• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT : STUDI PUTUSAN NO. 98/PID.B/2007/PN.KTL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT : STUDI PUTUSAN NO. 98/PID.B/2007/PN.KTL."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

Nur Cholifah

NIM. C03212023

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh Nur Cholifah NIM: C03212023

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak

Pidana Pembajakan di Tepi Laut (Studi Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl)”

adalah hasil penelitian kualitatif berupa library research untuk menjawab

pertanyaan yaitu bagaimana pertimbangan hukum dari hakim dalam memutus perkara nomor 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi laut.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari kajian kepustakaan yaitu berupa teknik bedah putusan, dokumentasi serta kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif, analisis dan pola pikir dedutif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus menurut hukum pidana Islam dan Pasal 439 KUHP.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 439 KUHP yang mengancam hukuman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan dalam hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yakni pidana selama 7 (tujuh) tahun penjara dari tuntutan awal Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman pidana 12 (dua belas) tahun penjara. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana

pembajakan di tepi laut dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana h}ira>bah,

h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan). Hukuman yang dijatuhkan dalam perkara pembajakan di tepi laut yang hanya mengambil harta tanpa melakukan pembunuhan, dalam hal ini anggota badan yang dipotong adalah tangan kanan dan kaki kiri secara bersilang.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional... 13

H. Metode Penelitian ... 14

(9)

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG H{IRA>BAH ... 19

A. Definisi H}}ira>bah ... 19

B. Unsur-Unsur H}}ira>bah ... 22

C. Bentuk-Bentuk H}}ira>bah ... 23

D. Pelaku H{ira>bah Beserta Syarat-Syaratnya... 24

E. Pembuktian Untuk Jarimah H{ira>bah ... 30

F. Dasar Hukum H{ira>bah ... 31

G. Hukuman atau Sanksi H{ira>bah ... 33

H. Hal-Hal Yang Menggugurkan Had H{ira>bah ... 39

BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL NO. 98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT ... 42

A. Deskripsi Pengadilan Negeri Kuala Tungkal ... 42

B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana di Tepi Laut Dalam Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl ... 43

C. Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, Dan Barang Bukti ... 45

D. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut dalam Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl ... 50

E. Isi Putusan No.98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut ... 54

(10)

A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana

Pembajakan di Tepi Laut ... 57

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 98/Pid.B/2007/Pn.Ktl Tentang Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut ... 66

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak mengerti

fungsi dari hukum tersebut, bahkan banyak masyarakat yang melanggar

bahkan berbuat kejahatan. Semakin maju perkembangan zaman seiringan

dengan itu juga kejahatan banyak bermunculan di negeri ini dengan berbagai

metode. Hal tersebut tidak lepas dari perkembangan zaman yang semakin

canggih sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal

semakin canggih pula, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi

teknologi. Perkembangan tersebut sangat mempengaruhi berbagai pihak

untuk melakukan berbagai cara dalam memenuhi keinginannya, yakni dengan

menghalalkan segala cara yang berimbas pada kerugian yang akan diderita

seseorang.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah

dikodifikasi, bentuk dan model kejahatan beraneka ragam dan

bermacam-macam pula dan tujuannya.1 Di Indonesia hukum yang mengatur tentang

hukuman bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang

Hukum Pidana). Hukum pidana yaitu peraturan hukum yang mencakup

(12)

keharusan dan larangan serta bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi

hukuman terhadapnya.2

Hukum pidana bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu

Negara. Biasanya bagian hukum tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu hukum

publik dan hukum privat. Dan hukum pidana ini digolongkan dalam golongan

hukum publik, yaitu yang mengatur hubungan antara Negara dan

perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya, hukum privat

mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan

perseorangan. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam

dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk

singkatnya dinamakan perbuatan pidana atau delik sebagaimana dalam

sistem KUHP.3

Perbuatan-perbuatan pidana, menurut wujud dan sifatnya adalah

bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,

mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum.4 Dalam hukum

pidana terdapat suatu hukuman, yang dimaksud hukuman adalah suatu

perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis

kepada orang yang telah melanggar undang-undang.5

Di agama Islam pun terdapat hukum yang mengatur tentang kejahatan

(jarimah) yang disebut dengan hukum pidana Islam, pembahasan hukum

pidana Islam ada yang menyebutnya fiqh jinayah dan ada pula yang

2 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 269. 3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), 1-2. 4 Ibid., 2.

(13)

menjadikan fiqh jinayah sebagai subbagian yang terdapat di bagian akhir isi

sebuah kitab fiqh atau kitab hadis yang corak pemaparanya seperti kitab di

dalam fiqh.6 Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga macam tindak pidana

(jarimah) yaitu, jarimah hudud, jarimah qishas atau diyat, dan jarimah takzir.7

Studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan

peristiwa yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh

wilayah Republik Indonesia terdiri dari laut. Ini suatu petunjuk bahwa cukup

banyak orang Indonesia menggantungkan diri secara langsung atau pun tidak

langsung pada laut. Semua yang berada di luar komunitas sendiri boleh

dijadikan bahan buruan, baik itu tanaman, hewan, maupun berupa manusia.

Jika perburuan tersebut terjadi di laut, maka oleh masyarakat tindakan ini

disebut perompakan atau pembajakan dan pelakunya dinamakan perompak

atau bajak laut.8

Pada umumnya, Bajak Laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan

tindakan kekerasan di laut. Untuk membedakannya dari petugas Negara yang

juga menggunakan kekerasan di laut dan bertindak atas nama Negara, maka

dibuat pembatasan bahwa yang diartikan sebagai Bajak Laut adalah orang

yang melakukan kekerasan di laut tanpa mendapat wewenang dari

pemerintah untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan

itu dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan suatu kelompok

6 Nurul Irfan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Pena Grafika, 2013), 1.

(14)

tertentu. Dalam hal ini, ia melanggar hukum Negara dan dianggap sebagai

seorang kriminal.9

Dalam hukum Internasional, definisi ini dirumuskan lebih lanjut lagi

dengan menegaskan bahwa apa yang disebut tindakan Bajak Laut merupakan

suatu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu

di perairan bebas, yakni di laut yang terletak di luar yuridiksi suatu Negara

tertentu. Karena tindakan demikian dianggap sebagai suatu pelanggaran atau

kejahatan terhadap seluruh umat manusia, maka pelaku dapat diadili oleh tiap

Negara walaupun pelanggaran ini terjadi di perairan bebas.10

Pembajakan dalam kata lain perompakan seperti halnya telah dijelaskan

di atas adalah tindak pidana yang jarang kita dengar. Kejahatan ini tidak

diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus sebagaimana

ketentuan tindak pidana lainnya. Tindak pidana perompakan ini dicantumkan

dalam ketentuan umum dalam KUHP. Kejahatan pelayaran adalah judul dari

title XXIX Buku Kedua KUHP, dan menunjuk pada kejahatan-kejahatan

yang ada hubungan dengan pelayaran, terutama pelayaran di Laut dan

bersifat berat, yaitu hampir semua merupakan perbuatan kekerasan terhadap

orang atau barang.11

Kejahatan pelayaran sebagaimana yang tercantum dalam KUHP yakni

terdapat pada Pasal 438 sampai dengan Pasal 479 KUHP. Pasal pertama dari

9 Ibid., 117. 10 Ibid.

11 Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Ed. 2, Cet. 4, (Bandung:

