• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DEKRIMINALISASI ABORSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS DEKRIMINALISASI ABORSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS DEKRIMINALISASI ABORSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN

REPRODUKSI Oleh

MUTIARA PUSPA RANI

Setelah disahkannya Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya dekriminalisasi aborsi yang terdapat di dalam beberapa pasal pada peraturan tersebut. Permasalahan yang dikaji oleh penulis adalah mengapa perlunya dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan apakah faktor penghambat pelaksanaan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematika data. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa perlunya dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Rreproduksi adalah agar terdapat payung hukum bagi pelaku aborsi dan tenaga ahli yang membantunya karena indikasi kedaruratan medis maupun kehamilan akibat perkosaan dan faktor-faktor yang menghambat dekriminalisasi aborsi yaitu faktor hukum itu sendiri yaitu dalam tenggang waktu 40 hari untuk melakukan aborsi, faktor aparat penegak hukum dalam hal pembuktian, faktor sarana atau prasarana bahwa belum adanya dokter khusus, faktor masyarakat mengenai kurangnya pengetahuan masyarakat, serta faktor kebudayaan yang bertentangan dengan kebudayaan timur.

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 27 Oktober 1993, yang

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari kasih sayang Ibundaku

Mahdalena dan Ayahandaku Milizon.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Al-Kautsar Bandar Lampung, yang

diseleaikan pada tahun 2005. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Al-Kautsar

Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008, dilanjutkan dengan Sekolah Menengah

Atas Negeri 10 Bandar Lampung, yang diselesaikan pada tahun 2011, penulis diterima

sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tertulis pada tahun 2011.

Pada bulan Januari sampai Februari tahun 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata

(KKN) Periode I di Desa Sumber Bandung, Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten

(8)

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrobbil’alamin, Segala Puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam, Pemilik

Kerajaan Langit dan Bumi, Penghembus segala kebaikan dalam hidupku.

Kupersembahkan karya kecilku ini kepada orang tuaku tercinta

“Ayahanda

Milizon dan Ibunda Mahdalena

Yang telah membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Semoga Allah SWT mempertemukan kami dan keduanya dalam Jannah-Nya kelak.

Kupersembahkan pula untuk Kedua Adikku Rahmat Zulfikar dan Berlian Adinda

Yang selalu memberikan dukungan kepadaku dikala suka maupun duka.

Karena kasih sayang, perhatian, dukungan,

Pengorbanan serta do’a dari kalian semua yang tiada henti,

Aku dapat mengecap pendidikan di Fakultas Hukum Universita Lampung.

Walau sampai habis umurku, tidak akan pernah mampu

kubalas semua itu dengan apapun di dunia ini,

sebesar apapun nilainya.

Almamater tercinta yang telah mendewasakanku dalam berfikir dan bertindak.

Almamater Hijau yang selalu kubanggakan sebagai saksi bisu perjalananku

(9)

Kata Mutiara

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan

dengan suatu alasan yang benar.”

( Al-Quran Surat Al-Israa’, Ayat 33)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan

ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras

(untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap.”

(Al-Qur’an Surat Al-Insyirah, Ayat 5-8)

(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi

dengan judul “Analisis Dekriminalisasi Aborsi Dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun

2014 tentang Kesehatan Reproduksi” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan,

petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima

kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan

masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran selama proses

perkuliahan dan terutama dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

(11)

perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

6. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan

ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses perkuliahan

dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Bapak Rinaldi Amrullah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah

memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses

perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

8. Ibu Ati Yuniati, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa

memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

9. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., Bapak Dr. M. Faqih, S.H.,M.H., Ibu Wati

Rachmi Ria, S.H., M.Hum., Ibu dr. Asih Hendrastuti, M.Kes., Ibu Retno Ida Riyani,

S. Km, M. Km., Ibu Aci Wina Utami, S.H., yang telah menjadi

narasumber-narasumber, memberikan izin penelitian, membantu dalam proses penelitian dan

penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

10.Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik,

menempa, dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah

di Fakultas Hukum Universitas lampung.

11.Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Ibundaku Mahdalena

dan Ayahandaku Milizon yang telah merawat, membimbing, mendidik, menempa,

dan menyayangiku dari dalam kandungan sampai kapanpun agar penulis dapat

menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan dan melupakan akhirat serta menjadi

(12)

12. Teristimewa pula kepada kedua adikku Rahmat Zulfikar, dan Berlian Adinda yang

selalu memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada penulis, serta menjadi

pendorong semangat agar penulis terus berusaha keras mewujudkan cita-cita dan

harapan sehingga dapat menjadi contoh yang baik bagi mereka berdua.

13.Seluruh keluarga besarku (Om dan Tante, Sepupu, Keponakan) yang telah

memberikan doa, motivasi, dan masukan-masukan agar penulis dapat menyelesaikan

kuliah di Universitas Lampung.

14.Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,

Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terima kasih atas ilmu, doa, motivasi dan

kebaikan yang telah ditanamkan.

15.Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babe Narto atas bantuan dan fasilitas selama

kuliah dan penyusunan skripsi.

