SKRIPSI
Oleh :
Nur Cholifah
NIM. C03212023
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan KepadaUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh Nur Cholifah NIM: C03212023
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak
Pidana Pembajakan di Tepi Laut (Studi Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl)”
adalah hasil penelitian kualitatif berupa library research untuk menjawab
pertanyaan yaitu bagaimana pertimbangan hukum dari hakim dalam memutus perkara nomor 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi laut.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari kajian kepustakaan yaitu berupa teknik bedah putusan, dokumentasi serta kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif, analisis dan pola pikir dedutif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus menurut hukum pidana Islam dan Pasal 439 KUHP.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 439 KUHP yang mengancam hukuman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan dalam hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yakni pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara dari tuntutan awal Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman pidana 12 (dua belas) tahun penjara. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana
pembajakan di tepi laut dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana h}ira>bah,
h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan). Hukuman yang dijatuhkan dalam perkara pembajakan di tepi laut yang hanya mengambil harta tanpa melakukan pembunuhan, dalam hal ini anggota badan yang dipotong adalah tangan kanan dan kaki kiri secara bersilang.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
PERSEMBAHAN ... v
MOTTO ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional... 13
H. Metode Penelitian ... 14
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG H{IRA>BAH ... 19
A. Definisi H}}ira>bah ... 19
B. Unsur-Unsur H}}ira>bah ... 22
C. Bentuk-Bentuk H}}ira>bah ... 23
D. Pelaku H{ira>bah Beserta Syarat-Syaratnya... 24
E. Pembuktian Untuk Jarimah H{ira>bah ... 30
F. Dasar Hukum H{ira>bah ... 31
G. Hukuman atau Sanksi H{ira>bah ... 33
H. Hal-Hal Yang Menggugurkan Had H{ira>bah ... 39
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL NO. 98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT ... 42
A. Deskripsi Pengadilan Negeri Kuala Tungkal ... 42
B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana di Tepi Laut Dalam Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl ... 43
C. Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, Dan Barang Bukti ... 45
D. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut dalam Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl ... 50
E. Isi Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut ... 54
A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana
Pembajakan di Tepi Laut ... 57
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut ... 66
BAB V PENUTUP ... 73
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak mengerti
fungsi dari hukum tersebut, bahkan banyak masyarakat yang melanggar
bahkan berbuat kejahatan. Semakin maju perkembangan zaman seiringan
dengan itu juga kejahatan banyak bermunculan di negeri ini dengan berbagai
metode. Hal tersebut tidak lepas dari perkembangan zaman yang semakin
canggih sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal
semakin canggih pula, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi
teknologi. Perkembangan tersebut sangat mempengaruhi berbagai pihak
untuk melakukan berbagai cara dalam memenuhi keinginannya, yakni dengan
menghalalkan segala cara yang berimbas pada kerugian yang akan diderita
seseorang.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah
dikodifikasi, bentuk dan model kejahatan beraneka ragam dan
bermacam-macam pula dan tujuannya.1 Di Indonesia hukum yang mengatur tentang
hukuman bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana). Hukum pidana yaitu peraturan hukum yang mencakup
keharusan dan larangan serta bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi
hukuman terhadapnya.2
Hukum pidana bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara. Biasanya bagian hukum tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu hukum
publik dan hukum privat. Dan hukum pidana ini digolongkan dalam golongan
hukum publik, yaitu yang mengatur hubungan antara Negara dan
perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya, hukum privat
mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan
perseorangan. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk
singkatnya dinamakan perbuatan pidana atau delik sebagaimana dalam
sistem KUHP.3
Perbuatan-perbuatan pidana, menurut wujud dan sifatnya adalah
bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,
mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum.4 Dalam hukum
pidana terdapat suatu hukuman, yang dimaksud hukuman adalah suatu
perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis
kepada orang yang telah melanggar undang-undang.5
Di agama Islam pun terdapat hukum yang mengatur tentang kejahatan
(jarimah) yang disebut dengan hukum pidana Islam, pembahasan hukum
pidana Islam ada yang menyebutnya fiqh jinayah dan ada pula yang
2 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 269. 3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), 1-2. 4 Ibid., 2.
menjadikan fiqh jinayah sebagai subbagian yang terdapat di bagian akhir isi
sebuah kitab fiqh atau kitab hadis yang corak pemaparanya seperti kitab di
dalam fiqh.6 Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga macam tindak pidana
(jarimah) yaitu, jarimah hudud, jarimah qishas atau diyat, dan jarimah takzir.7
Studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan
peristiwa yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh
wilayah Republik Indonesia terdiri dari laut. Ini suatu petunjuk bahwa cukup
banyak orang Indonesia menggantungkan diri secara langsung atau pun tidak
langsung pada laut. Semua yang berada di luar komunitas sendiri boleh
dijadikan bahan buruan, baik itu tanaman, hewan, maupun berupa manusia.
