SKRIPSI
Oleh : ABDUL SYUKUR
NIM. C03212032
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Anggota
Militer Yang Melakukan Tindak Pidana “Tanpa Hak Menyimpan Dan Menguasai Narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012)”. Skripsi ini merupakan penelitian untuk menjawab pertanyaan, 1) Bagaimana pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak
pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”? 2) Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor: 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana
“tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”?
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik dokumenter. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang menggambarkan atau menguraikan suatu hal menurut apa adanya tanpa membuat perbandingan atau mengembangkan satu dengan yang lainnya, yakni menguraikan kasus tentang hukuman anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika yang di putuskan oleh Pengadilan Militer I-07 Balikpapan secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus, landasan hukum yang dipakai oleh Hakim, isi putusan kemudian dilakukan analisis berdasarkan berkas-berkas yang ada dan menilai secara hukum Islam.
Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa Serma Totok Suharsoyo anggota Kesatuan Kodim 0908/ Bontan telah dinyatakan bersalah oleh mejelis hakim
Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012 melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai Narkotika Golongan I bukan
tanaman. dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) subsidair kurungan pengganti selama 2 (dua) bulan, tanpa adanya pidana tambahan pemecatan dari kesatuan militer. Dalam hukum Islam narkotika dikiyaskan dengan khamr karena sama yaitu memabukkan. Hukuman bagi pengedar narkotika adalah jarimah takzir karena belum diatur secara khusus dalam Alquran maupun hadis. Adapun sanksi takzir marupakan otoritas Ulil Al-amri namun tetap mengacu terhadap ketentuan takzir dan macam-mcam sanksi takzir yakni pidana penjara dan pidana pemecatan bagi pegawai atau pejabat yang melakukan tindak pidana.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 10
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 15
A. Pengertian Takzir ... 17
B. Dasar Hukum Takzir ... 19
C. Maksud Sanksi Takzir ... 21
D. Macam-macam Sanksi Hukuman Takzir... 21
E. Pendapat Ulama tentang Penerapan sanksi Takzir ... 33
F. Pengertian Narkotika ... 38
G. Sanksi Bagi Pengedar Narkotika dalam Hukum Islam ... 39
BAB III PUTUSAN PENGADILAN MILITER I-07 BALIKPAPAN NOMOR : 05-K/PM I-07/AD/I/2012... 42
A. Tentang Pengadilan Militer Balikpapan ... 42
B. Kronologi Kasus ... 45
C. Keterangan Saksi ... 48
D. Keterangan Terdakwa dalam Persidangan ... 50
E. Pertimbangan Hakim ... 50
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA ... 59
A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika ... 59
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika ... 64
BAB V PENUTUP ... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia telah lama menjadi target pemasaran narkoba yang besar, antara lain karena jumlah penduduknya yang tergolong padat di dunia. Selain itu, sebagian besar bahan-bahan narkoba juga gampang tumbuh di Indonesia. Bukan hanya menjadi target para pebisnis narkoba (lebih tepat disebut mafia), yang sangat memprihatinkan konsumen narkoba di Indonesia mayoritas adalah generasi muda, khususnya kaum remaja.
Usia remaja memang merupakan periode labil dan fase mencari identitas bagi seorang manusia. Sementara di masa modern problem hidup semakin rumit. Kenyataan itu makin diperparah dengan kondisi keluarga dari kaum remaja di Indonesia yang kurang harmonis. Hal ini masih ditambah dengan problem-problem lain yang membuat kaum generasi muda mengalami stres dan depresi, dari tingkat ringan, sedang, berat, sampai yang akut. Generasi muda, khususnya kaum remaja seperti inilah yang menjadi target para pengedar narkoba. Bermula dari mencoba-coba, iseng, ikut-ikutan teman,
stres, pelarian, atau motif lainnya, akhirnya mereka ketagihan narkoba. Merekalah golongan mayoritas pemakai narkotika di Indonesia dari waktu ke
waktu.
sendiri dan masyarakat. Narkotika memunculkan sekian banyak madharat dan nyaris tidak ada manfaatnya. Beberapa jenis Narkotika hanya ada manfaatnya jika dipakai untuk keperluan ilmu pengetahuan, pengobatan, dan medis. Syaratnya harus dalam pengawasan ahlinya yang berkompeten secara ketat dan terarah. Pemakaiannya pun sangat terbatas dan menurut petunjuk dokter. Di luar itu semua, maka Narkotika bisa merusak fisik dan psikis, raga dan jiwa. Narkotika juga sangat dekat dengan dunia kejahatan dan kekerasan.
Narkoba yang dikonsumsi akan masuk dalam peredaran darah, kemudian mengganggu pusat syaraf dan otak. Narkotika potensial mengganggu pikiran, perasaan, mental dan perilaku para pemakainya. Para pemakai Narkotika lama kelamaan akan mengalami perubahan kepribadian, sifat, tabiat, karakter, dan tidak mampu lagi mempergunakan akal sehatnya. bisa dikatakan para pemakai Narkotika keluar dari kepribadian dirinya menuju kepribadian lain yang menyimpang. Bukan hanya merugikan diri sendiri, para pemakai Narkotika juga bisa mengganggu masyarakat. Pemakai narkoba seringkali melakukan tindak kejahatan dan kekerasan yang merugikan orang lain. para pemakai Narkotika seringkali membuat ulah, keributan, dan mengganggu masyarakat.1
Seorang pemakai Narkotika semakin lama akan bangkrut secara ekonomis karena harga narkoba yang harus dikonsumsinya tergolong mahal.
Seseorang yang telah kecanduan Narkotika yang sulit sekali melepaskan diri
1 M. Arief Hakim, Bahaya Narkoba-Alkohol: Cara Islam Mengatasi, Mencegah dan Melawan,
akan melakukan segala cara, misalnya kejahatan dan kekerasan untuk mendapatkan Narkotika.
Narkoba telah menjadi musuh besar bangsa ini, sehingga tidak ada lagi bagian yang bersih dari Narkotika. Ini berarti bisa menjadi kehancuran bagi generasi muda masa depan. Sebab pasar narkoba paling hebat adalah pada usia 15 hingga 24 tahun. Kenyataan yang telah terjadi, seseorang yang telah mencoba narkoba akan kecanduan dan susah untuk lepas dari narkoba.
