ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI
SKRIPSI
Oleh:
DERTA NUR ANITA NIM : C03211038
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Siyasah Jinayah
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS DALAM PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh:
DERTA NUR ANITA NIM : C03211038
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Siyasah Jinayah
ABSTRAK
Judul penelitian ini adalah Analisis Hukum Pidana Islam terhadap aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua permasalahan, yaitu: Bagaimana konsep aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi? Dan bagaimana analisis Hukum Pidana Islam terhadap aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi?
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif-analisis. Untuk memberikan gambaran tentang hukum pidana Islam terhadap aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, maka dalam hal penggalian data yang dipakai antara lain: studi verifikatif yakni penggalian data yang berupa undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), PERMENKES perihal persetujuan tindakan kedokteran dan literatur yang berhubungan dengan penelitian.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa: dalam pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, ditegaskan bahwa tindakan aborsi (pengguguran janin) boleh dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis. Adapun yang dimaksud dengan indikasi kedaruratan medis adalah keadaan atau penyakit yang mengancam kesehatan ibu dan mengancam nyawa serta kesehatan janin. Indikator yang mengancam kesehatan ibu adalah merupakan suatu keadaan fisik dan/atau mental yang apabila kehamilan dilanjutkan akan menurunkan kondisi kesehatan ibu, mengancam nyawa atau mengakibatkan gangguan mental berat. Sedangkan yang dimaksud dengan mengancam nyawa dan kesehatan janin adalah merupakan kehamilan dengan kondisi janin yang setelah dilahirkan tidak dapat hidup mandiri sesuai dengan usia, termasuk janin yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun janin yang tidak dapat diperbaiki kondisinya. Adapun menurut Hukum Pidana Islam, pengguguran kandungan (abortus) merupakan sebuah tindak kejahatan (jari>mah) yang disamakan dengan pembunuhan dan pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Namun, apabila seorang ibu menggugurkan kandungannya dengan alasan yang dibenarkan oleh shara’, misalnya karena kedaan darurat medis seperti adanya penyakit yang mengancam kesehatan ibu dan mengancam nyawa serta kesehatan janin seperti yang tertera dalam pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Maka pengguguran janin (aborsi) dalam konteks kedaruratan tersebut dengan rekomendasi tim medis yang valid, maka pengguguran tersebut boleh dilakukan (ja>iz).
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 16
2. Batas-batas Kedaruratan dalam Hukum Islam ... 18 3. Ketentuan Hukum dalam Kedaruratan ... 20 B. Konsep Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam ... 24 2. PengertianTindak Pidana dan Macam-macamnya ... 24 3. Hal-hal yang menggugurkan hukuman ... 30 C. Tindak pidana atas janin
1. Pengertian tindak pidana atas janin ... 35 2. Hukuman untuk tindak pidana atas janin ... 38
BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS
MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Karakteristik Aborsi
1. Pengertian Aborsi ... 42 2. Macam-macam dan Pelaksanaan aborsi ... 43 3. Dampak aborsi
a. Kesehatan wanita... 46 b. Psikologis wanita ... 47 B. Ketentuan aborsi dalam hukum positif di Indonesia
1. KUHP ... 48 2. UU. No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ... 52 3. PP. No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
... 53
4. PERMENKES Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran... 55 C. Konsep Kedaruratan Medis Menurut PP. No.61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
TINDAK PIDANA ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI
A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor
61 tahun 2014 ... 59
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Kedaruratan Medis Dalam Tindakan Aborsi ... 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.1 Aborsi merupakan salah satu
topik yang menarik diperbincangkan di kalangan masyarakat, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut ilmu kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek yang negatif untuk diri pelaku yaitu dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi mulai dari komplikasi
ringan sampai dengan kematian.2
Keprihatinan itu juga karena semakin meningkatnya persentase pelaku aborsi di Indonesia. Terhitung sejak tahun 2012 hingga Juli 2014, kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta orang dengan rincian per tahun mencapai 750 ribu kasus atau bisa diasumsikan sebesar 7 ribu kasus dalam sehari dan 30 persen pelakunya adalah remaja SMP dan SMA. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, kasus aborsi di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen setiap tahunnya dan 30 persen pelaku aborsi adalah remaja.3
1 Moh. Ali Aziz et al, Fiqih Medis, (Surabaya : Rumah Sakit Islam Jemursari, 2012), 73. 2 Officium Nobile, oPro Kontra Aborsip, yudicare.wordpress.com/2011/03/17/pro-kontra-aborsi, odiakses SDGDp tangga l 9 Maret 2013
3 6XUDED\DQHZV o 3HUVHQ .DVXV $ERUVL GL -DWLP 3HODNXQ\D 5HPDMDp
2
Menurut data yang didapat dari Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur pada tahun 2009 ada 12.614 kasus, tahun 2010 ada 13.742 kasus, tahun 2011 ada 14.398 kasus, tahun 2012 ada 14.519 kasus, dan tahun 2013 ada 15.176 kasus. Fenomena tingginya remaja melakukan aborsi ini kebanyakan dikarenakan akibat perkosaan dan hubungan suka sama suka antar pasangan.4 Jadi dapat disimpulkan
bahwa mayoritas kasus aborsi yang dilakukan oleh pelaku aborsi adalah pengguguran kandungan secara ilegal karena tidak didasari dengan alasan medis seperti yang diatur secara normatif dalam Undang-undang kesehatan reproduksi. Menurut data statistik, pelaku aborsi hanya beralasan subjektif, yaitu ingin menghilangkan rasa malu atas apa yang telah mereka lakukan.
Peraturan di Indonesia pada dasarnya melarang dilakukannya praktik aborsi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 346 telah ditegaskan bahwa: o6HRUDQJZDQLWD\DQJVHQJDMDPHQJJXJXUNDQDWDXPHPDWLNDQ
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
SHQMDUD SDOLQJ ODPD HPSDW WDKXQp Sudah jelas hukumannya apabila untuk melakukan tindak pidana aborsi baik dari pihak pelaku aborsi maupun dari pihak yang mendukung terlaksananya aborsi, misalnya dokter kandungan, bidan atau dukun beranak, yaitu hukuman pidana penjara paling lama empat tahun.
Namun berbeda halnya tentang kedaruratan medis. Dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi disebutkan bahwa aborsi sudah dilegalkan. Peraturan pemerintah tersebut sudah disahkan dengan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 21 Juli 2014 yang merupakan pelaksanaan UU.
3
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada intinya di dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ini melarang tindakan aborsi, namun larangan sebagaimana yang dimaksud dapat dikecualikan berdasarkan pasal 31 ayat (1) PP. Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reprodusi, yaitu tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan : a. indikasi kedaruratan medis, atau b. kehamilan akibat perkosaan.