Jika perburuan tersebut terjadi di laut, maka oleh masyarakat tindakan ini
disebut perompakan atau pembajakan dan pelakunya dinamakan perompak
atau bajak laut.8
Pada umumnya, Bajak Laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan
tindakan kekerasan di laut. Untuk membedakannya dari petugas Negara yang
juga menggunakan kekerasan di laut dan bertindak atas nama Negara, maka
dibuat pembatasan bahwa yang diartikan sebagai Bajak Laut adalah orang
yang melakukan kekerasan di laut tanpa mendapat wewenang dari
pemerintah untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan
itu dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan suatu kelompok
6 Nurul Irfan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Pena Grafika, 2013), 1.
tertentu. Dalam hal ini, ia melanggar hukum Negara dan dianggap sebagai
seorang kriminal.9
Dalam hukum Internasional, definisi ini dirumuskan lebih lanjut lagi
dengan menegaskan bahwa apa yang disebut tindakan Bajak Laut merupakan
suatu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu
di perairan bebas, yakni di laut yang terletak di luar yuridiksi suatu Negara
tertentu. Karena tindakan demikian dianggap sebagai suatu pelanggaran atau
kejahatan terhadap seluruh umat manusia, maka pelaku dapat diadili oleh tiap
Negara walaupun pelanggaran ini terjadi di perairan bebas.10
Pembajakan dalam kata lain perompakan seperti halnya telah dijelaskan
di atas adalah tindak pidana yang jarang kita dengar. Kejahatan ini tidak
diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus sebagaimana
ketentuan tindak pidana lainnya. Tindak pidana perompakan ini dicantumkan
dalam ketentuan umum dalam KUHP. Kejahatan pelayaran adalah judul dari
title XXIX Buku Kedua KUHP, dan menunjuk pada kejahatan-kejahatan
yang ada hubungan dengan pelayaran, terutama pelayaran di Laut dan
bersifat berat, yaitu hampir semua merupakan perbuatan kekerasan terhadap
orang atau barang.11
Kejahatan pelayaran sebagaimana yang tercantum dalam KUHP yakni
terdapat pada Pasal 438 sampai dengan Pasal 479 KUHP. Pasal pertama dari
9 Ibid., 117. 10 Ibid.
11 Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Ed. 2, Cet. 4, (Bandung:
title ini, yaitu pasal 438 yang memuat suatu tindak pidana yang di situ
dinamakan “pembajakan laut” (zeeroof).12
Lain halnya dengan tindak pidana pembajakan pantai (kustroof), pesisir
(strandroof), sungai (rivierrof), yang ketiga-tiganya dirumuskan sebagai
perbuatan kekerasan dan ketiga-tiganya masing-masing diancam dengan
hukuman maksimum lima belas tahun penjara.13
Dalam hal ini pembajakan yang dilakukan adalah di dalam laut
territorial. Ordonansi Laut Territorial dan Maritim 1939 menetapkan bahwa
masing-masing pulau Indonesia memiliki laut territorial selebar tiga mil, dan
perairan di luar laut territorial merupakan laut lepas. Sebagai
konsekuensinya, kebebasan laut lepas (freedom of the sea) yang dicanangkan
oleh Grotinus, berlaku di wilayah laut yang sekarang ini merupakan perairan
nusantara.14
Konsepsi Laut Teritorial yang dikemukakan Pontanus, karena jarak
tembak meriam pantai pada masa itu hanya tiga mil, maka lebar laut
teritorial tiga mil sejajar dengan bibir pantai yang diukur pada saat pasang
surut (low water marks) yang juga disebut sebagai garis dasar biasa (normal
baselines) dianggap sebagai lebar maksimum laut teritorial.15
Namun pada tahun 1960, pemerintah Indonesia membuat
undang No. 4 tahun 1960 tentang Laut Teritorial Indonesia. Dalam
12 Ibid. 13 Ibid., 142.
14 Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah Dengan Kualitas Pelayanan Pelayaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 22.
undang tersebut telah terjadi perubahan mengenai konsep laut territorial.
Salah satunya, yakni lebar laut territorial tiga mil yang diukur dari garis
pangkal normal (garis air surut terendah mengelilingi suatu pulau) telah
digantikan oleh laut territorial selebar 12 mil laut yang diukur dari garis
pangkal lurus kepulauan.16
Mengenai kasus yang akan diteliti oleh penulis dalam putusan
Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang
tindak pidana pembajakan di tepi laut, yakni dengan kronologi kasus yang
terjadi pada hari Minggu tanggal 13 Agustus 2006 pukul 03.00 WIB, di
Perairan Kuala Simbur Naik Kec. Muara Sabak Kab. Tanjab Timur.
Terdakwa KOMARUDIN bersama dengan teman-temannya, pada saat berada
di luar Desa Simbur Naik, mereka melihat 2 (dua) kapal motor jaring ikan
sedang bertambat. Pompong yang digunakan oleh terdakwa bersama
teman-temannya digunakan tanpa seijin dari pemilik pompong. Dalam melakukan
aksi perompakan tersebut, terdakwa bersama dengan teman-temannya
mengancam dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam. Dua buah
pistol, namun yang satu adalah pistol mainan yakni pistol untuk menyalakan
api. Dalam peristiwa tersebut, terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti
melakukan tindak pidana “pembajakan di tepi laut” sebagaimana diatur
dalam Pasal 439 KUHP.17 Berdasarkan Pasal tersebut di atas, dalam KUHP
diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara bagi yang terbukti melanggar
pasal tersebut.
16 Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia…, 23.
Dalam putusan Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang perkara
pembajakan di tepi laut, jika dilihat dari dasar yang digunakan oleh Hakim
dalam memutus perkara yakni KUHP terdapat alasan yang ditinjau dari
pertimbangan hakim dalam memutus perkara yakni ditinjau dari hal-hal yang
meringankan dan memberatkan hukuman sebagaimana menurut Pasal 197
ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa putusan pemidaan memuat
hal-hal yang meringankan dan hal-hal-hal-hal yang memberatkan terdakwa. Sehingga
karena hal tersebut, hakim dapat meringankan hukuman terdakwa menjadi
pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun yang awal mulanya Jaksa Penuntut
Umum menuntut pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun.
Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh perampok pada jarimah
perampokan (al-h}ira>bah). Pertama, perampok hanya menakut-nakuti saja.
Kedua, perampok mengambil harta dengan cara terang-terangan. Ketiga,
perampok mengambil harta dan melakukan pembunuhan. Keempat, perampok
melakukan pembunuhan tetapi tidak mengambil harta. Seluruh kemungkinan
tersebut dapat dikelompokkan sebagai jarimah perampokan jika para
perampok itu disertai niat untuk mengambil harta secara terang-terangan.18
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang berkaitan dengan “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut (Studi Putusan Nomor.
98/Pid.B/2007/PN.Ktl)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
landasan hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Negeri Kuala Tungkal
18 Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),
dalam menyelesaikan perkara tindak pidana pembajakan di tepi laut sesuai
dengan hukum pidana Islam dan perundang-undangan yang berlaku, serta
tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pembajakan di tepi laut.
2. Bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana
pembajakan di tepi laut.
3. Akibat yang timbul dari adanya tindak pidana pembajakan di tepi laut.
4. Pertimbangan hukum Hakim dalam tindak pidana pembajakan di tepi
laut.
5. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi
laut dalam putusan Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Ktl.
