• Tidak ada hasil yang ditemukan

review buku fiqh keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "review buku fiqh keluarga"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

FIQH KELUARGA

REVIEW MATA KULIAH FIQIH

Dosen Pengampu: Bapak Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

OLEH

Silvia Dwi Astuti (153241029)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

(2)

A. IDENTITAS

Judul Buku : Fiqh Keluarga

Penulis : Dr. H. Abu Yasid, LL.M. ISBN : 978-979-015-078-2 Penerbit : Penerbit Erlangga Tanggal terbit : Juni, 2007

Cetakan : Edisi 3 Cetakan pertama, PT. Gelora Askara Pratama Jumlah Halaman : x + 132 hlm

B. PENDAHULUAN

Abu Yasid ialah pengarang dari buku berjudul Filsafat Hukum Keluarga yang mengungkapkan atau mengulas kajian intensif para santri Ma’had Aly angkatan V dalam upaya merespon setiap persoalan hukum yang terjadi di masyarakat. Setiap hari jumat, tim redaksi buletin mingguan tanwirul afkar (TA) yang terdiri dari para santri ma’had Aly menerbitkan lembaran hasil kajian fikih menyangkut persoalan-persoalan hukum islam konteporer. Buku ini merupakan hasil rangkuman bulletin TA yang ketiga. Sebelumnya, rangkuman bulletin pertama telah diterbitkan leh LkiS Yogyakarta pada tahun 2002 dengan judul Fikih Rakyat, sedang rangkuman kedua telah diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 2005 dengan judul Fiqh Realita.

Di dalam buku ini, beliau menjelaskan perihal hukum-hukum fiqh keluarga. Beliau memaparkan sebagaimana banyak terjadi di kalangan umat khususnya umat islam. Beliau juga mengatakan bahwa: teks agama belumlah tuntas sebelum proses pemaknaan, penafsiran, penakwilan serta penggalian nilai-nilai balaghohnya yang mendalam dilakukan secara sistematis dan proposional. Ketimpangan dan ketidaksetaraan gender, dengan demikian tidak bisa dipasung sebagai wujud ketidakpekaan agama terhadap realitas yang ada. Yang menjadi persoalan, sejauh mana gerakan feminisme dapat memburu ketertinggalan kaum hawa dengan berpijak pada spirit ajaran agama yang membebaskan.

(3)

C. EVALUASI BUKU/RINGKASAN BAB

Bab I: Berjilbab Rambut Palsu

Tidak terlalu berlebihan kiranya kalau ada ungkapan, “wanita memang anugerah terindah.” Setiap sisi dari tubuhnya bisa menebar bias pesona menakjubkan. Tak heran bila agama mengumpamakan wanita sebagai tanah subur berbiaknya fitnah dunia. “al-Mar’ah auratun,” katanya. Oleh karena itulah, wanita harus disembunyikan dalam balutan-balutan kain penutup agar tidak dihinggapi mata jalang para laki-laki. Jangankan lekukan kulit leher, sebidang kecil kulit dibelakang telinga pun bisa mengundang syahwat. Bahkan, kuku lentiknya, (oleh Imam Ahmad bin Hanbal) ditengarai dapat memikat hasrat. Subhanallah.

Dunia memang tidak pernah memberikan kepuasan kepada manusia. Bentuk tubuh yang sempurna terasa kurang bila tidak dibedaki dengan bahan kosmetik. Rambut yang hitam menjumbai, kurang afdhal bila tidak diminyaki dengan pewarna atau disanggulkan wig atau rambut palsu. Belakangan ini wig menjadi trend dikalangan kaum wanita.cukup bervariasi alasan yang mereka lontarkan. Ada yang hanya ingin mempercantik penampilan dengan memperindah model rambut atau hanya sekedar mengikuti arus mode zaman gaul. Terkadang juga wig dipakai oleh wanita setengah tua, tentu alasannya agar terlihat lebih muda, masih kelihatan “seger”. Ini yang namanya tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi.