(15)

title ini, yaitu pasal 438 yang memuat suatu tindak pidana yang di situ

dinamakan “pembajakan laut” (zeeroof).12

Lain halnya dengan tindak pidana pembajakan pantai (kustroof), pesisir

(strandroof), sungai (rivierrof), yang ketiga-tiganya dirumuskan sebagai

perbuatan kekerasan dan ketiga-tiganya masing-masing diancam dengan

hukuman maksimum lima belas tahun penjara.13

Dalam hal ini pembajakan yang dilakukan adalah di dalam laut

territorial. Ordonansi Laut Territorial dan Maritim 1939 menetapkan bahwa

masing-masing pulau Indonesia memiliki laut territorial selebar tiga mil, dan

perairan di luar laut territorial merupakan laut lepas. Sebagai

konsekuensinya, kebebasan laut lepas (freedom of the sea) yang dicanangkan

oleh Grotinus, berlaku di wilayah laut yang sekarang ini merupakan perairan

nusantara.14

Konsepsi Laut Teritorial yang dikemukakan Pontanus, karena jarak

tembak meriam pantai pada masa itu hanya tiga mil, maka lebar laut

teritorial tiga mil sejajar dengan bibir pantai yang diukur pada saat pasang

surut (low water marks) yang juga disebut sebagai garis dasar biasa (normal

baselines) dianggap sebagai lebar maksimum laut teritorial.15

Namun pada tahun 1960, pemerintah Indonesia membuat

undang No. 4 tahun 1960 tentang Laut Teritorial Indonesia. Dalam

12 Ibid. 13 Ibid., 142.

14 Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah Dengan Kualitas Pelayanan Pelayaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 22.

(16)

undang tersebut telah terjadi perubahan mengenai konsep laut territorial.

Salah satunya, yakni lebar laut territorial tiga mil yang diukur dari garis

pangkal normal (garis air surut terendah mengelilingi suatu pulau) telah

digantikan oleh laut territorial selebar 12 mil laut yang diukur dari garis

pangkal lurus kepulauan.16

Mengenai kasus yang akan diteliti oleh penulis dalam putusan

Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang

tindak pidana pembajakan di tepi laut, yakni dengan kronologi kasus yang

terjadi pada hari Minggu tanggal 13 Agustus 2006 pukul 03.00 WIB, di

Perairan Kuala Simbur Naik Kec. Muara Sabak Kab. Tanjab Timur.

Terdakwa KOMARUDIN bersama dengan teman-temannya, pada saat berada

di luar Desa Simbur Naik, mereka melihat 2 (dua) kapal motor jaring ikan

sedang bertambat. Pompong yang digunakan oleh terdakwa bersama

teman-temannya digunakan tanpa seijin dari pemilik pompong. Dalam melakukan

aksi perompakan tersebut, terdakwa bersama dengan teman-temannya

mengancam dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam. Dua buah

pistol, namun yang satu adalah pistol mainan yakni pistol untuk menyalakan

api. Dalam peristiwa tersebut, terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti

melakukan tindak pidana “pembajakan di tepi laut” sebagaimana diatur

dalam Pasal 439 KUHP.17 Berdasarkan Pasal tersebut di atas, dalam KUHP

diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara bagi yang terbukti melanggar

pasal tersebut.

16 Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia…, 23.

(17)

Dalam putusan Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang perkara

pembajakan di tepi laut, jika dilihat dari dasar yang digunakan oleh Hakim

dalam memutus perkara yakni KUHP terdapat alasan yang ditinjau dari

pertimbangan hakim dalam memutus perkara yakni ditinjau dari hal-hal yang

meringankan dan memberatkan hukuman sebagaimana menurut Pasal 197

ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa putusan pemidaan memuat

hal-hal yang meringankan dan hal-hal-hal-hal yang memberatkan terdakwa. Sehingga

karena hal tersebut, hakim dapat meringankan hukuman terdakwa menjadi

pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun yang awal mulanya Jaksa Penuntut

Umum menuntut pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun.

Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh perampok pada jarimah

perampokan (al-h}ira>bah). Pertama, perampok hanya menakut-nakuti saja.

Kedua, perampok mengambil harta dengan cara terang-terangan. Ketiga,

perampok mengambil harta dan melakukan pembunuhan. Keempat, perampok

melakukan pembunuhan tetapi tidak mengambil harta. Seluruh kemungkinan

tersebut dapat dikelompokkan sebagai jarimah perampokan jika para

perampok itu disertai niat untuk mengambil harta secara terang-terangan.18

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian yang berkaitan dengan “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap

Tindak Pidana Pembajakan di Tepi Laut (Studi Putusan Nomor.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah

landasan hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Negeri Kuala Tungkal

18 Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),

(18)

dalam menyelesaikan perkara tindak pidana pembajakan di tepi laut sesuai

dengan hukum pidana Islam dan perundang-undangan yang berlaku, serta

tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana tersebut.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi

beberapa masalah sebagai berikut:

1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pembajakan di tepi laut.

2. Bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana

pembajakan di tepi laut.

3. Akibat yang timbul dari adanya tindak pidana pembajakan di tepi laut.

4. Pertimbangan hukum Hakim dalam tindak pidana pembajakan di tepi

laut.

5. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi

laut dalam putusan Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Ktl.

Kemudian untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada

permasalahan yang akan dikaji, maka penulis membatasi penelitian pada:

1. Pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana pembajakan di tepi

laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi

(19)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka

dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl)?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas

bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau

duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.19 Berkaitan dengan

beberapa tema diantaranya ialah:

