HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU KEPATUHAN PENGOBATAN PADA PENDERITA DIABETES
MELLITUS DI PUSKESMAS RANGKAH SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Firani Dwi Putri B07212049
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
INTISARI
Judul : Hubungan Kontrol Diri Dengan Perilaku Kepatuhan Pengobatan Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Puskesmas Rangkah Surabaya
Nama : Firani Dwi Putri
NIM : B07212049
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara Kontrol Diri dengan Perilaku Kepatuhan Pengobatan pada penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Rangkah Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional dengan metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasional Product Momen. Sedangkan perhitungan dilakukan dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 16.00. koefisien korelasi yang diperoleh yaitu sebesar 0,987 dengan taraf signifikansi 0,01 (2-tailed) . Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala kontrol diri dan skala perilaku kepatuhan pengobatan. Subjek penelitian ini adalah pasien yang menjalani rawat jalan di Puskesmas Rangkah Surabaya, sampel yang diambil berjumlah 60 sampel dari jumlah rata-rata populasi 604, melalui teknik pengambilan sampling yaitu accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan signifikansi sebesar 0,000. Karena 0,000 < 0,05 maka Ha diterima, dan Ho ditolak. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kontrol diri dengan kepatuhan pengobatan pada penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Rangkah Surabaya.
xiii ABSTRACT
The purpose of this research is to know whether there is the relationship between self-control with the behavior compliance treatment in people with Diabetes Mellitus in Puskesmas Rangkah Surabaya. The research is research quantitative correlational with the method of analysis the data used was analysis of correlational product moment. While calculation done with the program statistical product and service solution (SPSS) for windows version 16.00. A correlation coefficient obtained is as much as 0,987 with the economic situation of significance 0.01 ( 2-tailed ). This research using a technique data collection of scale self-control and scale of behavior compliance treatment. The subject of study this is patients who underwent outpatient at Puskesmas Rangkah Surabaya, samples to be taken were 60 sample than the average number of population 604, through technique the sampling namely accidental sampling. The research results show significance of 0,000. Because 0,000 < 0.05 so ha accepted , and ho rejected. It means there are a significant relation exists between self-control with compliance treatment in people with Diabetes Mellitus in Puskesmas Rangkah Surabaya.
3. Cara Mengurangi Ketidakpatuhan ...20
4. Cara Meningkatkan Kepatuhan...21
5. Aspek-aspek Kepatuhan...24
B. Kontrol Diri...24
1. Pengertian Kontrol Diri...24
2. Faktor-faktor Kontrol Diri ...27
3. Aspek-aspek Kontrol Diri ...29
C. Hubungan Kontrol Diri dengan Kepatuhan Pengobatan ...31
D. Kerangka Teoritik ...33
E. Hipótesis ...35
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional ...36
a. Variabel Penelitian...36
b. Definisi Operasional ...36
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ...37
C. Teknik Pengumpulan Data...40
D. Validitas dan Reliabilitas ...41
viii BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Subjek ...51
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data...54
1. Deskripsi Responden ...54
2. Deskripsi Data...56
3. Validitas Data...59
4. Reliabilitas Data...63
C. Hasil Penelitian ...65
D. Pembahasan ...69
BAB V PENUTUP A. Simpulan ...75
B. Saran ...75
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Try Out Skala Kontrol Diri...42
Tabel 3.2 Hasil Seleksi Aitem Skala Kontrol Diri pada Subjek Try Out...43
Tabel 3.3 Blue Print Try Out Skala Kepatuhan Pengobatan...44
Tabel 3.4 Hasil Seleksi Aitem Skala Kepatuhan Pengobatan...45
Tabel 3.5 Reliabilitas Statistik Try Out ...47
Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan ...53
Tabel 4.2 Deskripsi Jenis Kelamin ...54
Tabel 4.3 Deskripsi Usia...55
Tabel 4.4 Deskripsi Pekerjaan ...56
Tabel 4.5 Deskriptif Statistik ...57
Tabel 4.6 Hasil Kategorisasi Variabel Kontrol Diri ...58
Tabel 4.7 Hasil Kategorisasi Variabel Kepatuhan Pengobatan ...58
Tabel 4.8 Blue Print Valid Skala Kontrol Diri ...59
Tabel 4.9 Daya Diskriminasi Aitem Kontrol Diri...60
Tabel 4.10 Blue Print Valid Skala Kepatuhan Pengobatan ...61
Tabel 4.11 Daya Diskriminasi Aitem Kepatuhan Pengobatan ...62
Tabel 4.12 Reliabilitas Statistik ...64
Tabel 4.13 Hasil Uji Normalitas ...66
Tabel 4.14 Hasil Uji Linieritas...67
x
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Aitem Try Out Kepatuhan Pengobatan ...80
LAMPIRAN 2 Aitem Try Out Kontrol Diri ...83
LAMPIRAN 3 Data Mentah Try Out Kepatuhan Pengobatan ...86
LAMPIRAN 4 Data Dikotomik Try Out Kepatuhan pengobatan ...88
LAMPIRAN 5 Data Mentah Try Out Kontrol Diri ...90
LAMPIRAN 6 Data Dikotomik Try Out Kontrol Diri ...92
LAMPIRAN 7 Validitas Try Out Kepatuhan Pengobatan ...94
LAMPIRAN 8 Validitas Try Out Kontrol Diri...97
LAMPIRAN 9 Reliabilitas Try Out Kepatuhan Pengobatan...100
LAMPIRAN 10 Reliabilitas Try Out Kontrol diri...102
LAMPIRAN 11 Aitem Valid Kepatuhan Pengobatan...104
LAMPIRAN 12 Aitem Valid Kontrol Diri ...107
LAMPIRAN 13 Data Mentah Kepatuhan Pengobatan ...110
LAMPIRAN 14 Data DikotomiK Kepatuhan Pengobatan ...113
LAMPIRAN 15 Data Mentah Kontrol Diri ...116
LAMPIRAN 16 Data Dikotomik Kontrol Diri ...119
LAMPIRAN 17 Uji Kolmogorof Smirnof...122
LAMPIRAN 18 Uji Linieritas ...123
LAMPIRAN 19 Uji Korelasi Product Momen ...126
LAMPIRAN 20 Uji Deskripsi ...127
LAMPIRAN 21 Reliabilitas Kepatuhan Pengobatan ...128
LAMPIRAN 22 Reliabilitas Kontrol Diri...130
LAMPIRAN 23 Variabel Kepatuhan Valid dan Tidak Valid...132
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring dengan adanya perubahan gaya hidup masyarakat seperti
mengkonsumsi makanan dengan kadar lemak tinggi, merokok, kegiatan
yang tidak mengenal batas waktu yang diiringi juga dengan adanya
kemajuan dalam bidang perdagangan dan teknologi. Hal ini berdampak
pada pengurangan aktifitas fisik yang sehat seperti kurang bergerak dan
sistem indera yang cenderung tidak digunakan secara maksimal.
Pengurangan aktifitas fisik yang sehat berdampak munculnya berbagai
penyakit kronis di masyarakat.
