• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa negara menerapkan pemisahan antara pusat pemerintahan atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Beberapa negara menerapkan pemisahan antara pusat pemerintahan atau"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Beberapa negara menerapkan pemisahan antara pusat pemerintahan atau ibukota negara dengan pusat bisnis dalam tata kelola-nya. Sebagai contoh konkrit atas kebijakan tersebut, Australia beribukota negara di Canberra dan pusat bisnisnya berada di Sydney, Amerika Serikat dengan pusat pemerintahan di Washington D.C. dan pusat bisnis di New York, serta negara-negara lainnya yang memiliki kebijakan yang serupa. Kebijakan tersebut diterapkan tidak hanya untuk tujuan pemerataan ekonomi, akan tetapi juga dapat mengakomodir kebutuhan tiap-tiap individu maupun kelompok akan lahan atau tanah yang dimanfaatkan sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha.

Di Indonesia, ibukota negara dan pusat niaga masih terletak pada 1 (satu) kota, yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta). Tidak adanya pemisahan tersebut merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan harga hak atas tanah di DKI Jakarta dan sekitarnya mengalami kenaikan harga yang signifikan dari tahun ke tahun, hingga dikatakan oleh Menteri Koordinator Perekonomian saat itu Bapak Hata Rajasa, kenaikan harga tanah di Jakarta tidak

wajar.1 Salah satu solusi yang dinilai dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat

atas tempat tinggal ataupun tempat usaha adalah konsep kepemilikan secara vertikal atas perumahan maupun perkantoran. Konsep kepemilikkan vertikal

1

(2)

2 tempat tinggal (hunian) maupun perkantoran / tempat usaha (bukan hunian) ini mulai masif diterapkan di DKI Jakarta dalam 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun terakhir, dan terus berkembang karena mendapatkan respon yang positif dari kelompok masyarakat yang masih ingin atau membutuhkan tempat tinggal ataupun tempat usaha di DKI Jakarta yang merupakan pusat kota. Ekspansi usaha

perusahaan pengembang/pelaku pembangunan (developer) dan kebutuhan

masyarakat akan tempat tinggal maupun perkantoran di DKI Jakarta, telah menggeser paragidma lama bahwa rumah susun adalah tempat tinggal untuk masyakarat berpenghasilan rendah (MBR), ke arah rumah susun yang telah menjadi gaya hidup kelompok masyakarat menengah dan menengah atas, atau

bahkan kelompak konglomerat (high end).

Dalam karya ilmiah ini Peneliti memfokuskan pada konsep kepemilikan vertikal bukan hunian yang umumnya digunakan untuk perkantoran yang

menyentuh kelompok pelaku usaha tingkat menengah atas dan high end, atau

setidaknya berlaku bagi para pelaku usaha yang mempunyai modal usaha yang mapan. Bukti kepemilikan atas rumah atau kantor tersebut dalam hukum pertanahan di Indonesia dikenal dengan nama Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS), yang dalam sehari-harinya dikenal oleh masyarakat

pada umumnya dengan istilah strata title, dimana istilah ini berdasarkan hukum

pertanahan di Indonesia dinilai kurang tepat. Dimana dalam strata title terdapat

pemisahan kepemilikan antara tanah dengan bangunan yang berada diatasnya, lain halnya sistem rumah susun yang menyepakati kepemilikan bersama atas tanah dimana bangunan rumah susun dibangun.

(3)

3 Konsep kepemilikan vertikal hak atas satuan rumah susun (Sarusun) ini diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU 20/2011) yang bertalian dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 (PP 4/1988), dimana sampai dengan dimulainya penulisan karya ilmiah ini, Peraturan Pemerintah atau peraturan pelaksana atas UU 20/2011 masih mengacu pada PP 4/1988 sepanjang tidak bertentangan dengan UU 20/2011 itu sendiri.