Kemudian untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada
permasalahan yang akan dikaji, maka penulis membatasi penelitian pada:
1. Pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana pembajakan di tepi
laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana
pembajakan di tepi laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana
pembajakan di tepi laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.19 Berkaitan dengan
beberapa tema diantaranya ialah:
Dalam skripsi yang disusun oleh M Irfan yang berjudul “Peluang Dan
Tantangan Penyelesaian Aksi Perompak Somalia Di Teluk Aden”, dalam hal
ini dijelaskan mengenai peluang dan tantangan dalam penyelesaian aksi
perompak Somalia. Adapun analisis penulis mengenai aksi perompakan di
Teluk Aden oleh Somalia yang dimaksud di atas merupakan persoalan
internasional yang harus diselesaikan oleh seluruh Negara. Dari permasalahan
yang ada, dalam hal tersebut Negara yang dirugikan oleh perompak Somalia
berhak menangkap dan dengan kata lain dibolehkan mencampuri kedaulatan
disuatu Negara terkait dengan adanya prinsip universal.20
Dalam skripsi yang disusun oleh Asri Dwi Utami yang berjudul “Analisis
Yuridiksi Perompakan Kapal Laut di Laut Lepas Menurut Hukum
Internasional (Studi Kasus Perompakan Kapal Sinar Kudus Mv)”, dalam
skripsi ini dijelaskan mengenai penerapan yuridiksi dalam kasus perompakan
di laut lepas, yakni bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional
yang dapat dijadikan landasan. Dan berdasarkan aturan hukum internasional,
seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus Mv dapat dilakukan
dengan cara lain (tidak dengan membayar uang tebusan). Penyelesaian yang
dilakukan sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan
menerapkan yuridiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yuridiksi
Indonesia, yuridiksi Somalia maupun yuridiksi universal.21
Dalam skripsi yang disusun oleh Muhammad Najib yang berjudul
“Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Pidana
Nahkoda Menurut Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008”. Dalam
skripsi ini dijelasakan mengenai sanksi bagi nahkoda yang melakukan tindak
pidana menurut undang-undang pelayaran nomor 17 tahun 2008 dan dalam
hukum pidana Islam. Pelanggaran nahkoda yang ringan dijatuhi pidana
penjara paking lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp.
20 M Irfan, “Peluang Dan Tantangan Penyelesaian Aksi Perompak Somalia Di Teluk Aden”
(Skripsi--Universitas Hasanuddin, Sulawesi, 2014).
100.000.000,00 dan mengenai penjatuhan pidana terberat adalah penjara 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00. Dan
mengenai hukuman dalam hukum pidana Islam, tindakan pidana yang
dilakukan oleh nahkoda yang mengakibatkan kerugian harta benda atau
bahkan kematian bagi para penumpangnya dikenai hukuman ta’zir yang
keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang berwenang.22
Penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian
yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Yang membedakan dalam penulisan
skripsi ini adalah penulis akan menganalisis terhadap putusan Nomor:
98/Pid.B/2007/PN.Ktl) tentang tindak pidana pembajakan di tepi Laut yang
terdapat pada Pasal 439 KUHP dan ditinjau dari hukum pidana Islam. Kajian
pustaka yang dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mendapat gambaran
mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti oleh peneliti.
E. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana
pembajakan di tepi Laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana
pembajakan di tepi Laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).
22 Muhammad Najib, “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Pidana
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat
digunakan untuk 2 (dua) aspek, yaitu:
1. Aspek teoritis, yaitu sebagai masukan dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana Islam yang berkaitan
dengan masalah tindak pidana pembajakan di tepi laut.
2. Aspek praktis
a. Dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan hipotesis bagi penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan masalah tindak pidana pembajakan
di tepi laut.
b. Sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa
pentingnya hukuman bagi pelaku tindak pidana pembajakan di tepi
laut.
G. Definisi Operasional
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu
adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam
penulisan skripsi ini agar mudah untuk memahami penelitian ini dengan jelas
tentang arah dan tujuannya. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memahami maksud yang terkandung.
Adapun yang terkait dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Islam
98/Pid.B/2007/PN.Ktl)”, untuk memperoleh gambaran yang luas dan
pemahaman yang utuh tentang judul penelitian ini, maka penulis sertakan
beberapa definisi hal-hal yang terkait dengan penelitian ini:
1. Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama maka
di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis.
Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan
dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis dilaksanakan
oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum dan ini tidak bisa
dilaksanakan oleh perorangan, seperti halnya dalam hukum perdata.23
Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori jarimah h}ira>bah
yang diancam hukuman hudud.
2. Tindak pidana pembajakan atau perompakan adalah tindakan kejahatan
kekerasan terhadap orang atau barang yang berada di atas kapal.24
3. Tepi laut atau pantai merupakan perbatasan daratan dengan laut.25
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan
prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis dari dokumen, Undang-undang dan putusan Pengadilan Negeri Kuala
Tungkal Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl yang dapat ditelaah. Untuk
23 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), vii.
24 Irwansyah dan Tim Justice Publishing, KUHP & KUHAP Dilengkapi, Pasal-Pasal Penting KUHP Yang Perlu Diperhatikan dan Penjelasan Proses Penanganan Kasus Pidana, (Jakarta: Justice Publishing, 2016), 298.
25 www.artikelsiana.com/2014/11/pengertian-pantai-macam-macam-pantai.html, diakses tanggal
mendapatkan hasil penelitian yang akurat dalam menjawab beberapa
persoalan yang diangkat dalam penulisan ini, maka menggunakan metode:
1. Data yang dikumpulkan
a. Data mengenai putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal No.
98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut.
b. Ketentuan tentang pembajakan menurut hukum pidana Islam.
2. Sumber data
Sumber data, yakni sumber dari mana data akan digali, baik primer
maupun sekunder.26 Adapun sumber-sumber data tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sumber primer
Sumber primer merupakan sumber data yang bersifat utama dan
penting yang memungkinkan untuk mendapat sejumlah informasi
yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian yaitu putusan
Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl
tentang tindak pidana Pembajakan di Tepi Laut dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder yaitu sumber data yang diambil dan diperoleh
dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa
benda-benda tertulis seperti buku-buku literatur yang dipakai sebagai
berikut:
1) Adam Chazawi, Kejahatan-Kejahatan Tertentu di Indonesia.
2) Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut.
3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam.
4) Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah
(Asas-asas Hukum Pidana Islam).
5) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana.
6) Syamsumar Damn, Politik Kelautan.
7) Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu
Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah
Dengan Kualitass Pelayanan Pelayaran.
8) Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di
Indonesia.
3. Teknik pengumpulan data
Sesuai dengan bentuk penelitiannya yakni kajian pustaka
(Library Research), maka penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan:
a. Teknik dokumentasi yaitu teknik mencari data dengan cara
membaca dan menelaah dokumen, dalam hal ini dokumen
putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.
98/Pid.B/2007/PN.Ktl.
b. Teknik Kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji literatur
4. Teknis analisis data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik deskriptif, analisis, yaitu teknik analisis dengan cara menggambarkan data sesuai dengan apa adanya dalam
hal ini data tentang dasar dan pertimbangan hukum hakim dalam
putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.
98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi
laut, kemudian dianalisis dengan hukum pidana Islam dalam hal ini
teori h}ira>bah.
I. Sistematika Pembahasan
pembajakan di tepi laut, isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.
Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisis pertimbangan hakim dan analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi laut dalam Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.
98/Pid.B/2007/PN.Ktl.
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG
H{IRA>BAH
A. Definisi H{ira>bah
H{ira>bah adalah bentuk mashdar dari kata ةبارح – ةبراحم – براحي– براح
yang secara etimologis berarti memerangi atau seseorang bermaksiat kepada
Allah.1 H{ira>bah berasal dari kata H{arb yang artinya perang. H{ira>bah adalah
keluarnya gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan
kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan,
merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan
undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang Islam sendiri maupun kafir
Zimmi atau kafir Harbi.2
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama yang apabila
dilihat redaksinya terdapat beberapa perbedaan. Namun, sebenarnya inti
persoalannya tetap sama.3
Menurut Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,
definisi h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan
yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, atau mengambil
harta, at au membunuh orang.
Menurut Syafi’iyah definisi h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil
harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan
berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan).
Menurut Imam Malik, h}ira>bah adalah mengambil harta dengan tipuan
(takti k), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Zhahiriyah
memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan
adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang
yang lewat, serta melakukan tindak kekerasan di muka bumi.
Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama
dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah
disebutkan di atas.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat
dikemukakan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah
keluarnya sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan
terang-terangan dan kekerasan. Namun hanya definisi Imam Malik dan
Zhahiriyah yang sedikit berbeda. Imam Malik dalam mendefiniskan
perampokan lebih mementingkan kekuatan otak, taktik dan strategi
dibandingkan dengan kekuatan fisik. Sedangkan definisi Zhahiriyah sangat
umum, sehingga pencurian pun dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana
perampokan. Meskipun demikian, menurut mereka (Zhahiriyah) apabila
tindak pidana pencurian dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, atau
bukan sebagai perampokan, melainkan dihukum sebagai pencuri, atau pezina,
atau pembunuh.4
Dalam buku karya Abdur Rahman yang berjudul “Tindak Pidana dalam
Syari’at Islam”, h}ira>bah menurut Alquranulkarim merupakan suatu kejahatan
yang gawat. Hal tersebut dilakukan oleh satu kelompok atau seorang
bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan
di jalan raya atau di tempat manapun dan mereka merampas harta korbannya
dan apabila korbannya berusaha lari dan mencari atau meminta pertolongan
maka mereka akan menggunakan kekerasan.5
Sedangkan menurut A. Djazuli, h}ira>bah adalah suatu tindak kejahatan
yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.6 Jadi,
h}ira>bah adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan
menggunakan senjata/alat yang digunakan oleh manusia secara
terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok
tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan
tindak kekerasan, orang-orang seperti ini bisa masuk kategori perampok dan
penyamun.7
H{ira>bah atau perampokan dapat digolongkan kepada tindak pidana
pencurian, tetapi bukan dalam arti hakiki, melainkan dalam arti majazi.
4 Ibid., 95.
5Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 56. 6 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 88.
Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara
diam-diam, sedangkan perampokan adalah pengambilan secara
terang-terangan dan kekerasan.8
B. Unsur-Unsur H{ira>bah
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur
jarimah h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, baik dalam
kenyataannya pelaku tersebut mengambil harta atau tidak.9 Selanjutnya
dijelaskan, bahwasannya jarimah h}ira>bah sekalipun dinamakan pencurian
besar, tetapi tidak sama persis dengan pencurian. Pencurian adalah
mengambil barang-barang atau harta dengan sembunyi-sembunyi,
sedangakan h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta dengan cara
kekerasan. Maka unsur pokok dari pencurian adalah mengambil harta secara
nyata, sedangkan unsur pokok h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta
baik pengambilan harta itu terwujud atau tidak.10 Adapun perampokan, dalam
pelaksanaannya mungkin tidak mengambil harta, melainkan tidakan lain,
seperti melakukan intimidasi atau membunuh orang.11
C. Bentuk-Bentuk H}ira>bah
8 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 93. 9 Ibid., 95.
Adapun dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas,
dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada
empat macam, yaitu sebagai berikut:12
1. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya
melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
2. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil
harta tanpa membunuh.
3. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan
pembunuhan tanpa mengambil harta.
4. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil
harta dan melakukan pembunuhan.
Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak
pidana perampokan tersebut, maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia
keluar dengan tujuan mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi,
apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak
melakukan intimidasi, dan tidak mengambil harta, serta tidak melakukan
pembunuhan maka ia tidak dianggap sebagai perampok. Walaupun
perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan, dan termasuk maksiat yang
dikenakan hukuman takzir.13
D. Pelaku H}ira>bah Beserta Syarat-Syaratnya
H}ira>bah atau perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok maupun
perorangan atau individu yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya.
Dalam hal menunjukkan kemampuan, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus membawa senjata atau barang
yang sejenis dengannya, seperti tongkat, batu, balok kayu.14 Akan tetapi
Imam malik, Imam Syafi’i dan Zhahiriyah, serta Syi”ah Zaidiyah tidak
mensyaratkan adanya, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan
kemampuan fisik. Bahkan imam Malik mencukupkan dengan digunakannya
tipu daya, taktik atau strategi, tanpa penggunaan kekuatan, atau dalam
keadaan tertentu dengan menggunakan anggota badan, seperti tangan dan
kaki.15
Mengenai pelaku jarimah h}ira>bah tersebut, para ulama memiliki
perbedaan pendapat. Menurut Hanafiyah, pelaku h}ira>bah adalah setiap orang
yang melakukan secara langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut.
Dengan demikian, menurut Hanafiyah orang yang ikut terjun secara langsung
dalam pengambilan harta, membunuh, atau mengitimidasi termasuk pelaku
perampokan. Demikian pula orang yang memberikan bantuan, baik dengan
cara permufakatan, suruhan, maupun pertolongan juga termasuk pelaku
perampokan. Dan mengenai pendapat Hanafiyah tersebut disepakati oleh
Imam Malik, Imam Ahmad dan Zhahiriyah. Akan tetapi , berbeda dengan
Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku
14 Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Ahsin Sakho Muhammad dkk), Jilid V, (Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008), 200.
perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan perampokan.
Sedangkan orang yang tidak ikut terjun melakukan perbuatan, melainkan
hanya sebagai pembantu yakni diancam dengan hukuman takzir.16
Untuk dapat dikenakan hukuman had, pelaku h}ira>bah disyaratkan harus
mukalaf, yaitu baligh dan berakal. Hal tersebut merupakan persyaratan umum
yang berlaku untuk semua jarimah. Di samping itu, Imam Abu Hanifah juga
mensyaratkan pelaku h}ira>bah harus laki-laki dan tidak boleh perempuan.
Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku h}ira>bah terdapat seorang
perempuan maka ia tidak tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi , Imam
Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak
pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta
dalam melakukan tindak pidana perampokan tetap harus dikenakan hukuman
had. Adapun menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Zhahiriyah
dan Syiah Zaidiyah, perempuan yang turut serta melakukan perampokan
tetap harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka tidak
membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan, seperti halnya dalam
jarimah hudud yang lain.17
Adapun syarat-syarat pelaku h}ira>bah, yaitu sebagai berikut:
1. Tentang cara pengambilan harta.
“Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.”
Kaidah ini membedakan antara perampokan dengan pencurian. Abdul
Qadir Audah mengistilahkan h}ira>bah dengan sariqah kubra> (pencurian
besar), sedangkan pengambilan harta yang dilakukan secara diam-diam
disebut dengan sariqah sughra> (pencurian kecil). besar kecil di sini tidak
dimaksudkan untuk membedakan besar kecilnya harta yang diambil,
tetapi membedakan cara pengambilannya.
Abdul Qadir Audah juga menjelaskan bahwa pengambilan harta ini
harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai
jarimah h}ira>bah. Hal ini didasarkan atas beberapa definisi di atas yang
mengisyaratkan keharusan adanya maksud mengambil harta. Niat
pengambilan harta ini menjadi penting, sebab dapat memebedakan
penganiayaan atau pembunuhan yang dilakukan seseorang. Pembunuhan
yang didasari dengan niat mengambil harta termasuk dalam jarimah
hira>bah (hudud), sedangkan pembunuhan yang tidak didasari dengan niat
mengambil harta atau mer ampok termasuk dalam jarimah qishash.
2. Tentang tempat perampokan.
Menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabilah, perampokan di lakukan
di luar kota. Kaidah ini mengandung arti bahwa pengambilan harta secara
terang-terangan tersebut harus dilakukan di luar kota, seperti di jalanan
padang pasir. Alasannya, perampokan adalah tindakan menghambat jalan
(qath’u al thari>q) yang hanya dapat dilakukan di tempat yang sunyi atau
para pengguna jalan hanya menggantungkan keselamatannya kepada
Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang menghambat jalan mereka (para
pengguna jalan) sama dengan memerangi Allah.
Sementara, jika di jalanan di dalam kota ramai dilalui orang sehingga
mudah meminta pertolongan. Selain itu ada pihak yang berwenang yang
menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak
murni memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had h}ira>bah.
Sedangkan menurut pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah,
perampokan bisa dilakukan di luar kota atau di dalam. Menurut Jumhur,
perampokan tidak harus selalu dilakukan di jalanan luar kota, di dalam
kota pun dikelompokkan sebagai perampokan yang dikenai had.
Alasannya, ayat yang menjadi landasan naqli had h}ira>bah bersifat umum,
tidak membedakan jalanan di luar kota dengan di dalam kota. Selain itu,
perampokan di dalam kota justru menunjukkan adanya pelanggarang yang
lebih berat dibanding dengan di luar kota. Sebab, di dalam kota keadaan
lebih aman dan mudah mencari pertolongan. Oleh karena itu, mereka
yang melakukan di dalam kota menunjukkan adanya keberanian yang
besar untuk melanggar hak-hak jama’ah. Perbuatan seperti ini lebih
pantas untuk dihukumi sebagai perampok dibanding dengan yang
dilakukan di luar kota.
Terlepas dari perbedaan tentang di luar kota atau di dalam kota, ada
kesamaan pendapat diantara mereka bahwa perampokan terjadi di jalan
Zein, pengertian seperti ini hanya dapat diterapkan kepada
praktek-praktek pembajakan baik di darat, di laut maupun di udara. Pembatasan
ini menyebabkan tindakan pengambilan harta secara paksa di
rumah-rumah tidak dapat dapat dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah.
Padahal apa yang mungkin terjadi di jalan, mungkin juga terjadi di
rumah-rumah atau tempat-tempat lainnya, bahkan bisa lebih menakutkan.
Setelah mencermati pendapat sebagian ulama, Satria Effendi
menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan penting dalam
merumuskan kualifikasi jarimah h}ira>bah adalah adanya tindakan
kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat meminta pertolongan.
Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di mana saja,
termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi di
jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini,
perampokan bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibandingkan
dengan di jalan-jalan.
3. Tentang keharusan menggunakan senjata.
“Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.”
Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah jika para pelakunya
menggunakan senjata. Alasannya, perampokan tidak akan terpenuhi
kecuali dengan menggunakan senjata untuk menakut-nakuti. Kaidah ini
dipegang oleh Jumhur. Sementara menurut Zhahiriyah tidak ada
adanya dalil yang secara khusus mengharuskan demikian tersebut di
atas.18
Persyaratan lain yang menyangkut jarimah hira>bah ini adalah persyaratan
tentang harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan untuk harta dalam
jarimah h}ira>bah, sama dengan persyaratan yang berlaku dalam pencurian.
Secara global, syarat tersebut adalah barang yang diambil harus tersimpan
(muhraz), mutaqawwim, milik orang lain, tidak ada syubhat, dan memenuhi
nishab. Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha.
Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hira>bah tidak disyaratkan nishab
untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha
Syafi’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa dalam
jarimah h}ira>bah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua
pelaku secara keseluruhan, dan tidak memperhitungkan perolehan
perorangan. Dengan demikian, meskipun pembagian harta untuk
masing-masing pelaku tidak mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan
hukuman had. Imam Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat
bahwa perhitungan nishab bukan secara keseluruhan pelaku, melainkan secara
perorangan. Dengan demikian, apabila harta yang diterima oleh
masing-masing pelaku tidak mencapai nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan
hukuman had sebagai pengambil harta.19
18Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),
Selain persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas, terdapat
pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa
orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-dam,
yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam.
Seseorang dianggap maksum jika ia seorang muslim atau kafir dzimmi.20
Orang Islam dijamin karena keIslamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin
berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta’man (mu’ahad)
sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena
jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan
atas musta’man ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut
Hanafiyah perampokan terhadap musta’man tidak dikenakan hukuman had.21
E. Pembuktian Untuk Jarimah H}ira>bah
Jarimah h}ira>bah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu:22
1. Dengan saksi, dan
2. Dengan pengakuan.
1. Pembuktian dengan saksi
Seperti halnya jarimah-jarimah yang lain, untuk jarimah h}ira>bah saksi
merupakan alat bukti yang kuat. Seperti halnya jarimah pencurian, saksi
20 Abdul Qadir Al Audah, Ensklopedi Hukum Pidana Islam…, 204. 21 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 98.
untuk jarimah h}ira>bah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang
memenuhi syarat-syarat persaksian. Saksi tersebut bisa diambil dari para
korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam
melakukan tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki
tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang
perempuan, atau empat o rang saksi perempuan.