Salah satu penyakit kronis yang dapat terjadi adalah Diabetes
Mellitus atau penyakit gula darah. Nama Diabetes Mellitus diperoleh dari
bahasa latin yang berasal dari kata Yunani, diabetes berarti pencuran, dan
mellitus berarti madu, karena gambaran yang paling nyata dari seorang
penderita diabetes yang tidak terawat adalah bahwa orang tersebut
mengeluarkan sejumlah besar urine yang mengandung kadar gula yang
tinggi (Leslie, 1994). Presiden Federensi Diabetes International, Piere
2
Diabetes adalah suatu kondisi kronis yang terjadi ketika tubuh
tidak dapat menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat menggunakan
insulin. Dan diagnosisnya dengan cara mengamati peningkatan kadar
glukosa darah. Insulin adalah hormon yang diproduksi di prankreas yang
mana dibutuhkan untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke sel-sel
tubuh dimana ia digunakan sebagai energi. Kurangnya atau tidak
efektifnya insulin pada penderita diabetes yang berarti bahwa glukosa
tetap beredar di dalam darah. Seiring waktu, tingkat tinggi yang dihasilkan
dari glukosa dalam darah dikenal sebagai hiperglikemia yang menyebabkan kerusakan di banyak jaringan dalam tubuh dan mengarah
pada komplikasi kesehatan yang mengancam jiwa. (IDF, 2015)
Diabetes termasuk salah satu keadaan darurat kesehatan global
terbesar dari abad 21. Setiap tahun semakin banyak orang yang hidup
dengan kondisi ini, kondisi yang dapat mengakibatkan komplikasi yang
mengubah hidup. Selain 415 juta orang dewasa yang diperkirakan saat ini
memiliki diabetes, ada 318 juta orang dewasa dengan gangguan toleransi
glukosa, yang menempatkan mereka pada resiko tinggi dalam
pengembangan penyakit di masa depan. (IDF, 2015)
Fenomena dalam kehidupan sekarang, Diabetes termasuk salah
satu penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah serius kesehatan
masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Berdasarkan
3
Diabetes mencapai 285 juta dan terus meningkat hingga 438 juta pada
tahun 2030. Lebih besar dari populasi penduduk di seluruh Eropa pada
saat ini. Di Indonesia berdasarkan data WHO jumlah penderita Diabetes
tipe-2 atau NIDDM(Non Insulin Dependent Diabetes)meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun dan pada 2010 telah mencapai 21,3 juta
orang.berbeda dengan tahun 2000, yang jumlah penderitanya baru
mencapai 8,4 juta orang. (http://www.detik-healthy.com)
Diabetes merupakan salah satu penyakit tidak menular yang jadi
perhatian dunia. Pada 2015 saja, persentase orang dewasa dengan diabetes
adalah 8,5 persen dari populasi dunia atau ada satu diantara 11 orang
dewasa menyandang diabetes. Jika dibiarkan, akan ada 1 dari 10 orang
diabetesi pada 2040. Pengidap diabetes di Indonesia juga tidak sedikit.
Pada diabetes tipe 2 gaya hidup tidak sehat menjadi alasan terus
bertambahnya orang yang terkena diabetes. Padahal sekitar 80 persen
kejadian diabetes bisa dicegah. (www.liputan6.com)
Di wilayah Asia Tenggara, 24,2% dari semua hidup kelahiran
dipengaruhi oleh glukosa darah tinggi selama kehamilan. Di wilayah
Timur Tengah dan Afrika Utara, dua dari lima orang dewasa dengan
diabetes yang tidak terdiagnosis. Sedangkan di wilayah Amerika Selatan
dan Tengah, jumlah penderita diabetes akan meningkat 65% pada tahun
4
Global status report on NCD World Health Organization (WHO)
tahun 2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian semua umur di
dunia adalah karena Penyakit Tidak Menular (PTM). Diabetes menduduki
peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian. Sekitar 1,3 juta orang
meninggal akibat diabetes dan 4% meninggal sebelum usia 70 tahun. Pada
tahun 2030 diperkirakan Diabetes menempati urutan ke-7 penyebab
kematian di dunia. Sedangkan untuk di Indonesia diperkirakan pada tahun
2030 akan memiliki penyandang Diabetes sebanyak 21,3 juta jiwa.
(www.depkes.go.id)
Dalam rentang waktu 2014-2015, Indonesia menduduki peringkat
ke-7 penderita diabetes mellitus di seluruh dunia. Berdasarkan data World
Diabetes Foundation 2014 hingga 2015, disebutkan bahwa sebanyak 382
juta jiwa di Indonesia merupakan penyandang diabetes mellitus. Jumlah
penderita diabetes ini diperkirakan masih akan meningkat menjadi 592
juta jiwa pada 2035. Atau dengan kata lain 1 dari 10 orang adalah
penderita diabetes mellitus. Dareah Jawa Timur yang mempunyai angka
DM tinggi yaitu Surabaya yang berada di peringkat pertama dengan
14.377 kasus pertahun. Fenomena ini sudah sangat perlu diintervensi
karena penyakit diabetes mellitus adalah penyakit yang menyebabkan
berbagai jenis komplikasi mematikan, seperti jantung dan stroke.
(metrotvnews.com)
5
dapat mempengaruhi perkembangan kemajuan bangsa Indonesia.
Kemajuan suatu Negara ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia
yang baik, sehat dan unggul. Beberapa upaya pencegahan dapat dilakukan
agar terhindar dari penyakit Diabetes, baik secara primer maupun
sekunder. Pencegahan primer yaitu berupa pencegahan melalui modifikasi
gaya hidup seperti pola makan yang sesuai, aktifitas fisik yang memadai
atau olahraga. Adapun pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
pengecekan atau kontrol fisik, pengecekan urine, penghentian merokok bagi penderita yang merokok. (http://www.detik-healthy.com)
Dimas SaifuNurfazah (2013) dalam penelitiannya tentang
“Kepatuhan Penderita Diabetes Mellitus Dalam Menjalani Terapi Olahraga Dan Diet” menjelaskan bahwa keberhasilan suatu pengobatan
baik secara primer maupun sekunder, sangat dipengaruhi oleh kepatuhan
penderita DM untuk menjaga kesehatannya. Dengan kepatuhan yang baik,
pengobatan secara primer maupun sekunder dapat terlaksana secara
optimal dan kualitas kesehatan bisa tetap dirasakan. Sebabnya apabila
penderita DM tidak mempunyai kesadaran diri untuk bersikap patuh maka
hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang
berakibat pada menurunnya kesehatan. Bahkan akibat ketidakpatuhan
dalam menjaga kesehatan, dapat berdampak pada komplikasi penyakit DM
dan bisa berujung pada kematian.
Neil Niven (2012), menyatakan bahwa profesional kesehatan
6
pasien mereka dalam menaati nasihat medis. Meskipun bila pasien telah
memberikan upaya yang dapat dipertimbangkan dalam mencari bantuan
kesehatan. Kesempatan ini sangat tinggi dimana nasihat yang diberikan
akan diabaikan atau disalahterapkan. Dunbar & Stunkard (dalam Neil
Niven, 2012) mengemukakan bahwa saat ini ketidakpatuhan pasien telah
menjadi masalah serius yang dihadapi tenaga kesehatan profesional. Oleh
karena itu penting untuk diketahui tentang tingkat ketidakpatuhan.
Sacket (Dalam Neil Niven, 2012) mendefinisikan kepatuhan pasien
sebagai “sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan.” Pasien mungkin tidak mematuhi
tujuan atau mungkin melupakan begitu saja atau salah mengerti instruksi
yang diberikan.
