• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Angkasa Pura II berkewajiban melakukan Program Kemitraan dan Bina. Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Badan Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Angkasa Pura II berkewajiban melakukan Program Kemitraan dan Bina. Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Badan Usaha"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul

1. Aktualitas

Bandara Soekarno-Hatta sebagai bagian dari pengelolaan PT. Angkasa Pura II berkewajiban melakukan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2007 yang mengatur tentang pelaksanaan PKBL. Regulasi tersebut menjadi acuan untuk melaksanakan segala kegiatan program yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar perusahaan yang mendapatkan dampak dari kegiatan perusahaan.

Melalui PKBL, perusahaan menyalurkan sebagian keuntungan perusahaan untuk ikut berperan serta dalam upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Harapannya agar perusahaan mampu secara nyata memberikan bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di luar perusahaan.

Salah satu program yang muncul dari Unit PKBL PT. AP II KCU Bandara Soekarno-Hatta adalah Program Monumental Bina Lingkungan atau PKBL Monumental. Program tersebut berjalan sejak 2012, dimana salah satu bentuknya adalah pemberian kendaraan ambulans kepada beberapa puskesmas di kecamatan sekitar Bandara Soekarno-Hatta.

(2)

2

Program tersebut berupaya mewujudkan keterlibatan perusahaan untuk ikut serta meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Sejauh ini sudah ada 5 ambulans yang diberikan kepada setiap puskesmas di kecamatan sekitar Bandara Soekarno-Hatta. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Neglasari, Kecamatan Teluknaga, Kecamatan Benda, Kecamatan Batuceper, dan Kecamatan Kosambi. Pemberian ambulans tersebut dilakukan melalui dua tahap. Tahap I pemberian ambulans untuk Kecamatan Neglasari dan Kecamatan Teluknaga, kemudian Tahap II untuk Kecamatan Benda, Kecamatan Batuceper, dan Kecamatan Kosambi.

Kendaraan tersebut dimanfaatkan setiap puskesmas sebagai Puskesmas Keliling, karena memang sudah didukung dengan peralatan kesehatan yang sesuai dengan standar puskesmas keliling. Namun, juga dapat digunakan sesuai fungsi ambulans seperti umumnya, seperti menjemput dan mengantar pasien darurat.

Setiap kecamatan di sekitar Bandara Soekarno-Hatta memiliki lingkup pelayanan yang berbeda kondisi, karena memang secara adminitratif kondisi masyarakat terdapat pada dua wilayah administrasi yang berbeda. Kecamatan Teluknaga, dan Kecamatan Kosambi berada di wilayah Kabupaten Tangerang. Sedangkan, Kecamatan Neglasari, Kecamatan Benda, dan Kecamatan Batuceper berada di wilayah Kota Tangerang. Setiap wilayah administrasi tentu punya karakteristrik sosial,

(3)

3

ekonomi, budaya, dan pendidikan masyarakat yang berbeda, sehingga perbedaan kondisi dan kebutuhan pun muncul disetiap kecamatan.

Perbedaan lokasi tersebut menjadi awal pemikiran peneliti. Pengambilan keputusan kegiatan PKBL Monumetal yang menghasilkan kegiatan pemberian fasilitas sarana ambulans sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan dari puskesmas perlu diketahui lebih jauh berdasarkan metode yang digunakan oleh Unit SME-CD (Small

Medium Enterprise – Community Development) sebagai pengelola PKBL

di Bandara Soekarno-Hatta. 2. Orisinilitas

Ada beberapa penelitian terkait pengambilan keputusan PKBL, beberapa yang penulis temukan sebagai berikut:

1) Skripsi yang ditulis oleh Sri Arma Sepriani, mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011. Skripsi tersebut berjudul “ PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN TERHADAP PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA SERTA EFEKTIVITAS IMPLEMENTASINYA (Studi Kasus PT. Pertamina (Persero) di Komunitas Seberang Ulu II, Sumatera Selatan). Fokus penelitian tersebut terkait dengan efektivitas implementasi PKBL sebagai tanggungjawab sosial, sedangkan penelitian ini terfokus pada metode yang digunakan dalam pengambilan keputusan kegiatan PKBL.

(4)

4

2) Skripsi yang ditulis oleh SANTI PUSPITA SARI, mahasiswi Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Malang pada tahun 2009. Skripsi tersebut berjudul “AKTIVITAS CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT (PERSERO) ANGKASA PURA I JUANDA SURABAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI KONSEP PUBLIC RELATIONS (PR)”. Penelitian tersebut fokus pada kegiatan-kegiatan PKBL yang dilakukan BUMN yang bergerak dibidang kebandarudaraan. Penelitian tersebut jelas berbeda dengan penelitian ini, walaupun membahas mengenai PKBL BUMN namun pada perusahaan yang berbeda dan fokus penelitian ini adalah proses pengambilan keputusan PKBL dalam merencanakan kegiatan pemberian ambulans.

3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) mencakup tiga konsentrasi yaitu: social policy, community empowerment, dan corporate sosial responsibility (CSR). Penelitian ini berkaitan dengan pengambilan keputusan PKBL, dimana PKBL merupakan bentuk tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) Badan Usaha Milik Negara. Oleh karena berkaitan dengan konsentrasi corporate social responsibility, maka penelitian ini relevan dengan Jurusan Pembangunan

(5)

5 B. Latar Belakang

Welfare State atau Negara Kesejahteraan merupakan konsep kesejahteraan

dimana pemerintah atau negara berperan sangat penting dalam kesejahteraan rakyatnya. Negara mencurahkan banyak anggaran untuk dapat melayani segala kebutuhan rakyatnya. Dimana ada kesulitan yang dirasakan oleh rakyat, maka negara harus menjalakan perannya sebagai pihak yang memberikan bantuan.

Menurut Dr. Goran Adamson, Peran dan tangung jawab negara menjadi begitu besar terhadap warga negaranya karena negara akan bersikap dan memposisikan dirinya sebagai “teman” bagi warga negaranya.1 Negara menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling dekat dengan rakyat, sehingga sebagai “teman” negara semaksimal mungkin berusaha untuk membantu rakyatnya yang mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan.

Konsep tersebut menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat. Sehingga, pendistribusian kesejahteraan dimonopoli oleh pemerintah. Negara yang mengadopsi Welfare

State merupakan negara-negara maju, sedangkan negara-negara berkembang

seperti Indonesia masih belum bisa secara utuh menerapkan konsep tersebut. Keinginan Indonesia untuk menerapkan konsep tersebut terlihat sejak awal kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal itu ditunjukkan dengan adanya dasar negara Pancasila, pada Sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dapat dipahami bahwa membangun kesejahteraan umum merupakan inti dari keadilan, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila menganut

1 Analisis Dr. Goran Adamson tentang Negara kesejahteraan di Skandinavia. Beliau merupakan dosen di Lund University, Sweden (http://www.map.ugm.ac.id/index.php/analisis, diakses 22 Maret 2013)

(6)

6

konsep Welfare State. Namun dalam perjalanan waktu, sampai dengan saat ini konsep tersebut belum dapat tercapai.