2. Pembuktian dengan pengakuan
Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat
bukti. Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan
pengakuan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur ulama menyatakan
pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi
menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus
dinyatakan minimal dua kali.23
F. Dasar Hukum H}ira>bah
Hukuman jarimah h}ira>bah tersebut dijelaskan dalam Alquran Surah
Almaidah ayat 33 dan 34 yang berbunyi:
َ
نإ
ام
َ
آزج
َ
َ
اؤ
َ
َ
نيذ لا
َ
احي
َ
َ
نوبر
َ
َ
ّ
َ
َ
رو
،هلوس
َ
َ
ن وع سيو
َ
ىف
َ
لا
ىض ر
َ
اسف
َ
اًد
َ
َ
نأ
َ
اوب لصي وأاول تقي
َ
َ
ع طقت وأ
َ
َ
يأ
َ
مه يد
َ
َ
مهلج رأو
َ
َ
ن م
َ
َ
لخ
َ
ف
َ
ا وفني وأ
َ
َ
نم
َ
َ
لا
َ
َ
ض ر
َ
َ
كلذ
َ
مهل
َ
َ
ى زخ
َ
ىف
َ
اي ن
دلا
ُ
َ
َ
مهلو
َ
ىف
َ
َ
لا
ا
َ
ةرخ
َ
َ
باذع
َ
َ
ميظع
.
َ
َ
ّ
إ
َ
َ
ذ لا
َ
َ
ني
َ
َ
ت
ا وبا
َ
َ
نم
َ
َ
ل بق
َ
َ
نأ
َ
َ
د قت
َ
ر
ا و
َ
َ
مه يلع
َ
ا ومل عاف
َ
َ
نأ
َ
َ
ّ
َ
َ
يح ر روفغ
َ
م.
Artinya:
“Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang dari negeri tempat mereka tinggal. Yang demikian itu sebagai penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”24
Sewaktu menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat ini, Imam Bukhari
meriwayatkan bahwa beberapa orang dari suku Ukul datang menghadap Nabi
SAW di Madinah berpura-pura bahwa mereka ingin memeluk Islam. Mereka
mengeluh kepada Nabi SAW bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi
mereka sehingga mereka mengalami gangguan kesehatan. Karena itu Nabi
memerintahkan agar mereka dibawa keluar Madina untuk tinggal di tempat
lebih baik bagi mereka dan minum susu dari sapi milik Negara.25
Mereka membunuh pemeliharanya dan melarikan diri dengan membawa
serta sapi tersebut. Ketika masalah tersebut dilaporkan kepada Rasulullah
SAW, beliau memerintahkan agar mereka dikejar dan dibawa kembali. Dan
wahyu (Surah Almaidah ayat 33) dit urunkan pada saat itu.
G. Hukuman atau Sanksi H}ira>bah
Hukuman jarimah ini, seperti halnya telah disebutkan dalam Surah
Almaidah ayat 33 t erdiri dari empat macam hukuman. Hal ini berbeda dengan
hukuman bagi jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud lainnya, yang
24Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin), (Semarang:
CV. Asy-Syifa’, t.t.), 238.
hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah. Sanksi h}ira>bah yang
empat macam itu tidak seluruhnya dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
h}ira>bah yang biasa disebut juga dengan muhrib. Namun hukuman tersebut
merupakan hukuman alternatif yang dijatuhkan sesuai dengan macam jarimah
yang dilakukan.26
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk jarimah h}ira>bah.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Syi’ah
Zaidiyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan jenis perbuatan yang dilakukannya sebagaimana telah diuraikan di
atas.27
Adapun menurut Imam Malik dan Zhahiriyah, hukuman untuk pelaku
perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana
yang lebih sesuai dengan perbuatan dari alternatif hukuman yang tercantum
dalam Surah Al-Maidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imam Malik membatasi
pilihan hukuman tersebut untuk selain pembunuhan. Untuk jenis tindak
pidana pembunuhan maka pilihannya hanya dibunuh atau disalib. Alasannya
adalah karena pada awalnya setiap pembunuhan hukumannya adalah dibunuh
(hukuman mati), sehingga tidaklah tepat apabila tindak pidana pembunuhan
dalam perampokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau
pengasingan. Sementara Zhahiriyah dalam menerapkan ayat tersebut
menganut khiyar mutlak sehingga memberikan kebebasan penuh kepada
hakim untuk memilih hukuman apa saja yang sesuai menurut pandangannya
dengan perbuatan apa pun dari keempat jenis perbuatan t ersebut.28
Bentuk jarimah h}ira>bah terdapat empat macam sebagaimana disebutkan
di atas, sesuai dengan banyaknya sanksi yang tersedia di dalam Al-Qur’an.
Sanksi hukum bagi pelaku pidana h}ira>bah adalah lebih berat jika
dibandingkan dengan pencurian, yaitu dibunuh, atau disalib, dipotong tangan
dan kakinya, atau dibuang.29
Perselisihan pendapat para ulama dalam menentukan jenis hukuman bagi
pelaku jarimah h}ira>bah ini, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam
memahami kata “aw” yang berarti atau. Dalam bahasa Arab, kata “aw” bisa
diartikan sebagai penjelasan dan uraian atau dalam istilah Arab bayan
wattafshil (penjelasan dan rincian). Menurut versi Imam Asy-Syafi’i beserta
kawan-kawan, “aw” merupakan penjelasan dan rincian. Dengan demikian,
menurut mereka hukuman-hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan berat
ringannya perbuatan (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku perampokan.
Menurut versi lain yang dimotori oleh Imam Malik dan Zhahiriyah, mereka
berpendapat bahwa kata “aw” yang berarti atau itu bermakna littaksyir untuk
memilih. Oleh karena itu, beliau memilih arti kedua sehingga mengartikan
jumlah hukuman yang empat macam tersebut sebagai alternatif dan penguasa
akan menjatuhkannya sesuai kemaslahatan.30
28 Ibid., 99-100.
Sesuai dengan bentuk perbuatan perampokan, sebagaimana telah
disebutkan di atas, di bawah ini akan jelaskan mengenai rincian hukuman
untuk masing-masing perbuatan tersebut.31
1. Hukuman untuk menakut-nakuti
Hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan yang ini adalah
pengasingan (an-nafyu). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Syi’ah
Zaidiyah, hukumannya adalah takzir atau pengasingan, karena kedua jenis
hukuman ini dianggap sama.
