• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS: FUNGSI SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN KELUARGA SERTA INOVATOR DAN EARLY ADOPTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS: FUNGSI SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN KELUARGA SERTA INOVATOR DAN EARLY ADOPTER"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS: FUNGSI

SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN KELUARGA SERTA

INOVATOR DAN EARLY ADOPTER

WASITO

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara Jln. Karya Yasa Medan 20143

ABSTRAK

Tahun 2000 penyakit antraks muncul di Purwakarta, 2001, 2002 di Bogor, 2003 di DI Yogyakarta, dan tahun 2004 kasus antraks kembali di wilayah Bogor. Sejak 1999–2004 telah dilaporkan 599 kasus pada manusia, dan 22 orang telah meninggal dunia. Kuman antraks dapat membentuk spora apabila kontak dengan oksigen di udara, dan tanah merupakan tempat, atau sumber alami bakteri, sporanya sangat resisten, tahan terhadap panas dan dingin, dan dapat survive bertahun-tahun. Spora antraks juga dapat hidup pada bulu hewan, wool, kulit, atau bahan yang terkontaminasi sehingga dapat menyebar kemana-mana. Sehingga suatu wilayah yang positif antraks dengan penangan-an yang kurang memadai sulit untuk penanggulangannya. Pendekatan secara mikro, dengan mewujudkan eksistensi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, atau sistem sosial yang mempunyai tugas, atau fungsi sosialisasi dan pendidikan diharapkan mampu mengimplementasikan pengendalian kuman antraks, agar tidak menyebarluas dari satu wilayah ke wilayah lain. Disamping itu, keselarasan keunggulan teknologi pengendalian antraks (teknis, ekonomi dan sosial budaya), dan jumlah yang cukup memadai dari perintis (innovator) dan pelopor (early adopter), serta kedinamisan keluarga dan masyarakat memiliki kecenderungan berpengaruh nyata terhadap cepat lambatnya tingkat penerapan dan perembesan pengendalian antraks di suatu wilayah.

Kata Kunci: Antraks, Keluarga, Pendidikan, Inovator

PENDAHULUAN

Antraks merupakan penyakit bakterial menyerang ternak ruminansia besar (sapi, kerbau), disebabkan oleh Bacillus anthracis pembentuk spora, bersifat sangat fatal, dan menular ke manusia (zoonosis) melalui kontak kulit, inhalasi atau mengkonsumsi produk ternak yang terkontaminasi (OIE, 2000). Antraks sebagai salah satu penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar. Penyakit hewan menular strategis memiliki beberapa kriteria, diantaranya pertimbangan ekonomis (mengganggu produktivitas dan reproduktivitas ternak secara signifikan, mengakibatkan gangguan perdagangan); pertimbangan politis (meresahkan masyarakat, perlu prioritas pengendalian, umumnya penyakit dalam kelompok penyakit zoonosis); dan pertimbangan strategis (tingkat mortalitas tinggi, penyebaran/penularan relatif cepat, antar daerah dan antar lintas batas, serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak, atau produk ternak yang ketat).

Spora antraks dapat terbentuk apabila bakteri kontak dengan udara atau oksigen,

sangat resisten dan dapat survive bertahun-tahun di tanah, karena tahan terhadap perubahan lingkungan, sulit dimusnahkan pada suatu wilayah yang positif antraks, dengan penanganan kurang memadai sulit untuk penanggulanganya, sehingga perlu pemahaman interaksi sistem sosial dan sistem ekologi. Dengan mewujudkan eksistensi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, atau sistem sosial yang mempunyai fungsi sosialisasi dan pendidikan, untuk mengimplementasikan pencegahan dan pengendalian penyakit antraks.

KUMAN ANTRAKS

Penyakit antraks merupakan penyakit bakterial, disebabkan oleh Bacillus anthracis pembentuk spora. Spora antraks dapat terbentuk apabila bakteri kontak dengan udara atau oksigen, sangat resisten dan dapat survive bertahun-tahun di tanah, karena tahan terhadap perubahan lingkungan (DRAGON and RENNIE, 1995), sehingga sulit dimusnahkan. Spora antraks juga dapat hidup pada bulu hewan,

(2)

wool, kulit, atau bahan yang terkontami-nasi sehingga dapat menyebar kemana-mana. Sehingga suatu wilayah yang positif antraks dengan penanganan yang kurang memadai sulit untuk penanggulangannya.