Ian P. Albery (2011), mengemukakan kepatuhan mengacu kepada
situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang
dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan
atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya.
Dinicola dan Dimetto (Dalam Neil Niven, 2012) mengemukakan
bahwa perilaku kepatuhan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena
itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah
perilaku tetapi juga mempertahankan perilaku tersebut. Sikap
pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi
7
tersebut. Dimana penting untuk mengembangkan perasaan mampu, bisa
mengontrol diri dan percaya pada diri sendiri.
Tangney (dalam Iga Serpianing, 2012) menyatakan bahwa kontrol
diri merupakan kemampuan individu untuk menentukan perilakunya
berdasarkan standar tertentu seperti moral, nilai, dan aturan di masyarakat
agar mengarah pada perilaku positif. Dan Evi Aviyah (2014)
mengemukakan bahwa kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas
pengendalian tingkah laku. Kemampuan untuk menyusun, membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa
individu ke arah konsekuensi positif.
Sedangkan menurut Chaplin (dalam Sari Dewi, 2012) self control sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan
untuk menekan, merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsive.
Dimanaself controlini penting untuk dikembangkan karena individu tidak hidup sendiri melainkan bagian dari kelompok masyarakat. Individu
mampu mengontrol diri berarti individu memilikiself control.
Derajat ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah
pengobatan tersebut kuratif atau prefentif, jangka panjang atau jangka
pendek. Sackett & Snow (dalam Neil Niven, 2012) menemukan bahwa
ketaatan terhadap 10 hari jadwal pengobatan adalah mengobati, dan
60-70% dengan tujuan pengobatannya adalah pencegahan. Kegagalan untuk
8
akut, dimana derajat ketidakpatuhannya rata-rata 50% dan derajat tersebut
bertambah buruk sesuai waktu.
Berdasarkan permasalahan di atas, serta mengingat pentingnya
kontrol diri dan peran perilaku kepatuhan, maka penelitian dengan tema
hubungan antara kontrol diri dan perilaku kepatuhan ini urgent untuk dilakukan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah, “Apakah terdapat Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Kepatuhan Pengobatan Pada
Penderita Diabetes Mellitus”.
C. TUJUAN
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk menguji secara empiris hubungan antara kontrol diri dengan
perilaku kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes mellitus.
D. MANFAAT
Dari hasil penelitian ini, diharapkan akan memperoleh manfaat
teoritis dan praktis sebagai berikut:
1 Manfaat Teoritis
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat memperluas
wawasan penelitian pada bidang ilmu psikologi, khususnya ilmu psikologi
9
selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan
pengobatan bagi penderita diabetes, dan kontrol diri pada penderita
diabetes mellitus.
2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sarana bagi penderita
diabetes mellitus dalam memahami perilaku serta sebagai masukan dan
pertimbangan dalam penelitian tentang perilaku kepatuhan yang
dihubungkan dengan faktor kontrol diri penderita diabetes mellitus. Selain
itu penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan terutama bagi
para penderita diabetes mellitus untuk dapat mengendalikan segala bentuk
perilakunya, khususnya perilaku yang mengarah pada ketidakpatuhan
dalam hal pengobatan maupun pencegahan penyakit.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian tentang hubungan kontrol diri dengan perilaku
kepatuhan terhadap pengobatan pada penderita diabetes mellitus
sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti, namun ada beberapa
penelitian sebelumnya yang mirip dengan penelitian ini. Beberapa yang
mirip dengan penelitian ini diantaranya:
Penelitian terkait kontrol diri pada penderita diabetes mellitus
pernah dilakukan oleh Destriana Nurcahyani, dkk (2007) dari Universitas
10
penderita diabetes mellitus. Perbedaan dengan peneliti terletak pada
variabelnya. Variabel dalam penelitian ini adalah afek positif dan kontrol
diri. Dari hasil uji efektivitas menunjukkan hasil yang signifikan, yang
menunjukkan adanya hubungan antara afek positif dengan kontrol diri
pada penderita diabetes mellitus.
Penelitian serupa dilakukan oleh Ratu Lensi, dkk (2014). Penelitian
tersebut membahas “Hubungan antara Persepsi Penyakit dengan Kontrol Diri pada Penderita Diabetes yang Memiliki Riwayat Keturunan”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi
penyakit dengan kontrol diri pada penderita diabetes. Hal yang menjadi
beda dengan peneliti adalah terletak pada variabel yang mana penelitian
tersebut menggunakan variabel persepsi penyakit dan kontrol diri. Hasil
uji analisis korelasi antara variabel persepsi penyakit dengan kontrol diri
pada sampel penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan diantara keduanya.
Sedangkan penelitian terkait kepatuhan dilakukan oleh Yesti
Kristianingrum, dkk (2011) membahas tentang “Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada orang dengan Diabetes Mellitus” yang menunjukkan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat. Perbedaan dengan peneliti terletak pada
variabelnya. Variabel dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga dan
11
adanya hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat pada orang dengan Diabetes Mellitus.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Putu Kenny Rani
Evadewi, dkk (2013) dari Universitas Udayana membahas tentang
“Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Pasien Hipertensi Di Denpasar Ditinjau Dari Kepribadian Tipe A dan Tipe B”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif atau metode yang digunakan
untuk mengetahui perbedaan antara dua variabel. Perbedaan dengan
peneliti adalah terletak pada metode dan subjeknya. Hasil dari penelitian
tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan kepatuhan mengkonsumsi
obat secara signifikan antara kepribadian tipe A dengan kepribadian tipe
B.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Husnah, dkk (2014) yang
membahas “Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus dalam Menjalani terapi Di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional survey. Perbedaan dengan peneliti terletak pada variabelnya. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengetahuan dan kepatuhan terapi. Hasil penelitian tersebut menyatakan
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
pelaksanaan terapi. Semakin baik tingkat pengetahuan pasien tentang
12
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Johannes H. Saing
(2010) membahas tentang “Tingkat Pengetahuan, Perilaku, dan Kepatuhan Berobat Orang Tua dari Pasien Epilepsi Anak di Medan”. Penelitian tersebut menggunakan metode studi deskriptif. Perbedaan
dengan peneliti terletak pada metode dan subjek. Subjek dalam penelitian
tersebut adalah orang tua dari anak pasien epilepsi. Dari hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa kepatuhan berobat pada orang tua dan
pengasuh dari pasien epilepsi pada umumnya adalah baik.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Rossana Bellawati
Sugiarto, dkk (2012) yang membahas tentang “ Kepatuhan Kontrol dengan Tingkat Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Baptis Kediri”. Pembahasan tersebut mengacu pada bagaimana kepatuhan kontrol dengan tingkat kadar gula darah pasien Diabetes
Mellitus di Rumah sakit Baptis Kediri. Perbedaan dengan peneliti adalah
terletak pada variabelnya yang mana variabel dalam penelitian tersebut
adalah kepatuhan kontrol dan tingkat kadar gula darah. Dari hasil
penelitian tersebut melalui uji statistik didapatkan bahwa tidak ada
hubungan antara kepatuhan kontrol dengan tingkat kadar gula darah pada
pasien diabetes mellitus di klinik penyakit dalam Rumah Sakit Baptis
Kediri.
