• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN AHLI MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 AYAT 1&2 UU NO.1 TAHUN 1974 : STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT KABUPATEN GRESIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN AHLI MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 AYAT 1&2 UU NO.1 TAHUN 1974 : STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT KABUPATEN GRESIK."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN AHLI

MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7

AYAT 1&2 UU NO.1 TAHUN 1974

(Studi Kasus di Rumah Sakit Kabupaten Gresik)

SKRIPSI

Oleh:

Tsamrotun Kholilah

NIM. C31211131

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Islam Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1 & 2 Uu No. 1 Tahun

1974 (Studi Kasus di Rumah Sakit Kabupaten Gresik)‛ merupakan hasil

penelitian lapangan yang bertujuan untuk mengetahui pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan menurut pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 dan menganalisis secara Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan ahli Medis tentang usia perkawinan menurut Pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974

Penelitian ini menggunakan metode analisis data deskriptif (kualitatif) karena dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan angka-angka. Data penelitian dihimpun melalui wawancara dan studi dokumentasi yang selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

Dalam pasal 7 ayat 1 & 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan diperbolehkan jika usia perempuan sudah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah ketika ia masih usia 18 tahun ke bawah. Dan dalam ilmu Kesehatan menyebutkan bahwa usia yang ideal untuk melakukan perkawinan jika perempuan sudah berusia 20 tahun dan laki-laki berusia 25 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah secara tidak langsung melegalkan adanya praktik perkawinan anak. Menurut Analisis Hukum Islam ketentuan usia perkawinan dalam pasal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan karena dalam Islam menggunakan tolak ukur baligh. Namun, dalam rangka membentuk

keluarga yang saki>nah, mawaddah, dan rahmah, hal ini tidak menjamin

terbentuknya tujuan perkawinan, karena dalam ilmu kesehatan perkawinan tersebut tidak menjamin akan kesehatan reproduksi terutama bagi pihak wanita.

Melihat banyaknya kemadharatan yang terjadi akibat perkawinan yang dilangsungkan ketika mempelai perempuan masih berusia di bawah 18 tahun,

maka konsep Shaddu adh-dha<ri’>ah menjadi solusi yang tepat untuk diterapkan.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 14

1. Identifikasi Masalah ... 14

2. Batasan Masalah ... 15

C. Rumusan Masalah ... 15

D. Kajian Pustaka ... 15

E. Tujuan Penelitian ... 17

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 18

G. Definisi Operasional ... 18

H. Metode Penelitian ... 19

I. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB II SHADDU ADH-DHA<RI’>AH DALAM PERSPEKTIF USIA PERKAWINAN A. Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 24

1. Pengertian Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 24

(7)

3. Dasar Hukum Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 27

4. Pandangan Ulama’ tentang Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 28

B. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam ... 29

1. Definisi Perkawinan ... 29

2. Dasar Hukum Perkawinan ... 33

3. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 34

4. Hikmah Perkawinan. ... 35

5. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 37

C. Perkawinan menurut Hukum Positif ... 41

1. Definisi Perkawinan ... 41

2. Tujuan Perkawinan ... 43

3. Syarat Perkawinan ... 44

4. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif ... 49

BAB III PANDANGAN AHLI MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 AYAT 1&2 UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pandangan Ahli Medis Rumah Sakit Mabarrot Bungah Gresik Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 ayat 1&2 UU NO. 1 Tahun 1974 ... 54

B. Pandangan Ahli Medis (Bidan) Bungah Gresik Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 ayat 1&2 UU NO. 1 Tahun 1974 ... 63

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN AHLI MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 AYAT 1&2 UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Analisis Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan ... 75

(8)

2. Analisis Pandangan Ahli Medis Yang Tidak Sepakat Terhadap Usia Perkawinan Menurut

Pasal 7 ayat 1&2 UU No. 1 Tahun 1974\ ... 80 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli

Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7

ayat 1&2 UU No. 1 Tahun 1974 ... 82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 90 B. Saran ... 91

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. 1 Hal itu sesuai firman Allah surat ar-Ru>m : 21

                                  

Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 2

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (حاكن) dan zawa>j (جاوز). Kedua kata

ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Arab dan

banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits nabi. Kata na-ka-h{a banyak

terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin,3

Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pasti mempunyai

tujuan dan fungsi. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 ditegaskan

tentang tujuan adanya perkawinan, yakni perkawinan bertujuan untuk

(10)

2

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah. 4

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq tujuan perkawinan adalah salah

satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada

manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara

yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,

berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing

pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan

tujuan perkawinan.

Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia,

Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga

hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara hormat dan

adanya saling ridho dengan upacara ija>b qa>bul dan adanya saksi. Bentuk

perkawinan ini sebagai bentuk pemeliharaan keturunan yang baik,

tersalurnya naluri seks, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana

rumput liar. 5

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974

ialah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, kekal

berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Islam

menganjurkan menikah, karena ia merupakan jalan yang paling sehat dan

tepat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (instink sex). Perkawinan

juga merupakan sarana yang ideal untuk memperoleh keturunan, di mana

4 324

(11)

3

suami istri mendidik serta membesarkannya dengan penuh kasih sayang

dan kemuliaan, perlindungan serta kebesaran jiwa. 6

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat

terkecil dari suami, istri, dan anak. Membentuk rumah tangga artinya

membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang

disebut rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan dalam

hubungan antara suami dan istri, atau antara suami, istri, dan anak-anak

dalam rumah tangga. Kekal berarti berlangsung terus-menerus seumur

hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut

kehendak dari masing-masing pihak.

Dalam kenyataanya, berdasarkan hasil pengamatan, tujuan

perkawinan banyak juga yang tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu

baru mengenai pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga,

karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan

kekal belum, bahkan tidak tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari

banyaknya perceraian. 7

Ketika suatu rumah tangga telah retak bahkan sampai terjadi

perpisahan maka tujuan dari perkawinan tidaklah tercapai dan perbuatan

ini halal akan tetapi Allah murka akan perbuatan itu.