Mengenai kasus yang akan diteliti oleh penulis dalam putusan Pengadilan Militer I-07 Balikpapan Nomor: 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh militer, yakni dengan kronologi kasus bahwa Serma Totok Suharsoyo (Terdakwa) adalah anggota TNI AD pada pada hari Sabtu tanggal 01 Oktober sekitar pukul 11.30 WITA terdakwa membeli 2 (dua) poket shabu-shabu dari Sdr Jepri yang beralamat di Jalan Pelabuhan (Peti Kemas) Samarinda seharga Rp. 700.000 (Tujuh Ratus Ribu Rupiah). Pada hari Kamis tanggal 06 Oktober 2011 sekira pukul 14.00 WITA terdakwa berangkat dari rumah menuju hotel CB untuk mengantarkan 2 (dua) poket shabu-shabu beserta bong dan sedotan pesanan Sdri Mimi, kemudian sekira pukul 14.15 WITA Terdakwa tiba di halaman depan parkiran Hotel CB di Jalan Letnan Jenderal S.Parman Nomor 02 Rt 08 Kelurahan Gunung Telihan Kecamatan Bontang Barat, di halaman depan parkiran Hotel CB
tersebut terdakwa langsung ditangkap oleh Briptu Kristian Saman (Saksi 2) dan Aipda Marten Lalo bersama 5 (lima) anggota Satres Narkoba lainnya,
dan langsung melakukan penggeledahan badan terhadap terdakwa dan disita tas terdakwa yang berisi 2 (dua) poket shabu-shabu, 1 (satu) buah alat hisap/bong, 2 (dua) korek api gas, 2 (dua) potong sedotan berwarna putih, 1 (satu) lembar plastik berperekat, 1 (satu) buah potongan sedotan. Selanjutnya sekira pukul 20.30 WITA Polres Bontang menyerahkan Terdakwa beserta barang bukti ke Subdenpom VI/1-2 Bontang. Pada tanggal 31 Oktober 2011 berdasarkan pengujian Badan Pom RI Nomor: PM.01.05.1011.11.11.0089 yang dikeluarkan di Samarinda pada tanggal 7 November 2011 yang ditanda tangani Manajer Teknis Pengujian Terapetik Dra. Lisni Syarifah H.Apt NIP 195807121989032001 disimpulkan bahwa contoh yang diuji mengandung metamfetamin yang termasuk Golongan I UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Terdakwa membenarkan bong dan 2 (dua) poket shabu-shabu yang ditunjukan penyidik Denpom VI/1 Smd adalah milik Terdakwa.
Mengenai hal tersebut terdakwa divonis dengan hukuman penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) subsidair kurungan pengganti selama 2 (dua) bulan. menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.2 Namun dalam Undang-undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika Pasal 112 ayat 1 “setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menanam, memelihara, memilik, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000 (delapan miliar rupiah)”. dan pada ayat 2 “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama maka di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis. Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis dilaksanakan oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum dan ini tidak bisa dilaksanakan oleh perorangan, seperti halnya dalam hukum perdata.3
Dalam hukum pidana Islam, terkait dengan kasus narkotika tersebut diatas dapat dikenakan jarimah takzir.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang berkaitan dengan “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana “Tanpa Hak Menyimpan Dan Menguasai Narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan
Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah landasan hukum yang digunakan Hakim Pengadilan
3 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
Militer I-07 Balikpapan dalam menyelesaikan perkara anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika sesuai dengan hukum pidana Islam dan perundang-undangan yang berlaku, serta tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana narkotika yang di lakukan oleh militer.
2. Bentuk hukuman yang diberikan kepada anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika.
3. Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”.
4. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012).
1. Dasar hukum pertimbangan Hakim terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012).
2. Perspektif hukum pidana Islam terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012).
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”?
2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor: 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas
duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.4 Berkaitan dengan
beberapa tema diantaranya ialah:
1. Skripsi yang disusun oleh Sayyid Abdullah yang berjudul “Perlindungan Khusus Terhadap Anak Di Bawah Umur Terpidana Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sidoarjo Menurut Fiqh Siyasah”.
Skripsi ini lebih menitik beratkan kepada perlindungan anak di bawah umur yang menggunakan narkotika.5
2. Skripsi yang disusun oleh Fitria Ika Firdaus yang berjudul “Analisis Putusan No. 202/Pid.B/2012/PN.Mkt Perihal Pidana Narkotika Golongan 1 Dalam Perspektif Fiqih Jinayah”. Skripsi ini membahas tentang
hukuman pengguna narkotika dalam perspektif fiqih jinayah yakni ta’zir
kemudian ditarik permasalahan yang lebih bersifat khusus tentang hukuman dalam putusan No. 202/Pid.B/2012/PN.Mkt. Pertimbangan Hakim dalam pandangan fiqih jinayah terhadap pelaku kejahatan narkotika golongan 1.6
3. Skripsi yang disusun oleh Resah Anika Maria yang berjudul “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Kumulatif Dalam Putusan Nomor 382/Pid.Sus/2013/PN.Mkt Tentang Penyalahgunaan Narkotika Golongan
I Berupa Sabu-Sabu” dalam penelitian ini menjelaskan bahwa dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi kumulatif
4 Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
Skripsi, (Surabaya: t.p., 2015), 8.
5 Sayyid Abdullah, “Perlindungan Khusus Terhadap Anak Di Bawah Umur Terpidana Narkotika
Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sidoarjo Menurut Fiqh Siyasah” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012).
6 Fitria Ika Firdaus, “Analisis Putusan No. 202/Pid.B/2012/PN.Mkt Perihal Pidana Narkotika
yaitu karena pelaku penyalahgunaan narkotika melanggar ketentuan pasal 114 ayat (1) UU RI No.35 Tahun 2009 tentang narkotika.7
Penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Yang membedakan dalam penulisan skripsi ini adalah penulis akan menganalisis terhadap putusan Nomor: 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana
“tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”. Kajian pustaka yang
dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mendapat gambaran mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti oleh peneliti.
E. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”.
2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor: 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”.
7 Resah Anika Maria, “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Kumulatif Dalam Putusan
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk 2 (dua) aspek, yaitu:
1. Aspek teoritis yaitu sebagai masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana Islam yang berkaitan dengan masalah tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika.
2. Aspek praktis
a. Dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan hipotesa bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai Narkotika”.
b. Sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa pentingnya hukuman bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika”.
c. Penyusunan skripsi ini sebagai upaya untuk memenuhi persyaratan akademis dan memperoleh gelar sarjana dalam Prodi Hukum Pidana Islam Jurusan Hukum Publik pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
G. Definisi Operasional
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu
penulisan skripsi ini agar mudah untuk memahami penelitian ini dengan jelas tentang arah dan tujuannya. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung.