Adanya pasal tentang legalitas aborsi ini pun tidak luput dari polemik. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang kesehatan, Titik Haryati, mengatakan ketidak setujuannya dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 perihal masalah kesehatan reproduksi tersebut adalah tindakan, melegalkan aborsi sama saja dengan membunuh. Ia menambahkan bahwa: berapapun usia dalam kandungan sudah melakukan proses pertumbuhan. Sudah ada pertumbuhan jiwa dan roh, karena itu, apabila melakukan aborsi sama saja dengan membunuh. Membunuh proses pertumbuhan janin, kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang kesehatan, Titik Haryati tersebut. 5
Dalam Hukum Islam, sebuah pasangan itu diperbolehkan untuk menentukan atau mencegah terjadinya kehamilan, akan tetapi Hukum Islam melarang mengadakan pengguguran kandungan, baik bersifat MR (Menstrual Regulation) maupun Aborsi. Tetapi, perlu diketahui bahwa perbuatan aborsi,
lebih besar dosanya daripada MR, karena aborsi merupakan tindakan yang
5 2GHOLD 6LQDJD o.3$, PHODNXNDQ $ERUVL 6DPD 'HQJDQ 0HPEXQXKp
4
melenyapkan nyawa janin yang sudah nyata wujudnya, maka sudah termasuk pembunuhan. Oleh karena itu dalam hukum Islam ditetapkan bahwa perbuatan itu termasuk tindakan kriminal yang wajib dikenai sanksi hukum berupa diyat (denda pembunuhan).6 Seperti HR. Bukhari : 5758
ƢÈǼȺƯċƾÈƷ
ÉƾȈÊǠÈLJ
ÉǺÌƥ
ÇǂÌȈÈǨÉǟ
ƢÈǼȺƯċƾÈƷ
ÉƮÌȈċǴdz¦
ȾƢÈǫ
ÈƷ
ȆÊǼÈƯċƾ
ÉƾÌƦÈǟ
ÊǺÈǸÌƷċǂdz¦
ÉǺÌƥ
ÇƾÊdzƢÈƻ
ÌǺÈǟ
ÊǺÌƥ¦
ǧƢÈȀÊNj
ÌǺÈǟ
ȆÊƥÈ¢
ÈƨÈǸÈǴÈLJ
ÌǺÈǟ
ȆÊƥÈ¢
ȨÈǂ̺ȇÈǂÉǿ
ċÀÈ¢
ȾȂÉLJÈ°
ÊǾċǴdz¦
ȄċǴÈǏ
ÉǾċǴdz¦
ÊǾÌȈÈǴÈǟ
ÈǶċǴÈLJÈÂ
ȄÈǔÈǫ
ȆÊǧ
ÊǺÌȈȺƫÈ¢ÈǂÌǷ¦
ÌǺÊǷ
ÇDzÌȇÈǀÉǿ
ƢÈƬÈǴȺƬÈƬ̺ǫ¦
ÌƪÈǷÈǂȺǧ
ƢÈǸÉǿ¦ÈƾÌƷʤ
ÃÈǂÌƻÉÌȋ¦
ÇǂÈƴÈƸÊƥ
ÈƘÈǧ
ȧƢÈǏ
ƢÈȀȺǼÌǘÈƥ
ÈȆÊǿÈÂ
ÆDzÊǷƢÈƷ
ÌƪÈǴȺƬÈǬȺǧ
ƢÈǿÈƾÈdzÈÂ
ÄÊǀċdz¦
ȆÊǧ
ƢÈȀÊǼÌǘÈƥ
¦ȂÉǸÈǐÈƬÌƻƢÈǧ
ȄÈdzʤ
ďȆÊƦċǼdz¦
ȄċǴÈǏ
ÉǾċǴdz¦
ÊǾÌȈÈǴÈǟ
ÈǶċǴÈLJÈÂ
ȄÈǔÈǬȺǧ
ċÀÈ¢
ÈƨÈȇÊ®
ƢÈǷ
ȆÊǧ
ƢÈȀÊǼÌǘÈƥ
ƨċǂÉǣ
ÆƾÌƦÈǟ
ÌÂÈ¢
ÆƨÈǷÈ¢
ȾƢÈǬȺǧ
ČȆÊdzÈÂ
ʨȢÌǂÈǸÌdz¦
ȆÊƬċdz¦
ÌƪÈǷÊǂÈǣ
ÈǦÌȈÈǯ
É¿ÈǂÌǣÈ¢
ƢÈȇ
ȾȂÉLJÈ°
ÊǾċǴdz¦
ÌǺÈǷ
Èȏ
ȧÊǂÈNj
ÈȏÈÂ
ÈDzÈǯÈ¢
ÈȏÈÂ
ÈǪÈǘÈǻ
ÈȏÈÂ
ċDzÈȀȺƬÌLJ¦
ÉDzÌưÊǸÈǧ
ÈǮÊdzȯ
ČDzÈǘÉȇ
ȾƢÈǬȺǧ
ČȆÊƦċǼdz¦
ȄċǴÈǏ
ÉǾċǴdz¦
ÊǾÌȈÈǴÈǟ
ÈǶċǴÈLJÈÂ
ƢÈǸċǻʤ
¦ÈǀÈǿ
ÌǺÊǷ
ÊÀ¦ÈȂÌƻʤ
ÊÀƢċȀÉǰÌdz¦
.
Artinya : Telah menceritakan kepada kami 6Dnid bin m8IDLU WHODK
menceritakan kepada kami al-Lais dia berkata : telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Khalid dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Harairah bahwa rasulullah pernah memutuskan perkara antara dua wanita dari Bani Huz>ail yang sedang berkelahi, salah seorang lawannya melempar batu dan mengenai perutnya padahal ia sedang hamil, hingga menyebabkan kematian anak yang dikandungnya. Lalu mereka mengadukan peristiwa itu kepada Nabi. Beliau memutuskan hukuman (bagi wanita pembunuh) untuk membayar diyat janin dengan seorang hamba sahaya laki-laki atau perempuan, lantas wali wanita yang menanggung (diyat) berkata : Ya Rasulallah, bagaimana saya harus menanggung orang yang belum bisa makan dan minum, bahkan belum bisa berbicara dan menjerit sama sekali? Tindakan hal itu dikategorikan sebagai kecelakaan yang tidak dapat dihindari? Lalu Rasulallah saw bersabda: sesungguhnya perkara itu seperti perkara paranormal yang membacakan mantera-mantera.7
Begitu pula menurut pendapat ahli fiqh, salah satunya adalah Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa tidak boleh menggugurkan kandungan karena janin sedang mengalami pertumbuhan, apabila tetap dilakukan maka yang
6 H. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2008), 85.
5
bersangkutan telah membunuh nyawa karena janin telah hidup, sehingga konsekuensinya adalah haram.8 Demikian juga menurut Ibnu Hajar, apabila
aborsi dilakukan sesudah janin bernyawa atau berumur 4 bulan, maka para ulama telah ada ijma>n (konsensus) tentang keharaman aborsi tersebut.9
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa, jika aborsi itu dilakukan atas dasar kedaruratan, yang memiliki kondisi yang mengancam ibu atau janin cacat (tetap) aborsi dapat dilakukan. Dalam kaidah fiqhiyah tertera sebuah teori tentang kedaruratan yang bisa dijadian acuan hukum dalam hal kedaruratan, seperti kasus aborsi ini,10 yaitu :
Ȧdz
ċǔ
ÉǂÌÂ
È°
É©¦
ÉƫÊƦ
ÌȈÉƶ
Ìdz¦
ÈǸ
ÌƸ
Éǜ
ÌȂÈ°
Ê©¦
pKeadaan darurat itu memEROHKNDQVHVXDWX\DQJGLODUDQJp11
Kaidah ini mengandung arti bahwa dalam keadaan-keadaan darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak itu membuat seseorang boleh mengerjakan yang dilarang di dalam Islam, selain kufur, zina, dan membunuh.12
Darurat dalam arti yang sempit yaitu keadaan yang menyelimuti manusia dalam situasi dan kondisi yang tidak baik yang mana mendorongnya melakukan yang diharamkan atau dilarang dalam VKDUDn guna memelihara jiwanya dari kebinasaan, memelihara agar jangan musnah, atau untuk menghindari hal yang
8 Hamid Laonso & Muhammad Jamil, Hukum Islam Alternatif Solusi Terhadap Masalah Fiqh
Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), 59.
9 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), 82.
10Wahbah al-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 71.
6
menyakitkan, baik itu secara yakin atau dengan dugaan kuat akan terjadinya hal yang demikian.13
Dalam bukunya yang berjudul Konsep Darurat Dalam Islam, Wahbah Al-Zuhaili, memberikan batasan-batasan tertentu mengenai darurat, diantaranya adalah:
1. Keadaan darurat itu harus benar-benar sudah ada, bukan ditunggu. Dengan kata lain, kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa maupun harta itu harus betul-betul ada dalam kenyataan. Hal itu bisa diketahui melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada.