Pengertian pengasingan tidak ada kesepakatan di kalangan para
ulama. Menurut Malikiyah, pengasingan adalah dipenjarakan di tempat
lain, bukan di tempat terjadinya jarimah perampokan. Hanafiyah
mengartikan pengasingan dengan dipenjarakan, tetapi tidak mesti di luar
daerah terjadinya perampokan. Pendapat mazhab Syafi’i mengartikan
pengasingan dengan penahanan, baik di daerahnya sendiri, tetapi lebih
utama di daerah lain. Imam Ahmad berpendapat bahwa pengertian
pengasingan adalah pengusiran pelaku dari daerahnya, dan ia tidak
diperbolehkan untuk kembali, sampai ia jelas telah bertobat.
Mengenai lamanya pengasingan karena tidak dijelaskan dalam Surah
Almaidah ayat 33, hal ini melahirkan beberapa pendapat.32 Lamanya
penahanan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i
tidak terbatas. Artinya, tidak ada batas waktu tertentu untuk penahanan
seorang pelaku perampokan.33 Namun sebagian besar ulama berpendapat
bahwa lamanya masa pengasingan untuk pelaku perampokan adalah sama
dengan sanksi pengasingan pada jarimah zina, yaitu satu tahun.34
2. Hukuman untuk mengambil harta tanpa membu nuh
Untuk jenis perampokan yang kedua ini, menurut Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah, hukumannya adalah di
potong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan
kanan dan kaki kirinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa
sesuai dengan penafsiran huruf “aw” dalam Surah Almaidah ayat 33,
hukuman untuk pelaku perampokan dalam pengambilan harta ini
diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman yang terdapat dalam
Surah Almaidah ayat 33, asal jangan pengasingan. Hal ini karena karena
h}ira>bah adalah pencurian berat, sedangkan hukuman pokok untuk
pencurian adalah potong tangan. Oleh sebab itu, untuk perampokan jenis
kedua ini tidak boleh lebih ringan dari potong tangan. Begitu juga dengan
Zhahiriyah yang menganut alternatif (khiyar) mutlak, sehingga hakim
diperbolehkan untuk memilih hukuman apa saja dari empat jenis
hukuman yang tercantum dalam Surah Almaidah ayat 33 t ersebut.35
3. Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta
Untuk jenis perampokan yang ketiga ini, apabila pelaku perampokan
hanya membunuh korban tanpa mengambil harta maka menurut Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad,
hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati) sebagai hukuman had tanpa
disalib. Sedangkan menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan
salah satu pendapat Syi’ah Zaidiyah di samping hukuman mati, pelaku
juga harus disalib. Hukuman mati ini pun tergolong hukuman hudud dan
bukan hukuman qishash. Oleh karena itu, tidak dapat dimaafkan. Di
samping itu, pembunuhan tersebut sedikit banyak berkaitan dengan harta
atau perampokan. Si pelaku tidak mengambil harta korban bisa jadi
karena ia belum sempat mengambilnya atau karena berbagai
kemungkinan lain.36
4. Hukuman untuk membunuh dan mengambil harta
Mengenai hukuman untuk jenis perampokan jenis ini, menurut Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Imam Abu Yusuf, dan Imam
Muhammad dari kelompok Hanafiyah, hukumannya adalah di bunuh
(hukuman mati) dan disalib, tanpa dipotong tangan dan kaki. Sedangkan
Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa mengenai kasus yang ini, hakim
diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternatif hukuman,
yakni pertama, potong tangan dan kaki, kemudian dibunuh atau disalib,
kedua, dibunuh tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki, dan
ketiga, disalib kemudian dibunuh.37
Mengenai pelaksanaan hukuman mati dan disalib ini, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian mengatakan hukuman salib didahulukan,
kemudian hukuman mati. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, bahwa
hukuman mati didahulukan kemudian hukuman salib. Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik memilih pelaksanaan yang pertama, yaitu mendahulukan
hukuman salib kemudian hukuman mati. Menurut mereka, penyaliban
merupakan suatu bentuk hukuman yang harus dirasakan pelaku dan hal
itu hanya dapat dirasakan apabila pelaku masih hidup. Sebab, apabila
hukuman mati tersebut didahulukan, maka hukuman salib tidak
berpengaruh apapun bagi si pelaku. Adapun menurut Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad berpendapat sebaliknya, yaitu mendahulukan hukuman
mati kemudian salib. Menurut mereka, mendahulukam hukuman mati
kemudian hukuman salib tersebut sesuai dengan ayat Alquran yang
mendahulukan hukuman mati daripada salib. Disamping itu,
mendahulukan tindakan penyiksaan yang melampaui batas tidak
seharusnya terjadi.38
Lamanya penyaliban juga tidak ada ketentuan yang pasti dan oleh
karenanya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut
Hanabilah lamanya penyaliban itu tergantung kepada penyebarluasan
berita penyaliban itu di kalangan masyarakat. Akan tetapi , menurut
Syafi’iyah dan Hanafiyah, penyaliban itu dibatasi maksimal hanya sampai
tiga hari. Pembatasan waktu penyaliban sampai tiga hari tersebut
merupakan pendapat yang tepat, karena manusia yang telah meninggal
dunia apabila lebih dari tiga hari, ia akan membusuk, dan hal tersebut
tentu saja akan menimbulkan gangguan dan bahaya bagi manusia yang
masih hidup di sekitarnya.39
H. Hal-Hal Yang Menggugurkan Hukuman Had H}ira>bah
Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman had h}ira>bah adalah sebagai
berikut:40
1. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai
pengakuan pelaku perampokan atas perbuatan perampokannya.
2. Para pelaku perampokan mencabut kembali pengakuannya.
3. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai para
saksi.
4. Pelaku perampokan berupaya memiliki barang yang dirampoknya secara
sah, sebelum perkaranya dibawa ke pengadilan. Pendapat ini
dikemukakan oleh kebanyakan ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut
ulama-ulama yang lain, upaya tersebut tidak dapat mengubah status
hukum pelaku, sehingga ia tetap harus dikenakan hukuman had.
