• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Praktik Perawatan Dekubitus

1. Pengertian praktik

Praktik merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan apa yang diketahui atau yang disikapinya (dinilai baik). Praktik merupakan perilaku terbuka (Notoatmodjo, 2007). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.

Praktik dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya (Notoatmodjo, 2007), yaitu :

a. Praktik terpimpin (Guided response)

Subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara mekanisme (Mechanism)

Subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis. c. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut tidak sekedar rutinitas atau

mekanisme saja, tetapi sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2. Tanggung jawab perawat dalam praktik

Perawat sebagai tenaga profesional bertanggung jawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya, terutama terkait dengan lingkup praktik dan wewenang perawat. Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui kerjasama bersifat kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan

(2)

keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Lingkup perawat dalam praktik keperawatan profesional meliputi sistem klien (individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat) dalam rentang sehat-sakit sepanjang daur kehidupan (Asmadi, 2008).

Standar praktik keperawatan merupakan salah satu perangkat yang diperlukan setiap tenaga profesional, dan mengidentifikasi harapan yang minimal bagi para perawat profesional dalam memberi asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis. Dengan adanya standar praktik keperawatan, profesi keperawatan dapat mewujudkan tanggung jawab atau kebulatan tekadnya untuk melindungi masyarakat (Priharjo, 2008). Standar praktik keperawatan membantu dan menuntun perawat dalam menjalankan tugasnya memberi asuhan keperawatan.

SK Menkes No.674/Menkes/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000 tentang registrasi dan praktik keperawatan dengan tegas meyebutkan bahwa dalam menjalankan praktiknya, perawat dapat bekerja secara perorangan atau kelompok (Asmadi, 2008). Dengan disepakatinya kewenangan perawat dalam menjalankan praktik keperawatannya dalam SK Menkes ini, secara hukum perawat mempunyai tanggung jawab sebagai berikut :

a. Melaksanakan asuhan keperawatan mandiri

Dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan, perawat diharapkan dalam memberi asuhan ini mampu menegakkan diagnosis keperawatan dan memberi asuhan sesuai standar yang disusun oleh organisasi profesi.

b. Menjalankan tindakan dari profesi lain

Secara konseptual, sebelum menjalankan pesanan dokter (mis,,memberi obat) perawat harus yakin dulu bahwa pesanan yang diberikan benar-benar jelas dan dapat dilaksanakan. Perawat harus pula mengikuti pesanan dari waktu ke waktu, dalam arti perawat harus tahu kapan pesanan mulai diberikan, dihentikan atau diganti.

(3)

3. Pengertian dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu biasa (Potter, 2006). . a. Faktor Resiko Dekubitus

Berbagai faktor resiko dapat menjadi presdiposisi terjadinya luka dekubitus pada kilen (Potter, 2006), antara lain :

1) Gangguan input sensorik

Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit.

2) Gangguan fungsi motorik

Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut.

3) Perubahan tingkat kesadaran

Klien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya dari dekubitus, klien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Klien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang lebih baik.

4) Gips, traksi dan peralatan lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi klien dan ekstremitasnya, klien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekana yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat atau jika ekstremitasnya bengkak.

(4)

Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat utama tekanan. Tetapi ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Termasuk diantaranya gaya gesek dan friksi, kelembaban, nutrisi yang buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakeksia dan usia.

b. Patogenesisdekubitus

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadi dekubitus adalah, intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler, durasi dan besarnya tekanan, dan toleransi jaringan.

Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberositis iskial. Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah kedalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera.

c. Klasifikasi Dekubitus Salah satu cara yang paling awal untuk mengklasifisikan

dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan (Potter, 2006).

1) Tahap I

Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi kulit yang diperbesar, kulit tidak berwarna, hangat atau keras juga dapat menjadi indikator.

(5)

2) Tahap II

Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau dermis, ulkus superfisial dan secara klinis terlihat seperti abrasi lecet atau lubang yang dangkal.

3) Tahap III

Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringa subkutan yang rusak atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah, tapi tidak melampaui yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

4) Tahap IV

Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai dekstruksi ekstensif, kerusakan jaringan atau kerusakan otot, atau struktur penyangga seperti tendon, kapsul sendi, dll.

Metode lain klasifikasi luka adalah warna luka, yang memperlihatkan fase penyembuhan. Luka nekrotik diklasifikasikan dengan luka hitam, luka disertai eksudat dan debris berserat kuning diklasifikasikan dengan luka kuning, dan luka pada fase penyembuhan aktif dan bersih disertai dengan granulasi berwarna merah muda hingga merah dan jaringan epitel diklasifikasikan dengan warna merah. Tidak ada konsensus mengenai cara terbaik dalam mengklasifikasi luka dekubitus, tapi secara umum disepakati bahwa diperlukan lebih dari sekedar klasifikasi tahapan atau warna untuk memberi gambaran dekubitus yang lengkap dan komprehensif.

