• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 PERADABAN EKONOMI KREATIF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "6 PERADABAN EKONOMI KREATIF."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERADABAN EKONOMI KREATIF

KAJIAN KAMPUNG BATIK, SEBAGAI PERLINDUNGAN

WARISAN BUDAYA KOTA SOLO

Oleh :

Solichul Hadi Achmad Bakri

Koperasi Batik BATARI, Surakarta Yayasan Pendidikan Batik (YPB), Surakarta

Yayasan Perguruan Tinggi Islam Batik (YAPERTIB), Surakarta

Jl. Slamet Riyadi 183, Surakarta 57131, Telp. (0271) 632453, 642083 Jl. Slamet Riyadi 445-447, Surakarta 57146, Telp. (0271) 712940 Jl. KH. Agus Salim 10, Surakarta, Telp.(0271) 714751, Fax.(0271) 740160

(2)

1. Pendahuluan

Dunia kini memasuki peradaban gelombang keempat, yang disebut dengan era kreatif. Tiga gelombang sebelumnya, mengutip futurolog Alvin Toffler dalam bukunya

Future Shock (1970), adalah era pertanian, era industri, dan era informasi. Adapun penggerak utama pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa pada era keempat ini adalah kreativitas dan inovasi. Kedua hal itu menjadi keniscayaan, jika sebuah bangsa ingin bersaing di tengah dinamika ekonomi dunia yang penuh guncangan. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, dunia diguncang oleh rentetan krisis ekonomi. Pada tahun 2007/2008, krisis sub prime mortgage terjadi di Amerika Serikat dan mengakibatkan keruntuhan raksasa-raksasa ekonomi seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, dan AIG. Kini, krisis ekonomi mengguncang Eropa akibat krisis utang di Yunani, yang mengancam keberlangsungan Zona Euro.

Beruntung dampak krisis global terhadap Indonesia tidak terlalu besar, mengingat pangsa ekspor Indonesia terhadap GDP hanya sekitar 45%. Angka itu jauh berbeda dengan Singapura yang mencapai 377% atau Hong Kong yang mencapai 380% (data riset Standard Chartered Bank). Indonesia juga memiliki ketahanan ekonomi yang kuat dari sisi cadangan devisa, mencapai USD112,2 miliar di akhir Februari 2012.

(3)

Semangat pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif, menurut catatan penulis, setidaknya dimulai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sambutannya dalam acara pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia pada Juli 2007 silam. Ekonomi kreatif, sebagaimana disampaikan Presiden SBY ketika itu, bersumber dari ide, seni, dan teknologi yang dikelola untuk menciptakan kemakmuran. Penulis juga mencatat beberapa kali seruan Presiden SBY mengenai pentingnya inovasi dan kreativitas bagi dunia industri. Hal tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi kreatif. Sampai-sampai ketika melakukan perombakan kabinet pada Oktober 2011 lalu, Presiden SBY mengubah Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia.

EKONOMI

PERTANIAN

EKONOMI

INDRUSTRI

EKONOMI

INFORMASI

EKONOMI

KREATIF

AGRICULTURE INDRUSTRIAL INFORMATION CREATIF

Tujuan pembangunan di bidang sosial dan budaya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Sasaran umum yang akan dicapai adalah meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya laju pertumbuhan penduduk, menurunnya angka kelahiran total, menurunnya angka kematian kasar, meningkatnya ketahanan sosial dan budaya, meningkatnya kedudukan dan peranan perempuan, meningkatnya partisipasi aktif pemuda, serta meningkatnya pembudayaan dan prestasi olahraga. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, telah dilaksanakan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan di bidang sosial dan budaya, yang meliputi bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, termasuk kependudukan dan keluarga berencana; kebudayaan; kedudukan dan peranan perempuan; serta pemuda dan olah raga.

(4)

2. Kajian Teori

Konsep konomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi.

Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.

Menurut ahli ekonomi Paul Romer (1993), ide adalah barang ekonomi yang sangat penting, lebih penting dari objek yang ditekankan di kebanyakan model-model ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide kecil saja yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah instruksi yang membuat manusia mengkombinasikan sumber daya fisik yang penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai. Romer juga berpendapat bahwa suatu negara miskin karena masyarakatnya tidak mempunyai akses pada ide yang digunakan dalam perindustrian nasional untuk menghasilkan nilai ekonomi.