16.Sepupu-sepupuku Aci, Ane, Igo, Agung, Eja, Ica, Ncik, Oji, Yay Panji, Abang Andi,

Tiwi, Anjeng, yang selalu memberikan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

17.Sahabat-Sahabatku Putri Cindy Dwiliasari, Jayanti Ulfa, Mizany Aulia, Anisa Ika

Pratiwi, Soraya Nur Seftia, Triadhani Khairunnisa, Shinta Rapika Pratama, Fitri

Soraya Diharani, Suci Antari, Monika Damayanti, Yusi Farida, Widya A.L Putri,

Nurul Arisa Zahrani, Nurulia Desitasari, yang telah menghibur penulis, menemani

disaat susah maupun senang, memberikan semangat dan motivasi tiada henti

semenjak bangku Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini, semoga kebersamaan

(13)

18.Sahabat-sahabat seperjuanganku, Murni Triana, Mia Nasya Tamara, Untari Rachma

Widianti, yang telah menemani, menghibur dan memberikan semangat kepada penulis

semoga kelak kita dapat meraih kesuksesan bersama.

19.Filuzil Fadli Aditya, S.H. yang telah menemani dan memberikan semangat serta

motivasi kepada penulis, merci pluie. Sahabat-sahabat HIMA Pidana, Deswandi,

Zakky, Dopdon, Fitri, Tifani, Aga, Kak Ami, Abdul, Indah, Kresna, Ivan, Grace, Uwi,

Zahra, Sarah, Ais, Aik, Niko, Odi, Fajar, dan semua kawan-kawan Angkatan 2011

Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya

karena keterbatasan media namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dari

penulis kepada kawan-kawan semua. Bersama kalian, kulewati saat-saat manis dan

pahit perjalanan ini. terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.

20.Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih

dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan

satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan

kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan

keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, Februari 2015

Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... .1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup ... .8

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... .8

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E.Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum tentang Aborsi ... 16

1. Aborsi dan Jenis-Jenisnya ... 16

2. Faktor Penyebab Melakukan Aborsi ... 18

B. Tinjauan Dekriminalisasi Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 ... 20

C.Pengaturan Aborsi Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 24

D. Aborsi Ditinjau Dari HAM dan Agama ... 29

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 35

B.Sumber Data ... 36

C.Penentuan Narasumber ... 37

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

(15)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasuber ... 40

B. Perlunya Dekriminalisasi Aborsi dalam Peraturan Peerintah No. 61

Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ... 42 1. Pengaturan aborsi dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan ... 47 2. Pengaturan aborsi dalam Peraturan Pemerintah

No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ... 50

C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Dekriminalisasi Aborsi

Dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014

tentang Kesehatan Reproduksi ... 57

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa

yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan kepada setiap

manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh Pemberi

kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang

kehidupan manusia karena aborsi erat kaitanya dengan wanita dan janin yang ada

di dalam rahim wanita tersebut.

Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum

resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun

disiplin ilmu lain. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin

memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku

pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku

maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut

norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa.

Aborsi merupakan salah satu hal yang kontroversial dan menyakitkan dalam

masyarakat modern. Kontroversi utama berkisar pada pertanyaan-pertanyaan yang

membuat keputusan tentang aborsi, individu atau negara dalam keadaan apa

(17)

2

baru dalam masyarakat, sebuah studi oleh antropolog George Devereux,

menunjukkan bahwa lebih dari 300 kontemporer masyarakat nonindustrial

manusia mempraktekkan aborsi.1 Perempuan telah melakukan aborsi pada diri

mereka sendiri atau aborsi yang berpengalaman di tangan orang lain selama

ribuan tahun dan aborsi terus terjadi hari ini dalam pengembangan wilayah di

bawah kondisi medis primitif. Namun, teknologi modern dan perubahan sosial

telah membuat aborsi sebuah bagian dari perawatan kesehatan modern. Pada saat

yang sama, aborsi telah menjadi isu politik di beberapa masyarakat dan titik nyala

untuk perbedaan pendapat tentang peran perempuan dan otonomi individu dalam

keputusan-keputusan hidup.2

Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman,

70.000 wanita meninggal akibat hal tersebut, 1 dari 8 kematian itu disebabkan

oleh aborsi tidak aman.3 Aborsi dapat dikatakan sebagai pengguguran kandungan

yang di sengaja dan saat ini menjadi masalah yang hangat diperdebatkan.

Pengertian aborsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) aborsi

didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan aborsi sebagai

melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi

yang dikandung itu).4

1

http://www.academia.edu/4464173/aborsi (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 23:00 WIB)

2

http://pengertiandefinisiarti.blogspot.com/2012/03/pengertian-definisi-aborsi_29.html (diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 20:30 WIB)

3

Idayu Kristianti. Aborsi. Jakarta. Pinus. Hlm. 21 4

(18)

Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan serta teknologi, sebagaimana

era saat ini, masalah aborsi tetap menjadi masalah krusial bahkan menjadi

fenomena politik dalam sejarah manusia modern. Status hukum aborsi pada era ini

diperjelas dengan argumentasi yang konstruktif. Hampir setengah dari kehamilan

yang tidak diharapkan berakhir dengan aborsi. Sementara itu, kendati dilarang,

baik oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang (UU),

maupun fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau majelis tarjih

Muhammadiyah, praktik aborsi (pengguguran kandungan) di Indonesia tetap

tinggi dan mencapai 2,5 juta kasus setiap tahunnya dan sebagian besar dilakukan

oleh para remaja.5

Aborsi atau pengguguran kandungan identik dengan hal-hal yang negatif

dimasyarakat luas. Aborsi merupakan salah satu tindakan tercela yang

bertentangan dengan norma agama dan norma hukum yang berkembang dalam

kehidupan bermasyarakat. Namun, dalam kata lain tindakan aborsi ada kalanya

merupakan arahan yang disarankan oleh petugas kesehatan demi kondisi

kesehatan ibu hamil yang lebih baik.