UU No.1 Tahun 1974 tidak hanya mengatur dalam hal tujuan

perkawinan saja, di dalam UU Perkawinan terdapat batasan seseorang

6 Sayyid Sabiq, Fikh Sunnah : Terjemahan, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), 86

7 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2000),

(12)

4

dapat melakukan perkawinan. Sebagaimana bunyi dalam pasal 7 ayat 1

yakni Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam

belas) tahun dan bunyi ayat 2 yakni jika ada penyimpangan dalam ayat

(1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain

yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. 8

Ketentuan usia perkawinan ini juga senada dalam Kompilasi Hukum

Islam dalam Pasal 15 ayat 2.

Sedangkan Menurut Kitab Undang-Undang Perdata (BW) pasal

330 ayat 1 sampai 3 yakni batas antara belum dewasa (minderjerigheid)

dengan telah dewasa (meerdejarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali : anak itu

sudah kawin sebelum berumur 21 tahun, pendewasaan (venia aetetis

pasal 419). Sedangkan jika terjadi pembubaran perkawinan sebelum

berusia 21 tahun, hal ini tidak mempunyai pengaruh terhadap status

kedewasaannya dan jika ada anak belum dewasa tidak dalam \penguasaan

orang tua maka berada di bawah perwalian. 9

Dalam Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas

umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur

minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan

memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an

8 Undang-Undang R.I No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2 9 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi aksara, 1999) ,

(13)

5

mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan

haruslah orang yang siap dan mampu. Hal itu sesuai Firman Allah Swt.

                           

Artinya : ‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui.‛ (QS. an-Nu>r : 32) 10

Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang

bersifat jasmani. Tanda-tanda baligh secara umum antara lain,

sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtila>m bagi pria dan

haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun. 11

Dalam ketentuan batasan kapan anak dapat dikatakan sudah

dewasa pun banyak perbedaan. Hal ini menggambarkan ketidakselarasan

hukum yang berlaku di Indonesia khususnya tentang batasan dewasa.

Menurut Moh. Jusuf Hanafiah dalam pidatonya dikemukakan antara lain,

sebagai berikut :

1. Sebagai faktor-faktor yang menurut penelitian dapat menimbulkan

kanker leher rahim (KLR) pada wanita ialah :

a. Kawin pada usia muda atau coitus pada usia muda

b. Banyak anak (multiparitas)

10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)

354

(14)

6

c. Banyak sekali kawin atau banyak partner

d. Keadaan sosial ekonomi yang rendah

e. Hygiene yang buruk

2. Dalam hubungan UUP yang menetapkan batas umur 16 tahun untuk

wanita, dapat menimbulkan kerugian sebagai berikut : 12

a. Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami masa

pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa,

malahan ada di antara mereka yang baru pertama kali mendapat

haid (menarche). Pada usia 16 tahun seorang wanita sebenarnya

belum siap fisik dan mentalnya untuk menjadi ibu rumah tangga.

b. Kawin pada usia muda (16 tahun) berarti bahwa wanita tersebut

paling tinggi baru memperoleh pendidikan 9 tahun (paling tinggi

tamat SLTP) dan sebagian besar putus sekolah setelah berumah

tangga. Pendidikan pada wanita mempengaruhi berbagai hal, di

antaranya pendidikan anak-anak dan keberhasilan program

keluarga berencana serta kependudukan.

c. Kawin usia muda berarti memberi peluang kepada wanita belasan

tahun untuk menjadi hamil dengan resiko tinggi (high risk

pregnancy). Pada kehamilan wanita usia belasan tahun (teen age

pregnancy) komplikasi-kompliksai pada ibu dan anak seperti

anemia, pre-eklampsi, eklampsia, abostus, paratur prematurus,

kematian, perintal, pendarahan dan tindakan operasi obstetrik

(15)

7

lebih sering dibandingkan dengan golongan umur 20 tahun ke

atas.

d. Kawin pada usia muda berarti memperpanjang kesempatan

reproduksi. Menarche masa kini lebih cepat dari 50 tahun yang

lampau, sedangkan lebih lambat karena faktor kesehatan

umumnya. Dengan menunda perkawinan berarti menopause

memperpanjang masa antara 2 generasi dan memperpendek masa

reproduksi.

e. Kawin pada usia muda merupakan faktor predis posisi untuk

KLR (Kanker Leher Rahim), seperti yang telah diuraikan di atas.

Berdasarkan argumen di atas terdapat penambahan argumen

tentang ketidakcocokan usia nikah bagi laki-laki maupun perempuan yang

tercantum dalam pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, mengatakan

bahwa:

Alasan mengapa kehamilan remaja dapat menimbulkan resiko,

sebagai berikut: 13

1. Rahim belum siap mendukung kehamilan

2. Sistem hormonal belum terkooordinasi lancar

3. Kematangan psikologis untuk mengahadapi proses persalinan yang

traumatik dan untuk mengasuh anak/memelihara belum mencukupi.

Kehamilan pada masa remaja mempunyai resiko medis yang cukup

tinggi, karena pada masa remaja ini, alat reproduksi belum cukup matang

13

(16)

8

untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan

fungsinya setelah umur 20 tahun karena pada usia ini fungsi hormonal

melewati masa kerjanya yang maksimal. Rahim pada seorang wanita

mulai mengalami kematangan sejak umur 14 tahun yang ditandai dengan

dimulainya menstruasi. Pematangan rahim dapat pula dilihat dari

perubahan ukuran rahim secara otomatis. Pada seorang wanita, ukuran

rahim berubah sejalan dengan umur dan perkembangan hormonal.14

Kehamilan remaja dapat menyebabkna terganggunya perencanaan

masa depan remaja. Misalnya kehamilan pada remaja sekolah, remaja

akan terpaksa meninggalkan sekolah, hal ini berarti terhambat atau

bahkan mungkin tidak tercapai cita-citanya. Sementara itu, kehamilan

remaja juga mengakibatkan lahirnya anak yang tidak diinginkan, sehingga

berdampak pada kasih sayang ibu terhadap anak tersebut. Masa depan

anak ini dapat mengalami hambatan yang menyedihkan karena kurangnya

kualitas asuh dari ibunya yang masih remaja dan belum siap menjadi ibu.

Perkembangan psikologis anak akan terganggu. Besar kemungkinan anak

tersebut tumbuh tanpa kasih sayang dan megalami perlakukan penolakan

dari orang tuanya.15

Perkawinan di usia remaja juga harus memperhatikan pada

kesiapan mental kedua mempelai, yang mana pada usia remaja mereka

harus melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya.