Infeksi kuman antraks dapat terjadi melalui kulit dan alat pernapasan, tetapi kejadi an yang paling sering adalah melalui saluran pencernaan. Spora termakan, kemudian mengalami germinasi dan menjadi bentuk vegetatif dalam mukosa kerongkongan, ataupun saluran pencernaan. Pada hewan yang mati karena antraks sekitar 80% bakteri ditemukan dalam darah, dan sekitar 20% ditemukan di dalam limfa. Hewan mati diakibatkan oleh produksi toksin yang dikeluarkan oleh bakteri. Menjelang kematian ternak toksin ditemukan dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pemberian antibiotika harus diberikan pada permulaan infeksi sebelum toksin yang dibentuk mencapai dosis lethal (LAY dan HASTOWO, 1992). Penyakit antraks dibagi atas 4 tipe yaitu tipe: pencernaan, kulit, pernapasan, dan tipe radang selaput otak.

PENGENDALIAN ANTRAKS

Berbagai teknologi diagnosis penyakit antraks yang telah dikuasi dan dikembang kan Balai Besar Penelitian Veteriner, antara lain teknik isolasi dan identifikasi kuman antraks; uji ASCOLI untuk deteksi kuman antraks, dan uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi ternak. Diagnosa terhadap antraks dapat berdasar kan sejarah, gejala klinik dan harus diteguhkan dengan pemeriksaan laboratorium, antara lain : isolasi dan identifikasi (mikroskopik, kultural, lysis gamma phage), deteksi imunologi (ascoli test, DFA, immunochromatografic assay), uji serologi (ELISA) dan PCR (ADJI dan

NATALIA, 2005). Hasil peneguhan diagnosis akan memberi masukan terhadap upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit antraks.

Kejadian antraks di Indonesia sering berulang, dan selalu menimbulkan polemik dan masalah. Gambaran titer antibodi hasil vaksinasi antraks yang dilakukan Dinas Peter nakan Kabupaten Bogor pada ternak di beberapa daerah endemik mencapai tingkat keberhasilan 65,9%, tidak penuh karena beberapa hal, yaitu aplikasi vaksin yang tidak tepat, dosis yang diberikan tidak cukup, kualitas vaksin dan atau seed vaksin yang telah turun daya imunogeniknya, serta respon individual ternak (OIE, 2000), peluang antraks berulang besar. Hasil diagnostik vaksinasi antibodi antraks (ELISA) pasca vaksinasi pada sapi dan kerbau tahun 2005 di wilayah BPPV Denpasar seperti terlihat pada Tabel 1.

Permasalahan penyakit antraks, diantaranya: 1. Covarage vaksinasi yang rendah di desa tertular; 2. Program vaksinasi belum optimal; 3. Belum optimalnya pemahaman epidemiologi; 4. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap penyakit antraks (menyembelih ternak sakit; memperdagangkan ternak sakit, termasuk dagingnya; tidak membawa ternak saat pelaksanaan vaksinasi; dan mengkonsumsi daging yang tertular antraks); 5. Vaksinasi antraks pada ternak – ada masalah. Masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap pengendalian dan pemberantasan penyakit antraks.