2. Orang yang melakukan hal yang dilarang itu harus benar-benar terpaksa. Dengan kata lain, ia tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah-perintah atau larangan-larangan VKDUDn, atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari kemudaratan selain melanggar hukum.14
Berpegang dengan kaidah darurat dalam beberapa keadaan yang dikecualikan untuk membolehkan yang diharamkan itu adalah merupakan dalil bahwa Islam memperhitungkan kenyataan dan kelemahan yang terdapat pada diri manusia serta tuntutan-tuntutan kehidupan yang dihadapinya. Kebolehan yang dimaksud adalah penghapusan dosa dan siksaan di akhirat.15 Contohnya adalah
seorang ibu yang sedang hamil mengidap penyakit darah tinggi menahun, penyakit jantung yang parah atau sesak nafas yang dapat membahayakan si ibu
7
dan janin yang dikandungnya dibolehkan untuk melakukan tindak pidana aborsi, tetapi semua ini harus berdasarkan pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.16
Dari uraian latar belakang masalah di atas penulis sangat tertarik untuk lebih memahami dan mengkaji tentang Kedaruratan Medis, dengan topik :
o$QDOLVLV +XNXP Pidana Islam Terhadap Aborsi Karena Kedaruratan Medis Dalam PP. Nomor 61 Tahun 2014 Kesehatan Reproduksip
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya yang kemudian dapat diduga sebagai masalah. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka identifikasi masalah penelitian ini adalah: 17
1. Dinyatakan terjadi kehamilan dalam kondisi kedaruratan medis untuk dilakukan aborsi.
2. Konsep dilegalkan/didizinkan aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. Nomor 61 Tahun 2014.
3. Konsep aborsi karena kedaruratan medis menurut PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
16M. Ali Aziz et al, Fiqih Medis, (Surabaya: Rumah Sakit Jenursari, 2012), 74.
17 Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
8
4. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
5. Dasar pertimbangan dilegalkan PP. Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
6. Konsepsi tentang kedaruratan medis menurut Hukum Islam.
Agar lebih terarah dan pembahasan penelitian ini tidak melebar, maka diperlukan adanya pembatasan masalah, masalah ini dibatasi pada:
1. Konsep aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
2. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
C.Rumusan Masalah
Untuk memudahkan proses penelitian dan penulisan, maka diperlukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi?
9
D.Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam penelitian di seputar masalah yang diteliti sehingga tidak terjadi pengulangan atau bahkan duplikasi kajian/penelitian yang sudah ada.18
Kemudian, dari hasil pengamatan peneliti tentang kajian-kajian sebelumnya, peneliti temukan beberapa kajian di antaranya :
1. Skripsi yang diWXOLV ROHK 5L]D <XQLDU 6DUL \DQJ EHUMXGXO o6WXGL
Komparatif Antara Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam Terhadap Aborsi Yang Dilakukan Oleh Korban Perkosaanp skripsi ini membahas tentang aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaaan, objek dari penelitian tersebut adalah ketentuan aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan hasil penelitiannya adalah membandingkan dan membedakan antara hak asasi manusia dan hukum Islam terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan.19
2. Skripsi yang ditulis oleh 1XU )DGLODK \DQJ EHUMXGXO o7LQMDXDQ +XNXP
Islam dan Hukum Positif Terhadap Aborsi Oleh Wanita Akibat
3HUNRVDDQp VNULSVL LQL PHPEDKDV WHQWDQJ DERUVL ROHK ZDQLWD DNLEDW
perkosaan, objek dari penelitian tersebut adalah seorang wanita yang melakukan aborsi akibat perkosaan dan hasil penelitiannya adalah aborsi yang dilakukan wanita akibat perkosaan, maka pelaksanaan aborsi oleh
18 Ibid, 8.
19 Riza Yuniar Sari, Studi Komparatif Antara Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam Tehadap
10
wanita tersebut diperbolehkan. Dengan mencantumkan larangan aborsi pasal 346 KUHP, al-Isra>n ayat 33, dan al-Ma>idah ayat 32.20
Skripsi-skripsi di atas lebih menekankan pada tindakan pidana perkosaan, sementara itu, penelitian yang akan penulis lakukan ini lebih menekankan pada kedaruratan medis yang sesuai dengan judul skripsi, yaitu, o$QDOLVLV +XNXP
Pidana Islam Terhadap Aborsi Karena Kedaruratan Medis Dalam PP. Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksip
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah rumusan tentang tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian yang dilakukannya.21 Sesuai dengan rumusan masalah
di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap aborsi karena kedaruratan medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari permasalahan di atas, penelitian dan penulisan ini diharapkan mempunyai nilai tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca, yang berguna dalam dua aspek yaitu:
20 Nur Fadhilah, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Aborsi Oleh Wanita Akibat
Perkosaan, Skripsi, (Surabaya : Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, 2005).
21 Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
11
1. Dari segi teoritis
a. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemahaman Studi Hukum Pidana Islam terhadap mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum di Prodi Siyasah Jinayah.
2. Dari segi praktis
a. Dapat digunakan sebagai pertimbangan Hukum bagi peneliti berikutnya untuk membuat penelitian di bidang Hukum Publik.
b. Dapat dijadikan dasar pedoman dalam rangka pembuatan kebijakan tentang kedaruratan medis dan implikasi Hukumnya.
G.Definisi Operasional
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalah pahaman pembaca dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis perlu menjelaskan variabel-variabel dalam judul skripsi ini, yaitu :
Hukum Pidana Islam : Segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai
hasil dari suatu pemahaman dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-4XUnDQGDQKDGLV dan pendapat Ulama dalam kitab fiqh.
12
sebelum janin berada di luar kandungan.22 Dalam Hukum
Islam sudah jelas melarang mengadakan pengguguran kandungan, baik bersifat MR (Menstrual Regulation) maupun Aborstus. Namun aborsi yang dilakukan berdasarkan kedaruratan medis, merupakan tindak pidana aborsi yang dapat dikecualikan berdasarkan pasal 31 ayat (1) PP. Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reprodusi, yaitu tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan : a. indikasi kedaruratan medis atau b. kehamilan akibat perkosaan.
Kedaruratan Medis : Dalam PP. Nomor 61 Tahun 2014 yang dimaksud dengan indikasi kedaruratan medis meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu: dan/atau b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Penelitian yang penulis bahas yaitu tentang kedaruratan medis, dimana penulis melakukan Analisis Hukum Pidana Islam terhadap aborsi karena Kedaruratan Medis dalam PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dimana aborsi boleh dilakukan karena kedaruratan medis dan
13
penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi. Tim kelayakan aborsi terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketahui oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim kelayakan aborsi harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar. Berdasarkan hasil pemeriksaan sesuai dengan standar, tim kelayakan aborsi membuat surat keterangan kelayakan aborsi.23
H.Metode Penelitian
Metode penelitian ini meliputi: 1. Data yang Dikumpulkan
Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggungjawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka data yang peneliti kumpulkan di antaranya, yaitu:
1) Data tentang latar belakang kedaruratan medis.
2) Data tentang kedaruratan medis dalam perspektif Hukum Pidana Islam 3) Konsep kedaruratan medis menurut PP. nomor 61 tahun 2014 tentang
kesehatan reproduksi.
4) Konsep darurat menurut pendapat ulama atau kitab fiqh (pendapat ulama perihal kedaruratan).