UU 20/2011 sendiri disahkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU 16/1985), dengan pertimbangan UU 16/1985 sudah kurang relevan dengan perkembangan pembangunan rumah susun di Indonesia. Semangat utama UU 20/2011 sendiri pada dasarnya untuk mengakomodir kebutuhan rakyat Indonesia akan tempat tinggal sebagaimana dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 huruf H ayat (1), (2), dan (4), yang secara berturut-turut berbunyi sebagai berikut:

(1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

Pada hakikatnya UU 20/2011 jelas mengutamakan pembangunan rumah susun guna mengakomodir kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dengan tetap memberikan peluang akan pembangunan rumah susun untuk kelompok-kelompok masyarakat di tingkatan

(4)

4 yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dengan adanya keanekaragaman rumah susun sesuai dengan maksud dan tujuan pembangunannya, seperti rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun komersial, selain itu UU 20/2011 juga memberikan peluang untuk pembangunan rumah susun yang tujuannya bukan untuk hunian, sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal UU 20/2011 sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1:

“rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam araah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.”

Pasal 50:

Pemanfaatan rumah susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi: a. Hunian; atau

b. Campuran

Fungsi campuran berdasarkan penjelasan Pasal 50 UU 20/2011 adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian, yang pada realisasinya banyak rumah susun bukan hunian yang didirikan tanpa hunian dan memang diperbolehkan oleh instansi yang berwenang, seperti pembangunan gedung perkantoran dan gedung pusat perbelanjaan (mal).

Keanekaragaman rumah susun baik rumah susun sederhana maupun rumah susun komersial, rumah susun hunian maupun bukan hunian, tidak menyebabkan adanya perbedaan konsep yang hakiki dari rumah susun itu sendiri, dimana pada hakekatnya melekat hak atas kepemilikan dan pemanfaatan bersama para pemegang atau pemilik SHMSRS dan/atau penghuni Sarusun atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama di dalam rumah susun tersebut. Hak

(5)

5 bersama ini merupakan hak yang hakiki dalam memanfaatkan sarusun oleh masing-masing pemilik maupun penghuni. Persamaan yang hakiki lainnya adalah perihal iuran pengelolaan atas pemanfaatan kepemilikan atau fasilitas bersama

tersebut yang meliputi service charge dan sinking fund, dimana dana tersebut

dibayarkan oleh para pemilik atau penghuni untuk dimanfaatkan secara maksimal oleh perhimpunan pemilik dan penghuni sarusun tersebut dalam mengelolah bangunan rumah susun secara keseluruhan, kecuali sarusun itu sendiri.

Tanah bersama, bagian bersama, dan benda bersama dalam Pasal 1 Angka 4 sampai 6 UU 20/2011 didefinisikan secara berurutan sebagai berikut:

“Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.”

(Tanah Bersama)

“Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.”

(Bagian Bersama)

“Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.”

(Benda Bersama)

Untuk pertama kalinya pengaturan sehubungan dengan kepemilikan bersama tersebut dan seluruh pengelolaan gedung rumah susun dilaksanakan oleh

pelaku pembangunan. Dalam Pasal 67 PP 4/1988, menyebutkan bahwa:2

“Penyelenggara yang membangun rumah susun yang wajib mengelola rumah susun bersangkutan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga

2

Dalam Pasal 59 ayat (4) UU Rumah Susun telah dijelaskan bahwa besarnya biaya pengelolaan rumah susun pada masa transisi ditanggung oleh pelaku pembangunan dan pemilik satuan rumah susun berdasarkan Nilai Perbandingan Proposional (NPP) setiap satuan rumah susun.

(6)

6 bulan dan paling lama satu tahun sejak terbentuknya perhimpunan penghuni atas biaya penyelenggaraan pembangunan.”

