudara laki dan perempuan

yang telah meninggal terlebih dahulu, baik

mereka yang mewaris bersama-sama

dengan paman atau bibi mereka; dan para

keponakan, di mana di samping keponakan

yang bertalian keluarga sedarah terdekat

dengan si meninggal.

Seperti sebelumnya telah saya

jelaskan, bahwa tentang penggantian waris

sebagai salah satu cara untuk memperoleh

kedudukan sebagai waris secara umum

hanya dapat terjadi dalam pewarisan

berdasarkan undang-undang, namun begitu

masih ada satu pengecualian mengenai

penggantian waris yang merupakan

satu-satunya peristiwa kemungkinan

penggantian waris dalam pewarisan

berdasarkan testamen yaitu sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 975 Burgerlijk

Wetboek.

Macam-Macam Proses Mewaris Dengan Cara Mengganti atau Penggantian

Tempat “Bij Plaatsvervulling”

Dalam undang-undang dikenal

(9)

penggantian waris yaitu sebagaimana

diatur dalam Pasal-pasal 842, 844 dan 845

Burgerlijk Wetboek. Kedua peristiwa

yang pertama (Pasal 842 dan 844

Burgerlijk Wetboek) terdapat dalam Code

Civil, sedangkan peristiwa yang ketiga

(Pasal 845 Burgerlijk Wetboek) merupakan

penambahan.

Dalam setiap peristiwa penggantian

waris terjadinya/berlangsungnya tanpa

akhir. Bukan saja anak dari orang yang

meninggal lebih dahulu yang dapat

mewaris dengan peggantian, akan tetapi

juga keturunan-keturunannya.

Macam-macam penggantian waris

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pasal 842 Burgerlijk Wetboek

“Penggantian dalam garis lurus ke

bawah yang sah, berlangsung terus

dengan tiada akhirnya. Dalam

segala hal, pergantian seperti di

atas selamanya diperbolehkan, baik

dalam hal bilamana beberapa anak

si yang meninggal mewaris

bersama-sama dengan keturunan

seorang anak yang telah meninggal

lebih dulu, maupun sekalian

keturunan mereka mewaris

bersama-sama, satu sama lain

dalam pertalian keluarga yang

berbeda-beda derajatnya”.

Artinya tiap anak yang meninggal

lebih dahulu digantikan oleh semua

anak-anaknya, begitu juga jika dari

pengganti-penggantinya ini adalah

salah satu yang meninggal lebih

dahulu, ia juga digantikan oleh

anak-anaknya begitu seterusnya

dengan ketentuan, bahwa segenap

keturunan dari satu orang yang

meninggal lebih dahulu harus

dianggap sebagai satu cabang dan

bersama-sama memperoleh bagian

yang mereka gantikan. Dengan

demikian, jika semua anak pewaris

telah meninggal lebih dahulu

sehingga hanya ada cucu-cucunya,

maka mereka mewaris atas dasar

penggantian. Mereka tidak

mewaris secara uit eigen hoofed

(atas diri sendiri).

Mereka ini dapat mewaris secara

uit eigen hoofed apabila semua

anak pewaris ternyata tidak pantas

atau menolak atau dicabut hak

mewarisnya. Dalam hal ini tidak

mungkin terjadi penggantian

(10)

tersebut masih hidup, sedangkan

kita ketahui penggantian waris

hanya dapat terjadi kalau ada yang

meninggal dunia.

Contoh9 :

P adalah Pewaris yang meninggal

dunia meninggalkan 3 orang anak,

yaitu A, B, dan C. A meninggal

dunia demikian pula C. C

mempunyai 2 orang anak, yaitu E

dan F. E meninggal dan

mempunyai 3 orang anak, yaitu K,

L, dan M. M meninggal,

mempunyai 2 orang anak, yaitu R

dan S.

Dalam kasus tersebut yang berhak

mewaris adalah B dan C. A

karena tidak mempunyai keturunan,

maka tidak digantikan oleh

siapapun.

Bagian C karena meninggal,

digantikan oleh K, L, dan M.

9 Surini Ahlan Sjarif, Dan Nurul Elmiyah,

op.cit., hlm. 29.

Demikian juga bagian M yang

meninggal lebih dahulu, maka

kedudukannya digantikan oleh R

dan S.

2)

P meninggal dunia, meninggalkan 2 (dua)

orang cucu, D dan E, 3 (tiga) orang cicit F,

G, H.

C, D, dan E anak-anak dari A, C anak luar

kawin.

A telah meninggal terlebih dahulu dari P.

Yang berhak mewaris adalah D, E, F, G

dan H cucu dari P.

Pembagiannya adalah :

D, E, dan C masing-masing mendapat 1/3

hak waris.

Bagian C digantikan oleh anak-anaknya,

yaitu F, G, dan H, masing-masing

mendapat 1/9.

Anak luar kawin yang diakui sah tidak

dapat menggantikan bapak dan ibu dari

Pewaris (nenek) sebagai ahli waris, karena

(11)

hubungan hukum dengan pewaris (nenek).

3)

A meninggal dunia, dan mempunyai dua

orang anak, B dan C. C telah meninggal

terlebih dahulu dari A. C mempunyai

seorang anak D dan seorang anak luar

kawin yang diakui sah yaitu X.

Dalam hal ini harta waris A dibagi antara B

dan D. B mewaris secara pribadi, atas

dasar kedudukannya sendiri, D

menggantikan C. Sedangkan X tidak

berhak mewarisi dari A, karena antara A

dan X tidak ada hubungan hukum.

Anak sah dari anak luar kawin yang diakui

sah dapat menggantikan kedudukan orang

tuanya sebagai ahli waris10. 4)

10Surini Ahlan Sjarif, Dan Nurul Elmiyah,

op.cit., hlm. 31.

A meninggal dunia dan meninggalkan dua

orang cucu Y dan Z anak dari X, anak luar

kawin yang diakui sah oleh A, dan X telah

meninggal terlebih dahulu dari A. Dalam

hal ini Y dan Z menggantikannya sebagai

ahli waris.

