ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN AHLI
MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7
AYAT 1&2 UU NO.1 TAHUN 1974
(Studi Kasus di Rumah Sakit Kabupaten Gresik)
SKRIPSI
Oleh:
Tsamrotun Kholilah
NIM. C31211131
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Islam Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1 & 2 Uu No. 1 Tahun
1974 (Studi Kasus di Rumah Sakit Kabupaten Gresik)‛ merupakan hasil
penelitian lapangan yang bertujuan untuk mengetahui pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan menurut pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 dan menganalisis secara Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan ahli Medis tentang usia perkawinan menurut Pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974
Penelitian ini menggunakan metode analisis data deskriptif (kualitatif) karena dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan angka-angka. Data penelitian dihimpun melalui wawancara dan studi dokumentasi yang selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
Dalam pasal 7 ayat 1 & 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan diperbolehkan jika usia perempuan sudah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah ketika ia masih usia 18 tahun ke bawah. Dan dalam ilmu Kesehatan menyebutkan bahwa usia yang ideal untuk melakukan perkawinan jika perempuan sudah berusia 20 tahun dan laki-laki berusia 25 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah secara tidak langsung melegalkan adanya praktik perkawinan anak. Menurut Analisis Hukum Islam ketentuan usia perkawinan dalam pasal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan karena dalam Islam menggunakan tolak ukur baligh. Namun, dalam rangka membentuk
keluarga yang saki>nah, mawaddah, dan rahmah, hal ini tidak menjamin
terbentuknya tujuan perkawinan, karena dalam ilmu kesehatan perkawinan tersebut tidak menjamin akan kesehatan reproduksi terutama bagi pihak wanita.
Melihat banyaknya kemadharatan yang terjadi akibat perkawinan yang dilangsungkan ketika mempelai perempuan masih berusia di bawah 18 tahun,
maka konsep Shaddu adh-dha<ri’>ah menjadi solusi yang tepat untuk diterapkan.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 14
1. Identifikasi Masalah ... 14
2. Batasan Masalah ... 15
C. Rumusan Masalah ... 15
D. Kajian Pustaka ... 15
E. Tujuan Penelitian ... 17
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 18
G. Definisi Operasional ... 18
H. Metode Penelitian ... 19
I. Sistematika Pembahasan ... 23
BAB II SHADDU ADH-DHA<RI’>AH DALAM PERSPEKTIF USIA PERKAWINAN A. Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 24
1. Pengertian Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 24
3. Dasar Hukum Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 27
4. Pandangan Ulama’ tentang Shaddu adh-dha<ri’>ah ... 28
B. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam ... 29
1. Definisi Perkawinan ... 29
2. Dasar Hukum Perkawinan ... 33
3. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 34
4. Hikmah Perkawinan. ... 35
5. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 37
C. Perkawinan menurut Hukum Positif ... 41
1. Definisi Perkawinan ... 41
2. Tujuan Perkawinan ... 43
3. Syarat Perkawinan ... 44
4. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif ... 49
BAB III PANDANGAN AHLI MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 AYAT 1&2 UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pandangan Ahli Medis Rumah Sakit Mabarrot Bungah Gresik Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 ayat 1&2 UU NO. 1 Tahun 1974 ... 54
B. Pandangan Ahli Medis (Bidan) Bungah Gresik Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 ayat 1&2 UU NO. 1 Tahun 1974 ... 63
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN AHLI MEDIS TENTANG USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 AYAT 1&2 UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Analisis Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan ... 75
2. Analisis Pandangan Ahli Medis Yang Tidak Sepakat Terhadap Usia Perkawinan Menurut
Pasal 7 ayat 1&2 UU No. 1 Tahun 1974\ ... 80 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli
Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7
ayat 1&2 UU No. 1 Tahun 1974 ... 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 90 B. Saran ... 91
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. 1 Hal itu sesuai firman Allah surat ar-Ru>m : 21
Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 2
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (حاكن) dan zawa>j (جاوز). Kedua kata
ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Arab dan
banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits nabi. Kata na-ka-h{a banyak
terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin,3
Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pasti mempunyai
tujuan dan fungsi. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 ditegaskan
tentang tujuan adanya perkawinan, yakni perkawinan bertujuan untuk
2
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. 4
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq tujuan perkawinan adalah salah
satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara
yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan
tujuan perkawinan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia,
Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara hormat dan
adanya saling ridho dengan upacara ija>b qa>bul dan adanya saksi. Bentuk
perkawinan ini sebagai bentuk pemeliharaan keturunan yang baik,
tersalurnya naluri seks, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana
rumput liar. 5
Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974
ialah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Islam
menganjurkan menikah, karena ia merupakan jalan yang paling sehat dan
tepat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (instink sex). Perkawinan
juga merupakan sarana yang ideal untuk memperoleh keturunan, di mana
4 324
3
suami istri mendidik serta membesarkannya dengan penuh kasih sayang
dan kemuliaan, perlindungan serta kebesaran jiwa. 6
Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat
terkecil dari suami, istri, dan anak. Membentuk rumah tangga artinya
membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang
disebut rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan dalam
hubungan antara suami dan istri, atau antara suami, istri, dan anak-anak
dalam rumah tangga. Kekal berarti berlangsung terus-menerus seumur
hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut
kehendak dari masing-masing pihak.
Dalam kenyataanya, berdasarkan hasil pengamatan, tujuan
perkawinan banyak juga yang tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu
baru mengenai pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga,
karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan
kekal belum, bahkan tidak tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari
banyaknya perceraian. 7
Ketika suatu rumah tangga telah retak bahkan sampai terjadi
perpisahan maka tujuan dari perkawinan tidaklah tercapai dan perbuatan
ini halal akan tetapi Allah murka akan perbuatan itu.