Masalah Aborsi erat kaitannya dengan hak setiap individu dalam menjalani proses

reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan.

Disisi lain, kondisi janin yang berada dalam kandungan juga berhak untuk terus

hidup dan mengalami tumbuh kembang. Jika aborsi yang dilakukan adalah

tindakan kriminalis tentu saja hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan

hukum di Indonesia.

5

(19)

4

Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus─embrio,

atau fetus yang belum dapat hidup.6 Aborsi dilarang jika pelaksanaannya terjadi

sesudah janin terbentuk atau sudah mendapatkan nyawa, yakni sejak ada

tanda-tanda pergerakan janin (quickening). 7 Istilah aborsi atau abortus secara

kebahasaan berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau

membuang janin. Dalam terminologi kedokteran berarti terhentinya kehamilan

sebelum 28 minggu. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil konsepsi dari

rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).8

Aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak

pidana. Namun, dalam hukum positif Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah

kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus provokatus medicialis.

Sedangkan aborsi yang digerenalisasi menjadi suatu tindak pidana disebut

abortus provokatus criminalis.9

Perkembangan berikutnya masalah aborsi ini menjadi kontroversi sejak

diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi pada tanggal 21 Juli 2014. Beberapa pasal yang menjadi polemik

adalah Pasal 31 dan Pasal 34, yang menyatakan adanya legalisasi terhadap

tindakan aborsi.

Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014:

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

6

Dorland, Kamus Kedokteran Edisi 29, (Jakarta : EGC, 2002)

7

CB. Kusmaryanto, scj., Kontroversi Aborsi, cet. II (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 27.

8

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta: PT. Ikhtisar Baru Van Hoev, 1996), hlm. 7.

9

(20)

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014:

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Kemunculan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 menimbulkan sutau

dekriminalisasi terhadap aborsi dengan 2 (dua) syarat yang terdapat di dalam

Pasal 31 dan Pasal 34 peraturan tersebut. Dekriminalisasi yaitu penggolongan

suatu perbuatan yg pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi

kemudian dianggap sebagai perilaku biasa. Peraturan ini juga beresiko melahirkan

pihak yang memanfaatkan legalisasi terbatas untuk mengaborsi anak korban

perzinahan. Hal itulah yang menjadi poin utama untuk dicegah guna menghindari

pasangan muda yang tak sah melakukan aborsi. Peraturan pemerintah tersebut

dinilai memberi peluang kepada pasangan yang melakukan hubungan tidak sah

untuk tidak punya anak dan hal ini dapat berdampak pada meningkatnya perilaku

perzinahan.

Pihak yang tidak setuju menyatakan bahwa aborsi yang dimaksud dalam

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 melanggar Pasal 338

(21)

6

338, Pasal 346, Pasal 348 dan Pasal 349 KUHP adalah pasal yang melarang aborsi

dengan sanksi hukum berat. Peraturan Pemerintah ini memang mendapatkan

dukungan dari beberapa lembaga keagamaan. Beberapa argumentasi ini

barangkali bisa dijadikan referensi terhadap dukungan itu. Dalam agama Islam,

misalnya didasarkan pada argumentasi bahwa baru pada usia 4 bulan roh

seseorang dihembuskan. Dalam agama Buddha, masih diizinkan adanya aborsi

karena bagi mereka kesadaran menjadi kunci keutuhan manusia. Itu berarti sejak

syaraf otak terbentuk baru hak hidupnya tidak bisa diganggu gugat. Dalam

beberapa argumentasi lain, bahkan dengan prinsip otonomi, kehidupan individu

bahkan diakui baru sesudah dilahirkan.10

Lepas dari alasan-alasan teologis dan juga filosofis tersebut, para embriolog

modern biasanya mengakui bahwa hidup dimulai sejak selesainya proses

pembuahan. Dengan energi yang berasal dari dalam dirinya sendiri, embrio terus

berkembang, meskipun pasokan sumber energi berasal dari induknya. Hal ini

kemudian mendorong tokoh-tokoh dari 6 lembaga agama di Indonesia

menandatangani pernyataan bahwa hak hidup seseorang mesti dijamin sejak

selesainya pembuahan.

Mengorbankan anak dalam rangka menghindari rasa trauma juga tidak bisa

dibenarkan secara moral. Bagaimanapun, yang pantas mendapatkan hukuman di

sini adalah pihak pemerkosanya, bukan anaknya. Maka yang perlu diatur tentu

saja adalah bagaimana hukuman terhadap pelaku perkosaan. Untuk

memperjuangkan hak hidup sang ibu, janin yang ada dalam kandungannya

10

(22)

terpaksa dikorbankan. Meskipun bisa ditolerir, alasan ini sebenarnya mengandung

kelemahan karena janin dalam keadaan tanpa pembelaan sama sekali. Apabila

diibaratkan, ketika seorang militer yang punya senjata kemudian melawan anak

kecil sipil, jelas tidak bisa dibenarkan secara moral kalau sampai membunuh.