Di era masyarakat modern dikenal sebagai rambut palsu penutup kepala. Dalam terminologi fiqih, wig dikenal sebagai praktik penyambungan rambut dengan rambut sejenisnya atau dengan bulu dan barang tertentu. Menurut Imam Malik, praktik menyambung rambut dengan apa saja hukumnya adalah haram, baik disambung dengan rambut sejenisnya, kain wol, atau yang lainnya. Tetapi mayoritas ulama fiqih masih men-tafshil. Kalau menyambungnya dengan rambut manusia maka mereka sepakat atas keharamannya. Tapi jika disambung dengan selain rambut manusia, semisal bulu kuda, maka tidak ada masalah, asal rambut itu berasal dari hewan suci.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyimpulkan dua hal berkenaan dengan masalah ini. Pertama, menyambung rambut dengan potongan kain tenun/tekstil, kain wol, tidak termasuk dalam larangan hadits. Kedua, menyambung rambutdengan rambut mutlak haram, walaupun masih terdapat rincian dari ashhab asy-syafi’i tentang kebolehannya.

(4)

tentang rambutnya yang asli. Penipuan bukanlah termasuk etika Islam. Lalu jika wig itu ternyata indah-dan ini yang kebanyakn terjadi-maka akan menimbulkan fitnah. Kalau ternyata sengaja dilakukan untuk mengundang fitnah pada selain suaminya maka pasti itu tergolong perbuatan maksiat yang diharamkan oleh agama.

Bab II : Haruskah Perempuan Dikhitan?

Tujuan syari’at Islam tidak lain untuk membawa kemaslahatan bagi umatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Khitan misalnya, secara legal formal sudah menjadi syari’at yang harus diikuti sejak ajaran Nabi Ibrahim a.s. khitan, dengan demikina, mengusung kemaslahatan tersendiri bagi umat. Bagi kaum laki-laki, khitan bukanlah suatu yang aneh dan bahkan tabu. Sebab khitan dapat memberikan pengaruh positif, baik dari agama maupun segi kesehatan. Adanya khitan dapat mengikis semua najis yang menempel pada alat kelamin. Sehingga ibadah seorang benar-benar sempurna tanpa mengandung najis.para ahli medis pun ikut mendukung pelaksanaan khitan. Terbukti khitan memberi efek yang baik bagi kesehatan. Pada dasarnya, kotoran yang tertinggal pada alat kelamin dapat menjadi sarang penyakit sehingga khitan dapat mengusir penyakit yang bertengger pada alat kelamin.

Khitan kali pertama diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. Umat Muhammad diperintahkanuntuk mengikuti perintah khitan sebagai syari’at Nabi Ibrahinm a.s. Hal ini sebagaimana terekam dalam firman Allah.

افينح ميهاربا ةلم عبتا نأ كيلا انيحوأ مث

...

kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) :’ikutilah agama Ibrahin seorang yang hanif...’” (Q.S. an-Nahl [16]: 123)

Khitan yang dilegalkan oleh agama tentunya membawa kemaslahatan bagi pelakunya. Antara lain ialah membersihkan jasmani dan rohani, mencegah datangnya beberapa penyakit, mengendalikan libido seksual, membedakan antara muslim dan non muslim.

Sebagian ulama Syafi’iyah juga ada yang mengatakan bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Pendapat ini senada dengan pandangan Iman Ahmad. Lain lagi dengan ulama Malikiyah dan Hanafiyah yang mengatakan bahwa sunnah

mu’akkadah bagi laki-laki dan kehormatan (keutamaan) bagi perempuan. Mereka mendasarkan pendapat ini pada sabda Nabi:

ءاسنلل ةمركمو لاجرلل ةنس ناتخلا

(5)

Jika ternyata praktik khitan ini menimbulkan penderitaan bagi kaum perempuan, baik secara psikis maupun biologis, maka seharusnya khitan tidak dilakukan.

Bab III : Iddah Hanya Untuk Perempuan?

Jauh sebelum Islam datang, konsep iddah telah lama berlaku. Konsep iddah lebih mencerminkan kegilaan budaya masyarakat jahiliyah. Konsep iddah pada masa itu lebih dirasakan sebagai bentuk penyiksaan terselubung kepada perempuan. Bayangkan saja, untuk menikah lagi setelah dicerai suami, seorang wanitaharus menahan liur gejolak untuk kembali bisa merasakan kasih sayang seorang laki-laki. Dia harus rela dikurung waktu cukup panjang hanya demi kepentingan hasrat syahwat kaum laki-laki. Budaya ini terus berjalan dan dipertahankan sebagai tradisi luhur dari ajaran mereka. Tak satupun dari generasi-generasi berikutnya yang coba menyuarakan bahwa tradisi iddah ini adalah menyimpang dari perikemanusiaan yang bertopang dari sikap kesetaraan. Mereka diam tak berdaya. Boleh jadi karena mereka yakin bahwa semua ini adalah ajaran kebenaran atau karena mereka tidak berani melawan tirani kekuasaan laki-laki.