KASUS ANTRAKS

Keberadaan penyakit antraks di Indonesia telah diketahui sejak tahun 1832, pertama dilaporkan pada tahun 1884 di Teluk Betung

Tabel 1. Prevalensi antibodi antraks (ELISA) pasca vaksinasi pada sapi dan kerbau tahun 2005 di wilayah BPPV Denpasar

Status vaksinasi Propinsi Pulau Jumlah sampel Jumlah positif Persentase

Pra vaksinasi NTB Sumbawa 673 33 4,9

Sumbawa 729 379 78,8 NTB Lombok 92 28 51,9 Pasca vaksinasi NTT Sumba 695 548 30,4 Sumber: GDE PUTRA (2006)

(3)

penyebarannya sejak tahun 1930 sampai saat ini. Secara geografis penyakit ini pernah terjadi pada 17 propinsi Indonesia, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat (ADJID dan SANI, 2005). Pada tahun 2005 – 2006 ini kejadian antraks tetap terjadi di Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat sampai saat ini menjadi daerah endemik antraks, sehingga masih sering timbul kasus-kasus penyakit antraks (SIREGAR, 2002). Penyakit ini tetap enzootic di hampir semua negara di Afrika dan Asia, beberapa negara di Eropa, beberapa negara bagian Amerika, dan beberapa negara di Australian (OIE, 2000).

Laporan kasus antraks di Indonesia, pertama kali terjadi wabah di Kecamatan Tirawuta dan Mowewe, Sulawesi Tenggara tahun 1932. Pada tahun 1969 dilaporkan 36 orang meninggal setelah memakan daging di Kecamatan Tirawuta, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Menurut PUTRA (2006) wabah besar antraks cenderung sering muncul di Nusa Tenggara, seperti terlihat pada Tabel 2, dominan di daerah Roti.

Wabah besar juga terjadi di Jawa Tengah, kasus kematian sapi perah karena antraks pada tahun 1990 di Kabupaten Boyolali (PT. NAA) baik di breeding farm maupun plasma sejak Januari–Juli 1990 berjumlah 1.296 ekor, meliputi 856 ekor (18,38%) dari 4.667 ekor sapi yang ada di breeding farm, dan 440 ekor (12,25%) dari 3.591 ekor sapi di lokasi peternak plasma.

Kemudian laporan kasus antraks pada ternak masih dijumpai sampai tahun 1993,

tetapi jumlahnya relatif kecil. Data penyakit antraks pada manusia di Jawa Tengah saat ada wabah di Kabupaten Boyolali yaitu 49 kasus, 18 orang meninggal; dan di Kabupaten Semarang 48 kasus. Pada tahun 1991 kasus di kedua kabupaten menurun, yaitu 19 orang dan 1 orang, tahun 1992 dan 1993 hanya 5 dan 3 kasus (NURHADI et.al., 1996).

Pada tahun 2000 di wilayah Purwakarta antraks menyerang 32 orang secara klinis, tahun 2001 kejadian muncul di Hambalang, Bogor, Jawa Barat menyebabkan 2 orang meninggal, dan 22 orang menunjukkan gejala klinis. Tahun 2002 terjadi antraks di wilayah Bogor yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, tahun 2004 kembali terjadi antraks di wilayah Bogor yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia (WAHYUNI, 2005). Laporan kasus pada manusia ada di 4 propinsi, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat, dari tahun 1999 sampai tahun 2004 telah dilaporkan 599 kasus pada manusia, dan 22 orang telah meninggal dunia (ANONIMUS, 2002 dalam WAHYUNI, 2005).

Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi peningkatan CFR yang cukup tinggi, yaitu dari 6,45% menjadi 27,6%. Pada umumnya ledakan anthrax di Indonesia terjadi pada peralihan musim, yaitu dari musim kemarau ke penghujan (laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2005), bahwa kejadian anthrax dari tahun 2001 – 2004 yang paling tinggi kasusnya terjadi pada bulan-bulan Oktober, awal bulan penghujan (Gambar 1).

Hasil analisis bivariat yang dilakukan KURNIAWATI et.al., (2005) terhadap penyakit antraks pada manusia di wilayah Kecamatan Babakan Madang (Bogor), hanya jarak kandang {p value (pv) = 0,011; odds ratio (OR) = 0,230 dengan 95% Convident Interval CI = 0,078 – 0,683)}, saluran pembuangan {pv

Tabel 2. Wabah besar antraks di wilayah kerja BPPV regional VI Denpasar

Pulau Tahun Pulau Tahun

Lombok 1956, 1993 Sumbawa 1931

Sumba 1939 Flores 1934, 1938, 1953

Timor 1957 Roti 1887, 1922, 1930, 1952, 1953

(4)

= 0,028; OR = 4,5 dengan 95% CI = 1,234 – 16,570)}, riwayat makan {pv = 0,000; OR = 24,4 dengan 95% CI = 5,494 – 108,287)} yang secara statistik mempunyai hubungan

bermakna terhadap kejadian penyakit antraks pada manusia, sedangkan variabel independen lain hubungannya tidak bermakna (Gambar 2).