UU No.1 Tahun 1974 tidak hanya mengatur dalam hal tujuan
perkawinan saja, di dalam UU Perkawinan terdapat batasan seseorang
6 Sayyid Sabiq, Fikh Sunnah : Terjemahan, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), 86
7 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2000),
4
dapat melakukan perkawinan. Sebagaimana bunyi dalam pasal 7 ayat 1
yakni Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam
belas) tahun dan bunyi ayat 2 yakni jika ada penyimpangan dalam ayat
(1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain
yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. 8
Ketentuan usia perkawinan ini juga senada dalam Kompilasi Hukum
Islam dalam Pasal 15 ayat 2.
Sedangkan Menurut Kitab Undang-Undang Perdata (BW) pasal
330 ayat 1 sampai 3 yakni batas antara belum dewasa (minderjerigheid)
dengan telah dewasa (meerdejarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali : anak itu
sudah kawin sebelum berumur 21 tahun, pendewasaan (venia aetetis
pasal 419). Sedangkan jika terjadi pembubaran perkawinan sebelum
berusia 21 tahun, hal ini tidak mempunyai pengaruh terhadap status
kedewasaannya dan jika ada anak belum dewasa tidak dalam \penguasaan
orang tua maka berada di bawah perwalian. 9
Dalam Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas
umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur
minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan
memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an
8 Undang-Undang R.I No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2 9 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi aksara, 1999) ,
5
mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan
haruslah orang yang siap dan mampu. Hal itu sesuai Firman Allah Swt.
Artinya : ‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.‛ (QS. an-Nu>r : 32) 10
Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang
bersifat jasmani. Tanda-tanda baligh secara umum antara lain,
sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtila>m bagi pria dan
haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun. 11
Dalam ketentuan batasan kapan anak dapat dikatakan sudah
dewasa pun banyak perbedaan. Hal ini menggambarkan ketidakselarasan
hukum yang berlaku di Indonesia khususnya tentang batasan dewasa.
Menurut Moh. Jusuf Hanafiah dalam pidatonya dikemukakan antara lain,
sebagai berikut :
1. Sebagai faktor-faktor yang menurut penelitian dapat menimbulkan
kanker leher rahim (KLR) pada wanita ialah :
a. Kawin pada usia muda atau coitus pada usia muda
b. Banyak anak (multiparitas)
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)
354
6
c. Banyak sekali kawin atau banyak partner
d. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
e. Hygiene yang buruk
2. Dalam hubungan UUP yang menetapkan batas umur 16 tahun untuk
wanita, dapat menimbulkan kerugian sebagai berikut : 12
a. Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami masa
pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa,
malahan ada di antara mereka yang baru pertama kali mendapat
haid (menarche). Pada usia 16 tahun seorang wanita sebenarnya
belum siap fisik dan mentalnya untuk menjadi ibu rumah tangga.
b. Kawin pada usia muda (16 tahun) berarti bahwa wanita tersebut
paling tinggi baru memperoleh pendidikan 9 tahun (paling tinggi
tamat SLTP) dan sebagian besar putus sekolah setelah berumah
tangga. Pendidikan pada wanita mempengaruhi berbagai hal, di
antaranya pendidikan anak-anak dan keberhasilan program
keluarga berencana serta kependudukan.
c. Kawin usia muda berarti memberi peluang kepada wanita belasan
tahun untuk menjadi hamil dengan resiko tinggi (high risk
pregnancy). Pada kehamilan wanita usia belasan tahun (teen age
pregnancy) komplikasi-kompliksai pada ibu dan anak seperti
anemia, pre-eklampsi, eklampsia, abostus, paratur prematurus,
kematian, perintal, pendarahan dan tindakan operasi obstetrik
7
lebih sering dibandingkan dengan golongan umur 20 tahun ke
atas.
d. Kawin pada usia muda berarti memperpanjang kesempatan
reproduksi. Menarche masa kini lebih cepat dari 50 tahun yang
lampau, sedangkan lebih lambat karena faktor kesehatan
umumnya. Dengan menunda perkawinan berarti menopause
memperpanjang masa antara 2 generasi dan memperpendek masa
reproduksi.
e. Kawin pada usia muda merupakan faktor predis posisi untuk
KLR (Kanker Leher Rahim), seperti yang telah diuraikan di atas.
Berdasarkan argumen di atas terdapat penambahan argumen
tentang ketidakcocokan usia nikah bagi laki-laki maupun perempuan yang
tercantum dalam pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, mengatakan
bahwa:
Alasan mengapa kehamilan remaja dapat menimbulkan resiko,
sebagai berikut: 13
1. Rahim belum siap mendukung kehamilan
2. Sistem hormonal belum terkooordinasi lancar
3. Kematangan psikologis untuk mengahadapi proses persalinan yang
traumatik dan untuk mengasuh anak/memelihara belum mencukupi.
Kehamilan pada masa remaja mempunyai resiko medis yang cukup
tinggi, karena pada masa remaja ini, alat reproduksi belum cukup matang
13
8
untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan
fungsinya setelah umur 20 tahun karena pada usia ini fungsi hormonal
melewati masa kerjanya yang maksimal. Rahim pada seorang wanita
mulai mengalami kematangan sejak umur 14 tahun yang ditandai dengan
dimulainya menstruasi. Pematangan rahim dapat pula dilihat dari
perubahan ukuran rahim secara otomatis. Pada seorang wanita, ukuran
rahim berubah sejalan dengan umur dan perkembangan hormonal.14
Kehamilan remaja dapat menyebabkna terganggunya perencanaan
masa depan remaja. Misalnya kehamilan pada remaja sekolah, remaja
akan terpaksa meninggalkan sekolah, hal ini berarti terhambat atau
bahkan mungkin tidak tercapai cita-citanya. Sementara itu, kehamilan
remaja juga mengakibatkan lahirnya anak yang tidak diinginkan, sehingga
berdampak pada kasih sayang ibu terhadap anak tersebut. Masa depan
anak ini dapat mengalami hambatan yang menyedihkan karena kurangnya
kualitas asuh dari ibunya yang masih remaja dan belum siap menjadi ibu.
Perkembangan psikologis anak akan terganggu. Besar kemungkinan anak
tersebut tumbuh tanpa kasih sayang dan megalami perlakukan penolakan
dari orang tuanya.15
Perkawinan di usia remaja juga harus memperhatikan pada
kesiapan mental kedua mempelai, yang mana pada usia remaja mereka
harus melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya.