14
2. Sumber Data
Sumber data yang akan dijadikan pegangan dalam penelitian ini peneliti mendapatkan data yang konkrit serta ada kaitannya dengan masalah kedaruratan medis yang meliputi data primer dan data sekunder yaitu:
a. Sumber data primer
Sumber primer adalah sumber data yang dibutuhkan untuk memperoleh data yang berkaitan langsung dengan obyek penelitian.24
Seperti :
1) PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
2) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber pelengkap yang diperoleh dari data kepustakaan yang ada hubungannya dengan pembahasan dalam penelitian ini yaitu:
1) Moh. Ali Aziz, Fiqih Medis
2) Wahbah al-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam
3) Muhammad Ali al-Sabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam al-Sabuni Juz 1
4) Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim Minhaju al-Muslim 5) Abdurrahman al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh
6) Hasby ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam
15
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan melalui telaah atau studi dari berbagai laporan penelitian dan buku literatur yang relevan dengan pembahasan tentang aborsi yang dilakukan karena kedaruratan medis menurut PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
b. Studi Verifikatif
Studi Verifikatif yaitu teknik yang dilakukan dalam mengkaji substansi konsep peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Teknik Pengolahan Data
Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan semua data yang penulis dapatkan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Organizing : suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,
pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.25
b. Editing : kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta
menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.26
c. Coding : mengklasifikasi data-data. Maksudnya data-data yang
telah diedit tersebut diberi identitas sehingga memiliki arti tertentu pada saat analisis.27
16
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu membuat deskripsi, gambaran atau menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun terkait dengan pembahasan, kemudian dianalisis dengan menggunakan model studi verifikatif, yaitu teknik yang dilakukan dalam mengkaji substansi konsep peraturan perundang-undangan yang berlaku digabungkan dengan kedaruratan dalam pendapat ulama.
I. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan skripsi tersusun dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab pembahasan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam pemahaman serta penelaahan, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang berisi data yang dihimpun, sumber data yang terdiri dari data primer dan sekunder, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Berisi landasan teori tentang konsep darurat dan hal yang mengugurkan sanksi pidana menurut Fiqh Jinayah yang isinya meliputi: konsep
17
tindak pidana menurut Hukum Pidana Islam, tindak pidana atas janin, dan konsep kedaruratan menurut Hukum Islam.
BAB III : Merupakan temuan studi tentang aborsi dalam konteks kedaruratan medis menurut hukum positif di Indonesia yang memuat: Karakteristik aborsi, ketentuan aborsi dalam hukum positif di Indonesia, konsep kedaruratan medis menurut PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Bab IV : Memuat tentang analisis Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana aborsi karena kedaruratan medis ditinjau dari PP. nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
BAB II
KONSEP DARURAT DAN HAL YANG MENGUGURKAN SANKSI PIDANA MENURUT FIKIH JINAYAH
A.Konsep Kedaruratan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Darurat
Menurut Ibnu Nujaim ahli Fiqh Madhhab Hanafi, darurat berarti
sesampainya seseorang kepada suatu batas, yang apabila tidak melakukan
sesuatu perbuatan yang dilarang akan dapat mencelakakan dirinya.28
Adapun darurat menurut Wahbah al-Zuhaili yaitu datangnya kondisi
bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri manusia, yang membuat dia
khawatir akan tejadi kerusakan atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh,
kehormatan, akal dan harta. Ketika itu boleh mengerjakan apa yang diharamkan
atau meninggalkan apa yang diwajibkan, atau menunda waktu pelaksanaannya
guna menghindari kemudaratan yang diperkirakannya dapat menimpa dirinya
selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh shara’.‛29
2. Batas-batas Kedaruratan dalam Hukum Islam
Dari definisi yang sudah penulis paparkan di atas, bahwa harus ada
penetapan batasan-batasan darurat ataupun syarat-syaratnya, sehingga hukumnya
boleh dipegang dan boleh pula melanggar kaidah-kaidah yang umum dalam
menetapkan yang haram dan menetapkan yang wajib karena darurat. Karena jelas
tidak semua orang yang mengklaim adanya darurat dapat diterima atau dapat
28A. Rahaman Ritonga, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 2006), 260.
29 Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, (Jakarta: TerjemahanGaya Media
19
dibenarkan perbuatan-perbuatannya. Batasan-batasan yang dapat membatasi
pengertian darurat tersebut yaitu :
a. Keadaan darurat itu harus benar-benar ada, bukan masih ditunggu, dengan
kata lain kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa maupun
harta itu harus betul-betul ada dalam kenyataan. Hal itu bisa diketahui
melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada.
b. Orang yang terpaksa tidak ada pilihan lain kecuali melanggar
larangan-larangan shara’ (hukum Islam) atau tidak ada cara lain selain untuk
menghindari kemudharatan dengan melanggar hukum.
c. Kemudaratan memang memaksa di mana ia betul-betul khawatir akan
hilangnya jiwa atau anggota tubuh.
d. Jangan sampai orang yang terpaksa melanggar prinsip-prinsip shara’
(hukum Islam), seperti memelihara hak-hak orang lain, menciptakan
keadilan, manunaikan amanah, menghindari kemudharatan serta
memlihara prinsip agama serta pokok-pokok aqidah Islam, seperti
diharamkannya zina, pembunuhan, dan kufur.
e. Orang yang terpaksa harus membatasi diri untuk melakukan sesuatu yang
sudah dibenarkan, karena darurat dalam pandangan Jumhu>r fuqaha> pada
batas yang paling rendah atau dalam kadar semestinya guna menghindari
kemudharatan. Karena membolehkan yang haram adalah darurat, dan
darurat dinilai dari tingkatannya.
f. Dalam keadaan darurat berobat, hendaknya yang haram dipakai
20
agama maupun ilmunya, juga jangan ada obat selain dari yang
diharamkan.
g. Apabila dalam keadaan terdesak telah berjalan selama sehari semalam
tanpa memperoleh makanan dan minuman. Dalam masa tersebut, jika ia
khawatir akan berkurangnya tenaga yang dapat berakibat pada kematian,
maka dihalalkan makan dan minum dalam batas sekedar untuk
menghindari kematian karena lapar dan haus.
h. Dalam hal pembatalan transaksi karena darurat adalah menciptakan
keadilan, tidak merusak prinsip keseimbangan diantara dua pihak yang
bertransaksi.
3. Ketentuan Hukum dalam Kedaruratan
Dalam membatasi keadaan darurat, al-Qurtubi berkata, ‚Keadaan
terpaksa tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu karena adanya paksaan dari
orang yang aniaya atau karena lapar dalam musim peceklik.‛ Al-Fakhr al-Razi
mengatakan, ‚Darurat ada dua sebabnya. Pertama : lapar yang berlebihan dan
sementara yang halal tidak didapatkan dan Kedua : dipaksa oleh seseorang yang
memaksa.‛ Menurut Ibn al-‘Arabi, ‚Keadaan terpaksa bisa terjadi karena adanya
paksaan dari seseorang yang aniaya atau karena kelaparan di musim peceklik
atau karena kefakiran di mana seseorang tidak mendapatkan makanan selain yang
haram.‛ Dengan demikian, darurat bagi mereka ada tiga macam : paksaan,
kelaparan dan kefakiran.30
30 Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, (Jakarta: TerjemahanGaya Media