Penelitian serupa dilakukan oleh Nurina Dewi Pratita, dkk (2012)
13
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2”. Perbedaan dengan peneliti terletak pada variabelnya. Variabel dalam penelitian ini adalah dukungan
pasangan,Health Locus Of Controldan kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan. Dari hasil penelitian tersebut berdasarkan analisis data
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
dukungan pasangan dan Health Locus Of Control dengan Kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan pada penderita diabetes mellitus tipe
2.
Selanjutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Toto Siswantoro
(2012) penelitian tersebut membahas tentang “Analisis Pengaruh Predisposing, Enabling dan Reinforcing Factors terhadap Kepatuhan Pengobatan TB Paru di Kabupaten Bojonegoro”. Yang menjadi berbeda dengan peneliti yaitu terletak pada variabel dan subjek. Yang mana
penelitian tersebut menggunakan subjek penderita TB paru. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan penderita TB paru di
Kabupaten Bojonegoro sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan
baik dan cukup.
Dan juga penelitian yang dilakukan oleh Syailendrawati, dkk
14
dukungan dan kepatuhan pengobatan. Penelitian tersebut merupakan
penelitian eksplanatif yang ditujukan untuk menjelaskan suatu fenomena
yang meliputi pengetahuan mengenai mengapa fenomena itu ada atau apa
yang menyebabkan fenomena itu sendiri. Hasil analisis menunjukkan
bahwa adanya pengaruh keterlibatan aktif dalam kelompok dukungan
terhadap tingkat kepatuhan pengobatan terkait dengan fungsi kelompok
dukungan itu sendiri diantaranya mendapatkan dukungan sosial.
Hal yang menjadi perbedaan dengan penelitian yang pernah ada
adalah penelitian ini melibatkan variabel kontrol diri dengan perilaku
kepatuhan. Kontrol diri merupakan variabel yang diharapkan mampu
menunjukkan kemampuan subjek penelitian dalam mengarahkan
perilakunya sesuai dengan aturan pengobatan dan terapi dari professional
kesehatan. Selanjutnya kontrol diri diasumsikan sebagai faktor penting
untuk mendukung perilaku kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes
15 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kepatuhan 1. Pengertian
Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam
literatur untuk mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya compliance, adherence, dan persistence. Compliance adalah secara pasif mengikuti saran dan perintah dokter untuk melakukan terapi yang sedang dilakukan
(Osterberg & Blaschke dalam Nurina, 2012). Adherence adalah sejauh mana pengambilan obat yang diresepkan oleh penyedia layanan kesehatan.
Tingkat kepatuhan (adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai persentase dari dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien
selama periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke dalam Nurina,
2012).
Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada
situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang
dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan
atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti
nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui
suatu kampanye media massa (Ian & Marcus, 2011).
Para Psikolog tertarik pada pembentukan jenis-jenis faktor-faktor
16
juga penting perilaku yang tidak patuh. Pada waktu-waktu belakangan ini
istilah kepatuhan telah digunakan sebagai pengganti bagi pemenuhan
karena ia mencerminkan suatu pengelolaan pengaturan diri yang lebih
aktif mengenai nasehat pengobatan (Ian & Marcus, 2011).
Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku individu
(misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya
hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat
dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi
rencana.
Sedangkan Sarafino (dalam Yetti, dkk 2011) mendefinisikan
kepatuhan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan
perilaku yang disarankan oleh dokternya. Dikatakan lebih lanjut, bahwa
tingkat kepatuhan pada seluruh populasi medis yang kronis adalah sekitar
20% hingga 60%. Dan pendapat Sarafino pula (dalam Tritiadi, 2007)
mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherence) sebagai: “tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternyaatau oleh orang lain”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sacket (Dalam Neil Niven, 2000)
mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai “sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”.
Pasien mungkin tidak mematuhi tujuan atau mungkin melupakan begitu
17
Kemudian Taylor (1991), mendefinisikan kepatuhan terhadap
pengobatan adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu
mengikuti anjuran yang berhubungan dengan kesehatan atau penyakit.
Dan Delameter (2006) mendefinisikan kepatuhan sebagai upaya
keterlibatan aktif, sadar dan kolaboratif dari pasien terhadap perilaku yang
mendukung kesembuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kepatuhan terhadap pengobatan adalah sejauh mana upaya dan perilaku
seorang individu menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau anjuran
yang diberikan oleh professional kesehatan untuk menunjang
kesembuhannya.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut Kozier (2010), faktor yang mempengaruhi kepatuhan
adalah sebagai berikut:
a. Motivasi klien untuk sembuh
b. Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan
c. Persepsi keparahan masalah kesehatan
d. Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit
e. Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus
f. Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi
g. Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu
atau tidak membantu
18
i. Warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi
sulit dilakukan
j. Tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis hubungan dengan
penyediaan layanan kesehatan
Sedangkan menurut Neil (2000), Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian:
a. Pemahaman Tentang Instruksi
Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia
salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Lcy
dan Spelman (dalam Neil, 2000) menemukan bahwa lebih
dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan
dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada
mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan
professional kesehatan dalam memberikan informasi yang
lengkap, penggunaan istilah-istilah media dan memberikan
banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien.
b. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan
pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan
derajat kepatuhan. Korsch & Negrete (Dalam Neil, 2000)
telah mengamati 800 kunjungan orang tua dan
19
memastikan apakah ibu-ibu tersebut melaksankan
nasihat-nasihat yang diberikan dokter, mereka menemukan bahwa
ada kaitan yang erat antara kepuasaan ibu terhadap
konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat
dokter, tidak ada kaitan antara lamanya konsultasi dengan
kepuasaan ibu. Jadi konsultasi yang pendek tidak akan
menjadi tidak produktif jika diberikan perhatian untuk
meningkatkan kualitas interaksi.
c. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai
kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang
program pengobatan yang dapat mereka terima. Pratt
(dalam Neil, 2012) telah memperhatikan bahwa peran yang
dimainkan keluarga dalam pengembangan kebiasaan
kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.
Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan
mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.
d. Keyakinan, Sikap dan Keluarga
Becker (dalam Neil, 2012) telah membuat suatu
usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk
memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Mereka
20
penelitian bersama Hartman dan Becker (1978) yang
memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk
pasien hemodialisa kronis. 50 orang pasien dengan gagal
ginjal kronis tahap akhir yang harus mematuhi program
pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan
cairan, pengobatan, dialisa. Pasien-pasien tersebut
diwawancarai tentang keyakinan kesehatan mereka dengan
menggunakan suatu model. Hartman dan Becker
menemukan bahwa pengukuran dari tiap-tiap dimensi yang
utama dari model tersebut sangat berguna sebagai peramal
dari kepatuhan terhadap pengobatan.
1 Cara-cara Mengurangi Ketidakpatuhan
Dinicola dan Dimatteo (dalam Neil, 2000) mengusulkan rencana
untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien antara lain:
a. Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri, banyak
dari pasien yang tidak patuh yang memiliki tujuan untuk
mematuhi nasihat-nasihat pada awalnya. Pemicu
ketidakpatuhan dikarenakan jangka waktu yang cukup lama
serta paksaan dari tenaga kesehatan yang menghasilkan
efek negatif pada penderita sehingga awal mula pasien
mempunyai sikap patuh bisa berubah menjadi tidak patuh.