Dan hal ini ternyata mendapat respon kurang baik dikalangan masyarakat
14
Ibid. 36-38
9
seperti halnya di desa puncu kecamatan puncu kabupaten kediri menurut
cerita warga di desanya banyak sekali terjadi perkawinan remaja
dikarenakan tidak adanya sarana pendidikan yang memadai dan kebiasaan
lingkungan yang mempengaruhi terjadinya perkawinan remaja, hal ini
menggambarkan bahwa di usia yang tergolong muda mereka sudah
kehilangan masa remajanya hingga ia sudah tidak bisa menggapai
cita-citanya. 16 Pernyataan ini dikuatkan oleh wakil kepala KUA desa puncu
bapak Johan yang mana beliau menambahi bahwa perkawinan yang
dilakukan oleh anak yang berusia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun
untuk laki-laki mengakibatkan angka perceraian semakin tinggi karena
faktor ketidaksiapan kedua mempelai untuk melakukan kehidupan rumah
tangga. Anak yang masih berusia 16 tahun secara mental ia belum siap
untuk mengarungi bahtera rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari
mereka juga belum dapat memenuhinya. 17
Bidan Listiyawati, Amd. Keb menuturkan bahwa ketika anak yang
masih berusia 16 tahun melakukan perkawinan dan kemudian ia
melahirkan seorang anak, dampak yang timbul darinya sangat banyak
sekali, seperti : ketika persalinan dapat terjadi pendarahan, infeksi rahim,
dan kanker rahim. 18
Pendapat Bidan Listiyawati tidak jauh beda dengan pendapat
Dokter Khof, Beliau berpendapat bahwa jika terjadi perkawinan di usia 16
16
Lilik, Wawancara, Kediri, Tanggal 20 Februari 2015 17
Johan Syafudin, Wawancara, Kediri, 06 Februari 2015
18
10
tahun maka kondisi rahim belum siap karena organ-organ reproduksi
masih belum matang dan secara mental ia juga belum siap. 19
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut sangatlah jelas bahwa
perkawinan yang dilakukan oleh anak (21 tahun kebawah menurut UU
No.23 Tahun 2002 pasal 1) adalah merugikan pihak perempuan dan
adanya ketidakadilan antara anak laki-laki dan perempuan.
Pada saat ini beberapa ormas atau golongan-golongan pembela
wanita mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap UU No.1
tahun 1974 pasal 7 ayat 1&2 tentang Usia Perkawinan. Tujuan
permohonan adalah untuk memastikan pemenuhan dan perlindungan
hak-hak konstitusional setiap anak Indonesia, seperti hak-hak atas pendidikan,
kesehatan serta tumbuh dan berkembang.
Ruang lingkup pasal yang diuji adalah pasal 7 ayat 1 ‚ umur 16
tahun dan ayat 2 tentang dispensasi usia perkawinan. Beberapa alasan
yang digunakan adalah pertama, pasal 7 ayat 1 dan 2 telah menciptakan
ketidakpastian hukum, karena : 20
Pertama, bertentangan perUndang-Undangan dan peraturan
lainnya, antara lain terdapat pada : KUHP pasal 330 yang menerangkan
tentang batas seseorang telah dewasa dan belum dewasa dan jika mereka
tidak dalam penguasaan orang tua maka ia dalam perwalian, UU No. 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 dan 2 yang berisikan
19 Ahmad Khof Albar, Wawancara, Gresik, 30 Maret 2015
20
11
tentang kesejahteraan anak dilihat bagaimana ia mendapatkan hak
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rohani, jasmani
dan sosial, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak pasal 1
yakni anak yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18
tahun dan belum pernah kawin, UU nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak pasal 1 ayat 1 yang menerangkan tentang batas usia
anak yakni seseorang dikatakan anak jika ia berusia di bawah 18 tahun
termasuk yang di dalam kandungan.
Kedua, pasal 1 UU perkawinan telah melahirkan banyak praktik
‘perkawinan anak’ yang mengakibatkan dirampasnya hak anak untuk
bertumbuh dan berkembang, serta mendapat pendidikan. Ketiga, pasal ini
telah mengakibatkan terjadinya deskriminasi dalam pemenuhan hak
antara anak laki-laki dan anak perempuan. 21
Ketidakcocokan Pasal 7 ayat 1&2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Usia Perkawinan merupakan salah satu produk hukum 40 Tahun yang lalu
yang pada zaman sekarang sudah dianggap tidak relevan.