Kegagalan Welfare State untuk diterapkan pada negara berkembang seperti Indonesia disebabkan banyak faktor. Salah satunya karena anggaran pengeluaran negara yang besar untuk membiayai seluruh kebutuhan rakyatnya, sehingga negara memberlakukan pajak yang tinggi serta biaya pelayanan sosial yang mahal. Dengan begitu tidak semua masyarakat dapat menyentuh pelayanan sosial yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu, negara berkembang juga mengalami kesulitan dalam memprediksi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakatnya yang pasti, karena stabilitas harga yang naik turun, pendapatan yang bervariasi, dan jaminan sosial yang tetap. Hal tersebut terjadi hampir diseluruh negara berkembang yang gagal menerapkan Welfare State. Kemudian muncul kesadaran untuk lebih terbuka terhadap pihak di luar pemerintah. Gagasan tersebut membawa pemerintah untuk mengajak pihak swasta untuk bersama-sama berperan langsung dalam rangka mensejahterakan rakyatnya, kemudian muncul konsep Welfare Pluralism (Pluralisme Kesejahteraan). Dimana distribusi kesejahteraan tidak hanya dikelola oleh pemerintah, namun dibentuk sinergi antara negara, masyarakat, pasar, dan keluarga sehingga terbentuk relasi pembangunan. Konsep tersebut membawa sektor swasta untuk masuk ke dalam pendistribusian kesejahteraan melalui kesejahteraan pegawai dan masyarakat di sekitar perusahaan. Sehingga diharapkan beban anggaran pemerintah dapat terbagi, dan pendistribusian kesejahteraan jadi lebih merata.

(7)

7

Dalam hal ini sektor swasta atau perusahaan turut berpartisapsi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut didorong karena munculnya konsep Triple Bottom Line dalam perkebangan dunia bisnis. Konsep tersebut menjadikan perusahaan memperhatikan tiga hal dalam tujuannya, yaitu Profit,

Planet, dan People (3P). Triple Bottom Line diciptakan oleh John Elkington tahun

1994, dipublikasikan secara luas tahun 1997 melalui buku “Cannibals with Forks - the Triple Bottom Line of 21st Century Business”. Dia menambahkan aspek sosial dan lingkungan sebagai ‘bottom line’ atau tujuan perusahaan, selain aspek ekonomi yang sejak awal dinyatakan sebagai tujuan perusahaan. Inspirasi ini muncul dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan.

Deborah D. Anderson mengungkapkan, “The Triple Bottom Line is becoming

an imperative. Environmental and social responsibility should beat at the heart of every business leader”.2 Perusahaan tidak lagi hanya melihat pada sisi ekonomi atau mencari keuntungan saja, namun telah memperhatikan hal lain diluar tujuan memperoleh keuntungan yaitu lingkungan dan masyarakat. Para pengusaha telah menyadari bahwa perusahaan selama beroperasi telah menimbulkan banyak dampak pada lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Didasari pada kesadaran tersebut muncul konsep yang lebih kompleks terhadap tanggungjawab perusahaan yang dikenal dengan sebutan Corporate Social

Responsibility (CSR).

Pada awalnya CSR merupakan upaya perusahaan-yang menyadari pentingnya pembangunan berkelanjutan-untuk turut berperan serta

2 Elkington, John. 1997. Cannibals with Forks: the Triple Bottom Line of 21st Century Business. London, UK: Capstone Publishing Limited

(8)

8

didalam pembangunan tersebut bersama stakeholder lainnya, misalnya pemerintah, LSM, atau kelompok masyarakat. Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987, Our Common Future).

Benjamin W. Heineman (2005), dalam diskusi di forum The Wall Street menjelaskan tiga elemen CSR, “1. Strong, sustained economic performance 2.

Rigorous compliance with financial and legal rules 3. Ethical and other citizenship actions, beyond formal requirements, which advance a corporation’s reputation and longterm health”.3 Tiga elemen tersebut menjelaskan bahwa CSR penting untuk dilaksanakan oleh setiap perusahaan karena berdampak pada keberlanjutan ekonomi perusahaan, kebaikan untuk pemerintah, dan meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat.

“…If sustainable development is to achieve its potential, it must be integrated into the planning and measurement systems of business enterprises.” (Robert Steele, AtKisson Group International).

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa CSR merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan, sehingga perlu menerapkan CSR yang lebih jauh di dalam bisnis. Penerapan tersebut harus terintegrasi di dalam perencanaan dari bisnis perusahaan. Menurut AtKisson (2007), diperlukan adanya kerangka keberlajutan dalam bisnis. Kerangka tersebut sebagai model yang

3 Olowski, Lew Jan. Corporate Social Responsibility: Its History, Ethical Justification, And Abuses in the Business Word. Missouri: Rockhurst University

(9)

9

menuntun cara berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan berkelanjutan. Salah satu kerangka tersebut adalah kerangka ISO 26000:2010 yang menjelaskan 7 Prinsip CSR.

Namun, setelah adanya kesepakatan konsep CSR berdasarkan kerangka ISO 26000:2010 tersebut, dibeberapa negara masih terdapat banyak dinamika yang bermasalah. Negara-negara berkembang tidak dapat begitu saja menerapkan konsep CSR sama seperti di negara maju, pada kenyataannya terdapat perbedaan pada penekanan implementasi CSR. Pada Negara berkembang cenderung masih mengimplementasikan pada sisi karitas (charity), sedikit mulai memasuki perdebatan Community Development (CD) dan kepedulian lingkungan. Sedangkan pada Negara maju, CSR berkembang nyaris sempurna, namun kehilangan sisi

Community Development karena hal tersebut tidak diperlukan pada negara maju.

Hal ini menyebabkan CSR belum dapat optimal menjalankan perannya dalam

Welfare Pluralism.

Di Indonesia sendiri, CSR telah muncul sekitar tahun 1970-an. Perusahaan

Multinational Corporation (MNC) yang melakukan bisnis di bidang ekstraktif

memiliki implikasi yang sangat dalam terhadap kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial. Sehingga muncul kegiatan perusahaan yang bersifat voluntary untuk bertanggungjawab atas dampak tersebut. Kesadaran perusahaan tersebut muncul seiring dengan perdebatan CSR di dunia. Saat itu belum muncul istilah CSR, perusahaan menamai kegiatan tersebut dengan Corporate Social Activity (CSA). Secara perlahan kesadaran tersebut terus berkembang dan diterapkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia.

(10)

10

Dalam perkembangan CSR di Indonesia terjadi pergeseran sifat CSR voluntary menjadi mandatory. Dimana kegiatan CSR menjadi sebuah kegiatan yang diatur oleh pemerintah dan wajib dilaksanan oleh perusahaan, serta diberlakukan sanksi. Perubahan sifat tersebut ditandai dengan munculnya berbagai regulasi mengenai CSR. Regulasi yang mengesensikan CSR dimulai dari sejarah perkembangan PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, perusahaan dituntut membiayai beban biaya pembinaan usaha kecil. Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN yang diterbitkan tanggal 11 November 1989, perusahaan wajib menyisihkan dana 1-5% dari keuntungan perusahaan setelah pajak. Program tersebut dinamai Program Pegelkop.