21
b. Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan,
sehingga perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan
hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga
mempertahankan perubahan tersebut. Kontrol diri, evaluasi
diri dan penghargaan terhadap diri sendiri harus dilakukan
dengan kesadaran diri. Modifikasi perilaku harus dilakukan
antara pasien dengan pemberi pelayanan kesehatan agar
terciptanya perilaku sehat.
c. Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga
dan sahabat dalam bentuk waktu, motivasi dan uang
merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan pasien.
Contoh yang sederhana, tidak memiliki pengasuh,
transportasi tidak ada, anggota keluarga sakit, dapat
mengurangi intensitas kepatuhan. Keluarga dan teman
dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh
penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan
pada ketidaktaatan dan mereka seringkali dapat menjadi
kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
4. Cara-cara Meningkatkan Kepatuhan
Smet (1994) menyebutkan beberapa strategi yang dapat dicoba untuk
22
a. Segi Penderita
Usaha yang dapat dilakukan penderita diabetes mellitus untuk
meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan yaitu:
1 Meningkatkan kontrol diri. Penderita harus meningkatkan
kontrol dirinya untuk meningkatkan ketaatannya dalam
menjalani pengobatan, karena dengan adanya kontrol diri yang
baik dari penderita akan semakin meningkatkan kepatuhannya
dalam menjalani pengobatan. Kontrol diri dapat dilakukan
meliputi kontrol berat badan, kontrol makan dan emosi.
2 Meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri dipercaya muncul
sebagai prediktor yang penting dari kepatuhan. Seseorang yang
mempercayai diri mereka sendiri untuk dapat mematuhi
pengobatan yang kompleks akan lebih mudah melakukannya.
3 Mencari informasi tentang pengobatan. Kurangnya
pengetahuan atau informasi berkaitan dengan kepatuhan serta
kemauan dari penderita untuk mencari informasi mengenai
penyakitnya dan terapi medisnya, informasi tersebut biasanya
didapat dari berbagai sumber seperti media cetak, elektronik
atau melalui program pendidikan di rumah sakit. Penderita
hendaknya benar-benar memahami tentang penyakitnya dengan
cara mencari informasi penyembuhan penyakitnya tersebut.
4 Meningkatkan monitoring diri. Penderita harus melakukan
23
lebih mengetahui tentang keadaan dirinya seperti keadaan gula
dalam darahnya, berat badan, dan apapun yang dirasakannya.
b. Segi Tenaga Medis
Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita
untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara
lain:
1 Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter. Salah satu
strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah memperbaiki
komunikasi antara dokter dengan pasien. Ada banyak cara dari
dokter untuk menanamkan kepatuhan dengan dasar komunikasi
yang efektif dengan pasien.
2 Memberikan informasi yang jelas kepada pasien tentang
penyakitnya dan cara pengobatannya. Tenaga kesehatan,
khususnya dokter adalah orang yang berstatus tinggi bagi
kebanyakan pasien dan apa yang ia katakan secara umum
diterima sebagai sesuatu yang sah atau benar.
3 Memberikan dukungan sosial. Tenaga kesehatan harus mampu
mempertinggi dukungan sosial. Selain itu keluarga juga
dilibatkan dalam memberikan dukungan kepada pasien, karena
hal tersebut juga akan meningkatkan kepatuhan, Smet (1994)
menjelaskan bahwa dukungan tersebut bisa diberikan dengan
bentuk perhatian dan memberikan nasehatnya yang bermanfaat
24
4 Pendekatan perilaku. Pengelolaan diri yaitu bagaimana pasien
diarahkan agar dapat mengelola dirinya dalam usaha
meningkatkan perilaku kepatuhan. Dokter dapat bekerja sama
dengan keluarga pasien untuk mendiskusikan masalah dalam
menjalani kepatuhan serta pentingnya pengobatan.
5. Aspek-aspek Kepatuhan Pengobatan
Adapun aspek-aspek kepatuhan pengobatan sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Delameter (2006) adalah sebagai berikut:
1 Pilihan dan tujuan pengaturan.
2 Perencanaan pengobatan dan perawatan.
3 Pelaksanaan aturan hidup.
B. Kontrol Diri 1 Pengertian
Sangat banyak teori yang dapat dikemukakan sehubungan dengan
pengertian kontrol diri. Chaplin (1997), yang menjelaskan bahwa self controlatau kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi
impuls-impuls atau tingkah laku impuls-impulsif. Atau seperti Carlson (dalam Chaplin,
1997) yang mengartikan kontrol diri sebagai kemampuan seseorang
dalam merespon sesuatu, selanjutnya juga dicontohkan, seorang anak
dengan sadar menunggu reward yang lebih sadar dibandingkan jika dengan segera tetapi mendapat yang lebih kecil diangap melebihi
25
Sementara itu Goleman (dalam Ghufron, 2010), memaknai kontrol
diri sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri mengendalikan
tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu kendali batiniah.
Begitupun dengan pendapat Bandura dan Mischel, sebagaiman dikutip
Carlson, yang mengatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan
individu dalam merespon suatu situasi. Demikian pula dengan Piaget
(dalam Carlson, 1987) yang mengartikan tingkah laku yang dilakukan
dengan sengaja dan mempunyai tujuan yang jelas tetapi dibatasi oleh
situasi yang khusus sebagai kontrol diri.
Kemudian Evi & Muhammad (2014), mengartikan kontrol diri
sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Kemampuan untuk
menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Sedangkan
Ghufron & Risnawati (2010) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu
kemampuan individu untuk membaca kondisi diri dengan
lingkungannya. Faktor-faktor dari kontrol diri meliputi lingkungan
internal serta eksternal, lingkungan internal mencakup usia individu
tersebut, sedangkan lingkungan eksternal meliputi peraturan yang
dibuat oleh keluarga tersebut agar individu tidak melakukan perilaku
menyimpang.
Senada dengan definisi diatas, Thompson (dalam Smet, 1994)
mengartikan kontrol diri sebagai suatu keyakinan bahwa seseorang
26
Karena itulah menurutnya, perasaan dan kontrol dapat dipengaruhi oleh
keadaan situasi, tetapi persepsi kontrol diri terletak pada pribadi orang
tersebut, bukan pada situasi. Akibat dari definisi tersebut bahwa
seseorang merasa memiliki kontrol diri, ketika seseorang tersebut
mampu mengenal apa yang dapat dan tidak dapat dipengaruhi melalui
tindakan pribadi dalam sebuah situasi, ketika memfokuskan pada
bagian yang dapat dikontrol melalui tindakan pribadi dan ketika
seseorang tersebut yakin jika memiliki kemampuan organisasi supaya
berperilaku yang sukses.
Menurut Hurlock (1990), kontrol diri berkaitan dengan bagaimana
individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam
dirinya. Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti
mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan
dapat diterima secara sosial.
