• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Fisika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Fisika"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN FILSAFAT ILMU DALAM ILMU FISIKA

Filsafat Ilmu

Filsafat berperan dalam mendasari berbagai aspek keilmuan baik pada tataran teoritis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang keilmuan.

Dalam filsafat ilmu, ontologi adalah studi pengkajian mengenai sifat dasar ilmu yang arti sifat dasar itu membentuk arti, struktur, dan prinsip ilmu. Epistemologi membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan dan batas-batas, sifat, metode dan keahlian pengetahuan. Aksiologi merupakan bagaimana cara manusia menggunakan penalaran otak yang luar biasa, sehingga perkembangan ilmu itu sudah sejak dulu diarahkan dalam tahap-tahap pertumbuhannya. Jadi jelas dan nyatalah bahwa teori-teori ini adalah dalam rangka penerapan suatu disiplin ilmu yang dikaji secara ilmiah dengan secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, terstruktur, menggunakan metode yang jelas, serta datanya validitas.

Keterbatasan Ilmu

Pengetahuan dapat menemukan kebenaran mutlak, dan sebagian teori pengetahuan memang kebenaran mutlak, seperti diyakini Karl Popper. Hal ini karena teori pengetahuan dapat disalahkan. Teori baru yang lebih benar muncul dan memperbaiki. Tetapi, jika ia dapat disalahkan, berarti ia dapat pula dibenarkan. Paradigma dalam pengetahuan terus diperbaiki. Paradigma baru menjawab teka-teki yang tak terpecahkan paradigma lama. Paradigma baru juga dapat membawa penerapan yang lebih luas atas jawabannya pada teka-teki. Tetapi paradigma lama tidak boleh semata dinyatakan salah. Proses pemerolehan pengetahuan itu sendiri mengubah sebagian fakta ilmiah yang diyakini benar seratus tahun lalu, dan bukan tidak mungkin, fakta yang kita yakini sekarang akan berubah seratus tahun yang akan datang. Sebagian filsuf dan sosiolog bahkan mengklaim kalau fakta ilmiah tidak akan mencapai kebenaran mutlak.

Teori gravitasi Newton misalnya, telah disalahkan Einstein, tetapi ia dibenarkan karena lebih sederhana. Teori heliosentris telah menjawab banyak misteri yang tak terpecahkan oleh teori geosentris. Tetapi geosentris tetap benar seperti dilakukan Ptolomeus dalam menjelaskan orbit Mars. Geosentrisme bahkan terbukti baik dalam bidang ilmu geodesi dan dalam memandu hidup para aborigin Australia.

(2)

Ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang menyangkalnya.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu, yaitu:

 ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as phenomenal - R. Tennant),

 ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan lingkungannya,

 kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak. Keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, fisika misalnya. Hal ini disebabkan ilmuwan fisika cenderung bekerja hanya dalam batas wilayahnya sendiri dengan suatu disiplin yang sangat ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan fisika yang berada dalam wilayah ilmu tertentu.

Peranan Filsafat Ilmu dalam Menunjang Keterbatasan Ilmu Fisika

Fisika mencatat pernah terjadi tragedi keilmuan tatkala teori Heliosentris yang diumumkan oleh Copernicus dan Galileo dicap sebagai pemikiran sesat oleh gereja. Sementara itu, begawan fisika Isaac Newton hanya menempatkan Tuhan sebagai penutup sementara lubang kesulitan yang belum terpecahkan dan terjawab dalam beberapa teorinya. Setelah kesulitan itu terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak lagi diperlukan. Bahkan, suatu saat ketika Napoleon Bonaparte bertanya kepada Laplace tentang peran Tuhan yang tidak disinggung dalam karyanya, Laplace men-jawab dengan tegas bahwa peran Tuhan tidak diperlukan dalam penjelasan keteraturan alam raya ini.

Fisika sebagai subjek ilmu yang berusaha menjelaskan keteraturan alam semesta tentu seharusnya juga bisa menjelaskan bagaimana peran Tuhan dalam keteraturan tersebut. Selama ini, buku-buku teks fisika seolah-seolah melepaskan begitu saja peran Tuhan. Jika ditarik dalam sebuah kesimpulan sederhana, dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara Tuhan (agama) dan fisika sebagai subjek ilmu.