Sampai akhirnya Islam datang menyeru kebersamaan, kesetaraan, keadilan, solidaritas, dan kemaslahatan manusia. Dalam iddah misalnya, Islam bukan serta-merta menghapus budaya iddah ini, namun diatur dengan lebih mempertimbangkan hikmah yang dikandungnya. Lalu iddah menjadi sebuah ajaran formal agama.

Menurut madzhab Syafi’iyah, iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita guna mengetahui apakah di dalam rahimnya ada benih janin dari sang suami atau tidak. Iddah juga disimbolkan sebagai kesedihan seorang wanita atas kematian suami. Atau, iddah merupakan konstruksi agama yang lebih menggambarkan nuansa ibadah (ta’abbudi). Sedangkan menurut kalangan madzhab Hanbaliyah, iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditentukan oleh agama.

Dapat disimpulkan bahwa iddah adalah etika-moral perceraian yang mengikat antara suami dan istri. Selain itu, dalam ajaran iddah akan lebih dirasakan nilai kemanusiaannya bila dipahami sebagai rasa emosional yang kokoh antara suami dan istri dalm membentuk kepribadian yang utuh sebagai insan yang beretika.

Bab IV : Intervensi Orangtua

(6)

membekaskan otoritas yang menindas. Maka kemandirian perlu dibangun sejak dini, khususnya dalam membangun rumah tangga, kita mesti melawan beragam bentuk jeratan yang mengarah pada pendiktean dan pemasungan hak-hak individu maupun kolektif. Hal ini seperti intervensi orangtua terhadap urusan rumah tangga anaknya yang ditengarai dapat memicu kerekatan keluarga.

Bila cinta telah dibuang jangan harap kedamaian akan datang. Karena, yang ada hanya kebencian memuncak, dendam yang berkecamuk. Dari sinilah benih malapetaka dahsyat akan terjadi. Lalu muncul dalam benak kita, salahkah bila orangtua ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya? Bukankah orangtua ingin memberikan yang terbaik buat sang anak? Lalu bagaimana fiqih menyikapi soal ini? Tidak wajibkah orangtua mengatur anak dan kehidupannya? Kalau ya, apa saja kewajiban orangtua terhadap anak? Dan, sejauh mana tanggungjawab itu? Bagaimana pula semestinya sikap sang anak terhadap saran yang diberikan orangtua?

Tanggung jawab yang dipikul orangtua teramat berat. Apalagi yang menyangkut prospek (masa depan) sang anak. Beban itu mulai terasa saat sang anak dilahirkan. Bagaimana tidak, saat itu orangtua harus tidak sembarangan mencarikan nama yang baik untuk anaknya. Karena sebagian ulama mengatakan bahwa nama memiliki pengaruh terhadap tingkah laku keseharian si anak pada hari-hari esok.

Selain itu, saat sang buah hati mulai beranjak umur, dengan penuh kesabaran orangtua wajib melatihnya berbagai keahlian untuk menghadapi tantangan hidup yang serba berliku-liku. Setelah anak menginjak akil-baligh dan dipandang mampu untuk mengarungi bahtera rumah tangga, orangtua pun berkewajiban untuk menikahkannya. Tentu dengan orang yang bisa memberikan kebahagiaan dunia akhirat.

Lalu sejauh mana tanggung jawa orangtua terhadap anaknya? Sebenarnya tanggung jawab penuh orangtua pada anak hanya sebatas masa sejak dia lahir sampai menginjak usia dewasa (baligh). Begitu juga dalam urusan rumah tangga, pada umumnya semua orangtua berkeinginan agar anaknya mendapat kebahagiaan yang paripurna, maka wajar bila mereka juga ikut memerhatikan keluarga sang anak. Apakah orangtua diperkenankan turut mengatur dan menentukan kebijakan rumah tangga anaknya? Adalah suatu kecerobohan jika orangtua terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga anaknya dalam segala persoalan. Karena jelas tindakan semacam ini akan menimbulkan dampak negatif.