Adapun judul skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Anggota
Militer Yang Melakukan Tindak Pidana “Tanpa Hak Menyimpan Dan Menguasai Narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012)”, untuk memperoleh gambaran yang luas dan
pemahaman yang utuh tentang judul penelitian ini, maka penulis sertakan beberapa definisi hal-hal yang terkait dengan penelitian ini:
1. Hukum pidana Islam adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang-orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis. Dalam penelitian ini merupakan teori jarimah takzir. 2. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
3. Tindak pidana narkotika adalah tindak Pidana yang dilakukan oleh
seorang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
4. Tanpa hak adalah memiliki atau mnggunakan sesuatu yang bukan miliknya atau tanpan izin terhadap benda yang akan di gunakan . 5. Militer adalah mereka yang berikatan dinas sukarela pada angkatan
perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus. Sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para militer wajib, sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam pasal 97, 99, dan 139 KUHPM.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dari dokumen, undang Hukum Pidana Militer, Undang-Undang tentang Narkotika dan Putusan Pengadilan Militer I-07 Balikpapan Nomor: 05-K/PM I-07/AD/I/2012 yang dapat ditelaah. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat dalam menjawab beberapa persoalan yang diangkat dalam penulisan ini, maka menggunakan metode:
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu metode
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka.8 Dalam
hal ini penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi Tinjauan Hukum
8 Soerjono Sukanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo, 1994),
Pidana Islam Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana
“Tanpa Hak Menyimpan Dan Menguasai Narkotika” (Studi Putusan
Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012). Metode berfikir yang digunakan adalah metode berfikir deduktif (cara berfikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). Dalam kaitannya dengan penelitian normatif disini akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.9
2. Data yang dikumpulkan
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian dilakukan terhadap buku-buku rujukan yang membicarakan tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana “Tanpa Hak Menyimpan Dan Menguasai Narkotika” (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012). Hal ini dilakukan guna meninjau pertimbangan hakim terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh militer berdasarkan Pasal 112 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan sanksi berdasarkan hukum pidana Islam.
3. Sumber data
9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia,
Sumber data, yakni sumber dari mana data akan digali, baik primer maupun sekunder.10 Adapun sumber-sumber data tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapat sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian yaitu putusan Pengadilan Militer I-07 Balikpapan Nomor. 05-K/PM I-07/AD/I/2012 tentang anggota militer yang melakukan tindak pidana “tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika” dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diambil dan diperoleh dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa benda-benda tertulis seperti buku-buku literatur yang dipakai sebagai berikut:
1) Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.
2) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam.
3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam.
4. Teknik pengumpulan data
Sesuai dengan bentuk penelitiannya yakni kajian pustaka (library research), maka penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
berbagai buku yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, kemudian memilih secara mendalam sumber data kepustakaan yang relevan dengan masalah yang dibahas.
5. Teknis analisis data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analisis yang menggambarkan atau menguraikan suatu hal menurut apa adanya tanpa membuat perbandingan atau mengembangkan satu dengan yang lainnya, yakni menguraikan kasus tentang hukuman anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika yang diputuskan oleh Pengadilan Militer I-07 Balikpapan secara keseluruhan, mulai dari
deskripsi kasus, landasan hukum yang dipakai oleh Hakim, isi putusan
kemudian dilakukan analisis berdasarkan berkas-berkas yang ada dan
menilai secara hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini membutuhkan pembahasan yang sistematis agar lebih
mudah dalam memahami dan penulisan skripsi. Oleh karena itu, penulis akan
menyusun penelitian ini ke dalam 5 (lima) bab pembahasan. Adapun
sistematika pembahasan skripsi tersebut secara umum adalah sebagai berikut:
Bab I, pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yaitu meliputi latar
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II, bab ini merupakan tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi
narkotika yang meliputi definisi, macam-macam, jenis-jenis, dan sanksi
hukumannya.
Bab III, bab ini membahas tentang putusan hakim terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012), isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi. Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisis hukum pidana Islam
terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana tanpa hak menyimpan dan menguasai narkotika (Studi Putusan Pengadilan Militer Balikpapan Nomor 05-K/PM I-07/AD/I/2012).
Bab V, bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang memuat uraian
BAB II
TEORI JARIMAH TAKZI>R
A. Pengertian Takzir
Takzir berasal dari kata ر ِزْعي– رزع yang secara etimologis berarti
عْنمْلاودرلا, yaitu menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, Imam
Al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh M. Nurul Irfan menjelaskan bahwa
taklzir adalah hukuman bagi tindak pidana yang belum ditentukan
hukumannya oleh syarak yang bersifat mendidik.1
Secara ringkas dikatakan bahwa hukuman takzir adalah hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil Al-amri,
baik penentuan maupun pelaksanaannya.
Takzir menurut Wahbah Zuhaili mirip dengan definisi yang
dikemukakan oleh Al-Mawardi yaitu hukuman yang ditetapkan atas
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula
kifarat.2
Takzir berasal dari kata ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah
kejahatan, atau berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu. Dalam
Alquran disebutkan:
ْؤ تِل
ا ْو نِم
ِ
ل
اِب
ِهِلو سرو
ه ْو ر ِ زع تو
ه ْورِ قو تو
هو حِ بس تو
ةرْك ب
لْيِصأو
.
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul- Nya, menguatkan (agama)–Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepadamu diwaktu pagi dan petang. (Q.S Alfath:9)3
Secara ringkas dikatakan bahwa hukuman takzir adalah hukuman yang
belum ditetapkan oleh syarak, melainkan diserahkan kepada Ulil Al-amri,
baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam penentuan hukuman
tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara global saja.
Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk
masing-masing jarimah takzir melainkan hanya menetapkan sejumlah hukuman, dari
yang seringan-ringannya hingga yang seberat-beratnya.4
Hakim diperkenankan untuk mempertimbangkan baik untuk bentuk
hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Bentuk hukuman dengan
kebijaksanaan ini diberikan dengan pertimbangan khusus tentang berbagai
faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban manusia dan
bervariasi berdasarkan pada keanekaragaman metode yang digunakan
pengadilan ataupun jenis tindak pidana yang dapat ditunjukan dalam
undang-undang.5
Syarak tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap
jarimah takzir tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang
paling ringan hingga paling berat. Hakim diberi kebebasan untuk memilih
3 Ibid.,166.
4 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam :Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 19.
hukuman mana yang sesuai. Dengan demikian sanksi takzir tidak
mempunyai batas tertentu.6
Tidak adanya ketentuan mengenai macam-macam hukuman dari
jarimah takzir dikarenakan jarimah ini berkaitan dengan perkembangan
masyarakat dan kemaslahatannya, dan kemaslahatan tersebut selalu berubah
dan berkembang. Sesuatu dapat dianggap maslahat pada suatu waktu, belum
tentu dianggap maslahat pula pada waktu yang lain. Demikian pula sesuatu
dianggap maslahat pada suatu tempat, belum tentu dianggap maslahat pula
pada tempat l ain.7
B. Dasar Hukum Takzir
Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam beberapa hadis
Nabi dan tindakan sahabat ant ara lain sebagai berikut:8
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
انثدح
مْيِهارْبِإ
نْب
ىسو م
،ي ِزارلا
انربْحأ
دْبع
،ِقازرلا
ْنع
،رمْعم
ْنع
ِزْهب
ِنْب
،ميِكح
ْنع
،ِهيِبأ
ْنع
ِهِ دج
:
نأ
يِبنلا
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
سبح
ل جر
يِف
ةمْه ت
(
هاور
وبا
ودواد
ىذمر تلا
ىءاس نلاو
ىقهيبلاو
ةح حصو
مكاحلا
.)