Dan hal ini ternyata mendapat respon kurang baik dikalangan masyarakat

14

Ibid. 36-38

(17)

9

seperti halnya di desa puncu kecamatan puncu kabupaten kediri menurut

cerita warga di desanya banyak sekali terjadi perkawinan remaja

dikarenakan tidak adanya sarana pendidikan yang memadai dan kebiasaan

lingkungan yang mempengaruhi terjadinya perkawinan remaja, hal ini

menggambarkan bahwa di usia yang tergolong muda mereka sudah

kehilangan masa remajanya hingga ia sudah tidak bisa menggapai

cita-citanya. 16 Pernyataan ini dikuatkan oleh wakil kepala KUA desa puncu

bapak Johan yang mana beliau menambahi bahwa perkawinan yang

dilakukan oleh anak yang berusia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun

untuk laki-laki mengakibatkan angka perceraian semakin tinggi karena

faktor ketidaksiapan kedua mempelai untuk melakukan kehidupan rumah

tangga. Anak yang masih berusia 16 tahun secara mental ia belum siap

untuk mengarungi bahtera rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari

mereka juga belum dapat memenuhinya. 17

Bidan Listiyawati, Amd. Keb menuturkan bahwa ketika anak yang

masih berusia 16 tahun melakukan perkawinan dan kemudian ia

melahirkan seorang anak, dampak yang timbul darinya sangat banyak

sekali, seperti : ketika persalinan dapat terjadi pendarahan, infeksi rahim,

dan kanker rahim. 18

Pendapat Bidan Listiyawati tidak jauh beda dengan pendapat

Dokter Khof, Beliau berpendapat bahwa jika terjadi perkawinan di usia 16

16

Lilik, Wawancara, Kediri, Tanggal 20 Februari 2015 17

Johan Syafudin, Wawancara, Kediri, 06 Februari 2015

18

(18)

10

tahun maka kondisi rahim belum siap karena organ-organ reproduksi

masih belum matang dan secara mental ia juga belum siap. 19

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut sangatlah jelas bahwa

perkawinan yang dilakukan oleh anak (21 tahun kebawah menurut UU

No.23 Tahun 2002 pasal 1) adalah merugikan pihak perempuan dan

adanya ketidakadilan antara anak laki-laki dan perempuan.

Pada saat ini beberapa ormas atau golongan-golongan pembela

wanita mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap UU No.1

tahun 1974 pasal 7 ayat 1&2 tentang Usia Perkawinan. Tujuan

permohonan adalah untuk memastikan pemenuhan dan perlindungan

hak-hak konstitusional setiap anak Indonesia, seperti hak-hak atas pendidikan,

kesehatan serta tumbuh dan berkembang.

Ruang lingkup pasal yang diuji adalah pasal 7 ayat 1 ‚ umur 16

tahun dan ayat 2 tentang dispensasi usia perkawinan. Beberapa alasan

yang digunakan adalah pertama, pasal 7 ayat 1 dan 2 telah menciptakan

ketidakpastian hukum, karena : 20

Pertama, bertentangan perUndang-Undangan dan peraturan

lainnya, antara lain terdapat pada : KUHP pasal 330 yang menerangkan

tentang batas seseorang telah dewasa dan belum dewasa dan jika mereka

tidak dalam penguasaan orang tua maka ia dalam perwalian, UU No. 4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 dan 2 yang berisikan

19 Ahmad Khof Albar, Wawancara, Gresik, 30 Maret 2015

20

(19)

11

tentang kesejahteraan anak dilihat bagaimana ia mendapatkan hak

pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rohani, jasmani

dan sosial, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak pasal 1

yakni anak yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18

tahun dan belum pernah kawin, UU nomor 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak pasal 1 ayat 1 yang menerangkan tentang batas usia

anak yakni seseorang dikatakan anak jika ia berusia di bawah 18 tahun

termasuk yang di dalam kandungan.

Kedua, pasal 1 UU perkawinan telah melahirkan banyak praktik

‘perkawinan anak’ yang mengakibatkan dirampasnya hak anak untuk

bertumbuh dan berkembang, serta mendapat pendidikan. Ketiga, pasal ini

telah mengakibatkan terjadinya deskriminasi dalam pemenuhan hak

antara anak laki-laki dan anak perempuan. 21

Ketidakcocokan Pasal 7 ayat 1&2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Usia Perkawinan merupakan salah satu produk hukum 40 Tahun yang lalu

yang pada zaman sekarang sudah dianggap tidak relevan.

Sedangkan perkawinan yang dilakukan oleh anak dibawah umur

20 tahun akan memunculkan banyak mafsadah bagi anak, khususnya bagi

anak perempuan karena di umur 20 tahun kebawah jika ia hamil dan

melahirkan maka bahaya yang diperoleh akan lebih besar bahkan sampai

kematian. Sedangkan Perkawinan merupakan perbuatan yang dianjurkan

oleh Nabi saw sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi :

(20)

12

يغْنبْصفحْنبْرمعْانثدح

ا

عْيثدحْ:ْشمعلاْانثدحْ:ْيأْانثدحْ:ْث

ْدبعْنعْةرام

لاقْديزيْنبْنَرلا

ْ

ْينلاْعمْانكْ:ْلادبعْلاقفْلادبعْىلعْدوسلاوْةمقلعْعمْتلخد

ْانلْلاقفْائيشْدجلْابابشْملسوْهيلعْلاْىلص

:ْملسوْهيلعْلاْىلصْلاْلوسر

ْ

َْرَش عَمْاَي

ْ نَمْ َوْ.ِج رَف لِلُْنَص حَاْ َوِْرَصَب لِلْ ّضَغَاُْه نِاَفْ، ج وَزَـتَي لَـفَْةَءاَبل اُْمُك نِمَْعاَطَت ساِْنَمْ ِباَب شلا

ْ ََ

ٌْءاَجِوُْهَلُْه نِاَفِْم و صلاِبِْه يَلَعَـفْ عِطَت سَي

(5066)

22

Artinya : Omar bin Hafsh bin Ghiyas menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami : Beritahu kami Al a’mash : Umaroh menceritakan kepadaku dari Abdul Rahman bin Yazid berkata saya bertemu bersama Alqamah dan al aswad kepada Abdullah mengatakan Abdullah: Kami bersama Nabi saw beliau

mengatakan sesuatu kepada pemuda : ‚Hai para pemuda

barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa,

karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat‛. 23

Akan tetapi, jika perkawinan mengakibatkan kemafsadatan maka

perkawinan harus dihindari. Hal ini sesuai dengan konsep pengambilan

hukum ushul fiqih yakni Shaddu adh-dha>ri’ah yaitu pencegahan terhadap

segala sesuatu yang membawa mafsadah. Hal ini senada dengan hadits

Nabi yang berbunyi :

