• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Chikungunya Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman Chikungunya Indonesia"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

614. 588 52 614. 588 52 Ind Ind P P

(2)

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat

Jenderal

Jenderal PengendaliPengendalian an Penyakit Penyakit dandan Penyehatan

Penyehatan LingkunLingkungangan Pedoman

Pedoman Pengendalian Pengendalian demam demam chikungunya,..chikungunya,.. ISBN

ISBN 978-602-235-152-8978-602-235-152-8 1.

1. Judul Judul I. I. DENGUEDENGUE 614. 588 52 614. 588 52 Ind Ind P P

(3)

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat

Jenderal

Jenderal PengendaliPengendalian an Penyakit Penyakit dandan Penyehatan

Penyehatan LingkunLingkungangan Pedoman

Pedoman Pengendalian Pengendalian demam demam chikungunya,..chikungunya,.. ISBN

ISBN 978-602-235-152-8978-602-235-152-8 1.

1. Judul Judul I. I. DENGUEDENGUE 614. 588 52 614. 588 52 Ind Ind P P

(4)

Pedoman Pengendalian

Pedoman Pengendalian

Demam Chikungunya

Demam Chikungunya

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

614. 588 52 614. 588 52 Ind Ind P P

(5)

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas terbitnya buku Pedoman Pengendaliaan Demam Chikungunya untuk melengkapi atau menyempurnakan edisi sebelumnya ( tahun 2007 )

Demam Chikungunya termasuk salah satu penyakit yang berpotensi KLB dengan penyebaran penyakit yang cepat.Sehingga dapat menimbulkan keresahan di masyarakat dan menyebabkan menurunnya produktivitas pada orang yang terjangkit

Sebagaimana kita ketahui bahwa vektor penular penyakit ini adalah nyamuk  Aedes spp juga sebagai penular Demam Berdarah Dengue ( DBD ) yang

merupakan penyakit endemis di Indonesia.Dengan demikian Demam

Chikungunya ini sangat berpotensi menjangkiti suatu daerah dan bahkan bisa menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.Tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit Chikungunya yaitu Manusia,Virus dan vector

perantara.

Kata Sambutan

(6)

Jakarta, 28 Agustus 2012 Direktur Jenderal PP dan PL

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP (K) NIP 19550903 198012 1 001

Pedoman Pengendaliaan Demam Chikungunya ini di harapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan pelatihan bagi seluruh SDM kesehatan di daerah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengendalian Demam Chikungunya.

Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini.Kritik,saran serta masukan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa yang akan datang.

(7)

Dewasa ini Indonesia menghadapi beban ganda dalam pembangunan

kesehatan, karena meningkatnya beberapa penyakit menular (re-emerging

diseases), sementara penyakit tidak menular dan penyakit degenerative mulai

meningkat. Di samping itu timbul pula berbagai penyakit baru (new-emerging

diseases), seperti SARS, Avian Influenza dll. Salah satu penyakit menular yang perlu menjadi perhatian Adalah Chikungunya yang jumlah kasusnya cenderung meningkat serta Penyebarannya semakin luas dan cenderung menimbulkan KLB, namun belum Pernah dilaporkan adanya kematian karena penyakit ini.

Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Indonesia pertama kali dilaporkan Pada tahun 1973 diSamarinda, Provinsi Kalimantan Timur dan Jakarta. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 dilaporkan KLB Chikungunya dibeberapa Provinsi. KLB Sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan serta lebih

sering terjadi didaerah sub urban.

Kata Pengantar

dr. Rita Kusriastuti, MSc

(8)

Demam Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty  dan Aedes  Albopictus seperti halnya vector penular Demam Berdarah Dengue (DBD).

Banyaknya Tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan

peningkatan kejadian Demam Chikungunya. Oleh karena itu penanggulangan vector penyakit Demam Chikungunya sama dengan upaya pengendalian vector DBD yaitu PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) baik secara fisik (3M), kimiawi (temephos) Maupun biologis (ikan pemakan jentik).

Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang  Telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Kritik, saran serta masukan

sangat Kami harapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang.

Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 28 Agustus 2012 Direktur PPBB

dr. Rita Kusriastuti, MSc NIP 195406011982122001

(9)

Daftar Isi

Daftar Isi

KATA SAMBUTAN

KATA SAMBUTAN

... ... iiii

KAT

KAT

A

A

PENG

PENG

ANTAR

ANTAR

... ... iviv

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

... ... vivi

 TIM PENYUS

 TIM PENYUS

UN

UN

... ... viiiviii

BAB I

BAB I

: PENDAHULU

: PENDAHULU

AN ...

AN ...

11 A. Latar

A. Latar Belakang Belakang ... ... 11 B. B. Tujuan Tujuan ... ... 22 C. C. Strategi Strategi ... ... 22 D. D. Sasaran Sasaran ... ... 33 E.

E. Ruang Ruang Lingkup Lingkup ... ... 33

BAB

BAB

II

II

:

:

EPIDEMIOLOGI

EPIDEMIOLOGI

... ... 44 A.

A. Besaran Besaran Masalah Masalah ... ... 44 B.

B. Etiologi Etiologi ... ... 55 C.

C. Vektor Vektor Penular Penular Chikungunya Chikungunya ... ... 55 D.

D. Faktor Faktor Resiko Resiko ... ... 88 E.

E. Mekanisme Mekanisme Penularan Penularan ... ... 99

BAB III : PROMOSI KESEHATAN

BAB III : PROMOSI KESEHATAN

DAN

DAN

PEMB

PEMB

ERDAY

ERDAY

AAN

AAN

MASYARAKAT

MASYARAKAT

... ... 1010

BAB

BAB

IV

IV

: T

: T

A

A

T

T

ALAKSANA

ALAKSANA

...

...

1313 A. D

A. Definisi efinisi Kasus Kasus ... ... 1313 B.

(10)

C.

C. Kepekaan Kepekaan dan dan Kekebalan Kekebalan ... ... 1414 D.

D. Gejala Gejala Klinis Klinis ... ... 1515 E.

E. Diagnosis Diagnosis Banding Banding ... ... 1717 F

F. . Pemeriksaan Pemeriksaan Laboratorium Laboratorium ... ... 1717 G.

G. Cara Cara Pengambilan Pengambilan Spesimen Spesimen ... ... 2020 H. H. TTerapi erapi ... ... 2222 I. I. Prognosis Prognosis ... ... 2323 J. J. Komplikasi Komplikasi ... ... 2323

BAB

BAB

V

V

: SURVEILAN

: SURVEILANS D

S D

AN PEN

AN PENANGGULANGAN

ANGGULANGAN KASUS

KASUS

...

...

2424 A.

A. Surveilans Surveilans ... ... 2424 B.

B. Pengendalian Pengendalian Vektor Vektor ... ... 3636 C.

C. Penanggulangan Penanggulangan Kasus Kasus ... ... 4343

BAB VI : LAMPIRAN ...

BAB VI : LAMPIRAN ...