Kemudian seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian dan kebutuhan masyarakat pada tahun 1994, diterbitkan Keputusan Mentetri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Nama program tersebut berubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK). Kemudian program tersebut terus berkembang dan diikuti oleh regulasi yang mengaturnya. Pada tahun 1999, terbit Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan

(11)

11

Bina Lingkungan BUMN, kemudian diganti dengan Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

Namun, regulasi-regulasi tersebut hanya mengatur perusahaan yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perkembangan CSR di luar perusahaan BUMN masih berjalan dengan kesadaraan perusahaan, sehingga masih bersifat

voluntary. Dimana berdasarkan penjelasan sebelumnya, perdebatan internasional

telah memunculkan pemahaman bahwa CSR merupakan hal yang penting dalam bisnis perusahaan. Namun, kesadaran yang muncul tersebut belum dapat dilaksanakan oleh seluruh perusahaan. Untuk mendorong seluruh perusahaan melaksanakan CSR dan menyelaraskannya dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara, maka kemudian negara mengaturnya melalui UU No. 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada Pasal 40:5 mengatakan, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat”. Sasaran UU ini masih terlalu sempit pada Badan Usaha Minyak dan Gas.

Untuk memunculkan peran asing dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia, pemerintah mengesahkan UU No. 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU tersebut untuk mengatur perusahaan-perusahaan yang

(12)

12

menggunakan modal asing, seperti Freeport Indonesia, Astra Indonesia, Dunkin’ Donut, Coca-Cola, dan lain-lain untuk turut serta berpartisipasi melalui tanggung jawab lingkungan dan sosial di sekitar perusahaan. Selanjutnya UU PT No. 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas (PT). Bab V Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Sasarannya pada perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA). UU ini hampir berlaku bagi semua perusahaan, karena hampir semua perusahaan berkaitan dengan pemanfaatan SDA yang besar. UU PT tersebut kemudian dilanjutkan dengan PP No. 47 Tahun 2012. Sejak berlakunya regulasi-regulasi tersebut, CSR di Indonesia bersifat mandatory.

Melihat perkembangan regulasi yang telah lama diberlakukan untuk perusahaan BUMN, maka peneliti menjadikan perusahaan BUMN sebagai fokus penelitian. Untuk itu peneliti mengacu pada Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2007 yang menjelaskan bagaimana perusahaan yang berbentuk Perum dan Persero wajib memberikan sebagian keuntungan perusahaan untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan. Kewajiban CSR dikonsepkan dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dimana sesuai Ayat (1) Pasal 2 pada Bab II Peraturan Menteri tersebut menyatakan “Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini”.4 diperjelas dengan Ayat (2) “Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada

4 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.05/MBU/2007 (tersedia pada situs http://www.bumn.go.id/wp-content/uploads/2013/01/PermenPKBL.pdf, diakses 8 Januari 2013)

(13)

13

Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)”.5 Sehingga Persero Terbuka atau PT memutuskan kewajiban PKBL melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), namun tetap berpedoman pada Peraturan Menteri tersebut. Salah satu perusahaan berbentuk PT yang menjadi bagian dari BUMN adalah PT. Angkasa Pura II.

PT. Angkasa Pura II (PT. AP II) merupakan perusahaan BUMN yang mengelola jasa kebandarudaraan dan pelayanan lalu lintas udara yang telah melakukan aktivitas pelayanan jasa penerbangan dan jasa penunjang bandara di kawasan Barat Indonesia sejak tahun 1984. Sesuai Peraturan Menteri Negara BUMN No.5/MBU/2007 Penerapan Corporate Social Responsibility dalam perusahaan tersebut diterapkan dalam konsep PKBL dan ditetapkan melalui RUPS. Dimana RUPS tersebut menghasilkan sebuah Keputusan Direksi PT. Angkasa Pura II Nomor: KEP.01.02.08/12/2008 tentang sistem dan prosedur PKBL (SOP PKBL). Pada tahun 2001 telah terbentuk Organisasi PKBL didalam lingkup Bidang keuangan. Untuk mengoptimalkan kinerja organisasi tersebut diputuskan Keputusan Direksi Nomor: KEP.01.01/09/2009 tentang Tata Kerja kantor Cabang Utama Bandara Soekarno-Hatta. Sebagai bentuk komitmen perusahaan, Angkasa Pura II merubahan struktur manajemen perusahaan, salah satu perubahan yang terlihat adalah terbentuknya Unit baru yang khusus menangani masalah PKBL pada 17 September 2009. Unit baru tersebut disesuaikan namanya dengan fungsinya, yaitu Small and Medium Enterpirse –

Community Development (SME-CD). Dimana dalam bagan struktur perusahaan

(14)

14

posisi unit tersebut diawasi oleh bagian EVP Finance (Direktur Keuangan), dan dipimpin oleh seorang Chief of SME-CD (Manajer).

PT. Angkasa Pura II menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dalam tata kelola perusahaannya. Dimana perusahaan dituntut memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan fungsi-fungsi setiap bagian di perusahaan, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penerapan GCG memaksa manajemen perusahaan untuk terus meningkatkan performa bisnisnya demi tercapainya segala tuntutan dari para pemegang saham dalam RUPS. Hal ini menunjukkan setiap bagian perusahaan bergantung pada sebuah standar kerja yang jelas dan telah disepakati di internal perusahaan tanpa melihat ada nilai lain di luar perusahaan yang pada akhirnya memberikan pengaruh pada keberhasilan perusahaan.

Tata kelola GCG tersebut juga berlaku pada Unit SME-CD, sehingga fungsinya hanya sebagai penyalur uang perusahaan tanpa melihat lebih dalam pada sisi keberlanjutan dana PKBL yang disalurkan. Perusahaan melihat fungsi SME-CD berjalan dengan baik dan sukses apabila seluruh anggaran yang direncanakan untuk PKBL dapat tersalurkan untuk masyarakat. padahal dalam prinsip CSR berdasarkan ISO 26000:2010 seharusnya ada keterlibatan seluruh stakeholder dalam perencanaan kegiatan CSR, sehingga dapat menyatukan visi, misi, serta tujuan dari kegiatan tersebut sesuai dengan kebutuhan masing-masing stakeholder. Hal ini disayangkan, karena nyatanya Angkasa Pura II memiliki dana yang cukup besar untuk disalurkan melalui PKBL.

(15)

15

Potensi dana PKBL Angkasa Pura II Bandara Soekarno-Hatta dapat dibilang masih sangat kecil bila dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak di bidang ekstraktif. Dimana pada tahun 2012 terealisasi dana sebesar Rp. 2.444.500.000,- (dua milyar empat ratus empat puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) untuk Program Kemitraan.6 Sedangkan untuk program Bina Lingkungan pada tahun 2012 telah menyalurkan dana Bina Lingkungan sebesar Rp. 2.532.166.474,- (dua milyar lima ratus tiga puluh dua juta seratus enam puluh enam ribu empat ratus tujuh puluh empat rupiah).7

Penyaluran dana terbesarnya adalah pada peningkatan sarana kesehatan yang merupakan kegiatan PKBL Monumental, yaitu pemberian tiga unit mobil ambulans sebesar Rp. 581.091.600,- (lima ratus delapan puluh satu juta sembilan puluh ribu enam ratus rupiah) kepada Puskesmas di Kecamatan Benda, Kecamatan Batu Ceper, dan Kecamatan Kosambi (masing-masing satu ambulans seharga Rp. 193.697.200,-). Sebelumnya hal ini pernah dilakukan untuk Kecamatan Neglasari dan Kecamatan Teluknaga pada tahun yang sama. Jadi ada lima kecamatan di sekitar bandara yang telah menerima program monumental tersebut. Program monumental tersebut menyalurkan dana hampir 23% dari total keseluruhan dana BL yang disalurkan.