5. Karena tobatnya pelaku perampokan sebelum mereka ditangkap oleh
penguasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Maidah
ayat 34:
َ
ّ
إ
َ
َ
ذ لا
َ
َ
ني
َ
ا وبات
َ
َ
نم
َ
َ
ل بق
َ
َ
نأ
َ
َ
د قت
ا ور
َ
َ
مه يلع
َ
ا ومل عاف
َ
َ
نأ
َ
َ
ّ
َ
َ
م يح ر روفغ
.
Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Almaidah: 34).41
Apabila pelaku perampokan bertobat sebelum mereka ditangkap oleh
pihak penguasa maka hukuman-hukuman yang telah disebutkan di atas
menjadi gugur, baik hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki, maupun
pengasingan. Meskipun demikian, tobat tersebut tidak dapat menggugurkan
hak-hak individu yang dilanggar dalam tindak pidana perampokan tersebut,
seperti pengambilan harta. Apabila harta yang diambil itu masih ada, maka
barang tersebut harus dikembalikan. Akan tetapi , apabila
barang-barang tersebut sudah tidak ada di tangan pelaku maka ia wajib
menggantinya, baik dengan harganya (uang) maupun dengan barang yang
sejenis. Demikian pula tindakan yang berkaitan dengan pembunuhan atau
penganiayaan, tetap di berlakukan hukuman qishas atau diyat.42
41Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin), (Semarang:
CV. Asy-Syifa’, t.t.), 238.
Apabila tobat dilakukan setelah pelaku perampokan ditangkap oleh
penguasa maka semua hukuman tetap harus dilaksanakan, baik yang
menyangkut hak masyarakat maupun hak manusia (individu). Hal ini karena
nas tentang tobat dalam Alquran Surah Almaidah ayat 34, jelas dikaitkan
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL NO.
98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA
PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT
A. Deskripsi Pengadilan Negeri Kuala Tungkal
Nama : Pengadilan Negeri Kuala Tungkal
Alamat : Jl. Prof. DR. Sri Soedewi MS, SH., Kec. Bram Itam,
Kuala Tungkal, Jambi 36510
Telp/Fax : 0742-7351000
Alamat situs : http://pn-kualatungkal.go.id
Email : pn_kualatungkal@yahoo.co.id
Visi : Terwujudnya peradilan yang agung dalam wilayah hukum
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Misi :
1. Memproses dan menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal;
2. Menjaga kemandirian badan peradilan, netralitas dan
profesionalisme dalam menangani setiap perkara yang
3. Memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum
kepada semua pihak yang berperkara di Pengadilan
Negeri Kuala Tungkal;
4. Meningkatkan kualitas kepemimpinan dan skill
sumberdaya manusia yang dimiliki Pengadilan Negeri
Kuala Tungkal;
5. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan
peradilan di segala bidang dalam memberikan
pelayanan publik.
B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Pembajakan Di Tepi Laut dalam Putusan
No. 98/Pid.B/PN.Ktl
Deskripsi kasus sebagaimana terdapat dalam dokumen putusan No.
98/Pid.B/2007/PN.Ktl adalah bahwa terdakwa Komarudin alias Kama Bin
Mading bersama dengan teman-temannya pada hari Minggu tanggal 13
Agustus 2006 pada pukul 03.00 WIB di bulan Agustus 2006, di Perairan
Kuala Simbur Naik Kecamatan Muara Sabak Kabupaten Tanjung Jabung
Timur atau sekitarnya telah melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal
lain atau terhadap orang atau barang di atasnya di perairan Indonesia.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:1
Pada hari Sabtu tanggal 12 Agustus 2006 pukul 23.00 WIB, terdakwa
bersama teman-temannya bertempat di Parit 4 Desa Simbur Naik Kec. Muara
Sabak Timur sedang berkumpul di tempat ronda. Dan pada saat itulah awal
mula salah satu teman terdakwa, yakni Bakri mengajak untuk turun ke laut
dengan memakai pompong milik saudaranya Bakri. Setelah pompong yang
terdakwa tumpangi bersama dengan teman-temannya berada di luar Desa
Simbur Naik, mereka melihat 2 (dua) Kapal Motor jaring ikan sedang
bertambat, melihat hal tersebut mereka mulai mendekatkan pompong ke arah
motor jaring tersebut. Setelah pompong yang ditumpangi terdakwa merapat
di salah satu kapal motor tersebut, terdakwa bersama dengan
teman-temannya meloncat ke kapal motor kemudian langsung mematikan lampu
kapal motor dengan cara memecahkannya, selanjutnya Bakri segera
menodongkan senjata api kepada para ABK. Begitu juga dengan terdakwa
yang menggunakan badik melakukan pengancaman kepada para ABK. Dan
kemudian terdakwa mengangkat fiber yang berisi ikan dari kapal motor
menuju ke pompong yang terdakwa tumpangi, sedangkan Kemang dengan
mempergunakan pistol mainan memaksa para awak kapal untuk membuka
mesin diesel yang berada di pompong dan mengambil Aki 100 ampere, drum
kecil tempat air, fiber tempat ikan serta 2 (dua) buah lampu suar untuk
selanjutnya dibawa ke dalam pompong.
Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bersama
teman-temannya tersebut, korban Kaharudin SH selaku pemilik dari pompong yang
dirampok oleh terdakwa menderita kehilangan barang-barang yang jika
terdakwa tersebut, sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana telah
melanggar Pasal 439 KUHP.2
C. Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, Dan Barang Bukti
1. Keterangan Saksi
Untuk membuktikan dakwaannya, oleh Jaksa Penuntut Umum telah
dihadirkan 5 (lima) orang saksi yang didengar keterangannya di sidang di
bawah sumpah, di persidangan menerangkan pada pokoknya sebagai
berikut:3
1. Saksi Ridek Bin Muhammad Kaming pada pokonya memberikan
keterangan bahwa saksi adalah pemilik kapal yang digunakan oleh
terdakwa untuk merompak. Saksi melihat terakhir kali pompong milik
saksi sekitar jam 21.00 WIB yang pada saat itu ia menimba air dari
dalam pompong tersebut. Namun saat saksi melihat ke tempat
pompong sekitar jam 06.30 WIB, pompong milik saksi sudah tidak
berada di tempat lagi. Saksi pun mencari pompong milik saksi hingga
500 meter ke arah ilir namun tidak melihat pompong milik saksi dan
ketika kembali ke tempat asal ternyata pompong telah berada di
tempat semula. Dan yang membawa pompong milik saksi ternyata
adalah adik saksi yang bernama Bakri. Adapun saksi baru mengetahui
bila pompong milik saksi digunakan oleh Bakri dan terdakwa untuk
merompak dari anggota kepolisian.
2. Saksi Ramli Azhari Bin Nurdin pada pokonya memberikan keterangan
<