Gambar 1. Distribusi kasus anthrax 2001 - Oktober 2004 di Kab. Bogor

(Dink es Kab. B ogor, 2005)

0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan K asus 2001 2002 2003 2004

Keterangan: A = Jarak kandang G = Populasi pekerjaan B = Saluran Buang H = Kebersihan Kandang C = Tanah I = Vaksinasi

D = Hewan J = Pendk. perilaku E = Beri pakan K = Pengetahuan

F = Riwayat kontak

Gambar 2. P value masing-masing variabel independen 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 Variabel independen P. v al u e A B C D E F G H I J K

(5)

Hasil analisis multivariat, ada 4 substansi yang dianggap peneliti merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit antraks, yaitu jarak kandang, kebersihan kandang, saluran pembuangan air limbah, dan vaksinasi sehingga didapatkan persamaan model akhir: Logit (kejadian penyakit antraks pada manusia = 1,750 – 0,56 (jarak kandang) + 0,7 (bersih kandang) + 1,2 (saluran pembuangan) – 0,06 (vaksinasi) + 2 (riwayat makan)

FUNGSI SOSIALISASI DAN PENDIDIKAN

Fungsi keluarga menurut SUMARDJAN (1993) dalam RAHMAWATI (1999) secara umum sebagai mekanisme, yaitu mengadakan keturunan manusia yang selanjutnya melestarikan eksistensi masyarakat; fungsi sebagai kesatuan masyarakat; fungsi pemersatu dan pelindung bagi warganya; fungsi sosialisasi anak-anak melalui pendidikan dan fungsi sebagai unit produksi di dalam masyarakat. Menurut BKKBN dan UU no. 10 tahun 1992 untuk pembangunan keluarga sejahtera dilakukan dengan pendekatan delapan fungsi keluarga secara optimum, yaitu fungsi keagamaan, fungsi cinta kasih, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi perlindungan, fungsi budaya, fungsi ekonomi, dan fungsi pelestarian lingkungan. Pada kajian ini kami hanya menelaah fungsi sosialisasi dan pendidikan keluarga; dengan tujuan mempelajari penerapan kedua fungsi dalam pencegahan dan pengendalian penyakit antraks.

Keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan pengertian bahwa lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Maka fungsi pemasyarakatan dan kontrol sosial, termasuk fungsi sosialisasi tanggung jawab keluarga (GOODE, 1985). Adanya keterlibatan orang tua dan anak saat berinteraksi merupakan faktor yang lebih menentukan, dan ini yang disebut kualitas waktu. Disamping itu, keluarga merupakan ajang pendidikan yang pertama dan terutama bagi anak, karenanya fungsi pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab orang tua. Pendidikan dalam rumah atau keluarga merupakan faktor yang dominan

dalam pembentukan kepribadian anak (BOFENBEENER, 1979 dalam MEGAWANGI et.al., 1994). Dengan mewujudkan eksistensi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, atau sistem sosial yang mempunyai fungsi sosialisasi dan pendidikan, bagaimana dapat mengimplementasikan pencegahan dan pengendalian penyakit antraks. Karena virus penyakit antraks dapat membentuk spora yang sangat toleran pada lingkungan kering atau panas, sehingga perlu pemahaman interaksi sistem sosial dan sistem ekologi. Tingkat penerapan fungsi sosialisasi dan pendidikan di dalam keluarga pada artikel ini cenderung mengukur peubah ”kebiasaan hidup sehat”.