Ada dua kriteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat
diterima secara sosial atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila
reaksi masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun
reaksi positif saja tidaklah cukup. Karenanya perlu diperhatikan kriteria
lain, yaitu efek yang muncul setelah mengontrol emosi terhadap kondisi
fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya tidak membahayakan fisik
dan psikis individu. Artinya dengan mengontrol emosi kondisi fisik dan
27
2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kontrol diri seseorang
biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Orang yang memiliki kontrol
diri pada stimulus atau situasi tertentu belum tentu sama dengan
stimulus atau situasi lain. Namun pada dasarnya, kontrol diri itu secara
garis besar dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Matthew & B.R Hergenhan (2013) menyatakan pengendalian
variabel-variabel perilaku secara internal disebut variabel pribadi,
sedangkan pengontrolan secara eksternal disebut variabel situasi.
Penentuan relatif pentingnya variabel-variabel pribadi maupun situasi
bagi perilaku manusia menjadi salah satu fokus utama para teorisi
kepribadian. Pertanyaan terkait kontrol internal versus eksternal sering
dilihat sebagai realitas subjektif versus objektif. Variabel pribadi
biasanya merujuk pada kesadaran subjektif individu, sedangkan
variabel situasi adalah cara lain menyebut situasi dan kondisi di
lingkungan yang dialami individu tersebut.
Faktor-faktor tersebut disimpulkan dari kutipan pendapat para ahli
yang mengungkapkan banyaknya pendapat mengenai kontrol diri.
Adapun faktor-faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri menurut
Buck (dalam Carlson, 1987) dikatakan bahwa kontrol diri berkembang
secara unik pada masing-masing individu. Dalam hal ini dikemukakan
28
1 Hirarki dasar biologi yang telah terorganisasi dan disusun
melalui pengalaman evolusi.
2 Yang dikemukakan oleh Mischel dkk, bahwa kontrol diri
dipengaruhi usia seseorang. Menurutnya kemampuan kontrol diri
akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang.
3 Kontrol diri dipengaruhi oleh kontrol emosi. Kontrol emosi yang
sehat dapat diperoleh bila seseorang memiliki kekuatan ego,
yaitu sesuatu kemampuan untuk menahan diri dari tindakan
luapan emosi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol
diri sesorang yang bersifat internal, selain dapat dipengaruhi oleh
hirarki dasar biologi yang telah terorganisasi dan tersusun
melalui pengalaman evolusi, melainkan juga bisa disebabkan
oleh kontrol emosi yang sehat diperoleh bila seseorang memiliki
kekuatan ego, yaitu kemampuan untuk menahan diri dan
tindakan luapan emosi.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kontrol
diri seseorang adalah kondisi sosio-emosional lingkungannya,
terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya.
Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti
kondisinya diwarnai dengan hubungan yang harmonis, saling
mempercayai, saling menghargai, dan penuh tangggung jawab,
29
ini dikarenakan seseorang mencapai kematangan emosi oleh
faktor-faktor pendukung tersebut.
3 Aspek Kontrol Diri
Block (dalam Dewi, 2012) menjelaskan ada tiga jenis kualitas
kontrol diri, yaituover control,under control, danappropriate control. Over Control merupakan kontrol diri yang dilakukan individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam
beraksi terhadap stimulus.Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang
masak. Appropriate control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat.
Berdasarkan konsep Averill (dalam Sarafino, 1994), terdapat tiga
aspek kontrol diri, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control).
1 Behavioral Control
Merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara
langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini terbagi menjadi
dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu
30
dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan
mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan
menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan
menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus
merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu
stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang
dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus,
menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang
berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan
mengatasi intensitasnya.
2 Cognitive Control
Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak
diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan
suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi
psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua
komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenal suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu
dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.
Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan
suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi
31
3 Decisional Control
Merupakan kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu
tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan
adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri
individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol
diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:
1 Mengatur pelaksanaan.
2 Memodifikasi stimulus.
3 Memperoleh informasi.
4 Melakukan penilaian.
5 Menentukan pilihan dan memilih berbagai tindakan.
C. Hubungan Kontrol Diri Dengan Perilaku Kepatuhan
Diabetes adalah salah satu penyakit kronis jangka panjang yang
ditandai dengan kadar gula darah yang sangat tingggi. Sel-sel dalam tubuh
manusia membutuhkan energi dari gula (glukosa) untuk bisa berfungsi
dengan normal. Yang biasanya mengendalikan gula dalam darah adalah
hormon insulin. Jika tubuh kekurangan insulin atau muncul resistasi
terhadap insulin pada sel-sel tubuh, kadar zat gula (glukosa) darah akan
meningkat drastis. Inilah yang memicu dan menjadi penyebab penyakit
32
Berkaitan dengan perilaku kepatuhan, riset yang telah ditunjukan,
misalnya bahwa orang yang percaya kondisi mereka dapat dikendalikan
atau disembuhkan lebih mungkin untuk mengikuti rehabilitasi setelah
mengalami infarksi myokardikal. Selain itu, orang-orang yang
menunjukkan keprihatinan yang lebih banyak berkenaan dengan
konsekuensi-kosekuensi jangka panjang pemakaian obat untuk
kondisi-kondisi kronis, menunjukkan kepatuhan yang berkurang (Ian dkk, 2011).
Derajat ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah
pengobatan tersebut kuratif atau prefentif, jangka panjang atau jangka
pendek. Sackett & Snow (dalam Neil Niven, 2012) menemukan bahwa
ketaatan terhadap 10 hari jadwal pengobatan adalah mengobati, dan
60-70% dengan tujuan pengobatannya adalah pencegahan. Kegagalan untuk
mengikuti program pengobatan jangka panjang, yang bukan dalam kondisi
akut, dimana derajat ketidakpatuhannya rata-rata 50% dan derajat tersebut
bertambah buruk sesuai waktu.
Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu
perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah
perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut. Sikap
pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi
diri dan penghargaan terhadap diri sendiri terhadap perilaku yang baru
tersebut. Sebagai contoh program penurunan berat badan membutuhkan
33
program dietnya, dan secara terus menerus memberikan penghargaan
dalam mempertahankan program dietnya (Neil, 2000)
Selogmen (dalam Neil, 2000) berpendapat bahwa
ketidakberdayaan yang dipelajari dapat diakibatkan oleh beberapa situasi
dimana orang berpikir bahwa mereka tidak mempunyai kontrol pada
kejadian-kejadian. Tidak jadi masalah apakah tidak ada solusi pada
keadaan sulit mereka atau tidak, selama mereka merasakan situasi tersebut
sebagai ketidakberdayaan kemudian mereka berhenti mencari jalan keluar.
Individu yang berpikir bahwa mereka tidak mempunyai kontrol pada
kejadian-kejadian akan belajar menjadi tidak berdaya.
D. Kerangka Teoritis/ Landasan Teoritis
Berikut ini adalah kerangka teoritis seseorang yang mempunyai
perilaku kepatuhan yang disebabkan oleh kontrol diri. Apabila kontrol diri
tinggi maka tingkat perilaku kepatuhan akan tinggi, sedangkan jika kontrol
34
Gambar 2.1 Skema Kerangka Teoritik
Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu
mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila
tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan
mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana
dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. (Sarafino,
1994)
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa seseorang
individu dapat melakukan perilaku kepatuhan apabila individu tersebut
memiliki tingkat kontrol diri yang baik. Dan dengan dukungan keluarga
serta kerabat yang menjadi sumber eksternal dapat membantu
meningakatkan kontrol diri individu tersebut. • Mengatur Pola makan
• Rutin Kontrol • Minum Obat Teratur • Merubah Gaya Hidup
• Tidak mengatur pola makan
• Tidak rutin Kontrol
• Tidak minum Obat Teratur Perilaku Kepatuhan
Tinggi Rendah
35
E. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori diatas, maka hipotesis yang diajukan
dan akan diuji kebenarannya dalam analisis uji statistik adalah ada
hubungan antara kontrol diri dengan perilaku kepatuhan pengobatan pada
penderita diabetes mellitus. Semakin tinggi kontrol diri maka akan
semakin tinggi pula tingkat kepatuhan. Sebaliknya semakin rendah kontrol
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel Dan Definisi Operasional 1 Variabel
Variabel penelitian pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang
berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga
diperoleh onformasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.