Telah menceritakan Ibrahim bin Musa ar-Razi, Abdur Razaq memberi kabar kepada kami, dari Ma’mar, dari Bahz ibn Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan‛ (hadis diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’I dan Baihaqi serta dishahihkan oleh Hakim).
6 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 143.
7 Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), 75.
Hadis diatas menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan
tersangka pelaku tindak pidana untuk memudahkan proses penyelidikan.
Apabila tidak ditahan, dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatan tindak pidana.
2. Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah yang berbunyi:
ْنع
ىِبأ
ةد ْر ب
ْى ِراصْنْ
ْ
ا
ى ِضر
ل
هْنع
هنأ
عِمس
ل ْو سر
ِ
ل
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
ي
ل ْو ق
:
ل
دلْج ي
ق ْوف
ةرْشع
طاوْسأ
لِإ
ىِف
دح
ْنِم
ِد ْو د ح
ِ
ل
ىلاعت
(
قفت
م
هيلع
.)
Dari Abi Burdah Al-Ansari ra bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala (Mutt afaq Alaih).
Hadis tersebut menjelaskan tentang batas hukuman ta’zi>r yang tidak
boleh lebih dari sepuluh kali cambukan untuk membedakannya dengan
hudud. Dengan batas hukuman ini, dapat diketahui mana yang termasuk
jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah takzir.
3. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah:
ْنعو
ةشِئاع
ى ِضر
ل
اهْنع
نأ
يِبنلا
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
لاق
:
ا ْو لْيِقأ
ىِوذ
ِتائْيهْلا
ارثع
ْمِهِت
لِإ
ْو د حْلا
د
(
هاور
دمحأ
و
وبأ
دواد
ىئاسنلا
و
ىقهيبلاو
.)
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi sw. bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah Hudu>d. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, dan Baihaqi)
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah menjelaskan tentang
aturan teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa jadi berbeda-beda
C. Maksud Sanksi Takzir
Adapun maksud utama sanksi takzir yaitu sebagai berikut:9
1. Fungsi Preventif (Pencegahan), yakni bahwa sanksi takzir harus
memberikan dampak positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai
hukuman) sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama
dengan perbuatan terhukum.
2. Fungsi Represif (membuat pelaku jera), dimaksudkan agar para pelaku
tidak mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari.
3. Fungsi Kuratif (Islah), yang maksudnya takzir harus mampu membawa
perbaikan perilaku terpidana di kemudian hari.
4. Fungsi Edukatif (pendidikan), diharapkan dapat mengubah pola
hidupannya ke arah yang lebih baik.
D. Macam-Macam Sanksi Hukuman Takzir
Sanksi takzir itu macamnya beragam antara lain sebagai berikut:
1. Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan.
Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan terdapat dua jenis,
yakni hukuman mati dan jilid.
a. Hukuman Mati
Hukuman mati umumnya diterapkan sebagai hukuman kisas
untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman h{ad untuk jarimah
hira<bah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan, untuk
9 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
jarimah takzir, tentang hukuman mati sendiri ada beberapa pendapat
dari para fuqaha.10
Mazhab Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman
mati tetapi dengan syarat bila perbuatan itu dilakukan secara
berulang-ulang. Sedangkan Mazhab Maliki juga membolehkan hukuman mati
sebagai sanksi takzir yang tertinggi. Demikian juga mazhab Syafi’i,
sebagian mazhab Syafi’iyah membolehkan hukuman mati, seperti
dalam kasus homoseks.11
Sebagian ulama Hanabilah juga membolehkan penjatuhan
hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi. Para ulama yang
membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir beralasan dengan
adanya hadis-hadis yang menunjukkan adanya hukuman mati selain
pada jarimah hudu>d, seperti:
ْنع
ةجفْرع
لاق
تْعِمس
لو سر
ِ
ل
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
لوقي
ْنم
ْم كاتأ
ْم ك رْمأو
عيِمج
ىلع
ل جر
د ِحاو
ِر ي
دْي
ْنأ
ق شي
ْم كاصع
ْوأ
ق ِ رف ي
ْم كتعامج
هو ل تْقاف
.
Dari ‘Arfajah berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila datang kepadamu seseorang yang hendak mematahkan tongkatmu (memecah belah jama’ah) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)12
Adapun para ulama yang melanggar penjatuhan sanksi hukuman
mati sebagai sanksi takzir beralasan dengan hadis:
10 Makrus Munajat, Hukum Pidana Islam..., 196. 11 A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., 192-193.
12 Lidwa Pustaka Software Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Muslim, Bab Hukum Bagi Orang yang
ْنع
ِدْبع
ِ
ل
لاق
لاق
لو سر
ِ
ل
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
ل
ل ِحي
مد
ئ ِرْما
مِلْس م
ده ْشي
ْنأ
ل
هلِإ
لِإ
ل
يِ نأو
و سر
ل
ِ
ل
لِإ
ىدْحِإِب
ثلث
بِ يثلا
ازلا
يِن
سْفنلاو
ِسْفنلاِب
ك ِراتلاو
ِهِنيِدِل
ق ِراف مْلا
ِةعامجْلِل
.
Dari Abdullah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal darah seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini: seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain, orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama’ah (murtad). (HR. Ibnu Majah)13
Dari beberapa hadis diatas, yang lebih kuat adalah pendapat yang
membolehkan hukuman mati. Hukuman mati sebagai sanksi ta’zi>r
tertinggi hanya diberikan kepada pelaku jarimah yang berbahaya
sekali, berkaitan dengan jiwa, keamanan dan ketertiban masyarakat,
disamping sanksi hudud yang tidak memberi pengaruh baginya.14
b. Hukuman Jilid
Jilid adalah sanksi badan yang langsung dirasakan sakitnya oleh
badan terhukum, sehingga menjadikan si terhukum jera dengan
mempertimbangkan kejahatannya, pelakunya, tempat, dan waktunya.15
Hukuman jilid dalam jarimah hudu>d, baik zina maupun tuduhan
zina dan sebagainya telah disepakati oleh para ulama. Adapun
hukuman jilid pada pidana takzir juga berdasarkan Alquran dan Hadis
13 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, Jilid 2. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 460-461
dan Ijma’.16 Dalam Alquran misalnya adalah pada surat Annisa’ ayat 34:
يِتللاو
نو فاخت
ه زو ش ن
ن
ن ه و ظِعف
ن ه و ر جْه او
يِف
اضمْلا
ِعِج
ن ه و بِرْضاو
.