Dalam skripsi yang disusun oleh M Irfan yang berjudul “Peluang Dan

Tantangan Penyelesaian Aksi Perompak Somalia Di Teluk Aden”, dalam hal

ini dijelaskan mengenai peluang dan tantangan dalam penyelesaian aksi

perompak Somalia. Adapun analisis penulis mengenai aksi perompakan di

Teluk Aden oleh Somalia yang dimaksud di atas merupakan persoalan

internasional yang harus diselesaikan oleh seluruh Negara. Dari permasalahan

yang ada, dalam hal tersebut Negara yang dirugikan oleh perompak Somalia

(20)

berhak menangkap dan dengan kata lain dibolehkan mencampuri kedaulatan

disuatu Negara terkait dengan adanya prinsip universal.20

Dalam skripsi yang disusun oleh Asri Dwi Utami yang berjudul “Analisis

Yuridiksi Perompakan Kapal Laut di Laut Lepas Menurut Hukum

Internasional (Studi Kasus Perompakan Kapal Sinar Kudus Mv)”, dalam

skripsi ini dijelaskan mengenai penerapan yuridiksi dalam kasus perompakan

di laut lepas, yakni bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional

yang dapat dijadikan landasan. Dan berdasarkan aturan hukum internasional,

seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus Mv dapat dilakukan

dengan cara lain (tidak dengan membayar uang tebusan). Penyelesaian yang

dilakukan sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan

menerapkan yuridiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yuridiksi

Indonesia, yuridiksi Somalia maupun yuridiksi universal.21

Dalam skripsi yang disusun oleh Muhammad Najib yang berjudul

“Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Pidana

Nahkoda Menurut Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008”. Dalam

skripsi ini dijelasakan mengenai sanksi bagi nahkoda yang melakukan tindak

pidana menurut undang-undang pelayaran nomor 17 tahun 2008 dan dalam

hukum pidana Islam. Pelanggaran nahkoda yang ringan dijatuhi pidana

penjara paking lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp.

20 M Irfan, “Peluang Dan Tantangan Penyelesaian Aksi Perompak Somalia Di Teluk Aden”

(Skripsi--Universitas Hasanuddin, Sulawesi, 2014).

(21)

100.000.000,00 dan mengenai penjatuhan pidana terberat adalah penjara 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00. Dan

mengenai hukuman dalam hukum pidana Islam, tindakan pidana yang

dilakukan oleh nahkoda yang mengakibatkan kerugian harta benda atau

bahkan kematian bagi para penumpangnya dikenai hukuman ta’zir yang

keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang berwenang.22

Penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Yang membedakan dalam penulisan

skripsi ini adalah penulis akan menganalisis terhadap putusan Nomor:

98/Pid.B/2007/PN.Ktl) tentang tindak pidana pembajakan di tepi Laut yang

terdapat pada Pasal 439 KUHP dan ditinjau dari hukum pidana Islam. Kajian

pustaka yang dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mendapat gambaran

mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti oleh peneliti.

E. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi Laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana

pembajakan di tepi Laut (studi putusan Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl).

22 Muhammad Najib, “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Pidana

(22)

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran

bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat

digunakan untuk 2 (dua) aspek, yaitu:

1. Aspek teoritis, yaitu sebagai masukan dalam rangka pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana Islam yang berkaitan

dengan masalah tindak pidana pembajakan di tepi laut.

2. Aspek praktis

a. Dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan hipotesis bagi penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan masalah tindak pidana pembajakan

di tepi laut.

b. Sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa

pentingnya hukuman bagi pelaku tindak pidana pembajakan di tepi

laut.

G. Definisi Operasional

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu

adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam

penulisan skripsi ini agar mudah untuk memahami penelitian ini dengan jelas

tentang arah dan tujuannya. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam

memahami maksud yang terkandung.

Adapun yang terkait dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Islam

(23)

98/Pid.B/2007/PN.Ktl)”, untuk memperoleh gambaran yang luas dan

pemahaman yang utuh tentang judul penelitian ini, maka penulis sertakan

beberapa definisi hal-hal yang terkait dengan penelitian ini:

1. Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama maka

di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis.

Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan

dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis dilaksanakan

oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum dan ini tidak bisa

dilaksanakan oleh perorangan, seperti halnya dalam hukum perdata.23

Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori jarimah h}ira>bah

yang diancam hukuman hudud.

2. Tindak pidana pembajakan atau perompakan adalah tindakan kejahatan

kekerasan terhadap orang atau barang yang berada di atas kapal.24

3. Tepi laut atau pantai merupakan perbatasan daratan dengan laut.25

H. Metode Penelitian

Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan

prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa data

tertulis dari dokumen, Undang-undang dan putusan Pengadilan Negeri Kuala

Tungkal Nomor: 98/Pid.B/2007/PN.Ktl yang dapat ditelaah. Untuk

23 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,

2004), vii.

24 Irwansyah dan Tim Justice Publishing, KUHP & KUHAP Dilengkapi, Pasal-Pasal Penting KUHP Yang Perlu Diperhatikan dan Penjelasan Proses Penanganan Kasus Pidana, (Jakarta: Justice Publishing, 2016), 298.

25 www.artikelsiana.com/2014/11/pengertian-pantai-macam-macam-pantai.html, diakses tanggal

(24)

mendapatkan hasil penelitian yang akurat dalam menjawab beberapa

persoalan yang diangkat dalam penulisan ini, maka menggunakan metode:

1. Data yang dikumpulkan

a. Data mengenai putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal No.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi laut.

b. Ketentuan tentang pembajakan menurut hukum pidana Islam.

2. Sumber data

Sumber data, yakni sumber dari mana data akan digali, baik primer

maupun sekunder.26 Adapun sumber-sumber data tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Sumber primer

Sumber primer merupakan sumber data yang bersifat utama dan

penting yang memungkinkan untuk mendapat sejumlah informasi

yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian yaitu putusan

Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor. 98/Pid.B/2007/PN.Ktl

tentang tindak pidana Pembajakan di Tepi Laut dan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder yaitu sumber data yang diambil dan diperoleh

dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa

benda-benda tertulis seperti buku-buku literatur yang dipakai sebagai

berikut:

(25)

1) Adam Chazawi, Kejahatan-Kejahatan Tertentu di Indonesia.

2) Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut.

3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam.

4) Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah

(Asas-asas Hukum Pidana Islam).

5) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana.

6) Syamsumar Damn, Politik Kelautan.

7) Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu

Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijaksanaan Pemerintah

Dengan Kualitass Pelayanan Pelayaran.

8) Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di

Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Sesuai dengan bentuk penelitiannya yakni kajian pustaka

(Library Research), maka penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan:

a. Teknik dokumentasi yaitu teknik mencari data dengan cara

membaca dan menelaah dokumen, dalam hal ini dokumen

putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl.

b. Teknik Kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji literatur

(26)

4. Teknis analisis data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan teknik deskriptif, analisis, yaitu teknik analisis dengan cara menggambarkan data sesuai dengan apa adanya dalam

hal ini data tentang dasar dan pertimbangan hukum hakim dalam

putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl tentang tindak pidana pembajakan di tepi

laut, kemudian dianalisis dengan hukum pidana Islam dalam hal ini

teori h}ira>bah.

I. Sistematika Pembahasan

(27)

pembajakan di tepi laut, isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.

Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisis pertimbangan hakim dan analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembajakan di tepi laut dalam Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl.