Dengan kata lain, variabel penelitian adalah setiap hal dalam suatu
penelitian yang datanya ingin diperoleh. Dinamakan variabel karena nilai
dari data tersebut beragam (Noor, 2011).
a. Variabel bebas : Kontrol Diri
b. Variabel tergantung : Perilaku Kepatuhan
2 Definsi Operasional a. Kontrol Diri
Kontrol diri merupakan tingkat upaya yang secara sadar
dilakukan oleh individu untuk mengarahkan perilaku serta
lingkungannya agar mencapai suatu tujuan tertentu dengan
keyakinan yang dimiliki, hal ini diukur dengan menggunakan skala
kontrol diri berdasarkan aspek yang meliputi kontrol perilaku
(behavioral control), kontrol kognitif (cognitive control) dan mengontrol keputusan (decisional control).
37
untuk mengantisipasi peristiwa melalui berbagai pertimbangan,
kemampuan menafsirkan peristiwa dengan memperhatikan
segi-segi positif serta kemampuan memilih tindakan berdasarkan apa
yang diyakini dan disetujui individu.
b. Kepatuhan Pengobatan
Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan kapasitas
individu dalam melakukan upaya perilaku yang menunjukkan
kesesuaian dengan peraturan atau anjuran yang diberikan oleh
professional kesehatan untuk menunjang kesembuhannya. Tingkat
ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan
aspek-aspek yang meliputi Pilihan dan tujuan pengaturan (upaya
individu untuk memilih sesuai dengan yang diyakininya untuk
mencapai kesembuhan), Perencanaan pengobatan atau perawatan
(upaya perencanaan yang dilakukan oleh individu dalam
pengobatannya untuk mencapai suatu kesembuhan). Pelaksanaan
aturan hidup (kemampuan individu untuk mengubah gaya hidup
sebagai upaya untuk menunjang kesembuhannya)
B. Populasi, Sampel Dan Tenik Sampling 1 Populasi
Dalam penelitian, populasi digunakan untuk menyebutkan seluruh
elemen atau anggota dari suatu wilayah yang menjadi sasaran penelitian
38
Populasi yang ada dalam penelitian ini adalah pasien penderita
diabetes mellitus yang sedang menjalani rawat jalan di Puskesmas
Rangkah Surabaya pada saat penelitian dilaksanakan. Peneliti tertarik
untuk mengambil populasi tersebut karena sesuai dengan tujuan peneliti
yaitu mengetahui bagaimana hubungan kontrol diri dengan perilaku
kepatuhan dalam pengobatan pada penderita diabetes mellitus.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Puskesmas
Rangkah Surabaya. Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan
pertimbangan Puskesmas Rangkah Surabaya merupakan salah satu
Puskesmas dengan pasien Diabetes terbanyak dan sudah terdapat jadwal
khusus yang menangani penyakit diabetes yaitu hari selasa dan kamis serta
terdapat berbagai program kegiatan yang dilaksanakan untuk menarik
minat pasien dalam hal menunjang kesembuhannya.
Populasi pada penelitian ini peneliti menggunakan rata-rata dari
jumlah keseluruhan pasien diabetes mellitus di Puskesmas Rangkah
Surabaya yang berobat jalan pada satu tahun terakhir yaitu pada bulan Mei
2015- Mei 2016 yang berjumlah 604 orang.
2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang memiliki sifat dan
karakteristik yang sama. Apabila responden dalam populasi lebih dari 100
maka sampel yang diambil 10%-15% atau 25%-30%, sebaliknya jika
39
populasi diambil sebagai sampel sehingga penelitiannya menjadi
penelitian populasi (Arikunto, 2003).
Menurut Sugiono (2012) bila populasi besar dan penelitian tidak
mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena
keterbatasan dana, tenaga, dan waktu maka peneliti dapat menggunakan
sampel yang diambil dari populasi itu. apa yang dipelajari dari sampel itu,
kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel
yang diambil dari populasi harus benar-benar mewakili.
Karena populasi yang lebih dari 100 maka dari itu peneliti
mengambil sampel 10% dari populasi penderita diabetes mellitus di
Puskesmas Rangkah Surabaya yang sedang menjalani rawat jalan, yakni
berjumlah 60 subjek. Adapun kriteria subjek penelitian ini adalah:
a. Pasien terdiagnosa Diabetes Mellitus dilihat dari status kesehatan.
b. Pasien bersedia menjadi responden.
c. Kedatangan pasien lebih dari satu kali selama 1 bulan.
3 Teknik Sampling
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan bertemu dengan peneliti, jika dipandang orang tersebut cocok sebagai responden.
Peneliti langsung ke lapangan melakukan pengumpulan data terhadap
sejumlah sampel yang ditemui, berapapun jumlah sampel tidak menjadi
permasalahan. Prinsipnya banyaknya sudah cukup maka penelitian
40
Sampel diperoleh dari seluruh pasien diabetes mellitus yang
melakukan pemeriksaan di Puskesmas Rangkah Surabaya selama waktu
pengambilan data sampai memenuhi minimal 60 sampel.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yakni dengan
menggunakan angket (kuesioner). Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya
(Sugiyono, 2012).
Peneliti menggunakan metode angket (kuesioner) karena beberapa
pertimbangan, diantaranya:
1 Metode angket membutuhkan biaya yang relatif lebih murah.
2 Terutama pada responden yang terpencar-pencar, metode ini dapat
mempermudah pengumpulan data.
3 Walaupun penggunaan metode ini pada sampel yang relatif besar,
namun penggunaannya dapat berlangsung serempak.
4 Metode ini relatif membutuhkan waktu yang sedikit.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan kuesioner, yaitu kuesioner tentang skala kepatuhan
pengobatan dan skala kontrol diri. Skala ini disajikan dalam bentuk
pernyataan favorabel dan unfavorabel dengan alternatif jawaban terdiri
41
skala kepatuhan pengobatan terdiri dari empat pilihan yaitu “sangat tidak setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, “sangat setuju”. Dalam kuesioner terdapat
arahan mengenai cara menjawab kuesioner, responden diwajibkan untuk
memilih salah satu alternatif jawaban dan juga mengisi lembar identitas
responden.
D. Validitas Dan Reliabilitas 1 Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur
tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan
pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2013).
Menurut Kamus Lengkap Psikologi validity merupakan sifat khusus suatu propinsi atau dalil, logis dan seterusnya, yang didasarkan atas
kebenaran atau konsekuen dengan fakta. Pengertian kedua yaitu, validity
merupakan sifat suatu alat pengukur, bahwa alat-alat tersebut bisa
mengukur menurut kenyataan seperti yang dikehendaki untuk diukur
(Caplin, 2012).