Tujuan dari ketentuan ini dimaksud untuk membantu perhimpunan penghuni yang definitif dalam mempelajari dan menyiapkan pengelolaan selanjutnya. Perhimpunan pemilik dan penghuni Sarusun (PPPSRS), dalam Pasal 1 Angka 15 UU 20/2011 diartikan sebagai berikut:

“Perhimpunan pemilik dan penghuni sarusun yang selanjutnya disebut PPPSRS adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun”

PPPSRS dalam mengelola Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama, akan membuat suatu aturan baik yang berhubungan dengan pengelolaan maupun penghunian di lingkungan rumah susun. Aturan tersebut dikenal dengan

istilah tata tertib hunian atau house rules yang mengatur segala tata kelola maupun

cara memanfaatkan fasilitas atau kepemilikan bersama tersebut. Dengan demikian guna memaksimalkan pemanfaatan akan kepemilikan bersama tersebut pemilik maupun penghuni harus berpedoman pada tata tertib hunian tersebut. Dalam pelaksanaannya, pada umumnya PPPSRS menunjuk 1 (satu) atau lebih pihak sebagai badan pengelola untuk mengelola sebagian maupun seluruh gedung rumah susun, meskipun PPPSRS mempunyai kewenangan untuk mengelola secara langsung sebagian maupun seluruh gedung rumah susun yang bersangkutan.

Pelaku pembangunan atau developer selain berkewajiban melakukan

pengelolaan rumah susun dalam waktu tertentu (sementara), pelaku pembangunan juga bertanggungjawab penuh dalam setiap pengurusan perizinan yang diperlukan sehubungan dengan pembangunan dan/atau pemanfaatan rumah susun,

(7)

7 termasuk pemecahan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) menjadi SHMSRS untuk masing-masing sarusun. Dari sekian banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku pembangunan untuk dapat memperoleh izin-izin yang diperlukan, salah satu dokumen persyaratan yang sangat penting dan mendasar untuk diajukan kepada pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan persetujuan adalah Pertelaan. Pertelaan adalah gambar atau denah demarkasi yang menunjukkan dengan jelas pemisahan antara kepemilikan perseorangan dengan kepemilikan bersama (Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama). Pertelaan yang diajukan tersebut yang menjadi salah satu syarat teknis untuk pemecahan SHGB menjadi SHMSRS oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan demikian pemerintah daerah setempat maupun BPN mempunyai data rinci sehubungan dengan demarkasi atas setiap rumah susun baik hunian maupun bukan hunian. Pemerintah daerah dalam Pasal 1 Angka 23 UU 20/2011 diartikan sebagai berikut:

“Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah.”

Sehubungan dengan pembahasan hak atau kepemilikan bersama yang melekat pada SHMSRS, jelas memberikan makna bahwa kepemilikan bersama tersebut tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak manapun karena merupakan bagian yang bersifat hakiki atau primer bagi para pemilik maupun penghuni dalam memanfaatkan masing-masing sarusun.

Kontradiksi dengan ketentuan dan pemahaman sebagaimana dijabarkan di atas, pada tahun 2007 terdapat suatu transaksi jual beli hak milik atas sarusun pada salah satu gedung perkantoran di DKI Jakarta, pihak pengembang

(8)

8 melakukan penjualan atas sebagian lantai gedung yang sedang dibangun (status inden) dengan suatu perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas sarusun (PPJB). Di dalam PPJB tersebut diperjanjikan oleh para pihak bahwa pembeli diberikan hak eksklusif pengelolaan atas 1 (satu) lantai yaitu lantai 29 yang merupakan

Bagian Bersama yang dalam hal ini digunakan khusus untuk mechanical dan

electrical, dan pengelolaan atas area parkir lantai Basement 1, Basement 2, dan Basement 3 (Sebagian Area Parkir). Dalam perkembangan pembangunannya, secara aktual terjadi perubahan peruntukan Bagian Bersama di lantai 29 tersebut menjadi lantai 25 dengan maksud dan tujuan yang sama. Untuk memastikan bahwa area-area tersebut adalah Bagian Bersama, dapat merujuk dalam dokumen Pertelaan gedung perkantoran yang bersangkutan, dimana dalam dokumen Pertelaan jelas memperlihatkan bahwa lantai 25 maupun Sebagian Area Parkir tersebut merupakan Bagian Bersama, yang seharusnya dikelolah dan diperuntukkan oleh dan untuk kepentingan para pemilik dan penghuni gedung perkantoran tersebut. Lebih lanjut, dalam PPJB dikondisikan bahwa Bagian Bersama untuk lantai 25 tersebut ditransaksikan dengan nilai transaksi Rp. 0,- (nol

Rupiah).3 Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya para pihak dalam PPJB

memahami Bagian Bersama menurut hukum positif rumah susun yang berlaku di Indonesia tidak dapat atau bahkan dilarang untuk diperjualbelikan.