1. Pasal 844 Burgerlijk Wetboek

“Dalam garis menyimpang pergantian

diperbolehkan atas keuntungan

sekalian anak dan keturunan saudara

laki dan perempuan yang telah

meninggal terlebih dahulu, baik

mereka mewaris bersama-sama

dengan paman atau bibi mereka,

maupun warisan itu setelah

meninggalnya semua saudara si

meninggal lebih dahulu harus dibagi

antara sekalian keturunan mereka,

yang mana satu sama lain bertalian

keluarga dalam perderajatan yang tak

sama”.

Kalau kita perhatikan pasal tersebut,

maka dalam macam penggantian

(12)

mengulangi ayat kedua dari Pasal 842

Burgerlijk Wetboek. Di sini

penggantian terjadi tidak saja apabila

saudara yang meninggal lebih dahulu

itu seayah-seibu dengan pewaris,

tetapi juga apabila mereka tidak

seayah atau seibu dengan pewaris.

Juga bagi keturunan dari saudara

berlaku, bahwa mereka hanya akan

bertindak untuk diri/mewaris secara

uit eigen hoofed apabila semua

saudara-saudara itu, termasuk

orang-orang yang tidak pantas atau

telah menolak.

Contoh11 : 1)

A1 menggantikan A, B1, B2

menggantikan B.

A1, B1, dan B2 mewaris

bersama-sama dengan C meskipun

derajatnya tidak sama.

2)

11Surini Ahlan Sjarif, Dan Nurul Elmiyah,

op.cit., hlm. 32.

A meninggal dunia dan meninggalkan

4 (empat) orang keponakan D, E, F,

dan G. D dan E adalah anak B. B

adalah saudara kandung A yang telah

meninggal, F dan G adalah anak

kandung C.

C adalah saudara kandung A yang

juga telah meninggal terlebih dahulu

dari A. Ahli waris A adalah D, E

(menggantikan kedudukan B) dan F,

G (menggantikan kedudukan C).

Bagian D dan E masing-masing ¼,

karena menggantikan bagian B.

Bagian C digantikan oleh F dan G

masing-masing ¼ bagian.

2. Pasal 845 Burgerlijk Wetboek

“Pergantian dalam garis menyimpang

diperbolehkan juga bagi pewarisan

bagi para keponakan, ialah dalam hal

bilamana di samping keponakan yang

bertalian keluarga sedarah terdekat

dengan si meninggal, masih ada

anak-anak dan keturunan saudara

laki-laki atau perempuan darinya

saudara-saudara mana telah meninggal

(13)

Dengan demikian pada peristiwa

penggantian waris yang ketiga ini,

anak-anak atau keturunan-keturunan

dari keponakan yang bertalian

keluarga sedarah terdekat ini

menggantikan tempat orang tuanya

dan mewaris bersama-sama dengan

keponakan pewaris.

Contoh12 : 1)

Yang mewaris adalah B, derajat ke–4 dan C yang digantikan oleh D, F.

2) Bandingkan dengan gambar di

bawah ini:

Ahli waris adalah C, derajat ke – 4 merupakan ahli waris yang

mempunyai hubungan darah terdekat

dengan pewaris dalam garis

menyimpang. D tidak dapat

menggantikan B.

12Surini Ahlan Sjarif, Dan Nurul Elmiyah,

op.cit., hlm. 34.

Intinya, yang berhak menggantikan

adalah keturunan saudara yang

mempunyai hubungan darah terdekat

dengan pewaris dalam garis

menyimpang.

1) Bandingkan juga dengan gambar

di bawah ini:

Yang berhak mewaris adalah B dan E

(menggantikan C). F tidak mewaris,

karena B adalah derajat ke–4, yang mengenyampingkan derajat ke – 5 yaitu E. Namun bila dilihat, E

meskipun ia derajat ke–5 ternyata berhak mewaris karena ia tertarik, jadi

ikut mewaris karena B dan C

bersaudara.

2) Lihat pula gambar di bawah ini:

Yang mewaris hanya D.

H sebagai derajat ke–6 dikesampingkan oleh F sebagai

(14)

Pasal 846 Burgerlijk Wetboek:

“Dalam segala hal, bilamana

pergantian diperbolehkan, pembagian

berlangsung pancang demi pancang

apabila pancang yang sama

mempunyai pula cabang-cabangnya,

maka pembagian lebih lanjut, dalam

tiap-tiap cabang berlangsung pancang

demi pancang pula, sedangkan antara

orang-orang dalam cabang yang sama

pembagian dilakukan kepala demi

kepala”

A meninggal. Pembagian warisan:

1. Dibagi dulu dalam pancang B, C dan

D.

2. Pancang B bercabang L dan M.

Bagian B dibagi antara L dan M.

Bagian L bercabang lagi yaitu karena

ada anak-anaknya P, O dan N.

Dalam cabang yang sama (cabang P, O dan

N), pembagian dilakukan kepala demi

kepala. Bagian mereka dibagi rata antara

anggota cabang itu. Pembagian dengan

cara yang sama dilakukan pula dalam

cabang-cabang pancang D13.

Pasal 847 Burgerlijk Wetboek menyatakan:

“Tiada seorang pun diperbolehkan

bertindak untuk orang yang masih hidup

selaku penggantinya”.

A meninggal, B dan C anak A yang masih

hidup. D dan E anak C, cucu A. D dan E

tidak dapat bertindak menggantikan C.

Jadi kalau C onwaardig (dinyatakan tidak

layak menjadi ahli waris A), maka D dan E

tidak dapat warisan. Demikian juga halnya

jika C menolak warisan A atau C

dikesampingkan (orterfd) oleh A, maka D

dan E juga tidak dapat menggantikan C14. Pasal 848 Burgerlijk Wetboek menyatakan:

“Seorang anak yang mengganti orang

tuanya, memperoleh haknya itu tidaklah

dari orang tuanya tadi, bahkan bolehlah

terjadi seorang pengganti orang lain, yang

mana ia telah menolak menerima warisan”.