Sedangkan perkawinan yang dilakukan oleh anak dibawah umur
20 tahun akan memunculkan banyak mafsadah bagi anak, khususnya bagi
anak perempuan karena di umur 20 tahun kebawah jika ia hamil dan
melahirkan maka bahaya yang diperoleh akan lebih besar bahkan sampai
kematian. Sedangkan Perkawinan merupakan perbuatan yang dianjurkan
oleh Nabi saw sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi :
12
يغْنبْصفحْنبْرمعْانثدح
ا
عْيثدحْ:ْشمعلاْانثدحْ:ْيأْانثدحْ:ْث
ْدبعْنعْةرام
لاقْديزيْنبْنَرلا
ْ
ْينلاْعمْانكْ:ْلادبعْلاقفْلادبعْىلعْدوسلاوْةمقلعْعمْتلخد
ْانلْلاقفْائيشْدجلْابابشْملسوْهيلعْلاْىلص
:ْملسوْهيلعْلاْىلصْلاْلوسر
ْ
َْرَش عَمْاَي
ْ نَمْ َوْ.ِج رَف لِلُْنَص حَاْ َوِْرَصَب لِلْ ّضَغَاُْه نِاَفْ، ج وَزَـتَي لَـفَْةَءاَبل اُْمُك نِمَْعاَطَت ساِْنَمْ ِباَب شلا
ْ ََ
ٌْءاَجِوُْهَلُْه نِاَفِْم و صلاِبِْه يَلَعَـفْ عِطَت سَي
(5066)
22Artinya : Omar bin Hafsh bin Ghiyas menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami : Beritahu kami Al a’mash : Umaroh menceritakan kepadaku dari Abdul Rahman bin Yazid berkata saya bertemu bersama Alqamah dan al aswad kepada Abdullah mengatakan Abdullah: Kami bersama Nabi saw beliau
mengatakan sesuatu kepada pemuda : ‚Hai para pemuda
barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa,
karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat‛. 23
Akan tetapi, jika perkawinan mengakibatkan kemafsadatan maka
perkawinan harus dihindari. Hal ini sesuai dengan konsep pengambilan
hukum ushul fiqih yakni Shaddu adh-dha>ri’ah yaitu pencegahan terhadap
segala sesuatu yang membawa mafsadah. Hal ini senada dengan hadits
Nabi yang berbunyi :
ْ نَع
ِْد بَع
ِْه للا
ِْن ب
و ر مَع
َْيِضَر
ُْلا
اَمُه ـنَع
َْلاَق
َْلاَق
ُْلوُسَر
ِْلا
ى لَص
ُْلا
ِْه يَلَع
َْم لَسَو
ْ نِإ
ْ نِم
َِْب كَأ
ِْرِئاَبَك لا
ْ نَأ
َْنَع لَـي
ُْلُج رلا
ِْه يَدِلاَو
َْليِق
اَي
َْلوُسَر
ِْلا
َْف يَكَو
َْع لَـي
ُْن
ُْلُج رلا
ِْه يَدِلاَو
ّْبُسَيَـق
ُْج رلا
ُْل
اَبَأْ
ِْلُج رلا
ّْبُسَيَـف
ُْاَبَأ
ّْبُسَيَو
ُْه مُأ
(
3111)
24 22S{ah bin Abdul al-azi>z bin Muhammad Ibrahim Ali as-Shaikh. S{ahih al-Bukho>ri. (Riya>d{ : da>ru as-Sala>m, 1419 H) 438
23
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Terjemah Bulughul Maram Kumpulan Hadis Hukum Panduan Hidup
Sehari-Hari, (Jogjakarta : Hikam Pustaka, 2009), 256
24
13
Artinya : Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‚Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.‛ Beliau kemudian ditanya, ‚Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?‛ Beliau menjawab, ‚Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.
Hadits di atas digunakan oleh Ulama’ Hanafiyah,Syafi’iyah,dan
Syi’ah untuk dapat menerima Shaddu adh-dha>ri’ah dalam
masalah-masalah tertentu saja, contohnya : seorang muslim mencaci maki
sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci Allah.
Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Sedangkan perkawinan yang dilakukan oleh anak yang berusia 20
tahun kebawah termasuk perkawinan yang tidak ideal karena perkawinan
yang dilakukan belum adanya kesiapan akan menimbulkan sebuah
kerusakan atau kemafsadatan. Apalagi ketika wanita masih berumur 16
tahun menikah dan melahirkan seorang anak maka keadaan seperti ini
akan membahayakan nyawa ibu dan anak karena ketidaksiapan/
ketidakmatangan alat reproduksi wanita tersebut. Jadi sesuatu yang
mengakibatkan suatu kemadaratan maka perkawinan harus dicegah, hal
ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi :
ْرضلا
ْلازير
25
Artinya : Kemadaratan dapat dihilangkan
Penelusuran ilmiah tersebut akan penulis laksanakan dalam wujud
penelitian sebagai syarat akademik dengan judul penelitian ‚Analisis
25
14
Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan
Menurut Pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Rumah
Sakit Kabupaten Gresik‛.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi
masalah- masalah yang dapat diteliti sebagai berikut :
1) Pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan yang ideal
2) Pandangan ahli medis tentang bahaya perkawinan usia dini
3) Pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan dalam pasal 7 ayat
1&2 UU No. 1 Tahun 1974
4) Pandangan ahli medis terhadap kelayakan pasal 7 ayat 1&2 UU No.1
Tahun 1974
5) Ketentuan usia perkawinan menurut ilmu kesehatan
6) Ketentuan usia perkawinan menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
7) Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
terhadap pandangan ahli medis tentang usia perkawinan pasal 7 ayat
15
C. Batasan Masalah
Sehubungan dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk
memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi hanya
pada masalah-masalah berikut ini :
1. Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat
1&2 UU No.1 Tahun 1974
2. Analisis Hukum Islam Tentang Pandangan Ahli Medis Tentang Usia
Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974
D. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah penyusunan skripsi ini, maka disusun rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pandangan Ahli Medis Terhadap Usia Perkawinan Menurut
Pasal 7 Ayat 1&2 Uu No.1 Tahun 1974 ?
2. Bagaimana Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis
Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1&2 Uu No.1 Tahun
1974?
E. Kajian Pustaka
Sejauh penelurusan yang penulis lakukan, masalah batas usia seorang
dianggap telah dewasa dan boleh menikah sangatlah kurang. Dan lebih
banyak pada perbedaan batas usia perkawinan yang sesuai pada tolak ukur
16
masalah yang menurut penulis berdekatan dengan apa yang penulis lakukan
seperti yang dilakukan oleh :
1. M. Faishol Mu’arrof Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Ampel Surabaya lulus pada tahun 2007 dengan penelitian yang
berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pencegahan Perkawinan Pada
Usia Anak-Anak dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak‛.26 Skripsi ini berisikan tentang pandangan hukum
Islam terhadap adanya perkawinan yang dilakukan oleh usia anak-anak
sehingga harus adanya pencegahan perkawinan.
2. Niswatin Nuroifah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya lulus pada tahun 2001 dengan penelitian yang berjudul
‚Problematika Penentuan Usia Dewasa Seorang Anak Dalam Kekuasaan
Orang Tua Menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1971‛. 27 Skripsi
ini membahas tentang perbedaan penentuan usia dewasa sehingga terjadi
ketidakselarasan umur perkawinan di Indonesia.