Lebih lanjut, proses transaksi tersebut telah sampai pada tahap serah terima di tahun 2009 dan Akta Jual Beli (AJB) di tahun 2010, bahkan SHMSRS atas masing-masing sarusun telah diterbitkan oleh BPN dan dibalik nama ke atas nama

3

Binding Agreement To Sell And Purchase Number 44 dated 18th day of April 2007 between PT Pembangunan Dan Pengurusan Wisma Kartika and PT UOB Property, before James Herman Rahardjo, Notary domiciled in Jakarta Pusat.

(9)

9 pembeli. Setiap objek dari PPJB yang merupakan kepemilikan perseorangan tentunya tidak ada masalah untuk diperjualbelikan, dan seyogyanya tidak ada hambatan yang berarti dalam pelaksanaannya sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Akan tetapi, lain halnya untuk pelaksanaan pemberian hak eksklusif pengelolaan lantai 25 dan Sebagian Area Parkir pada gedung tersebut. Kesepakatan-kesepakatan akan hak eksklusif atas lantai 25 dan Sebagian Area Parkir dalam PPJB tentunya tidak dapat diatur lebih lanjut atau diperjualbelikan dalam AJB, karena objek-objek tersebut bukanlah merupakan objek yang boleh ditransaksikan sesuai peraturan rumah susun (baik hunian maupun bukan hunian). Dengan tidak dapat diatur lebih lanjut secara tegas dalam AJB, dapat diindikasikan bahwa besar kemungkinan akan timbulnya kendala-kendala dalam pelaksanaan pemberian hak eksklusif pengelolaan Bagian Bersama sebagaimana telah disepakati oleh Para Pihak dalam PPJB tersebut.

B. PERUMUSAN MASALAH

Merujuk pada konsep dan semangat dari peraturan rumah susun yang berlaku dalam konteks kepemilikan bersama, dan pada faktanya adanya kemungkinan untuk pengaturan penguasaan atas kepemilikan bersama, maka Peneliti dapat merumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian hak eksklusif pengelolaan bagian

bersama rumah susun bukan hunian?

(10)

10 C. KEASLIAN PENELITAN

Sepanjang pengetahuan Peneliti, pokok permasalahan yang dibahas dalam Tesis ini adalah orisinil, yang merupakan hasil temuan dari pengalaman Peneliti sebagai praktisi hukum. Berdasarkan pengetahuan dan hasil observasi sejak bulan November 2013 sampai dengan diajukannya usulan penelitian Tesis ini pada bulan Agustus 2014, bahkan hingga selesainya penulisan Tesis ini pada bulan November 2014, diyakini Peneliti bahwa pokok permasalahan dalam Tesis ini belum pernah ada yang meneliti atau membahas dalam suatu karya ilmiah apapun, baik skripsi, tesis, maupun disertasi.

Meskipun demikian harus diakui Peneliti bahwa berdasarkan hasil observasi dalam kurun waktu tersebut, terdapat karya ilmiah tesis yang berkaitan dengan rumah susun yang dibuat oleh Irawati, seorang mahasiswi Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, dengan topik bahasan perihal perlindungan terhadap hak-hak penghuni rumah susun dalam menggunakan Bagian Bersama yang dikelola oleh PPPSRS. Sumber data penelitian tersebut adalah data sekunder yang berasal dari sebuah putusan pengadilan (studi kasus). Hasil dari penelitian tersebut memberikan kesimpulan akan hak-hak dan upaya hukum yang seharusnya dapat dilakukan penghuni, serta bagaimana seharusnya perkara tersebut diputus, atau dengan kata lain memberikan hasil penelitian yang lebih bersifat teoritis.