Bila dilihat melalui Logframe Approach, Bantuan ambulans tersebut untuk mengupayakan peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas, yang harapannya menjadikan puskesmas dapat menyentuh setiap masyarakat di lokasi yg jauh dari puskesmas. Sehingga akhirnya dapat meningkatkan angka kesehatan masyarakat

6 Laporan PKBL Tahun 2012 PT. AP II, hal. 6 7 Laporan PKBL Tahun 2012 PT. AP II, hal. 11

(16)

16

di lingkungan sekitar perusahaan. Logika tersebut seharusnya dipahami bersama oleh setiap stakeholder dalam tahap perencanaan program sebelum pengambilan keputusan oleh manajer SME-CD. Namun, Program Monumental yang berupa bantuan ambulans kepada setiap puskesmas di kecamatan sekitar Bandara Soekarno-Hatta ini merupakan program yang diusulkan perusahaan atau inisiatif pemberian bantuan dari perusahaan. Pemberian bantuan ini merupakan bagian dari bentuk pencitraan perusahaan.8 Bantuan tersebut tidak didasari pada pengambilan keputusan bersama antar stakeholder. Sedangkan pengambilan keputusan tersebut seharusnya terintegrasi dengan setiap stakeholder terkait. Sehingga setiap stakeholder turut berpartisipasi dalam mencapai tujuan bersama, serta merasakan hasil yang sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini peneliti berupaya mengungkap proses pengambilan keputusan tersebut melalui pendekatan fungsional struktural sehingga dapat melihat bagaimana model yang digunakan dalam menentukan suatu keputusan. Peneliti juga mencoba mencari adanya

Cross-Cutting Affiliations dalam pengambilan keputusan kegiatan PKBL

Monumental tersebut. Sehingga terdapat gambaran bagaimana pengambilan keputusan perusahaan dalam menyalurkan dana PKBL Monumental penyaluran ambulan.

C. Rumusan Masalah

Pengambilan keputusan menentukan kegiatan PKBL Monumental yang akan dilaksanakan. Keputusan yang tepat akan menghasilkan kegiatan yang tepat sasaran. Dimana kegiatan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat,

(17)

17

guna dapat meningkatkan pembangunan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu dalam penelitian ini rumusan masalah yang muncul berkaitan dengan pengambilan keputusan sebagai berikut :

• Bagaimana metode yang digunakan oleh SME-CD dalam proses pengambilan keputusan kegiatan penyaluran ambulan PKBL Monumental?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses pengambilan keputusan kegiatan PKBL Monumental PT. Angkasa Pura II Kantor Cabang Utama Bandara Soekarno-Hatta berupa penyaluran ambulan yang diberikan untuk puskesmas di Kecamatan Neglasari.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan kegiatan penyaluran ambulan PKBL Monumental di SME-CD Kantor Cabang Utama Bandara Soekarno-Hatta, terkait prinsip-prinsip tanggungjawab sosial ISO 26000 dan peran serta masyarakat dalam perencanaan penyaluran dana PKBL Monumental. Diharapkan dapat menjadi kajian untuk menghasilkan kegiatan penyaluran dana PKBL Monumental yang sesuai dengan kebutuhan untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pelayanan puskesmas. Sehingga kedepannya terbentuk program-program yang dapat berpengaruh besar terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama bidang kesehatan masyarakat di sekitar perusahaan BUMN.

(18)

18 E. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility merupakan sebuah konsep mengenai

tanggung jawab sosial perusahaan. Definisi CSR sampai sekarang masih terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya institusi atau para ahli di berbagai bidang yang mencoba memaknai konsep tersebut. Howard R. Bowen dalam bukunya: “Social Responsibility of The Businessman” dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern yang telah mengawali adanya definisi CSR. Dalam buku itu Bowen mendefinisikan CSR sebagai:

“… obligation of businessman to pursue those policies, to make those

decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” (Bowen, 1953:6)

Bowen berpendapat, bahwa CSR merupakan kewajiban perusahaan yang harus membuat keputusan atau bertindak sesuai dengan tujuan yang objektif dan sesuai dengan nila dari masyarakat. Perkembangan definisi CSR masih terus berlanjut, berikut beberapa pendefinisian CSR berdasarkan berbagai bidang yang terkait dengan isu pembangunan:

CSR menurut World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) merupakan suatu komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi pada komonitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup karyawan beserta seluruh keluarganya.

(19)

19

"Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by

business to contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the community and society at large (The WBCSD definition of CSR)”.9

Menurut Sukada et al (2007) mendefinisikan CSR sebagai segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif di setiap pilar.

Bank Dunia mendefinisikan: “CSR is the commitmen of business to contribute

to sustainable economic development working with employeer and their representatives, the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are booth good for business and good rof development”.10

Pernyataan tersebut menjelaskan CSR sebagai bentuk komitmen perusahaan untuk turut berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dimana baik pekerja dan pemberi kerja, serta masyarakat lokal maupun keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup. Sehingga perusahaan harus pada posisi yang baik untuk bisnis dan baik untuk pembangunan.

The Organization For Economic Cooperation And Development (OECD) mendefinisikan CSR sebagai “Business’s contribution to sustainable development

and that corporate behavior must not only ensure returns to shareholder, wages to employees, and products and services to consumers, but they must respond to

9 http://www.wbcsd.org/work-program/business-role/previous-work/corporate-social-responsibility.aspx (diakses 6 April 2013)

(20)

20

social and environmental and value” (Kartini, 2009). OCED mendefinisikan CSR

sebagai kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan. Dimana keuntungan tidak hanya dibagikan kepada pemegang saham atau shareholder, pekerja, dan pelayanan untuk konsumen, namun juga diberikan untuk bertanggungjawab kepada kondisi sosial, lingkungan, serta nilai.

Tabel I. 1 Definisi CSR

Menurut Definisi Key

Howard R. Bowen “… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society”, (Bowen, 1953:6)

• Kewajiban perusahaan.

• Membuat keputusan sesuai tujuan dan nilai masyarakat.

World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) "Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the community and society at large." (The WBCSD definition of CSR) • Komitmen berkelanjutan. • Kontribusi pembangunan ekonomi. • Meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja, komunitas, dan masyarakat.

Sukada et al (2007) CSR sebagai segala upaya manajemen yang

dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak • Untuk pembangunan berkelanjutan. • Keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

• Minimalisasi dampak negative,

maksimalisasi dampak positif.

(21)

21 positif di setiap pilar. Bank Dunia (World

Bank)

“CSR is the commitmen of

business to contribute to sustainable economic development working with employeer and their representatives, the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are booth good for business and good rof

development”

• Komitmen kontribusi pada pembangunan ekonomi

berkelanjutan.

• Bekerja sama dengan pekerja dan

masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup.