Standar pengukuran yang digunakan untuk menentukan validitas
aitem berdasarkan pendapat Azwar (2007) bahwa suatu aitem dikatakan
valid apabila memiliki indeks daya beda baik ≥ 0, 30. Apabila jumlah aitem yang valid ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan,
maka dapat menurunkan sedikit kriteria dari 0,30 menjadi 0,25 atau 0,20.
42
Azwar (1997: 158), juga menyatakan bahwa uji validitas dikatakan
mempunyai validitas tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi
ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat. Syarat bahwa
item-item tersebut valid adalah nilai korelasi r hitung harus positif dan
lebih besar atau sama dengan r tabel dimana menggunakan ketentuan df=
N-2 dan pada penelitian ini karena responden N= 60, berarti 60-2= 58
dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05%, maka diperoleh r tabel =
0,254 menunjukan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi
pula. Syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat validitas adalah
apabila nilai daya diskriminasi item atau r sama dengan atau lebih dari
0,254. Jadi apabila korelasi antara butir dengan skor total kurang dari
0,254 maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid atau
tidak dapat digunakan sebagai instrumen pengumpul data.
Dari hasil penelitian try out yang telah dilakukan oleh peneliti
maka aitem yang valid pada variable Kontrol Diri ada 21 aitem yang valid
dari 28 aitem. Berikutblue print Kontrol Diri. Tabel 3.1
Blue Print Try Out Skala Kontrol Diri
Hasil Seleksi Aitem Skala Kontrol Diri pada Subjek Tryout
Aitem
9 0,125 ≥0.30 Tidak Valid
10 0,466 ≥0.30 Valid
11 0,371 ≥0.30 Valid
12 0,840 ≥0.30 Valid
44
14 0,148 ≥0.30 Tidak Valid
15 0,686 ≥0.30 Valid
16 0,633 ≥0.30 Valid
17 0,583 ≥0.30 Valid
18 -0,299 ≥0.30 Tidak Valid
19 0,499 ≥0.30 Valid
20 0,736 ≥0.30 Valid
21 0,551 ≥0.30 Valid
22 0,740 ≥0.30 Valid
23 0,142 ≥0.30 Tidak Valid
24 -0,364 ≥0.30 Tidak Valid
25 0,721 ≥0.30 Valid
26 0,017 ≥0.30 Tidak Valid
27 0,237 ≥0.30 Tidak Valid
28 0,505 ≥0.30 Valid
Dari hasil penelitian try out yang telah dilakukan oleh peneliti
maka aitem yang valid pada variabel Kepatuhan Pengobatan terdapat 21
aitem yang valid dari 30 aitem. Berikut blue print Kepatuhan Pengobatan.
Tabel 3.3
Blue Print Try Out Skala Kepatuhan Pengobatan
No Aspek Indikator
. Mengubah gaya hidup 5, 11, 13,14,
Hasil Seleksi Aitem Skala Kepatuhan Pengobatan
Aitem
4 -0,295 ≥0.30 Tidak Valid
5 0,454 ≥0.30 Valid
6 -0,203 ≥0.30 Tidak Valid
7 0,793 ≥0.30 Valid
8 0,524 ≥0.30 Valid
9 0,562 ≥0.30 Valid
10 0,112 ≥0.30 Tidak Valid
11 0,848 ≥0.30 Valid
12 0,901 ≥0.30 Valid
13 -0,023 ≥0.30 Tidak Valid
46
21 0,071 ≥0.30 Tidak Valid
22 0,408 ≥0.30 Valid
23 0,141 ≥0.30 Tidak Valid
24 0,921 ≥0.30 Valid
25 0,078 ≥0.30 Tidak Valid
26 -0,063 ≥0.30 Tidak Valid
27 0,762 ≥0.30 Valid
28 0,686 ≥0.30 Valid
29 -0,295 ≥0.30 Tidak Valid
30 0,793 ≥0.30 Valid
2 Reliabilitas
Reliabilitas atau keterandalan adalah indeks-indeks yang
menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau
diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat
dikatakan konsisten, jika dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama. Untuk diketahui bahwa perhitungan atau uji
reliabilitas harus dilakukan pada pertanyaan yang telah dimiliki atau
memenuhi uji validitas, jika tidak memenuhi syarat uji validitas, maka
tidak perlu diteruskan (Noor, 2011).
Suatu ciri instrumen yang berkualitas baik adalah reliabel, yaitu
mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror pengukuran kecil.
Pengertian reliabilitas mengacu pada keterpercayaan atau koifisiensi hasil
alat ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan
pengukuran (Azwar, 2013)
Penelitian ini menggunakan reliabilitas dengan konsistensi internal,
47
data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Dan teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Alpha Cronbach. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows (Suginono, 2011).
Reliabilitas dinyatakan koefisien reliabilitas (rxx) jika angkanya
dalam rentang 0 sampai 1,000. Semakin tinggi koefisien reliabilitas
mendekati 1,000 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya
koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 maka semakin rendah
pula reliabilitasnya (Azwar, 2013).
Dari hasil try out variabel Kontrol Diri dan Kepatuhan Pengobatan
yang dilakukan oleh peneliti maka dihasilkan nilai reliabilitas sebesar:
Tabel 3.5
Reliabilitas Statistik Try Out
Reliabilitas Statistik
Variabel Alpha
Cronbach
Jumlah Aitem
Kontrol Diri 0,922 21
Kepatuhan Pengobatan 0,940 21
Dari tabel diatas nilai Alpha Cronbach variabel Kontrol Diri
sebesar 0.922, nilai tersebut mendekati 1.00 maka aitem yang yang ditry
outkan reliabel. Begitu pula dengan nilai Alpha Cronbach variabel
Kepatuhan Pengobatan sebesar 0.940, nilai Alpha Cronbach mendekati
48
E. Analisis Data
Menganalisis data merupakan langkah kritis dalam suatu
penelitian, dari hasil penarikan sampel dan pengumpulan data akan
diperoleh data kasar agar data kasar dapat dibaca dan diintrepretasikan,
maka dibutuhkan adanya metode analisis data.
Penelitian ini, peneliti menggunakan analisis korelasi Product Moment formula Pearson. Hal tersebut dikarenakan data yang digunakan adalah data parametrik. Teknik penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan diantara dua variabel yaitu variabel kontrol diri sebagai variabel
bebas dan variabel kepatuhan pengobatan sebagai variabel terikat.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi apabila menggunakan
teknik korelasiproduct moment, yaitu:
1. Data kedua variabel berbentuk data kuantitatif (interval dan rasio).
2. Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Nilai koefisien korelasi berkisar dari 0 sampai dengan 1. Semakin
tinggi nilai koefisien korelasinya berarti semakin kuat korelasinya dan
sebaliknya semakin rendah nilai koefisien korelasinya maka semakin
lemah pengaruh kedua variabel (Muhid, 2012: 95).
Uji korelasi dapat menghasilkan korelasi yang bersifat positif (+)
dan negatif. Jika korelasinya positif (+) menunjukkan adanya hubungan
yang searah semakin tinggi variabel bebas maka semakin tinggi pula nilai
variabel terikatnya dan sebaliknya. Jika korelasinya negatif (-)