(7)

rumah tangga sang anak. Ketika si anak telah dewasa, maka lepaslah kewajiban orangtua terhadap anaknya.

Sebagai orangtua yang bijak, tentunya mereka tidak mendikte keluarga anaknya walaupun sebenarnya mereka banyak menabung jasa pada sang anak. Namun, bukan berarti jasa-jasa itu lalu menjadi belenggu pada proses pematangan hidup sang anak. Tujuan baik, tapi dengan cara yang salah maka tujuan itu akan dirasa salah.

Bab V : Istri Menafkahi Suami

Hidup berkeluarga ibarat mendayung layar menuju dermaga biru, seperti juga kepakan sayap merpati mengukir tujuan. Kedua sayapnya menggambarkan sepasang suami-istri yang terngah berpacu dan bahu-membahu dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Dalam hal ini Islam mengajarkan akan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Allah berfirman:

...

نهل سابل متنأو مكل سابل نه

...

... mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 187)

Istri bekerja memang tidak lazim. Tetapi apa boleh buat, istri harus bekerja keras untuk mencari uang makan untuk keluarganya. Disebabkan sang suami tak lagi punya kesempatan bekerja, dia menjadi tumpuan satu-satunya untuk mempertaruhkan hidup keluarganya.

Dalam kehidupan rumah tangga. Ekonomi menjadi pilar utama demi keberlangsungan hidup dan pendidikan anak-anak. Susah dan bahagia biasanya diukur oleh kondisi ekonomi keluarga. Memang peneilaian seperti ini terkesan materialistis, tapi itulah yang terjadi. Apakah kewajiban nafkah, memang sepenuhnya beban bagi suami? Bagaimana dengan istri? Benarkah dia sama sekali tidak punya beban dalam memburuh nafkah keluarga? Perkawinan pada hakikatnya adalah sebuah ikhtiar (usaha) manusia dalam merajut kebahagian hidup mahligai rumah tangga. Pesan ini jelas terter dalam Al-qur’an :

ةمحرو ةدوم مكنيب لعجواهيلإ اونكستل اجاوزأ مكسفنأ نم مكل قلخ نأ ةيآ نمو

...

“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia jadikan diantaramu rasa kasih dan sayang...”

(8)

Sayangnya, fisik dan psikis tak selamanya seirama. Terkadang kenyataan tak sejalan dengan harapan. Untuk mewujudkan cita-cita tinggi dan mulia dalam keluarga tentu tidak hanya mengacu pada prinsip-prinsip pribadi. Sebagai seorang muslim, Al-qur’an harus dijadikan sandaran dalam membangun rumah tangga. Setidaknya ada dua prinsip dalam berkeluarga yang diajarkan Al-qur’an.

Pertama, menjalin hubungan yang harmonis. Hal ini sebagaimana firman Allah:

...

فورعملاب نهورشاعو

...

“..dan gaulilah istri-istrimu dengan baik...” (Q.S. An-nisa [4]: 19)

Ayat tersebut menganjurkan sikap santun dalam tutur kata, ramah dalam bersikap, termasuk dalam urusan nafkah dilingkungan keluarga.

Kedua, saling melindungi dan mengayomi. Kata pepatah, berat sam dipikul, ringan sama dijinjing. Dalam Al-qur’an disebutkan

..

فورعملاب نهيلع يذلا لثم نهلو

....

“... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibanya menurut cara yang makruf..” (Q.S. Al-baqoroh [2] : 228)

Mengenai urusan mencari nafkah, mayoritas ulama hanafiyah, safi’iyah dan zhahiriyah cenderung membebankan tugas tersebut kepada pihak suami. Dalam hadist nabi juga disebutkan bahwa

“ wajib atas kamu sekalian memberi rejeki(nafkah makan dan pakaian)terhadap mereka para istri dengan cara yang makruf.”

Pendapat ini juga diperkokoh oleh Qur’an Surat an-nisa (4): 34 bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Meki begitu, kewajiban nafkah tidak selamanya harus dibebankan pada pihak suami. Dalam kondisi tertentu suami boleh tidak menunaikan kewajiban nafkah.

