• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELOKASI GEMPA BUMI DI MYANMAR DENGAN METODE MJHD: AFTERSHOCKS DARI GEMPA BESAR DAN SEISMISITAS SEPANJANG PATAHAN SAGAING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELOKASI GEMPA BUMI DI MYANMAR DENGAN METODE MJHD: AFTERSHOCKS DARI GEMPA BESAR DAN SEISMISITAS SEPANJANG PATAHAN SAGAING"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1

TUGAS SKRIPSI

RELOKASI GEMPA BUMI DI MYANMAR DENGAN METODE MJHD: AFTERSHOCKS DARI GEMPA BESAR DAN SEISMISITAS SEPANJANG

PATAHAN SAGAING

OLEH:

Fakhry Dwi Sulistio (13.12.2767) Firzy Reza Gema Ramadhan (13.12.2766)

Lusinda Indri Astuti (13.12.2775) Rezki Noviana Agus (13.12.2783)

Diadapatasi dari Paper:

RELOCATION OF EARTHQUAKES IN MYANMAR BY MJHD METHOD: AFTERSHOCKS OF LARGE EARTHQUAKES AND SEISMICITY ALONG

THE SAGAING FAULT

PRODI GEOFISIKA SEMESTER IV

SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

▸ Baca selengkapnya: gempa lombok terjadi pada bulan agustus 2018. pengembangan peristiwayang sesuai dengan kalimat tersebut yaitu

(2)

2 INTISARI

Untuk mengerti seismisitas yang ada di Myanmar, analisis yang mendetail terhadap hiposenter dan penentuan bidang patahan sangat penting. Pertama, kami merelokasi tujuh event gempa yang magnitude Mw ≥ 6.0 beserta dengan aftershock masing-masing gempa dengan menggunakan metode Modified Joint Hypocenter Determination (MJHD) dan menggunakan data waktu tiba gelombang P yang diambil dari International Seismological Centre (ISC). Kami merelokasi aftershocks tersebut per hari, per pekan, atau per bulan tergantung pada kejadian aftershock yang terjadi. Daerah yang direlokasi adalah ±1 derajat terhadap bujur dan lintang dari sumber gempa tersebut yang datanya diambil dari Global CMT. Setelah merelokasi gempa gempa besar dan aftershock-nya, kami dapat mengidentifikasi bidang patahan tiga gempa dari beberapa gempa besat tersebut, tetapi beberapa gempa bumi tersebut sulit untuk diidentifikasi bidang patahannya sebab kurangnya aftershock dari gempa-gempa tersebut. Selanjutnya, kami merelokasi gempa bumi yang termasuk dalam gempa bumi historis untuk menginvestigasi seismisitas sepanjang patahan Sagaing. Kami menggunakan waktu tiba gelombang P dari ISC (dari tahun 1961 sampai dengan Maret 2007) dan tujuh gempa historis yang datanya berasal dari International Seismological Summary (ISS). Beberapa relokasi episenter mendapatkan hasil yang dekat dengan patahan dibandingkan dengan sebelum dilakukan relokasi. Kami dapat menentukan hiposenter dari gempa historis tersebut dan beberapa gempa terkini pada lima sub-region yang ada pada wilayah tersebut. Hasil kami menunjukkan konsistensi dengan setting geologi yang ada pada daerah tersebut dan hasil tersebut berguna untuk digunakan sebagai bahan kajian bahaya seismik pada wilayah tersebut.

(3)

3 ABSTRACT

To understand the seismicity in Myanmar, detailed analysis of hypocenters and fault planes determination are important. First, we relocated seven earthquakes of which magnitudes are Mw ≥ 6.0, together with their aftershocks using Modified Joint Hypocenter Determination (MJHD) method and used P-wave arrival times from International Seismological Centre (ISC). We relocated aftershocks of one day, one week, or one month based on the aftershocks’ occurrences. Target area is ±1 degree from both the latitude and longitude from Global CMT for each large earthquake. After the relocations of the large earthquakes and their aftershocks, we could identify the fault plane of three earthquakes but some earthquakes are difficult to identify the fault plane due to aftershocks occurrences because the lack of aftershocks of them. Furthermore, we relocated earthquakes including the historical earthquakes to investigate the seismicity along the Sagaing fault. We used P-wave arrival times from ISC (1961 to March, 2007) and those for seven historical earthquakes from International Seismological Summary (ISS). Some relocated epicenters are closer to the fault than those before relocation. We could determine the hypocenters of historical earthquakes and recent earthquakes on the five sub-regions. It means our results are consistent with the geological setting of this region and are useful for seismic hazard assessment in this region.

(4)

4 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Seismologi, penentuan hiposenter gempa bumi secara tepat dan akurat sangat penting. Sebab penentuan parameter hiposenter yang tepat dapat merepresentasikan dengan tepat juga solusi bidang patahan pada daerah tersebut. Penentuan hiposenter pada saat sekarang ini telah semakin cepat seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat pula. Walaupun demikian, parameter hiposenter yang dihasilkan dianggap masih perlu lebih diakuratkan sebab model kecepatan yang digunakan dalam penentuannya adalah model kecepatan satu dimensi global. Di sisi lain, penentuan parameter hiposenter juga masih kurang optimal karena penentuan parameter gempa bumi semata-mata ditujukan untuk memberikan informasi sedini mungkin bagi masyarakat. Oleh karena itu, dilakukan studi lebih lanjut untuk merelokasi parameter hiposenter gempa bumi yang telah dihasilkan sebelumnya.

Studi mengenai relokasi gempa bumi sudah banyak dilakukan dalam dunia Seismologi Internasional. Dalam studi ini, kami melakukan studi relokasi hiposenter pada daerah patahan Sagaing di Myanmar dengan menggunakan metode Modified Joint Hypocenter Determination (MJHD) (Hurukawa dan Imoto, 1990, 1992). Metode MJHD ini memiliki keunggulan dapat menghitung banyak gempa bumi secara simultan dan memiliki koreksi stasiun dengan memperhitungkan heterogenitas lateral bumi (Maung, 2009). Gempa bumi yang terjadi di patahan Sagaing itu sendiri adalah tipe gempa dengan sesar strike slipe menganan. Pengetahuan akan seismistas daerah tersebutlah yang mendorong kami untuk melakukan studi relokasi hiposenter pada gempa bumi yang terjadi di patahan Sagaing tersebut.