4646

KEPUST

(11)

Tim Penyusun

Tim Penyusun

Pelindung :

Pelindung :

Direktur Jenderal PP dan PL : Direktur Jenderal PP dan PL :

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP (K), MARS, DTM&H, DTCE Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP (K), MARS, DTM&H, DTCE

Penasehat :

Penasehat :

Direktur PPBB : Direktur PPBB : dr. Rita Kusriastuti, MSc dr. Rita Kusriastuti, MSc

Penanggungjawab :

Penanggungjawab :

Kasubdit Pengendalian Arbovirosis : Kasubdit Pengendalian Arbovirosis : dr. Desak Made Wismarini, MKM dr. Desak Made Wismarini, MKM

Ketua :

Ketua :

dr. Darmawali Handoko, MEpid dr. Darmawali Handoko, MEpid

Anggota :

Anggota :

1.

1. drh. drh. Endang Endang Burni Burni Prasetyowati, Prasetyowati, MKesMKes

2.

2. dr. dr. Iriani Iriani SamadSamad

3.

3. dr. dr. Galuh Galuh Budhi Budhi Leksono Leksono AdhiAdhi

4.

4. dr. dr. Sri Sri HartoyoHartoyo

5.

5. dr. dr. Dauries Dauries AriyantiAriyanti

6.

6. Rohani Rohani Simanjuntak, Simanjuntak, SKM, SKM, MKMMKM

7.

7. Erliana Erliana Setiani, Setiani, SKM, SKM, MPHMPH

8.

(12)

Mitra Bestari :

1. dr. Bangkit Hutajulu, MScPH 2. Subangkit, S.Si, M.Biomed 3. drg. Ramadura, MPHM 4. Rosmaniar, SKep, Mkes

5. Sigit Darmanto, SKM, MEpid 6. Sri Murniati

7. Wahyuni

Penyunting :

1. drh. Endang Burni Prasetyowati, MKes 2. dr. Galuh Budhi Leksono Adhi

(13)
(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena banyak dipengaruhi faktor lingkungan dan perilaku hidup masyarakat. Terlebih lagi dalam kondisi sosial ekonomi yang memburuk, tentunya kejadian kasus penyakit menular memerlukan penanganan yang lebih serius, profesional, dan bermutu.

Indonesia juga menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan atau yang dikenal dengan double burden. Dewasa ini masih dihadapkan dengan meningkatnya beberapa penyakit menular (re-emerging diseases), sementara penyakit tidak menular atau degeneratif mulai meningkat. Di samping itu telah timbul pula berbagai penyakit baru (new-emerging diseases). Salah satu masalah yang menjadi perhatian dan tercantum dalam PERPRES No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014 adalah pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti upaya penyehatan lingkungan. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian dan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dewasa ini yaitu Demam Chikungunya yang penyebarannya semakin luas.

Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts)  yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ), tahun 2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten, tahun 2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah.

(15)

Secara epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial untuk timbulnya KLB Chikungunya.

Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk  Aedes Aegypti   dan Aedes albopictus  seperti halnya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cara penanggulangannya telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Penanggulangan secara lintas program dan lintas sektor telah dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, sehingga cara penanggulangan penyakit Chikungunya bukan merupakan sesuatu hal yang sangat khusus, namun dapat dilakukan secara bersamaan dengan upaya pengendalian penyakit DBD. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyusun suatu kebijakan yaitu Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya sebagai landasan dan acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan pada k hususnya.

B. Tujuan

 Tujuan dari Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya ini adalah sebagai landasan dan acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian Demam Chikungunya sesuai dengan standar atau prosedur yang telah ditetapkan.

C. Strategi

Strategi utama pengendalian Demam Chikungunya adalah:

1. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan Demam Chikungunya

2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas 3. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi Demam Chikungunya 4. Meningkatkan sumber daya dalam upaya pengendalian Demam

(16)

D. Sasaran

• Seluruh lapisan masyarakat • SDM Kesehatan

• Stakeholders/ pemangku kepentingan terkait

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pedoman ini meliputi : • Epidemiologi Demam Chikungunya

• Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat • Tatalaksana penderita

(17)

A. Besaran Masalah

1. Sejarah dan Penyebaran Penyakit

Dari sejarah diduga KLB Chikungunya pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo; 1823 di Zanzibar; 1824 di India; 1870 di Zanzibar; 1871 di India; 1901 di Hongkong, Burma, dan Madras; 1923 di Calcuta.

Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah “dengue”, ini dapat diartikan bahwa infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue. Istilah“Chikungunya”  berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti “Orang yang  jalannya membungkuk dan menekuk lututnya”, suku ini bermukim di dataran tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (yang sebelumnya bernama Tanganyika). Istilah Chikungunya juga digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara tersebut. Pada demam Chikungunya adanya gejala khas dan dominan yaitu nyeri sendi.

Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika dan menyebar ke Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1954. Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam, Manila dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka.

2. Permasalahan Chick di Indonesia

Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada tahun 1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ) pada tahun 2001, yang menyerang secara bersamaan pada penduduk di satu kesatuan wilayah (RW/Desa ).

BAB II

(18)

Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa  Timur dan lain-lain. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa kematian.

Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.

B. Etiologi

Virus Chikungunya adalah Arthopod borne virus  yang ditransmisikan oleh beberapa spesies nyamuk. Hasil uji Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Komplemen Fiksasi, virus ini termasuk genus alphavirus ( “Group A” Arthropod-borne viruses) dan famili Togaviridae. Sedangkan DBD disebabkan oleh“Group B” arthrophod-borne viruses (flavivirus).

C. Vektor Penular Chikungunya

Vektor utama penyakit ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti  dan Aedes albopictus. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut.

Nyamuk  Aedes spp  seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur - jentik (larva) - pupa - nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Stadium  jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (Pupa) berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.

(19)

1. Habitat Perkembangbiakan

Habitat perkembangbiakan  Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti  dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir , tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll).

3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu dan tempurung coklat/karet, dll.

2. Perilaku Nyamuk Dewasa

Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku,

(20)

sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk  Aedes sp

 jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus gonotropik.

Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 -17.00. Aedes aegypti  mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.

Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telurnya.

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Setiap kali ber telur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

.

(21)

3. Penyebaran

Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp  betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes spp tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes spp dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.

4. Variasi Musiman

Pada musim hujan populasi  Aedes sp  akan meningkat karena telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Demam Chikungunya.

D. Faktor Resiko

 Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit Chikungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara.

Beberapa faktor penyebab timbulnya KLB demam Chikungunya adalah: 1. Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi

2. Sanitasi lingkungan yang buruk.

3. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk (sanitasi lingkungan yang buruk)

Ada gelombang epidemi 20 tahunan mungkin terkait perubahan iklim dan cuaca. Anti bodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali.

(22)

E. Mekanisme Penularan

Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk  Aedes SPP   Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.

Gambar 2. 3. Mekanisme Penularan

 Nyamuk yang mengandung virus Chikungunya menggigit orang lain yang

(23)

Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru (perubahan perilaku). Dalam upaya pengendalian Demam Chikungunya strategi promosi kesehatan yang harus dilakukan adalah (1) Pemberdayaan masyarakat, (2) Pembinaan suasana lingkungan sosialnya, dan (3) Advokasi kesehatan kepada pihak-pihak yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan pengendalian Demam Chikungunya. Untuk mendukung dan menanggulangi masalah kesehatan diperlukan kemitraan dengan melibatkan berbagai sektor yaitu lembaga pemerintah, dunia usaha, media massa dan organisasi masyarakat lainnya dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan.