21
Dalam kenyataannya, bahwa darurat dalam pengertiannya yang lebih
umum dan mencakup semua keringanan bagi manusia ada 7 keadaan, yaitu :31
a. Darurat kelaparan makanan (lapar dan haus) dan obatan
b. Paksaan
c. Lupa
d. Tidak mengetahui
e. Kesulitan
f. Merebaknya bencana
g. Sakit
Jika salah satu dari keadaan darurat tersebut ditemukan, maka yang
dilarang menjadi mubah, atau yang wajib boleh ditinggalkan. Seperti halnya
pembunuhan janian (aborsi) yang dilakukan oleh ibu hamil karena kedaruratan
medis, pembunuhan janin (aborsi) tersebut tetap boleh dilakukan, karena semasa
waktu hamil seorang ibu telah mengidap penyakit genetik atau cacat bawaan,
seperti penyakit darah tinggi bertahun-tahun, penyakit jantung yang parah atau
sesak nafas yang dapat membahayakan si ibu dan janin yang dikandungnya.32
Secara otomatis ibu tersebut harus melakukan tindak pidana pembunuhan
janin (aborsi), karena di dalam Islam tidak membenarkan tindakan meyelamatkan
janin dengan mengorbankan si calon ibu, karena eksistensi si ibu lebih
diutamakan mengingat dia merupakan tiang atau sendi keluarga dan dia telah
31 Ibid.
22
mempunyai beberapa hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap
sesama makhluk.33
Pembunuhan janin (aborsi) yang dilakukan apabila ada unsur yang
benar-benar tidak mungkin dihindari, yang dalam istilah fikih disebut darurat, seperti
apabila janin dibiarkan tumbuh dalam rahim akan berakibat kematian ibu. Ulama
fikih sepakat bahwa pengguguran janin (aborsi) dalam keadaan seperti ini
hukumnya muba>h {(boleh). Kebolehan ini adalah guna menyelamatkan nyawa ibu,
dan dalam keadaan seperti ini pula, ibu tidak boleh dikorbankan untuk
keselamatan bayi, sebab ibu adalah asal bagi terjadi adanya bayi.34
Di dalam kaidah fiqhiyah juga sudah tertera sebuah teori tentang
kedaruratan, yaitu :
ُُتاَرْوُرَضلَا
ُ
ُُحْيِبُت
ُ
ُِتاَرْوُظْحَمْلا
ُ
Artinya: ‛Keadaan darurat itu membolehkan sesuatu yang dilarang.‛
Kaidah ini mengandung arti bahwa dalam keadaan-keadaan darurat atau
kebutuhan yang sangat mendesak boleh mengerjakan yang dilarang di dalam
Islam, sekalipun keadaan terpaksa itu merupakan salah satu sebab dibolehkannya
melakukan perbuatan yang terlarang. Pengguguran hanya terjadi pada hak
AllahSWT, yaitu berupa penghapusan dosa dan siksa bagi orang yang terpaksa.
Kecuali kufur, zina, dan membunuh, di dalam hukum Islam tetap
mengharamkannya.35
33 H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1994), 82-83. 34 A. Rahman Ritonga et al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2006), 9.
23
Namun, dalam melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan darurat
Ulama fikih berbeda pendapat. Madhhab Maliki golongan al-Zahiri Imamiah dan
pendapat yang termasyhur di kalangan Madhhab Syafi’i menyatakan bahwa
melakukan yang dilarang di waktu darurat, hukumnya adalah wajib. Karena
mereka beralasan dengan firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 195:
ُِةَكُلْهَ تلاُىَلِإُْمُكيِدْيَأِبُْاوُقْلُ تَُاَو
ُ
ُ
Artinya: Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.36
Adapun Madhhab Hanbali, satu pendapat dari Madhhab Syafi’i, dan satu
riwayat dari Imam Abu Yusuf, ulama Madhhab Hanafi menyatakan bahwa
melakukan yang dilarang di waktu darurat, hukumnya adalah muba>h} (boleh).
Alasannya adalah karena orang yang berada dalam kondisi darurat itu melakukan
perbuatan yang dilarang hanya apabila ada keharusan untuk menolak
kemudaratan dan menyelamatkan diri dari kebinasaan. Yusuf Qasim
menyimpulkan bahwa pendapat yang terkuat adalah wajib melakukan yang
diharamkan dalam kondisi darurat, karena memelihara diri dan harta adalah
wajib.37
24
B.Konsep Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata Fikih Jinayah. Fiqh
Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci
dari Al-Qur’an dan Hadits. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah
tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan-tindakan yang
melawan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.38
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan
kepada sesamanya, baik pelangaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non
fisik, seperti membunuh, menuduh atau menfitnah maupun kejahatan terhadap
harta benda dan lainnya, semua dibahas dalam Jinayah. Pembahasan masalah
Jinayah hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran
(objek) badan dan jiwa saja. Ulama-ulama muta’akhiri>n menghimpunnya dalam
bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayah atau yang dikenal dengan istilah
Hukum Pidana Islam.39
2. Pengertian Tindak Pidana dan Macam-macamnya
Tindak pidana atau kejahatan dan pelanggaran dalam hukum pidana
Islam dikenal dengan istilah Jinayah dan jari>mah. Kedua istilah ini secara
etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Istilah yang satu menjadi
38 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), 86.
25
mura>dif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduannya bermakna tunggal. Jinayah
artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Abdul Kadir Audah
menjelaskan arti kata Jinayah, yaitu merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek
seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang
diharamkan oleh Shara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda,
maupun selain jiwa dan harta benda. Pengertian Jinayah adalah semua perbuatan
yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang
atau dicegah oleh Shara’ (Hukum Islam). Apabila tetap dilakukan maka
perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi yang membahayakan agama, jiwa,
akal, kehormatan, dan harta benda.40
Kata jina>yat menurut tradisi Islam ialah segala tindakan yang dilarang
oleh hukum shari’at untuk melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap
perbuatan yang harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang
nyata terhadap agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta benda.41
Sedangkan jari>mah berarti larangan-larangan shara’ (yang apabila
dikerjakan) diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir. Dalam hal
ini kata jari>mah pun mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan
atau meninggalkan, aktif ataupun pasif. Oleh karena itu perbuatan jari>mah bukan
saja mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh peraturan, tetapi juga
dianggap sebagai jari>mah kalau seseorang meninggalkan perbuatan yang menurut
peraturan harus dikerjakan.42
40 A. Jazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 12.
41 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1987), 7.
26
Bentuk jari>mah itu ada bermacam-macam, tergantung dari sudut pandang
mana kita mau melihatnya. Hal tersebut dapat diklsifikasikan berdasarkan
beberapa aspek sebagai berikut:
a. Aspek bobot hukuman yang dijatuhkan
Dari sudut pandang bobot hukuman yang dijatuhkan kepada
pelaku tindak kejahatan, jari>mah dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:
Jari>mah Hudu>d, Jari>mah Qis{a>s{, dan Jari>mah Ta’zi>r.
Jari>mah Hudu>d adalah sanksi yang telah ditentukan dan wajib
diberlakukan kepada seseorang yang melanggar suatu pelanggaran yang
akibatnya sanksi itu dituntut, baik dalam rangka memberikan peringatan
pelaku maupun dalam rangka memaksanya.43
Dalam Fiqh Sunnah-nya, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
Hudu>d secara etimologi berarti pencegahan. Secara terminologi adalah
sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah SWT.44
Beberapa delik pidana yang termasuk dalam katagori hudu>d ini
adalah perzinaan, qadhaf (menuduh zina), sariqah (pencurian), hirabah
(perampokan), al-baghy (pemberontakan terhadap pemerintahan yang
sah), syurb al-khamr (mengkonsumsi khamer), dan riddah (keluar dari
Agama Islam).45
Jari>mah Qis}a>s} adalah menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada
pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang
43 Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani Al-Jawi, Qut Al-Habib Al-Gharib, Tausyikh ‘ala
Fathul Qarib, (Semarang: Toha Putra), 245.
27
dilakukannya; nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan
anggota tubuh.
Serupa dengan Jari>mah Hudu>d, Jari>mah Qis{a>s{ adalah jari>mah yang
bentuk dan jumlah hukumannya harus sesuai dengan ketetapan syariat.