Pada studi ini, data yang digunakan adalah waktu tiba gelombang P yakni terhadap tujuh event gempa dengan magnitude Mw ≥ 6.0 beserta aftershock masing-masing gempa dari tahun 1961 hingga Maret 2007 yang datanya diambil dari International Seismological Centre (ISC), tujuh gempa historis: 19 Januari 1929 (M = 7.0), 8 Agustus 1929 (M= 7.0), 5 Mei 1930 (M=7.3), 3 Desember 1930 (M=7.3), 27 Januari 1931 (M=7.3), 12 September 1946 (M=7.3), dan 16 Juli 1956 (M=7.0) yang datanya diambil dari International Seismological Summary (ISS), dan tujuh gempa bumi dahsyat sejak tahun 1988 sampai tahun 2003 yang datanya diambil dari Global CMT. Data tersebut akan diinversikan dengan metode

(5)

5

MJHD dan menghasilkan hiposenter terkoreksi yang kemudian akan diplot menggunakan software Generic Mapping Tool (GMT) untuk mengetahui arah bidang patahan (fault plane).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu “Bagaimanakah solusi bidang patahan di daerah patahan Sagaing?”

1.3 Batasan Masalah

Agar lebih terarah dan terfokus dalam pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan yang terkait dengan studi relokasi hiposenter pada daerah patahan Sagaing ini. Pada studi ini dilakukan relokasi terhadap gempa bumi yang terjadi di sepanjang patahan Sagaing. Relokasi dilakukan pada tujuh gempa bumi utama (mainshock) dan gempa bumi susulan (aftershock) dengan menggunakan metode Modified Joint Hypocenter Determintation (MJHD). Gempa bumi susulan yang direlokasi adalah gempa bumi yang berada di daerah dengan batasan area ± 1 derajat terhadap bujur dan lintang dari sumber gempa tersebut yang datanya diambil dari Global CMT, juga data waktu tiba gelombang P yakni terhadap tujuh event gempa dengan magnitude Mw ≥ 6.0 beserta aftershock masing-masing gempa dari tahun 1961 hingga Maret 2007 yang datanya diambil dari International Seismological Centre (ISC) dan tujuh gempa historis: 19 Januari 1929 (M = 7.0), 8 Agustus 1929 (M= 7.0), 5 Mei 1930 (M=7.3), 3 Desember 1930 (M=7.3), 27 Januari 1931 (M=7.3), 12 September 1946 (M=7.3), dan 16 Juli 1956 (M=7.0) yang datanya diambil dari International Seismological Summary (ISS).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari studi ini adalah untuk merelokasi hiposenter gempa bumi menjadi lebih akurat menggunakan metode inversi MJHD. Selain itu menentukan bidang patahan dari dua nodal plane yang tergambar pada solusi bidang patahan yang telah disediakan oleh Global Centroid Moment Tensor (Global CMT) berdasarkan distribusi hiposenter gempa bumi susulan yang terjadi.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah kami dapat mengetahui keadaan seismisitas di daerah ini sehingga kami berharap penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk studi kajian bahaya seismik pada wilayah ini di kemudian hari pada penelitian selanjutnya.

(6)

6 1.6 Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan tulisan ini penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

a. BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini diterangkan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan.

b. BAB 2 LANDASAN TEORI

Pada bab ini diterangkan tentang sistem tektonik, gempa bumi, inversi geofisika, luas bidang sesar dan seismisitas patahan Sagaing.

c. BAB 3 DATA DAN PENGOLAHAN

Pada bab ini diterangkan tentang metode Modified Joint Hypocenter Determintation (MJHD), data yang digunakan dan pengolahan data.

d. BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diterangkan tentang hasil yang didapat yaitu hasil relokasi gempa bumi yang dilakukan dan penentuan bidang patahan serta luasnya.

e. BAB 5 PENUTUP

(7)

7 BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Tektonik

2.1.1 Teori tektonik lempeng

Bumi ini tersusun dari beberapa lapisan, dimulai dari inti bumi dalam, inti bumi luar, mantel dan kerak.

Gambar 2.1 Struktur dalam bumi (USGS, 1999)

Inti bumi bagian dalam merupakan daerah yang padat sekalipun suhunya sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh tekanan di lapisan tersebut yang juga sangat besar. Inti bumi bagian luar bersifat cair. Mantel pada umumnya lebih padat daripada inti luar bumi namun di bagian yang bersentuhan dengan kerak bumi yakni astenosphere bersifat plastis mengarah ke cair. Dan yang terakhir lapisan bumi teratas yaitu kerak bumi atau disebut juga lapisan litosphere mengapung di atas lapisan astenosphere. Lapisan kerak bumi terdiri dari kerak benua (continental crust) dan kerak samudera (oceanic crust).

Saat pertama kali terbentuk, lapisan benua hanya ada satu yang disebut sebagai benua Pangea. Adanya arus konveksi yang terjadi di lapisan mantel menyebabkan benua ini terpecah dan bergerak saling menjauh menjadi benua Laurasia dan Gondwanaland. Dua benua besar ini pun kembali saling terpecah menjadi benua-benua yang ada sekarang ini dan sampai saat ini pun lapisan kerak bumi masih bergerak dengan arah dan kecepatan yang berbeda-beda.

(8)

8

Gambar 2.2 Tampilan benua selama kurun waktu 250 juta tahun terakhir (USGS, 2011)

Karena densitasnya yang lebih besar, kerak samudera cenderung menyusup ke bawah kerak benua. Tipe pertemuan lempeng-lempeng tektonik ini dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :

a. Divergen

1) Pertemuan lempeng tektonik yang saling menjauh.

2) Pada daerah ini terbentuk lempeng benua baru ditandai dengan adanya palung dasar laut (ridge).

3) Proses pergerakan semacam ini disebut sebagai Sea Floor Spreading.

Gambar 2.3 Pertemuan lempeng divergen (Skinner dan Porter, 1995)

(9)

9 b. Konvergen

1) Pertemuan lempeng tektonik yang saling bertumbukan.

2) Salah satu lempeng yang densitasnya lebih besar akan menyusup di bawah lempeng lain yang densitasnya lebih ringan dan membentuk zona subduksi (Subduction Zone).

Gambar 2.4 Batas konvergen subduksi dengan penunjaman lempeng samudera (Skinner dan Porter, 1995)

c. Transform

Pertemuan lempeng tektonik yang bergerak secara lateral, satu melewati yang lainnya sehingga lapisan baru tidak terbentuk atau lapisan lama tidak rusak.

Gambar 2.5 Batas lempeng sesar mendatar

(Skinner dan Porter, 1995)

2.1.2 Sesar

Sesar (fault) adalah sebuah rekahan akibat pertemuan blok di lapisan kerak dimana blok tersebut saling bergerak satu sama lain relatif terhadap arah rekahan (USGS). Patahan lebih sering terjadi di daerah tumbukan antarlempeng benua dan lempeng samudera, namun dapat juga terjadi di tengah benua.