Guna mengimplementasikan fungsi sosialisasi dan pendidikan di dalam keluarga pada paper ini, kami mencoba gambarkan temuan KURNIAWATI et.al. (2005) terhadap penyakit antraks pada manusia di wilayah Kecamatan Babakan Madang (Bogor) dimana: 1). Jarak kandang dengan rumah mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit antraks. Jarak kandang yang rapat dengan rumah, memberikan suatu peluang, bukan proteksi atau pencegahan terhadap kuman antraks untuk masuk atau mengkontaminasi penghuni rumah penduduk dibandingkan dengan rumah yang tidak rapat. Jarak kandang dengan rumah sebaiknya terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimum 10 meter, untuk menghindari peluang kontaminasi lingkungan untuk menularkan penyakit ke manusia. Alasan mendasar peternak, keterbatasan lahan pekarangan sehingga dalam menempatkan kandang dengan jarak yang jauh kecil kemungkinan terlaksana. Juga keresahan masyarakat dalam hal keamanan ternak yang merupakan tabungan atau bagian dari mata pencaharian mereka sehari-hari. Saluran pembuangan air limbah mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit antraks. Karena saluran pembuangan limbah ternak yang baik memperkecil peluang penularan secara mekanik oleh serangga dan faktor lain ikut menyebarkan spora antraks. Kebersihan kandang tidak ber hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit antraks, karena keadaan saat penelitian telah berbeda dengan saat terjadi wabah, karena banyak penelitian menunjukkan kesehatan ternak yang buruk akibat manajemen kesehatan kandang

(6)

ternak yang tidak ditata dengan baik. 2). Tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor vaksinasi antraks terhadap kejadi an penyakit antraks pada manusia (KURNIAWATI et.al., 2005), dan dari artikelnya diduga banyak faktor yang mempengaruhi untuk persamaan persepsi antara peneliti dengan peternak, sehingga keberhasilan dalam komunikasi interpersonalnya kurang. Karena hal ini berbeda dengan banyak penelitian sebelumnya, juga pemeriksaan titer antibodi ternak yang dilakukan GINDO (2002) dari Citeureup dan Babakan Madang (Cibinong) yang sebelumnya telah divaksinasi, ternyata hanya 1,6% yang mempunyai titer antibodi yang protektif terhadap penyakit antraks, sehingga memiliki peluang besar akan terjangkitnya kembali penyakit antraks.

1. Riwayat makan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit antraks pada manusia. Selaras pendapat HADISAPUTRO (1990), infeksi antraks pada manusia dapat terjadi akibat makan daging yang mengandung bakteri antraks, atau seseorang menyentuh daging terinfeksi antraks ketika makan.

Hasil temuan KURNIAWATI et.al. (2005) ini dapat menjadi masukan terhadap fungsi sosialisasi dan pendidikan keluarga, dapat menerapkan pencegahan dan pengendalian penyakit antraks belum bahkan tidak teradopsi, karena tingkat pemahaman yang masih rendah, atau bahkan tidak paham sama sekali, seperti hal penting berikut :

1. Penyakit antraks merupakan penyakit viral yang dapat menyerang ruminansia besar, manusia, bersifat zoonosis, cara penanggulangannya menjadi semakin kompleks dan mahal. Penyakit antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis pembentuk spora. Spora antraks dapat terbentuk apabila bakteri kontak dengan udara atau oksigen, sangat resisten dan dapat survive bertahun-tahun di tanah, karena tahan terhadap perubahan lingkungan, sehingga sulit dimusnahkan. Spora antraks juga dapat hidup pada bulu hewan, wool, kulit, atau bahan yang terkontaminasi sehingga dapat menyebar kemana-mana. Sehingga suatu wilayah yang positif antraks dengan penanganan

yang kurang memadai sulit untuk penanggulangannya.