• Dengan cara yang baik untuk bisnis dan pembangunan. The Organization For

Economic Cooperation And Development (OCED)

“Business’s contribution

to sustainable

development and that corporate behavior must not only ensure returns to shareholder, wages to employees, and products and services to

consumers, but they must respond to social and environmental and value”

(Kartini:2009)

• Bisnis berkontribusi untuk menanggapi keadaan sosial, lingkungan, dan nilai.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa CSR merupakan bentuk nyata kontribusi perusahaan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. dimana perusahaan tidak hanya bertanggungjawab dalam konteks bisnis, melainkan perusahaan juga turut berpartisipasi terhadap kondisi lingkungan dan sosial yang terkena dampak dari kegiatan perusahaan. CSR tidak sekedar bentuk kepatuhan terhadap hukum, namun sebuah bentuk kesadaran dalam manajemen perusahaan. Sehingga dalam setiap keputusan yang dibuat, dapat memperhatikan kepentingan dari stakeholder lain yang mempengaruhi hasil akhir kegiatan perusahaan.

(22)

22 a. Strategi dan CSR

Strategi dapat didefinisikan sebagai rencana jangka panjang dari tindakan yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu (Chandler 2003, Johnson et al 2006; Spulber 2004). Strategi juga harus memenuhi prasyarat untuk meningkatkan perusahaan dan memenuhi harapan dari para pemangku kepentingan. Keunggulan kompetitif dan strategi tentang akting yang berbeda dari para pesaingnya, meskipun mengenai CSR tema utama adalah untuk mencapai legitimasi dari para stakeholder serta masyarakat sekitarnya (Grafström et al 2008). Strategis CSR umumnya melibatkan pendekatan proaktif untuk melindungi kegiatan perusahaan dari kegiatan yang dikecam oleh masyarakat sekitarnya serta oleh pemangku kepentingan (Brammer & Pavelin 2006, Grafström et al 2008).

Porter (1996) menggambarkan strategi sebagai usaha menemukan kebenaran "fit” (cocok) atau kebenaran yang cocok antara tujuan perusahaan yang berbeda, kegiatan, dan operasi. Aspek lain perusahaan harus mengakui bahwa strategi dan CSR sebagai hal yang penting dalam "trade-off". Trade-off adalah ketika sebuah perusahaan memilih jalur tertentu untuk operasi mereka dan dengan melakukan hal ini perusahaan harus mengabaikan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, perusahaan melakukan kegiatan di luar kegiatan bisnisnya. Salah satu contohnya adalah Strategi lingkaran.

Strategi lingkaran merupakan sebuah siklus strategi yang terdiri dari tiga tahapan. Setiap tahapan memiliki fungsi masing-masing, namun saling tergantung. Sehingga, terdapat garis panah dua arah yang melambangkan setiap tahap saling berhubungan dan mempengaruhi. Menurut Grant (2005) dan Spulber

(23)

23

(2004): “This must be taken in consideration by a company in order to be able to

carry out a successful strategy”. Perusahaan harus mempertimbangkan ketiga

tahapan tersebut untuk menghasilkan strategi yang sukses.

(Sumber: penulis sendiri, 2013)

Strategic Analysis (Strategi analisis) adalah tahap yang penting, karena

perusahaan harus mampu menjawab pertanyaan: apa yang ingin perusahaan capai, apa kebutuhannya, siapa pesaing mereka dan apa tanggung jawab sosial mereka? Dalam tahap ini, perusahaan harus memperhatikan faktor internal dan eksternal. Faktor internal dianalisis mengenai kekuatan (Strenght) dan kelemahan (weaknesses) perusahaan, sehingga perusahaan mengetahuin kondisi internal perusahaan dengan baik. Faktor eksternal harus diperhatikan untuk mengetahui kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats). Perusahaan dapat menggunakan banyak cara untuk menganalisis strategi, salah satunya dengan analisis SWOT. Menurut Grant (2005) dan Spulber (2004): “The strategic

analysis can be seen as a part of manager’s decision-making process and its

(24)

24

function can be seen as a guideline for a company’s future”. Analisis strategi

dapat dilihat sebagai bagian dari pengambilan keputusan manajer, dan berfungsi sebagai pedoman untuk masa depan perusahaan.

Strategic Choice (Strategi pilihan) adalah tahap sebuah perusahaan melihat

dimana perusahaan tersebut. Perusahaan akan melihat dampak yang akan diakibatkan dari sebuah pilihan keputusan perusahaan. Menurut Gold (2001): “strategic choice is about who makes decisions in a company and what different

kind of factors that has an impact when decisions are to be made”. Pilihan atau

keputusan yang dibuat oleh manajer akan berakibat pada pihak lain di luar perusahaan. Untuk itu, perusahaan harus memperhatikan pembuat keputusan agar dapat memilih tindakan yang berdampak positif untuk setiap pihak. Perusahaan harus mampu memetakan prioritas utama. Prioritas tersebut dapat diketahui dengan mencari data atau informasi yang diperlukan sebelum membuat beberapa peraturan, termasuk mengenai dalam membuat keputusan CSR dan menetapkan kebijakan CSR sebaik perusahaan merencanakan keuangan.

Strategy Implementation (Strategi penerapan) adalah tahap dimana perusahaan

menjelaskan strategi yang dianalisis dan dipilih untuk diterapkan dalam manajemen perusahaan. Namun, apabila semua level dalam perusahaan tidak berkomitmen untuk melaksanakannya, maka sebesar apapun sebuah rencana strategis yang dipilih oleh perusahaan tidak akan berguna.

“No matter how great the strategic plan appears to be, it is useless unless

all levels of the organization are committed to its implementation”.

(25)

25

Perusahaan tidak dapat begitu saja langsung menerapkan sebuah strategi baru, penerapan membutuhkan banyak waktu, bahkan harus banyak perubahan yang dilakukan dari tingkat sistem sampai pada individu dalam perusahaan. Perusahaan harus menerapkan strategi baru untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi dan mengurangi tingkat risiko (Thompson & Martin 2005). Strategi yang baik pada akhirnya memberikan jawaban atas harapan masyarakat terhadap perusahaan. Dimana capaian CSR perusahaan tersebut digambarkan Carrol melalui sebuah piramida, berikut penjelasannya :

Gambar I. 2 Carrol’s (1991) Empat model CSR

(sumber: Hennigfeld, Judith et al. 2006)

Menurut Carroll (1991), piramida tersebut telah meliputi berbagai perspektif dari apa yang masyarakat harapkan terhadap perusahaan, baik secara ekonomi maupun sosial. Carroll membagi tanggung jawab yang dilakukan perusahaan ke dalam empat tingkatan yang masing-masing tingkatan memiliki dasar dan tujuan tanggung jawab yang berbeda.

(26)

26

Economic Responsibility (Tanggung jawab Ekonomi) merupakan tingkat yang

paling dasar, dianggap sebagai pondasi inti dari sebuah tanggung jawab perusahaan. Dimana perusahaan bertanggungjawab kepada investor dan

stakeholder lainnya, memberikan lapangan pekerjaan, menghasilkan barang atau

jasa yang berujuan mendapatkan keuntungan.

Legal Responsibility (Tanggung Jawab Hukum) merupakan tingkat kedua

pada piramid, dimana tanggung jawab ini menunjukkan bahwa perusahaan melakukan kegiatan perusahaan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di suatu wilayah. Perusahaan wajib melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai dengan peraturan, walaupun hal tersebut menghambat peningkatan kinerja ekonomi mereka. Contohnya seperti membayar pajak kepada negara.