Tetapi, karena hal ini mengindikasikan dengan nyawa sang ibu terancam, tindakan

itu masih bisa dipertanggungjawabkan secara moral sedangkan dalam kasus

perkosaan, intensinya ada dua, menghindarkan korban dari rasa malu dan

menghindarkan korban dari rasa trauma. Jika tujuan langsungnya hanya sekedar

menghindari rasa malu, jelas alasan ini sangat lemah untuk diterima secara moral.

Hidup seorang anak tidak bisa ditukar dengan harga diri.11

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dilihat bahwa masih terdapat

banyak pertentangan mengenai legalisasi aborsi terhadap korban pemerkosaan.

Hal ini dapat dilihat dari adanya pihak-pihak yang mendukung dilakukannya

legalisasi aborsi, dan di lain pihak ada pandangan yang kontra tehadap legalisasi

aborsi.Terdapat satu persoalan yang perlu mendapat jawaban dan penjelasan yaitu

tentang pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam tindak pidana aborsi. Sehingga

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Dekriminalisasi Aborsi Dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang

Kesehatan Reproduksi”.

11

(23)

8

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Mengapa diperlukannya dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah

No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ?

b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan dekriminalisasi aborsi dalam

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang ilmu hukum pidana

mengenai pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61

Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi di wilayah Bandar Lampung,

penelitian dilaksanakan pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui tujuan dari dekriminalisasi mengenai tindak pidana aborsi

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam Peraturan Pemerintah No. 61

(24)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis :

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah untuk menambah pengetahuan

dan pengkajian ilmu hukum serta mengembangkan kemampuan berkarya

ilmiah dan acuan yang sesuai dengan disipin ilmu penulis. Penelitian ini pula

dapat digunakan untuk mengetahui isi dan makna Peraturan Pemerintah No. 61

Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya mengenai kelegalan

dalam aborsi.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi

aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum

khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada

umumnya juga bagi aparat penegak hukum dalam memahami dan

melaksanakan peraturan dekirminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No.

(25)

10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.12

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

Pasal 31 Peraturan Peemrintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Teori Dekriminalisasi adalah penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya

dianggap sebagai suatu tindak pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku

biasa.13 Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang

dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam

Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan

12

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. 2010. hlm.125.

13

(26)

dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut

melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan

hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Dalam proses dekriminalisasi ini tidak hanya kualifikasi pidana saja yang

dihapuskan, tetapi juga sifat melawan hukum atau melanggar hukumnya, lebih

dari itu penghapusan sanksi negatif itu tidak diganti dengan reaksi social lain baik

perdata maupun administrasi.14 Penelitian kriminogi dalam proses dekriminalisasi

diperlukan untuk menentukan apakah perbuatan itu layak didekriminalisasikan

dan bagaimana kemungkinannya di masa yang akan datang.15

Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti, contoh

ini tidak bersifat limitatif,:

1. Suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.

2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.

3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.

4. Sangat terbatasnya evektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannnya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum. 16

14

Djoko Prakoso. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. 1987. Hlm. 154

15

Agus Raharjo. Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2002. Hlm. 56

16

(27)

12

Untuk menjawab permasalahan kedua menggunakan teori Soerjono Soekanto.

Terdapat beberapa faktor menurut Soerjono Soekanto yang diperlukan agar

penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, faktor-faktor tersebut adalah :

1. Faktor hukum itu sendiri

Maksud faktor hukum disini adalah peraturan tertulis dalam bentuk undang-undang sebagai landasan dalam proses penegakan hukum guna melindungi korban dari segi hukum pidana.

2. Faktor penegak hukum

Penegak hukum yaitu mereka yang secara langsung maupun tidak langsung berkecimpung dalam upaya menjalankan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah yang sah.

3. Faktor sarana atau fasilitas

Upaya penegakan hukum juga sangat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas tertentu untuk mendukung kelancaran tugas suatu lembaga yang akan menangani penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tersebut, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. 4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai peranan penting dalam upaya penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan sangat penting karena penegakan hukum terutama hukum pidana berasal dari masyarakat, dan tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.

5. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan adalah sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 17

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan atau

menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang

berkaitan dengan istilah.18 Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok

permasalahan, maka di bawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang

dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan

diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

17

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1983. hlm.4-5.

18

(28)

a. Analisis yaitu memecah atau menguraikan suatu keadaan atau masalah

kedalam beberapa bagian atau elemen dan memisahkan bagian tersebut untuk

dihubungkan dengan keseluruhan atau dibandingkan dengan yang lain.19

b. Dekriminalisasi yaitu penggolongan suatu perbuatan yg pada mulanya

dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku

biasa.20

c. Aborsi pada dasarnya merupakan perbuatan menggugurkan kandungan atau

dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah Abortus, yaitu pengeluaran hasil

konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar

kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum

diberi kesempatan untuk bertumbuh.21

d. Abortus artificalis therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas

dasar indikasi medis, yakni apabia tindakan abortus tidak diambil bisa

membahayakan jiwa ibu. Sedangkan abortus provocatus criminalis adalah

abortus yang dilakukan untuk melenyapkan janin dalam kandungan akibat

hubungan seksual di luar pernikahan atau mengakhiri kehamilan yang tidak

dikehendaki.22

19

Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. 1997. hlm. 276.