ْنِإف
ْم كنْعطأ
لف
او غْبت
نِهيلع
ليِبس
.
نِإ
ل
ناك
ا
ً
يِلع
ا ريِبك
.
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.17
Meskipun pada ayat diatas ta’zi>r tidak dijatuhkan oleh Uli
Al-amri, melainkan oleh suami. Adapun hadis yang menunjukkan
bolehnya ta’zi>r dengan jilid adalah hadis Abu Burdah yang mendengar
langsung bahwa Nabi Saw. berkata:
يِنثدح
دْبع
ِنم ْحرلا
ْب
ن
رِباج
نأ
هابأ
هثدح
هنأ
عِمس
ابأ
ةد ْر ب
ي ِراصْنْ
ْ
ا
لاق
تْعِمس
يِبنلا
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
لو قي
"
ل
او دِلْجت
ق ْوف
ِةرْشع
طاوْسأ
لِإ
يِف
دح
ْنِم
ِدو د ح
ل
Kemudian Sulaiman bin Yasar menghadap ke kami dan berkata; Abdurrahman bin Jabir telah menceritakan kepadaku; bahwa bapaknya telah menceritakan kepadanya, bahwasanya dia telah mendengar Abu Burdah Al Anshari berkata; aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian menjilid diatas sepuluh
cambukan, kecuali dalam salah satu hukuman h{ad Allah. (HR.
Bukhari).
2. Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekan seseorang.
Sanksi Hukuman takzir jenis ini ada dua macam yaitu penjara dan
hukuman buang/pengasingan.
a. Hukuman Penjara (Al-Habsu).
16 Ibid., 196.
Menurut bahasa Al-Habsu itu menahan. Menurut Ibnu Qayyim,
Al-Habsu adalah menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan
hukum, baik tahanan itu di rumah, di masjid, maupun di tempat lain.
Seperti itulah yang dimaksud dengan al-Habsu di masa Nabi dan Abu
Bakar. Akan tetapi , setelah Umat Islam berkembang dan meluas pada
masa Umar, maka Umar membeli rumah Syafwan bin Umayyah untuk
dijadikan sebagai penjara. Atas dasar tindakan umar tersebutlah para
ulama membolehkan Ulil Al-mri untuk membuat penjara.18 Dalam
syari’at islam sendiri, hukuman penjara dibagi menjadi dua yaitu
penjara terbatas dan penjara tidak terbatas.
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama
waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini
diterapkan pada jarimah penghinaan, menjual khamr, memakan riba
dan saksi palsu. Sedangkan hukuman penjara tidak terbatas adalah
hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya, melainkan
berlangsung terus hingga pelaku yang terhukum mati, atau setidaknya
hingga dia bertaubat .19
Dalam istilah lain dikenal juga dengan hukuman penjara seumur
hidup. Hukuman penjara tidak terbatas ditujukan kepada Pelaku
Tindak Pidana yang sangat berbahaya misalnya seperti pembunuhan
yang terlepas dari sanksi qishas20
18 A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., 204-205.
b. Hukuman Buang/Pengasingan.
Dasar hukum buang terdapat pada firman Allah dalam surah
Al-maidah ayat 33 yang berbunyi sebagai berikut:
امنِإ
ءازج
نيِذلا
نو بِراح ي
ل
هلو سرو
ن ْوعْسيو
يِف
ِض ْر ْ
ْ
ا
ا داسف
ْنأ
او لتق ي
ْوأ
او بلص ي
ْوأ
عطق ت
يِدْيأ
ْمِه
ْم ه ل ج ْرأو
ْنِم
فل ِخ
ْوأ
ا ْوفْن ي
نِم
ِض ْر
ْ
ا
كِلذ
ْم هل
ي ْز ِخ
يِف
ايْندلا
ْم هلو
يِف
ِةر ِخ
آ
ا
باذع
ميِظع
.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.
Meskipun ketentuan hukuman buang dalam ayat tersebut di atas
diancamkan kepada pelaku jarimah hudu>d, tetapi para ulama
menerapkan hukuman buang ini dalam jarimah takzir juga. Tampaknya
hukuman buang ini dijatuhkan kepada pelaku-pelaku jarimah yang
dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain, sehingga pelakunya
harus dibuang untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.21
Adapun mengenai tempat pengasingan, fuqaha berpendapat
sebagai berikut:22
a) Menurut Imam Malik bin Anas, pengasingan artinya membuang
(menjauhkan) pelaku dari negara Islam ke negara Non Islam.
b) Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubair, pengasingan
artinya dibuang dari satu kota ke kota lain.
21 A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., 209.
c) Menurut Imam Al-Syafi’i, jarak antara kota asal dan kota
pengasingan sama seperti perjalanan shalat qasar. Sebab, apabila
pelaku diasingkan di daerah sendiri, pengasingan itu untuk
menjauhkannya dari keluarga dan tempat t inggal.
d) Menurut Imam Abu Hanifah, dan satu pendapat dari Imam Malik,
pengasingan berarti dipenjarakan.
Adapun lama pembuangan menurut Imam Abu Hanifah adalah
satu tahun, menurut Imam Malik bisa lebih dari satu tahun, menurut
sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah tidak boleh melebihi satu tahun dan
menurut sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah yang lain bila hukuman
buang itu sebagai sanksi hukum terhadap jarimah takzir boleh lebih
dari satu tahun. Jelas bahwa maksud hukuman buang ini adalah untuk
memberikan pelajaran bagi terdakwa pelaku jarimah dan sudah tentu
ditetapkan sehubungan dengan kejahatan-kejahatan yang sangat
membahayakan dan dapat mempengaruhi anggota masyarakat yang
lain.23
3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta.
Sanksi hukuman takzir yang berupa harta dikelompokkan menjadi
tiga yakni merampas harta, mengubah bentuk barang dan hukuman
denda. Masing-masing uraiannya yaitu:
a) Merampas Harta.
Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman
takzir dengan cara mengambil harta, sebagian ulama yang
membolehkan seperti Imam Abu Yusuf murid Abu Hanifah
menyatakan hakim menahan sebagian harta si terhukum selama waktu
tertentu, sebagai pelajaran dan upaya pencegahan atas perbuatan yang
dilakukannya, kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya
apabila ia telah jelas taubatnya.
b) Mengubah Bentuk Barang dan Memilikinya.