Tetapi berbeda denga Jari>mah Hudu>d, Jari>mah Qis}a>s} memberi peluang
adanya pemaafan dari pihak korban yang dapat menggugurkan hukuman
dan menggantinya dengan diyat. Macam Jari>mah Qis{a>s{ ini ada 2 yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Dengan demikian, nyawa pelaku
pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa
korban atau pelaku penganiayaan boleh dianiaya karena ia pernah
menganiaya korban apabila tidak ada pemaafan dari korban tersebut.46
Sedangkan Jari>mah ta’zi>r, menurut Wahbah Zuhaili dalam
kitabnya Al-Fiqh Al-Islami> wa Adillatuhu, adalah hukuman-hukuman
yang secara shara’ tidak ditegaskan mengenai ukurannya. Shariat Islam
menyerahkannya kepada penguasa negara untuk menentukan sanksi
terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai dengan kejahatannya.
Sanksi-sanksi ta’zi>r ini sangat beragam sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat, taraf pendidikan, dan berbagai keadaan lain manusia dalam
berbagai masa dan tempat. Delik pidana yang tercakup dalam jari>mah ini
adalah semua tindak kejahatan yang tidak termasuk dalam katagori
28
Jari>mah Hudu>d dan Qis}a>s}. Seperti ghas{ab, pencemaran nama baik, dan
lain sebagainya.47
b. Aspek niat pelaku jari>mah
Tindak kejahatan (jari>mah) ditinjau dari aspek niat pelaku jari>mah
terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: Jari>mah ‘amdiyah (kejahatan yang
disengaja) dan Jari>mah ghayra ‘amdiyah (kejahatan tidak disengaja).
Jari>mah ‘amdiyah adalah kejahatan yang dilakukan secara sengaja.
Dimana terpidana secara nyata memang bermaksud untuk melakukan
tindak pidana tersebut dan ia mengetahui bahwa perbuatannya itu tidak
boleh (dilarang) dilakukan dan pelakunya diancam dengan hukuman.48
Jari>mah ghayra ‘amdiyah adalah tindak kejahatan yang dilakukan
secara kejahatan tidak disengaja. Yaitu terpidana tidak mempunyai niat
sama sekali untuk melakukan tindak pidana tersebut. Terjadinya tindak
pidana ini disebabkan kesalahan semata. Kesalahan tersebut menurut para
ahli fiqih ada dua macam. (a) Melakukan suatu perbuatan dengan sengaja
tetapi bukan dengan niat melakukan tindak pidana. (b) Seseorang tidak
bermaksud berbuat tetapi perbuatan itu muncul akibat kelalaian atau
kealpaannya.49
Pentingnya pembagian jari>mah kepada kedua bentuk ini terlihat
pada pelaksanaan hukuman yang akan dikenakan pada terpidana. Apabila
47 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997) cet. Ke-4, jilid
VII, 5300.
48 A. Rahman Ritonga et al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2006), 808.
29
tindak pidana itu disengaja dan diketahui oleh terpidana bahwa perbuatan
itu dilarang, maka unsur-unsur pidana dalam kasus seperti ini terpenuhi
dan hukuman yang akan dikenakan adalah hukuman primer (hukuman
aslinya).50
c. Aspek korban jari>mah
Dilihat dari segi korban, jari>mah dibagi menjadi dua katagori yaitu
tindak pidana perseorangan dan tindak pidana masyarakat. Tindak pidana
perseorangan yaitu tindak pidana yang pensyariatan hukumannya untuk
menjamin kemaslahatan pribadi, yang sekalipun secara langsung
berkaitan dengan kepentingan pribadi namun didalamnya juga terkait
kepentingan masyarakat. Sedangkan tindak pidana masyarakat adalah
tindak pidana yang pensyariatan hukumannya dimaksudkan untuk
memelihara kemaslahatan dan ketertiban masyarakat, baik yang menjadi
korban dalam tindak pidana adalah pribadi, masyarakat, ataupun
stabilitas masyarakat dan keamanan mereka.
Pentingnya pembagian kedua bentuk tindak pidana ini adalah
dilihat dari segi boleh tidaknya hukuman terpidana digugurkan. Apabila
tindak pidana bersifat perorangan itu berbentuk qis}a>s} atau diyat, maka
korban atau ahli warisnya boleh memaafkan atau menggugurkan
hukumannya. Apabila tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam
kategori ta’zi>r yang bersifat pribadi, maka hukumannya juga bisa
dimaafkan atau digugurkan oleh pihak korban atau ahli warisnya. Namun
30
jika tindak pidana yang dilakukan itu termsuk dalam kategori hudu>d yang
berkaitan langsung dengan hak masyarakat, maka apabila kejahatan itu
telah terbukti di depan sidang pengadilan, hukumnya tidak dapat
digugurkan.51
3. Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman
Terlepas dari adanya ketentuan-ketentuan hukuman bagi pelaku tindak
kejahatan (pembunuhan), secara umum ada beberapa hal yang menyebabkan
terhapusnya pertanggungjawaban pidana atau terhapusnya hukuman yang
berkaitan dengan kondisi pelaku atau berkaitan dengan keadaan si pelaku
tersebut. 52 Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Karena paksaan
Paksaan atau terpaksa atau daya paksa disebut dengan istilah
ikrah, yang berasal dari kata karaha. Adapun menurut istilah, ada banyak
definisi yang dikemukakan para ahli, di antaranya:53
Khudari Bek mendefinisikan paksaan sebagai, ‚Menyuruh orang
lain berbuat sesuatu yang tidak disenanginya, baik berupa perkataan
maupun perbuatan yang seandainya dibiarkan (tidak disuruh), tidak akan
dilakukannya.‛
Sayyid Sabiq mendefinisikan paksaan sebagai, ‚memaksa
seseorang atau sesuatu dengan disertai ancaman akan membunuh,
51 Ibid., 809.
52 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: CV Puataka Setia, 2000),
189-190.
31
memukul, memidanakan, melenyapkan harta, kesaksian yang keras atau
dengan kepedihan yang kuat.‛
Halimah yang mengutip pendapat Ibrahim Halaby bahwa paksaan
adalah perbuatan yang terjadi atas seseorang oleh orang lain sehingga
perbuatan tersebut luput dari kerelaannya atau dari ih{tiyar (kemauan
bebas) orang tersebut.
Dari beberapa batasan tentang paksaan yang dikemukakan para
ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan paksaan
adalah pebuatan seseorang karena orang lain. Perbuatan yang dilakukan
itu menghilangkan unsur kerelaan dan menghilangkan hak pilih
pelakunya. Bagi orang yang terpaksa, hanya terdapat dua pilihan, yaitu
melakukan perbuatan terlarang yang tidak disukainya atau tidak
melakukannya dengan konsekuensi bahaya bagi keselamatan dirinya.
Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan yang
terjadi. Dalam hal ini tidak lebih dari tiga keadaan54, yaitu :
a. Pertama: perbuatan yang tidak bisa dipengaruhi sama sekali oleh
paksaan, jadi tetap dianggap sebagai jari>mah. Seperti pembunuhan
dan penganiayaan berat (pemotongan anggota badan, pukulan
berat).55Alasan yang berupa nas ialah firman Allah SWT:
54Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bentang, 1990), 357.