3. Umi Habibah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya lulus pada tahun 2013 dengan penelitian yang berjudul
‚Analisis Hukum Islam dan UU No.23 Tahun 2003 Tentang
Perlindungan Anak Terhadap Perjodohan Anak Dalam Kandungan‛. 28
26
M. Faishol Mu’arof, Analisis Hukum Islam Terhadap Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak-Anak dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak-Anak, (Surabaya : Fak Syariah, 2007)
27
Niswatin Nuroifah Mahasiswa, Problematika Penentuan Usia Dewasa Seorang Anak Dalam Kekuasaan Orang Tua Menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974, (Surabaya : Fak Syariah, 2001)
28
Umi Habibah, Analisis Hukum Islam dan UU No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak
17
Penelitian ini membahas tentang tradisi atau adat yang terjadi di suatu
daerah yang mana di umur yang belia ia harus dikawinkan karena
mengikuti adat yang berlaku.
4. Miftahur Rohmah Mahasiswa Program S-1 Keperawatan Stikes Kusuma
Husada Surakarta lulus pada tahun 2014 dengan penelitian yang
berjudul ‚Reproduksi Wanita Pernikahan Usia Dini‛. 29 Penelitian ini
membahas tentang kesehatan reproduksi dan bahaya yang ditimbulkan
dari perkawinan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 20 tahun dalam
hal reproduksi.
Dalam penulisan tersebut penulis bermaksud untuk menjelaskan
adanya ketidakkonsistenan sebuah aturan Undang-Undang yang
mengatur batas usia dewasa seorang anak untuk dapat melakukan
perkawinan dan bagaimana pendapat pakar medis jika terjadi
perkawinan di usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk
laki-laki. Dan lebih fokus pada apa-apa yang timbul ketika terjadi
perkawinan anak seperti halnya hak kesehatan reproduksi supaya tidak
terjadi kematian ibu dan bayi setelah melahirkan.
F. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk memahami pandangan Ahli Medis tentang usia perkawinan
menurut pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974
29
18
2. Untuk menganalisis pandangan Ahli Medis tentang usia perkawinan
menurut pasal 7 Ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 berdasarkan Hukum
Islam
G. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi aspek teoritis dan aspek
praktis.
1. Aspek teoritis
Berdasarkan manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan
berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terkait perkawinan,
khususnya tentang batas umur seorang anak untuk melakukan
perkawinan
2. Aspek Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi penyatuan persepsi bahwa
usia perkawinan bagi yang telah diatur dalam UU No.1 tahun 1974
b. Sebagai rujukan pertimbangan atau rujukan bagi peneliti dalam
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan batas usia perkawian
yang telah diatur dalam UU No.1 tahun 1974
H. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan
19
macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Analisis Hukum Islam : Merupakan istilah khas Indonesia, sebagai
terjemahan al-fiqh al-Isla>my atau dalam konteks tertentu dari
as-shari>’ah al-Isla>miyah. Dalam wacana ahli hukum dikenal dengan istilah
Islamic law. Hukum Islam dalam penelitian ini meliputi pendapat atau
hasil ijtihad ulama yang tertuang dalam kitab-kitab fikih dan ushul fikih.
2. UU No. 1 Tahun 1974 : Undang-Undang atau aturan yang mengatur
segala sesuatu yang berhubungan dengan Perkawinan
3. Ahli Medis : orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu
(kepandaian) dalam hak ini berhubungan dengan bidang kebidanan.
(peneliti mengambil pendapat dari Bidan dan Dokter Spesialis Obgin)
4. Rumah Sakit : Rumah sakit yang dipilih penulis adalah Rumah Sakit
dalam lingkup Kecamatan Bungah
I. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Data yang diperlukan dihimpun untuk menjawab pertanyaan
dalam rumusan masalah adalah:
a. Pandangan Ahli Medis mengenai usia Perkawinan menurut pasal 7
ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Data mengenai Juducial Review pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun
20
2. Sumber Data
Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan
(biblio research). Maka sumber data yang dihimpun dalam penyusunan
skripsi ini terdiri dari :
a. Sumber Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama yakni ahli medis.
1) Bidan Listiyawati, Amd. Keb
2) Bidan Nurul Afidah, SST
3) Bidan Nunik Hamidah, SST
4) dr. Muhammad Taufik, SpOG, M.Kes
5) dr. Ahmad Khof Albar, SpOG
6) dr. Ali Sibra M
b. Sumber Sekunder yaitu data yang berupa dokumen, buku/kitab,
hasil penelitian yang berwujud laporan dan lain-lain, di antaranya:
1) Ushu>l Fiqh karya Maskur Anhari
2) Ushu>l Fiqh dan Kaidah-Kidah Penerapan Hukum Islam karya
Miftahul Arifin
3) Fathul Mu’i>n Jilid III Terjemahan karya Aliy As’ad
4) Ushu>l Fiqh karya Satria Effendi
5) Fiqh Muna>kahat karya Abdul Rahman Ghozali
6) Fiqh dan Ushu>l Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal karya
Hasbiyallah
21
Yahya Khusnan Manshur
8) Kamus Istilah Fiqh karya M. Abdul Mujieb
9) Hukum Perdata Indonesia karya Abdulkadir Muhammad
10)Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir Syarifuddin
11)S{ahih al-Bukho>ri karya S{ah bin Abdul al-azi>z bin Muhammad Ibrahim Ali as-Shaikh
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mempermudah dalam memperoleh data dalam pembahasan ini,
maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a . Wawancara, yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara ini
dilakukan dengan Ahli Medis, yakni 3 Dokter dan 3 Bidan.
b. Studi Dokumentasi yaitu membaca dan menelaah bahan bacaan yang
berkaitan dengan judul penelitian, antara lain meliputi UU No.1 Tahun
1974 Pasal 7 Ayat 1&2
J. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang berhasil dihimpun selanjutnya dianalisis dengan
metode analisis data sebagai berikut :
1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali seluruh data yang diperoleh
mengenai kejelasan data, kesesuaian data yang satu dengan yang
22
2. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematisasikan
data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan sebelumnya, sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk
merumuskan suatu diskripsi.