Pemahaman seperti ini amat berbahaya, sebab bisa menyebabkan kecakapan ilmu yang dimiliki menjadi terbelah. Lambat laun ini akan mengarah pada pemisahan agama dan ilmu pengetahuan. Beberapa karya yang ada kemudian mencoba memasuki wacana pengetahuan dan agama ini. Beberapa karya dari Indonesia yang bisa disebutkan antara lain Akbar dkk (2008), Agung R (2007), Febri P.A. (2007), Firdaus (2004), Shihab (1997) dan Baiquni (1995). Sayangnya, karya-karya tersebut lebih terkesan sekedar justifikasi

(3)

(pembenaran) temuan-temuan pengetahuan dengan ayat-ayat suci. Dan tindakan seperti ini bisa dikatakan sebagai tindakan yang gegabah dan ceroboh sebab fakta-fakta pengetahuan bisa salah (Al Attas, 1995). Oleh karena itu, mengupas wacana pengetahuan dan agama tanpa melihatnya dari sudut pandang filsafat ilmu sama saja hanya akan menemukan fatamorgana akademis.

Dalam kajian ilmu pengetahuan, dikenal adanya tiga landasan yang menjadi pondasi sebuah ilmu. Ketiga landasan itu adalah ontologi, epistimologi dan aksiologi. Ontologi merupakan landasan yang mempersoalkan tentang hakikat objek kajian. Epistemologi menyoal tentang bagaimana cara yang benar untuk mendapatkan pengetahuan dan aksiologi berbicara tentang tujuan dan kegunaan ilmu. Dengan demikian, setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Dari sisi ontologi, ada 2 paradigma yang menjadi basis bagi pengetahuan untuk mengembangkan dirinya, yaitu paradigma naturalisme dan supernaturalisme (Suriasumantri, 2005).

Pengetahuan yang kita kenal sekarang ini merupakan pengetahuan yang menganut paradigma naturalisme. Dalam paham ini, saintis berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri. Naturalisme adalah paradigma yang tidak percaya terhadap roh-roh dalam setiap benda-benda. Oleh karena itu paradigma naturalisme merupakan cikal bakal paham materialisme. Terkait dengan aktivitas Merapi, maka bagi saintis aktivitas Merapi hanyalah sekedar aktivitas kimia-fisika semata. Tidak ada kekuatan lain selain dari sekedar aktivitas tersebut. Merapi hanyalah setumpuk material vulkanik yang di dalamnya ada rongga yang terhubung dengan pusat magma. Ketika rongga ini tersumbat material di atasnya, maka dengan sendirinya terhimpun kekuatan yang suatu saat bisa menjebol saluran yang tersumbat tersebut. Jika kekuatan tersebut sangat besar, maka inilah yang disebut letusan Merapi. Jika kekuatan tersebut tidak cukup kuat untuk menjebol, maka ini yang disebut leleran lava. Penjelasan terhadap aktivitas ini secara sederhana hanya merujuk pada proses fisika semata.

Pendapat ini tentu akan berbeda bila kita percaya terhadap paradigma supernaturalisme. Dalam paradigma ini, maka secara ontologis kita meyakini bahwa ada roh-roh yang bersifat ghaib yang terdapat di dalam benda-benda seperti batu, air, pohon dan tentu saja gunung Merapi. Paradigma ini memang hampir mendekati dengan paham animisme yang merupakan kepercayaan asli bangsa kita. Maka, ketika Mbah Maridjan mengomentari aktivitas Merapi dengan mengatakan bahwa Keraton Merapi sedang punya gawe dan aktivitas leleran lava sebagai kegiatan bersih-bersih di Keraton Merapi sebenarnya

(4)

me-nunjukkan bahwa Mbah Maridjan percaya terhadap adanya roh-roh ghaib di Merapi. Konon, roh-roh itu mengejawantah sebagai Kiai Petruk, Kiai Sapu Jagat atau Nyai Gadhung Mlati.

Ungkapan Mbah Maridjan tersebut sebenarnya merupakan ungkapan yang filosofis sebab secara mendasar ungkapannya menyentuh sisi ontologis. Mbah Maridjan percaya bahwa Merapi bukanlah sekedar setumpuk material vulkanik yang mati. Merapi merupakan organisme yang hidup. Merapi juga punya jiwa sebagaimana kita bangsa manusia. Hanya saja karena keyakinan terhadap paham naturalisme sudah begitu kuat akarnya dan mendarah daging dalam setiap saintis, maka pernyataan Mbah Maridjan tidak dianggap sebagai ungkapan pengetahuan.

Ada satu contoh kuat yang bisa mempertegas hal ini sebagaimana telah dikaji oleh Pamela Asquith (Amir: 2003). Dalam kajiannya, Asquith mengamati primatologis Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologis Jepang ketika masing-masing meneliti perilaku primata. Adanya pandangan Kristen yang percaya bahwa hanya manusia yang mempunyai jiwa telah “menutup celah” bagi primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang begitu majemuk. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang yang meyakini bahwa binatang juga memiliki jiwa seperti manusia telah ”menuntun” para primatologis Jepang untuk tertarik dan memperhatikan motivasi maupun personalitas primata.