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG

H{IRA>BAH

A. Definisi H{ira>bah

H{ira>bah adalah bentuk mashdar dari kata ةبارح – ةبراحم – براحي– براح

yang secara etimologis berarti memerangi atau seseorang bermaksiat kepada

Allah.1 H{ira>bah berasal dari kata H{arb yang artinya perang. H{ira>bah adalah

keluarnya gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan

kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan,

merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan

undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang Islam sendiri maupun kafir

Zimmi atau kafir Harbi.2

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama yang apabila

dilihat redaksinya terdapat beberapa perbedaan. Namun, sebenarnya inti

persoalannya tetap sama.3

Menurut Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,

definisi h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan

yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, atau mengambil

harta, at au membunuh orang.

(29)

Menurut Syafi’iyah definisi h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil

harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan

berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan).

Menurut Imam Malik, h}ira>bah adalah mengambil harta dengan tipuan

(takti k), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Zhahiriyah

memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan

adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang

yang lewat, serta melakukan tindak kekerasan di muka bumi.

Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama

dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah

disebutkan di atas.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat

dikemukakan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah

keluarnya sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan

terang-terangan dan kekerasan. Namun hanya definisi Imam Malik dan

Zhahiriyah yang sedikit berbeda. Imam Malik dalam mendefiniskan

perampokan lebih mementingkan kekuatan otak, taktik dan strategi

dibandingkan dengan kekuatan fisik. Sedangkan definisi Zhahiriyah sangat

umum, sehingga pencurian pun dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana

perampokan. Meskipun demikian, menurut mereka (Zhahiriyah) apabila

tindak pidana pencurian dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, atau

(30)

bukan sebagai perampokan, melainkan dihukum sebagai pencuri, atau pezina,

atau pembunuh.4

Dalam buku karya Abdur Rahman yang berjudul “Tindak Pidana dalam

Syari’at Islam”, h}ira>bah menurut Alquranulkarim merupakan suatu kejahatan

yang gawat. Hal tersebut dilakukan oleh satu kelompok atau seorang

bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan

di jalan raya atau di tempat manapun dan mereka merampas harta korbannya

dan apabila korbannya berusaha lari dan mencari atau meminta pertolongan

maka mereka akan menggunakan kekerasan.5

Sedangkan menurut A. Djazuli, h}ira>bah adalah suatu tindak kejahatan

yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.6 Jadi,

h}ira>bah adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan

menggunakan senjata/alat yang digunakan oleh manusia secara

terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok

tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan

tindak kekerasan, orang-orang seperti ini bisa masuk kategori perampok dan

penyamun.7

H{ira>bah atau perampokan dapat digolongkan kepada tindak pidana

pencurian, tetapi bukan dalam arti hakiki, melainkan dalam arti majazi.

4 Ibid., 95.

5Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 56. 6 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 88.

(31)

Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara

diam-diam, sedangkan perampokan adalah pengambilan secara

terang-terangan dan kekerasan.8

B. Unsur-Unsur H{ira>bah

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur

jarimah h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta, baik dalam

kenyataannya pelaku tersebut mengambil harta atau tidak.9 Selanjutnya

dijelaskan, bahwasannya jarimah h}ira>bah sekalipun dinamakan pencurian

besar, tetapi tidak sama persis dengan pencurian. Pencurian adalah

mengambil barang-barang atau harta dengan sembunyi-sembunyi,

sedangakan h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta dengan cara

kekerasan. Maka unsur pokok dari pencurian adalah mengambil harta secara

nyata, sedangkan unsur pokok h}ira>bah adalah keluar untuk mengambil harta

baik pengambilan harta itu terwujud atau tidak.10 Adapun perampokan, dalam

pelaksanaannya mungkin tidak mengambil harta, melainkan tidakan lain,

seperti melakukan intimidasi atau membunuh orang.11

C. Bentuk-Bentuk H}ira>bah

8 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 93. 9 Ibid., 95.

(32)

Adapun dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas,

dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada

empat macam, yaitu sebagai berikut:12

1. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya

melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.

2. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil

harta tanpa membunuh.

3. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan

pembunuhan tanpa mengambil harta.

4. Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil

harta dan melakukan pembunuhan.

Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak

pidana perampokan tersebut, maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia

keluar dengan tujuan mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi,

apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak

melakukan intimidasi, dan tidak mengambil harta, serta tidak melakukan

pembunuhan maka ia tidak dianggap sebagai perampok. Walaupun

perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan, dan termasuk maksiat yang

dikenakan hukuman takzir.13

D. Pelaku H}ira>bah Beserta Syarat-Syaratnya

(33)

H}ira>bah atau perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok maupun

perorangan atau individu yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

Dalam hal menunjukkan kemampuan, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad

mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus membawa senjata atau barang

yang sejenis dengannya, seperti tongkat, batu, balok kayu.14 Akan tetapi

Imam malik, Imam Syafi’i dan Zhahiriyah, serta Syi”ah Zaidiyah tidak

mensyaratkan adanya, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan

kemampuan fisik. Bahkan imam Malik mencukupkan dengan digunakannya

tipu daya, taktik atau strategi, tanpa penggunaan kekuatan, atau dalam

keadaan tertentu dengan menggunakan anggota badan, seperti tangan dan

kaki.15

Mengenai pelaku jarimah h}ira>bah tersebut, para ulama memiliki

perbedaan pendapat. Menurut Hanafiyah, pelaku h}ira>bah adalah setiap orang

yang melakukan secara langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut.

Dengan demikian, menurut Hanafiyah orang yang ikut terjun secara langsung

dalam pengambilan harta, membunuh, atau mengitimidasi termasuk pelaku

perampokan. Demikian pula orang yang memberikan bantuan, baik dengan

cara permufakatan, suruhan, maupun pertolongan juga termasuk pelaku

perampokan. Dan mengenai pendapat Hanafiyah tersebut disepakati oleh

Imam Malik, Imam Ahmad dan Zhahiriyah. Akan tetapi , berbeda dengan

Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku

14 Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Ahsin Sakho Muhammad dkk), Jilid V, (Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008), 200.

(34)

perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan perampokan.

Sedangkan orang yang tidak ikut terjun melakukan perbuatan, melainkan

hanya sebagai pembantu yakni diancam dengan hukuman takzir.16

Untuk dapat dikenakan hukuman had, pelaku h}ira>bah disyaratkan harus

mukalaf, yaitu baligh dan berakal. Hal tersebut merupakan persyaratan umum

yang berlaku untuk semua jarimah. Di samping itu, Imam Abu Hanifah juga

mensyaratkan pelaku h}ira>bah harus laki-laki dan tidak boleh perempuan.

Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku h}ira>bah terdapat seorang

perempuan maka ia tidak tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi , Imam

Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak

pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta

dalam melakukan tindak pidana perampokan tetap harus dikenakan hukuman

had. Adapun menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Zhahiriyah

dan Syiah Zaidiyah, perempuan yang turut serta melakukan perampokan

tetap harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka tidak

membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan, seperti halnya dalam

jarimah hudud yang lain.17

Adapun syarat-syarat pelaku h}ira>bah, yaitu sebagai berikut:

1. Tentang cara pengambilan harta.

“Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.”