Kegiatan promosi kesehatan dalam pengendalian Chikungunya yang dapat dilakukan meliputi:

1. Advokasi Kesehatan

Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan pimpinan media massa agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan Chikungunya sesuai dengan bidang tugas dan keahlian masing-masing. Dengan metode lobby, pendekatan Informal, dan penggunaan media massa

Adapun hasil yang diharapkan antara lain :

- adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya (SDM, dana dan sumber daya lainnya) dalam pengendalian Demam Chikungunya

- Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang ber-anggotakan lembaga pemerintah lintas program dan lintas sektor terkait, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader, organisasi pemuda,

BAB III

PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

(24)

organisasi profesi organisasi wanita, organisasi agama, LSM, organisasi kemasyarakatan, pihak swasta dan dunia usaha untuk membahas dan memberi masukan dalam pengendalian Demam Chikungunya

2. Bina Suasana

Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan penanggulangan Chikungunya. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/ idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung proses Pemberdayaan Masyarakat, khususnya dalam upaya mengubah para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau dalam Penanggulangan Chikungunya, perlu dilakukan Bina Suasana dengan metode meliputi orientasi, pelatihan, kunjungan lapangan, jumpa pers, dialog terbuka/interaktif di berbagai media, lokakarya/seminar, penulisan artikel di media massa, khotbah di tempat peribadatan.

Adapun Hasil yang ingin dicapai antara lain :

- Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya pengendalian Chikungunya

- Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan mendukung pengendalian Chikungunya

- Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari kelompok potensial yang ada di masyarakat

3. Pemberdayaan Masyarakat

Adalah upaya menumbuhkan kesadaran dan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuannya sebagai aspek perubahan perilaku untuk mengenali/mendeteksi dini penyakit Chikungunya dan melakukan upaya pencegahan melalui

(25)

Gerakan PSN yang terkoordinir. Dengan metode meliputi : promosi individu, promosi kelompok, promosi massa

Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk pengendalian Chikungunya secara mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara aktif dalam pengendalian Chikungunya. Tujuan dari strategi pemberdayaan adalah meningkatkan peran serta Individu, keluarga dan masyarakat agar tahu, mampu dan mau, berperan serta dalam pengendalian Demam Chikungunya.

Hasil yang diharapkan dari pemberdayaan masyarakat adalah :

- Tumbuhnya kepedulian masyarakat dalam pengendalian Demam Chikungunya

- Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pengendalian Demam Chikungunya

Mengingat sampai saat ini belum ada obat dan vaksin terhadap penyakit ini, maka upaya pencegahan dititikberatkan pada pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan membasmi jentik nyamuk penular di sekitar tempat tinggal melalui gerakan PSN 3M Plus.

4. Kemitraan melalui POKJANAL

Adalah percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya pengendalian Demam Chikungunya melalui semua pihak, semua komponen masyarakat dan unsur pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, perguruan tinggi, media massa, penyandang dana, dan lain-lain. Hasil yang diharapkan antara lain adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya termasuk kesehatan.

Pelaku Kemitraan meliputi semua pihak, semua komponen masyarakat dan unsur pemerintah, Lembaga Perwakilan Rakyat, perguruan tinggi, media massa, penyandang dana, dan lain-lain, khususnya swasta.

(26)

A. Definisi Kasus

Demam Chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIKV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk(Arthropod –borne virus/ mosquito-borne virus). Virus Chikungunya termasuk genus Alphavirus, famili Togaviridae.

Diagnosis kasus Demam Chikungunya ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut: (Modifikasi Klasifikasi WHO SEARO,2009)

Kriteria Klinis:  Demam mendadak > 38,5ºC dan nyeri persendian hebat (severe athralgia) dan atau dapat disertai ruam(rash).

Kriteria Epidemiologis:  Bertempat tinggal atau pernah berkunjung ke wilayah yang sedang terjangkit Chikungunya dengan sekurang-kurangnya 1 kasus positif RDT/ pemeriksaan serologi lainnya, dalam kurun waktu 15 hari sebelum timbulnya gejala (onset of symptoms)

Kriteria Laboratoris: sekurang-kurangnya salah satu diantara pemeriksaan berikut:

• Isolasi virus

• Terdeteksinya RNA virus dengan RT-PCR

• Terdeteksinya antibodi IgM spesik virus Chik pada sampel serum

• Peningkatan 4 kali lipat(four-fold) titer IgG pada pasangan sampel yang diambil pada fase akut dan fase konvalesen (interval sekurang-kurangnya 2-3 minggu)

Berdasarkan kriteria di atas, Diagnosis Demam Chikungunya digolongkan dalam 3 kategori yaitu:

1. KASUS TERSANGKA(Suspected case/ Possible case) Penderita dengankriteria klinis.

BAB IV

(27)

2. KASUS PROBABEL(Probable case)

Penderita dengankriteria klinis + kriteria epidemiologis 3. KASUS KONFIRM(Confirmed case)

Penderita dengankriteria laboratoris.

B. Masa Inkubasi

Masa inkubasi terdiri dari masa inkubasi intrinsik dan ekstrinsik. Masa inkubasi intrinsik adalah periode sejak seseorang terinfeksi virus Chik sampai timbulnya gejala klinis, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik adalah periode sejak nyamuk terinfeksi virus Chik sampai virus tersebut dapat menginfeksi orang lainnya melalui gigitan nyamuk tersebut.

Masa inkubasi intrinsik Chikungunya rata-rata antara 3-7 hari (range 1-12 hari), sedangkan masa inkubasi ekstrinsik berkisar 10 hari. (WHO PAHO, 2011).

Gambar 4.1. Masa Inkubasi

C. Kepekaan dan Kekebalan

Sekali seseorang terinfeksi virus Chik maka akan diikuti dengan terbentuknya imunitas jangka panjang (long-lasting imunity) di dalam tubuh penderita (WHO

(28)

PAHO, 2011). Sampai saat ini hanya diketahui satu serotipe Chikungunya.  Terjadinya serangan kedua belum diketahui dengan pasti.

D. Gejala Klinis

1. Demam

Pada fase akut selama 2-3 hari selanjutnya dilanjutkan dengan penurunan suhu tubuh selama 1-2 hari kemudian naik lagi membentuk kurva“Sadle back fever”  (Bifasik). Bisa disertai menggigil dan muka kemerahan(flushed face). Pada beberapa penderita mengeluh nyeri di belakang bola mata dan bisa terlihat mata kemerahan (conjunctival injection).

2. Sakit persendian

Nyeri persendian ini sering merupakan keluhan yang pertama muncul sebelum timbul demam. Nyeri sendi dapat ringan (arthralgia) sampai berat menyerupai artritis rheumathoid , terutama di sendi – sendi pergelangan kaki (dapat juga nyeri sendi tangan) sering dikeluhkan penderita. Nyeri sendi ini merupakan gejala paling dominan, pada kasus berat terdapat tanda-tanda radang sendi, yaitu kemerahan, kaku, dan bengkak. Sendi yang sering dikeluhkan adalah pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku, jari, lutut, dan pinggul.