32
ُ قَحلاِبَُاِإُُهّللاَُمَرَحُيِتَلاَُسْفَ نلاُْاوُلُ تْقَ تَُاَو
ُ
Artinya: ..."Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar‛...56
Alasan fikiran untuk menjatuhkan hukuman atas orang yang dipaksa
ialah bahwa pembunuhannya (penganiayaannya) terhadap korbannya
adalah dengan sengaja dan melawan hukum, karena untuk
menghidupkan dirinya dengan disertai keyakinan (dugaan) bahwa
pembunuhan (penganiayaan) terhadap korbannya ia akan
mendapatkan keselamatan dirinya dan terhindar dari perbuatan si
pemaksa.
b. Kedua: perbuatan yang diperbolehkan karena adanya paksaan yaitu
tidak dianggap sebagai jari>mah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk
dalam kelompok ini hanya berhubungan dengan soal makanan dan
minuman yang diharamkan, seperti makan bangkai, makan daging
babi, minum darah dan barang-barang najis.57 Dasar kebolehan
dikerjakannya perbuatan-perbuatan tersebut ialah firman Allah SWT:
ُِنَمَفُِهّللاُِرْيَغِلُِهِبَُلُِأُاَمَوُِريِزنِخْلاَُمْحَلَوَُمَدلاَوَُةَتْيَمْلاُُمُكْيَلَعَُمَرَحُاَمَنِإ
ٌُميِحَرٌُروُفَغَُهّللاَُنِإُِهْيَلَعَُمْثِإُاَفٍُداَعَُاَوٍُغاَبَُرْ يَغَُرُطْضا
ُ
ُ
Artinya: ‚Sesungguhnya Allah SWT hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah SWT. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‛.
56 Kementrian Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta; Widya Cahaya, 2011), 268.
33
Sebenarnya perbuatan-perbuatan tersebut tidak dihalalkan kalau
bukan dalam keadaan paksaan. Akan tetapi perbuatan-perbuatan
tersebut diperbolehkan jika seorang dipaksa untuk mengerjakannya,
dan tidak dikenakan pertanggungan jawab pidana meskipun pada
dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut diharamkan, karena keharaman
tersebut menjadi hapus dengan adanya paksaan. Bahkan menurut
pendapat yang terkuat dikalangan fuqaha, jika ia (orang yang dipaksa)
tidak menuruti orang yang memaksa, maka ia berdosa terhadap
AllahSWT, karena dalam hal ini berarti ia membawakan diri dalam
kehancuran.
c. Ketiga: perbuatan yang diperbolehkan sebagai pengecualian, jadi
tetap sebagai jari>mah, tetapi tidak dijatuhi hukuman.
Keadaan darurat dipersamakan hukumnya dengan paksaan.
Perbedaan hanya mengenai sebab timbulnya perbuatan, dimana dalam
paksaan pelaku dipaksa oleh orang lain untuk berbuat, sedangkan dalam
darurat pelaku sebenarnya tidak dipaksa oleh orang lain, akan tetapi ia
mendapat dorongan dalam suatu keadaan yang mengharuskan dia untuk
melakukan perbuatan jari>mah, agar dirinya atau orang lain terhindar dari
bahaya. Seperti seorang ibu yang sedang hamil mengidap penyakit darah
tinggi menahun, penyakit jantung yang parah atau sesak nafas yang dapat
membahayakan si ibu dan janin yang dikandungnya boleh melakukan
tindakan aborsi (penguguran janin).58
34
2. Karena belum dewasa
Menurut Shari’at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan
atas dua perkara, yaitu kekuatan berfikir dan pilihan (ira>dah dan ikhtiyar).
Oleh karean itu kedudukan anak kecil (belum dewasa) berbeda-beda
menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya, mulai dari waktu
kelahirannya sampai masa memiliki kedua perkara tersebut (ira>dah dan
ikhtiyar). Hasil penyelidikan para fuqaha mengatakan bahwa masa
tersebut ada tiga, yaitu:59
a. Masa tidak adanya kemampuan berfikir, masa ini dimulai sejak
dilahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun, dengan kesepakatan
para fuqaha. Pada masa tersebut seorang anak dianggap tidak
mempunyai kemampuan berfikir.
b. Masa kemampuan berfikir lemah, masa ini dimulai sejak usia tujuh
tahun sampai mencapai kedewasaan (baligh) dan kebanyakan fuqaha
membatasinya dengan usia lima belas tahun.
c. Masa kemampuan berfikir lemah, masa ini dimulai sejak seorang anak
mencapai usia kecerdikan (shinnur rus{di), atau dengan perkataan lain
setelah mencapai usia lima belas tahun atau delapan belas tahun,
menurut pendapat di kalangan fuqaha.
3. Karena mabuk
Menurut Imam Abu Hanifah, pengertian mabuk ialah hilangnya
akal fikiran sebagai akibat minum minuman keras atau yang sejenisnya.
35
Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk, maka
menurut pendapat yang kuat dari kalangan empat madhhab fiqh ialah
bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jari>mah yang diperbuatnya, jika ia
dipaksa (terpaksa) minum atau meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi
ia tidak mengetahui keadaan sebenarnya tentang apa yang diminumnya,
atau ia minum-minuman keras untuk berobat tetapi kemudian
memabukkannya, sebab orang yang mabuk tersebut ketika melakukan
perbuatannya sedang hilang akal fikirannya, dan dengan demikian maka
hukumnya sama dengan orang gila atau orang tidur.60
Adapun orang yang meminum-minuman keras karena kemauan
sendiri tanpa sesuatu alasan atau meminumnya sebagai obat yang
sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, maka ia harus
bertanggung jawab atas setiap jari>mah yang diperbuatnya selama
mabuknya itu sebagai tindakan pengajaran, baik disengaja maupun tidak
disengaja, karena ia telah menghilangkan akalnya oleh dirinya sendiri.61
C.Tindak Pidana Atas Janin
1. Pengertian Tindak Pidana Atas Janin
Tindak pidana atas janin atau pengguguran kandungan terjadi apabila
terdapat suatu perbuatan maksiat yang mengakibatkan terpisahnya janin dari
ibunya. Terpisahnya (keluarnya) janin kadang-kadang hidup dan kadang-kadang
meninggal. Akan tetapi, terlepas dari hidup atau meninggalnya janin setelah ia
60Ibid., 372.
36
keluar, tindak pidana dianggap sempurna apabila telah terjadi pemisahan janin
dari ibunya, meskipun untuk masing-masing perbuatan dan akibatnya ada
hukumannya tersendiri, karena hukuman tergantung kepada akibat
perbuatannya.62
Perbuatan pengguguran kandungan ada tiga kemungkinan :63
a. Dengan perkataan, seperti gertakan, intimidasi yang kemudian
mengakibatkan gugurnya kandungan.
b. Dengan perbuatan, seperti memukul atau memberi minum obat kepada
perempuan yang sedang mengandung, atau memasukkan benda aneh ke
dalam rahim, sehingga kandungannya menjadi gugur.
c. Dengan sikap tidak berbuat, misalnya tidak memberi makan dan minum
perempuan yang sedang mengandung, sehingga kandungannya menjadi
gugur.
Tindak pidana atas janin atau pengguguran kandungan yang berakibat
meninggalnya janin, sebenarnya dapat digolongkan kepada tindak pidana atas
jiwa (pembunuhan), karena dari satu sisi janin sudah dianggap sebagai makhluk
manusia yang bernyawa. Akan tetapi dalam segi hukum, tindak pidana atas janin
dipisahkan dari tindak pidana atas jiwa (pembunuhan), karena dilihat dari sisi
lain janin walaupun sudah bernyawa, tetapi ia belum bisa hidup mandiri, karena
ia masih tersimpan dalam perut ibunya, dan hidupnya sangat tergantung kepada
ibunya.
37
Dengan demikian, apabila perbuatan tindak pidana tersebut tidak
mengakibatkan gugurnya kandungan, melainkan hanya menghentikan geraknya
atau pernapasannya saja maka menurut pendapat fuqaha yang empat, perbuatan
tersebut tidak dianggap Jinayah atas janin, karena hidup atau meninggalnya janin
yang masih berada dalam perut ibunya masih diragukan, dan pelaku tidak
dikenakan hukuman. Akan tetapi menurut Imam al-Zuhri pelaku tetap harus
dikenakan hukuman, karena jelas ia telah membunuh janin.