(10)

10

Bidang sesar (fault plane) adalah permukaan dimana terjadi slip selama gempa bumi (USGS). Hiposenter gempa bumi dapat diasumsikan sebagai sebuah titik di bidang sesar, namun pada kenyataannya gempa bumi adalah pelepasan energi yang terjadi pada sebuah bidang yang disebut juga bidang sesar.

Gambar 2.6 Diagram bidang sesar (USGS, 2012A)

Gambar di atas menjelaskan tentang bidang sesar, hiposenter atau disebut juga focus, lereng sesar (fault scarp) yang merupakan penampakan di permukaan bumi yang menyerupai undakan yang diakibatkan oleh slip patahan dan jejak sesar (fault trace) yaitu pertemuan antara sesar dengan tanah di permukaan.

Dua blok yang bersinggungan disebut sebagai hanging wall dan foot wall. Hanging wall adalah blok yang terdapat di bagian atas bidang sesar sedangkan foot wall adalah blok yang dapat di bagian bawah bidang sesar.

Ada tiga tipe sesar yang terjadi: a. Sesar strike slip

Sesar dimana dua blok yang bertemu saling bergerak horisontal terhadap satu sama lain.

b. Sesar normal

Sesar dimana hanging wall bergerak turun sedangkan foot wall relatif diam. c. Sesar naik

(11)

11

Gambar 2.7 Jenis-jenis sesar (USGS, 2012B)

2.2 Gelombang Seismik

Gelombang seismik adalah gelombang yang merambat di dalam bumi diakibatkan oleh adanya gempa bumi, aktivitas vulkanik atau ledakan buatan manusia. Gelombang seismik disebut juga gelombang elastik karena osilasi partikel-partikel medium terjadi akibat interaksi antara gaya gangguan atau gradien stress melawan gaya-gaya elastik. Dari interaksi ini muncul gelombang longitudinal, gelombang transversal dan kombinasi di antara keduanya. Apabila medium hanya memunculkan gelombang longitudinal saja misalnya di dalam fluida, maka dalam kondisi ini, gelombang seismik sering dianggap sebagai gelombang akustik.

Jika sumber yang menimbulkan terjadinya gelombang seismik sangat besar maka gelombang ini dapat merambat sampai ke inti bumi dan direkam di balik belahan bumi dari sumber gelombang yang terjadi. Gelombang seismik terdiri dari gelombang badan atau body wave dan gelombang permukaan atau surface wave.

(12)

12

Gambar 2.8 Jenis-jenis gelombang seismik (USGS, 2009)

2.2.1 Gelombang badan

Gelombang badan adalah gelombang seismik yang merambat hingga ke dalam bumi. a. Gelombang P

Gelombang P atau disebut juga gelombang primer adalah gelombang yang pertama kali tercatat di alat seismometer. Hal ini disebabkan karena gelombang ini memiliki kecepatan yang paling cepat dibandingkan gelombang seismik yang lain. Bentuk penjalaran gelombang sejajar dengan arah penjalarannya.

Gelombang P dapat menjalar di semua medium. Arah getarannya ke depan dan ke belakang sehingga materi yang dilaluinya mengalami tekanan dan peregangan seperti spiral. Oleh karena itu, sering disebut dengan Push-Pull Wave atau Compressional Wave. Persamaan dari kecepatan gelombang P adalah

Vp = √

(2.1)

Dimana Vp adalah kecepatan gelombang P, λ adalah parameter Lame, μ adalah modulus geser dan ρ adalah densitas batuan.

(13)

13

Dalam peringatan dini gempa bumi maupun tsunami, gelombang P sangat bermanfaat karena gelombang ini adalah gelombang yang pertama kali sampai di stasiun pencatat sehingga analisis yang cepat dan akurat terhadap gelombang ini akan sangat bermanfaat dalam menentukan parameter gempa bumi dengan cepat pula.

b. Gelombang S

Gelombang S atau gelombang sekunder adalah gelombang seismik yang hanya merambat di permukaan bumi. Merupakan gelombang transversal yang memiliki arah getar tegak lurus dengan arah penjalarannya. Gelombang ini memiliki waktu perambatan yang lebih lama daripada gelombang P sehingga akan tercatat setelah gelombang P pada alat seismometer.

Gelombang S tidak dapat merambat di medium cair. Persamaan dari kecepatan gelombang S adalah

Vs = √ (2.2)

dimana Vs adalah kecepatan gelombang S, μ adalah modulus geser dan ρ adalah densitas batuan.

2.2.2 Gelombang permukaan

Gelombang permukaan adalah jenis gelombang seismik yang hanya merambat di permukaan bumi. Amplitudo gelombang ini akan semakin melemah jika semakin masuk ke dalam bumi.

a. Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang merambat pada batas permukaan saja dan hanya dapat merambat pada media padat serta arah getarannya berlawanan arah dengan arah perambatannya.

b. Gelombang Love

Gelombang Love adalah gelombang yang hanya merambat pada batas lapisan saja dan bergerak pada bidang horisontal saja.

2.3 Gempa Bumi

2.3.1 Jenis-jenis gempa bumi

Gempa bumi merupakan suatu getaran pada bumi yang dirasakan oleh manusia. Sebab terjadinya gempa bumi sendiri terdiri dari beberapa hal, yaitu :

(14)

14 a. Gempa bumi vulkanik (gunung api)

Gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanik, biasanya terjadi saat gunung berapi sedang aktif. Gempa bumi ini hanya dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi gunung berapi.

b. Gempa bumi tektonik

Gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivtias tektonik yaitu pergeseran lempeng-lempeng tektonik dunia. Gempa bumi merupakan gempa bumi yang sangat sering terjadi dan memiliki kemampuan merusak yang sangat tinggi. Gempa bumi dapat dirasakan secara luas bahkan gelombang seismiknya dapat tercatat hampir di seluruh wilayah bumi jika kekuatan gempa bumi yang terjadi sangatlah besar, seperti yang terjadi pada gempa bumi Aceh pada 26 Desember 2004 silam. c. Gempa bumi runtuhan

Gempa bumi ini disebabkan oleh runtuhnya suatu material, biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun daerah pertambangan. Jenis gempa bumi ini sangat lokal dan jarang terjadi.

d. Gempa bumi buatan

Gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang getarannya diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti ledakan dinamit, nuklir atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi untuk kegiatan eksplorasi.