(9)

Alhasil, keharmonisan rumah tangga merupakan mutiara berharga yang harus dijaga oleh sepasang suami istri. Soal nafkah semestinya menjadi tanggung jawab bersama.

Bab VI : Mengendalikan Nusyus

Tidak sedikit orang yang gagal membina rumah tangga, perceraian demi perceraian tak henti-hentinya menghiasi daftar perkara di pengadilan agama. Dalam ajaran Islam, antara hak dan kewajiban kedua belah pihak diatur sedemikian rupa. Rambu-rambu agama itu dimaksudkan agar suami istri hidup harmonis dan keduanya tidak merasa dirugikan.

Secara bahasa, nusyus berasal dari kata derifat an-nasyz yang berarti tempat yang tinggi. Namun, dalam idtilah nusyus dikenal sebagai kebencian salah satu pihak, baik suami atau istri terhadap pasangannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Mansyur Al-Lughawi dan Fakhr Ar-Razi. Sedangkan Wahbah Azzuhaily menambahkan bahwa nusyus merupakan sikap ketidak taatan pada pihak yang lain.

Untuk pihak suami, selain dikenal istilah nusyus, ada juga i’radh (berpalin). Bedanya, jika nusyus suami menjauhi istri, tapi dalam i’radh suami sekedar tidak mau bertutur katadan tidak menunjukan sikap ksih sayang yang sewajarnya. Dengan begitu, setiap nusyus sudah tentu i’radh, tapi i’radh belum tentu nusyus. Nusyus ini hanya akan terjadi jika muncul dari salah satu pihak, suami atau istri. Bukan keduanya secara bersamaan. Karena jika ini terjadi bersama namanya bukan nusyus tetapi syiqaq.

Dalam beberapa literatur fiqih dituturkan bahwa nusyus seorang suami merupakan perubahan sikap yang terjadi pada dirinya. Semula penuh kasih sayamg, lemah lembut dalam bertutur, ramah saat bersikap pada istrinya, tapi semua itu berubah jadi acuh tak acuh, bermuka masam, bahkan bersikap kasar dan sesekali penuh penentangan. Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak faktor.

pertama, yang bersifat lahiriyah, seperti kemalasan istri utuk selalu memperhatikan kecantikan dan keanggunannya di depan suami.atau perubahan yang terjadi pada fisik istrinya.

(10)

Bab VII : Nikah Diwakilkan

Banyak orangtua menyerahkan haknya untuk mengawinkan anak gadisnya kepada seorang ustadz atau kiai, yang menjadi wali bukan lagi sang ayah yang telah banyak menanam jasa, tetapi orang lain yang terkadang kita sendiri tidak begitu mengenalinya, bahkan tidak kenal sama sekali.

Lalu bagaimnakah fiqih menghadapi fenomena yang telah enjamur di masyarakat kita ini? Apakah dalam agama di bolehkan mengangkat orang lain menjadi wakilnya sebagai wali nikah? Padahal yang bersangkutan tidak udzur untuk menjadi wali, bahkan dia berada ditempat akad nikah saat dilangsungkannya akad nikah. Lalu bagaimana proses perwakilan dalam nikah ala fiqih? Adakah kriteria yang harus dimiliki oleh seorang wakil wali dalam pernikahan?

Kalau wali berada jauh diluar wilayah dimana akad nikah akan dilangsungkan, wajar bila wali mewakilkan kepada orang lain untuk menjadi wali nikah anaknya. Agama pun jelas akan meng absahkan perwakilan itu. Menjadi wali nikah memang tidak terasa sulit. Orang tua bisa saja menikahkan sendiri putrinya, karana dia memng walinya. Tetapi bila ada tujuan tertentu yang diyakini akan sangat berpengaruh bagi kelancaran dan kelanggengan rumah tangga anaknya, maka perwakilan untuk menjadi wali nikah bisa juga dibenarkan menurut agama. Perwakilan ini bisa dibenarkan bila bertujuan ingin mengikuti jejak langkah dari salafuna ash-shahih yang lebih mengutamakan orang yang memiliki derajat diatasnya.

Dalam berbagai literatur fiqih dikatakan bahwa wali terpilah menjadi dua macam. Pertama, wali mujbir yaitu wali yang berhak memaksa anaknya untuk nikah dengan pilihanya. Menurut madzhab syafi’i, yang tergolong wali mudzbir adalah ayah, kakek, buyut, dan seterusnya. Sedangkan madzhab maliki hanya membatasi wali mudzbir itu pada ayah saja. Kedua, wali ghoiru mujbir yakni wali yang tidak berhak memaksa anaknya nikah dengan pilihanya.