Hukuman takzir yang mengubah harta pelaku, antara lain
mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara
memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau vas bunga.24
Sedangkan hukuman takzir berupa pemilikan harta penjahat (pelaku),
antara lain seperti keputusan Rasulullah Saw. melipatgandakan denda
bagi seorang yang mencari buah-buahan, di samping hukuman jilid.
Demikian pula keputusan Khalifah Umar yang melipatgandakan denda
bagi orang yang menggelapkan barang temuan.25
c) Hukuman Denda (Al – Gharama>h).
Hukuman denda ditetapkan dalam syariat Islam antara lain
mengenai tentang pencurian buah yang hasil panennya tergantung
dengan pohonnya yang didenda dua kali harga buah tersebut,
disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatan mencuri.
24 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 159.
Dengan demikian sanksi denda dalam surah Albaqarah ayat 179 yang
berbunyi:
ْم كلو
يِف
ِصاصِقْلا
ةايح
اي
يِلو أ
ِبابْلْ
ْ
ا
ْم كلعل
نو قتت
.
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri
sendiri, juga dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya.
Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain
bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang
mengadili perkara jarimah takzir karena hakim diberi kebebasan yang
penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat
mempertimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaitan dengan
jarimah, pelaku, situasi maupun kondisi oleh pelaku.26
4. Hukuman takzir lainnya.
Diantara sanksi-sanksi takzir yang tidak termasuk kedalam ketiga
kelompok yang telah dikemukakan di atas adal ah:
a) Sanksi Peringatan Keras atau Ancaman (Tahdi>d) dan Dihadirkan di
Hadapan Sidang
Peringatan itu dapat dilakukan di rumah atau dipanggil ke sidang
pengadilan. Gambaran tentang peringatan keras ini seperti diucapkan
hakim kepada pelaku jarimah: “Telah sampai kepadaku bahwa kamu
telah melakukan kejahatan... oleh karena itu jangan kau lakukan lagi
hal itu”. Peringatan ini bisa dilakukan oleh utusan pengadilan atau oleh
hakim dihadapan sidang.27
Adapun peringatan disertai dengan ancaman apabila terpidana
mengulangi perbuatannya, ia akan didera, dipenjara, atau dijatuhi
hukuman yang lebih berat. Pada umumnya peringatan dijatuhkan oleh
hakim untuk menghukum pelaku tindak pidana ringan atau orang yang
baru mulai melakukan tindak pidana, sedangkan ancaman dijatuhkan
apabila hukuman itu cukup dapat mencegah, memperbaiki,serta
mengajari si terpidana.28
b) Celaan (At-Taubi>kh)
Dasar hukum untuk celaan sebagai hukuman takzir adalah hadis
Nabi Saw, diriwayatkan bahwa Abu Dzar pernah menghina seseorang
dengan menghina ibunya, kemudian Rasulullah Saw bersabda:
انثدح
نامْيل س
نْب
ب ْرح
لاق
انثدح
ةبْع ش
ْنع
ل ِصاو
ِبدْح ْ
ْ
ا
ِنع
ِرو رْعمْلا
ِنْب
دْيو س
اق
ل
تيِقل
ابأ
رذ
ِةذبرلاِب
ِهْيلعو
ةل ح
ىلعو
ِه ِمل غ
ةل ح
ه تْلأسف
ْنع
كِلذ
لاقف
يِ نِإ
تْبباس
ل جر
ه تْريعف
ِه ِ م أِب
لاقف
يِل
يِبنلا
ىلص
ل
ِهْيلع
ملسو
"
اي
ابأ
رذ
هتْريعأ
ِ م أِب
ِه
كنِإ
كيِف ؤ رْما
ةيِلِهاج
.
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Washil Al Ahdab dari Al Ma'rur bin Suwaid berkata: Aku bertemu Abu Dzar di Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menegurku: "Wahai Abu Dzar apakah
27 A. Djazuli, Fiqh Jinayah..., 215.
28 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid 3 (Bogor: PT Kharisma Ilmu,
kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu masih memiliki (sifat) jahiliyah. (HR.Bukhari)29
c) Hukuman Pengucilan (Al-Hajr)
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan untuk
berhubungan dengan pelaku jarimah dan melarang masyarakat untuk
berhubungan dengannya. Dalam sejarah Rasulullah S.a.w pernah
menjatuhkan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut
serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin malik, Mirarah bin Bai’ah,
dan Balil bin Umaiyah, mereka dikucilkan 50 (lima puluh) hari tanpa
diajak bicara.
Sanksi takzir berupa pengucilan ini diberlakukan apabila
membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi masyarakat tertentu.
Dalam suatu sistem masyarakat terbuka akan sangat susah
memberlakukan sanksi jenis ini, sebab masing-masing anggota
masyarakat yang demikian saling tidak acuh terhadap anggota
masyarakat lainnya. Akan tetapi pengucilan dalam arti tidak diikut
sertakan dalam kegiatan masyarakat bisa sangat efektif.30
d) Pemecatan dari Jabatan (Al-Azl)
Yang dimaksud dengan pemecatan (Al-azl) adalah melarang
seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau
memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.Hukuman
takzir berupa pemberhentian diterapkan terhadap setiap pegawai yang
29 Lidwa Pustaka Software Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Bukhari, Bab Perbuatan Maksiat
Merupakan Kebiasaan Jahiliyah, Hadits No. 29.
melakukan jarimah baik yang ada hubungan dengan pekerjaannya
maupun dengan hal-hal lainnya.
Hukuman pemecatan dapat diterapkan dalam segala macam
Kasus Tindak Pidana, baik sebagai hukuman pokok, tambahan,
maupun hukuman pelengkap. Adapun pemilihan apakah pemecatan
sebagai hukuman pokok, tambahan maupun hukuman pelengkap sangat
tergantung kepada kasus-kasus kejahatan yang dilakukannya.31
e) Diumumkan Kesalahannya/Publikasi (Tasyhi>r)
Tasyhi>r adalah memngumumkan tindak pidana pelaku kepada
publik. Hukuman tasyhi>r biasanya dijatuhkan atas tindak pidana yang
terkait dengan kepercayaan, seperti kesaksian palsu dan penipuan.32
Dasar hukum untuk hukuman berupa pengumuman kesalahan
atau kejahatan pelaku secara terbuka (publikasi) adalah tindakan
Khalifah Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi
hukuman jilid lalu ia diarak keliling kota, sambil diumumkan kepada
masyarakat bahwa ia adalah saksi palsu.