Sedangkan berdasarkan kekuatan magnitudo, Hagiwara (1964) membagi gempa bumi, yakni sebagai berikut :

a. Gempa sangat besar (great earthquake ) M > 8.0 b. Gempa besar (major earthquake) 7.0 < M < 8.0 c. Gempa sedang (moderate earthquake) 5.0 < M < 7.0 d. Gempa kecil (small earthquake) 3.0 < M < 5.0 e. Gempa mikro (micro earthquake) 1.0 < M < 3.0

f. Gempa ultra mikro M < 1.0

Berdasarkan tipenya Mogi membedakan gempa bumi atas beberapa jenis, yaitu (Gunawan dan Subardjo, 2004) :

a. Tipe I

Pada tipe ini gempa bumi utama (mainshock) diikuti gempa susulan (aftershock) tanpa didahului gempa pendahuluan (foreshock).

(15)

15 b. Tipe II

Sebelum terjadi gempa bumi utama, diawali dengan adanya gempa pendahuluan dan selanjutnya diikuti oleh gempa susulan yang cukup banyak.

c. Tipe III

Tidak terdapat gempa bumi utama. Magnitude dan jumlah gempa bumi yang terjadi besar pada periode awal dan berkurang pada periode akhirnya dan biasanya dapat berlangsung cukup lama. Tipe gempa ini disebut tipe swarm.

2.3.2 Parameter gempa bumi a. Waktu terjadi (origin time)

Origin time atau waktu terjadinya gempa bumi merupakan waktu dimana pelepasan energi pertama kali terjadi pada lempeng tektonik bumi yang mengalami tekanan akibat tumbukan atau gesekan.

Untuk menentukan origin time, secara sederhana dapat menggunakan diagram Wadati,

Gambar 2.9 Diagram Wadati (Hurukawa, 2008)

dimana Tp adalah waktu tiba gelombang P, Ts adalah waktu tiba gelombang S, To adalah origin time, Vp adalah kecepatan gelombang P dan Vs adalah kecepatan gelombang S. Origin time ditentukan dari perpotongan garis Tp ketika Ts – Tp sama dengan nol.

(16)

16

Gambar 2.10 Penyebaran gelombang P dan S dari hiposenter (Hurukawa, 2008)

Dengan menggunakan diagram Wadati, maka diketahui bahwa To adalah :

To = Tp – (2.3)

Dimana Tsp adalah Ts – Tp dan l adalah – 1. b. Hiposenter

Hiposenter merupakan pusat gempa bumi yang berada di dalam permukaan bumi. Untuk memudahkan terkadang hiposenter diasumsikan sebagai sebuah titik namun pada kenyataannya hiposenter merupakan sebuah bidang yang luasnya tergantung pada besarnya energi yang dilepaskan.

Penentuan hiposenter juga dapat menggunakan diagram Wadati dengan mengasumsikan bahwa lapisan bumi adalah homogen,

(17)

17

dari gambar di atas, D adalah jarak hiposenter dengan statsiun pencatat dan dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

D = Tpo * Vp (2.4) D = Tso * Vs = (Ts-To) * Vs (2.5) = [(Ts – Tp) + (Tp – To)] * Vs (2.6) = (Tsp + Tpo) * Vs (2.7) Dimana Tsp adalah Ts – Tp. c. Episenter

Episenter merupakan sebuah daerah di permukaan bumi yang tegak lurus terhadap hiposenter.

d. Magnitudo

Magnitudo merupakan besaran yang menunjukkan kekuatan gempa bumi secara empiris. Satuan yang dipakai adalah Skala Richter.

Secara umum, magnitudo dapat dihitung menggunakan formula berikut : M = log a/T + f(∆, h) + Cs + CR (2.8)

Dengan M adalah magnitudo, a adalah amplitudo gerakan tanah (dalam mikrotremor), T adalah periode gelombang, ∆ adalah jarak pusat gempa atau episentrum, h adalah kedalaman gempa, Cs dan CR adalah faktor koreksi yang bergantung pada kondisi lokal dan regional daerahnya.

Secara lebih spesifik, magnitudo dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1) Magnitudo lokal (ML)

2) Magnitudo body wave (mb) 3) Magnitudo surface wave (Ms) 4) Magnitudo moment (Mw) e. Intensitas

Intensitas merupakan besaran yang menunjukkan kekuatan gempa bumi berdasarkan kerusakan yang diakibatkannya. Skala ini lebih subjektif karena nilainya tergantung pada orang yang mengamati. Namun saat ini sudah dikembangkan alat untuk menentukan besarnya skala intensitas yaitu berdasarkan nilai percepatan tanah di suatu daerah, sehingga skala yang di dapat lebih objektif. Skala yang secara umum digunakan adalah Modified Mercalli System (MMI).

(18)

18 2.3.3 Mekanisme fokal

Focal mechanism merupakan sebuah gambar yang menjelaskan tentang sebuah sesar. Gambar ini seringkali disebut dengan nama beach ball. Dengan menganalisis focal mechanism maka dapat diketahui jenis sesar, orientasi sesar serta arah slip-nya. Pada gambar di bawah, T menunjukkan daerah yang mengalami tarikan (tension) dan digambarkan dengan warna abu-abu, sedangkan P menunjukkan daerah yang mengalami tekanan (pressure) dan digambarkan dengan warna putih.

Gambar 2.12 Mekanisme fokal (USGS, 2010)

2.4 Inversi pada Geofisika

Ilmu Geofisika merupakan sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat fisis bumi, seperti cepat rambat gelombang seismik, rapat massa batuan, resistivitas batuan dan sebagainya. Sifat-sifat ini sangat bervariasi baik secara vertikal maupun horisontal. Untuk mengetahui sifat-sifat ini maka dilakukan pengukuran-pengukuran, namun pengukuran-pengukuran yang dilakukan lebih banyak dilakukan di permukaan bumi. Sekalipun ada pengukuran yang dilakukan ke dalam lapisan bumi maka jangkauannya akan sangat terbatas bahkan dibandingkan dengan ketebalan lapisan kerak bumi.

Dari pengukuran yang dilakukan akan didapatkan data lapangan yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui distribusi sifat fisis bawah permukaan bumi yaitu dengan melakukan pemodelan. Model yang digunakan diasumsikan sebagai lapisan bumi bawah

(19)

19

permukaan dengan kondisi geologi dan bentuk tertentu. Tujuan representasi menggunakan model adalah agar permasalahan dapat disederhanakan dan respon model dapat dihitung dengan teori-teori Fisika (Grandis, 2009).

Dalam ilmu Geofisika, dikenal dua pemodelan yaitu forward modelling dan inverse modelling. Forward modelling menyatakan proses perhitungan data yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga parameter model bawah permukaan tertentu (Grandis, 2009). Inverse Modellingi merupakan proses mendapatkan parameter model bawah permukaan dengan menggunakan data pengukuran langsung. Permasalahan Geofisika pada dasarnya merupakan permasalahan inversi karena parameter model harus diperkirakan berdasarkan hasil pengamatan data (Grandis, 2009).