Gambar 4.2. Pembengkakan persendian

Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan lutut tertekuk dan berusaha mengurangi dan membatasi gerakan.

(29)

Artritis ini dapat bertahan selama beberapa minggu, bulan bahkan ada yang sampai bertahan beberapa tahun sehingga dapat menyerupai Rheumatoid Arthritis.

3. Nyeri otot

Nyeri otot (fibromyalgia) bisa pada seluruh otot terutama pada otot penyangga berat badan seperti pada otot bagian leher, daerah bahu, dan anggota gerak. Kadang - kadang terjadi pembengkakan pada otot sekitar sendi pergelangan kaki (achilles) atau sekitar mata kaki.

4. Bercak kemerahan (rash) pada kulit

Kemerahan di kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-papular (viral rash), sentrifugal (mengarah ke bagian anggota gerak, telapak tangan dan telapak kaki). Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih sering muncul pada hari ke 4 - 5 demam. Lokasi kemerahan di daerah muka, badan, tangan, dan kaki.

Gambar 4. 3. Bercak kemarahan pada kaki dan telapak tangan

5. Kejang dan penurunan kesadaran

Kejang biasanya pada anak karena demam yang terlalu tinggi, jadi kemungkinan bukan secara langsung oleh penyakitnya. Kadang-kadang kejang disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan cairan spinal (cerebro spinal ) tidak ditemukan kelainan biokimia atau jumlah sel.

6. Manifestasi perdarahan

Tidak ditemukan perdarahan pada saat awal perjalanan penyakit walaupun pernah dilaporkan di India terjadi perdarahan gusi pada 5 anak dari 70 anak yang diobservasi.

(30)

7. Gejala lain

Gejala lain yang kadang-kadang dapat timbul adalah kolaps pembuluh darah kapiler dan pembesaran kelenjar getah bening.

E. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding penyakit Chikungunya yang paling mendekati adalah Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue

Tabel 4. 1. Manifestasi Utama yang membedakan Chikungunya dengan Dengue (WHO SEARO, 2009)

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Untuk memastikan diagnosis perlu pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu: Isolasi virus dari inokulasi serum fase akut, pemeriksaan serologis dengan cara ELISA, pemeriksaan IgG dan IgM dengan metode Immuno Fluorescent Assay (IFA), pemeriksaan materi genetik dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), pemeriksaan antibodi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi   (H.I Test) menggunakan serum diambil pada masa akut ( hari ke 5 mulai demam ) dan serum konvalesen pada minggu ke 2 sesudah demam sertasequencing.

Karakteristik yang membedakan Tanda dan Gejala klinis

Parameter Laboratorium

1. Onset demam Akut Gradual

1. Leukopenia Sering Jarang

2. Lama demam 1 - 2 hari 5 - 7 hari

2. Trombositopenia Jarang Sering

3. Ruam makulopapular Sering Jarang 4. Timbul syok dan

perdarahan masif 

Tidak lazim Lazim

5. Nyeri sendi Sering dan bisa lebih dari 1 bulan

 Jarang dan berlangsung singkat

(31)

1. Isolasi Virus

Isolasi virus chikungunya didasarkan pada inokulasi spesimen biologis dari nyamuk atau dari manusia (serum) secara invitro dengan menggunakan kultur jaringan sel vero, BHK-21, HeLa sel dan sel C6/36. Isolasi virus juga dapat dilakukan secara in vivo dengan menggunakan anak mencit yang masih menyusui (suckling mice).

Jenis untuk isolasi virus chikungunya adalah serum pada masa akut 0-6 hari, tetapi ada beberapa literatur menyebutkan bisa sampai 8 hari. Spesimen yang berasal dari nyamuk juga dapat digunakan untuk bahan isolasi virus. Semua spesimen biologis untuk isolasi virus harus diproses secepatnya, bila memang perlu ditunda maksimal penundaan adalah 48  jam dengan disimpan pada suhu 2-8oC

2. Deteksi Viral RNA

Deteksi viral RNA virus chikungunya dapat dilakukan pada saat akut penderita (<8 hari). Deteksi viral RNA juga dapat menggunakan spesimen biologis dari nyamuk (vektor). Deteksi viral RNA didasarkan pada gen NSP1 atau E16 saat ini telah dikembangkan berbagai macam teknik deteksi viral RNA virus chikungunya yaitu secara RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction) dan Real Time PCR.

3. Serologi (Deteksi IgM dan atau IgG)

Infeksi Chikungunya juga dapat dideteksi secara serologi dengan mendeteksi anti-chik berupa IgM atau IgG. Sampai saat ini telah banyak dikembangkan teknik diagnostik untuk mendeteksi chikungunya secara serologi diantaranya Haemaglutination, Complement Fixation Test  (CFT), Immuno flourescent assay   (IFA), dan Plaque Reduction Neutralization Testing (PRNT). Antibodi IgM dapat dideteksi dari hari ke-4 infeksi sampai beberapa minggu waktu lamanya. Antibodi IgG dapat dideteksi hari ke-15 sampai beberapa tahun lamanya.

(32)

  Interpretasi:

1. Bila IgM (-) dan IgG (-) dengan gejala klinis jelas, pemeriksaan diulang 10-14 hari kemudian.

Bila hasil pemeriksaan ulang IgM (+) IgG(-) berarti infeksi akut  primer 

2. Bila IgM (-)IgG(+) dilakukan pemeriksaan ulang 10-14 hari kemudian.

Bila hasil pemeriksaan ulang IgG (+) dengan kenaikan titer >4X berartiinfeksi sekunder.

3. Bila IgM (+) IgG(+) berarti sedang terjadiinfeksi sekunder 

Untuk saat ini untuk pemeriksaan konfirmasi diagnosis chikungunya dapat dilakukan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALIT BANGKES), B/BTKL PP, RSPI Soelianti Saroso, Labkesda. Metode yang digunakan adalah secara deteksi Antibodi (IgM dan atau IgG), deteksi molekuler (RT-PCR) dan Isolasi virus jika diperlukan.

Spesimen yang digunakan adalah Serum atau Plasma penderita pada masa akut. Jumlah spesimen yang dibutuhkan untuk konfirmasi KLB chikungunya adalah 5-10 spesimen dari setiap satuan KLB (per kecamatan/ per puskesmas). jika jumlah penderita > 10, namun jika  jumlah penderita < 10 maka untuk konfirmasi jumlah spesimen yang

diperiksa jumlah penderita.

(33)

Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan :

1. Hematologi rutin

a. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin.

Biasanya dijumpai Hb normal atau anemia bila ada perdarahan . b. Pemeriksaan Trombosit

Dapat ditemukan Trombositopenia c. Pemeriksaan Hematokrit

Ht normal atau meningkat bila dengan dehidrasi d. Pemeriksaan Leukosit

Leukopenia atau juga leukositosis e. Hitung Jenis Leukosit

Pada hitung jenis bisa dijumpai relatif limfositosis. f. Pemeriksaan Laju Endap Darah

LED meningkat karena adanya infeksi

2. Kimia Klinik 

Fungsi hati : SGOT, SGPT dan bilirubin total/direk yang bisa meningkat bila dijumpai hepatomegali.

CK (Creatinin Kinase) yang meningkat karena adanya nyeri otot.