(35)

Kaidah ini membedakan antara perampokan dengan pencurian. Abdul

Qadir Audah mengistilahkan h}ira>bah dengan sariqah kubra> (pencurian

besar), sedangkan pengambilan harta yang dilakukan secara diam-diam

disebut dengan sariqah sughra> (pencurian kecil). besar kecil di sini tidak

dimaksudkan untuk membedakan besar kecilnya harta yang diambil,

tetapi membedakan cara pengambilannya.

Abdul Qadir Audah juga menjelaskan bahwa pengambilan harta ini

harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai

jarimah h}ira>bah. Hal ini didasarkan atas beberapa definisi di atas yang

mengisyaratkan keharusan adanya maksud mengambil harta. Niat

pengambilan harta ini menjadi penting, sebab dapat memebedakan

penganiayaan atau pembunuhan yang dilakukan seseorang. Pembunuhan

yang didasari dengan niat mengambil harta termasuk dalam jarimah

hira>bah (hudud), sedangkan pembunuhan yang tidak didasari dengan niat

mengambil harta atau mer ampok termasuk dalam jarimah qishash.

2. Tentang tempat perampokan.

Menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabilah, perampokan di lakukan

di luar kota. Kaidah ini mengandung arti bahwa pengambilan harta secara

terang-terangan tersebut harus dilakukan di luar kota, seperti di jalanan

padang pasir. Alasannya, perampokan adalah tindakan menghambat jalan

(qath’u al thari>q) yang hanya dapat dilakukan di tempat yang sunyi atau

(36)

para pengguna jalan hanya menggantungkan keselamatannya kepada

Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang menghambat jalan mereka (para

pengguna jalan) sama dengan memerangi Allah.

Sementara, jika di jalanan di dalam kota ramai dilalui orang sehingga

mudah meminta pertolongan. Selain itu ada pihak yang berwenang yang

menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak

murni memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had h}ira>bah.

Sedangkan menurut pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah,

perampokan bisa dilakukan di luar kota atau di dalam. Menurut Jumhur,

perampokan tidak harus selalu dilakukan di jalanan luar kota, di dalam

kota pun dikelompokkan sebagai perampokan yang dikenai had.

Alasannya, ayat yang menjadi landasan naqli had h}ira>bah bersifat umum,

tidak membedakan jalanan di luar kota dengan di dalam kota. Selain itu,

perampokan di dalam kota justru menunjukkan adanya pelanggarang yang

lebih berat dibanding dengan di luar kota. Sebab, di dalam kota keadaan

lebih aman dan mudah mencari pertolongan. Oleh karena itu, mereka

yang melakukan di dalam kota menunjukkan adanya keberanian yang

besar untuk melanggar hak-hak jama’ah. Perbuatan seperti ini lebih

pantas untuk dihukumi sebagai perampok dibanding dengan yang

dilakukan di luar kota.

Terlepas dari perbedaan tentang di luar kota atau di dalam kota, ada

kesamaan pendapat diantara mereka bahwa perampokan terjadi di jalan

(37)

Zein, pengertian seperti ini hanya dapat diterapkan kepada

praktek-praktek pembajakan baik di darat, di laut maupun di udara. Pembatasan

ini menyebabkan tindakan pengambilan harta secara paksa di

rumah-rumah tidak dapat dapat dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah.

Padahal apa yang mungkin terjadi di jalan, mungkin juga terjadi di

rumah-rumah atau tempat-tempat lainnya, bahkan bisa lebih menakutkan.

Setelah mencermati pendapat sebagian ulama, Satria Effendi

menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan penting dalam

merumuskan kualifikasi jarimah h}ira>bah adalah adanya tindakan

kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat meminta pertolongan.

Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di mana saja,

termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi di

jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini,

perampokan bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibandingkan

dengan di jalan-jalan.

3. Tentang keharusan menggunakan senjata.

“Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.”

Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah h}ira>bah jika para pelakunya

menggunakan senjata. Alasannya, perampokan tidak akan terpenuhi

kecuali dengan menggunakan senjata untuk menakut-nakuti. Kaidah ini

dipegang oleh Jumhur. Sementara menurut Zhahiriyah tidak ada

(38)

adanya dalil yang secara khusus mengharuskan demikian tersebut di

atas.18

Persyaratan lain yang menyangkut jarimah hira>bah ini adalah persyaratan

tentang harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan untuk harta dalam

jarimah h}ira>bah, sama dengan persyaratan yang berlaku dalam pencurian.

Secara global, syarat tersebut adalah barang yang diambil harus tersimpan

(muhraz), mutaqawwim, milik orang lain, tidak ada syubhat, dan memenuhi

nishab. Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha.

Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hira>bah tidak disyaratkan nishab

untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha

Syafi’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa dalam

jarimah h}ira>bah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua

pelaku secara keseluruhan, dan tidak memperhitungkan perolehan

perorangan. Dengan demikian, meskipun pembagian harta untuk

masing-masing pelaku tidak mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan

hukuman had. Imam Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat

bahwa perhitungan nishab bukan secara keseluruhan pelaku, melainkan secara

perorangan. Dengan demikian, apabila harta yang diterima oleh

masing-masing pelaku tidak mencapai nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan

hukuman had sebagai pengambil harta.19

18Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),

(39)

Selain persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas, terdapat

pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa

orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-dam,

yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam.

Seseorang dianggap maksum jika ia seorang muslim atau kafir dzimmi.20

Orang Islam dijamin karena keIslamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin

berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta’man (mu’ahad)

sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena

jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan

atas musta’man ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut

Hanafiyah perampokan terhadap musta’man tidak dikenakan hukuman had.21

E. Pembuktian Untuk Jarimah H}ira>bah

Jarimah h}ira>bah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu:22

1. Dengan saksi, dan

2. Dengan pengakuan.

1. Pembuktian dengan saksi

Seperti halnya jarimah-jarimah yang lain, untuk jarimah h}ira>bah saksi

merupakan alat bukti yang kuat. Seperti halnya jarimah pencurian, saksi

20 Abdul Qadir Al Audah, Ensklopedi Hukum Pidana Islam…, 204. 21 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana…, 98.

(40)

untuk jarimah h}ira>bah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang

memenuhi syarat-syarat persaksian. Saksi tersebut bisa diambil dari para

korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam

melakukan tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki

tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang

perempuan, atau empat o rang saksi perempuan.