Gambar 2.13 Pemodelan data geofisika (Grandis, 2008)

Contoh permasalahan inversi yang diterapkan dalam ilmu Geofisika adalah : a. Penentuan parameter gempa bumi

b. Penentuan lokasi benda-benda purbakala yang terpendam c. Penentuan lokasi kebocoran pipa bawah tanah

d. Dll

2.5 Luas Bidang Sesar

Luas bidang sesar yang terjadi meliputi panjang area rekahan maupun lebar area rekahan dapat diidentifikasi menggunakan beberapa macam cara, salah satu diantaranya adalah secara empiris menggunakan metode scalling law yang dikenalkan oleh Wells dan Coppersmith tahun 1994.

(20)

20

Metode ini menghitung luasan bidang patahan dihubungkan dengan Magnitudo Moment (Mw) yang terjadi. Magnitudo Moment digunakan karena saat ini magnitudo inilah yang dinilai sangat akurat karena merupakan perhitungan langsung dari energi yang dilepaskan saat gempa bumi pada sumber gempa.

Penghitungan empirisnya dapat digunakan dengan menggunakan persamaan pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Regresi panjang patahan, lebar patahan, area patahan dan Magnitudo Moment (Mw)

2.6 Seismisitas Patahan Sagaing

Myanmar terletak pada sebuah wilayah tektonik yang sangat aktif, dimana terdapat zona subduksi dan patahan Sagaing yang aktif. Dari sudut pandang Seismologi, Myanmar adalah salah satu kota dengan seismik teraktif di dunia. Dari gempa bumi dengan kedalaman mulai dari dangkal hingga menengah terjadi di zona subduksi Burma hingga gempa bumi dangkal yang kuat terjadi di patahan Sagaing (Gambar 2.14). Patahan Sagaing adalah sebuah patahan aktif dengan sesar strike slip berorientasi ke kanan yang membentang dari Utara ke Selatan melalui kota Myanmar. Sebagian besar gempa bumi historis terjadi di patahan tersebut. Sebanyak lima belas gempa bumi dahsyat ( M ≥ 7.0)

(21)

21

mengguncang kota tersebut dari tahun 1912 sampai tahun 2003 (Gambar 2.15). Frekuensi kejadian gempa bumi dahsyat terjadi di antaranya satu gempa dalam dua belas hingga enam belas tahun. Mengacu kepada peta seismisitas, bagian Barat Laut dari Myanmar adalah salah satu sumber gempa bumi terdahsyat di dunia.

Gempa-gempa tersebut tersebar di seluruh kota kecuali bagian wilayah kepulauan bagian selatan. Hal ini mengindikasikan arah dari patahan aktif tersebut. Pada studi kasus ini, kami merelokasi aftershocks dari tujuh gempa bumi dahsyat sejak tahun 1988 sampai tahun 2003 untuk menentukan bidang patahan dengan metode MJHD. Sebagai tambahan, tepatdi sepanjang patahan seismik Sagaing kami merelokasi gempa bumi mulai dari event tahun 1961 hingga Maret 2007, dan juga termasuk beberapa gempa historis. Kami menggunakan data yang bersumber dari International Seismological Centre (ISC) dan International Seismological Summary (ISS).

(22)

22 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Model Modified Joint Hypocenter Determination (MJHD)

MJHD merupakan metode untuk merelokasi lokasi gempa bumi, parameter gempa bumi yang akan berubah adalah lintang dan bujur gempa bumi, waktu terjadinya gempa bumi, namun perubahan yang signifikan akan terjadi pada kedalaman hiposenter gempa bumi. MJHD dikembangkan oleh Hurukawa dan Imoto tahun 1990 dan 1992 untuk area lokal dan tahun 1995 untuk area global. Metode ini merupakan pengembangan dari metode relokasi yang telah ada sebelumnya yaitu metode Joint Hypocenter Determination (JHD).

Penentuan gempa bumi dengan tujuan early warning akan menggunakan single-event location dan menggunakan model kecepatan bumi 1-D. Moteode JHD digunakan untuk memperbaiki lokasi gempa bumi (Kwang Hee Kim, 2005) dimana esensi dari metode JHD adalah memperhitungkan adanya kesalahan yang disebabkan oleh digunakannya model bumi yang terlalu sederhana (Kwang Hee Kim, 2005), yaitu dengan merelokasi suatu cluster gempa bumi secara simultan dan dengan menggunakan koreksi stasiun.

Metode JHD menggunakan metode Geiger untuk menentukan jarak hiposenter pada media yang heterogen. Sementeara metode Geiger menggunakan Gauss-Newton untuk menentukan lokasi gempa bumi atau event seismic. Metode ini sebetulnya dibuat untuk menetukan origin time dan episenter, kemudian dikembangkan untuk menentukan focal depth dan hiposenter.

Data arrival time ti sebanyak n, digunakan untuk menentukan origin time To dan

hiposenter dalam koordinat Cartesian (x,y,z) dengan fungsi :

(3.1)

ri adalah residu dari observed dan calculated travel times.

(3.2) Calculated travel time :

√ (3.3)

Parameter yang tidak diketahui adalah :

(23)

23 Persamaan least square untuk inversi linier :

(3.5) Jacobian A : | | ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ ⁄ | | (3.6) (3.7) Trial hiposenter = (3.8) Corrected hiposenter = (3.9)

Metode Geiger di atas kemudian dikembangkan menjadi persamaan untuk metode JHD, yaitu: (3.10) Dimana : (3.11) Keterangan :

M = event yang tercatat. N = jumlah stasiun pencatat.

= waktu tiba yang dicatat.

= waktu tiba berdasarkan model kecepatan 1-D. = estimasi permulaan origin time dari gempa bumi j.

= waktu penjalaran yang dihitung dari gempa bumi j dengan estimasi lokasi ke stasiun i.

= koreksi stasiun untuk stasiun i.

(24)

24

Hurukawa dan Imoto kemudian mengembangkan metode MJHD untuk melokalisasi gempa bumi lokal, dimana koreksi stasiun yang digunakan tidak bergantung pada jarak dan azimuth antara pusat daerah studi dengan stasiun yang digunakan, sehingga memperbaiki stabilitas metode ini (Hurukawa, 1995).

Gambar 3.1 Konsep relokasi hiposenter gempa bumi (Hurukawa, 2008)

Persamaan yang digunakan dalam penentuan hiposenter adalah :

( )

(3.12)

Dimana adalah waktu datang dari event jth pada stasiun ith , perhitungan waktu datang

dari event jth pada stasiun ith, adalah koreksi stasiun pada stasiun ith, Toj adalah origin

time, O adalah travel time observasi, C adalah travel time perhitungan, adalah travel time residual dari event jth pada stasiun ith, , , ,dan adalah koreksi dari

hiposenter percobaan dari event jth.