K. Teknik Analisis
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu
menggambarkan hasil penelitian secara sistematis dengan diawali teori
atau dalil yang bersifat umum tentang usia perkawinan.
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan
untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, factual, dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang diselidiki. Pendekatan deskriptif analisis dipergunakan untuk
menggambarkan pandangan Ahli Medis terhadap usia perkawinan dalam
pasal 7 ayat 1 & 2 UU No.1 tahun 1974. Selanjutnya, deskripsi tersebut
dianalisis menggunakan pola pikir deduktif.
L. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini disusun menjadi lima bab
sebagai berikut:
Bab pertama adalah Pendahuluan; yaitu meliputi Latar Belakang
23
Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional,
Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua adalah Kajian Teori, membahas tentang pisau yang
digunakan untuk menganalisis data yakni kajian shaddu adh-dha>ri’ah serta
membahas perkawinan menurut hukum Islam dan hukum posistif terkait
pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat perkawinan, hikmah perkawinan
dan usia perkawinan.
Bab ketiga adalah Data Penelitian; yaitu berisi tentang Profil Singkat
Ahli Medis, Pandangan ahli medis terhadap usia perkawinan pasal 7 ayat
1&2 UU No.1 Tahun 1974 dan UU No.1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1&.
Bab keempat adalah Analisis, kajian yang membahas analisis data.
Dalam bab ini diadakan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan
untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan, sebagaimana dimuat dalam
rumusan masalah pada bab satu.
BAB II\
SHADDU ADH-DHA>RI’AH
DALAM PERSPEKTIF USIA
PERKAWINAN
A. Shaddu adh-dha>ri’ah
1. Pengertian az|-z|ari>ah
Adh-dha>ri’ah adalah perantara, yaitu suatu yang akan
mengantarkan kepada sesuatu yang diharamkan atau sesuatu yang
dihalalkan, dan dari sanalah hukum itu diambil. Dengan demikian,
adh-dha>ri’ah itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu Shaddu adh-adh-dha>ri’ah (yang
dilarang) dan fath adh-dha>ri’ah (yang dianjurkan). 1
a. Shaddu adh-dha>ri’ah
Menurut al-Syatibi, Shaddu adh-dha>ri’ah adalah
melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan. Dari pengertian di atas
dapat diketahui bahwa perbuatan yang mulanya dibolehkan
(mengandung kemaslahatan), tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan Shaddu
adh-dha>ri’ah sebagai berikut :
ُْه نِا
ْ
ْ نَم
ْ
َْباَب
ْ
َْعَنَم
ْ
ُْلِئاَسَول ا
ْْ اْ
ُ
مْ ؤ
ْ دَْيُْة
ِْْا
َْلْ
ْ اَْمَْاف
ِْس
ِْد
Artinya : Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau
kejahatan. 2
1 Miftahul arifin, Ushul Fiqh Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media,
1997), 157
2 Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung : PT Remaja
25
b. Fath az|-z|ari>ah
Fath adh-dha>ri’ah adalah kebalikan dari Saddu az|-z|ari>ah,
yaitu perbuatan yang mulanya mengandung kemafsadatan menuju
pada perbuatan kemaslahatan. Seperti melihat aurat seorang
perempuan (kemafsadatan) tetapi demi pengobatan (kemaslahatan)
maka diperbolehkan. 3
2. Pengelompokan Saddu Az|-z|ari>ah
Adh-dha>ri’ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada
beberapa segi :
1) Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibn
Qayyim membagi Adh-dha>ri’ah menjadi empat,yaitu : 4
a. Adh-dha>ri’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada
kerusakan seperti minuman-minuman yang memabukkan yang
membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang
membawa kerusakan pada keturunan.
b. Adh-dha>ri’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun
ditujukan untuk perbuatan yang buruk yang merusak, baik dengan
sengaja seperti nikah muhallil. Nikah itu sendiri hukumnya halal
tetapi ketika perkawinan ditujukan untuk menghalalkan yang
haram maka menjadi haram.
c. Adh-dha>ri’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak
ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada
3 Ibid. 119
26
kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya,
seperti berhiasnya perempuan yang bari ditinggal mati suaminya.
Hukum berhias itu boleh tetapi jika dilakukan ketika masa ‘iddah
maka hukumnya menjadi lain.
d. Adh-dha>ri’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun
terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya
lebih kecil dibandingkan kebaikannya. Contohnya : melihat wanita
yang dipinang.
2) Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi
membagi Adh-dha>ri’ah menjadi empat jenis, yaitu : 5
a. Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan.
Contohnya : menggali lubang di tempat yang gelap yang biasa
dilalui oleh orang.
b. Perbuatan yang mengandung kemungkinan untuk menuju ke yang
dilarang. Contohnya : menjual anggur kepada orang yang tidak
terkenal sebagai produsen khamr (minuman keras).
c. Perbuatan yang dasarnya adalah mubah namun kemungkinannya
akan membawa kepada kebinasaan yang lebih besar dibandingkan
kemaslahatannya. Contohnya : menjual senjata kepada musuh
yang mau berperang.
d. Perbuatan yang dasarnya mubah karena mengandung
kemaslahatan, tetapi pada pelaksanaannya memungkinkan terjadi
27
sesuatu yang dilarang. Contohnya : akad jual beli yang mungkin
digunakan sebagai upaya mengelak dari riba.
3. Dasar Hukum Shaddu adh-dha>ri’ah
Dasar hukum dari Shaddu adh-dha>ri’ah adalah Qur’an dan
Al-Hadits, yaitu :
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْْْ ْ
Artinya : dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan..6
Mencaci maki berhala pada hakikatnya tidak dilarang oleh Allah,
akan tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina
berhala, karena larangan ini dapat menutup jalan kearah tindakan
orang-orang musyrik mencaci maki Allah secara melampaui batas.