Ethical Responsibility (Tanggung Jawab Etis) merupakan bentuk tanggung

jawab perusahaan yang memiliki dampak besar terhadap perusahaan dan reputasinya, seperti mengikuti norma tidak tertulis, standar, dan harapan dari para

stakeholder.

Philantropic Responsibility (Tanggung Jawab Filantropi) merupakan puncak

dari piramida CSR. Menurut Carroll (1991; 2004) perbedaan antara tanggung jawab etis dan tanggung jawab filantropi adalah bahwa tanggung jawab filantropis tidak diharapkan dalam sudut pandang etika atau hukum. Hal ini lebih dianggap sebagai apa yang diinginkan dari para pemangku kepentingannya. Sehigga dapat berbeda bentuk kegiatannya di setiap lokasi, tergantung pada kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan.

(27)

27

2. Konsep Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL)

Menurut UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN pasal 88, BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN (Ayat 1) dan ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba tersebut diatur dengan Keputusan Menteri (Ayat 2).11 Lalu, Keputusan Menteri BUMN No. Kep-236/MBU/2003 yang dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari UU no. 19 tahun 2003 menyebutkan pada Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN (Ayat 3) dan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN (Ayat 4).9 Keputusan Menteri tersebut diperkuat kembali dengan Peraturan Menteri tentang BUMN no. 5 tahun 2007.

Pada pasal 2 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri BUMN no. 5 tahun 2007, disebutkan bahwa:

(1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini.

11

DPR RI, 2003, Undang-undang RI No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,

(28)

28

(2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Pada pasal 11ayat 2 Peraturan Menteri tentang BUMN no. 5 tahun 2007, disebutkan bahwa:

a. Dana Program BL yang tersedia setiap tahun terdiri dari saldo kas awal tahun, penerimaan dari alokasi laba yang terealisir, pendapatan bunga jasa giro dan/atau deposito yang terealisir serta pendapatan lainnya.

b. Setiap tahun berjalan sebesar 70 puluh persen dari jumlah dana Program BL yang tersedia dapat disalurkan melalui Program BL BUMN Pembina.

c. Setiap tahun berjalan sebesar 30 persen dari jumlah dana Program BL yang tersedia diperuntukkan bagi Program BL BUMN Peduli.

d. Apabila pada akhir tahun terdapat sisa kas dana Program BL BUMN Pembina dan BUMN Peduli, maka sisa kas tersebut menjadi saldo kas awal tahun dana Program BL tahun berikutnya.

e. Ruang lingkup bantuan Program BL BUMN Pembina : 1) Bantuan korban bencana alam;

2) Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; 3) Bantuan peningkatan kesehatan;

4) Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; 5) Bantuan sarana ibadah;

6) Bantuan pelestarian alam;

(29)

29 3. Konsep CSR ISO 26000

Perdebatan definisi CSR menimbulkan banyak persepsi mengenai konsep CSR. Namun, pada dasarnya menyimpulkan bahwa CSR merupakan tanggungjawab perusahan terhadap dampak dari kegiatannya yang menyebabkan banyak masalah sosial dan lingkungan. Banyak kesepakatan mengenai konsep CSR telah disepakati secara global, salah satu konsep yang sering digunakan adalah konsep ISO 26000.

“Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and

activities on society and the environment, through transparent and ethical

behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships.” (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility)

Kutipan tersebut merupakan kesepakatan global tentang makna sebuah tanggung jawab sosial perusahaan, dimana organisasi atau perusahaan bertanggung jawab untuk dampak dari keputusan dan kegiatan di masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku transparan dan etis yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan juga turut mempertimbangkan harapan stakeholder, melakukan kegiatan sesuai dengan hukum yang berlaku dan konsisten dengan perilaku

(30)

30

norma-norma internasional, dan terintegrasi di seluruh organisasi dan dipraktekkan dihubungan perusahaan.

Gambar I. 3 ISO 26000

sumber: diambil dari situ http://planetarycitizens.net/governance/ISO%2026000.html

Konsep ISO 26000, menjelaskan CSR melalui 7 prinsip tanggug jawab sosial, yang di dalamnya terkandung 7 subjek inti dari isu-isu terkait CSR.

a. Prinsip-prinsip tanggung jawab sosial 1. Akuntabilitas:

Membuktikan bahwa organisasi bersangkutan melakukan segala sesuatu dengan benar. Akuntabilitas yang diminta adalah terhadap seluruh pemangku kepentingan, dalam hal dampak organisasi atas masyarakat dan lingkungan, termasuk dampak yang tak disengaja atau tak diperkirakan. Organisasi seharusnya menerima bahkan mendorong penyelidikan mendalam atas dampak operasionalnya.

(31)

31 2. Transparansi:

Sebuah organisasi seharusnya menyatakan dengan transparen seluruh keputusan dan aktivitasnya yang memiliki dampak atas masyarakat dan lingkungan. Karenanya, yang dituntut adalah keterbukaan yang “clear, accurate

and complete” atas seluruh kebijakan, keputusan dan aktivitas.

3. Perilaku Etis:

Sebuah organisasi harus berperilaku etis sepanjang waktu, dengan menegakkan kejujuran, kesetaraan dan integritas. Promosi perilaku etis dilaksanakan melalui: (1) pengembangan struktur tata kelola yang mendorong perilaku etis, (2) membuat dan mengaplikasikan standar perilaku etis, dan (3) terus menerus meningkatkan standar perilaku etis.

4. Penghormatan pada kepentingan stakeholder:

Sebuah organisasi harus menghormati dan menanggapi kepentingan seluruh

stakeholdernya. Yang harus dilakukan adalah: (1) mengidentifikasi, (2)

menanggapi kebutuhan, (3) mengenali hak-hak legal dan kepentingan yang sah, serta (4) mengenali kepentingan yang lebih luas terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

5. Kepatuhan terhadap hukum:

Sebuah organisasi harus menerima bahwa kepatuhan pada hukum adalah suatu kewajiban. Yang harus dilakukan adalah: (1) patuh pada semua regulasi, (2) memastikan bahwa seluruh aktivitasnya sesuai dengan kerangka hukum yang relevan, (3) patuh pada seluruh aturan yang dibuatnya sendiri secara adil dan

(32)

32

imparsial, (4) mengetahui perubahan-perubahan dalam regulasi, dan (5) secara periodic memeriksa kepatuhannya.

6. Penghormatan terhadap norma perilaku internasional:

Di negara-negara di mana hukum nasionalnya atau implementasinya tidak mencukupi untuk melindungi kondisi lingkungan dan sosialnya, sebuah organisasi harus berusaha untuk mengacu kepada norma perilaku internasional.

7. Penghormatan terhadap HAM:

Setiap organisasi harus menghormati HAM, serta mengakui betapa pentingnya HAM serta sifatnya yang universal. Yang harus dilakukan: (1) manakala ditemukan situasi HAM tidak terlindungi, organisasi tersebut harus melindungi HAM, dan tidak mengambil kesempatan dari situasi itu, dan (2) apabila tak ada regulasi HAM di tingkat nasional, maka organisasi harus mengacu pada standar HAM internasional.

4. Konsep Stakeholder

Menurut Freeman (1984:46), stakeholder merupakan sebuah organisasi, kelompok, atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh upaya pencapaian tujuan dari sebuah perusahaan.