13Effendi Perangin, op.cit., hlm.20. 14

(15)

A meninggal, C meninggal lebih dulu dari

A. D mengganti C sebagai ahli waris, D

memperoleh haknya bukan dari C. Bahkan

kalau D onwaardig terhadap C, D masih

juga boleh mengganti C menerima warisan

A15.

Pasal 849 Burgerlijk Wetboek menyatakan:

“Undang-undang tidak memandang akan

sifat atau asal daripada barang-barang

dalam suatu peninggalan, untuk mengatur

pewarisan terhadapnya”.

Pasal 850 Burgerlijk Wetboek (Pembelahan

harta peninggalan/kloving):

“Dengan tak mengurangi

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 854,

855 dan Pasal 859 Burgerlijk Wetboek,

tiap-tiap warisan yang mana, baik

seluruhnya maupun untuk sebagian

terbuka atas kebahagiaan para

keluarga sedarah dalam garis lurus ke

atas, atau dalam garis menyimpang,

harus dibelah menjadi dua bagian

yang sama, bagian yang mana yang

satu adalah untuk sekalian sanak

15

Effendi Perangin, op.cit., hlm.22.

dalam garis si bapak dan yang lain

untuk sanak saudara dalam garis si

ibu”.

Pasal-pasal 854, 855 dan Pasal 859

Burgerlijk Wetboek, mengatur tentang

bagian ahli waris golonagn II (bapak/ibu,

saudara).

A meninggal, B dan C orang tua A,

(B bapak A dan C ibu A), meninggal lebih

dahulu dari A. D nenek A dari pihak ibu. E

kakek A dari pihak bapak. F paman A dari

pihak bapak. G saudara sepupu A dari

pihak bapak.

Dalam hal di atas, maka harta

warisan yang ditinggalkan A, terlebih dulu

dibagi dua yang sama besarnya. Satu

bagian untuk keluarga garis bapak, dan

satu bagian lain untuk keluarga di garis

ibu.

Pembagiannya ialah: D

memperoleh setengah dari warisan dan E

juga setengah. Pembagiannya menjadi dua

itu disebut “kloving”. Kloving terjadi

apabila ahli garis golongan I (isteri/suami

anak-anak dan keturunannya) dan

golongan II (ayah/ibu, saudara-saudara dan

keturunannya) tidak ada. Hal golongan

ahli waris ini akan dijelaskan. Jika

(16)

maka F dan G tidak mendapat warisan,

sebab tertutup oleh E. Nanti akan

dijelaskan bahwa E adalah ahli waris

golongan III, sedangkan F dan G ahli waris

golongan IV. Ahli waris golongan yang

lebih dekat mengenyampingkan ahli waris

golongan yang lebih jauh.

Kalau E meninggal terlebih dahulu

dari A, maka bagian dari garis bapak (yang

X itu) jatuh pada F, sedangkan bagian di

pihak ibu tetap jatuh pada D16.

Pasal 850 ayat 2 Burgerlijk

Wetboek menyatakan: “Bagian-bagian warisan tersebut tak boleh beralih dari

garis yang satu ke garis yang lain, kecuali

apabila dalam salah satu garis tiada

seorang keluarga pun, baik keluarga

sedarah dalam garis lurus ke atas maupun

keponakan-keponakan”.

Dalam hal di bawah ini, tiada

keluarga lain di garis bapak, yang ada

hanya di garis ibu, maka bagian garis

bapak beralih ke garis ibu. Jadi, seluruh

harta warisan dari A jatuh pada D.

Sebaliknya juga berlaku, apabila di garis

ibu tiada keluarga seorang pun sedangkan

di garis bapak terdapat keluarga, misalnya

16

Effendi Perangin, op.cit., hlm.23.

keponakan17.

Dalam hal keadaan seperti di bawah ini,

seluruh harta warisan A jatuh kepada

keluarga bapak, dalam hal ini kepada F.

Pasal 851 Burgerlijk Wetboek:

“Setelah pembelahan pertama dalam

garis bapak dan ibu dilakukan, maka

dalam cabang-cabang tidak usah

dilakukan pembelahan lebih lanjut;

dengan tak mengurangi hal-hal,

bilamana harus berlangsung sesuatu

pergantian, setengah bagian dalam

tiap-tiap garis adalah untuk seorang

waris atau lebih yang terdekat

derajatnya”.

Jadi setelah dibelah satu kali dalam garis

17

(17)

bapak dan garis ibu selanjutnya tidak usah

dibelah lagi, tetapi pergantian dalam garis

ke bawah tetap diperbolehkan.

Perhatikan dalam garis ke atas tidak ada

pergantian, hanya ada pergantian dalam

garis ke bawah18.

A meninggal. B dan C meninggal lebih

dulu dari A. D, F dan G juga meninggal

lebih dulu dari A. Dalam garis ibu (C)

boleh terjadi penggantian, yaitu I dan J

menggantikan G. Dalam hal ini I dan J ikut

mewarisi karena G dan H bersaudara.

Lihat uraian sehubungan dengan Pasal 845

Burgerlijk Wetboek. Dalam garis bapak (B)

yang ada ialah keluarga garis ke samping.

K adalah paman A; sedangkan L dan M

adalah saudara sepupu A. Derajat K

terhadap A adalah lebih dekat dari derajat

L dan M terhadap A. Dalam hal ini, maka

bagian garis bapak yang setengah itu jatuh

pada K.