2. Adanya peluang terkena penyakit antraks, seperti peluang penularan penyakit antraks bernilai 99,4% dapat terjadi apabila jarak kandang yang terlalu dekat dengan rumah, kebersihan kandang yang kurang diper hatikan, saluran pembuangan air limbah yang tidak baik, dan vaksinasi ternak yang tidak dilakukan dengan baik, serta adanya riwayat makan daging dan jeroan. Jarak kandang yang tidak rapat, kebersihan kandang bersih, saluran pembuangan air limbah baik, dilaku kannya vaksinasi ternak, serta tidak makan daging maupun jeroan yang mempunyai probabilitas terkena antraks adalah 85,5% (KURNIAWATI et.al., 2005).

3. Gejala penyakit antraks pada ternak : demam secara tiba-tiba, badan lemah dan gemetar, sesak napas, pembengkakan pada leher, dada dan alat kelamin, serta sela put lendir mata merah, mula-mula berak tertahan, kemudian encer, kadang bercam pur darah. Ternak mati mengeluarkan darah dari lubang hidung, mulut, telinga, anus, dan alat kelamin. 4. Kerja yang hiegienis, salah satu upaya

yang harus dilakukan oleh mereka yang kontak dengan ternak, baik dalam keadaan mati, apalagi ketika hidup. Pencegahan pada ternak terinfeksi antraks, yakni pemusnahan ternak yang terinfeksi dan vaksinasi pada ternak yang sehat. Pada manusia kelompok beresiko tinggi hindari kontak langsung dengan ternak terinfeksi antraks.

5. Laporkan ke petugas peternakan jika ada ternak yang memiliki gejala penyakit antraks; dan laporkan ke petugas kesehatan apabila melihat ada keluarga, atau masyarakat sekitar mengindap gejala penyakit antraks. Keluarga, atau masyarakat tidak perlu resah berlebihan, kendati memang perlu waspada, dan mengikuti perkembangan yang ada. Pemahaman tentang penyakit antraks tersebut diatas menyebabkan peubah orang tua dalam menanamkan kebiasaan hidup sehat, atau menerapkan pencegahan dan pengendalian penyakit antraks menunjukkan pada tingkatan kategori sangat rendah sampai rendah (85–

(7)

100%). Menurut KOHN dan SCHOOKLER dalam RAHMAWATI (1999), bahwa perilaku orang tua kelas pekerja bawah erat kaitannya dengan pengalaman orang tuanya (ayah) di dalam pekerjaan, yaitu harus melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan untuk dilaksanakan. Mereka berasumsi bahwa anak-anak juga akan mempunyai pekerjaan sejenis dengan pekerjaannya. Pada orang tua dari kelas menengah, anak-anaknya diantisipasi supaya dapat memasuki pekerjaan yang memerlukan self-direction, kemampuan mengarahkan diri dan tanggung jawab, supaya kelak dapat menduduki pekerjaan manajerial dan profesional, dan akan menunjukkan keberhasilan diri.

PERAN INOVATOR DAN EARLY ADOPTER

Seorang inovator atau perintis memiliki ciri-ciri:

1. Gemar mencoba setiap hal-hal baru 2. Selalu mencari tahu dari orang-orang

yang sudah berhasil

3. Kadang-kadang mereka mencari sesuatu yang baru dari luar sistem sosialnya sendiri walaupun secara geografis letaknya sangat jauh, (d) mereka sangat berani dan berjiwa petualangan

4. Berani menerima resiko kadang-kadang mereka ini terburu nafsu.

Sementara itu, seorang pelopor atau teladan (early adopter) memiliki ciri-ciri:

1. Lebih berorientasi ke dalam sistem sosial sendiri

2. Selalu menggunakan perhitungan ekonomis sebelum dia memutuskan untuk menerima inovas

3. Terdiri dari pemuka pendapat/tua ada 4. Menjadi teladan bagi anggota sistem

sosial lainnya

5. Tetap berpegang pada aturan atau norma sosial yang berlaku dalam sistem sosial yang bersangkutan untuk menjaga posisinya dalam masyarakat yang bersangkutan. Inovator dan early adopter adalah dua kategori adopter pertama berdasarkan cepat lambatnya penerimaan terhadap suatu inovasi (ROGERS dan SHOEMAKER, 1971).