A stakeholder in an organization (by definition) or any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organization’s objectives” (Freeman, 1984 hal. 46)

Sukada et al (2007) memaparkan bahwa organisasi bisnis memiliki dua kategori pemangku kepentingan, yakni primer dan sekunder. Pemangku Kepentingan primer adalah pemilik perusahaan, konsumen, karyawan, pemasok, dan mitra bisnis. Di luar

(33)

33

itu, terdapat pemangku kepentingan kritis yaitu masyarakat dan pemerintah. Dimana keberadaannya berperan sangat penting terhadap keberlangsungan operasional perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus memperhatikan pemangku kepentingan sekunder khusus. Dimana pemangku kepentingan ini muncul karena ada kepentingan tertentu, aktivitas bisnis, atau tujuan perusahaan sendiri. Misalnya seperti media massa, kelompok masyarakat sipil, ornop (NGO/LSM), organisasi internasional mitra bisnis, asosiasi dagang, maupun asosiasi industri.

Pada kenyataannya menyatukan banyaknya kepentingan merupakan hal yang sulit, sehingga sangat memungkinkan menghasilkan sebuah permasalahan. Prayogo (2008) menetapkan tiga stakeholder penting yang sering bermasalah dalam relasinya dengan perusahaan, yaitu komunitas lokal, pekerja, dan konsumen. Berikut ini merupakan gambaran umum tingkat dinamika konflik antara perusahaan dengan pemangku kepentingannya:

Tabel I. 2 Tingkat Dinamika Konflik antara Perusahaan dengan Stakeholder

Jenis Industri Komunitas lokal Pekerja Konsumen

Ekstraktif Tinggi: Sangat rentan terjadi konflik hingga ke bentuk kekerasan; korporasi di-persepsikan mengambil sumber daya alam lokal.

Sedang:

Tidak terlalu rentan terjadi konflik; tingkat upah dan fasilitas kerja sangat baik, kalaupun terjadi konflik berbentuk non kekerasan. Rendah: Hampir tidak ada laporan konflik karena suplai hasil tambang terbatas, terkecuali boikot produk karena alasan lingkungan.

Manufaktur Sedang:

Tidak terlalu rentan terjadi konflik; terkecuali ada masalah khusus seperti dampak lingkung-an. Tinggi: Sangat rentan terjadi konflik karena marjin keuntungan korporasi sangat terkait dengan tingkat upah pekerja. Rendah: Jarang terjadi konflik, terkecuali keluhan terhadap kualitas dan higienitas produk.

(34)

34

Jasa Rendah:

Tidak rentan terhadap konflik; interaksi dan silang kepentingan jarang terjadi.

Sedang:

Tidak terlalu rentan terjadi konflik; terkecuali pada perusahaan yang bermasalah dengan manajemennya. Tinggi: Sangat rentan terjadi konflik karena selisih yang tajam antara harga dan kualitas pelayanan.

Sumber: Prayogo, 2008

Secara umum, terdapat kecenderungan bahwa tingkat dinamika konflik tinggi dapat terjadi pada interaksi: (1) korporasi dengan komunitas lokal pada industri ekstraktif; (2) korporasi dengan pekerja pada industri manufaktur; dan (3) korporasi dengan konsumen pada industri jasa. Pola dinamika konflik ini dapat diperlakukan sebagai sebuah kecenderungan, namun sangat membantu menjelaskan variasi tingkat dinamika konflik antar jasa industri (Prayogo, 2008).

5. Model Elit

Model ini merupakan sebuah model pengambilan keputusan yang berkembang dari teori elit. Dimana teori elit merupakan teori yang berusaha menggambarkan dan menjelaskan hubungan kekuasaan dalam masyarakat kontemporer. Teori ini memposisikan minoritas kecil yang berupa golongan elit politik merupakan penguasa yang paling kuat dan mengusulkan demokrasi sebagai ideal yang utopis. Kemunculan teori elit mengacu pada teori elit klasik yang berkembang dalam versi aristokrat. Salah satu yang mendukung pengembangan teori elit adalah Thomas R. Dye. Dimana dia berpendapat bahwa sebuah keputusan dalam kebijakan publik bukan berasal dari tuntutan rakyat, namun berasal dari kepentingan-kepentingan di tingkat elit sehingga muncul konsep Top-down dalam pengambilan keputusan (Thomas R.Dye:1978). Dia juga membagi pengambilan keputusan dalam enam model sebagai berikut:

(35)

35 • Model Kelembagaan • Model Kelompok • Model Elit • Model Rasional • Model Inkremental • Model Sistem

Policy Direction Minoritas

Policy Execution

Mayoritas

Model Elit menunjukkan adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata, dimana pengambilan keputusan dalam model ini dikuasai oleh kelompok minoritas yang memiliki otoritas tinggi. Model elit melihat adanya dua kelompok yang berbeda, yaitu minoritas dan mayoritas. Kelompok minoritas disini adalah kelompok kecil yang memiliki otoritas tinggi, seperti para elit politik, pengusaha, dan pejabat pemerintahan. Kemudian yang menjadi kelompok mayoritas adalah mereka yang otoritasnya rendah atau bahkan tidak memiliki otoritas kekuasaan seperti masyarakat umum. Dengan kata lain, model ini memaknai bahwa elit

Elite

Officials and

Administrators

Mass

(36)

36

politik selalu ada dalam masyarakat, sehingga permainan politik menjadi wajar dalam segala bidang yang berhubungan dengan masyarakat.

Model ini menunjukkan bahwa ada kelompok minoritas yang menggunakan kekuasaan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah kebijakan. Kelompok minoritas mengendalikan atau mengatur kelompok mayoritas dalam masyarakat, karena proses pengambilan keputusan model elit merupakan bentuk

Top-down. Dimana pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh kelompok

minoritas seperti pejabat pemerintahan, pengusaha, dan elit politik tanpa melihat tuntutan masyarakat sebagai kelompok mayoritas yang merupakan objek dari keputusan tersebut.

6. Kerangka Pemikiran

PKBL adalah program yang seringkali dipersepsikan sebagai tanggung jawab sosial (CSR) dari BUMN. Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN dan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Pendanaan untuk program PKBL berasal dari laba perusahaan pada tahun sebelumnya sebesar 2 persen untuk masing-masing program.

Seperti yang dipaparkan dalam Committee Draft ISO 26000 Guidance on Social

Responsibility pada tahun 2010, tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab organisasi atau perusahaan atas dampak dari keputusan dan kegiatan di masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku transparan dan etis yang

(37)

37

memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan juga turut mempertimbangkan harapan stakeholder, melakukan kegiatan sesuai dengan hukum yang berlaku dan konsisten dengan perilaku norma-norma internasional, dan terintegrasi di seluruh organisasi dan dipraktekkan dihubungan perusahaan.