Dari uraian mengenai ketiga

macam penggantian waris sebagaimana

18

Effendi Perangin, op.cit., hlm.25.

telah dikemukakan tersebut di atas, yang

perlu diperhatikan bahwa apa yang

ditentukan oleh undang-undang dalam ayat

kedua dari Pasal 842 Burgerlijk Wetboek,

yang kemudian juga berlaku dalam macam

penggantian waris yang kedua, maka untuk

peristiwa penggantian waris yang ketiga

hal tersebut tidak berlaku. Apabila semua

keponakan yang sederajat meninggal lebih

dahulu, maka keturunan dari keponakan ini

mewaris untuk dirinya sendiri, di mana

yang bertalian keluarga sedarah yang

terdekat dapat menyampingkan yang

lain-lain, kecuali apabila “orang yang

terdekat dengan pewaris” (dalam bahasa Belanda dinamakan “degene”) mempunyai

lagi satu atau beberapa orang keponakan

pada saat pewaris meninggal, sedangkan

ayah atu ibu dari keponakan ini saudara

dari “degene”, meninggal sebelum

pewaris19.

Sebagaimana halnya dengan

penggantian waris yang diatur dalam Pasal

844 Burgerlijk Wetboek, maka dalam

penggantian waris yang diatur dalam Pasal

845 Burgerlijk Wetboek tidak ada bedanya

apakah saudara yang meninggal lebih

dahulu itu seayah-seibu, atau seayah atau

19

(18)

seibu saja, asal saja orang yang digantikan

tempatnya adalah sanak keluarga sedarah

dari pewaris.

Menurut Eggens, sesungguhnya

Burgerlijk Wetboek hendak mengatakan

bahwa orang yang menggantikan mendapat

hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

seharusnya diperoleh oleh orang yang

digantikan itu, andaikata orang itu tidak

mendahului meninggal. Oleh karenanya,

gambaran yang diberikan oleh Pasal 841

Burgerlijk Wetboek kurang tepat, yaitu

seakan-akan penggantian waris itu

memberikan hak sepenuhnya kepada ahli

waris “bij plaatsvervulling”, sehingga penggantian waris itu adalah karena

hukum dan mungkin saja merugikan orang

yang menggantikan itu. Misalnya,

seseorang mempunyai dua orang anak

yang telah mendahului meninggal, yaitu X

dan Y. X mempunyai dua orang anak, A

dan B; sedangkan Y mempunyai seorang

anak , C. Oleh karena itu, bagi A dan B

akan lebih menguntungkan jika mereka

mewaris bersama-sama dengan C atas diri

sendiri, karena dalam hal ini mereka

masing-masing akan mendapat 1/3 bagian.

Akan tetapi, dalam hal mereka harus

mewaris berdasarkan penggantian waris,

maka A dan B masing-masing akan

memperoleh 1/4 bagian dan C memperoleh

1/2 bagian. Dari contoh tersebut, terbukti

bahwa dari penggantian waris ini dapat

bergantung tidak saja mengenai siapa-siapa

yang mewaris, akan tetapi juga berapa

yang masing-masing mereka waris20.

Penentuan Penggantian Waris “Bij

Plaatsvervulling” Menurut Burgerlijk

Wetboek

Walau undang-undang kita dalam

Pasal 841 dan 848 Burgerlijk Wetboek

menyebutkan tentang perwakilan

(vertegenwoordigen) untuk memperoleh

pengertian yang tepat mengenai

penggantian tempat, perlu disingkirkan

pikiran tentang perwakilan. Keluarga

sedarah yang jauh tidak “mewakili” yang

meninggal lebih dahulu, juga tidak

bertindak atas tetapi hanya menggantikan

tempatnya, yang menjadi lowong karena

kematian. Dalam Pasal 841 Burgerlijk

Wetboek undang-undang menyebutkan

tentang menggantikan hak-hak dari yang

meninggal dunia. Jelaslah bahwa di sini

yang dimaksud bahwa yang menggantikan

20Soetojo Prawirohamidjojo, op. cit., hlm.

(19)

tempat itu memperoleh hak orang yang

digantikannya21.

Bukan karena yang belakangan ini

tidak pernah mempunyai sesuatu hak

terhadap harta peninggalan, malahan

mungkin bahwa mereka yang

menggantikan tempat orang lain itu bukan

orang yang memperoleh hak.

Bandingkan misalnya dengan Pasal 848

Burgerlijk Wetboek, bahwa seseorang

menggantikan orang lain, yang mana ia

telah menolak untuk menerima warisannya.

Undang-undang juga tidak lain dari pada

mengatakan bahwa dia yang menggantikan

tempat, akan memperoleh hak-hak (dan

juga kewajiban) dari orang yang

digantikannya, jika sekiranya ia tidak

meninggal sebelum pewaris meninggal

dunia. Oleh karena itu adalah benar bahwa

Pasal 841 Burgerlijk Wetboek

menggambarkan penggantian tempat

sebagai sesuatu pemberian hak (recht

gevende). Bekerjanya adalah demi

hukum dan dapat berakibat merugikan bagi

yang menggantikan. Misalnya, apabila

seseorang meninggalkan 3 (tiga) orang

cucu masing-masing A dan B dari anak

yang telah meninggal lebih dahulu, maka

21

Klassen dan Eggens, op. cit, hlm. 28

mereka tidak mewaris uit eigen hoofde,

tetapi dalam hal ini mereka sebagai

pengganti sehingga A dan B

masing-masing mendapat 1/4 dan C 1/222.

Hanya anak-anak sah dan

keturunannya yang dapat menggantikan

orang tua atau kakek/nenek terhadap

warisan keluarga sedarah dari orang tuanya.

Anak-anak luar kawin dalam hal ini tidak

dapat sebagai pengganti. Tetapi

sebaliknya keturunan sah (sebegitu jauh

pernah diakui) dari anak luar kawin dapat

menggantikan tempatnya, apabila Pasal

866 dan 871 ayat 2 Burgerlijk Wetboek

dapat dianggap sebagai penerapan dari

Pasal 841 Burgerlijk Wetboek23.

Syarat mewaris karena

penggantian24 :

a. Ditinjau dari orang yang

digantikan;

22

Ibid.

23Ibid, hlm. 30.