3. Serologis Chik: Rapid Diagnostic Test   (RDT) terhadap anti-IgM Chikungunya dapat dilakukan sebagai penapisan (screening) untuk diagnosis chikungunya.

Pemilihan Rapid Diagnostik Test (RDT) juga harus memenuhipersyaratan sensitifitas dan spesifisitas diatas 85% dengan uji lokal.

4. Serologis Dengue : Anti Dengue IgM-IgG untuk menyingkirkan DBD

G. CARA PENGAMBILAN SPESIMEN

Waktu pengambilan spesimen adalah pada periode :

Akut : 0-8 hari setelah timbul gejala/onset of symptom

(34)

Adapun cara pengambilan adalah sebagai berikut:

1. Lakukan vena punksi untuk mengambil darah vena sebanyak 3–5 ml lalu dimasukkan dalam tabung kaca yang pakai penutup. Pengambilan darah dilakukan secara aseptik dapat menggunakan spuit atau venoject.

2. Diamkan pada suhu kamar selama 10 - 15 menit sampai darah membeku.

3. Kemudian lakukan sentrifugasi 1500-2000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan serumnya.

4. Pisahkan serum dengan menggunakan pipet dan masukkan ke dalam tabung sampel dengan tutup ulir yang sudah diberi identitas pasien. Hindari menggunakan tabung kaca untuk mengirim spesimen serum.

Gambar 4. 5. Pengambilan darah

a. menggunakan spuit/jarum suntik  b. menggunakan venoject

5. Sebelum dikirim ke laboratorium yang mampu memeriksa misalnya: Litbangkes, B/BTKL PP, BLK atau LABKESDA, spesimen serum disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4-8oC(BUKAN DI DALAM FREEZER). 6. Pengiriman spesimen serum harus sesuai prosedur, didalam cool box

dengan dilapisi dry ice/ cool  pack supaya suhu pengiriman tetap antara 4-8oC. JANGAN mengirimkan spesimen dalam bentuk Whole Blood (darah lengkap), karena dapat menjadi lisis dan mempengaruhi hasil pemeriksaan lab.

7. Di dalam wadah tempat pengiriman harus disertakan data-data identitas penderita, juga meliputi tanggal mulai sakit, gejala-gejala yang timbul, tanggal pengambilan sampel.

(35)

8. Pada bagian luar wadah pengiriman harus dituliskan alamat pengirim dan penerima dengan jelas.

9. Sebelum mengirim sampel pasien, pengirim sebaiknya memberitahukan kepada penerima sampel, dalam hal ini Bagian Virologi Litbangkes, BLK, LABKESDA dan BTKL.

10. Jika diperlukan pemeriksaan lebih lanjut (sequensing) maka spesimen dikirim ke Balitbangkes

H. TERAPI

Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit ini belum ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simtomatis dan suportif.

1. Simtomatis

Antipiretik : Parasetamol atau asetaminofen (untuk meredakan demam) Analgetik : Ibuprofen, naproxen dan obat Anti-inflamasi Non Steroid (AINS) lainnya (untuk meredakan nyeri persendian/athralgia/arthritis) Catatan: Aspirin (Asam Asetil Salisilat) tidak dianjurkan karena adanya resiko perdarahan pada sejumlah penderita dan resiko timbulnya Reye’s syndrome pada anak-anak dibawah 12 tahun.

2. Suportif

• Tirah baring (bedrest ), batasi pergerakkan

• Minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat

muntah, keringat dan lain-lain.

• Fisioterapi

3. Pencegahan penularan

• Penggunaan kelambu selama masa viremia {sejak timbul gejala

(36)

I. PROGNOSIS

Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan adanya kematian. Keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi Chikungunya, 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort , 2,8% mempunyai persistent residual joint stiffness, tapi tidak nyeri, dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persistent, kaku dan sering mengalami efusi sendi.

J. KOMPLIKASI

Dalam literatur ilmiah belum pernah dilaporkan kematian, kasus neuroinvasif, atau kasus perdarahan yang berhubungan dengan infeksi virus Chikungunya. Pada kasus anak komplikasi dapat terjadi dalam bentuk : kolaps pembuluh darah, renjatan, Miokarditis, Ensefalopati dsb, tapi jarang ditemukan.

(37)

A. SURVEILLANS

Surveilans Chikungunya adalah proses pengumpulan pengolahan analisis dan interpretasi dan penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak / instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi Chikungunya dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.

Surveilan Chikungunya meliputi survey kasus dan survey vektor yang dapat dilakukan secara pasif dan aktif.

 Tujuan surveillans Chikungunya, yaitu:

1. Menghasilkan informasi yang cepat dan akurat agar dapat disebarluaskan sebagai dasar penanggulangan Chikungunya yang cepat dan tepat untuk menyususun perencanaan yang sesuai dengan permasalahannya. 2. Mendapatkan distribusi penyakit Chikungunya menurut orang, tempat,

dan waktu.

3. Mendapatkan trend kasus Chikungunya

4. Melakukan pengamatan kewaspadaan dini SKD KLB dalam rangka mencegah dan penanggulangan KLB secara dini.

Penetapan Kejadian Luar Biasa ( KLB ) Chikungunya merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 tentang jenis Penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulanganya.

1. Surveillans Kasus

Surveillan kasus Chikungunya adalah kegiatan surveillans yang dilakukan untuk menemukan kasus Chikungunya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara aktif maupun pasif.

BAB V

(38)

a. Surveilans pasif

Yaitu penemuan kasus berdasarkan informasi dan laporan dari sarana kesehatan (RS, puskesmas, klinik, laboratorium, KKP) maupun dari masyarakat. Informasi data dapat diperoleh melalui :

a.1.Laporan mingguan sistem ewars

EWARS (Early Warning Alert and Respon System)  melalui tersangka Chikungunya dengan trias gejala utama yaitu demam, nyeri sendi hebat dan ruam kemerahan di kulit (rash).

a.2. Laporan bulanan STP Puskesmas / RS a.3. Laporan bulanan program

a.4. Laporan Masyarakat b. Surveillans aktif

Yaitu penemuan kasus yg diperoleh melalui kunjungan lapangan untuk melakukan penegakan diagnosis secara epidemiologis berdasarkan gambaran umum penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah yang selanjutnya diikuti dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.

Kegiatan surveilans aktif penyakit Demam Chikungunya dapat dalam bentuk kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) berdasarkan kasus terlaporkan atau berdasarkan pertimbangan faktor resiko lainnya.

Kegiatan surveillans aktif dapat dilaksanakan oleh petugas Dinas Kesehatan/ Puskesmas setempat.

Tersangka Chikungunya hasil temuan surveilans aktif ditindak lanjuti  / dilaporkan ke sarana kesehatan / Puskesmas untuk di lakukan

pemeriksaan lanjutan.

2. Surveillans Vektor

Surveillans vektor Chikungunya adalah kegiatan surveillans yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya penularan kasus setempat dalam kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor

(39)

kepadatan vektor, mobilisasi masyarakat). Selain itu kegiatan ini dapat digunakan sebagai evaluasi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB).