Disini kita melihat bahwa ada perbedaan yang cukup serius antara primatologis Barat dan primatologis Jepang, padahal objek yang diamati sama yakni binatang primata. Primatologis Barat cenderung pada aspek fisiologis sementara primatologis Jepang cenderung pada aspek sosiologis. Ternyata, objek kajian yang sama dan sistem kepercayaan yang berbeda akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda. Inilah tahapan epistemologi.

Pada tingkat selanjutnya, pengetahuan yang telah terbentuk ini juga akan berimplikasi pada tindak-tanduk manusia. Mbah Maridjan yang percaya bahwa Merapi juga mempunyai jiwa senantiasa tidak lelah un-tuk mengingatkan para penambang pasir Merapi yang menggunakan bego agar tidak serakah. Menurut Mbah Maridjan, tindakan ini akan membuat Kanjeng Sultan Merapi menjadi murka. Berbeda dengan orang-orang yang berpandangan bahwa Merapi hanyalah setumpuk material yang mati, mereka dengan “penuh semangat” melakukan penambangan material Mer-api dengan liar dan membabi-buta. Seandainya saja banyak orang yang seperti Mbah Maridjan, maka niscaya kerusakan alam di nusantara tidak akan separah sekarang. Bencana banjir, tanah longsor, luberan lumpur panas, abrasi pantai maupun hilangnya beberapa pulau kecil dari peta nusantara tidak akan pernah tertulis di koran-koran. Bahkan gunung di Papua yang begitu disucikan beberapa suku asli di sana tidak akan pernah menjadi kawah menganga. Fase seperti ini merupakan fase aksiologi.

(5)

Filsafat ilmu berusaha menjelaskan hakekat ilmu fisika yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu fisika itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu berperan dalam: 1) menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran, 2) melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu, 3) menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya, 4) melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu.

Dengan demikian filsafat ilmu merupakan telaahan yang berkaitan dengan objek apa yang dikaji oleh ilmu fisika (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu fisika itu (epistimologi), dan apa manfaat ilmu fisika (aksiologi).

Referensi

Agung R., Frida,. 2007. Fisika Integrasi-Interkoneksi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA UNY

Akbar, M., Kurdi, M., dan Supriyadi, 2008. Kebenaran Teori Gravitasi Newton dan Teori Gravitasi Einstein Ditinjau dari Perspektif Teori Gravi-tasi dalam Al-Qur’an, Prosiding Seminar Sains dan Pendidikan Sains 2008 UKSW

Al Attas, Syed Muhammad Naquib,. 1995. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan

Baiquni, Achmad,. 1995. Al Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ed.1, Cet.3. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf

Febri P.A., 2007. Menyibak Misteri Kekal Akhirat tinjauan Ilmu Fisika. Yogyakarta: Kreasi Total Media

Firdaus, Feris,. 2004. Alam Semesta: sumber ilmu, Hukum, dan Infor-masi Ketiga Setelah Al Quran dan As Sunnah. Yogyakarta: Insania Cipta Press

Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

(6)

TUGAS

PERANAN FILSAFAT ILMU DALAM ILMU FISIKA

Mata Kuliah

: Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu

: Prof. Dr. Irianto Widisuseno

Oleh :

Nama

: Muhamad Akrom

NIM

: 2404011100010

MAGISTER ILMU FISIKA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2013

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang tertulis dalam lagu ini terdapat ada beberapa ciri diantaranya : pertama orang yang beriman kepada Allah, iman di hati mulut dan langkahnya, kedua orang

Seni rupa murni daerah adalah gagasan manusia yang berisi nilai-nilai budaya daerah setempat yang diekspresikan melalui pola kelakuan tertentu dengan media titik, garis, bidang,

High diversity of birds’ species in Rajegwesi show potential attraction to be developed for ecotourism; besides other natural attraction such as beach and

Hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,301 dengan p sebesar 0,000. Nilai p < 0,01 membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

Penerapan manajemen berbasis sekolah memberikan kewenangan dan tangung jawab kepada tenaga kependidikan dalam hal ini adalah guru untuk meningkatkan kompetensi supa lebih

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah konsep amanat agung yang harus dipahami dalam konteks era digital masa kini, di mana gereja ada dan menggumuli

Maka dengan ini peneliti menyimpulkan bahwa latihan beban yang telah diberikan kepada pasien yang sedang menjalani terapi pemulihan cidera pasca rekonstruksi ACL

[r]