Howkins (2008) dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.

(5)

3. Ekonomi Kreatif

Kurang lebih dua dasawarsa lampau, Alvin Toffler mengejutkan dunia ketika Ia dalam bukunya “The Third Wave” (1980) membagi peradaban umat manusia dalam tiga fase. Pertama, peradaban yang lahir akibat munculnya temuan-temuan dalam bidang pertanian; kedua, peradaban yang lahir sebagai hasil ciptaan dari berkembangnya revolusi industri dan kemudian, kata Alvin Toffler, yakni gelombang; ketiga, munculnya peradaban baru yang lahir dan digerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga gelombang peradaban itulah kata Toffler yang sedang menguasai umat manusia dengan revolusi komunikasi dan informasi serta globalisasi ekonomi dan politik sebagai ujung tombaknya.

Di era peradaban baru, era gelombang III IPTEK menjadi lokomotif penggerak zaman, dan IPTEK juga menjadi ikon yang mewarnai peradaban baru umat manusia. Kalau dicermati secara lebih dalam, mengenai hakekat dan problematika yang dibawa oleh peradaban baru itu pada bangsa Indonesia, muncul pertanyaan yang mendasar ialah: Apakah bangsa Indonesia mampu mengikuti irama zaman, irama IPTEK, dalam arti menguasai dan mengendalikan IPTEK, karena siapa yang mampu mengikuti irama zaman dan mengendalikan serta mengikuti lajunya, ia akan beruntung dan akan cepat sampai ke dunia baru yang menjanjikan 1001 pesona dan kesejahteraan. Tapi siapa yang tidak berhasil ia akan ketinggalan gerbong, frustasi dan mungkin akan tergilas oleh roda IPTEK hingga kemudian terhempas oleh amukan gelombang peradaban itu sendiri.

Di era Gelombang III yang melahirkan Revolusi Industri dengan munculnya temuan-temuan baru berupa mesin-mesin yang berhasil melipatgandakan kerja otot dan secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja dengan cepat, tepat, dengan hasil yang berlipat ganda. Tetapi di era IPTEK dalam gelombang III peradaban manusia, IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga melipatgandakan kemampuan otak dan kinerja nalarnya.

(6)

jajaran negara-negara Barat dan Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjadi warganya di belahan Timur. Sementara di Indonesia warganya hanya di kalangan lapisan tertentu seperti perbankan, perindustrian konglomerat yang sudah menjadi bahagian integral dari masyarakat informasi dunia yang mengalami perkembangan sangat pesat.

Ciri-ciri masyarakat informasi adalah ketergantungan kehidupan manusia dalam berbagai bidang kehidupannya pada informasi yang menjadi tulang punggung perekonomiannya, karena sektor inilah yang paling banyak memberi pekerjaan kepada masyarakatnya. Peradaban dunia baru yang dibawa oleh gelombang ke-3 menurut Alvin Toffler terjadi melalui revolusi komunikasi dan informasi.

Perubahan-perubahan tersebut secara mendasar menyebabkan pula terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku orang dan masyarakat. Peradaban baru ini menurut Toffler, membawa pula gaya baru dalam kehidupan keluarga, cara kerja baru, perangai baru dalam bermasyarakat, tingkah laku ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas semua itu adalah sebuah kesadaran baru (new consiousness) dengan kata lain bahwa peradaban dunia baru tersebut mengandung implikasi bahwa bangsa Indonesia yang ingin dan berhasil meraih perlu mentransformasikan diri dan kebudayaan (Alfian, 1991).

Pendapat Alvin Toffler, semuanya sudah menjadi realitas dan sekarang masyarakat dunia, warga komunitas informasi global sudah melangkah ke Gelombang IV peradaban umat manusia, sementara bangsa Indonesia boleh dikatakan masih berada dalam gelombang pertamanya Alvin Toffler, hanya sebagian kecil saja dari masyarakat bangsa Indonesia yang hidup di kota-kota besar yang sudah mungkin dapat dikatakan berada di Gelombang II dan sebagian kecil dari masyarakat dalam jumlah yang sangat sedikit, baru melangkah memasuki Gelombang III.