20

http://kbbi.web.id/dekriminalisasi (Diakses pada tanggal 3 Januari 2015 pada pukul 20:00 WIB)

21

Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Medika Aesculpalus. FK UI. 2004. Hlm.15

22

(29)

14

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis menguraikan secara garis

besar keseluruhan sistematika materi skripsi ini sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah,

permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis

dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat dan membahas tentang pengantar pemahaman pada

pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis

yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang

berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar

dalam bab ini adalah menjelaskan tentang Tinjauan umum tentang aborsi dan

tinjauan tentang dekriminalisasi aborsi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisi pembahasan mengenai metode penelitian yang digunakan, yang

terdiri dari : pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan

dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung

(30)

pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun

2014 tentang Kesehatan Reproduksi, serta faktor penghambat pelaksanaan

pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun

2014.

V. PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan diberikan sehubungan dengan

temuan dari penelitian yang dilakukan berkaitan dengan dekriminalisasi aborsi

dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Sedangkan saran diberikan sebagai masukan bagi masyarakat dan instansi

(31)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Aborsi

1. Pengertian Aborsi dan Jenis-jenisnya

Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu

dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak.

Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda (sebelum bulan ke empat masa

kehamilan).23 Secara medis, aborsi adalah berakhir atau gugurnya kehamilan

sebelum kandungan mencapai usia 20 minggu, yaitu sebelum janin dapat hidup di

luar kandungan secara mandiri.24 Istilah aborsi atau abortus secara kebahasaan

berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau membuang janin.

Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum

waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).25

Tindakan aborsi mengandung risiko yang cukup tinggi, apabila dilakukan tidak

sesuai standar profesi medis. Menggugurkan kandungan atau dalam dunia

kedokteran dikenal dengan istilah abortus. Berarti pengeluaran hasil konsepsi

(pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.

Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan

23

http://www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm ( diakses pada tanggal 16 september 2014 pukul 17:00 WIB)

24

Eny Kusmiran, S.Kp., M.Kes. Op.cit. Hlm.49.

25

(32)

untuk bertumbuh. Dari segi medis menurut Sofoewan aborsi atas indikasi medis

disebut juga aborsi terapeutik, yaitu aborsi yang dilakukan sebelum janin mampu

hidup demi untuk kesehatan ibu:

1) untuk menyelamatkan jiwa ibu 2) melindungi kesehatan ibu

3) janin cacat berat sehingga tidak mampu hidup 4) kehamilan yang tidak mampu hidup

5) pengurangan janin pada kehamilan ganda

6) kehamilan sangat merugikan kesehatan fisik dan mental ibu

7) bayi yang akan dilahirkan akan menderita kelainan fisik dan mental, atau 8) kehamilan sebagai akibat dari perkosaan dan incest. 26

Aborsi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abortus spontaneous dan

abortus provocatus. Abortus spontaneous (yang tidak disengaja) terjadi apabila

ibu mengalami trauma berat akibat penyakit menahun, kelainan saluran

reproduksi, atau kondisi patologis lainnya. Abortus provocatus (buatan) ialah

pengguguran kandungan yang dilakukan secara sengaja.27

Abortus provocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu abortus artificalis therapicus

dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificalis therapicus adalah abortus

yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabia tindakan

abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu. Sedangkan abortus

provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan untuk melenyapkan janin

dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan atau mengakhiri

kehamilan yang tidak dikehendaki.28

26

Sulchan Sofoewan, “Kapan Dimulainya Kehidupan, Tahap-Tahap Kehidupan Janin Dalam

Kandungan Dan AborsiLegal Persepktof Medis”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Aborsi

Legal di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang

Berkembang dalam Masyarakat”, Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana FH UAJY, 24 Februari 2005, hlm. 4.

27

Eny Kusmiran, S.Kp., M.Kes.Op.cit. Hlm.49.

28

(33)

18

Dampak mengerikan aborsi ilegal menurut Adi Utarini adalah:

1. Jika dilakukan menggunakan alat-alat tidak standar dan tajam misalnya lidi, ranting pohon, atau yang lainnya, maka resiko rahim robek atau luka besar sekali.

2. Rahim yang lebih dari 3 kali di aborsi beresiko jadi kering, infeksi, atau bahkan memicu tumbuhnya tumor

3. Aborsi ilegal yang dilakukan oleh orang yang tidak ahli, dapat menyebabkan proses kuretasi tidak bersih hingga menjadi pendarahan hebat.