 Tujuan dilaksanakan surveilan vektor Chikungunya adalah:

• Untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor Chikungunya

• Untuk mengetahui tempat perindukan potensial vektor Chikungunya • Untuk mengetahui jenis larva/jentik vektor Chikungunya

• Untuk mengukur indek-indek larva/jentik (ABJ, CI, HI, dan BI)

• Untuk mencari cara pengendalian vektor Chikungunya yang tepat • Untuk menilai hasil pengendalian vektor

• Untuk mengetahui tingkat kerentanan vektor Chikungunya terhadap

insektisida.

Dalam metode Surveilans Vektor Chikungunya yang ingin kita peroleh antara lain adalah data-data kepadatan vektor. Untuk memperoleh data-data tersebut tentulah diperlukan kegiatan survei, ada beberapa metode survei yang kita ketahui, meliputi metode survei terhadap nyamuk, jentik dan survei perangkap telur (ovitrap). Sebelum melakukan survei vektor Chikungunya diperlukan penentuan lokasi surveilans/ pengamatan, waktu pengamatan, cara pengamatan/ pengukuran vektor Chikungunya, persiapan peralatan dan bahan surveilans vektor Chikungunya, pengumpulan, pencatatan dan analisa data hasil surveilans/pengamatan.

1. Penentuan Lokasi Pengamatan

Lokasi yang akan diamati/diukur tingkat kepadatan vektor Chikungunya adalah lokasi yang diduga sebagai tempat perkembangbiakan/istirahat/ mencari makan nyamuk Aedes sp. yang berdekatan dengan kehidupan/ kegiatan manusia, antara lain :

a. permukiman penduduk,

b. tempat-tempat umum (sekolah, tempat ibadah, perkantoran dsb). Pengamatan/pengukuran kepadatan populasi vektor Chikungunya dapat dilakukan pada :

(40)

b. Wilayah yang pernah terjadi KLB Chikungunya.

c. Wilayah yang menjadi sasaran pengendalian vektor Chikungunya secara kimiawi dan biologi.

2. Pelaksanaan Pengamatan

Pengamatan kepadatan populasi vektor Chikungunya dilakukan mulai dari tingkat Puskesmas sampai Pusat, sebagai berikut :

a. Kader / PKK / Jumantik

Melakukan pemeriksaan jentik minimal 1 minggu sekali disetiap rumah pada wilayah kerja jumantik. Sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pelaksaanaan PSN.

b. Petugas puskesmas

1) Monitoring secara berkala minimal 3 bulan sekali pada wilayah kerja Puskesmas (PJB) dan dilakukan evaluasi pelaksaanaan PSN. 2) Pemeriksaan jentik berkala (PJB) juga dilakukan oleh

masing-masing puskesmas terutama di desa/kelurahan endemis (cross check ) pada tempat-tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti  /albopictus dari 100 sampel rumah/bangunan yang dipilih secara acak serta diulang untuk setiap siklus pemeriksaan.

3) Contoh cara memilih sampel 100 rumah/bangunan sebagai berikut:

a) Dibuat daftar RW dan RT untuk tiap desa/kelurahan b) Setiap RT diberi nomor urut

c) Dipilih sebanyak 10 RT sampel secara acak (misalnya dengan cara systematic random sampling) dari seluruh RT yang ada di wilayah desa/kelurahan

d) Dibuat daftar nama kepala keluarga (KK) atau nama TTU dari masing-masing RT sampel atau yang telah terpilih.

e) Tiap KK/rumah/TTU diberi nomor urut, kemudian dipilih 10 KK/ rumah/TTU yang ada di tiap RT sampel secara acak (misalnya dengan cara systematic random sampling).

(41)

Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh kader  jumantik dan Puskesmas secara berkala minimal 6 bulan sekali

d. Pengelola Program Arbovirosis di Dinkes Propinsi

Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh Dinkes Kab/ Kota secara berkala minimal 3 bulan sekali, untuk Dinkes Provinsi dan Pusat minimal 6 bulan sekali

Teknis Pengamatan

Beberapa teknis pengamatan terhadap telur, jentik, dan nyamuk melalui beberapa metode survei sebagai berikut :

a. Survei telur

Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ovitrap berbentuk tabung yang dapat dibuat dari potongan bambu, kaleng dan gelas platik/kaca. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah atau tempat yang gelap dan lembab. Cara kerja ovitrap adalah padel (berupa potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna gelap) yang dimasukkan kedalam tabung tersebut berfungsi sebagai tempat meletakkan telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di  padel , kemudian dihitung ovitrap index .

Perhitungan ovitrap index adalah: Ovitrap Index:

Jumlah padel dengan telur

x 100% Jumlah padel diperiksa

Untuk mengetahui gambaran kepadatan populasi nyamuk penular secara lebih tepat, telur-telur padel tersebut dikumpulkan dan dihitung  jumlahnya.

(42)

Kepadatan populasi nyamuk : Jumlah telur

= ……telur per ovitrap Jumlah ovitrap yang digunakan

b. Survei jentik

Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

2) Jika pada penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada  jentik.

3) Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air keruh.

Metode survei jentik: 1) Single larva

Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

(43)

2) Visual 

Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Biasanya dalam program CHIKUNGUNYA mengunakan cara visual. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik  Aedes sp. :

1) Angka Bebas Jentik (ABJ):

 Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik 

x 100%  Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

2) House Index (HI) :

 Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik 

x 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

3) Container Index (CI ):

 Jumlah container dengan jentik 

x 100% Jumlah container yang diperiksa

4) Breteau Index (BI):

Jumlah container dengan jentik dalam 100 rumah/bangunan

c. Survei nyamuk 

Survei nyamuk dilakukan dengan cara menangkap nyamuk menggunakan umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.

(44)

Indeks-indeks nyamuk yang digunakan: 1) Landing rate :

 Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap umpan orang

 Jumlah penangkapan x jumlah jam penangkapan

2) Resting per rumah:

Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap

Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan

Apabila ingin diketahui rata-rata umur nyamuk di suatu wilayah, dilakukan pembedahan perut nyamuk-nyamuk yang ditangkap untuk memeriksa keadaan ovariumnya di bawah mikroskop. Jika ujung pipa-pipa udara (tracheolus) pada ovarium masih menggulung, berarti nyamuk itu belum pernah bertelur (nuliparous). Jika ujung pipa-pipa udara sudah terurai/terlepas gulungannya, maka nyamuk itu sudah pernah bertelur ( parous).

(45)

Untuk mengetahui rata-rata umur nyamuk, apakah merupakan nyamuk-nyamuk baru (menetas) atau nyamuk-nyamuk-nyamuk-nyamuk yang sudah tua digunakan indek parity rate.

Parity rate :

Jumlah nyamuk Aedes aegypti dengan ovarium parous

x 100% Jumlah nyamuk yang diperiksa ovariumnya

Bila hasil survei entomologi suatu wilayah, parity rate-nya rendah berarti populasi nyamuk-nyamuk di wilayah tersebut sebagian besar masih muda. Sedangkan bila  parity rate-nya tinggi menunjukkan bahwa keadaan dari populasi nyamuk di wilayah itu sebagian besar sudah tua. Untuk menghitung rata-rata umur suatu populasi nyamuk secara lebih tepat dilakukan pembedahan ovarium dari nyamuk-nyamuk parous, untuk menghitung jumlah dilatasi pada saluran telur ( pedikulus).