Peran inovator dan early adopter telah banyak diteliti dan dikaji, antara lain penerapan komponen teknologi PTT di Lubuk Bayas cenderung lebih konsisten dibandingkan Lubuk Rotan, jumlah yang memadai petani perintis dan pelopor, serta kedinamisan kelompok sebagai faktor pendukung. Faktor pendukung ini kurang ada ditemukan pada kelompok tani peserta PTT di Lubuk Rotan (WASITO et.al., 2004). Berdasarkan waktu didalam proses adopsi teknologi ROGERS dan SHOEMAKER (1971), membagi adopter dibagi dalam lima kategori, yaitu perintis (inovator) (2,5%); pelopor (early adopter) (13,5%); penganut dini (early majority) (34%); penganut lambat (late majority) (34%), dan kolot (laggard) (16%). Kalau dipetakan maka bentuk kurvanya seperti huruf S. Penyakit antraks sebagai peristiwa sangat vital ini dapat mempengaruhi keluarga, menyebar lebih cepat dan menjangkau sejumlah masyarakat yang lebih besar. Senada pendapat SUBARNA (1993), terdapat pola yang khas, hampir mendekati kurva yang membentuk huruf S (curve of diffusion).

KESIMPULAN

Tahun 2000 penyakit antraks muncul di Purwakarta, tahun 2001, 2002 di Bogor, tahun 2003 di DI Yogyakarta, dan tahun 2004 kasus antraks kembali di wilayah Bogor. Sejak 1999 – 2004 telah dilaporkan terdapat 599 kasus pada manusia, dan 22 orang telah meninggal dunia. Penyakit antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis yang dapat membentuk spora apabila kontak dengan oksigen di udara. Tanah merupakan tempat, atau sumber alami bakteri, sporanya sangat resisten, tahan terhadap panas dan dingin, dan dapat survive bertahun-tahun. Spora antraks juga dapat hidup pada bulu hewan, wool, kulit, atau bahan yang terkontaminasi sehingga dapat menyebar kemana-mana. Sehingga suatu wilayah yang positif antraks dengan penanganan yang kurang memadai sulit untuk penanggulangannya.

Pendekatan secara mikro, dengan mewujudkan eksistensi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, atau sistem sosial yang mempunyai tugas, atau fungsi sosialisasi dan pendidikan diharapkan mampu mengimplementasikan pengendalian penyakit

(8)

antraks, agar tidak menyebarluas dari satu wilayah ke wilayah lain. Disamping itu, keselarasan keunggulan teknologi pengendalian antraks (teknis, ekonomi dan sosial budaya), dan jumlah yang cukup memadai dari perintis (innovator) dan pelopor (early adopter), serta keberfungsian atau kedinamisan keluarga dan masyarakat memiliki kecenderungan berpengaruh nyata terhadap cepat lambatnya tingkat penerapan dan perembesan pengendalian antraks di suatu wilayah.

DAFTAR PUSTAKA

ADJID, R.M.A. dan Y. SANI. 2006. Ketersediaan teknologi veteriner dalam pengendalian penyakit strategis ruminansia besar. Workshop pengendalian penyakit strategis pada ruminansia besar dalam rangka mendukung program kecukupan daging 2010. Makalah presentasi.

ADJI, R.S. dan L. NATALIA. 2005. Deteksi plasmid dan toksin dari isolat lokal Bacillus anthra cis. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan DRAGON, D.C., and RENNIE, R.P. 1995. The

Ecology of Anthrax spores: tough but not invincible. Canadian Veterinary 36.

GDE PUTRA, A. A. 2006. Situasi penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar : Surveilans dan Monitoring. Workshop pengendalian penyakit strategis pada ruminansia besar dalam rangka mendukung program kecukupan daging 2010. Makalah presentasi.

GOODE, W.S. 1985. Sosiologi Keluarga. Bina Aksara, Jakarta.

KURNIAWATI, Y., H. KUSNOPUTRANTO dan G.M. SIMANJUNTAK. 2005. Dinamika Penularan dan Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Anthrax pada Manusia di Wilayah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Tahun 2004. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, Bogor, 15 September 2005. Puslitbang Peternakan.