4. Peralatan yang tidak steril akan memicu munculnya infeksi di alat reproduksi wanita, bahkan sampai ke usus.

5. Bagi pelaku, rasa berdosa yang timbul karena aborsi dapat menyebabkan mereka menderita depresi, berubah kepribadiannya jadi introvert, serta sering tak bisa menikmati hubungan seksual jika telah menikah

6. Jika pelaku aborsi kelak hamil kembali dengan kehamilan yang diinginkan, maka kehamilan tersebut ada kemungkinan besar akan bermasalah, atau janin dapat mengalami masalah pada mata, otak atau alat pencernaannya. 29

2. Faktor Penyebab Melakukan Aborsi

Adapun yang menjadi alasan seorang wanita memilih terminasi kehamilan atau

melakukan aborsi yaitu antara lain :

1. Faktor ekonomi

Telah cukup anak dan tidak mungkin dapat membesarkan seorang anak lagi.

Dimana dari pihak pasangan suami istri yang sudah tidak mau menambah anak

lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau dapat

juga karena kontrasepsi yang gagal. Atau ingin konsentrasi pada pekerjaan untuk

menunjang kehidupan dengan anaknya.

29

(34)

2. Faktor penyakit herediter

Janin ternyata telah terekspos oleh substansi teratogenik, di mana ternyata pada

ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan mendapat kenyataan

bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik, atau wanita yang hamil

menderita penyakit jantung yang berat (kronik), serta karena ingin mencegah

lahirnya bayi dengan cacat bawaan.

3. Faktor psikologis

Seseorang yang hamil diluar pernikahan, dimana pada para perempuan korban

pemerkosaan yang hamil harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para

perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak

perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup

rumah tangganya. Atau ayah anak yang dikandungnya bukan suaminya. Dapat

juga karena ada masalah dengan suami.

4. Faktor usia

Dimana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa &

matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus

membangun suatu keluarga yang prematur. Atau ayah anak yang dikandung

bukan pria/suami yang diidamkan untuk perkawinannya. Atau juga karena ingin

menyelesaikan pendidikan. Atau merasa trerlalu tua/muda untuk mempunyai

(35)

20

5. Faktor penyakit ibu

Dimana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus,

seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu. Atau

sang ibu terinfeksi HIV.

6. Faktor lainnya

Seperti para pekerja seks komersial, pasangan yang belum menikah dengan

kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah

bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil. atau gagal metode

kontrasepsi. Penyebab lain karena suami menginginkan aborsi.30

B.Tinjauan tentang Dekriminalisasi Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

Dekriminalisasi adalah suatu proses penghapusan sama sekali sifat dapat

dipidananya suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana dan juga

penghapusan sanksinya berupa pidana.31Masalah dekriminalisasi atas suatu

perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa

Indonesia, yaitu sejumlah mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak

bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan

oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam

menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

30

http://www.masbied.com/search/latar-belakangterjadinya-abortus-di-indonesia (diakses pada tanggal 14 November 2014 pukul 08:00 WIB)

31

(36)

Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti, contoh

ini tidak bersifat limitatif,:

1. Suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.

2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.

3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.

4. Sangat terbatasnya evektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannnya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum. 32

Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di

Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan

peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam

hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam

masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini

diperlukan sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada

kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan

masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang sebagai alat pendorong

kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak

bekerja secara efektif , sering dimanipulasi , bahkan jadi alat (instrumen efektif)

bagi penimbunan kekuasaan.33

Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terdapat peraturan

yang diperbolehkannya seseorang melakukan aborsi dengan dua syarat yaitu

32

Soerjono Soekanto dkk. Kriminologi, Suatu Pengantar. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1986. Hlm. 47-48.

33

(37)

22

karena adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang

dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Yang menjadi

sorotan mengenai dekriminalisasi aborsi disini adalah Pasal 75 Undang-Undang

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa pada dasarnya aborsi dilarang, akan

tetapi terdapat pengecualian, yang mana salah satunya adalah jika kehamilan

tersebut akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban

perkosaan.

Pasal 75 UU Kesehatan:

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dan Ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75,

dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

juga menyatakan bahwa tindakan aborsi diperbolehkan bagi kehamilan akibat

korban perkosaan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang

Kesehatan Reproduksi telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada

21 Juli 2014. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 36

(38)

Bagian yang menjadi sorotan adalah legalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah

tersebut, yang berbunyi:

Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukanapabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Mengenai kehamilan akibat korban perkosaan, hal tersebut dapat dilakukan

apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak

hari pertama haid terakhir. Sementara yang dimaksud indikasi kedaruratan medis

adalah: a. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b.

Kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita

penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki

sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Penilaian atas

indikasi medis dilakukan oleh paling sedikit terdiri dari 2 orang tenaga kesehatan,

yang diketuai dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.34

34

(39)

24

Berdasarkan uraian di atas, jika aborsi tersebut dilakukan atas indikasi

keadaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma

psikologis, maka pelaku aborsi tidak dapat dituntut pidana. Akan tetapi jika aborsi

tersebut bukan termasuk ke dalam pengecualian dalam Pasal 75 Ayat (2)

Undang-Undang Kesehatan, maka pelaku aborsi dapat dituntut pidana sebagaimana

terdapat dalam Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat (2) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.”