Umur populasi nyamuk = rata-rata jumlah dilatasi x satu siklus gonotropik    Contoh:

Bila jumlah dilatasi nyamuk rata-rata 3 dan siklus gonotropiknya 4 hari, maka umur rata-rata nyamuk tersebut adalah: 3x4=12 hari. Semakin tua rata-rata umur nyamuk semakin besar potensi terjadinya penularan di suatu wilayah.

(46)

3. Alat dan Bahan Survei

Alat dan bahan yang minimal harus tersedia untuk melaksanakan survei kepadatan populasi vektor Chikungunya adalah :

a. Peralatan

1) Peralatan umum

- Compound microskop, untuk memeriksa jentik dan ovarium - Senter, untuk menerangi sasaran survei (jentik/nyamuk)

- Petridish, untuk tempat jentik aatau nyamuk yang akaan diperiksa

- Tas, untuk membawa peralatan serta bahan survei 2) Peralatan survei telur

- Perangkap telur (ovitrap)

- Padel untuk tempat peletakan telur 3) Peralatan survei jentik 

- Gayung, untuk mengambil jentik  - Pipet, untuk mengambil jentik

- Botol kecil (vial larva), untuk tempat larva

- Susceptibility test kit larva (1 set peralatan uji kerentanan larva), untuk mengetahui tingkat kerentanan jentik terhadap insektisida

4) Peralatan survei nyamuk

- Stereo mikroskop, untuk identifikasi dan membedah nyamuk  - Loupe/kaca pembesar 10 x atau 20 x, untuk identifikasi

nyamuk dan kondisi perut nyamuk  - Aspirator, untuk menangkap nyamuk 

- Kotak nyamuk, untukmembawa nyamuk hidup - Kurungan nyamuk, untuk memelihara nyamuk  - Pinset ujung runcing, untuk memegang nyamuk  - Jarum seksi untuk membedah nyamuk 

(47)

- Gunting kecil, untuk memotong kain kasa dan kertas

- Susceptibility test kit untuk mengukur tingkat kerentanan nyamuk terhadap insektisida

- Bio Assay test kit, untuk mengukur tingkat efikasi insektisida b. Bahan survei

1) Bahan survei umum

- Objek glass (slide glass), untuk pemeriksaan jentik dan pembedahan ovarium

- Kaca penutup (cover glass), untuk menutup persediaan - Kertas label, untuk pemberian etiket

- Formulir-formulir entomologi Chikungunya, untuk pencatatan hasil survei

- Alat-alat tulis untuk menulis hasil survei

- Kertas tissu untuk membersihkan kaca benda 2) Bahan survei telur

- Kantong plastik, untuk tempat padel

- Kantong plastik besar, untuk membawa padel 3) Bahan survei nyamuk 

- Paper cup, untuk wadah nyamuk  - Kain kasa, untuk menutup paper cup

- Karet gelang, untuk mengikat kain kasa di paper cup

- Kapas untuk menutup lobang di kain kasa dan pemakaian kloroform

- Kloroform, untuk membius nyamuk 

- Jarum serangga no. 3, untuk pinning nyamuk  - Jarum secsi untuk membedah abdomen nyamuk.

4. Laporan hasil survey

Pencatatan hasil pemeriksaan jentik dilakukan oleh petugas kader dan pelaporannya dilakukan secara berjenjang sebagai berikut :

(48)

a. Laporan hasil survei oleh Kader / PKK / Jumantik

• Hasil pemeriksaan jentik dicatat pada kartu jentik rumah /

bangunan yang ditinggalkan di rumah/bangunan.

• FORMULIR JPJ-1 digunakan untuk pelaporan ke Puskesmas dan

instansi terkait.

b. Laporan hasil survei oleh Puskesmas

Pemeriksaan jentik yang dilakukan oleh kader/PKK/Jumantik harus dilakukan monitoring dan evaluasi oleh petugas Puskesmas secara berkala minimal 3 bulan sekali. Rekapitulasi hasil PJB dilaksanakan oleh Puskesmas setiap 3 bulan dengan melakukan pencatatan hasil pemeriksaan jentik di pemukiman (rumah) dan tempat-tempat umum pada FORMULIR PJB-1 dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

c. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Laporan PJB yang dilakukan oleh Puskesmas kemudian dilakukan rekapitulasi oleh Pengelola Program Chikungunya di Dinkes Kab/ Kota menggunakan FORMULIR PJB-2 dan dilaporkan kepada Dinkes Provinsi

d. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Provinsi

Hasil pemeriksaan jentik dari Dinkes Kab/Kota dilakukan rekapitulasi oleh Pengelola Program Chikungunya di Dinkes Provinsi menggunakan FORMULIR PJB-3 dan dilaporkan ke Pusat (Ditjen PP dan PL, Subdit Pengendalian Arbovirosis)

3. Pencatatan dan Pelaporan

Alur laporan dilakukan secara berjenjang dari puskesmas/rumah sakit ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, hingga Kemenkes RI (Cq. Subdit Pengendalian Arbovirosis, Ditjen PP dan PL). Alur pelaporan ini disesuaikan dengan yang tercantum dalam Permenkes No 1501/2010.

Puskesmas yang menerima/menemukan kasus Chikungunya akan menindaklanjuti dengan kegiatan PE dan melaporkan kasus menggunakan form-form pelaporan :

(49)

a. EWARS

b. Laporan hasil PE dapat dilihat pada Lampiran 2) c. Laporan bulanan (lampiran 3)

B. PENGENDALIAN VEKTOR

1. Metode Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit

Metode pengendalian vektor Chikungunya bersifat spesifik lokal, dengan mempertimbangkan faktor–faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, habitat perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Perilaku) dan aspek vektor.

Pada dasarnya metode pengendalian vektor Chikungunya yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan.

Berbagai metode PengendalianVektor (PV) Chikungunya yaitu: - Kimiawi

- Biologi

- Manajemen lingkungan

- Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN

- Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM) a. Kimiawi

Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak

(50)

terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran. Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian vektor adalah :

• Sasaran nyamuk dewasa adalah : Organophospat (Malathion, methyl  pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine, Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV

• Sasaran jentik dengan menggunakan larvasida : golongan

Organophospat (Temephos). b. Biologi

Pengendalian vektor dengan biologi menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan  jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung,

Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor .

Jenis pengendalian vektor biologi :

• Parasit :Romanomermes iyengeri 

• Bakteri :Baccilus thuringiensis israelensis

Golongan insektisida biologi untuk pengendalian vektor (Insect Growth Regulator  /IGR dan Bacillus Thuringiensis Israelensis /BTi), ditujukan untuk stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.

Insect Growth Regulators  (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis  selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs

(51)

memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).

Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida yang tidak menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTi cenderung secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari. c. Manajemen lingkungan

Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor. Nyamuk  Aedes sp sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan mengubur, dan plus: menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll)

d. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN

Pengendalian Vektor yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue PSN dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus dilakukan secara serempak dan terus menerus/berkesinambungan.  Tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat suksesnya gerakan ini. Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/individu untuk melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat untuk mau secara terus menerus

(52)

menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward bagi yang berhasil melaksanakannya.

1). Tujuan

Mengendalikan populasi nyamuk Aedes sp, sehingga penularan penyakit Demam Chikungunya dapat dicegah atau dikurangi.

2). Sasaran

Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular penyakit demam Chikungunya :

• Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari • Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari

(non-TPA)

• Tempat penampungan air alamiah

3). Ukuran keberhasilan

Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan Chikungunya dapat dicegah.

4). Cara PSN

PSN dilakukan dengan cara‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu: • Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air,

seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1). • Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong

air/tempayan, dan lain-lain (M2).

• Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3).

Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:

• Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.

• Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak 

• Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain)

(53)

• Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air

• Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air

• Memasang kawat kasa

• Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar • Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai • Menggunakan kelambu

• Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk  • Cara-cara spesik lainnya di masing-masing daerah.

Keseluruhan cara tersebut diatas dikenal dengan istilah dengan ’3M-Plus’.

5). Pelaksanaan a). Di rumah

Dilaksanakan oleh anggota keluarga. b). Tempat tempat umum

Dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan atau pengelola tempat tempat umum.

e. Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management )

IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM dalam pengendalian vektor Chikungunya saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokjanal, Kegiatan PSN anak sekolah dll.

2. Kegiatan Pengendalian Vektor Chikungunya

a. Kegiatan pengendalian vektor sesuai dengan tingkat administrasi

Kegiatan Pengendalian Vektor memberikan beban yang berbeda disetiap level administratif yaitu :

(54)

1). Pusat

Sesuai dengan Tupoksi Pusat, maka Kegiatan Pengendalian Vektor (PV) lebih diutamakan pada kegiatan penetapan kebijakan Pengendalian Vektor, Penyusunan standarisasi, modul juklak juknis, Monitoring dan evaluasi Pengendalian Vektor Nasional, serta Bimbingan teknis Pengendalian Vektor Nasional.

2). Provinsi

Di Tingkat Propinsi, kegiatan Pengendalian Vektor adalah : pelaksanaan kebijakan Nasional Pengendalian Vektor, merencanakan kebutuhan alat, bahan dan operasional PV, Monev PV, Bintek PV ke kabupaten.

3). Kabupaten

Otonomi daerah memberikan peran yang lebih luas kepada Kabupaten untuk secara aktif dan mandiri melakukan kegiatan PV di wilayahnya sesuai dengan kondisi spesifik lokal daerah. Untuk itu selain melaksanakan juklak/juknis dan pedoman, merupakan tugas kabupaten untuk merencanakan dan mengadakan alat, bahan operasional PV, Monev kegiatan PV , Bintek kegiatan PV di Puskesmas.

4). Puskesmas

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bertugas menjaga kesinambungan kegiatan PV oleh masyarakat di wilayahnya, menggerakkan peran serta masyarakat melalui kader, tokoh masyarakat, serta melakukan kegiatan PV secara langsung di masyarakat.

b. Operasional Pengendalian Vektor 1). Pengabutan (fogging/ULV )

Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan tenaga lain yang telah dilatih.

Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum Insektisida : Sesuai dengan dosis

(55)

Alat : Mesin fog atau ULV

Cara : Pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu minggu (petunjuk fogging terlampir)

2). Pemberantasan sarang nyamuk

Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing

Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu kesatuan epidemiologis

Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk : tempat penampungan air,barang bekas ( botol , pecahan gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang pagar/pelepah pisang, tempat minum burung, alas pot, dispenser, tempat penampungan air di bawah kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/bangunan dan tempat umum.

Cara : Melakukan kegiatan 3 M plus. (disesuaikan dengan lokal spesifik daerah terjangkit).

Contoh :

- Untuk daerah sulit air PSNnya tidak menguras, tetapi larvasidasi, ikanisasi, dll).

- Untuk daerah tandus tidak mengubur namun diamankan agar tidak menjadi tempat penampungan air.

- Untuk daerah mudah mendapatkan air menguras dengan sikat dan sabun

- PLUS: membakar obat nyamuk, menggunakan repelen, kelambu, menanam pohon sereh, zodia, lavender,geranium, pasang, obat nyamuk semprot, pasang kasa dll.

3). Larvasidasi

Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota

Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit

Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempat-tempat umum

(56)

Insektisida : Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi pemakaian insektisida instruksi Dirjen PP dan PL

Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB

C. PENANGGULANGAN KASUS

1. Penanggulangan fokus (PF)

a. Pengertian :

adalah kegiatan Pemberantasan nyamuk penular Chikungunya yg dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya, larvasidasi, penyuluhan, dan pengabutan panas (termal fog)/ pengabutan dingin (Ultra Low Volume / ULV) menggunakan insektisida.

b. Tujuan

Untuk membatasi penularan Demam Chikungunya dan mencegah terjadinya KLB meluas ke lokasi lainnya. Kegiatan dilakukan di tempat tinggal penderita Demam Chikungunya dan rumah / bangunan sekitar dan tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi tempat penularan Chikungunya lebih lanjut.

c. Kriteria PF

Bila pada hasil PE ditemukan penderita Chikungunya lainnya disekitar kasus pertama, dengan melakukan PSN masal dan fogging.

d. Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan

1). Petugas Puskesmas setelah menerima laporan adanya kasus segera mencatat di buku harian dan mempersiapkan peralatan untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE).

2). Petugas segera melapor ke Lurah dan Ketua RT/RW setempat bahwa di wilayahnya ada penderita/tersangka Chikungunya dan akan dilaksanakan langkah-langkah penanggulangan KLB.

3). Dalam melaksanakan kegiatan sebaiknya didampingi oleh Ketua RT/ Kader/Bidan desa atau tokoh masyarakat lainnya.

4). Petugas melakukan wawancara dengan keluarga penderita untuk mengetahui ada/tidaknya penderita demam disertai nyeri sendi

Gambar

Gambar 2.1. Siklus hidup nyamuk Aedes spp
Gambar 2. 2. Siklus gono tropik 
Gambar 2. 3. Mekanisme Penularan
Gambar 4.1. Masa Inkubasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Rem Hidrolik ini sangat rumit dan perlu perawatan yang berkala karena komponen-komponen rawan rumit dan perlu perawatan yang berkala karena komponen-komponen

Hasil Regresi Linear Berganda Pengaruh Umur, Tingkat Pendidikan, Jumlah Tanggungan, dan Masa Keanggotaan terhadap Dinamika Organisasi Koperasi Kredit Bermodal Besar.. Model Summary

terlihat bahwa upaya yang paling banyak dilakukan oleh warga desa untuk menjaga keamanan selama tahun 2011 secara berturut-turut adalah melakukan pemeriksaan

Baju pada gambar di atas memiliki simetri lipat. Karena lipatannya saling menutupi dan sama besar. Sehelai koran yang berbentuk persegi panjang jika dilipat dapat saling menutupi

[r]

Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri prokrastinasi akademik adalah penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi, keterlambatan dalam

Setelah dilakukan proses jartest didapatkan bahwa dosis optimum untuk penyisihan COD dengan menggunakan koagulan kitosan keong sawah adalah pada dosis 250 mg/L dengan

Dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik hematoma subdural pada bayi kurang dari 1 tahun, telah dilakukan penelitian retrospektif pada bayi usia kurang dari 1