Dalam mazhab Syafi’i pengumuman ini juga boleh dilakukan
dengan menyuruh pencuri keliling pasar dengan tujuan agar
orang-orang pasar tahu bahwa ia adalah seorang-orang pencuri. Dengan demikian,
menurut fuqaha sanksi takzir yang berupa pengumuman kejahatan itu
dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar
31 Ibid., 219-220.
orang lain tidak melakukan perbuatan serupa, sanksi ini diharapkan
memiliki daya represif dan preventif.33
E. Pendapat Ulama t entang Penerapan sanksi Takzir
Menurut mahzab Hanafi penerapan sanksi takzir itu diserahkan kepada Ulil Al-mri termasuk batas minimal dan maksimalnya. Dalam hal ini harus
tetap dipertimbangkan variasi hukumannya sesuai dengan perbedaan
jarimah dan perbedaan pelakunya. Perbedaan jarimah dalam kaitannya dengan penerapan sanksi takzir artinya bahwa sanksi itu harus disesuaikan dengan jarimah yang dilakukan terhukum. Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa bila jarimah takzir yang dilakukan itu berkaitan dengan jilid, maka
jilidnya harus kurang dari batas jilid had zina. Akan tetapi , bila jarimah
takzir yang dilakukan itu bukan jarimah hudu>d, maka diserahkan
sepenuhnya kepada Ulil Al-mri sesuai dengan tuntutan kemaslahatan
umum.
Perbedaan pelaksanaan jarimah takzir juga harus dipertimbangkan. Hal
ini berarti bahwa dalam menentukan sanksi takzir itu harus
mempertimbangkan pelakunya, karena kondisi pelakunya itu tidak selalu
sama, baik motif tindakannya maupun kondisi psikisnya. Disamping itu,
untuk menjerahkan si pelaku sudah tentu harus tidak sama antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya ada yang harus dijilid, ada harus
dikurung, ada yang harus dicela, dan sebagainnya. Menurut Hanafiyah
dalam penerapan sanksi ini harus diperhatikan stratifikasi manusia, yakni
ada empat:
1. Asyraf Al-Asyraf (orang-orang yang paling mulia), yaitu para ulama.
Mereka cukup diberi peringatan oleh hakim atau diajukan ke meja
hijau, dan hal ini baginya sudah tentu pelajar an yang pahit.
2. Al-Asraf (orang-orang yang mulia), yaitu para pemimpin yang harus
diberi sanksi yang lebih berat dari pada sanksi yang diberikan kepada
para ulama, yakni bisa dengan peringatan yang keras atau dihadirkan di
depan pengadilan.
3. Al-Ausat (pertengahan), bisa dengan peringatan keras atau penjara.
4. Al-Akhsa (rendah), bisa dengan dipenjara atau dijilid.
Derajat-derajat ini sesungguhnya hanya merupakan klasifikasi manusia
dalam kaitannya dengan pengaruh sanksi bagi dirinya, dan tidak
dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia di depan hukum, karena
semuannya dikena hukuman, hanya saja dalam rangka untuk mencapai
tujuan hukuman, maka stratifikasi ini diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh
ibn Abidin yang menyatakan bila orang yang mulia mengulang lagi
kejahatannya, maka bisa dikenai sanksi jilid seperti orang kebanyakan.
sanksi takzir itu tidak berupa jilid, maka batas terendah dan tertingginya diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Al-mri.
Dikalangan mazhab Maliki ada perinsip bahwa sanksi takzir itu
berbeda-beda jenisnya, jumlahnya, dan sifatnya karena perbedaan kondisi
pelakunnya, bahkan Al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan kondisi
pelakunya, bahkan Al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan waktu dan
tempat t erjadinya kejahatan itu membawa perbedaan sanksi takzir, terutama sekali takzir yang diberkaitan dengan adat kebiasaan negeri tertentu.
Di kalangan mazhab Syafi’i takzir itu pada prinsipnya diserahkan kepada ijtihad Ulil Al-mri, baik tentang jenisnya maupun tentang kadarnya,
disesuaikan dengan keadaan para pelakunya yang berbeda-beda dan juga
disesuaikan dengan perbedaan jarimahnya.
Imam Mawardi menyatakan bahwa takzir itu berbeda dengan hudu>d
dalam tiga hal, yaitu:
1. Memberikan sanksi takzir kepada orang yang baik-baik itu lebih ringan
dari pada sanksi takzir kepada orang yang sering melakukan kejahatan,
sedangkan dalam hudu>d tidak ada perbedaan.
2. Dalam hudud tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zi>r ada
kemungkinan pemberian maaf.
3. H{ad itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa
terhukum, sedangkan dalam takzir terhukum tidak boleh sampai
Di kalangan mazhab Hanbali takzir juga berbeda-beda,baik jenis, kadar,
maupun sifatnya sesuai dengan jarimah dan keadaan pelakunya. Disamping
itu takzir juga diserahkan kepada Ulil Al-mri untuk menerapkannya dan
untuk memilih jenis, kadar, dan sifat takzir yang sesuai dengan tujuan takzir. Seperti dinyatakan oleh ibn Taimiyah bahwa ta’zi>r itu diserahkan
kepada Ulil Al-mri sesuai dengan besar kecilnya dosa. Bila dosanya makin
besar, maka sanksinya makin besar. Dan disesuaikan dengan keadaan
pelakunya, bila pelakunya sering melakukan kejahatan maka sanksinya lebih
berat.
Dari pendapat-pendapat para ulama di atas, jelaslah bahwa takzir itu
merupakan hukuman yang diserahkan kepada Ulil Al-mri, khususnya hakim
yang menjatuhkan hukuman. Ia dapat menentukan suatu hukuman yang
menurut ijtihad-nya dapat memberikan pengaruh preventif, represif, kuratif,
dan edukatif terhadap si terhukum dengan tepat mempertimbangkan
keadaan pelakunya, jarimahnya, korban kejahatan-kejahatannya, waktu dan
tempat kejadian. Namun demikian kewenangan hakim itu tidak mutlak. Di
kalangan mazhab Hanafi yang diserahkan kepada Ulil Al-mri itu adalah
macamnya hukuman. Hanya saja bila sanksi yang dipilih adalah sanksi jilid,
maka harus dikaitkan dengan batas tertinggi had dan tidak boleh
melampauinya.
Di kalangan mazhab Syafi’i bila hakim memilih hukuman buang
tahun. Sedangkan di kalangan mahzab Maliki yang diserahkan itu meliputi
macamnya dan kadarnya. Jadi hakim dapat memilih salah satu macam
hukuman yang menurut ijtihadnya munasabah, bahkan dapat melampaui
batas sanksi hudud, baik jilid maupun hukuman buang, bila tuntutan kemasalahatan memang melampaui batas h{ad.