Pada MJHD ditambahkan dua prior, yaitu prior terhadap kedalaman dan prior terhadap episenter. Prior terhadap kedalaman membuat koreksi tidak bergantung pada jarak antara pusat studi dengan stasiun yang digunakan.

(3.13) Prior terhadap episenter membuat koreksi stasiun tidak bergantung pada azimuth antara pusat studi dengan stasiun yang digunakan.

(25)

25

(3.15) Dimana Si adalah koreksi di stasiun i, Di adalah jarak antara stasiun i dan pusat daerah, θi adalah azimuth stasiun i dari pusat daerah dan n adalah jumlah stasiun.

3.2 Data

3.2.1 Relokasi aftershock dan bidang patahannya

Foreshock, mainshock, dan aftershock direlokasi dalam penelitian ini dengan menggunakan waktu tiba gelombang P dari International Seismological Center (ISC) untuk menentukan bidang patahan. Kemudian, bidang patahan yang sesuai ditentukan berdasarkan distribusi aftershock yang diperoleh. Kami merelokasi tujuh gempa bumi besar dari 1988 hingga 2003 dengan Mw ≥ 6.0 dengan data diambil dari katalog Global CMT.

3.2.2 Relokasi gempa bumi historis

Kami merelokasi tujuh gempabumi historis menggunakan data dari International Seismological Summary (ISS). Gempa tersebut antara lain 19 Januari 1929 (M = 7.0), 8 Agustus 1929 (M= 7.0), 5 Mei 1930 (M=7.3), 3 December 1930 (M=7.3), 27 Januari 1931 (M=7.3), 12 September 1946 (M=7.3), dan 16 Juli 1956 (M=7.0). Sebagai tambahan, kami merelokasi gempabumi untuk mengetahui presisi seismisitas dan untuk menentukan hiposenter pada lima sub-region sepanjang patahan Sagaing menggunakan International Seismological Center (ISC) dari 1961 hingga Maret 2007.

3.3 Pengolahan Data

Dalam studi relokasi ini, dilakukan beberapa langkah dalam pengerjaannya. Langkah-langkah dimulai dari pengambilan data dari katalog gempa bumi International Seismological Center (ISC), mengubah format data dari ISC menjadi format MJHD, menentukan ulang hiposenter gempa bumi menggunakan metode MJHD, memplot hiposenter gempa bumi menggunakan metode MJHD, memplot hiposenter terkoreksi, menganalisis hasil studi yang didapat dan kemudian menarik kesimpulan dari hasil analisis yang dilakukan.

(26)

26

Langkah-langkah yang dilakukan dalam studi ini dapat dilihat dari diagram berikut :

Gambar 3.2 Diagram kerja studi relokasi gempa bumi menggunakan metode MJHD

3.3.1 Pengambilan data

Data waktu tiba gelombang P diambil dari data International Seismological Center (ISC) dari tahun 1961 hingga Maret 2007. Format data adalah dalam bentuk arrival format. Data berisi event gempabumi yang terjadi beserta parameternya dan stasiun-stasiun yang mencatat event gempabumi tersebut.

Untuk menentukan bidang patahan yang sesuai, tujuh data gempa historis diambil dari Global CMT dengan cakupan area ±1 derajat terhadap bujur dan lintang dari sumber gempa. Gempa tersebut antara lain 19 Januari 1929 (M = 7.0), 8 Agustus 1929 (M= 7.0), 5 Mei 1930 (M=7.3), 3 Desember 1930 (M=7.3), 27 Januari 1931 (M=7.3), 12 September 1946 (M=7.3), dan 16 Juli 1956 (M=7.0).

MULAI

PENGAMBILAN DATA

PLOTTONG HASIL RELOKASI PENGUBAHAN FORMAT DATA ANALISA HASIL INVERSI DENGAN MJHD PENARIKAN KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SELESAI

(27)

27 3.3.2 Pengubahan format data

Data gempabumi yang akan direlokasi merupakan data dengan format data ISC, sementara itu untuk melakukan relokasi dengan metode MJHD, format data tersebut harus diubah lebih dahulu menjadi format data MJHD.

Gambar 3.3 Algoritma proses pengubahan format data ISC ke MJHD

3.3.3 Inversi dengan MJHD

Inversi dengan MJHD dimulai dengan menentukan Minimum Number of Earthquake at Each Station (MEQ) yaitu jumlah minimum sebuah gempabumi dicatat pada sebuah stasiun, serta Minimum Number of Station at Each Earthquake (MNST) yaitu jumlah minimum stasiun yang mencatat sebuah gempabumi.

START

STOP DATA WAKTU TIBA

GELOMBANG P

DATA DENGAN FORMAT MJHD

UBAH FORMAT DATA

(28)

28

Gambar 3.4 Algoritma proses MJHD mjhd.outp mjhd.out mjhd.pm mjhdoutselect.f STOP ya mjhd07.f tidak Residu yg diinginkan START Format data MJHD

Input data untuk mjhd07.f Mjhd07.inp

Proses seleksi stasiun station.f

(29)

29 3.3.4 Plotting hasil relokasi

Hiposenter terkoreksi yang didapat dengan menggunakan metode MJHD kemudian diplot untuk mendapatkan peta sebaran hiposenter terkoreksi dilihat dari permukaan bumi dan cross section-nya.

(30)

30 BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian untuk merelokasikan beberapa gempa bumi yang terjadi di Myanmar dengan menggunakan Metode Modified Joint Hypocenter Determination, mendapatkan beberapa hasil dari penelitian tersebut, yaitu :

4.1 Relokasi Aftershock dan Bidang Patahannya

Dalam melakukan penelitian, cukup sulit untuk menentukan bidang patahan dari mainshock hanya menggunakan distribusi hiposenter dari ISC karena tidak cukup akurat. Maka dari itu, perlu menganalisis gempa bumi untuk menentukan bidang patahan menggunakan metode MJHD, dan didapatkan hasil sebagai berikut :

a. Untuk menentukan bidang patahan gempa bumi 6 Agustus 1988, peneliti merelokasi aftershock dari 6 Agustus 1988 hingga 21 Agustus 1988. Bidang patahan dari mainshock tidak dapat ditentukan jika menggunakan peta distribusi hiposenter dari International Seismological Center (ISC) pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Distribusi hiposenter dari gempa bumi 6 Agustus 1988 dan aftershock-nya oleh ISC. Ukuran dari simbol menunjukkan magnitude dari event. Warna dan bentuk dari simbol menunjukkan jarak kedalaman dari gempa.