C. Pengaturan Aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Selain dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun

2014 tentang Kesehatan Reproduksi, pengaturan tentang aborsi juga terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai

hukum pidana umum (Lex Generalie), regulasi tentang pengguguran kandungan

yang disengaja (abortus provocatus) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) diatur dalam buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan

khususnya Pasal 299, Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan

digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian

tentang pengaturan abortus provocatus yang terdapat dalam masing-masing pasal

tersebut:

Pasal 299 :

(40)

penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.

(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346 :

“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya

atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling

lama empat tahun. “

Pasal 347 :

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348:

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 :

(41)

26

Beradasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsur-unsur

tindak pidana adalah sebagai berikut:

1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan aborsi atau menyuruh orang

lain, diancam hukuman 4 (empat) tahun penjara.

2. Seseorang yang sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil, dengan tanpa

persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika

ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.

3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara

dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.

4. Jika yang membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau

juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan

hak untuk berpraktik dapat dicabut.

Pasal-Pasal dalam KUHP tersebut dengan jelas tidak memperbolehkan suatu

aborsi di Indonesia. KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus

provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang,

termasuk didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan

korban perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342

KUHP adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga

dalam pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan

suatu pembunuhan terahadap anak.

Menurut Soewadi, aborsi berdasarkan indikasi medis atau aborsi terapeutik dapat

dilakukan jika kehamilan yang mengakibatkan resiko bagi kehidupan perempuan

(42)

bayi yang akan dilahirkan (pertimbangan eugenik) dan perkosaan dan incest

(pertimbangan yuridis). 35 Apabila pengaturan hukum tentang aborsi yang

dimungkinkan atau seharusnya berlaku di Indonesia diharmonisasikan dengan

konsep aborsi terapeutik sebagaimana diutarakan di atas, maka aborsi legal di

Indonesia tidak hanya terbatas pada aborsi berdasarkan indikasi medis untuk

menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat, tetapi lebih luas lagi mencakup

beberapa alasan aborsi terapeutik baik dari segi medis maupun psikiatri yaitu:

kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan hamil mengalami gangguan

jiwa berat, dan janin mengalami cacat bawaan berat.

Adanya legalitas aborsi bagi perempuan korban perkosaan dengan KUHP

berimplikasi pada tidak berlakunya pertanggungjawaban pidana pada perempuan

korban perkosaan yang melakukan aborsi sebab terdapat unsur pemaaf dan unsur

pembenar baginya dalam melakukan perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban

pidana hanya menuntut adanya kemampuan bertanggungjawab pelaku. Pada

prinsipnya pertanggungjawaban pidana berbicara mengenai kesalahan

(culpabilitas) yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, yang

mendalilkan bahwa tidak ada pidana jika tanpa kesalahan.

Menurut Muladi, diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai

penegakannya (enforceability) yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang

dibentuk harus memenuhi kriteria, yaitu:

a. Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis terencana:

35

H. Soewadi, “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta

(43)

28

b. Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi;

c. Legal certainty, bahwa hukum harus memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;

d. Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan

perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;

e. Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat

dipertangggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya; f. Veribility, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang

siap uji secara objektif;

g. Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati;

h. Provability; bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.36

Harmonisasi pengaturan hukum tentang aborsi ini membawa konsekuensi lebih

lanjut berupa dekriminalisasi dan depenalisasi dalam pengaturan hukum pidana

berkaitan dengan aborsi yang akan direalisasikan dalam kebijakan formulasi,

aplikasi dan eksekusi untuk memenuhi asas lex certa dalam hukum pidana. Hal ini

diperlukan karena ketiga alasan aborsi aman, yaitu kehamilan akibat perkosaan

dan incest, perempuan hamil yang mengalami gangguan jiwa berat, dan janin

yang mengalami cacat bawaan berat, di dalam ius constitutum merupakan

perbuatan pidana karena itu dilarang dan diancam dengan pidana, namun dalam

ius constituendum meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tetap bersifat melawan

hukum, perempuan hamil dan tenaga medis yang membantu melakukan aborsi

tidak dipidana karena tidak mempunyai kesalahan berdasarkan pengecualian

berupa alasan pemaaf sebagai alasan penghapusan pidana yang bersumber dari

Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht) dan kondisi darurat

(noodtoestand). Penerapan Pasal 48 KUHP terhadap ketiga alasan aborsi tersebut

36

(44)

dilandasi oleh teori perlindungan hukum yang seimbang yang bersumber pada

Pancasila, yang dapat diukur dengan ide yaitu justice yang memuat konsep iustitia

distributive.37 Konsep iustitia distributive tersebut dengan jelas menggambarkan

dua hal, yaitu kewajiban pemerintah untuk membagikan kesejahteraan kepada

warga negaranya dan hak warganegara untuk memperoleh kesejahteraan dari

pemerintah. Konsep iustitia distributive jelas terlihat di dalam pernyataan pada

alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang memuat salah satu tujuan didirikannya

Negara Republik Indonesia dan menjadi landasan politik hukum Indonesia yaitu :

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”.

D. Aborsi Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia dan Agama

Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk

hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak-hak tersebut

diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Pengaturan mengenai

hak-hak hidup tersebut telah jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, serta

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa hak untuk hidup tercantum

sebagai salah satu hak asasi yang dijelaskan dalam BAB XA tentang Hak Asasi

Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen yaitu:

Pasal 28A UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya.”