24Surini Ahlan Sjarif, Dan Nurul Elmiyah,

(20)

Orang yang digantikan harus

meninggal terlebih dahulu dari

pewaris.

Pasal 847 Burgerlijk Wetboek

mengatakan: “Tiada seorang pun

diperbolehkan bertindak untuk orang

yang masih hidup selaku

penggantinya”.

b. Ditinjau dari orang yang

menggantikan

1) Yang menggantikan harus

keturunan yang sah dari yang

digantikan, termasuk keturunan

sah dari anak luar kawin.

Hal ini menjelaskan bahwa

keturunan dari pewaris harus

keturunan yang sah, karena yang

dipentingkan adalah hubungan

hukum antara ahli waris dan

pewaris.

Sehubungan dengan adanya

persyaratan bahwa penggantian

hanya terjadi oleh keturunan yang

sah, maka perlu saya jelaskan

bahwa yang dimaksud dengan

keturunan yang sah ialah anak

yang lahir dari perkawinan yang

sah. Berdasarkan

Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan Pasal

42 menyatakan “Anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah”.

Dengan adanya kriteria

persyaratan keturunan sah saja

yang dapat mewaris dengan

penggantian, maka anak luar

kawin tidak dapat mewaris

dengan penggantian. Sebagai

contoh: A meninggal dengan

mempunyai 2 (dua) orang anak

yaitu B dan C. C sudah

meninggal lebih dahulu daripada

A dengan meninggalkan seorang

anak sah D dan seorang anak luar

kawin E, dalam peristiwa

penggantian waris ini maka

keturunan yang sah yaitu D cucu

dari A dapat mewaris dengan

penggantian, sedangkan E tidak

dapat mewaris dengan

penggantian.

Menurut sistem yang dianut

Burgerlijk Wetboek dengan

adanya keturunan di luar

perkawinan belum terjadi

(21)

anak dengan orang tuanya.

Barulah dengan “pengakuan” lahirlah suatu pertalian

kekeluargaan dengan

akibat-akibatnya (terutama hak

mewaris) antara anak dengan

orang tuanya yang mengakuinya.

Tetapi suatu hubungan

kekeluargaan antara anak dengan

keluarga si ayah dan ibu yang

mengakuinya belum dianggap

ada sebelum diadakan

“pengesahan” anak yang

merupakan suatu langkah lebih

lanjut lagi daripada pengakuan.

Dengan adanya pengesahan anak,

mengakibatkan bahwa terhadap

anak tersebut akan berlaku

ketentuan-ketentuan

undang-undang yang sama

seolah-olah anak tersebut

dilahirkan dalam perkawinan

Pasal 272, 274, dan 277

Burgerlijk Wetboek.

Dengan mengingat ketentuan

sebagaimana tersebut dalam

pasal-pasal di atas, maka status

anak luar kawin tersebut menjadi

anak sah, sebagai akibat

hukumnya anak tersebut

mempunyai hak dan kewajiban

yang sama dalam pewarisan

sebagaimana halnya anak sah.

Dengan demikian anak tersebut

juga mempunyai hak untuk

bertindak dengan penggantian

atau memperoleh kedudukan

sebagai waris dengan

penggantian, dalam pembagian

harta warisan pun anak tersebut

mendapatkan bagian yang sama

besarnya seperti halnya anak

yang dilahirkan dalam

perkawinan.

2) Yang menggantikan harus

memenuhi syarat untuk mewaris

pada umumnya, yakni:

(a) Hidup pada saat warisan

terbu

ka;

Orang yang berhak untuk

mewaris harus hidup pada

saat warisan terbuka

sebagaimana dijelaskan

sebelumnya menurut Pasal

836 Burgerlijk Wetboek,

dengan pengecualiannya

(22)

pasal 2 ayat (2) Burgerlijk

Wetboek.

(b) Bukan orang yang dinyatakan

tidak patut mewaris;

Orang yang tidak patut

mewaris untuk mewaris atau

onwaardig, berarti orang

tersebut masih hidup, maka

kedudukannya tidak dapat

digantikan.

Namun demikian apabila

dicermati bunyi Pasal 840

Burgerlijk Wetboek, maka

tidak tertutup kemungkinan

bagi anak-anak orang yang

tidak patut ini untuk

mendapatkan warisan

berdasarkan kedudukannya

sendiri, dan tidak

menggantikannya.

Contoh25 :

Anak-anak P yaitu A, B, C,

dan D semuanya tidak patut

untuk mewaris, berarti

25

Ibid, hlm. 27.

berdasarkan Pasal 838

Burgerlijk Wetboek tidak

berhak untuk mewaris.

Namun cucu-cucu pewaris

yaitu A1, A2, B1, C1 dan D1

dapat mewaris berdasarkan

kedudukannya sendiri, bukan

menggantikan kedudukan A,

B, C dan D (pasal Burgerlijk

Wetboek).

(c) Tidak menolak warisan.

Orang yang menolak warisan

atau verwerpen adalah orang

yang masih hidup dan tidak

diwakili dengan cara

penggantian sebagaimana

diatur dalam Pasal 1060

Burgerlijk Wetboek. Pada

prinsipnya orang tidak dapat

menggantikan kedudukan

seorang ahli waris yang masih

hidup. Jadi kedudukannya

tidak dapat digantikan oleh

para ahli warisnya (bij

plaatsvervulling).

(23)

Kedudukan Masing-Masing Waris

Bagian warisan yang diterima

masing-masing waris dalam penggantian

dengan mengingat dasar kedudukan

masing-masing waris, sebagai berikut:

1. Penggantian Waris Menurut Pasal 842

Burgerlijk Wetboek.

Contoh: A meninggal dunia. Ia

adalah seorang janda (duda),

mempunyai dua orang anak,

B dan C. C meninggal

lebih dahulu dari pada A, C

mempunyai dua orang anak

D dan E. E meninggal

sebelum A, dengan

meninggalkan dua orang

anak, F dan G.