(11)

Fiqih lebih berorientasi pada tata formalitas dalam menentukan kepastian-kepastian hukumnya. Tidak ketinggalan dalam hal penyerahan hak (taukil) yang dilakukan oleh orangtua kepada orang lain dalam pernikahan anaknya masih diliputi dan diwarnai formalisasi aturan.

Menurut fiqih, penyerahan hak (taukil) ini baru dianggap sah apabila memakai sighat. Artinya, taukil ini harus dilakukan dengan memakai sebuah kalimat yang gamblang, mudah difahami bahwa kalimat itu adalah kalimat penyerahan hak atau pengangkatan wakil (taukil), bisa secara lisan atau tulisan, yang kita kenal dengan surat kuasa untuk menjadi wakil wali dalam pernikahan. Selain itu, menurut hasan ibnu saleh penyerahan hak kuasa (perwakilan) itu harus ada saksinya, minimal dua orang untuk lebih memperkuat posisi wakil dan perwakilan itu sendiri.Untuk menjadi wakil wali dalam pernikahan harus memenuhi beberapa kriteria :

1) Wakil itu harus cakap hukum (aqil, baligh)

2) Wakil harus seagama dengan seorang anakyang hendak dinikahkan

3) Wakil itu haruslaki-laki

4) Wakil harus memiliki gaya konsistensi terhadap agama

5) Harus dewasa, yaitu seorang muakil mengetahui kesepadanan (kafa’ah) dan kemaslahatan pernikahan.

Meski wali mujbir memiliki otoritas absolut (kekuasaan mutlak) terhadap anakanya untuk dinikahkan kepada siapa saja, namun bukan lantas harus menafikkan keberadaan anak. Dalam perwakilan wali ini pun, seorang wali- baik mujbir maupun ghoiru mujbir- hendaknya mau mendengarkan izin sang anak terlebih dahulu.

Bab VIII : Nikah Haruskah Pakai Wali?

Wali bisa digambarkan sebagai orang yang memiliki hak kuasa untuk menikahkan seseorang, walau terkadang hak itu bisa diberikan kepada orang lain dengan seijinya. Bagi kalangan syafi’iyah dan hambaliyah yang memberikan kriteria seorang wali harus aqil baligh, merdeka, seagama dengan pasangan yang hendak dinikahkan laki-laki adil, dan dewasa.

Mayoritas ulama menegaskan bahwa wali menjadi penentu sahnya akad nikah, sehingga nikah tanpa wali dipandang tidak sah. Pendapat ini merujuk pada firman Allah SWT

(12)

suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf..”(Q.S. Al-baqarah [2]: 232)

Dalam sebuah hadist nabi juga disebutkan : “akad nikah tidak sah, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”

Keberadaan wali dalam akad nikah tak lebih sekedar penguat transaksi tersebut dan dia bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan pernikahan sebelum dan sesudahnya, laki-laki memikul beban tanggung jawab dalam segala hal rumah tangga. Mulai dari sandang sampai pangan berada dipundaknya.

Maka tatkala terjadi hal yang tidak diinginkan, pasangan suami istri tak mampu lagi mendayung bidung rumah tangganya dan terpaksa harus bercerai dengan suaminya maka tak ayal lagi dia akan kembali dalam perlindungan sang ayah (wali).

Bab IX : Nikah Mut’ah Haram

Mut’ah adalah fenomena yang pernah menjamur pada masa Rosulullah dan kini merebak kembali dan diputar lagi dengan nuansa baru. Dr. Imam Ahmad As-Syir Bahsyi mendefinisikan nikah mt’ah sebagai suatu ikatan yang dibuat oleh seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi suami istri dalam jangkau waktu tertentu. Sementara Ali As-Shabni memberi batasan definisi mut’ah sebagai transaksi menyewa perempuan untuk dipersunting sebagi istri sesuai dengan kontrak yang telah di sepakati. Disebut mut’ah karna laki-laki yang menjalani nikah model ini bermaksud hanya ingin mencicipi nikmatnya bersenggama atau sebagai tujuan nikah, pada masa dan tentang waktu yang telah ditentukan oleh keduanya.