(7)

manusia itu bukan lagi hasil pertanian, bukan lagi hasil manufaktur dan industri berat, bukan lagi produk-produk IPTEK dalam bidang informasi, dan globalisasi ekonomi, karena semua produk-produk tersebut kian bertambah murah dan sudah menjadi bagian dalam peradaban yang universal. Sekarang di gelombang IV sudah bangsa Indonesia masuki dan budaya menjadi komoditas utamanya.

Era gelombang IV peradaban umat manusia adalah satu era peradaban yang dicirikan dengan munculnya apa yang disebut ekonomi kreatif. Dalam tatanan itu Indonesia yang amat kaya dengan deposit budaya menjadi sangat penting, tidak hanya dari segi pelestariannya sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dilindungi; demi harkat dan harga diri bangsa, tetapi dari segi profan era peradaban informasi dapat diolah hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ekonomi kreatif disebut juga dengan Creative Industries, di lain suasana ada juga yang memberinya nama Industri Budaya atau Culture Industry. Di era Gelombang IV tersebut, warga masyarakat dunia maju sudah menjelajah seluruh pelosok negeri Indonesia mengidentifikasi mata-mata budaya Indonesia yang akan diolah sebagai tambang baru untuk dieksploitasi. Apakah juga kemudian esploitasi tersebut akan meninggalkan kubangan-kubangan besar dalam kehidupan kebudayaan Indonesia, seperti kubangan-kubangan fisik yang ditinggalkan oleh eksplorasi tambang-tambang timah di Pangkal Pinang, kehancuran pulau-pulau kecil di Kepri karena explorasi bauksit, atau hancurnya infrastruktur dan alam karena explorasi batubara di Kalimantan dan banjir besar di pedalaman Riau karena kebun-kebun kelapa sawit tidak berperan makan dan menampung air seperti yang dilakukan pendahulunya almarhum hutan belantara negeri siak.

(8)

melindungi harta warisannya sebagai pemilik ”Deposit Budaya” dan negara berkepentingan melindungi masyarakatnya agar tidak menjadi objek eksplorasi industri tanpa nilai tambah bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Negara juga berkepentingan menjaga dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksplorasi mata budaya terutama jika eksplorasi itu akan merugikan masyarakat dan negara secara umum. Sebagai contoh ketika Prancis menghadapi Gelombang III, di era IPTEk merasa perlu mempersiapkan diri secara matang dan serius menghadapinya.

Ketika komputer mulai mengambil peran utama dalam kehidupan masyarakat Prancis di tahun 1975, pemerintah Prancis sangat serius mengawasi lajunya perkembangan teknologi ini, karena komputerisasi kehidupan masyarakat Prancis tidak bisa dihambat lagi. Karena itu, kabinet Prancis secara serius membicarakannya dalam sebuah sidang tertutup tanggal 25 April 1975 dan dipimpin langsung oleh Presiden Giscard d‘Estaring.

4. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif

Howkins (2008) dalam tulisannya The Creative Economy menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.

(9)

Gambar 1. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya

Di Indonesia, gaung ekonomi kreatif mulai terdengar saat pemerintah mencari cara untuk meningkatkan daya saing produk nasional dalam menghadapi pasar global. Pemerintah melalui departemen perdagangan yang bekerja sama dengan Departemen Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta didukung oleh KADIN kemudian membentuk tim Indonesia Design Power 2006-2010

(10)

yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi produk yang dapat diterima di pasar internasional namun tetap memiliki karakter nasional. Setelah menyadari akan besarnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap Negara, maka pemerintah selanjutnya melakukan studi yang lebih intensif dalam pengembangan ekonomi kreatif. Sehubungan dengan informasi tersebut, kemudian dibuat sebuah model pengembangan ekonomi kreatif Indonesia dalam bentuk bangunan dengan lima pilar dan atap yang saling menguatkan dengan fungsinya masing-masing.

Penjelasan komponen-komponen bangunan ekonomi kreatif adalah sebagai berikut : 1. Pondasi yaitu culture/budaya dan people/sumber daya insani, aset utama dari industri kreatif yang menjadi ciri hampir semua subsektor industri kreatif.

2. Lima pilar utama yang harus diperkuat dalam mengembangkan industri kreatif adalah: 1) Industry (industri) yaitu kumpulan dari perusahaan yang bergerak di dalam bidang

industri kreatif.

2) Technology (teknologi) yaitu enable untuk mewujudkan kreativitas individu dalam bentuk karya nyata.

3) Resources (sumber daya) yaitu input selain kreativitas dan pengetahuan individu yang dibutuhkan dalam proses kreatif, misal: sumber daya alam, lahan.

4) Institution (institusi) yaitu tatanan sosial (norma, nilai, dan hukum) yang mengatur interaksi antara pelaku perekonomian khususnya di bidang industri kreatif.

5) Financial yaitu lembaga penyalur keuangan.

3. Atap yaitu bangunan ekonomi kreatif ini dipayungi oleh interaksi triple helix yang terdiri dari intellectuals (intelektual), business (bisnis), dan government (pemerintah) sebagai para aktor utama penggerak industri kreatif.

1) Intellectual, kaum intelektual yang berada pada institusi pendidikan formal, informal dan non formal yang berperan sebagai pendorong lahirnya ilmu dan ide yang merupakan sumber kreativitas dan lahirnya potensi kreativitas insan Indonesia.

(11)

3) Government, pemerintah selaku fasilitator dan regulator agar ekonomi kreatif dalam industri kreatif dapat tumbuh dan berkembang.

Analisis Triple Helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff, dan kemudian diulas lebih lanjut oleh Gibbons et.al.(1994) dalam The New Production of Knowledge, dan Nowotny et.al. (2001) dalam Re-Thinking Science. Pemikiran ekonomi kreatif, sistem Triple Helix menjadi payung yang menghubungkan antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business), dan Pemerintah (Government) dalam kerangka bangunan ekonomi kreatif. Di mana ketiga helix tersebut merupakan aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang, dan bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model ekonomi kreatif akan menentukan pengembangan ekonomi kreatif yang kokoh dan berkesinambungan.

Pertumbuhan industri di Indonesia baik manufaktur maupun jasa terus meningkat dan berkembang, seiring dengan perkembangan industri didunia. Salah satu strategi pembangunan ekonomi dan industri di Indonesia yaitu industri kreatif. Industri kreatif memiliki ketergantungan impor yang rendah, dan memiliki potensi ekspor, karena adanya keunggulan komparatif. selain itu, di Indonesia juga telah memiliki beberapa kota yang di dalamnya berkembang industri kreatif yang cukup potensial, yaitu Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan Bali. sektor kreatif akan memberikan harapan baru untuk kegiatan ekonomi (peluang usaha baru) yang mengandalkan kreativitas dan bakat individu guna menciptakan nilai tambah berupa produk atau jasa kreatif. Jika dikembangkan dan dikelola dengan baik, industri kreatif mampu menjadi penyumbang devisa negara apabila diekspor keluar negeri.

(12)

individu tersebut. Menyikapi perkembangan industri kreatif dalam negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telahmenggolongkan industri kreatif ke dalam subsektor-subsektor yang meliputi; industri media; TV dan radio; periklanan; layanan komputer dan pirantilunak; permainan interaktif; kuliner; film; video, dan foto; juga industri seni. yang meliputi seni pertunjukan; arsitektur; riset dan pengembangan;penerbitan dan percetakan; musik; fesyen; desain; kerajinan; dan pasar seni dan barang antik. Sebenarnya potensi industri kreatif masih begitu besar untukdapat digarap oleh pelaku bisnis Indonesia khususnya yang ada di kota Solo. Produk kerajinan yang potensial, di antaranya furniture ukir, rotan,ukiran kaca, kulit, keris, dan batik. Kota Solo masuk sebagai Kota Kreatif dengan kategori kota desain. Setelah ditetapkan menjadi Kota Kreatif olehKemenparekraf, selanjutnya Solo akan didaftarkan ke UNESCO sebagai Kota Kreatif Dunia. Batik Tulis Solo sudah diekspor ke mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia.

Bahkan di Kota Solo, sentra industri batik dengan berbagai skala kini terus bertumbuh, seperti Kampoeng Batik Laweyan, Kauman, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke. Industri kreatif juga secara nyata dapat mengurangi angka pengangguran. Industri kreatif sendiri naik sekitar 7% setiap tahunnya. Untuksubsektor seni pertunjukan, Solo adalah gudang seniman. Ada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 yang dulunya

konservatorium, serta puluhan sanggar tari, teater, dan musik yang menyediakan sumber daya manusia berlimpah. Ada juga Wayang Orang Sriwedari dan Ketoprak Balekambang.

Kota Solo memiliki potensi industri kreatif yang cukup besar akan tetapi belum tergarap secara maksimal. Hal ini disebabkan karena belum adanya sinergitas antara pelaku industri di bidang ini. Cara untuk melakukan sinergitas adalah dengan menggabungkan industri ini dalam sebuah kerangka pariwisata. Persoalan utama dari pengembangan industry kreatif di Solo adalah belum adanya komunikasi yang baik antar pelaku industri di bidang ini.

(13)

dapat dimanfaatkan para pelaku industri kreatif dengan cara membuat paket-paket wisata yang menggabungkan seni pertunjukan dan pameran dalam sebuah event wisata di hotel-hotel yang ada di Solo. Masalah lain yang muncul adalah adanya miskomunikasi antar pelaku industri pariwisata dengan kalangan seniman. Agar lebih memaksimalkan daya kreativitas masyarakat, Pemerintah Kota Solo perlu memberikan ruang yang cukup untuk berkembangnya ide-ide kreatif masyarakat yang dieksplorasi sehingga ada temuan-temuan baru dari masyarakat Solo yang dapat dijual baik ke pasar lokal, nasional bahkan internasional. Solo Techno Park ke depan bisa menjadi pusat pengembangan teknologi yang mampu menghasilkan teknologi kreatif yang diakui kompetensinya di dunia internasional.

Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan Solo sebagai Kota MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) akan bersinergi dengan pembangunan ekonomi kreatif. Program MICE seharusnya diikuti dengan pertumbuhan industri kreatif sehingga

multiplier effect dan spillover effect dari MICE dapat ditangkap dengan produk barang/jasa industri kreatif sehingga secara nyata perekonomian dapat bertumbuh dan pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Solo meningkat.

Potensi wisata tersebut dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship

(kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating) dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992). Pertentangan pajak untuk penganggaran unit-unit birokrasi harus dihentikan dan birokrasi harus dapat menciptakan “pemasukan” baru melalui ekonomi kreatif (Gale Wilson, Mantan Manajer Kota Fairled, California).

Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata budaya kota Solo dirumuskan sebagai berikut:

1) Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata

2) Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif 3) Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif

(14)

5) Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-kluster industri kreatif.

6) Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian dari

leadership dan facilitator.

7) Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor

8) Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata kepada pengrajin. Pengrajin harus mengetahui apakah ada insentif bagi pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.

5. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Sektor Wisata Budaya Kota Solo

Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memerlukan sinergi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta (bisnis). Dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang disampaikan oleh Dr. Mari Elka Pangestu, berhasil dirumuskan model sinergitas antar stakeholders ekonomi kreatif, khususnya pada sub sektor kerajinan. Sebagai catatan, sub sektor kerajinan merupakan bentuk ekonomi kreatif yang paling dekat dengan pengembangan wisata. Kerajinan termasuk pada pembuatan souvenir atau memorabilia

yang memberikan “kenangan” pada wisatawan sehingga membuka peluang agar wisatawan tersebut kembali berkunjung di kesempatan lain.

(15)

Gambar 2: Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan (sumber: Departemeni Perdagangan Rep. Indonesia, 2008)

Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage

(16)

Gambar 3: Bagan Linkage Antara Ekonomi Kreatif dan Sektor Wisata Budaya

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model linkage tersebut adalah penetapan lokasi outlet yang harus diusahakan berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat wisata. Upaya ini telah dilakukan sejumlah industri kreatif, di antaranya Dagadu yang meletakkan outlet-nya di pusat perbelanjaan. Contoh lain adalah industri batik di Kampung Laweyan, Solo. Wisatawan dapat melihat proses pembuatan batik, beberapa paket wisata malah menawarkan wisatawan untuk mencoba membatik, dan setelah melihat proses pembatikan wisatawan dapat berkunjung ke outlet penjualan batik untuk membeli batik sebagai souvenir.

Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram, 2000) dan (Ooi, 2006), mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut:

1) Kualitas produk.

2) Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.

3) Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.

4) Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali ”mengkomersialisasikan” ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai

WISATA OUTLET EKONOMI KREATIF

Venue Supply

Memorabilia Penyerapan

(17)

atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas terdpat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.

5) Manajemen ekonomi kreatif.

6) Ekonomi kreatif seringkali menyajikan produk-produk yang berbau isu politik ataupun isu sosial yang sangat sensitif (misal: rasialisme). Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan salah satu fungsinya menentukan ”guideline” ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya tidak dikembangkan.

6. Kesimpulan

Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata budaya merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk Kota Solo. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi yang strategis dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet kerajinan berupa

counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah popular seperti mesjid Gede dan alun-alun kidul. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut (souvenir sebagai memorabilia).

(18)

Daftar Pustaka

Alvian, 1991.. “Rethinking of Cities, Culture and Tourism within a Creative Perspective”

sebuah editorial dari PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010-06-16

Alvin Toffler, 1970. Future Shock . Los Angeles, California.

Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 : Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009 – 2025”

Dos Santos, 2007, “Trip to Kanazawa, City of Crafts 2007 Dates: Jan. 1 - March 31, 207,” accessed on May 12, 2007 from http://www.kanazawa-tourism.com/eng/campaign/images/VJY_winter.pdf

Evans, Graeme L, 2009. “From Cultural Quarters to Creative Clusters – Creative Spaces in The New City Economy” UK.

Gibson et al, 1994.. “The Creative Economy in Maine: Measurement dan Analysis”, The Southern Maine Review, University of Southern Maine

Howkins, 2008. “The Creative Economy” New York University, Stanford University

Kemal Idris, 2001. “Intellectual Property, A Pawer Tool Tor Economic Growth”, Wipo Geneua.

Nowoty et al, 2001. “Creative Economy Strategies For Small and Medium Size Cities: Options for New York State”, Quality Communities Marketing and Economics Workshop, Albany New York, April 20, 2004

Obsore and Gaebler, 1992. Protection of Traditional Knowledge and Genetic Resources. A Bottom-up Approach to Development, WIPO Magazine.

Ooi, Can-Seng, 2006. ”Tourism and the Creative Economy in Singapore”

Pangestu, Mari Elka (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”, disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015. Yang diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008.

Paul Romer, 1993. Looting: The Economic Underworld of Bankruptcy for Profit. UK

(19)

UNDP, 2009.. “Creative Economy Report 2009”. USA.

Gambar

Gambar 1. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya
Gambar 2: Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan (sumber: Departemeni Perdagangan Rep
Gambar 3: Bagan Linkage Antara Ekonomi Kreatif dan Sektor Wisata Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Riset pemasaran terhadap konsumen produk sarang infus dilakukan untuk mengetahui potensi – potensi pasar dan prilaku – prilaku yang berkembang pada konsumen

(3) Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dalam mengembangkan pesantren satu atap di pondok pesantren Pancasila yaitu ketua yayasan selalu memberikan

Dari hasil analisa didapatkan bahwa ada hubungan antara ikut bedside teaching dengan pencapaian tingkat kompetensi dimana nilai p= 0.001 atau lebih kecil dari

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DAN KUALITAS PRODUK TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN. (Studi pada KFC Cabang Tanjung Duren

Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas ekperimen lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas kontrol, hal ini disebabkan karena

Perencanaan pajak merujuk pada proses perekayasaan transaksi dan usaha wajib pajak agar hutang pajaknya berada pada jumlah minimum yang masih dalam lingkup

3.. Kebisin)an a.*.. Nilai tin))i an) diberian pada bobot !untu ariabel% merupaan penilaian an) memilii critical oint dalam pen)aru$na ter$adap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pelaksanaan implementasi manajemen mutu terpadu terhadap penyelenggaraan pendidikan di SMA N 3 Dompu NTB sudah begitu baik di lihat dari