Di kalangan mazhab Hanbali dan sebagaian ulama Syafi’iyah apabila si
terhukum itu seorang seorang residivis dan hukuman had tidak memberikan
daya represif baginya, maka Ulil Al-mri boleh menjatuhkan kepadanya
hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati agar tidak
membawa mudharat kepada manusia. Meskipun di kalangan mazhab Syafi’i
ada yang mengatakan bahwa hukuman mati itu suatu sanksi yang berkaitan
dengan siyasah untuki menjaga kestabilan dan keselamatan Negara,
kelangsungan pemerintah, dan untuk menghindarkan kemafsadatan di muka
bumi. Ini semua sesungguhnya berkaitan dengan Ulil Al-mri, bukan dengan
qadhi di pengadilan.
Pendapat-pendapat para ulama di atas juga menunjukkan bahwa
meskipun sanksi ta’zi>r itu diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya
akan tetapi ia harus mempertimbangkan banyak hal supaya sanksinya tidak
melampaui batas dan kurang dari batas. Jadi secara singkat hubungan antara
hakim dengan si terhukum dalam kasus ta’zi>r seperti hubungan seorang
tabib dengan pasiennya. Obat yang diberikan, baik dosisnya maupun
agar penyakitnya lekas sembuh dengan tidak tidak menimbulkan dampak
saingan yang tidak perlu.34
Dalam hukum islam narkotika belum di atur secara kusus dalam
Al-quran dan hadis maka ulama mujtahid berpendapat bahwa narkotika di qiyaskan dengan khamr.
F. Pengertian Narkotika
Narkoba secara etimologi adalah berasal dari bahasa Inggris, yaitu
narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu narke atau narkam yang bararti terbius sehingga tidak
merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya
sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek
stupor (terbius).
Secara terminologis, dalam kamus besar bahasa Indonesia, Narkoba dan
Narkotika adalah obat yang dapat menenangkan saraf menghilangkan rasa
sakit,menimbulkan rasa mengantuk dan merangsang.
Narkotika secara umum adalah semua zat yang mengakibatkan
kelemahan atau pembiusan atau mengurangi rasa sakit. Narkotika menurut
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 ketentuan umum pasal (1) ayat 1
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.
Sanksi bagi pengedar narkotika sebagai mana dalam Undan-undang
Nomor 35 Tahun 2009 pasal 112.
Dalam Undang-undang narkotika menyebutkan setiap orang yang tanpa
hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
G. Sanksi Bagi Pengedar Narkotika dalam Hukum Islam
Hukuman bagi pelaku, penjual, pengedar narkotika, golongan 1 berupa
Alquran, hadis atau keputusan penguasa yang mempunyai wewenang
menetapkan takzir.35
Pengedar narkotika dalam hukum pidana islam belum di atur secara
khusus baik dalam Alquran maupun hadis namun ada sebagian ulama
berpendapat di kenakan hukuman takzir.
Menurut Wahbah Al-Zuhaili dan Ahmad Al-Hasari berpendapat bahwa
pelaku penyalahguna narkoba di beri sanksi takzir karena narkoba tidak ada
pada masa Rasulullah Saw, dan narkoba lebih berbahaya di bandingkan
dengan khamr juga narkoba tidak di minum seperti halnya khamr.
Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) pun mengatakan bahwa sanksi
bagi penyalahguna narkoba adalah takzir.
Takzir adalah jenis sanksi yang syar’i yang tidak termasuk hudu>d dan
kisas atau diyat. Takzir bersifat memberi pelajaran dan koreksi yang
sifatnya memperbaiki perilaku tersalah.
Setiap tindak pidana yang di tentukan oleh Alquran maupun oleh hadis
di sebut hudu>d dan qishas atau diyat. Adapun yang tidak di sebutkan dalam
Al-quran dan hadis di sebut sebagai jarimah takzir.36
Misalnya ,tidak melaksanakan amanah,menghina orang,atau mengedar
narkotika dalam bentuk lain dari jarimah takzir adalah tindak pidana yang
35 Wardi Ahmad, hukum pidana islam, (jakarta: sinar grafika, 2005), 91
36 Ahmad Wardi muslich, pengantar dan asas-asas hukum pidana islam, (jakarta: sinar
hukumannya di tentukan oleh ulul amri atau hakim dan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan tujuan syari’ah islam.
Sanksi takzir merupakan otoritas hakim untuk menentukan berat atau
ringannya hukuman, walaupun ia harus mempertimbakan keadaan
pelakunya, jarimahnya, korban kejahatannya, waktu dan tempat kegiatan
sehingga putusan hakim bersifat previtif, refrensif, edukatif, dan kuratif.37
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa mengkonsumsi, memakai, jual
beli, atau pengedar narkotikan sangat di haramkan oleh agama islam dan di
larang dalam ketentuan perundang-undangan, dan dapat dikenakan sanksi
takzir yang di perberat dengat diyat, karena melihat bahannya yang sangat
besar terhadap masyarakat, bangsa serta agama.
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN MILITER I-07
BALIKPAPAN NOMOR :05-K/PM I-07/AD/I/2012.
A.Tentang Pengadilan Militer Balikpapan
Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping
pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata RI. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer.
Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara pidana guna peradilan Tentara.
Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang di atas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi.
Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Peradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat, yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit 3. Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan
kepentingan ketentaraan.
Pengadilan Militer Balikpapan beralamat di Jalan Syarifuddin Yoes No.39, Sepinggan, Kalimantan Timur, Indonesia. Web: dilmil-balikpapan.go.id
nomor: +62 542 8520024.
Majelis Hakim Pengadilan Militer I-07 Balikpapan terdiri dari:
1. Nama : Ventje Bulo, S.H., M.H.
Pangkat : Letkol Laut (KH)
NRP : 12481/P
Jabatan : Pgs. Kadilmil I-07 Balikpapan
2. Nama : Supiyadi, S.H.
Pangkat : Letkol CHK NRP : 548421
Jabatan : Anggota Pokkimmil Gol. V 3. Nama : Syariffudin Tarigan, S.H.,M.H
Pangkat : Mayor Sus NRP : 524430
Jabatan : Anggota Pokkimmil Gol. VI 4. Nama : Akhmad Jaelani, S.H.
Pangkat : Mayor CHK Nrp : 517644
5. Nama : Muhammad Idris, S.H Pangkat : Mayor Sus
Nrp : 524413
Jabatan : Anggota Pokkimmil Gol. VI 6. Nama : Rudi Dwi Prakamto, S.H
Pangkat : Mayor CHK Nrp : 11980059590177
Jabatan : Anggota Pokkimmil Gol. V
VISI : Terwujudnya Pengadilan Militer I-07 Balikpapan Yang Agung MISI