Berdasarkan piramida yang dibuat oleh Carroll untuk menjelaskan tingkat tanggung jawab perusahaan, CSR terbagi menjadi 4 tingkat, yaitu Economic

responsibility, Legal responsibility, Ethical responsibility, dan Philanthropic responsibility. Pada masing-masing tingkatan, tanggung jawab perusahaan

dimaknai berbeda. Dimana menurut Carroll, perusahaan akan merasa bertanggungjawab sosial apabila perusahaan merasakan sebagai perusahaan warga negara atau Corporate Citizen. Pada tahapan tersebut, perusahaan telah melakukan CSR yang memperhatikan keinginan setiap stakeholder. Dengan begitu setiap kegiatan CSR dapat didasari pada kepentingan bersama.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai keinginan bersama tersebut, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh perusahaan. Pengambilan keputusan, perusahaan seharusnya mencari informasi sebanyak mungkin untuk menganalisis strategi yang akan digunakan. Dengan begitu perusahaan dapat memilih prioritas kegiatan CSR yang sesuai dengan tujuan dari setiap stakeholder. Kemudian implementasi kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan sukses.

(38)

38

Mengadopsi tahapan proses pengambilan keputusan yang diusulkan oleh Herbert A. Simon (1960), terdapat tiga proses penting dalam proses pengambilan keputusan.

“Simon (1960) proposed decision-making as a four-phase model: (1)

intelligence, (2) design, (3) choice and (4) implementation (Turban et al 2001: Figure 2-1: p8) also called review (Finlay 1994).” (De Kock, E,

2003:75)

Pertama Intelligence, dimana organisasi melihat lingkungan untuk menemukan data-data yang kemudian diolah dan diteliti. Hasil dari tahapan tersebut adalah identifikasi masalah. Kemudian tahap kedua Design, yaitu tahap yang mengharuskan organisasi berfikir kreatif untuk menemukan pemecahan masalah beserta analisis kemungkinan implementasinya. Sehingga muncul beberapa pilihan solusi yang mungkin diterapkan. Tahap terakhir yaitu Choice, merupakan tahap yang penting dimana organisasi memilih keputusan yang paling sesuai dengan kriteria memenuhi harapan. Tahap ke empat Implementation merupakan penambahan dari Turban, dimana pada tahap tersebut terdapat hasil program. Bila terdapat kekurangan, makan kembali pada tahap pertama.

Pelaksanaan PKBL BUMN diatur melalui UU no. 5 tahun 2007. Dimana Perum dan Persero wajib melaksanakan PKBL sesuai ketentuan UU tersebut, sedangkan Perseroan Terbuka (PT) dapat mengaturnya melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), namun tetap berpanduan pada UU tersebut. Salah satu PT dalam BUMN adalah PT. Angkasa Pura II yang bergerak dalam bidang

(39)

39

pelayanan jasa kebandarudaraan di wilayah barat Indonesia. Dengan didasari keputusan tersebut Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Kantor Cabang Utama PT. AP II) membentuk unit khusus yang melaksanakan tupoksi berkaitan dengan PKBL, unit tersebut yaitu SME-CD (Small and Medium Enterpise-Community Development). SME-CD ini merupakan unit yang tidak terpisahkan dalam manajemen perusahaan karena diawasi oleh bagian Direksi Keuangan.

PT. Angkasa Pura II Kantor Cabang Utama Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang pada tahun 2012 mengeluarkan dana sebesar Rp 581.091.600,- (lima ratus delapan puluh satu juta sembilan puluh ribu enam ratus rupiah) untuk bantuan ambulan kepada Puskesmas di Kecamatan Benda, Kecamatan Batu Ceper, dan Kecamatan Kosambi (masing-masing satu ambulans seharga Rp. 193.697.200,-). Dimana jumlah tersebut merupakan jumlah pengeluaran terbesar (23% dari total dana BL), bila dibanding dengan jumlah pengeluaran lain dalam anggaran penyaluran dana Bina Lingkungan (BL). Sebelumnya hal ini pernah dilakukan untuk Kecamatan Neglasari dan Kecamatan Teluknaga pada tahun yang sama. Jadi ada lima kecamatan di sekitar bandara yang telah menerima bantuan tersebut. Bantuan ambulan tersebut merupakan bantuan insiatif perusahaan yang bersifat monumental atau PKBL Monumental, sedangkan dalam UU no.5 tahun 2007 tidak disebutkan mengenai bantuan yang bersifat monumental.

Sebagai bentuk bantuan yang diinisiatifkan oleh perusahaan, bantuan tersebut seharusnya tetap diputuskan setelah adanya integrasi dengan stakeholder lain. Pengambilan keputusan seharusnya tidak semata-mata bergantung pada RUPS, melainkan ada peran partisipasi masyarakat, pemerintah, dan stakeholder lainnya.

(40)

40

Penggunaan metode yang baik dalam mengambil keputusan menentukan hasil dari keputusan tersebut. Bila bantuan ambulan tersebut ditujukan untuk masyarakat yang berobat ke puskesmas, maka seharusnya PT. Angkasa Pura II mengajak dinas terkait dari pemerintah Kota maupun Kabupaten Tangerang, beserta masyarakat untuk mengintegrasikan tujuan penggunaan dana BL tersebut.

Oleh karena itu, dalam mengkaji pengambilan keputusan penyaluran dana PKBL Monumental sebagai CSR PT. Angkasa Pura II Soekarno-Hatta, penulis akan mengidentifikasi sejauh mana stakeholder lain dapat berperan dalam pengambilan keputusan penyaluran dana PKBL Monumental tersebut. Apakah terdapat peran masyarakat, sehingga muncul pemberdayaan masyarakat, atau hanya didasari pada keputusan yang dibuat perusahaan melalui Unit SME-CD tanpa ada campur tangan Stakeholder lain. Kemudian, penulis akan menjelaskan kegiatan apa yang menjadi keputusan perusahaan dengan sejauh mana peran

Stakeholder lain, untuk kemudian ditarik kesimpulan bagaimana metode

pengambilan keputusan untuk penyaluran dana PKBL Monumental dapat disalurkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing stakeholder oleh CSR PT. Angkasa Pura II Bandara Soekarno-Hatta di Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Provinsi Banten.

(41)

41 PRIORITAS PROGRAM HASIL Konvergensi Paralel FORUM MULTI STAKEHOLDER PERUSAHAAN IMPLEMENTASI INTELEGENCE CHOICE DESIGN SME-CD STAKEHOLDER: 1. PERUSAHAAN 2. PEMERINTAN 3. MASYARAKAT DECISION MAKING

Gambar

Tabel I. 1 Definisi CSR
Gambar I. 1 Strategi Lingkaran CSR
Gambar I. 2 Carrol’s (1991) Empat model CSR
Gambar I. 3 ISO 26000
+4

Referensi

Dokumen terkait

Persepsi para mahasiswa Ma’had Al-Jami’ah IAIN Antasari Banjarmasin terhadap semua bentuk kegiatan pembinaan keagamaan yang telah dilaksanakan meliputi materi,

Penyakit demensia bersifat kronik progresif dengan gejala utama adanya gangguan fungsi kortikal luhur yang meliputi daya ingat, daya pikkir, orientasi, pemahaman,

74/2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan, peraturan pemerintah tersebut mewajibkan adanya pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam

Strategi dalam mengatasi pembiayaan bermasalah yang dilakukan oleh BMT Harapan Umat Cabang Jekulo adalah teguran dengan kriteria pembiayaan berjalan yang belum jatuh

[r]

[r]

Setelah melakukan analisa di bagian DSD dapat disimpulkan bahwa penggunaan Macro Excel dalam pembuatan Laporan Pengiriman Invoice dibutuhkan untuk mempermudah atau