Untuk menentukan sah tidaknya kasus pernikahan ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Madzhab hanafiyah memberi garis batas mengenai persoalan ini, bahwa akad nikahnya harus memakai kata “ mata’a”. Misalnya, mati’ni binafsiki (berilah aku kesenangan

dengan dirimu. Sedangkan jumhur ulama

(malikiyah,syafi’iyah,hambaliyah) tidak meletakkan qoyid seperti yang dipasang oleh golongan hanafiyah sebagai syarat untuk sahnya nikah mut’ah. Ini diperkokoh oleh sebagian ulama yang melakukan tahkip (verifikasi) terhadap pendapat yang dilontarkan oleh ulama hanafiyah.

(13)

Mut’ah tidak lagi menampilkan pernikahan sebagai lambang dari ikatan suci untuk dijalani sampai akhir dari kehidupan manusia. Yang tak lebih sebagai tameng dalam upaya mengabsahkan perilaku zina, perbuatan terkutuk yang sangat dimurkai oleh Allah. Karna itu, menjadi ironis dan naif sekali kalau tetap meneriakkan keabsahan untuk melakukan nikah mut’ah dengan alasan apapun.

Bab X : Pembagian Harta Gono-Gini

Semua orang ingin membangun hidup bahagia dalam sebuah rumah tangga. Sejak awal, komitmen tinggi itu tertancam kuat disanubari manusia. Keduanya hidup bersama untuk saling melengkapi. Namun terkadang fakta bicara lain perceraian adalah fenomena lumrah yang sering terjadi.

Sejak awal, manusia diciptakan saling berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Banyak hikmah terangkai dibalik kenyataan ini. Diantaranya saling mencintai dan mengasihi yang akhirnya terajut dalam rumpun rumah tangga untuk kemudian menghasilkan keturunan sebagai fitrah kelestarian hidup manusia. Hidup bahagia penuh hiasan cinta kasih dalam mahligai keluarga menjadi impian semua pasangan suami istri.

Sejak pertama memasuki dunia baru ini, semuanya saling berikrar setia sehidup semati. Manis dan pahitnya hidup dijalani penuh kebersamaan. Yang satu menjadi penopong yang lain menjadi penyangga dikala melintasi lika-liku jalanan kehidupan.

Namun apa mau dikata, tidak segala harapan terwujud dalam kenyataan. Sesekali saling berbenturan. Perceraian antara suami dan istri bukan berarti tidak menyisakan sederet permasalahan. Apalagi jika ada anak sebagai hasil perkawinan, kepada siapakah dia harus menambatkan nasib hidupnya dihari esok, ayah ataukah ibu? Selain persoalan krusial ini, masih banyak lagi polemik yang akan menyusul kemudian. Diantaranya mengenai harta milik yang mereka peroleh selama dalam ikatan perkawinan.

Dalam istilah yang lebih populer dinegara ini, harta milik suami istri yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dikenal dengan sebutan harta gono gini (harta bersama). Harta itu diperoleh atas usaha berdua ataupun yang dibawa pada waktu pertama kali terjaliny hubungan nikah.

(14)

pemilik semula juga sejak awal memang diperoleh dari bawaan suami atau istri pada waktu pertama kali melangsungkan pernikahan .

Selanjutnya mereka maupun para ahli waris tak berhak menggunakan (tasharuf) apabila setelah terjadi perceraian atau salah satunya meninggal dunia, harta benda itu bercampur baur sehingga tidak dapat ditentukan milik siapa yang lebih banyak. Disamping itu, tidak dijumpai indikasi (qorinah) atau alasan apapun yang menjadi pegangan atas harta tersebut.

Mereka baru dapat menggunakan harta itu setelah adanya pemisahan atau perdamaian antar keduanya. Akan tetapi, dibenarkan menggunakan harta gono-gini ini jika antara suami dan istri bersama-sama dalam mendaya-fungsikanya. Langkah damai dapat pula ditempuh dengan ucapan damai ataupun dengan saling memberi (merelakkan) bagian antar keduanya, baik pembagian dilakukan secara merata ataupun tidak. Jalan ini tetap ditempuh walaupun adat istiadat menghendaki salah seorang diberi bagian lebih banyak dari yang lain.

Namun, apabila cara semacam ini bellum berhasil maka langkah berikutnya seseorang harus bersumpah dengan mengakui barang yang ada padanya. Ada beberapa cara yang harus ditempuh jika terjadi perelisihan antara suami dan istri mengenai harta yang ada pada mereka, baik sebelum maupun sesudah mereka bercerai. pertama, harta itu menjadi hak milik pihak yang mengakuinya supaya dibenarkan oleh pihak lain, ataupun menghadirkan saksi yang memperkuat pengakuanya itu.

Kedua, jika persengketaan terus berlanjut dan saksi tak dapat dihadirkan, harta menjadi milik pihak pemegang barang yang dikuatkan dengan sumpahnya. Akan tetapi, jika ia enggan bersumpah maka kepemilikian berlih pada pihak lain setelah disumpah terlebih dahhulu. Hal ini dikenal dengan istilah mardudah (sumpah takisan).

Ketiga, barang barang itu diberikan kepada pemegang barang jika ternyata pihak kedua tadi tidak mau bersumpah dengan yakni mardudah.Keempat, salah seorang diantaranya tidak memegang barang sebagai objek sengketa, melainkan dipegang secara bersama, maka keduanya harus salinng sumpah, untuk kemudian barang itu dibagi dua. Hal ini disebabkan tiadanya bukti yang menguatkan salah satu pihak, walaupun sebenarnya barang itu adalah hak salah seorang di antara keduanya.

(15)

keseluruhan harta yang ditinggalkan oleh seseorang di kala maut menjemput tidak dapat digolongkan harta waris secara mutlak.

Bab XI : Kesimpulan

Dalam buku yang berjudul Fiqh Keluarga karya Abu Yasid dapat disimpulkan, bahwa buku ini mencoba memaparkan fenomena yang banyak terjadi dalam lingkup keluarga, seperti kewajiban khitan bagi perempuan, persoalan tentang tradisi pernikahan, istri yang menafkahi suami dan sebagainya. Dapat diakui bahwa didiplin ilmu paling berkompeten dalam menelaah persoalan ini adalah ilmu fiqh. Pada kenyataannya, fikih ini di bangun tidak lain untuk merespon aneka persoalan masyarakat, termasuk persoalan domestik dengan beragam implikasinya. Buku ini berusaha menjembatani segala permasalahan tersebut dengan arif dan bijak.

D. SIMPULAN

Manfaat buku ini bagi pembaca menurut saya adalah untuk lebih menambah pengetahuan pembaca dalam memahami Fiqh atau hukum hukum keluarga serta sebagai bentuk pengulangan mengenai fiqh yang sebelumnya memang sudah pernah diajarkan. Kelebihan buku ini bahasanya mudah dimengerti. Kekurangannya, mungkiin tidak adanya indeks dan mengenai beberapa contoh lebih terperinci.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

merupakan kelompok senyawa triterpen, khususnya nortriterpen (Guo, et al., 2005). Kuasinoid yang berhasil diisolasi dari biji Malua diantaranya brusatol, brucein D, brucein E,

Pada produk susu kental ini menggunakan kemasan primer berupa kaleng yang terbuat dari bahan plat timah dengan bahan pelapis atau enamel yang khusus yaitu enamel susu yang

1, Memantau penyuluhan gi%i umum sasaran& macam dan  !umlah diet).. Melakukan e+aluasi di bidang 1 Menge+aluasi hasil kegiatan pelayanan gi%i& makanan dan pelayanan

Seluruh anggota tahu Sebagian besar anggota tahu Sebagian kecil anggota tahu.. 3) Pengetahuan anggota tentang rencana kerja kelompok tani: (Pilih salah satu dan beri tanda √

New York Times dan Netflix grafis mengembangkan peta penyewaan video yang menampilkan film-film popular di seluruh lingkungan dari kota-kota bedsar di Amerika Serikat adalah

Merujuk dan Menerima Rujukan Specimen dan Penunjang Diagnostik Lainnya Pemeriksaan Spesimen dan Penunjang Diagnostik lainnya dapat dirujukapabila pemeriksaannya memerlukan

Fungsi penting sebuah transistor adalah kemampuannya untuk menggunakan sinyal yang sangat kecil yang masuk dari satu terminal transistor tersebut untuk