37

(45)

30

Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Hak hidup juga merupakan hak setiap anak yang masih berada dalam janin sang

ibu, maka apabila aborsi dilakukan tanpa ada alasan yang jelas itu sama saja

merampas nyawa anak yang tidak bersalah. Hal tersebut juga telah diatur dalam

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 53 Ayat (1) sebagai

berikut :

“Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan

hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.”

Pasal 28I Ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak

asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Selaras dengan dasar

negara Pancasila, maka dalam negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah

mahluk yang hakekat dan martabatnya harus dihormati. Apabila ditinjau dari

perspektif Hak Asasi Manusia, seorang wanita mempunyai hak untuk memperoleh

pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang

sangat mendasar, namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang

wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

(46)

Ayat (2). Sehingga, meskipun seseorang mempunyai hak untuk menggugurkan

kandungan, akan tetapi hal tersebut juga dibatasi oleh hak janin untuk hidup.

Pasal 28A menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak asasi, termasuk hak untuk hidup,

berkembang, dan diakui, sehingga apabila ditinjau dari perspektif hak asasi

manusia, aborsi pada dasarnya tidak dapat diizinkan, meskipun harus dilakukan

suatu tindakan aborsi hal tersebut dapat dilakukan karena keadaan yang sangat

membahayakan nyawa sang ibu dan telah disimpulkan oleh ahli yang kompeten,

maka aborsi dapat dilakukan. Selain itu apabila dipandang dari kacamata agama,

di dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara khusus hukum

aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa orang tanpa hak,

sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar (Qs. An Nisa’: 93) “

Berdasarkan Hadist, aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa)

ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan

masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan

keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan

(47)

32

mengharamkannya.38 Haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya

ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah

4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah

Saw telah bersabda:

Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40

hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh

kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].

Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena

berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam

kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil

syar’i berikut. Firman Allah SWT:

ل

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar [518]". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami (nya).

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang

bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti

aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

38

(48)

Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40

malam adalah hadits Nabi Saw berikut:

Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah

mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang

belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia

(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah

kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan

anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam. Dengan

demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin

yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya

(ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan

terhadapnya, sehingga apabila dipandang dari agama yang dalam hal ini agama

Islam, tindakan aborsi sangat dilarang terlebih ketika janin sudah memasuki umur

40 hari, karena berdasarkan Hadist-Hadist di atas bahwa ketika janin memasuki

umur 40 hari saat itu telah ditupkannya ruh, dan apabila tindakan penggguguran

kandungan dilakukan maka hal tersebut sama saja membunuh janin yang

bernyawa. Dalam Islam, tindakan aborsi dapat dilakukan apabila hal tersebut

benar-benar dibutuhkan untuk melindungi nyawa sang ibu atau karena alasan

kesehatan lain yang mengharuskan suatu pengguguran kandungan, selain dari hal

itu aborsi haram hukumnya. Hal tersebut dikarenakan setiap janin yang ada di

dalam rahim sang ibu adalah pemberian dari Allah SWT, terlepas apakah

kehamilan tersebut karena suatu kehamilan akibat perkosaan, ataupun karena

suatu perbuatan zina, tidak ada pembenaran untuk melakukan suatu tindakan

(49)

34

kompeten untuk melakukan suatu tindakan aborsi, hal ini didasari pada firman

Allah, yaitu:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),

melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. “ (Q.S. Al Israa’: 33)

Sama halnya dengan agama Islam, agama Hindu, agama Buddha dan agama

Kristen juga melarang akan suatu tindakan aborsi yang tidak didasari oleh suatu

pembenaran yang kuat. Dalam agama Hindu misalnya, aborsi dalam Theology

Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa karma” yakni salah

satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan

menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai

“menghilangkan nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada

dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum

sempurna seperti tubuh manusia. Larangan serupa pula diatur di dalam agama

Buddha maupun Kristen, sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap agama sangat

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Akhir ini berjudu l “Analisis Pengaruh Earning Per Share dan Operation cash flow Terhadap Deviden Payout Ratio Pada Perusahaan Sektor Infrastruktur Yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk NPK (16:16:16) berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi bibit dan diameter pangkal batang umur 60 dan 90 HST, luas

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima Tunjangan Komunikasi Intensif dan Pimpinan DPRD yang telah menerima Dana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan

diversifikasi produk untuk olahan ikan bandeng antara lain bandeng goreng cabut duri, bandeng kentucky, otak-otak bandeng, abon ikan bandeng, abon duri ikan

Hal yang melatar belakangi perancangan interior restoran Ikan Bakar Makassar adalah pesatnya perputaran roda ekonomi di Yogyakarta khususnya bidang kuliner.. Restoran

Sejalan dengan eksistensi dari Industri Sarung Tenun Samarinda di Kecamatan Samarinda Seberang ini, menyebabkan terjadinya perubahan atau pengalihan fungsi ruang dalam dari

Evaluasi postur kerja dilakukan dengan perekaman aktivitas atau pencatatan posisi kerja, setelah itu dilakukan analisis postur kerja sebelum dilakukan perbaikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan sikap kerjasama siswa dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS materi mengenal perkembangan