Pembagian harta warisan

dari A terjadi sebagai berikut:

keturunan C bersama-sama,

beserta B memperoleh

warisan A. B menerima 1/2

bagian, keturunan C

menerima 1/2 bagian yang

lain. Dalam bagian yang 1/2

untuk keturunan C ini, D

menerima setengahnya yaitu:

1/2x1/2=1/4 bagian,

sedangkan sisanya dibagi

untuk dua orang keturunan E

yaitu F dan G, sehingga

masing-masing menerima

1/4x1/4=1/8 bagian.

Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada gambar berikut

ini:

2. Penggantian Waris Menurut Pasal 844

Burgerlijk Wetboek yaitu Penggantian

Waris Dalam Garis Menyimpang

Pada penggantian waris yang

terjadi di sini dapat digambarkan di mana

tiap saudara yang meninggal, baik

sekandung maupun saudara tiri, jika

meninggal lebih dahulu, digantikan oleh

anak-anak dan/atau keturunannya. Dalam

penggantian waris kedua ini, pembagian

dalam setiap pancang juga berlaku di sini.

Contoh: A meninggal dunia, meninggalkan

saudara sekandung B, anak-anak

saudara sekandung C yang

meninggal lebih dahulu yaitu E

(24)

saudara sekandung D yang

meninggal lebih dahulu yaitu H.

Pembagian harta warisan dari A

terjadi sebagai berikut: B

menerima 1/3 bagian, E dan F

menggantikan kedudukan orang

tuanya C yang besar bagiannya

1/3, sehingga masing-masing

menerima 1/2x1/3=1/6 bagian,

sedangkan keturunan dari garis

D yaitu H yang menggantikan

kedudukan orang tuanya G

menerima 1/3 bagian.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

gambar berikut ini.

Penggantian Waris Menurut Pasal 845

Burgerlijk Wetboek yaitu Penggantian

Waris Dalam Garis

Menyimpang/Menyamping Yang Lebih

Jauh Hubungannya

Pada penggantian waris yang

terjadi di sini dapat digambarkan di mana

di samping keponakan yang bertalian

keluarga sedarah terdekat dengan pewaris,

masih ada anak-anak dan atau

keturunan-keturunan saudara laki-laki atau

perempuan darinya, saudara-saudara

tersebut telah meninggal lebih dahulu.

Dalam peristiwa peggantian waris ini,

maka anak-anak dan atau keturunan

tersebut bersama-sama mewaris dengan

keponakan pewaris tadi.

Contoh: A meninggal dunia (pewaris)

meninggalkan keponakan yang

bertalian keluarga sedarah

terdekat C dan anak-anak dari

saudara keponakan C yaitu E dan

F. C merupakan anak dari

saudara pewaris yaitu B,

sedangkan E dan F merupakan

cucu dari saudara pewaris B yang

menggantikan kedudukan orang

tuanya yaitu D.

Pembagian harta warisan dari dan

terjadi sebagai berikut:

keponakan C menerima 1/2

bagian, sisanya untuk anak-anak

saudaranya yaitu E dan F

sehingga masing-masing

menerima 1/2x1/2=1/4 bagian.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

(25)

Hal-Hal Yang Menjadikan atau Menyebabkan Tertutupnya Kesempatan Penggantian Tempat Waris “bij plaatsvervulling”

Dalam suatu peristiwa pewarisan

ada beberapa hal yang menyebabkan

seseorang tidak dapat memperoleh

kedudukan sebagai waris secara

penggantian atau dengan kata lain

dikatakan kesempatan mewaris secara

penggantian atas diri seseorang menjadi

tertutup. Adapun hal-hal yang

menyebabkannya antara lain karena alasan

tidak pantas/tidak patut mewaris

(onwaardig); menolak warisan atau

dicabut hak warisnya oleh pewaris.

Apabila pada saat terbukanya

pewarisan terdapat beberapa orang waris

dan di antara beberapa orang waris tersebut

ada orang-orang yang dinyatakan tidak

berhak mewaris karena alasan tidak pantas

mewaris (onwaardig); menolak warisan

atau dicabut hak warisnya oleh pewaris,

maka penggantian waris menjadi tertutup

untuk anak-anak atau keturunan

orang-orang yang tergolong tidak berhak

mewaris tersebut, dengan demikian harta

warisan jatuh pada waris yang lain.

Jikalau semua anak pewaris telah

meninggal lebih dahulu sehingga hanya

ada cucu-cucunya, maka mereka mewaris

atas dasar penggantian, mereka tidak

mewaris secara uit eigen hoofde (atas diri

sendiri). Mereka dapat mewaris secara

uit eigen hoofde, apabila semua anak

pewaris masih hidup dan dinyatakan tidak

pantas mewaris; menolak warisan atau

dicabut hak warisnya oleh pewaris.

Dalam hal ini tidak mungkin terjadi

penggantian waris sebab anak-anak

pewaris tersebut masih hidup, sedangkan

kita ketahui penggantian waris hanya dapat

terjadi kalau ada yang meninggal lebih

dahulu.

Tentang ketidak pantasan/ketidak

patutan mewaris oleh undang-undang telah

ditentukan mengenai orang-orang yang

karena perbuatannya menyebabkan tidak

pantas/tidak patut mewaris. Menurut

Pasal 838 Burgerlijk Wetboek, orang-orang

yang digolongkan ke dalam hal tersebut

(26)

1. mereka yang telah dihukum karena

dipersalahkan telah membunuh

atau mencoba membunuh pewaris;

2. mereka yang dengan keputusan

hakim pernah dipersalahkan karena

secara fitnah telah mengajukan

pengaduan bahwa pewaris telah

melakukan kejahatan yang diancam

dengan pidana 5 (lima) tahun atau

lebih;

3. mereka yang dengan kekerasan

atau perbuatan telah mencegah

pewaris untuk membuat atau

mencabut surat wasiatnya;

4. mereka yang telah menggelapkan,

merusak atau memalsukan surat

wasiat pewaris.