2. Pembuktian dengan pengakuan

Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat

bukti. Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan

pengakuan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur ulama menyatakan

pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi

menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus

dinyatakan minimal dua kali.23

F. Dasar Hukum H}ira>bah

Hukuman jarimah h}ira>bah tersebut dijelaskan dalam Alquran Surah

Almaidah ayat 33 dan 34 yang berbunyi:

َ

نإ

ام

َ

آزج

َ

َ

اؤ

َ

َ

نيذ لا

َ

احي

َ

َ

نوبر

َ

َ

ّ

َ

َ

رو

،هلوس

َ

َ

ن وع سيو

َ

ىف

َ

لا

ىض ر

َ

اسف

َ

اًد

َ

َ

نأ

َ

اوب لصي وأاول تقي

َ

َ

ع طقت وأ

َ

َ

يأ

َ

مه يد

َ

َ

مهلج رأو

َ

َ

ن م

َ

َ

لخ

َ

ف

َ

ا وفني وأ

َ

َ

نم

َ

َ

لا

َ

َ

ض ر

َ

َ

كلذ

َ

مهل

َ

َ

ى زخ

َ

ىف

َ

اي ن

دلا

ُ

َ

َ

مهلو

َ

ىف

َ

َ

لا

ا

َ

ةرخ

َ

َ

باذع

َ

َ

ميظع

.

َ

َ

ّ

إ

َ

َ

ذ لا

َ

َ

ني

َ

َ

ت

ا وبا

َ

َ

نم

َ

َ

ل بق

َ

َ

نأ

َ

َ

د قت

َ

ر

ا و

َ

َ

مه يلع

َ

ا ومل عاف

َ

َ

نأ

َ

َ

ّ

َ

َ

يح ر روفغ

َ

م.

(41)

Artinya:

“Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang dari negeri tempat mereka tinggal. Yang demikian itu sebagai penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”24

Sewaktu menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat ini, Imam Bukhari

meriwayatkan bahwa beberapa orang dari suku Ukul datang menghadap Nabi

SAW di Madinah berpura-pura bahwa mereka ingin memeluk Islam. Mereka

mengeluh kepada Nabi SAW bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi

mereka sehingga mereka mengalami gangguan kesehatan. Karena itu Nabi

memerintahkan agar mereka dibawa keluar Madina untuk tinggal di tempat

lebih baik bagi mereka dan minum susu dari sapi milik Negara.25

Mereka membunuh pemeliharanya dan melarikan diri dengan membawa

serta sapi tersebut. Ketika masalah tersebut dilaporkan kepada Rasulullah

SAW, beliau memerintahkan agar mereka dikejar dan dibawa kembali. Dan

wahyu (Surah Almaidah ayat 33) dit urunkan pada saat itu.

G. Hukuman atau Sanksi H}ira>bah

Hukuman jarimah ini, seperti halnya telah disebutkan dalam Surah

Almaidah ayat 33 t erdiri dari empat macam hukuman. Hal ini berbeda dengan

hukuman bagi jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud lainnya, yang

24Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin), (Semarang:

CV. Asy-Syifa’, t.t.), 238.

(42)

hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah. Sanksi h}ira>bah yang

empat macam itu tidak seluruhnya dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana

h}ira>bah yang biasa disebut juga dengan muhrib. Namun hukuman tersebut

merupakan hukuman alternatif yang dijatuhkan sesuai dengan macam jarimah

yang dilakukan.26

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk jarimah h}ira>bah.

Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Syi’ah

Zaidiyah, hukuman untuk pelaku perampokan itu berbeda-beda sesuai dengan

perbedaan jenis perbuatan yang dilakukannya sebagaimana telah diuraikan di

atas.27

Adapun menurut Imam Malik dan Zhahiriyah, hukuman untuk pelaku

perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana

yang lebih sesuai dengan perbuatan dari alternatif hukuman yang tercantum

dalam Surah Al-Maidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imam Malik membatasi

pilihan hukuman tersebut untuk selain pembunuhan. Untuk jenis tindak

pidana pembunuhan maka pilihannya hanya dibunuh atau disalib. Alasannya

adalah karena pada awalnya setiap pembunuhan hukumannya adalah dibunuh

(hukuman mati), sehingga tidaklah tepat apabila tindak pidana pembunuhan

dalam perampokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau

pengasingan. Sementara Zhahiriyah dalam menerapkan ayat tersebut

menganut khiyar mutlak sehingga memberikan kebebasan penuh kepada

(43)

hakim untuk memilih hukuman apa saja yang sesuai menurut pandangannya

dengan perbuatan apa pun dari keempat jenis perbuatan t ersebut.28

Bentuk jarimah h}ira>bah terdapat empat macam sebagaimana disebutkan

di atas, sesuai dengan banyaknya sanksi yang tersedia di dalam Al-Qur’an.

Sanksi hukum bagi pelaku pidana h}ira>bah adalah lebih berat jika

dibandingkan dengan pencurian, yaitu dibunuh, atau disalib, dipotong tangan

dan kakinya, atau dibuang.29

Perselisihan pendapat para ulama dalam menentukan jenis hukuman bagi

pelaku jarimah h}ira>bah ini, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam

memahami kata “aw” yang berarti atau. Dalam bahasa Arab, kata “aw” bisa

diartikan sebagai penjelasan dan uraian atau dalam istilah Arab bayan

wattafshil (penjelasan dan rincian). Menurut versi Imam Asy-Syafi’i beserta

kawan-kawan, “aw” merupakan penjelasan dan rincian. Dengan demikian,

menurut mereka hukuman-hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan berat

ringannya perbuatan (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku perampokan.

Menurut versi lain yang dimotori oleh Imam Malik dan Zhahiriyah, mereka

berpendapat bahwa kata “aw” yang berarti atau itu bermakna littaksyir untuk

memilih. Oleh karena itu, beliau memilih arti kedua sehingga mengartikan

jumlah hukuman yang empat macam tersebut sebagai alternatif dan penguasa

akan menjatuhkannya sesuai kemaslahatan.30

28 Ibid., 99-100.

(44)

Sesuai dengan bentuk perbuatan perampokan, sebagaimana telah

disebutkan di atas, di bawah ini akan jelaskan mengenai rincian hukuman

untuk masing-masing perbuatan tersebut.31

1. Hukuman untuk menakut-nakuti

Hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan yang ini adalah

pengasingan (an-nafyu). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu

Hanifah dan Imam Ahmad. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Syi’ah

Zaidiyah, hukumannya adalah takzir atau pengasingan, karena kedua jenis

hukuman ini dianggap sama.

Pengertian pengasingan tidak ada kesepakatan di kalangan para

ulama. Menurut Malikiyah, pengasingan adalah dipenjarakan di tempat

lain, bukan di tempat terjadinya jarimah perampokan. Hanafiyah

mengartikan pengasingan dengan dipenjarakan, tetapi tidak mesti di luar

daerah terjadinya perampokan. Pendapat mazhab Syafi’i mengartikan

pengasingan dengan penahanan, baik di daerahnya sendiri, tetapi lebih

utama di daerah lain. Imam Ahmad berpendapat bahwa pengertian

pengasingan adalah pengusiran pelaku dari daerahnya, dan ia tidak

diperbolehkan untuk kembali, sampai ia jelas telah bertobat.