LAY, B.W. dan SUGYO HASTOWO, 1992. Mikrobiologi.

MEGAWANGI,R.,U.SUMARWAN,HARTOYO, dan E. KARSIN. 1994. Peranan suami dalam peningkatan kampanye ibu sehat dan sejahtera, bekerjasama dengan BKKBN. Jurusan GMSK, Fakultas Pertanian – Institut Pertanian Bogor. Bogor

NURHADI, A., E. MARTINDAH dan S. WAHYUWARDANI. 1996. Studi antraks pada manusia dan ternak di Jawa Tengah. Pros. Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor 12 – 13 Maret 1996. Balai Penelitian Veteriner. OIE. 2000. Anthrax. In: Manual of standards

diagnostic and vaccines, World Health Organization.

RAHMAWATI, J. 1999. Analisis penerapan fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi dan pendidikan pada keluarga miskin di wilayah pedesaan dan perkotaan di masa krisis. Tesis program Pascasarjana – Institut Pertanian Bogor. Tidak publikasi.

ROGERS, E.M. dan F.F. SHOEMAKER. 1971. Communication of Inovation. New York. ROGERS, E.M. 1983. Diffusion of inovation. New

York Free Press.

SIREGAR, E.A. 2002. Antraks : Sejarah masa lalu, situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan kecenderungan perkembangan ilmu di masa depan. Simposium Sehari Penyakit Antraks : Antraks di Indonesia, masa lalu, masa kini dan masa depan. Balai Penelitian Veteriner, Bogor, 17 Juli 2002.

UBARNA, T. 1993. Perubahan Sosial : Penyebaran Inovasi. Terjemahan DeFleur, M.L. and Dennis, E.E. 1988. Social Change: The Spread of Innovations in Understanding Mass Communications, Boston, Honghton, Mifflin Coy.

WAHYUNI, A.E.T.H. 2005. Tinjauan hasil vaksinasi anthrax pada sapi dan kambing – domba di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, Bogor, 15 September 2005. Puslitbang Peternakan

WASITO,T.SEMBIRING,N.PRIMAWATI,D.HARAHAP, RINALDI dan H. SEMBIRING. 2004. Perembe san teknologi padi pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu di Serdang Bedagai Sumatera Utara. Makalah Pekan Padi Nasional II (Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi (Puslitbang Tanaman Pangan)

Gambar

Tabel 1. Prevalensi antibodi antraks (ELISA) pasca vaksinasi pada sapi dan kerbau tahun 2005 di wilayah  BPPV Denpasar
Tabel 2. Wabah besar antraks di wilayah kerja BPPV regional VI Denpasar
Gambar 2. P value masing-masing variabel independen 0     0,2 0,4 0,6 0,81 1,2Variabel independen P

Referensi

Dokumen terkait

Sejak tahun 2016, Dinas Pertanian Kota Palangka Raya melakukan program peningkatan produksi Cabe Merah pada empat wilayah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman

Ramulyo, Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet.. Syarifudin,

Hal tersebut mengakibatkan peningkatan biaya pecadangan yang lebih besar dari pada peningkatan pendapatan, maka laba akan menurun dan ROA menurun, Selama periode triwulan

Analisa termal lingkungan kerja dilakukan dengan melihat nilai Heat Stress Index (HSI), nilai (Wet Bulb Globe Temperature) WBGT dan menghitung waktu rekomendasi paparan

komitrnen organisasi yang dibentuk menghasilkan nilai CR 2,227 ' Nilai tersebut lebih besar >-t l.96 (Tabel t, p = 0,05) sehingga hipotesis nol dapat ditolak'

The language mixing in the child’s speech is likely to occur since the language the child hears is already mixed, and that some of it, at least, contains borrowed words or loan

Serangkaian kegiatan pada PPL 2 diadakan dengan tujuan agar mahasiswa praktikan dapat belajar bagaimana melakukan proses belajar mengajar yang baik dan mempunyai

yang dapat memberikan peningkatan pada nilai fungsi tujuan Z maka solusi saat ini adalah optimal... YOUR