Di dalam Hadits Rasulullah bersabda :
َْلَأ
ْ
ْ نَاَو
ْ
َْىََِ
ْ
ِْلا
ْ
ِْه يِصاَعَم
ْ
ْ نَمَف
ْ
َْماَح
ْ
َْل وَح
ْ
ىمَ ْا
ْ
ُْكَش وُـي
ْ
ْ نَا
ْ
َْعَقَـي
ْ
ِْه يِف
Artinya : ketahuilah bahwa tanaman Allah adalah perbuatan ma’siat yang dilakukan kepadanya. Barang siapa yang menggembalakan ternaknya sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus kedalamnya.
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan dapat
mengarah pada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinannya akan
terjerumus mengerjakannya daripada kemungkinan dapat memelihara diri
28
dari kemaksiatan itu. Tindakan yang paling selamat adalah melarang
perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan.7
4. Pandangan Ulama tentang Shaddu adh-dha>ri’ah
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam bentuk nash atau ijma’
ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan Shaddu adh-dha>ri’ah.
Oleh karena itu, pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian
yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati adalah faktor manfaat
dan mudarat atau baik dan buruk.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Shaddu adh-dha>ri’ah
adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan
antara mas{lahah{ dan mafsadat. Bila mas{lahah{ dominan, maka boleh
dilakukan dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila
sama kuat di antara keduannya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus
diambil prinsip yang berlaku, yang sebagaimana dirumuskan dalam
kaidah :
ُْأ رَد
ْ
ِْدِساَفَم ا
َْْوْ
ُْب لَج
ْ
ِْحِلاَصَم ا
ْ
Artinya : menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan
Bila antara yang halal dan haram berbaur menjadi satu, maka
secara prinsip dijelaskan dalam kaidah berikut:
29
َْعَمَت جاَذِإ
ْ
ُْل َََْ ا
َْْوْ
ُْماَرَْ ا
ْ
َْلَغ
َْب
ْ
ُْماَرَ ْا
Artinya : bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram
memenangkan yang halal.8
Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan
kehati-hatian dalam beramal, adalah sabda Nabi :
ْ عَد
ْ
اَمْ
َْكُب ـيِرُي
ْ
َْلِإ
ْ
َْلاَم
ْ
َْكُب ـيِرُي
Artinya : tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa
yang tidak meragukanmu. 9
B. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam
1. Definisi Perkawinan
Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. 10
Firman Allah :
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْْْ
Artinya : dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.(adz-Dza>riat : 49) 11
Kata kawin artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh hanya digunakan secara
umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses
generatif secara alami. Beliau lebih menekankan pada kata nikah yang
mempunyai arti al-jam’u dan al’dhammu yakni kumpul. Makna nikah
8
Ibid. 454-455
9 Ibid. 456
10 Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 6. (Bandung : PT Alma’arif, 1990). 9
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)
30
adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses perkawinan terdapat
ija>b (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qa>bul (pernyataan
penerimaan dari pihak lelaki) dan nikah hanya digunakan pada manusia
karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan
terutama menurut agama. 12
Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu
berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapatnya berarti juga
untuk hubungan kelamin, namun dalam arti yang tidak sebenarnya (arti
majazi).
Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu
mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga
untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang
memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. 13
Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang-biak dan kelestarian hidupnya,
setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Friman Allah :
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
12 M. A. Tihami, Fikih Munakahat. (Jakarta : Rajawali Pers). 7
31
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (al-Hujura>t : 13)14
Perkawinan atau perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (حاكن) dan zawa>j (جاوز). Kedua kata
ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Arab dan
banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits nabi. Kata na-ka-ha banyak
terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin,15 seperti dalam surat
an-Nisa’ ayat 3:
Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.16
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-quran
dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37 :
...
Artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka.... 17
14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009) 77 15 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Kencana : Jakarta, 2006) 35
16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)
423
32
Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya,
yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan
dan betina secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga
kehormatan dan martabat kemulyaan manusia, Allah adakan hukum
sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling
ridha-meridhai, dengan ucapan ija>b qa>bul sebagai lambang dari adanya rasa
ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau
kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada
naluri (sex), memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum
perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang
ternak dengan seenaknya. 18
Dan janji Allah untuk hamba-hambanya yang melakukan
perkawinan. Allah berfirman dalam surat an-Nu>r ayat 32 :
19
Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui
33
2. Dasar Hukum perkawinan
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang
berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut
Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh
mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang
spesifik sesuai dengan kondisi yang spesifik pula, baik persyaratan harta,
fisik, dan atau akhlak.
a. Nikah Wajib, Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang
akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah
mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari
perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali
dengan nikah
b. Nikah Haram, Nikah diharamkan bagi orang yang tidak tahu bahwa
dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga
melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian,
tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
c. Nikah Sunnah, Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah
mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari
perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik
34
d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah
dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. 20
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan suatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki /
perempuan dalam perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti calon pengantin
laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Perkawinan memliki 5 rukun, diantaranya : Mempelai laki-laki,
Mempelai perempuan, Wali, Dua orang saksi dan Shigat ija>b qabu>l. Dari
lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah ija>b qa>bul antara
yang mengadakan dengan yang menerima akad. Sedangkan yang
dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan
rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali,
saksi, dan ija>b qabu>l. 21
Syarat-syarat yang harus dimiliki calon suami, diantaranya :
bukan mahram dari calon istri, tidak terpaksa atas kamauan sendiri,
orangnya tertentu, jelas orangnya dan tidak sedang ihram. sedangkan
20 M. A. Tihami, . Fikih Munakahat. (Jakarta : Rajawali Pers). 11
35
syarat-syarat untuk calon istri : tidak ada halangan syara’, yaitu tidak
bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka atas
kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang berihram
Syarat-syarat wali, diantaranya : laki-laki, baligh, waras akalnya,
tidak dipaksa, adil dan tidak sedang ihram. Dan untuk syarat-syarat saksi
: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat,
bebas, tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram dan memahami
bahasa yang dipergunakan untuk Ija>b Qa>bul. 22
4. Hikmah Perkawinan
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana
tersebut karena ia mempunyai ia mempunyai pengaruh yang baik bagi
pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia.