ْ نَع

ِْد بَع

ِْه للا

ِْن ب

و ر مَع

َْيِضَر

ُْلا

اَمُه ـنَع

َْلاَق

َْلاَق

ُْلوُسَر

ِْلا

ى لَص

ُْلا

ِْه يَلَع

َْم لَسَو

ْ نِإ

ْ نِم

َِْب كَأ

ِْرِئاَبَك لا

ْ نَأ

َْنَع لَـي

ُْلُج رلا

ِْه يَدِلاَو

َْليِق

اَي

َْلوُسَر

ِْلا

َْف يَكَو

َْع لَـي

ُْن

ُْلُج رلا

ِْه يَدِلاَو

ّْبُسَيَـق

ُْج رلا

ُْل

اَبَأْ

ِْلُج رلا

ّْبُسَيَـف

ُْاَبَأ

ّْبُسَيَو

ُْه مُأ

(

3111

)

24 22

S{ah bin Abdul al-azi>z bin Muhammad Ibrahim Ali as-Shaikh. S{ahih al-Bukho>ri. (Riya>d{ : da>ru as-Sala>m, 1419 H) 438

23

Ibnu Hajar Al-Asqolani, Terjemah Bulughul Maram Kumpulan Hadis Hukum Panduan Hidup

Sehari-Hari, (Jogjakarta : Hikam Pustaka, 2009), 256

24

(21)

13

Artinya : Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‚Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.‛ Beliau kemudian ditanya, ‚Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?‛ Beliau menjawab, ‚Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas

mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.

Hadits di atas digunakan oleh Ulama’ Hanafiyah,Syafi’iyah,dan

Syi’ah untuk dapat menerima Shaddu adh-dha>ri’ah dalam

masalah-masalah tertentu saja, contohnya : seorang muslim mencaci maki

sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci Allah.

Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.

Sedangkan perkawinan yang dilakukan oleh anak yang berusia 20

tahun kebawah termasuk perkawinan yang tidak ideal karena perkawinan

yang dilakukan belum adanya kesiapan akan menimbulkan sebuah

kerusakan atau kemafsadatan. Apalagi ketika wanita masih berumur 16

tahun menikah dan melahirkan seorang anak maka keadaan seperti ini

akan membahayakan nyawa ibu dan anak karena ketidaksiapan/

ketidakmatangan alat reproduksi wanita tersebut. Jadi sesuatu yang

mengakibatkan suatu kemadaratan maka perkawinan harus dicegah, hal

ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi :

ْرضلا

ْلازير

25

Artinya : Kemadaratan dapat dihilangkan

Penelusuran ilmiah tersebut akan penulis laksanakan dalam wujud

penelitian sebagai syarat akademik dengan judul penelitian ‚Analisis

25

(22)

14

Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan

Menurut Pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Rumah

Sakit Kabupaten Gresik‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari paparan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi

masalah- masalah yang dapat diteliti sebagai berikut :

1) Pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan yang ideal

2) Pandangan ahli medis tentang bahaya perkawinan usia dini

3) Pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan dalam pasal 7 ayat

1&2 UU No. 1 Tahun 1974

4) Pandangan ahli medis terhadap kelayakan pasal 7 ayat 1&2 UU No.1

Tahun 1974

5) Ketentuan usia perkawinan menurut ilmu kesehatan

6) Ketentuan usia perkawinan menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

7) Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

terhadap pandangan ahli medis tentang usia perkawinan pasal 7 ayat

(23)

15

C. Batasan Masalah

Sehubungan dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk

memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi hanya

pada masalah-masalah berikut ini :

1. Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat

1&2 UU No.1 Tahun 1974

2. Analisis Hukum Islam Tentang Pandangan Ahli Medis Tentang Usia

Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974

D. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah penyusunan skripsi ini, maka disusun rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pandangan Ahli Medis Terhadap Usia Perkawinan Menurut

Pasal 7 Ayat 1&2 Uu No.1 Tahun 1974 ?

2. Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis

Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1&2 Uu No.1 Tahun

1974?

E. Kajian Pustaka

Sejauh penelurusan yang penulis lakukan, masalah batas usia seorang

dianggap telah dewasa dan boleh menikah sangatlah kurang. Dan lebih

banyak pada perbedaan batas usia perkawinan yang sesuai pada tolak ukur

(24)

16

masalah yang menurut penulis berdekatan dengan apa yang penulis lakukan

seperti yang dilakukan oleh :

1. M. Faishol Mu’arrof Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Sunan Ampel Surabaya lulus pada tahun 2007 dengan penelitian yang

berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pencegahan Perkawinan Pada

Usia Anak-Anak dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak‛.26 Skripsi ini berisikan tentang pandangan hukum

Islam terhadap adanya perkawinan yang dilakukan oleh usia anak-anak

sehingga harus adanya pencegahan perkawinan.

2. Niswatin Nuroifah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan

Ampel Surabaya lulus pada tahun 2001 dengan penelitian yang berjudul

‚Problematika Penentuan Usia Dewasa Seorang Anak Dalam Kekuasaan

Orang Tua Menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1971‛. 27 Skripsi

ini membahas tentang perbedaan penentuan usia dewasa sehingga terjadi

ketidakselarasan umur perkawinan di Indonesia.

3. Umi Habibah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan

Ampel Surabaya lulus pada tahun 2013 dengan penelitian yang berjudul

‚Analisis Hukum Islam dan UU No.23 Tahun 2003 Tentang

Perlindungan Anak Terhadap Perjodohan Anak Dalam Kandungan‛. 28

26

M. Faishol Mu’arof, Analisis Hukum Islam Terhadap Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak-Anak dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak-Anak, (Surabaya : Fak Syariah, 2007)

27

Niswatin Nuroifah Mahasiswa, Problematika Penentuan Usia Dewasa Seorang Anak Dalam Kekuasaan Orang Tua Menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974, (Surabaya : Fak Syariah, 2001)

28

Umi Habibah, Analisis Hukum Islam dan UU No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak

(25)

17

Penelitian ini membahas tentang tradisi atau adat yang terjadi di suatu

daerah yang mana di umur yang belia ia harus dikawinkan karena

mengikuti adat yang berlaku.

4. Miftahur Rohmah Mahasiswa Program S-1 Keperawatan Stikes Kusuma

Husada Surakarta lulus pada tahun 2014 dengan penelitian yang

berjudul ‚Reproduksi Wanita Pernikahan Usia Dini‛. 29 Penelitian ini

membahas tentang kesehatan reproduksi dan bahaya yang ditimbulkan

dari perkawinan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 20 tahun dalam

hal reproduksi.

Dalam penulisan tersebut penulis bermaksud untuk menjelaskan

adanya ketidakkonsistenan sebuah aturan Undang-Undang yang

mengatur batas usia dewasa seorang anak untuk dapat melakukan

perkawinan dan bagaimana pendapat pakar medis jika terjadi

perkawinan di usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk

laki-laki. Dan lebih fokus pada apa-apa yang timbul ketika terjadi

perkawinan anak seperti halnya hak kesehatan reproduksi supaya tidak

terjadi kematian ibu dan bayi setelah melahirkan.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk memahami pandangan Ahli Medis tentang usia perkawinan

menurut pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974

29

(26)

18

2. Untuk menganalisis pandangan Ahli Medis tentang usia perkawinan

menurut pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 berdasarkan Hukum

Islam

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi aspek teoritis dan aspek

praktis.

1. Aspek teoritis

Berdasarkan manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan

berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terkait perkawinan,

khususnya tentang batas umur seorang anak untuk melakukan

perkawinan

2. Aspek Praktis

a. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi penyatuan persepsi bahwa

usia perkawinan bagi yang telah diatur dalam UU No.1 tahun 1974

b. Sebagai rujukan pertimbangan atau rujukan bagi peneliti dalam

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan batas usia perkawian

yang telah diatur dalam UU No.1 tahun 1974

H. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan

(27)

19

macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan

dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Analisis Hukum Islam : Merupakan istilah khas Indonesia, sebagai

terjemahan al-fiqh al-Isla>my atau dalam konteks tertentu dari

as-shari>’ah al-Isla>miyah. Dalam wacana ahli hukum dikenal dengan istilah

Islamic law. Hukum Islam dalam penelitian ini meliputi pendapat atau

hasil ijtihad ulama yang tertuang dalam kitab-kitab fikih dan ushul fikih.

2. UU No. 1 Tahun 1974 : Undang-Undang atau aturan yang mengatur

segala sesuatu yang berhubungan dengan Perkawinan

3. Ahli Medis : orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu

(kepandaian) dalam hak ini berhubungan dengan bidang kebidanan.

(peneliti mengambil pendapat dari Bidan dan Dokter Spesialis Obgin)

4. Rumah Sakit : Rumah sakit yang dipilih penulis adalah Rumah Sakit

dalam lingkup Kecamatan Bungah

I. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Data yang diperlukan dihimpun untuk menjawab pertanyaan

dalam rumusan masalah adalah:

a. Pandangan Ahli Medis mengenai usia Perkawinan menurut pasal 7

ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

b. Data mengenai Juducial Review pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun

(28)

20

2. Sumber Data

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan

(biblio research). Maka sumber data yang dihimpun dalam penyusunan

skripsi ini terdiri dari :

a. Sumber Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama yakni ahli medis.

1) Bidan Listiyawati, Amd. Keb

2) Bidan Nurul Afidah, SST

3) Bidan Nunik Hamidah, SST

4) dr. Muhammad Taufik, SpOG, M.Kes

5) dr. Ahmad Khof Albar, SpOG

6) dr. Ali Sibra M

b. Sumber Sekunder yaitu data yang berupa dokumen, buku/kitab,

hasil penelitian yang berwujud laporan dan lain-lain, di antaranya:

1) Ushu>l Fiqh karya Maskur Anhari

2) Ushu>l Fiqh dan Kaidah-Kidah Penerapan Hukum Islam karya

Miftahul Arifin

3) Fathul Mu’i>n Jilid III Terjemahan karya Aliy As’ad

4) Ushu>l Fiqh karya Satria Effendi

5) Fiqh Muna>kahat karya Abdul Rahman Ghozali

6) Fiqh dan Ushu>l Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal karya

Hasbiyallah

(29)

21

Yahya Khusnan Manshur

8) Kamus Istilah Fiqh karya M. Abdul Mujieb

9) Hukum Perdata Indonesia karya Abdulkadir Muhammad

10)Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir Syarifuddin

11)S{ahih al-Bukho>ri karya S{ah bin Abdul al-azi>z bin Muhammad Ibrahim Ali as-Shaikh

1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mempermudah dalam memperoleh data dalam pembahasan ini,

maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a . Wawancara, yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara ini

dilakukan dengan Ahli Medis, yakni 3 Dokter dan 3 Bidan.

b. Studi Dokumentasi yaitu membaca dan menelaah bahan bacaan yang

berkaitan dengan judul penelitian, antara lain meliputi UU No.1 Tahun

1974 Pasal 7 Ayat 1&2

J. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang berhasil dihimpun selanjutnya dianalisis dengan

metode analisis data sebagai berikut :

1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali seluruh data yang diperoleh

mengenai kejelasan data, kesesuaian data yang satu dengan yang

(30)

22

2. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematisasikan

data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah

direncanakan sebelumnya, sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk

merumuskan suatu diskripsi.

K. Teknik Analisis

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu

menggambarkan hasil penelitian secara sistematis dengan diawali teori

atau dalil yang bersifat umum tentang usia perkawinan.

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan

untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, factual, dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang diselidiki. Pendekatan deskriptif analisis dipergunakan untuk

menggambarkan pandangan Ahli Medis terhadap usia perkawinan dalam

pasal 7 ayat 1 & 2 UU No.1 tahun 1974. Selanjutnya, deskripsi tersebut

dianalisis menggunakan pola pikir deduktif.

L. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini disusun menjadi lima bab

sebagai berikut:

Bab pertama adalah Pendahuluan; yaitu meliputi Latar Belakang

(31)

23

Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional,

Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua adalah Kajian Teori, membahas tentang pisau yang

digunakan untuk menganalisis data yakni kajian shaddu adh-dha>ri’ah serta

membahas perkawinan menurut hukum Islam dan hukum posistif terkait

pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat perkawinan, hikmah perkawinan

dan usia perkawinan.

Bab ketiga adalah Data Penelitian; yaitu berisi tentang Profil Singkat

Ahli Medis, Pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan pasal 7 ayat

1&2 UU No.1 Tahun 1974 dan UU No.1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1&.

Bab keempat adalah Analisis, kajian yang membahas analisis data.

Dalam bab ini diadakan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan

untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan, sebagaimana dimuat dalam

rumusan masalah pada bab satu.

(32)

BAB II\

SHADDU ADH-DHA>RI’AH

DALAM PERSPEKTIF USIA

PERKAWINAN

A. Shaddu adh-dha>ri’ah

1. Pengertian az|-z|ari>ah

Adh-dha>ri’ah adalah perantara, yaitu suatu yang akan

mengantarkan kepada sesuatu yang diharamkan atau sesuatu yang

dihalalkan, dan dari sanalah hukum itu diambil. Dengan demikian,

adh-dha>ri’ah itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu Shaddu adh-adh-dha>ri’ah (yang

dilarang) dan fath adh-dha>ri’ah (yang dianjurkan). 1

a. Shaddu adh-dha>ri’ah

Menurut al-Syatibi, Shaddu adh-dha>ri’ah adalah

melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung

kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan. Dari pengertian di atas

dapat diketahui bahwa perbuatan yang mulanya dibolehkan

(mengandung kemaslahatan), tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.

Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan Shaddu

adh-dha>ri’ah sebagai berikut :

ُْه نِا

ْ

ْ نَم

ْ

َْباَب

ْ

َْعَنَم

ْ

ُْلِئاَسَول ا

ْْ اْ

ُ

مْ ؤ

ْ دَْيُْة

ِْْا

َْلْ

ْ اَْمَْاف

ِْس

ِْد

Artinya : Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau

kejahatan. 2

1 Miftahul arifin, Ushul Fiqh Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media,

1997), 157

2 Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung : PT Remaja

(33)

25

b. Fath az|-z|ari>ah

Fath adh-dha>ri’ah adalah kebalikan dari Saddu az|-z|ari>ah,

yaitu perbuatan yang mulanya mengandung kemafsadatan menuju

pada perbuatan kemaslahatan. Seperti melihat aurat seorang

perempuan (kemafsadatan) tetapi demi pengobatan (kemaslahatan)

maka diperbolehkan. 3

2. Pengelompokan Saddu Az|-z|ari>ah

Adh-dha>ri’ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada

beberapa segi :

1) Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibn

Qayyim membagi Adh-dha>ri’ah menjadi empat,yaitu : 4

a. Adh-dha>ri’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada

kerusakan seperti minuman-minuman yang memabukkan yang

membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang

membawa kerusakan pada keturunan.

b. Adh-dha>ri’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun

ditujukan untuk perbuatan yang buruk yang merusak, baik dengan

sengaja seperti nikah muhallil. Nikah itu sendiri hukumnya halal

tetapi ketika perkawinan ditujukan untuk menghalalkan yang

haram maka menjadi haram.

c. Adh-dha>ri’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak

ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada

3 Ibid. 119

(34)

26

kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya,

seperti berhiasnya perempuan yang bari ditinggal mati suaminya.

Hukum berhias itu boleh tetapi jika dilakukan ketika masa ‘iddah

maka hukumnya menjadi lain.

d. Adh-dha>ri’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun

terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya

lebih kecil dibandingkan kebaikannya. Contohnya : melihat wanita

yang dipinang.

2) Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi

membagi Adh-dha>ri’ah menjadi empat jenis, yaitu : 5

a. Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan.

Contohnya : menggali lubang di tempat yang gelap yang biasa

dilalui oleh orang.

b. Perbuatan yang mengandung kemungkinan untuk menuju ke yang

dilarang. Contohnya : menjual anggur kepada orang yang tidak

terkenal sebagai produsen khamr (minuman keras).

c. Perbuatan yang dasarnya adalah mubah namun kemungkinannya

akan membawa kepada kebinasaan yang lebih besar dibandingkan

kemaslahatannya. Contohnya : menjual senjata kepada musuh

yang mau berperang.

d. Perbuatan yang dasarnya mubah karena mengandung

kemaslahatan, tetapi pada pelaksanaannya memungkinkan terjadi

(35)

27

sesuatu yang dilarang. Contohnya : akad jual beli yang mungkin

digunakan sebagai upaya mengelak dari riba.

3. Dasar Hukum Shaddu adh-dha>ri’ah

Dasar hukum dari Shaddu adh-dha>ri’ah adalah Qur’an dan

Al-Hadits, yaitu :

  ْ   ْ   ْ   ْ  ْ   ْ   ْ   ْ   ْ  ْ   ْ   ْ  ْ  ْْْ ْ

Artinya : dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa pengetahuan..6

Mencaci maki berhala pada hakikatnya tidak dilarang oleh Allah,

akan tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina

berhala, karena larangan ini dapat menutup jalan kearah tindakan

orang-orang musyrik mencaci maki Allah secara melampaui batas.

Di dalam Hadits Rasulullah bersabda :

َْلَأ

ْ

ْ نَاَو

ْ

َْىََِ

ْ

ِْلا

ْ

ِْه يِصاَعَم

ْ

ْ نَمَف

ْ

َْماَح

ْ

َْل وَح

ْ

ىمَ ْا

ْ

ُْكَش وُـي

ْ

ْ نَا

ْ

َْعَقَـي

ْ

ِْه يِف

Artinya : ketahuilah bahwa tanaman Allah adalah perbuatan ma’siat yang dilakukan kepadanya. Barang siapa yang menggembalakan ternaknya sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus kedalamnya.

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan dapat

mengarah pada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinannya akan

terjerumus mengerjakannya daripada kemungkinan dapat memelihara diri

(36)

28

dari kemaksiatan itu. Tindakan yang paling selamat adalah melarang

perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan.7

4. Pandangan Ulama tentang Shaddu adh-dha>ri’ah

Tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam bentuk nash atau ijma’

ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan Shaddu adh-dha>ri’ah.

Oleh karena itu, pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan

berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai

melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian

yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati adalah faktor manfaat

dan mudarat atau baik dan buruk.

Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Shaddu adh-dha>ri’ah

adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan

antara mas{lahah{ dan mafsadat. Bila mas{lahah{ dominan, maka boleh

dilakukan dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila

sama kuat di antara keduannya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus

diambil prinsip yang berlaku, yang sebagaimana dirumuskan dalam

kaidah :

ُْأ رَد

ْ

ِْدِساَفَم ا

َْْوْ

ُْب لَج

ْ

ِْحِلاَصَم ا

ْ

Artinya : menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan

Bila antara yang halal dan haram berbaur menjadi satu, maka

secara prinsip dijelaskan dalam kaidah berikut:

(37)

29

َْعَمَت جاَذِإ

ْ

ُْل َََْ ا

َْْوْ

ُْماَرَْ ا

ْ

َْلَغ

َْب

ْ

ُْماَرَ ْا

Artinya : bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram

memenangkan yang halal.8

Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan

kehati-hatian dalam beramal, adalah sabda Nabi :

ْ عَد

ْ

اَمْ

َْكُب ـيِرُي

ْ

َْلِإ

ْ

َْلاَم

ْ

َْكُب ـيِرُي

Artinya : tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa

yang tidak meragukanmu. 9

B. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam

1. Definisi Perkawinan

Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada

semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun

tumbuh-tumbuhan. 10

Firman Allah :

 ْ   ْ   ْ  ْ   ْ  ْ   ْ  ْْْ

Artinya : dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya

kamu mengingat kebesaran Allah.(adz-Dza>riat : 49) 11

Kata kawin artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,

melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh hanya digunakan secara

umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses

generatif secara alami. Beliau lebih menekankan pada kata nikah yang

mempunyai arti al-jam’u dan al’dhammu yakni kumpul. Makna nikah

8

Ibid. 454-455

9 Ibid. 456

10 Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 6. (Bandung : PT Alma’arif, 1990). 9

11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)

(38)

30

adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses perkawinan terdapat

ija>b (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qa>bul (pernyataan

penerimaan dari pihak lelaki) dan nikah hanya digunakan pada manusia

karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan

terutama menurut agama. 12

Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu

berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapatnya berarti juga

untuk hubungan kelamin, namun dalam arti yang tidak sebenarnya (arti

majazi).

Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu

mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga

untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang

memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. 13

Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi

manusia untuk beranak, berkembang-biak dan kelestarian hidupnya,

setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif

dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Friman Allah :

                                    

Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

12 M. A. Tihami, Fikih Munakahat. (Jakarta : Rajawali Pers). 7

(39)

31

mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

lagi Maha Mengenal. (al-Hujura>t : 13)14

Perkawinan atau perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (حاكن) dan zawa>j (جاوز). Kedua kata

ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Arab dan

banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits nabi. Kata na-ka-ha banyak

terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin,15 seperti dalam surat

an-Nisa’ ayat 3:

                                                      

Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.16

Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-quran

dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37 :

                         ...

Artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk

(mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka.... 17

14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009) 77 15 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Kencana : Jakarta, 2006) 35

16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)

423

(40)

32

Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya,

yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan

dan betina secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga

kehormatan dan martabat kemulyaan manusia, Allah adakan hukum

sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan

perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling

ridha-meridhai, dengan ucapan ija>b qa>bul sebagai lambang dari adanya rasa

ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau

kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.

Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada

naluri (sex), memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum

perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang

ternak dengan seenaknya. 18

Dan janji Allah untuk hamba-hambanya yang melakukan

perkawinan. Allah berfirman dalam surat an-Nu>r ayat 32 :

                                 19

Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui

(41)

33

2. Dasar Hukum perkawinan

Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur

hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut

penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang

berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut

Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh

mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang

spesifik sesuai dengan kondisi yang spesifik pula, baik persyaratan harta,

fisik, dan atau akhlak.

a. Nikah Wajib, Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang

akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah

mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari

perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali

dengan nikah

b. Nikah Haram, Nikah diharamkan bagi orang yang tidak tahu bahwa

dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga

melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian,

tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.

c. Nikah Sunnah, Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah

mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari

perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik

(42)

34

d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah

dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum

wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. 20

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan suatu itu termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki /

perempuan dalam perkawinan.

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk

dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti calon pengantin

laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.

Perkawinan memliki 5 rukun, diantaranya : Mempelai laki-laki,

Mempelai perempuan, Wali, Dua orang saksi dan Shigat ija>b qabu>l. Dari

lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah ija>b qa>bul antara

yang mengadakan dengan yang menerima akad. Sedangkan yang

dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan

rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali,

saksi, dan ija>b qabu>l. 21

Syarat-syarat yang harus dimiliki calon suami, diantaranya :

bukan mahram dari calon istri, tidak terpaksa atas kamauan sendiri,

orangnya tertentu, jelas orangnya dan tidak sedang ihram. sedangkan

20 M. A. Tihami, . Fikih Munakahat. (Jakarta : Rajawali Pers). 11

(43)

35

syarat-syarat untuk calon istri : tidak ada halangan syara’, yaitu tidak

bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka atas

kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang berihram

Syarat-syarat wali, diantaranya : laki-laki, baligh, waras akalnya,

tidak dipaksa, adil dan tidak sedang ihram. Dan untuk syarat-syarat saksi

: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat,

bebas, tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram dan memahami

bahasa yang dipergunakan untuk Ija>b Qa>bul. 22

4. Hikmah Perkawinan

Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana

tersebut karena ia mempunyai ia mempunyai pengaruh yang baik bagi

pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia.

Hikmah perkawinan diantaranya : 23

a. Memelihara gen manusia. Perkawinan sebagai sarana untuk

memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan

generasi dari masa ke masa. Dengan perkawinan inilah manusia akan

dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah

dari Allah Swt. Keadaan seperti inilah yang disyariatkan oleh firman

Allah :                                     

22 Ibid. 12-13

23 Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fikih Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta :

(44)

36

Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 24

Dari Abu Hurairah, pernah Nabi saw bersabda :

نا

ْ

ةأرما

ْ

لبقت

ْ

ى

ْ

ةروص

ْ

ناطيش

ْ

ربدتو

ْ

ى

ْ

ةروص

ْ

ناطيش

ْ

اذإف

ْ

ىأر

ْ

مكدحا

ْ

نم

ْ

ةأرمإ

ْ

ام

ْ

هبجعي

ْ

تأيلف

ْ

هل ا

ْ

ناف

ْ

كلذ

ْ

دري

ْ

ام

ْ

ى

ْ

هسفن

(3407) 25

Artinya : sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seseorang di antaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklah

ia datangi istrinya, agar nafsunya dapat tersalurkan. 26

b. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulya,

memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. Dan

telah terdahulu dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw.

دولولادودولااوجوزت

ْ

ىإف

ْ

رثلكم

ْ

مكب

ْ

مويءايبنلا

ْ

ةمايقلا

Artinya : kawinlah dengan perempuan pecinta lagi bisa bnyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat.

c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam

suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik

yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang

24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)

406 25

S{ah bin Abdul al-azi>z bin Muhammad Ibrahim Ali as-Shaikh. S{ahih al-Bukho>ri. (Riya>d{ : da>ru as-Sala>m, 1419 H) hal 910

(45)

37

d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawaan seseorang.

e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah

tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan

batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani

tugas-tugasnya

f. Dengan perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga

dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam

direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat saling

menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang

kuat lagi bahagia. 27

5. Batas Usia Perkawinan menurut Hukum Islam

Al-quran secara konkrit tidak menentukan usia bagi pihak yang

akan melangsungkan perkawinan. Batasan hanya diberikan berdasarkan

kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat

an-Nisa’ ayat 6 :

                       

Artinya : dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah

cerdas (pandai memelihara harta), 28

27 Ibid. 19-21

(46)

38

Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam

ayat di atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan

siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa

berjalan sempurna, jika dia belum mengurus harta kekayaan.

Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqaha dan ahli

Undang-Undang sepakat menetapkan seseorang diminta

pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan

menetukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Baligh berarti sampai

atau jelas. Yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang

menjadi jelas baginya segala urusan/persoalan yang dihadapi. Pikirannya

telah mampu mempertimbangan/memperjelas mana yang baik dan mana

yang buruk. 29

Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang.

Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi

laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi

orang perempuan. Mulainya usia baligh secara yuridik dapat berbeda-beda

antara seorang dengan orang yang lain, karena perbedaan lingkungan,

geografis, dan sebagainya. Batas awal mulainya baligh secara yuridik

adalah jika seorang telah berusia 12 tahun bagi laki-laki dan berusia 9

tahun bagi perempuan. Sedangakn batas akhirnya para ulama’ terdapat

perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah yakni setelah seserang

mencapai usia 18 tahun bagi laki-laki dan telah mencapai usia 17 tahun

(47)

39

bagi perempuan. Sedangkan kebanyakan para ulama’ termasuk pula

sebagaian ulama’ Hanafiyah yaitu apabila seseorang telah mencapai usia

15 tahun baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. 30

Pada umumnya saat itulah perkembangan kemampuan akal

seseorang cukup mendalam untuk mengetahui antara yang baik dan yang

buruk dan antara yang bermanfaat dan yang memafsadatkan, sehingga

telah dapat mengetahi akibat-akibat yang timbul dari perbuatan yang

dilakukannya. Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan timbulnya

bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh seseorang. Mereka juga menyatakan

usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan lima belas tahun.

Sedangkan Hanafi menolak bulu-bulu ketiak sebagai bukti baligh

seseorang, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu

lain yang ada pada tubuh. Hanafi menetapkan batas maksimal usia baligh

anak laki-laki adalah delapan belas tahun dan minimalnya dua belas

tahun, sehingga usia baligh anak perempuan maksimal tujuh belas tahun

dan minimalnya sembilan tahun.

Ukasyah Athibi dalam bukunya Wanita Mengapa Merosor

Akhlaknya menyatakan bahwa seseorang dianggap sudah pantas untuk

menikah apabila dia telah mampu memenuh syarat-syarat berikut : 31

1. Kematangan jasmani

30 Ibid. 37

(48)

40

Minimal dia sudah baligh, mampu memberikan keturunan, dan

bebas dari penyakit atau cacat yang dapat membahayakan pasangan

suami istri atau keturunannya

2. Kematangan finansial/keuangan

Kematangan finansial/keuangan maksudnya dia mampu

membayar mas kawin, menyediakan tempat tinggal, makanan,

minuman, dan pakaian

3. Kematangan perasaan

Kematangan perasaan artinya perasaan untuk menikah itu

sudah tetap dan mantap, tidak lagi ragu-ragu antara cinta dan benci,

sebagaimana yang terjadi pada anak-anak, sebab perkawinan

bukanlah permainan yang didasarkan pada perumusuhan dan

perdamaian yang terjadi sama-sama cepat. Perkawinan itu

membutuhkan perasaan yang seimbang dan pikiran yang tenang.

Sedangkan dalam Fathul Mu’in usia baligh yaitu setelah

sampai batas tepat 15 tahun dengan dua orang saksi yang adil, atau

setelah mengeluarkan air mani atau darah haid. Selain itu tumbuhnya

rambut kelamin yang lebat sekira memerlukan untuk dipotong dan

adanya rambut ketiak yang tumbuh melebat. 32

Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dalam

kitab Bukhori menyatakan bahwa Rasulullah menikahi Aisyah ketika

usia 6 tahun, yang berbunyi :

(49)

41

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, apabila terjadi kasus perkawinan poligami yang

Sedangkan sumber data diperoleh dalam situasi yang wajar/salami (Natural Setting), informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa orang yang dianggap menguasai

2 Komite Pemilu lainnya (Land dan Constituency Electoral Committee) terdiri dari returning officer sebagai ketua dan enam orang yang memiliki hak pilih yang

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita DM dan hipertensi salah satunya adalah kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi secara rutin

Sehingga perlunya kombinasi untuk beberapa jenis rack yang sesuai dengan kriteria diatas, yaitu sesuai dengan kebutuhan pallet position yaitu sebesar 4955 pallet position,

dapat mengetahui cara pemisahan golongan V... Teori dasar II. Reagensia harus dipakai dalam suasana netral atau sedikit basa. Senyawa-senyawa ini harus dihilangkan sebelum memulai

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

Urusan-urusan yang termasuk dharuri ini adalah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak ada, akan menimbulkan kekacauan dan merusak tata