Gambar 4.2 Hiposenter MJHD dari gempa bumi 6 Agustus 1988 dan aftershock-nya. Simbol yang menunjukan jarak kedalaman dari gempa adalah sama dengan Gambar 4.1. Garis A-B dan C-D merupakan dua nodal plane yang ditampilkan dengan garis utuh pada sayatan melintang. solusi moment tensor diambil dari katalog Global CMT.

(31)

31

Peneliti mengidentifikasi 236 stasiun di seluruh dunia dan phase data dengan residual waktu tempuh (O-C) dimana jika (O-C) ≥ 2,0 detik maka akan dianulir. Mainshock dan gempa susulan yang direlokasi untuk mengidentifikasi bidang patahan menggunakan metode MJHD pada Gambar 4.2. Distribusi hiposenter pada event ini menunjukkan bidang nodal ditampilkan di penampang C-D dapat berupa bidang patahan yang terkait dengan event ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2, karena mainshock dan gempa susulan semua terletak sepanjang bidang nodal ini. Strike dan dip dari bidang patahan adalah 148° dan 54° yang telah ditentukan oleh Global CMT sebelumnya. b. Peneliti dapat menentukan bidang patahan gempa 6 November 1988 dengan skala

kekuatan gempa 7,0 Mw yang terjadi di wilayah perbatasan Cina-Myanmar seperti ditunjukkan pada Gambar 4.3. Aftershock terbesar diikuti dengan kekuatan 6,9 Mw dalam waktu 12 menit setelah mainshock dan beberapa gempa susulan yakni sembilan gempa terjadi pada hari yang sama dengan kekuatan ≥ 4,5 Mw. Dari peta hiposenter MJHD, peneliti dapat menemukan dengan jelas bidang patahan gempa setelah relokasi dari dua bidang nodal. Bidang nodal yang ditampilkan di penampang A-B adalah bidang patahan karena gempa susulan terkonsentrasi sepanjang bidang ini. Sudut strike dan dip pada bidang patahan ini adalah 333° dan 78° sebagaimana ditentukan oleh Global CMT. Dan juga, peneliti dapat menentukan bidang patahan dari gempa 21 September 2003 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Bidang nodal, yang ditampilkan di penampang C-D mungkin saja bidang patahan gempa. Aftershock terkonsentrasi sepanjang bidang nodal ini dan semua gempa bumi yang kedalaman sekitar 20 sampai 50 km. Strike dan dip dari bidang patahan adalah 100° dan 83° yang telah ditentukan oleh Global CMT sebelumnya.

Gambar 4.3. Hiposenter MJHD dari 6 November 1988 gempa utama dan gempa susulan. Simbol sama seperti pada Gambar 4.2.

Gambar 4.4. MJHD hiposenter dari 21

September 2003 gempa dan gempa susulan. Simbol sama seperti pada Gambar 4.2.

(32)

32

Tapi sulit menentukan bidang patahan gempa tanggal 5 Januari 1991 karena kurangnya aftershock. Walau begitu, peneliti berpikir bahwa bidang nodal yang ditampilkan di penampang A-B mungkin bidang patahan gempa ini karena gempa susulan terjadi di dekat bidang nodal. Peneliti dapat menentukan hiposenter yang akurat tetapi peneliti tidak dapat menentukan bidang patahan hanya dengan menggunakan metode MJHD. Untuk gempa bumi 23 April 1992, gempa bumi 11 Juli 1995 dan gempa bumi 7 Juni 2000, peneliti tidak dapat menentukan bidang patahan karena kurangnya aftershock meskipun gempa bumi terjadi pada kedalaman yang dangkal.

4.2 Relokasi Gempa Bumi Historis

Untuk memahami seismisitas yang tepat sepanjang patahan Sagaing, peneliti merelokasi hiposenter dari gempa bumi besar yang bersejarah sejak tahun 1929 sampai tahun 1956 menggunakan data dari International Seismological Summary (ISS). Dengan mengombinasikan gempa bumi historis dan gempa bumi terkini dari tahun 1961 sampai dengan Maret 2007 menggunakan data dari International Seismological Summary (ISC), peneliti merelokasi gempa-gempa tersebut secara bersamaan untuk meningkatkan akurasi lokasi gempa bumi historis dengan metode MJHD (Hurukawa dkk., 2008).

Gambar 4.5 (a) menunjukkan lokasi lima sub-regoin dan lokasi tujuh gempa bumi historis oleh ISS data dan pada gambar bagian (b) menunjukkan hasil relokasi dengan metode MJHD. Hanya waktu tiba gelombang P yang digunakan dalam relokasi hiposenter ini karena akurasi bacaan waktu tiba gelombang S lebih buruk daripada waktu tiba gelombang P.

(33)

33

Pada Gambar 4.5 tersebut, perbandingan antara sebelum dan setelah relokasi pada lima sub-daerah. Pada gambar bagian (a) lokasi ISS dan gambar bagian (b) MJHD lokasi. Persegi dengan biru warna (A-E) menunjukkan lima sub-daerah untuk relokasi gempa di sepanjang lingkaran merah dan patahan Sagaing menunjukkan episenter dari gempa bumi historis.

Diwilayah A, peneliti merelokasi 223 gempa bumi dari tahun 1961 hingga Maret 2007 dan dua gempa bumi historis menurut catatan sejarah. Pada 19 Januari 1929 (M 7,0) dan 27 Januari 1931 (M 7,3). Peneliti memilih gempa bumi yang terjadi di antara lintang 25˚ LU–27˚ LU dan bujur 96˚ BT–99˚ BT. Phase data dengan residual waktu tempuh (O-C) dimana jika ≥ 2,0 detik maka akan dianulir. Setelah merelokasi dengan metode MJHD, peneliti dapat melihat dengan jelas bahwa gempa bumi aktif berkonsentrasi sepanjang patahan Sagaing dan kedalaman dari gempa-gempa dangkal tersebut adalah sekitar 10 – 40 km. Dua gempa bumi historis setelah direlokasi bergerak lebih mendekati patahan Sagaing dengan titik kedalaman sekitar 0-20 km ditunjukan pada Gambar 4.6, sementara beberapa gempa bumi yang terjadi pada kedalaman 40-50 km. Perbedaan lokasi untuk gempa bumi 19 Januari 1929 (M 7,0) yakni episenter berada pada lintang 0,47˚ LU, bujur 1,1˚ BT, dan kedalamannya adalah 204 km. Peneliti dapat menentukan hiposenter dari gempa bumi historis tersebut dengan akurat karena kesalahan hiposenternya tidak begitu besar.

Distribusi episenter E-W dan N-S pada garis A-B dan C-D yang ditunjukan pada Gambar 4.6 dan garis bar pada lingkaran mewakili kesalahan standar dari hiposenter.