Hikmah perkawinan diantaranya : 23
a. Memelihara gen manusia. Perkawinan sebagai sarana untuk
memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan
generasi dari masa ke masa. Dengan perkawinan inilah manusia akan
dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah
dari Allah Swt. Keadaan seperti inilah yang disyariatkan oleh firman
Allah :
22 Ibid. 12-13
23 Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fikih Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta :
36
Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 24
Dari Abu Hurairah, pernah Nabi saw bersabda :
نا
ْ
ةأرما
ْ
لبقت
ْ
ى
ْ
ةروص
ْ
ناطيش
ْ
ربدتو
ْ
ى
ْ
ةروص
ْ
ناطيش
ْ
اذإف
ْ
ىأر
ْ
مكدحا
ْ
نم
ْ
ةأرمإ
ْ
ام
ْ
هبجعي
ْ
تأيلف
ْ
هل ا
ْ
ناف
ْ
كلذ
ْ
دري
ْ
ام
ْ
ى
ْ
هسفن
(3407) 25Artinya : sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seseorang di antaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklah
ia datangi istrinya, agar nafsunya dapat tersalurkan. 26
b. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulya,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. Dan
telah terdahulu dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw.
دولولادودولااوجوزت
ْ
ىإف
ْ
رثلكم
ْ
مكب
ْ
مويءايبنلا
ْ
ةمايقلا
Artinya : kawinlah dengan perempuan pecinta lagi bisa bnyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik
yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang
24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah. (Jakarta : CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009)
406 25
S{ah bin Abdul al-azi>z bin Muhammad Ibrahim Ali as-Shaikh. S{ahih al-Bukho>ri. (Riya>d{ : da>ru as-Sala>m, 1419 H) hal 910
37
d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang.
e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan
batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani
tugas-tugasnya
f. Dengan perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam
direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat saling
menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang
kuat lagi bahagia. 27
5. Batas Usia Perkawinan menurut Hukum Islam
Al-quran secara konkrit tidak menentukan usia bagi pihak yang
akan melangsungkan perkawinan. Batasan hanya diberikan berdasarkan
kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat
an-Nisa’ ayat 6 :
Artinya : dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), 28
27 Ibid. 19-21
38
Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam
ayat di atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan
siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa
berjalan sempurna, jika dia belum mengurus harta kekayaan.
Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqaha dan ahli
Undang-Undang sepakat menetapkan seseorang diminta
pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan
menetukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Baligh berarti sampai
atau jelas. Yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang
menjadi jelas baginya segala urusan/persoalan yang dihadapi. Pikirannya
telah mampu mempertimbangan/memperjelas mana yang baik dan mana
yang buruk. 29
Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang.
Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi
laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi
orang perempuan. Mulainya usia baligh secara yuridik dapat berbeda-beda
antara seorang dengan orang yang lain, karena perbedaan lingkungan,
geografis, dan sebagainya. Batas awal mulainya baligh secara yuridik
adalah jika seorang telah berusia 12 tahun bagi laki-laki dan berusia 9
tahun bagi perempuan. Sedangakn batas akhirnya para ulama’ terdapat
perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah yakni setelah seserang
mencapai usia 18 tahun bagi laki-laki dan telah mencapai usia 17 tahun
39
bagi perempuan. Sedangkan kebanyakan para ulama’ termasuk pula
sebagaian ulama’ Hanafiyah yaitu apabila seseorang telah mencapai usia
15 tahun baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. 30
Pada umumnya saat itulah perkembangan kemampuan akal
seseorang cukup mendalam untuk mengetahui antara yang baik dan yang
buruk dan antara yang bermanfaat dan yang memafsadatkan, sehingga
telah dapat mengetahi akibat-akibat yang timbul dari perbuatan yang
dilakukannya. Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan timbulnya
bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh seseorang. Mereka juga menyatakan
usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan lima belas tahun.
Sedangkan Hanafi menolak bulu-bulu ketiak sebagai bukti baligh
seseorang, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu
lain yang ada pada tubuh. Hanafi menetapkan batas maksimal usia baligh
anak laki-laki adalah delapan belas tahun dan minimalnya dua belas
tahun, sehingga usia baligh anak perempuan maksimal tujuh belas tahun
dan minimalnya sembilan tahun.
Ukasyah Athibi dalam bukunya Wanita Mengapa Merosor
Akhlaknya menyatakan bahwa seseorang dianggap sudah pantas untuk
menikah apabila dia telah mampu memenuh syarat-syarat berikut : 31
1. Kematangan jasmani
30 Ibid. 37
40
Minimal dia sudah baligh, mampu memberikan keturunan, dan
bebas dari penyakit atau cacat yang dapat membahayakan pasangan
suami istri atau keturunannya
2. Kematangan finansial/keuangan
Kematangan finansial/keuangan maksudnya dia mampu
membayar mas kawin, menyediakan tempat tinggal, makanan,
minuman, dan pakaian
3. Kematangan perasaan
Kematangan perasaan artinya perasaan untuk menikah itu
sudah tetap dan mantap, tidak lagi ragu-ragu antara cinta dan benci,
sebagaimana yang terjadi pada anak-anak, sebab perkawinan
bukanlah permainan yang didasarkan pada perumusuhan dan
perdamaian yang terjadi sama-sama cepat. Perkawinan itu
membutuhkan perasaan yang seimbang dan pikiran yang tenang.
Sedangkan dalam Fathul Mu’in usia baligh yaitu setelah
sampai batas tepat 15 tahun dengan dua orang saksi yang adil, atau
setelah mengeluarkan air mani atau darah haid. Selain itu tumbuhnya
rambut kelamin yang lebat sekira memerlukan untuk dipotong dan
adanya rambut ketiak yang tumbuh melebat. 32
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dalam
kitab Bukhori menyatakan bahwa Rasulullah menikahi Aisyah ketika
usia 6 tahun, yang berbunyi :
41