Tentang ketidak pantasan/ketidak

patutan seseorang untuk mewaris masih

menimbulkan beberapa pertanyaan.

Apakah orang yang tidak pantas mewaris

karena sesuatu hal seperti tersebut di atas

secara otomatis menurut hukum menjadi

tidak pantas ataukah harus dengan suatu

putusan hakim dan kalau kita perhatikan

hal-hal yang ada pada angka 1 seperti

diatur dalam Pasal 838 Burgerlijk Wetboek,

maka dalam pasal tersebut disyaratkan

adanya putusan hakim. Tanpa adanya

putusan hakim tidaklah beralasan untuk

menyatakan seseorang tidak pantas/tidak

patut. Hal ini berbeda dengan ketentuan

yang ada dalam angka 3 dan 4, bahwa

tidak diperlukan putusan hakim tentang

hukuman karena perbuatan yang

disebutkan dalam angka 3 dan 4 untuk

menyatakan seseorang tidak pantas/tidak

patut mewaris.

Dengan terbukanya pewarisan,

seorang waris dapat memilih apakah ia

menerima atau menolak warisan atau ada

pula kemungkinan untuk menerima tetapi

dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan

membayar hutang-hutang si meninggal,

yang melebihi bagiannya dalam warisan

itu. Undang-undang tidak menetapkan

suatu waktu, seorang waris harus

menentukan sikapnya. Seorang waris

yang dituntut untuk menentukan sikap,

mempunyai hak untuk meminta suatu

waktu untuk berpikir, hingga selama 4

(empat) bulan. Mengenai penolakan

harus dilakukan dengan suatu pernyataan

kepada Panitera Pengadilan Negeri

setempat di mana warisan itu telah terbuka.

Dengan adanya penolakan ini, dianggap

hak waris dari seorang waris tersebut

(27)

menjadi waris (lihat Pasal 1057 dan 1058

Burgerlijk Wetboek) dan dengan

dicabutnya hak waris seorang waris

dengan testament, maka terhadap waris

tersebut sudah tidak mempunyai

kesempatan mewaris.

Untuk lebih memperjelas mengenai

gambaran tertutupnya kesempatan

penggantian waris karena adanya hal-hal

sebagaimana telah saya uraikan di atas,

maka disini akan saya sertakan dalam

bentuk contoh.

Contoh:

A meninggal dunia, meninggalkan

tiga orang anak yaitu B, C dan D. B

mempunyai dua orang anak yaitu B1 dan B2. C mempunyai seorang anak yaitu C1, sedangkan D mempunyai tiga orang anak

yaitu D1, D2 dan D3. Apabila B, C dan D tidak pantas mewaris/menolak

warisan/dicabut hak warisnya oleh pewaris,

maka setiap cucu mewaris atas diri sendiri

(uit eigen hoofde) masing-masing

menerima seperenam bagian.

Apabila B, C dan D meninggal

sebelum A, maka cucu pewaris dapat

mewaris secara penggantian menggantikan

kedudukan/tempat orang tuanya yang

menjadi lowong, mereka ini mewaris

pancang demi pancang dan setiap pancang

dibagi sama besarnya. Pembagian yang

terjadi adalah: B1 dan B2 masing-masing

menerima 1/2x1/3=1/6 bagian; C1 menerima 1/3 bagian. D1, D2 dan D3 masing-masing menerima bagian

1/3x1/3=1/9 bagian.

Apabila B, C dan D masih hidup

tetapi dalam pewarisan ini B menolak,

maka sebagai waris adalah C dan D

masing-masing menerima 1/2 bagian. B1 dan B2 tertutup kemungkinannya untuk

penggantian waris.

Apabila B meninggal lebih dahulu,

C menolak dan D tidak pantas mewaris,

maka harta warisan jatuh pada anak-anak

B yaitu B1 dan B2 yang menggantikan kedudukan orang tuanya, masing-masing

menerima 1/2 bagian. Anak-anak dari C

dan D tertutup kesempatannya.

PENUTUP Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat saya ambil

(28)

kemukakan sebelumnya adalah:

1. Penggantian waris merupakan salah

satu cara untuk memperoleh

kedudukan sebagai waris menurut

Burgerlijk Wetboek. Seseorang

dikatakan mewaris dengan cara

mengganti atau ahli waris “bij

plaatsvervulling” adalah seseorang yang menerima harta warisan dari

pewaris bukan karena

kedudukannya sendiri, akan tetapi

menggantikan kedudukan orang

lain yang seharusnya menerima

warisan. Orang lain yang

seharusnya menerima warisan telah

meninggal lebih dahulu daripada

pewaris, sehingga dalam pewarisan

orang yang menggantikan tersebut

terpanggil/tampil untuk menduduki

tempat yang lowong karena

kematian orang yang digantikan

tersebut.

2. Penggantian waris secara umum

hanya dapat terjadi dalam

pewarisan berdasarkan

undang-undang (ab-intestato).

Dalam peristiwa penggantian waris

yang terjadi pada pewarisan

berdasarkan undang-undang

(ab-intestato), dasar hak

mewarisnya adalah adanya

hubungan darah dengan pewaris.

Hubungan darah tersebut adalah

hubungan darah sebagai keturunan

sah dari pewaris, dalam hal ini

yang terpanggil untuk memperoleh

kedudukan sebagai waris adalah

keluarga sedarah dalam garis lurus

ke bawah yang sah. Tiadalah

penggantian waris untuk keluarga

sedarah dalam garis

menyimpang/menyamping ke atas.