Gambar 4.6. Relokasi hiposenter oleh metode MJHD diwilayah A. Simbol sama pada Gambar 4.1. S.F adalah patahan Sagaing.

Salah satu gempa bumi yang bersejarah (M=7,3) terjadi pada 12 September 1946 di wilayah B, gempa bumi yang lebih dalam yang terjadi diluar dari patahan Sagaing.

(34)

34

Berdasarkan hasil relokasi, lokasi dari gempa bumi historis tahun 1946 tersebut berpindah ke Utara dan kedalaman yang tetap dangkal. Peneliti merelokasi gempa bumi historis 16 Juli 1956 di wilayah C. Peneliti berpikir bahwa hiposenter akan salah lokasi karena peneliti merelokasikan gempa bumi ini menggunakan beberapa data stasiun yang stasiun– stasiun tersebut jauh dari episenter. Peneliti merelokasi gempa bumi dari tahun 1961 hingga Maret 2007 dan gempa bumi historis 8 Agustus 1929 di wilayah D.

Kumpulan gempa bumi tersebut terjadi antara patahan Sagaing dan patahan kecil lain dari peta distribusi episenter. Mengenai gempa bumi historis tersebut, peneliti berpikir bahwa hiposenter akan salah lokasi karena peneliti merelokasikan gempa bumi ini menggunakan beberapa data stasiun yang stasiun–stasiun tersebut jauh dari episenter. Di wilayah E, peneliti melokasikan 61 gempa bumi selama dari tahun 1961 hingga Maret 2007 termasuk dua gempa bumi historis yang terjadi pada 5 Mei 1930 dan 3 Desember 1930. Setelah relokasi, peneliti dapat menentukan kedalaman gempa tersebut yakni kedalaman sekitar 5-40 km.

(35)

35 BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang sudah dijbarkan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

5.1.1 Kesimpulan umum

a. Gempa bumi kuat yang dangkal biasanya akan diikuti aftershock yang lebih banyak daripada gempabumi dalam.

b. Metode MJHD sangat berguna untuk menentukan keakuratan hiposenter dari gempabumi.

c. Cakupan azimuth di dekat stasiun–stasiun dan pembacaan data sangat penting dalam rangka untuk merelokasikan hiposenter menggunakan metode MJHD.

5.1.2 Kesimpulan khusus

a. Berdasarkan sebaran hiposenter hasil dari relokasi menggunakan metode MJHD, dapat diindentifikasi bahwa bidang patahan yang terjadi pada gempa bumi 6 Agustus 1988 adalah nodal plane kedua (penampang C-D) pada mekanisme fokal yang diambil dari Global CMT dengan strike 148˚ dan dip 54 ˚, gempa bumi 6 November 1988 adalah nodal plane pertama (penampang A-B) pada mekanisme fokal yang diambil dari Global CMT dengan strike 333˚ dan dip 78 ˚, gempa bumi 21 September 2003 adalah nodal plane kedua (penampang C-D) pada mekanisme fokal yang diambil dari Global CMT dengan strike 100˚ dan dip 83 ˚, dan gempa bumi 5 Januari adalah nodal plane pertama (penampang A-B).

b. Diwilayah A, dua gempa bumi historis 19 Januari 1929 (M 7,0) dan 27 Januari 1931 (M 7,3) setelah merelokasi dengan metode MJHD, peneliti dapat melihat dengan jelas bahwa gempa bumi historis tersebut bergerak lebih mendekati patahan Sagaing dengan titik kedalaman sekitar 0-20 km. Gempa bumi 12 September 1946 di wilayah B setelah direlokasi berpindah ke Utara dan kedalaman tetap dangkal. Gempa bumi historis 16 Juli 1956 setelah direlokasi di wilayah C berlokasi hampir sama dengan sebelum relokasi. Gempa bumi 8 Agustus 1929 di wilayah D bergerak ke arah Barat Laut setelah direlokasi menjauh dari patahan Sagaing. Peneliti dapat menentukan kedalaman gempa

(36)

36

tersebut yakni kedalaman sekitar 5-40 km setelah gempa bumi historis di wilayah E tanggal 5 Mei 1930 dan 3 Desember 1930 direlokasi.

c. Pada penelitian ini, penentuan hiposenter gempabumi menggunakan Metode MJHD lebih akurat dan dapat dipercaya dari hiposenter-hiposenter dari katalog International Seismological Center (ISC).

5.2 Saran

Saran yang penulis ingin sampaikan untuk penghitungan relokasi gempa bumi menggunakan MJHD yang akan datang yaitu penggunaan model kecepatan lokal sehingga hasil yang didapatkan diharapkan akan lebih akurat.

(37)

37

DAFTAR PUSTAKA

Hurukawa, N. dan Imoto, M., 1990, J. Seism. Soc. Japan, Ser. 2, 43, 413-429.

Hurukawa, N. dan Imoto, M., 1992, Geophys. J. Int., 109, 639-652.

Hurukawa, N., 1995, Geophy. Res. Letters, Vol. 22, No. 23, pp 3159-3162.

Hurukawa, N. M. Popa, dan M. Radulian, 2008, Earth Planets Space, 60, 565-572.

Putri, Yanuarsih Tunggal. Relokasi Gempa Bumi Utama dan Gempa Bumi Susulan Menggunakan Metode MJHD (Studi Kasus Gempa Bumi Mentawai 25 Oktober 2010). 2012. Skripsi Universitas Indonesia.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur dalam bumi (USGS, 1999)
Gambar 2.3 Pertemuan lempeng divergen  (Skinner dan Porter, 1995)
Gambar 2.4 Batas konvergen subduksi dengan penunjaman  lempeng samudera (Skinner dan Porter, 1995)
Gambar 2.6 Diagram bidang sesar (USGS, 2012A)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut perlu, karena selain berkaitan dengan perannya bagi masyarakat, keberadaan pondok pesantren memiliki potensi untuk menjadi lembaga

Tepung terigu sangat berperan untuk menghasilkan produk biskuit, karena tepung terigu memiliki keunggulan yang khas karena mengandung protein gluten, serta komposisi gizi yang

Adanya Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013–2018 dan

Per tanggal 7 April 2015 untuk proses pemulangan pasien jaminan pada hari Sabtu hanya sampai pukul 12.00 WITA (Pukul dua belas siang) Dokter yang tidak kerjasama dengan Allianz

Pelayanan Informasi Obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek merupakan kegiatan yang

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukannya perbaikan oleh pihak Bali Tangi Spa terhadap atribut-atribut kualitas produk yang berada pada kuadran A diagram kartesius

Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871- 1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka unsur yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara