• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gangguan skizofrenia sebagai dementia praecox. Istilah ini diambil dari bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gangguan skizofrenia sebagai dementia praecox. Istilah ini diambil dari bahasa"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Skizofrenia

Kraepelin (1856-1926) salah seorang bapak psikiatri moderen, menyebutkan gangguan skizofrenia sebagai dementia praecox. Istilah ini diambil dari bahasa Latin dementis yang berarti di luar ( de- ) jiwa seseorang (mens) , dan akae yang membentuk kata precocious, berarti sebelum atau tingkat atau kematangan dari seseorang. Kreplin meyakini bahwa dementia praecox adalah sebuah proses penyakit yang disebabkan oleh patologi yang spesifik, meskipun tidak diketahui di dalam tubuh. Sindrom ini dimulai pada masa awal kehidupan, dan proses yang terjadi sering sekali menghasilkan disintegrasi dari kepribadian yang menyeluruh (Krapelin, 1913). Deskripsi Kraepelin tentang dementia praecox meliputi bentuk-bentuk perilaku seperti waham, halusinasi dan perilaku motorik yang aneh.

Pada tahun 1911, Psikiater Swiss Eugen Bleuler (1857-1939) mengganti nama dementia praecox menjadi skizofrenia, yang berasal dari kata Yunani

schistos yang berarti terpotong atau terpecah, dan phren berarti otak. Bleuler memfokuskan karakteristik utama dari sindrom yaitu terpisahnya fungsi otak yang memperngaruhi kognisi, respon perasaan atau respon afektif dan tingkah laku atau psikomotor. Meskipun akar bahasa Yunani dari skizofrenia berarti otak yang terbelah, skizofrenia tidak diartikan sebagai gangguan identitas atau gangguan kepribadian ganda oleh masyarakat awam.

(2)

Meskipun Bleuler menerima penjelasan Kraepelin tentang simtom skizofrenia namun terdapat perbedaan antara penjelasan Kraepelin dan Bleuler, dimana Kraepelin mengatakan bahwa skizofrenia harus bermula sejak masa kanak-kanak.

Dalam kehidupan seseorang dan tanpa terelakkan menjadi semakin memburuk. Bleuler mengemukakan bahwa perkembangan skizofrenia lebih bervariasi dan belum tentu dimulai saat masih dalam masa kanak-kanak.

Sementara menurut Nevid, dkk (2003), skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronis yang ditandai oleh episode akut yang mencakup kondisi terputus dengan kenyataan sesungguhnya dan ditampilkan dengan ciri-ciri seperti waham, halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang aneh.

Menurut Maslim (2013) dalam buku Panduan Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III skizofrenia merupakan sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.

2.2. Penyebab Skizofrenia

Hingga saat ini banyak orang beranggapan bahwa penyebab gangguan mental merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia itu sendiri semasa hidupnya, karena itu jika masyarakat bertemu orang dengan gangguan mental mereka akan merasa takut dan akan langsung menjauhi orang tersebut serta keluarganya. Semakin banyak muncul prasangka, ketakutan, ketakhayulan dan anggapan misterius mengenai penyakit tersebut dari masyarakat.

(3)

Oleh sebab belum ditemukannya secara pasti penyebab dari skizofrenia maka para ahli berpendapat dan menemukan beberapa faktor penyebab skizofrenia.

Adapun faktor-faktor penyebab skizofrenia sebagai berikut :

1. Faktor biologis yaitu faktor gen yang melibatkan skizofrenia, obat-obatan, anak keturunan dari ibu skizofrenia, anak kembar yang identik.

2. Faktor psikologis yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pikiran, keyakinan, pendapat yang salah, ketidakmampuan membina, mempertahankan hubungan sosial, adanya delusi dan halusinasi abnormal dan gangguan afektif.

3. Faktor lingkungan yaitu pola asuh yang cenderung memunculkan gejala skizofrenia, adopsi keluarga skizofrenia dan tuntutan hidup yang tinggi pada penderita skizofrenia.

4. Faktor organis yaitu adanya perubahan atau kerusakan pada sistem syaraf sentral dan juga terdapat gangguan-gangguan pada sistem syaraf sentral, terdapat gangguan-gangguan pada sistem kelenjar adrenalin dan piluitari yaitu kelenjar yang berada dibawah otak manusia.

Semua gangguan tadi menyebabkan degenerasi pada energi fisik dan mentalnya. (Julianan & Nengah, 2013). Sedangkan Lumbantobing (2007) menyebutkan bahwa faktor penyebab skizofrenia bersifat multiple. Diantara faktor multiple tersebut antara lain : 1) Herediter atau genetik, dan 2) Gangguan anatomikdi otak.

(4)

2.3. Ciri-ciri Skizofrenia

Adapun ciri-ciri klinis utama skizofrenia yang diadaptasi dari SDM-IV-TR adalah sebagai berikut dimana dua atau lebih dari hal-hal berikut harus muncul dalam porsi yang signifikan selama munculnya penyakit dalam waktu 1 bulan : 1) Waham / delusi, 2) Halusinasi, 3) Pembicaraan yang tidak koheren, 4) Perilaku tidak terorganisasi atau katatonik, dan 5) afek datar.

Fungsi pada hubungan sosial, pekerjaan atau perawatan diri selama perjalanan penyakit secara nyata berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai sebelum munculnya gangguan. Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat suatu kegagalan untuk mencapai tingkat perkembangan sosial yang diharapkan dimasa yang akan datang.

Tanda-tanda gangguan dalam uraian diatas terjadi secara terus-menerus setidaknya 6 bulan. Masa 6 bulan ini harus mencakup fase aktif yang berlangsung setidaknya satu bulan dimana terjadi simtom psikotik seperti uraian diatas, yang merupakan karakteristik skizofrenia.

2.4. Gejala – gejala Skizofrenia

Berbagai gejala dari skizofrenia dapat ditemukan berdasarkan simtom 2.4.1. Gejala Positif

Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi khas yang terlihat pada penderita skizofrenia diantaranya :

(5)

1. Halusinasi auditoar ( pendengaran )

Mendengarkan suara, percakapan, bunyi asing dan aneh, atau mendengarkan musik yang sebenarnya tidak ada, merupakan gejala positif yang paling sering dialami penderita skizofrenia. Pasien dapat mendengar satu atau lebih suara yang menyapa dia langsung, berbagai suara yang didengarkan biasanya mengomentari atau mengejek apa yang dipikiran penderita atau tingkah lakunya.

Pada beberapa kasus suara-suara ini melekat pada identitas tertentu dan pasien dapat berkata-kata dan mengucapkan kata-kata seperti berikut : “ situkang ejek datang”, “ngapain datang menemuiku lagi”, atau “gak usah urusin urusanku”, dan sebagainya. Hal ini sebagai bukti bahwa mereka mendengarkan suara-suara tersebut.

Bentuk halusinasi lain dapat pula dijumpai, misalnya bau tidak sedap (olfaktoar), pengecapan (gustatoar), rasa nyeri konstan (somatik) atau gangguan visual (halusinasi visual). Namun bentuk halusinasi- halusinasi ini jarang dialami pada pasien skizofrenia.

2. Delusi (Waham)

Bentuk delusi yang paling sering dijumpai pada penderita skizofrenia adalah penyelipan pikiran, menarik pikiran dan penyiaran isi atau buah pikiran. Pasien percaya bahwa ada pemikiran yang dimasukkan, diinsersi ke dalam pikirannya, mengakibatkan terjadi kebingungan, kekacauan dan disorientasi. Ada buah pikiran yang ditarik mengakibatkan pikirannya

(6)

menjadi kosong atau ada pula kuasa dari luar yang mengakibatkan isi pikirannya didengar orang lain yang berada disekitarnya atau disiarkan. 3. Gangguan pikiran dan gangguan bicara pada penderita skizofrenia

Gangguan pikiran sering berbentuk asosiasi kata-kata yang tidak berkaitan, tidak berhubungan dan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Pada gejala skizofrenia dapat dijumpai delusi (waham), pasivitas (dikendalikan oleh kekuatan dari luar), dan gejala psikotik lainnya seperti halusinasi auditoar dan waham.

2.4.2. Gejala Negatif

Gejala-gejala berikut disebut gejala negatif karena merupakan ciri tambahan dari ciri khas yang menandakan seseorang telah kehilangan fungsi normal dirinya. Termasuk tanda kurang atau ketidakmampuan menampakkan atau mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan berbicara (alogia). Nancy Andreas dari University of LOWA menggolongkan gejala negatif atas 5 kelompok, antara lain :

1. Afek yang tumpul, datar atau emosi menumpul

Pada keadaan ini didapatkan gangguan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara verbal atau non-verbal. Orang yang normal bila mengekspresikan emosinya, digabungkan dengan berbagai cara, misalnya mimik wajah, tersenyum, mengerutkan dahi, melakukan gerakan-gerakantangan, gerakan badan, volume suara dan lain sebagainya. Pada

(7)

penderita skizofrenia dengan gejala negatif hal ini sangat jarang pada diri penderita.

2. Alogia

Alogia adalah Pembicaraan yang sedikit, dimana penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan, pembicaraan. Kadang isi pembicaraan hanya mengandung sedikit makna atau bahkan tidak terkandung makna apapun didalamnya. Ada pula pasien yang memulai berbicara dengan baik dan nyambung namun tiba-tiba saat pembicaraan berlangsung ia berhenti bicara dan akan berbicara kembali setelah beberapa menit. Pasien mengalami bloking saat sedang berbicara dengan lawan bicaranya.

3. Avolisi

Avolisi merupakan keadaan dimana pasien hampir tidak bergerak atau gerakannya sangat sedikit. Jika seseorang yang memiliki gejala ini dan dibiarkan duduk seorang diri, ia tidak akan melakukan pergerakan sama sekali.

4. Anhedonia

Kondisi dimana seseorang tidak mampu menikmati kesenangan atau kehilangan minat untuk merasakan kebahagiaan. Pada keadaan ini pasien juga menghindari pertemanan dengan orang lain (asociality). Pasien yang asosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya.

(8)

5. Katatonia

Pasien yang menderita katatonia dapat mengambil posisi sikap seperti mematung, posisi badan dan tubuh yang aneh dengan posisi yang sulit selama beberapa waktu, misalnya membengkokkan lengan, tangan atau badan.

Gejala negatif mencakup hilangnya ekspresi yang normal pada wajah dan gestur badannya. Gerakan gestur tubuh berkurang, kurang dalam hal berbicara, dan buah pikiran yang tidak koheren berhubungan dengan orang lain dan anggota keluarga serta aktifitas sosial yang ikut menurun.

Para pakar ada yang mengemukakan beberapa gejala untuk menegakkan diagnosis penyakit skizofrenia yaitu gejala khas. Sekurangnya dua atau lebih gejala seperti uraian di atas terdapat pada penderita dimana gejala-gejala tersebut tampak jelas selama lebih dari 1 bulan terakhir, atau selama 6 bulan berlangsung terus-menerus.

2.5. Klasifikasi Skizofrenia

Adapun pengelompokan tipe skizofrenia adalah sebagai berikut : Tipe skizofrenia Gejala - gejala Umum

Paranoid 1. Gangguan psikomotor , seperti

adanya stupor, negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi dan mutisme (bisu)

2. Cenderung mengalami waham kebesaran

(9)

agumentatif

4. Hubungan interpersonal menguat

5. Berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau orang lain

6. Keterampilan kognitif dan afektif tetap utuh.

Paranoid 7. Gangguan psikomotor , seperti

adanya stupor, negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi dan mutisme (bisu)

8. Cenderung mengalami waham kebesaran

9. Ansietas, marah dan agumentatif

10. Hubungan interpersonal menguat

11. Berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau orang lain

12. Keterampilan kognitif dan afektif tetap utuh.

Katatonik 1. Gangguan psikomotor , seperti

adanya stupor, negativisme, rigiditas, postur aneh, agitasi

dan mutisme (bisu)

2. Respon motorik tidak lazim dalam bentuk diam dan pada posisi di tempat (waxy

(10)

flexibility) atau pada posisi kegiatan eksesif.

3. Tingkah laku ganjil dengan tubuh dan wajah yang menyeringai (grimering) 4. Sering mengulang atau meniru

kata-kata orang lain 5. Catatan immobility , yaitu

gangguan perilaku motorik dimana orang itu tetap diam tanpa bergerak dalam kurun waktu lama dengan postur tubuh yang ganjil.

Tidak terbeban 1. Waham dan halusinasi

2. Inkoheren

3. Perilaku tidak terorganisasi yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu tipe.

Disorganisasi 1. Perilaku kacau balau, bingung

ataupun ganjil yang

menyebabkan gangguan berat dalam aktivitas sehari-hari. 2. Kurang memiliki hubungan 3. Kehilangan asosiasi

4. Bicara tidak teratur

5. Afek datar dan tidak sesuai 6. Gangguan kognitif

Residual 1. Minimal pernah mengalami

satu episode skizofrenik dengan gejala psikotik yang menonjol

(11)

diikuti oleh episode lain tanpa gejala psiotik

2. Emosi tumpul

3. Menarik diri dari dunia realita 4. Pengalaman persepsi tidak

biasa

5. Perilaku eksentrik 6. Pemikiran tidak logis 7. Kehilangan asosiasi

8. Adanya delusi dan halusinasi yang aneh-aneh dan salah, ide-ide yang tidak wajar, pemalas dan memiliki afek yang datar. Sumber : Narkoba, Psikotropika, dan Gangguan Jiwa Tinjauan Kesehatan

2.6. Penatalaksanaan Skizofrenia

Penatalaksanaan skizofrenia membutuhkan pendekatan yang melibatkan banyak hal dalam mengatasinya, meskipun demikian psikofarmakoterapi tetap merupakan pengobatan utama pada skizofrenia. Susunan tindakan penanganan skizofrenia hendaknya meliputi perawatan pasien, apakah rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit, pemberian farmakoterapi, pelayanan psiko-edukasi, intervensi keluarga (pendidikan, konseling keluarga, pertemuan keluarga, supportif terus-menerus, dll), rehabilitasi dan program pendidikan khusus.

2.6.1. Psikofarmakoterapi

Medikasi antipsikotik di indikasikan untuk hampir semua episode psikosis akut dari skizofrenia. Terapi harus segera dilakukan karena penderita skizofrenia mempunyai resiko mencelakai diri sendiri (bunuh diri)

(12)

atau orang disekitarnya. Pada kondisi gawat darurat dimana pasien tidak kooperatif untuk pemeriksaan, medikasi antipsikotik dapat diberikan mendahului evalusi medis. Obat antipsikotik bersifat relatif aman sehingga umumnya medikasi psikotik dapat dilakukan dengan terapi clozapine. 2.6.2. Obat Antipskiotik

Saat ini obat antipsikotik menjadi antipsikotik tipikal (antipsikotik konvensional/antipsikotik klasik) dan antipsikotik atpikal. Tabel dibawah ini membagi klasifikasi antipsikotik yang umum dipergunakan beserta dosis pemakaiannya.

Antipsikotik Group Kimia Kisaran dosis

( mg/ hari per oral ) Typical Chlorpromazine (Largactictil) Thioridazine (Melleril) Trifluoperazine (Stelazine) Haloperidol (Serenace) Pimozide (Orap Forte)

Phenothiazine (Aliphatic) Phenothiazine (Piperidine) Phenothiazine (Piperazine) Butyrophenone Dilphenilbutylpiperidine 150 - 600 150 - 600 10 - 15 5 - 15 2 – 4

(13)

Atypical Clozapine (Clozaril) Olazapine (Zyprexa) Quetiapine (Seroquel) Risperidone (Risperdal) Sulpiride (Dogmantil Forte) Dibenzodiazepine Dibenzodiazepine Dibenzothiazepine Benzisoxazole Benzamide 25 – 100 10 – 20 50 – 400 2 – 6 300 – 600

Sumber : Skizofrenia Gila. 2007

2.6.3. Psikoterapi dan Rehabilitasi

Psikoterapi suportif merupakan cara yang dapat membantu penderita untuk kembali ke masyarakat. Dimana penderita akan dibimbing agar mampu untuk berkontribusi kembali di lingkungan masyarakat. Terapi kerja sangat baik dilakukan untuk mendorong penderita bergaul kembali dengan orang lain, terkhusus keluarga. Maksud tindakan ini agar penderita tidak mengasingkan diri lagi, karena bila penderita terus menerus menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.

Meskipun demikian, kesenian bebas dalam bentuk melukis atau bermain musik tidak dianjurkan karena akan membuat penderita stress saat tidak dapat menyelesaikannya dengan baik. Namun jika tetap ingin dilakukan maka harus ada orang lain yang memimpin namun bersifat netral tidak membuat penderita skizofrenia kembali rendah diri.

Perlu diperhatikan juga lingkungan sekitar penderita, agar diatur sedemikian rupa sehingga penderita tidak mengalami stress. Jika

(14)

memungkinkan penderita dapat diberikan tanggung jawab dalam pekerjaan tertentu namun tetap perlu pengawasan dari keluarga. (Febry, 2013).

2.7. Konsep Pengalaman 2.7.1. Definisi Pengalaman

Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia (2008) Pengalaman berasal dari kata “alami” yang artinya mengalami. Pengalaman merupakan serangkaian peristiwa yang pernah dijalani, dirasai, dan ditanggung dalam hidup seseorang. Pengalaman adalah pelajaran yang akan menghasilkan perubahan ke arah kematangan tingkah laku, pertambahan pengertian serta pengayaan informasi (Surachmad, 1982).

Pengalaman merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari – hari. Pengalaman juga sangat berharga bagi setiap manusia, dan pengalaman juga dapat diberikan kepada orang lain untuk digunakan dan menjadi pedoman serta pembelajaran kepada orang lain.

2.8. Konsep Caregiver

2.8.1. Pengertian Caregiver

Definisi caregiver merupakan individu yang secara umum merawat dan mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya (Awad & Voruganti, 2008). Sementara definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2013) adalah orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang menderita penyakit kronis.

(15)

Menurut Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut. Caregiver mempunyai tugas sebagai emotional support, merawat pasien (memandikan, memakaikan baju, menyiapkan makan, mempersiapkanobat), mengatur keuangan, membuat keputusan tentang perawatan danberkomunikasi dengan pelayanan kesehatan formal.

Caregiver adalah individu yang memberikan bantuan informal dan tidak dibayar kepada orang lain yang membutuhkan bantuan fisik dan emosional. Cheng (2005) menyatakan bahwa caregiver adalah orang yang memberikan cinta, kasih sayang berupa bantuan, dukungan sosial, dan pengetahuan profesional kepada orang yang dirawatnya.

Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto (2012) sebagai seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian personal (personal activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental seperti memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.

Caregiver dapat ditunjukkan pada orang yang “dibayar” atau “tidak dibayar” yang melakukan perawatan pada orang yang mengalami keterbatasan, sakit atau mengalami gangguan mental (Caregiver, 2016).

(16)

mengambarkan orang yang melakukan perawatan pada orang yang mengalami keterbatasan.

Berdasarkan uraian diatas, caregiver adalah individu baik anggota keluarga, teman, kerabat ataupun tetangga yang memberikan bantuan, dukungan sosial tanpa pamrih kepada orang yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.

2.8.2. Jenis Caregiver

Caregiver terbagi menjadi dua, yaitu formal dan informal. Caregiver

formal merupakan perawat yang dibayar atau sukarela yang berasal dari sistem pemberian layanan, seperti rumah perawatan kesehatan atau karyawan rumah perawatan. (Mc Connell & Riggs dalam Sheets & Gleason, 2010 dalam Fadilla 2014). Caregiver formal juga memberikan jenis perawatan yang tidak diperoleh penderita dari anggota keluarganya seperti pelayanan secara medis. (Houde, dalam Sun, Kosberg, Kaufman, Leeper & Burgin, 2007).

Sedangkan caregiver informal merupakan caregiver yang tidak dibayar atau bukan dilatih oleh badan – badan hukum, seperti pasangan, anak, menantu atau teman dekat bagi seseorang yang memerlukan perawatan (Hung, et al., 2012). Koh & McDonald menyatakan bahwa

caregiver informal merupakan orang yang menyediakan perawatan dan dukungan bagi kesehatan, finansial, sosial, emosional terhadap individu yang lemah atau menderita penyakit kronis (Lai & Thomson, 2011).

Timonen (2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu

(17)

kesehatan adalah anggota suatu organisasi yang dibayar dan dapat menjelaskan norma praktik, profesional, perawat atau relawan. Sementara informal caregiver bukanlah anggota organisasi, tidak memiliki pelatihan

formal dan tidak bertanggung jawab terhadap standar praktik, dapat berupa anggota keluarga ataupun teman. Dengan demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari informal caregiver.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka caregiver dibagi ke dalam dua jenis, yaitu caregiverinformal merupakan kerabat yang tidak dibayar atau sukarela dalam memberikan perawatan terhadap penderita skizofrenia. Sementara formal merupakan tenaga ahli dan terlatih yang dibayar dalam memberikan perawatan terhadap penderita skizofrenia.

2.8.3. Family Caregiver

Familycaregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg (2007) adalah pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah ataupun yang menderita penyakit serius. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa caregiver keluarga adalah anggota keluarga pasien, yang bersedia dan bertanggung jawab dalam merawat, memberikan dukungan secara fisik, sosial, emosional serta menyediakan waktunya untuk pasien yang menderita skizofrenia ataupun mencegah kekambuhan kembali pada pasien.

(18)

2.9. Keluarga sebagai Caregiver

Orem menganggap individu (klien) sebagai penerima perawatan, sedangkan keluarga dianggap sebagai syarat dasar bagi anggota keluarga. Orem (1938) dalam Friedmen, 1998 mengatakan keluarga sebagai pemberi perawatan bagi anggota keluarga yang tidak mandiri (anggota keluarga dewasa yang merawat individu yang tidak mandiri) dan dalam melaksanakan tugas ini, mereka dianggap sebagai individu dalam sebuah keluarga atau subsistem keluarga. Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk mencapai kesejahteraan yang optimal dan memungkinkan individu serta keluarga mereka dapat mempertahankan kontrol atas kesehatan diri mereka sendiri.

Friedman (1988) menyebutkan tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan anggota keluarga. Tugas keluarga ini sejalan dengan lima tahap perilaku sakit individu yang telah dijabarkan oleh Potter & Perry (2005). Tugas pertama anggota keluarga dalam pemeliharaan kesehatan anggota keluarganya adalah mengenali gangguan perkembangan kesehatan seluruh anggota keluarga.

Skizofrenia sendiri menyerang individu dengan gejala yang khas, sehingga peran keluarga sangat dibutuhkan dalam menggenali gangguan kesehatan yang dirasakan oleh salah seorang anggota keluarga. Peran keluarga yang kedua adalah peran dalam mengambil keputusan untuk mengambil tindakan yang tepat, dimana keluarga harus dapat memutuskan tindakan yang paling tepat untuk diberikan kepada anggota keluarga mereka yang mengalami sakit dan mengambil alih sementara kewajiban yang ada pada diri klien.

(19)

Peran ketiga adalah memberikan perawatan bagi anggota keluarga yang sakit dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri entah disebabkan karena kecacatan atau karena faktor usia yang muda sehingga belum mampu melakukannya secara mandiri. Peran keempat yaitu keluarga berperan serta untuk mempertahankan atau memodifikasi lingkungan rumah agar tetap dalam kondisi kondusif sehingga tidak membuat anggota keluarga yang menderita skizofrenia tidak terancam keberadaannya ataupun timbul depresi berulang. Peran kelima yaitu keluarga pasien skizofrenia membawa anggota keluargnya ke pusat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klien.

2.10. Masalah yang dihadapi keluarga sebagai caregiver

Berbagai macam masalah yang dihadapi caregiver selama merawat ODS, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan ada banyak masalah yang dirasakan oleh caregiver antara lain caregiver mendapat perlakuan dan sikap negatif dari lingkungan, di mana hal ini adalah wujud reaksi lingkungan atas adanya ODS di tengah mereka. Caregiver harus menanggung beban finansial akibat tingginya biaya pengobatan ODS, biaya pengobatan yang tidak murah menjadi salah satu masalah bagi caregiver, terlebih apabila caregiver dari keluarga berlatar belakang ekonomi tingkat bawah. Caregiver juga mendapat perlakuan negatif dari lingkungan saat mereka merawat ODS sebagai wujud penolakan lingkungan atas adanya ODS.

(20)

2.11. Penanganan keluarga dalam merawat pasien skizofrenia dirumah Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi keluarga yang merupakan bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi keluarga terdapat kolaborasi dari klinis dengan anggota keluarga pasien yang menderita skizofrenia. Tujuan dari program psikoedukasi adalah memberikan atau menambahkan pengetahuan keluarga untuk merawat pasien skizofrenia sehingga dapat mencegah kekambuhan pasien skizofrenia dan keluarga mampu mengatasinya.

Komponen terapi psikososial antara lain :

1. Psikoedukasi keluarga dan pasien : pasien, keluarga dan orang di sekitar pasien pasien perlu belajar sebanyak mungkin tentang apa itu skizofrenia 2. Kolaborasi membuat keputusan : penting bagi pasien , keluarga, dan

klinisi untuk memutuskan bersama tentang terapi dan tujuan terapi. Apabila pesien sudah mulai membaik kondisi mentalnya, dia dapat menjadi bagian dalam pembuatan keputusan.

3. Monitoring gejala dan pengobatan : monitoring secara hati-hati untuk meyakinkan pasien minum obat dan mengidentifikasi secara dini tanda-tanda timbulnya relaps sehingga pencegahan dapat dilakukan.

4. Asistensi dalam mencari pelayanan kesehatan, asuransi, dll : pasien kadang kala membutuhkan bantuan dalam mencari pelayanan kesehatan yang lain seperti medis, gigi, atau mencari asuransi kesehatan. Pasien dan keluarga harus berusaha mengeksplorasi sumber-sumber apa saja yang dapat diperoleh atau disediakan. Termasuk di dalamnya apabila pasien

(21)

sudah mulai ingin bekerja, dicarikan tempat pekerjaan yang sesuai dengan kondisi pasien.

5. Terapi suportif : termasuk dukungan emosi dan meyakinkan serta mendorong perilaku sehat pada diri pasien dan membantu pesien menerima keadaannya.

6. Peer support/ self help group : adanya sebuah kelompok yang memiliki jadwal bertemu yang reguler tergantung pada kebutuhan dan perhatian dari kelompok tersebut. Pembicara dapat diundang untuk memberikan pengetahuan yang dimiliki beliau sehingga terjadi juga diskusi dan sharing yang dapat saling menguatkan.

Marvin dkk, (2000) menyebutkan bentuk pelayanan lain yang juga dapat diberikan pada pasien antara lain :

1. Mengatur jadwal pertemuan kembali dengan dokter 2. Assertive community treatment

3. Rehabilitasi terdiri atas :

a. Rehabilitasi psikososial : membantu pasien melatih keterampilan dengan tujuan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan

b. Rehabilitasi psikiatri : mengajarkan pasien keterampilan yang membuatnya dapat meraih tujuan dalam pekerjaan, pendidikan, sosialisasi, dan tempat tinggal

c. Rehabilitasi pekerjaan : latihan bekerja dan program training yang dapat membantu pasien untuk menjadi pekerja penuh waktu

(22)

e. Aftercare day treatment

Menurut Nurhaeni dkk (2000) dalam hal ini keluarga berfokus pada pencegahan kekambuhan klien dengan skizofrenia antara lain :

1. Mengenal adanya penyimpangan awal sedini mungkin, mampu mengambil keputusan dalam mencari pertolongan atau bantuan kesehatan sedini mungkin

2. Memberi perawatan bagi anggota keluarga yang sakit atau memerlukan bantuan dan menanggulangi keadaan darurat yang mengancam kesehatan

3. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat

4. Memanfaatkan fasilitas pelayanan yang ada di masyarakat

5. Memanfaatkan program rekreasi misalnya : mengajak klien nonton bersama, jalan santai, pergi ketempat rekreasi

6. Melakukan kegiatan sosial dan keagamaan misalnya : mengajak klien ikut saat arisan keluarga, mengajak pergi ke pengajian, dll

7. Mencegah stigma di masyarakat tentang gangguan jiwa seperti : pendekatan pada tokoh masyarakat atau orang yang berpengaruh dalam rangka mensosialisasikan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. 8. Saling terbuka dan tidak ada diskriminasi

9. Saling menghargai dan mempercayai

10. Menghadapi ketegangan dengan tenang dan menyelesaikan masalah kritis/darurat secara tuntas dan wajar.

(23)

2.12. Konsep Studi Fenomenologi

Husserl (1938) dalam Moleong 2016, menyebutkan fenomenologi sebagai pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisipliner tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Sebagai sesuatu disiplin ilmu, hal itu dikemukakan oleh Edmund Husserl (1858-1939) seorang filsuf berkebangsaan Jerman.

Desain fenomenologi merupakan cara terbaik untuk menggambarkan dan memahami perasaan manusia (Streubrt & Carpenter, 2003). Penelitian kualitatif fenomenologi merupakan penelitian yang digunakan untuk menggali sesuatu hal yang ingin diketahui dengan cara menginterpretasikan sesuatu untuk mendapatkan gambaran mengenai suatu peristiwa yang sedang diteliti. Menurut Creswell (1994) dalam moleong 2016 menyebutkan penelitian kualitatif fenomenologi menghasilkan interpretasi, membangun suatu esensi, mengurung dan menginduksi intuisi dalam menganalisa data.

Penelitian kualitatif fenomenologi menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan dan makna hidup serta pengalaman mengenai suatu peristiwa yang dialami. Streubrt & Carpenter (2003) mengemukakan ada tiga tahapan dalam studi fenomenologi deskriptif, yaitu intuiting, tahap analyzing dan tahap describing.

(24)

Tahap intuiting adalah tahapan dimana peneliti mengumpulkan data dengan cara mengeksplorasi pengalaman partisipan tentang fenomena yang diteliti (Streubrt & Carpenter, 2003). Creswall pada tahun 1994 dalam Moleong, 2016 Peneliti menggali data lebih dalam dengan menerapkan batas-batas penelitian, mengumpulkan informasi lebih dalam melalui pengamatan, wawancara mendalam.

Tahap kedua yaitu analyzing, pada tahap ini peneliti akan mengidentifikasi pengalaman yang akan diteliti. Dimana Streubert & Carpenter (2003) membagi langkah-langkah dalam analisis penelitian kualitatif dalam beberapa tahap yaitu 1) menggambarkan fenomena yang akan diteliti, 2) mengumpulkan data tentang fenomena dari partisipan, 3) membaca semua gambaran fenomena yang telah didapatkan dari partisipan, 4) membuat transkrip wawancara , 5) membaca ulang transkrip wawancara, dan mengidentifikasi data, 6) mengelompokkan data yang teridentifikasi kedalam grup lalu menentukan tema, 7) melakukan analisis data kembali untuk memastikan tema yang sudah ada sesuai , 8) setelah selesai akan dilanjutkan dengan wawancara pada pastisipan selanjutnya.

Tahap ketiga yaitu tahap describing, dimana peneliti menuliskan laporan data yang digunakan. Penulisan ini bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil penelitian fenomenologi deskriptif kepada pembaca (Creswall, 1988). Peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklarifikasian dan pengelompokkan fenomena. (Moleong, 2016).

Referensi

Dokumen terkait

melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengalaman Prakerin (Praktik Kerja Industri), Motivasi Memasuki Dunia Kerja, dan Prestasi Belajar Produktif Administrasi

Perkembangan teknologi pengunaan batubara serta kondisi cadangan dari minyak bumi saat ini memungkinkan batubara kembali mengambil alih sumber energi dunia seperti yang

Pada persalinan normal, saat melewati jalan lahir kepala janin dalam Pada persalinan normal, saat melewati jalan lahir kepala janin dalam keadaan flexi dalam keadaan tertentu

Pembuatan berbagai macam antibiotik (Alexander Flemming/1928 menemukan penisilin yang dihasilkan oleh Penicillium notatum dan Penicillium chrysogenum. Selman Waksman/1944

Surya Yoda Indonesia, yaitu Promosi, pengembangan dan peningkatan karir serta pengahargaan yang menurutnya kurang sesuai dengan pekerjaan yang mereka hasilkan,

Pada tabel 1 menunjukkan sampel bukan perokok A dan C memiliki vital capacity yang lebih tinggi dari sampel B dan D hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pada sampel B

Balai Besar Veteriner Denpasar menerapkan basis akrual dalam penyusunan dan penyajian Neraca, Laporan Operasional, dan Laporan Perubahan Ekuitas serta basis kas untuk penyusunan

Perawat yang bertugas akan melakukan skrining risiko jatuh kepada setiap pasien dengan menggunakan “Asesmen Risiko Jatuh Harian”.. Setiap pasien akan dilakukan asesmen ulang