Mengenai lamanya pengasingan karena tidak dijelaskan dalam Surah

Almaidah ayat 33, hal ini melahirkan beberapa pendapat.32 Lamanya

(45)

penahanan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i

tidak terbatas. Artinya, tidak ada batas waktu tertentu untuk penahanan

seorang pelaku perampokan.33 Namun sebagian besar ulama berpendapat

bahwa lamanya masa pengasingan untuk pelaku perampokan adalah sama

dengan sanksi pengasingan pada jarimah zina, yaitu satu tahun.34

2. Hukuman untuk mengambil harta tanpa membu nuh

Untuk jenis perampokan yang kedua ini, menurut Imam Abu Hanifah,

Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah, hukumannya adalah di

potong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan

kanan dan kaki kirinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa

sesuai dengan penafsiran huruf “aw” dalam Surah Almaidah ayat 33,

hukuman untuk pelaku perampokan dalam pengambilan harta ini

diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman yang terdapat dalam

Surah Almaidah ayat 33, asal jangan pengasingan. Hal ini karena karena

h}ira>bah adalah pencurian berat, sedangkan hukuman pokok untuk

pencurian adalah potong tangan. Oleh sebab itu, untuk perampokan jenis

kedua ini tidak boleh lebih ringan dari potong tangan. Begitu juga dengan

Zhahiriyah yang menganut alternatif (khiyar) mutlak, sehingga hakim

diperbolehkan untuk memilih hukuman apa saja dari empat jenis

hukuman yang tercantum dalam Surah Almaidah ayat 33 t ersebut.35

(46)

3. Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta

Untuk jenis perampokan yang ketiga ini, apabila pelaku perampokan

hanya membunuh korban tanpa mengambil harta maka menurut Imam

Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad,

hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati) sebagai hukuman had tanpa

disalib. Sedangkan menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan

salah satu pendapat Syi’ah Zaidiyah di samping hukuman mati, pelaku

juga harus disalib. Hukuman mati ini pun tergolong hukuman hudud dan

bukan hukuman qishash. Oleh karena itu, tidak dapat dimaafkan. Di

samping itu, pembunuhan tersebut sedikit banyak berkaitan dengan harta

atau perampokan. Si pelaku tidak mengambil harta korban bisa jadi

karena ia belum sempat mengambilnya atau karena berbagai

kemungkinan lain.36

4. Hukuman untuk membunuh dan mengambil harta

Mengenai hukuman untuk jenis perampokan jenis ini, menurut Imam

Syafi’i, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Imam Abu Yusuf, dan Imam

Muhammad dari kelompok Hanafiyah, hukumannya adalah di bunuh

(hukuman mati) dan disalib, tanpa dipotong tangan dan kaki. Sedangkan

Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa mengenai kasus yang ini, hakim

diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternatif hukuman,

yakni pertama, potong tangan dan kaki, kemudian dibunuh atau disalib,

(47)

kedua, dibunuh tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki, dan

ketiga, disalib kemudian dibunuh.37

Mengenai pelaksanaan hukuman mati dan disalib ini, para ulama

berbeda pendapat. Sebagian mengatakan hukuman salib didahulukan,

kemudian hukuman mati. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, bahwa

hukuman mati didahulukan kemudian hukuman salib. Imam Abu Hanifah

dan Imam Malik memilih pelaksanaan yang pertama, yaitu mendahulukan

hukuman salib kemudian hukuman mati. Menurut mereka, penyaliban

merupakan suatu bentuk hukuman yang harus dirasakan pelaku dan hal

itu hanya dapat dirasakan apabila pelaku masih hidup. Sebab, apabila

hukuman mati tersebut didahulukan, maka hukuman salib tidak

berpengaruh apapun bagi si pelaku. Adapun menurut Imam Syafi’i dan

Imam Ahmad berpendapat sebaliknya, yaitu mendahulukan hukuman

mati kemudian salib. Menurut mereka, mendahulukam hukuman mati

kemudian hukuman salib tersebut sesuai dengan ayat Alquran yang

mendahulukan hukuman mati daripada salib. Disamping itu,

mendahulukan tindakan penyiksaan yang melampaui batas tidak

seharusnya terjadi.38

Lamanya penyaliban juga tidak ada ketentuan yang pasti dan oleh

karenanya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut

Hanabilah lamanya penyaliban itu tergantung kepada penyebarluasan

(48)

berita penyaliban itu di kalangan masyarakat. Akan tetapi , menurut

Syafi’iyah dan Hanafiyah, penyaliban itu dibatasi maksimal hanya sampai

tiga hari. Pembatasan waktu penyaliban sampai tiga hari tersebut

merupakan pendapat yang tepat, karena manusia yang telah meninggal

dunia apabila lebih dari tiga hari, ia akan membusuk, dan hal tersebut

tentu saja akan menimbulkan gangguan dan bahaya bagi manusia yang

masih hidup di sekitarnya.39

H. Hal-Hal Yang Menggugurkan Hukuman Had H}ira>bah

Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman had h}ira>bah adalah sebagai

berikut:40

1. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai

pengakuan pelaku perampokan atas perbuatan perampokannya.

2. Para pelaku perampokan mencabut kembali pengakuannya.

3. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai para

saksi.

4. Pelaku perampokan berupaya memiliki barang yang dirampoknya secara

sah, sebelum perkaranya dibawa ke pengadilan. Pendapat ini

dikemukakan oleh kebanyakan ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut

(49)

ulama-ulama yang lain, upaya tersebut tidak dapat mengubah status

hukum pelaku, sehingga ia tetap harus dikenakan hukuman had.

5. Karena tobatnya pelaku perampokan sebelum mereka ditangkap oleh

penguasa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Maidah

ayat 34:

َ

ّ

إ

َ

َ

ذ لا

َ

َ

ني

َ

ا وبات

َ

َ

نم

َ

َ

ل بق

َ

َ

نأ

َ

َ

د قت

ا ور

َ

َ

مه يلع

َ

ا ومل عاف

َ

َ

نأ

َ

َ

ّ

َ

َ

م يح ر روفغ

.

Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Almaidah: 34).41

Apabila pelaku perampokan bertobat sebelum mereka ditangkap oleh

pihak penguasa maka hukuman-hukuman yang telah disebutkan di atas

menjadi gugur, baik hukuman mati, salib, potong tangan dan kaki, maupun

pengasingan. Meskipun demikian, tobat tersebut tidak dapat menggugurkan

hak-hak individu yang dilanggar dalam tindak pidana perampokan tersebut,

seperti pengambilan harta. Apabila harta yang diambil itu masih ada, maka

barang tersebut harus dikembalikan. Akan tetapi , apabila

barang-barang tersebut sudah tidak ada di tangan pelaku maka ia wajib

menggantinya, baik dengan harganya (uang) maupun dengan barang yang

sejenis. Demikian pula tindakan yang berkaitan dengan pembunuhan atau

penganiayaan, tetap di berlakukan hukuman qishas atau diyat.42

41Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin), (Semarang:

CV. Asy-Syifa’, t.t.), 238.

(50)

Apabila tobat dilakukan setelah pelaku perampokan ditangkap oleh

penguasa maka semua hukuman tetap harus dilaksanakan, baik yang

menyangkut hak masyarakat maupun hak manusia (individu). Hal ini karena

nas tentang tobat dalam Alquran Surah Almaidah ayat 34, jelas dikaitkan

(51)

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUALA TUNGKAL NO.