Adapun yang dianggap sebagai janin adalah setiap sesuatu yang keluar
dari rahim seorang perempuan yang diketahui bahwa sesuatu itu adalah anak
manusia. Sehubungan dengan itu, menurut Imam Malik pelaku dikenakan
pertanggungjawaban atas setiap sesuatu yang terlepas dari seorang perempuan
yang diketahui bahwa sesuatu itu adalah kandungannya, baik wujudnya sudah
sempurna maupun baru berupa gumpalan (mudghah) atau darah. Akan tetapi
menurut Imam Asyhab salah seorang fuqaha Malikiyah, tidak ada
pertanggungjawaban bagi pelaku apabila yang keluar hanya darah.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, pelaku dibebani
pertanggungjawaban atas sesuatu yang keluar dari rahim seorang perempuan
apabila sesuatu itu telah jelas bentuk wujudnya walaupun belum lengkap.
Apabila sesuatu itu berbentuk gumpalan (mudghah) yang belum jelas wujudnya,
tetapi kata seorang ahli gumpalan tersebut adalah calon manusia maka pelaku
harus dikenakan hukuman.
Sedangkan menurut madhhab Hambali, pelaku dikenakan
38
mengugurkan sesuatu yang berbentuk manusia. Apabila yang keluar belum
berbentuk manusia maka tidak ada pertanggungjawaban pidana atas pelaku,
kecuali apabila ada petunjuk bahwa sesuatu yang keluar adalah janin.
2. Hukuman Untuk Tindak Pidana Atas Janin
Hukuman untuk tindak pidana atas janin berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan akibat dari perbuatan pelaku. Akibat tersebut ada lima macam,
diantaranya sebagai berikut:64
a. Gugurnya kandungan dalam keadaan meninggal
Apabila janin gugur dalam keadaan meninggal, hukuman bagi
pelaku adalah diyat janin, yaitu ghurrah (hamba sahaya) yang nilainya
lima ekor unta. Ghurrah menurut arti asalnya adalah khiya>r (pilihan).
Hamba sahaya disebut ghurrah karena ia merupakan harta pilihan. Dalam
praktiknya, ghurrah (hamba sahaya) dinilai dengan lima ekor unta, atau
yang sebanding dengan itu, yaitu lima puluh dinar, atau lima ratus dirham
menurut Hanafiyah, atau enam ratus dirham menurut jumhur ulama.
Ghurrah berlaku baik untuk janin laki-laki maupun janin
perempuan. Perhitungannya adalah untuk janin laki-laki seperduapuluh
diyat laki-laki, dan untuk janin perempuan sepersepuluh diyat kami>lah
(sempurna) untuk perempuan. Hasilnya tetap sama yaitu lima ekor unta,
karena diyat perempuan adalah separuh diyat laki-laki.
Dalam tindak pidana atas janin yang dilakukan dengan sengaja,
menurut Malikiyah diyatnya diperberat (mughallad{ah), yaitu harus
39
dibayar oleh pelaku dari hartanya sendiri dengan tunai. Sedangkan untuk
tindak pidana atas janin yang dilakukan dengan kesalahan atau
menyerupai sengaja, diyatnya diperingan (mukhaffafah), yaitu dibayar
oleh ‘aqilah (keluarga) atau bersama-sama dengan pelaku.
Apabila janin yang gugur kembar dua atau tiga dan seterusnya
maka diyatnya juga berlipat. Apabila janinnya dua, hukumannya dua
ghurrah (hamba sahaya) atau dua kali lima ekor, yaitu sepuluh ekor unta.
Kalau ibu meninggal setelah dilaksanakannya hukuman, maka dismping
ghurrah (hamba sahaya), pelaku juga dikenakan diyat untuk ibu yaitu lima
puluh ekor unta.
b. Gugurnya Janin dalam Keadaan Hidup Tetapi Kemudian Meninggal
Akibat Perbuatan Pelaku
Apabila janin gugur dalam keadaan hidup tetapi kemudian ia
meninggal akibat perbuatan pelaku, menurut pendapat ulama yang
menyatakan adanya kesengajaan, hukumannya adalah qis{a>s{. Akan tetapi
bagi ulama yang berpendapat tidak ada kesengajaan dalam tindak pidana
atas janin melainkan hannya shibhul ‘amd, hukuman bagi pelaku adalah
diyat kami>lah. Demikian pula menurut pendapat kedua dari kelompok
yang menyatakan adanya kesengajaan (sebagian Malikiyah) dan tindak
pidana yang terjadi karena kesalahan, hukumannya juga adalah diyat
kami>lah. Perbedaan antara diyat sengaja dan menyerupai sengaja serta
kekeliruan, bukan dalam jumlah untanya, melainkan pada sifatnya, yaitu
40
Diyat kami>lah untuk janin berbeda sesuai dengan perbedaan
jenisnya. Untuk diyat laki-laki berlaku diyat laki-laki yaitu seratus ekor
unta, sedangkan untuk diyat janin perempuan berlaku diyat janin
perempuan, yaitu separuh diyat laki-laki (lima puluh ekor unta).
Apabila janin yang gugur kembar maka diyatnya juga berlipat.
Untuk dua janin berlaku dua diyat kami>lah, untuk tiga janin berlaku tiga
diyat kami>lah. Apabila ibu meninggal akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku, di samping diyat janin pelaku juga dikenakan
diyat ibu.
c. Gugurnya Janin dalam Keadaan Hidup Terus atau Meninggal Karena
sebab Lain
Apabila janin gugur dalam keadaan hidup dan ia tetap bertahan
dalam hidupnya atau kemudian ia meniggal karena sebab lain, hukuman
bagi pelaku adalah hukuman ta’zi>r. Hal ini karena meninggalnya janin
tersebut bukan karena perbuatannya. Adapun hukuman untuk
pembunuhan atas janin setelah terpisah dari ibunya adalah hukuman mati,
karena jari>mah yang terjadi adalah melenyapkan nyawa manusia yang
masih hidup.
d. Janin tidak Gugur atau gugur Setelah Meninggalnya Ibu
Apabila karena perbuatan pelaku janin tidak gugur atau ibu
meninggal sebelum kandungannya keluar, atau janin gugur setelah
meninggalnya ibu maka hukumannya bagi pelaku dalam semua kasus ini
41
bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku mengakibatkan
meninggalnya janin, atau menggugurkannya, dan meninggalnya ibu tidak
ada kaitannya dengan hal ini.
e. Tindak Pidana Mengakibatkan Luka pada Ibu, Menyakitinya, atau
Menyebabkan Kematian
Apabila perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak hanya
menggugurkan kandungan, melainkan menimbulkan akibat pada ibu baik
luka potong atau bahkan meninggal maka akibat tersebut harus
dipertanggungjawabkan kepada pelaku, sesuai dengan akibat yang terjadi.
Kalau akibatnya berupa meninggalnya ibu maka disamping ghurrah untuk
janin, juga berlaku hukuman diyat untuk ibu, yaitu lima puluh ekor unta.
Apabila pelaku memukul ibu dengan pukulan yang tidak meninggalkan
bekas, tetapi menggugurkan janinnya dalam keadaan mati, untuk
pemukulan pelaku dikenakan hukuman ta’zi>r, dan untuk pengguguran
kandungannya berlaku diyat janin, yaitu ghurrah lima ekor unta.
Di samping hukuman yang telah disebutkan untuk lima jenis akibat dari
tindak pidana atas janin, terdapat pula hukuman yang lain, yaitu hukuman
kafa>rat. Hukuman kafa>rat ini berla