Topik yang dibahas dalam Tesis ini memberikan kajian yang riil perihal pelaksanaan pemberian hak eksklusif tersebut, serta memberikan penjelasan akan kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam pemberian hak eksklusif tersebut.

(11)

11 Dengan kata lain, penelitian dalam Tesis ini lebih memberikan kajian yang bersifat praktis, yang sangat dimungkinkan penerapannya. Lebih lanjut, Peneliti bersedia untuk bertanggungjawab penuh atas segala informasi yang diperoleh dan disampaikan dalam Tesis ini, serta segala konsekuensi-konsekuensinya.

D. FAEDAH PENELITIAN

Secara teoritikal, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi berupa analisis yang bersifat mendalam dalam bidang strata title,

khususnya perihal hak atau kepemilikan bersama dalam sistem rumah susun bukan hunian. Kontribusi yang diharapkan agar dapat memberikan wawasan serta menanamkan cara berpikir yang kritis dalam mempelajari dan memahami konsep rumah susun bukan hunian berdasarkan peraturan hukum yang berlaku, maupun dalam penerapannya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh sehubungan dengan praktek sistem rumah susun bukan hunian di Indonesia.

Secara praktikal, penelitian ini dapat memberikan manfaat atau masukan

bagi para praktisi hukum, baik inhouse-counsel pada perusahaan pengembang

(developer), konsultan hukum independen, maupun birokrat pada Dinas

Perumahan dan Gedung, serta agar para pelaku usaha pembangunan atau perusahaan pengembang dalam menjalankan kegiatan usahanya dapat lebih memahami dan mengkritisi penerapan peraturan yang berlaku yang berkaitan langsung dengan kegiatan usahanya. Lebih lanjut, penelitian ini juga dapat memberikan masukan kepada para penghuni rumah susun baik hunian maupun

(12)

12 bukan hunian yang bukan pemilik sarusun, akan hak suaranya di dalam rapat PPPSRS.

E. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik dan integral mengenai implementasi dari konsep rumah susun bukan hunian dan Bagian Bersama, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak milik atas satuan rumah susun. Adapun secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji pelaksanaan pemberian hak eksklusif pengelolaan

Bagian Bersama rumah susun bukan hunian yang tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku.

2. Untuk mengkaji kendala-kendala yang mungkin timbul dalam

pemberian hak eksklusif pengelolaan Bagian Bersama rumah susun bukan hunian.

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan manajemen risiko (Risk Management) bertujuan untuk menghindari kerugian yang disebabkan oleh suatu risiko bank.. Dalam rangka penerapan manajemen risiko bagi

Dengan adanya motivasi kerja yang baik akan menghasilkan dorongan bagi karyawan untuk bekerja lebih baik namun tanpa adanya pelatihan yang akan meningkatkan

Audit K3 bertujuan untuk menentukan apakah system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan perencanaan dan memenuhi persyaratan dari standar yang telah di terapkan oleh

5.. Bagian penagihan ini bertanggung jawab untuk membuat dan mengirimkan faktur penjualan kepada pelanggan setelah memperoleh informasi lengkap berkenaan pengiriman barang

Penelitian ini merupakan teknik analisis kuat tekan beton yang dilakukan dengan mengamati spektrum suara mutu beton bertujuan untuk mendapatkan isyarat kekerasan beton dari

Dalam penelitian ini alat yang dirancang memanfaatkan sensor RFID dan modul GSM yang dikontrol oleh mikrokontroler Arduino sehingga dapat mengirimkan data

Dari kedua contoh di atas maka peneliti ingin memfokuskan penelitian tentang idgam yang dilihat dari sudut morfologi dan fonologi yang disebut dengan morfofonemik.. Penelitian

Hasilnya menunjukan bahwa rata-rata kabupaten/kota di Indonesia memiliki tingkat DDF yang diukur dari rasio PAD terhadap TPD di bawah 10% yang menunjukan kinerja