Dalam garis

menyimpang/menyamping

penggantian waris dapat terjadi

seperti diatur dalam Pasal 844 dan

845 Burgerlijk Wetboek.

Saran

1. Ahli waris “bij plaatsvervulling”

menempati kedudukan si

meninggal dalam hal yang

menyangkut harta kekayaan. Dalam

hal ini ahli waris “bij

plaatsvervulling”, apabila warisan

yang diterima olehnya itu

merugikan dirinya sendiri atau

(29)

berupa utang yang memberatkan

ahli waris “bij plaatsvervulling”,

saran saya ahli waris “bij

plaatsvervulling” dapat menolak

warisan dengan mengacu pada pada

Pasal 1057- Pasal 1065 Burgerlijk

Wetboek.

2. Dalam penjelasan sebelumnya

menyebutkan anak luar kawin dari

seorang anak pewaris tidak dapat

turut serta dalam penggantian

tempat. Apabila dalam keluarga

pewaris tidak ada keluarga terdekat

yang dapat menerima warisan

hanya ada anak luar kawin saja,

saran saya anak luar kawin tersebut

dapat mengajukan dirinya sebagai

ahli waris dengan mengacu pada

Pasal 873 “bij plaatsvervulling”. Di mana berdasarkan Pasal tersebut

anak luar kawin dapat mengajukan

haknya terhadap harta kekayaan

yang ditinggalkan oleh pewaris,

dalam hal pewaris tersebut tidak

meninggalkan sanak saudara dalam

derajat yang mengizinkan

pewarisan, maupun suami atau istri

yang hidup terlama.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Ali, Zainuddin, 2010, Pelaksanaan Hukum

Waris di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta.

Amanat, Anisitus, 2001, Membagi

Warisan: Berdasarkan Pasal-Pasal

Hukum Perdata BW, RajaGrafindo

Persada, Jakarta.

Klassen, dan Eggens, 1979, Hukum Waris,

bagian I Literatur Wajib Pada

Jurusan Notariat Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Saduran dari

Huwelijks – Goederen En Erfrecht, Esa Study Club, Jakarta.

Krisnawati, Emeliana, 2006, Hukum Waris

Menurut Burgerlijk Wetboek

(B.W), Utomo, Bandung.

Kusumawati, Lanny, 2011, Pengantar

Hukum Waris Perdata Barat, Laros,

Surabaya.

Oemarsalim, 2012, Dasar-Dasar Hukum

Waris Di Indonesia, Rineka Cipta,

Jakarta.

Perangin, Effendi, 2003, Hukum Waris,

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Pitlo, 1971, Hukum Waris: Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata

Belanda, Intermasa, Jakarta.

Prawirohamidjojo, Soetojo, 2000, Hukum

Waris Kodifikasi, Airlangga

University Press, Surabaya.

(30)

Islam Dengan Kewarisan Menurut

Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (BW), Sinar Grafika,

Jakarta.

Satrio, 1992, Hukum Waris, Alumni, Bandung.

Sjarif, Surini Ahlan, dan Nurul Elmiyah,

2005, Hukum Kewarisan Perdata

Barat: Pewarisan Menurut

Undang-Undang, Kencana Renada

Media Group, Jakarta.

Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan

Hukum Waris, Intermasa, Jakarta.

Subekti, dan Tjitrosudibio, 2004, Burgerlijk

Wetboek, Pradnya Paramita,

Jakarta.

Suparman, Eman, 1987, Hukum Waris Indonesia, Djembatan, Jakarta.

Tanuwidjaja, Henny, 2012, Hukum Waris

Menurut BW, Refika Aditama,

Bandung.

Jurnal

Akhmad Munawar, Sahnya Perkawinan

Menurut Hukum Positif Yang

Berlaku Di Indonesia, Jurnal

Hukum Volume VII, Nomor 13,

Januari-Juni 2015.

Yati Nurhayati, Perdebatan Antara Metode

Normatif dan Metode Empirik

Dalam Penelitian Ilmu Hukum

Ditinjau Dari Krakter, Fungsi, dan

Tujuan Ilmu Hukum, Jurnal Hukum

Al’Adl Volume V Nomor 10

Juli-Desember 2013.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

Tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun

1974 Nomor 1).

Skripsi

Edy Prijanto, 1982, Penggantian Waris

(Plaatsvervulling) Sebagai Salah

Satu Cara Mewaris Menurut BW,

Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, Surabaya.

Website

Artikel-makalahlengkapgratis.blogspot.co

m/.../makalah pewarisan dalam

hukum adat.html, diunduh pada

tanggal 20 Maret 2014.

Deniasetyawan.blogspot.com/.../makalah

keistimewaan hukum waris.html2, diunduh pada tanggal 20 Maret

2014.

Pengacaraonlinecom.blogspot.com/.../peng

aruh hukum waris adat bagi

eksistensi masyarakat geneologis di

Indonesia.html, diunduh pada

Gambar

gambar berikut ini.

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan bahwa remaja yang disusui sedikitnya selama 4 bulan memiliki risiko yang rendah untuk mengkonsumsi narkoba dan mengalami gangguan mental

Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin ke jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/ FFA) Secara ringkas, hasil akhir dari

DAS Antokan memiliki luas yang lebih besar dari DAS tinjauan lainnya sehingga debit puncak dan jumlah volumenya yang paling besar, begitu sebaliknya pada DAS

Aida Fitria Fathimah Azzahra , 2019, dengan judul: Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mengembangkan Religiusitas Peserta Didik pada Masa Religious Instability

Serunting memejamkan matanya. Darah di lengan dan dada kirinya mulai mengering. Namun, ada yang sangat sakit di perut sebelah kirinya. Awan-awan putih yang telah menjauh

Efek lainnya dari kelebihan protein adalah naiknya kadar kolesterol yang lebih dipicu oleh konsumsi protein hewani. Kolesterol tinggi bisa menjadi pemicu banyak

Οι τιμές της παραμέτρου α* του χρώματος του φλοιού αυξήθηκαν μετά από 4 μήνες συντήρησης (κύρια στους καρπούς που δέχτηκαν 1-MCP)

Jika terjadi angka yang sama (tie), pilihlah hari libur yang kebutuhan untuk hari yang berdekatannya terendah. Jika masih terdapat angka yang sama, secara