98/PID.B/2007/PN.KTL TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBAJAKAN DI TEPI LAUT

A. Deskripsi Pengadilan Negeri Kuala Tungkal

Nama : Pengadilan Negeri Kuala Tungkal

Alamat : Jl. Prof. DR. Sri Soedewi MS, SH., Kec. Bram Itam,

Kuala Tungkal, Jambi 36510

Telp/Fax : 0742-7351000

Alamat situs : http://pn-kualatungkal.go.id

Email : pn_kualatungkal@yahoo.co.id

Visi : Terwujudnya peradilan yang agung dalam wilayah hukum

Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Misi :

1. Memproses dan menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal;

2. Menjaga kemandirian badan peradilan, netralitas dan

profesionalisme dalam menangani setiap perkara yang

(52)

3. Memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum

kepada semua pihak yang berperkara di Pengadilan

Negeri Kuala Tungkal;

4. Meningkatkan kualitas kepemimpinan dan skill

sumberdaya manusia yang dimiliki Pengadilan Negeri

Kuala Tungkal;

5. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan

peradilan di segala bidang dalam memberikan

pelayanan publik.

B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Pembajakan Di Tepi Laut dalam Putusan

No. 98/Pid.B/PN.Ktl

Deskripsi kasus sebagaimana terdapat dalam dokumen putusan No.

98/Pid.B/2007/PN.Ktl adalah bahwa terdakwa Komarudin alias Kama Bin

Mading bersama dengan teman-temannya pada hari Minggu tanggal 13

Agustus 2006 pada pukul 03.00 WIB di bulan Agustus 2006, di Perairan

Kuala Simbur Naik Kecamatan Muara Sabak Kabupaten Tanjung Jabung

Timur atau sekitarnya telah melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal

lain atau terhadap orang atau barang di atasnya di perairan Indonesia.

Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:1

Pada hari Sabtu tanggal 12 Agustus 2006 pukul 23.00 WIB, terdakwa

bersama teman-temannya bertempat di Parit 4 Desa Simbur Naik Kec. Muara

(53)

Sabak Timur sedang berkumpul di tempat ronda. Dan pada saat itulah awal

mula salah satu teman terdakwa, yakni Bakri mengajak untuk turun ke laut

dengan memakai pompong milik saudaranya Bakri. Setelah pompong yang

terdakwa tumpangi bersama dengan teman-temannya berada di luar Desa

Simbur Naik, mereka melihat 2 (dua) Kapal Motor jaring ikan sedang

bertambat, melihat hal tersebut mereka mulai mendekatkan pompong ke arah

motor jaring tersebut. Setelah pompong yang ditumpangi terdakwa merapat

di salah satu kapal motor tersebut, terdakwa bersama dengan

teman-temannya meloncat ke kapal motor kemudian langsung mematikan lampu

kapal motor dengan cara memecahkannya, selanjutnya Bakri segera

menodongkan senjata api kepada para ABK. Begitu juga dengan terdakwa

yang menggunakan badik melakukan pengancaman kepada para ABK. Dan

kemudian terdakwa mengangkat fiber yang berisi ikan dari kapal motor

menuju ke pompong yang terdakwa tumpangi, sedangkan Kemang dengan

mempergunakan pistol mainan memaksa para awak kapal untuk membuka

mesin diesel yang berada di pompong dan mengambil Aki 100 ampere, drum

kecil tempat air, fiber tempat ikan serta 2 (dua) buah lampu suar untuk

selanjutnya dibawa ke dalam pompong.

Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bersama

teman-temannya tersebut, korban Kaharudin SH selaku pemilik dari pompong yang

dirampok oleh terdakwa menderita kehilangan barang-barang yang jika

(54)

terdakwa tersebut, sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana telah

melanggar Pasal 439 KUHP.2

C. Keterangan Saksi, Keterangan Terdakwa, Dan Barang Bukti

1. Keterangan Saksi

Untuk membuktikan dakwaannya, oleh Jaksa Penuntut Umum telah

dihadirkan 5 (lima) orang saksi yang didengar keterangannya di sidang di

bawah sumpah, di persidangan menerangkan pada pokoknya sebagai

berikut:3

1. Saksi Ridek Bin Muhammad Kaming pada pokonya memberikan

keterangan bahwa saksi adalah pemilik kapal yang digunakan oleh

terdakwa untuk merompak. Saksi melihat terakhir kali pompong milik

saksi sekitar jam 21.00 WIB yang pada saat itu ia menimba air dari

dalam pompong tersebut. Namun saat saksi melihat ke tempat

pompong sekitar jam 06.30 WIB, pompong milik saksi sudah tidak

berada di tempat lagi. Saksi pun mencari pompong milik saksi hingga

500 meter ke arah ilir namun tidak melihat pompong milik saksi dan

ketika kembali ke tempat asal ternyata pompong telah berada di

tempat semula. Dan yang membawa pompong milik saksi ternyata

adalah adik saksi yang bernama Bakri. Adapun saksi baru mengetahui

(55)

bila pompong milik saksi digunakan oleh Bakri dan terdakwa untuk

merompak dari anggota kepolisian.

2. Saksi Ramli Azhari Bin Nurdin pada pokonya memberikan keterangan

<

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2012) menyebutkan bahwa keluarga dengan pekerjaan yang tidak stabil memiliki tekanan keluarga (meliputi ekonomi,

Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberi izin penelitian kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut... Seluruh staf pengajar dan

Mengacu kepada pendapat Mulyadi (2004: 455), pengertian penerimaan kas adalah kas yang diterima perusahaan, baik yang berupa uang tunai maupun surat-surat berharga yang mempunyai

Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Praktek Muzaroah di Desa Sambera Kecamatan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara. Telah Disetujui

[r]

(O2SN) SMP Daerah Istimewa Yogyakarta Cabang olahraga bola voli tahun. 2011 berjalan dengan

Sur at Kuasa bagi yang di w akilkan, yang namanya ter cantum dal am Akta Pendir ian/ Per ubahan – per usahaan dan ditandatangani oleh k edua bel ah pi hak yang

Tujuan kegiatan PPM ini adalah: (1) memberikan pengalaman nyata peserta dalam memprogram mikrokontroler menggunakan software dan meningkatkan pemahaman peserta dalam