4. Perawatandekubitus

a. Pengkajian dan identifikasi masalah

Dapat dilakukan pengkajian/assessment pada dekubitus menurut Ayello (Potter, 2006) yaitu sebagai berikut :

(6)

Tabel 2.1 Pengkajian Karakteristik Dekubitus

Karakteristik Keterangan

Anatomical location, age of wound Luka kronik penyembuhannya lebih lambat, luka yang berada dekat anus perlu diobservasi secara teratur

Size, shape,stage Menentukan panjang dan lebar ulkus,

gunakan lidi kapas untuk mengukur kedalaman luka

Sinus tract Secara hati-hati gunakan lidi kapas steril

untuk menentukan lokasi keluarnya nanah

Eksudat Catat jumlah, warna, dan karakteristik

Sepsis Semua dekubitus dianggap koloni kuman,

diperhatikan adanya eksudat purulen, berbau, eritema, edema, nyeri, demam, dan peningkatan sel darah putih

Surounding skin Melindungi kulit sekitarnya dari kerusakan

Margin, maserasi Mengidentifikasi batas luka , evaluasi

maserasi dan tentukan tindakan untuk melindungi kulit

Eritema, Epitelialisasi, Eskar Evaluasi penyembuhan luka yang ditandai dengan beberapa perubahan pada ulkus, tonus kulit

Nekrotik, Novaskularisasi, Nose Jaringan nekrotik harus dibuang untuk menetapkan tahap dan penyembuhan ulkus, bila mungkin dilakukan debridemen Tension, Tenderness to Touch,

Tissue bod

Mengidentifikasi bagian dasar jaringan dan mengobati rasa nyeri

Setiap perawat harus melakukan evaluasi setiap karakteristik luka dekubitus dengan cara membuat lembar/format status dekubitus. Dokumentasikan kedalam asuhan keperawatan tentang kondisi luka dan berikan intervensi yang tepat sesuai dengan hasil pengkajian. Identifikasi masalah dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab langsung dari luka, dan segala patofisiologi yang mendasari merupakan

(7)

suatu persyaratan dalam merencanakan perawatan yang tepat dan juga untuk mencegah kekambuhan luka dalam jangka panjang.

Penyebab utama dari kebanyakan dekubitus adalah adanya tekanan yang terus menerus, yang seringkali disertai dengan gesekan dan kekuatan menggosok. Hilangnya sensoris yang berhubungan dengan stroke, paraplegi, multiple sklerosis atau diabetes, dapat turut serta membantu terjadinya dekubitus dan harus diperhitungkan ketika merencanakan perawatan yang segera dan merencanakan pencegahan dekubitus di masa yang akan datang. Dalam kasus ulkus tungkai penyebab langsungnya dapat tanpa cedera traumatis ringan, tetapi masalah utama yang mendasarinya biasanya adalah masalah vaskuler. Jika masalah yang mendasarinya tidak diperhatikan, maka penyembuhan luka tidak mungkin berhasil.

Ulkus tungkai pada diabetes dapat secara langsung disebabkan oleh penggunaan alas kaki yang terlalu sempit, tetapi lambatnya penyembuhan sebagian dapat disebabkan oleh mikro-angiopati. Penatalaksanaan diabetes dan efek sampingnya, paling tidak sama pentingnya dengan pemilihan balutan luka yang terbaik untuk meningkatkan penyembuhan. Jika penyebab suatu luka dan semua patofisiologi yang mendasarinya diabaikan, maka pengobatan hanya akan diarahkan untuk meringankan gejala-gejala masalah tersebut. Bahkan bila lukanya telah sembuh, masih terdapat kemungkinan besar nantinya akan kambuh.

b. Prinsip perawatan dekubitus

Prioritas dalam perawatan luka lokal pada dasarnya adalah sama dengan luka apapun juga yaitu dengan menggunakan SOP (standar operasional prosedur) yang sudah baku, yaitu : mengatasi perdarahan (hemostasis) ; mengeluarkan benda asing, yang dapat bertindak sebagai fokus infeksi ; melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi,

(8)

krusta yang tebal, dan pus ; menyediakan temperature, kelembaban, dan pH yang optimal untuk sel-sel yang berperan dalam proses penyembuhan ; meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan epitilialisasi dan melindungi luka dari trauma lebih lanjut serta masuknya mikroorganisme patogen (Morison,2003).

Tujuannya adalah untuk melindungi individu dari kerusakan fisiologis lebih lanjut, untuk menyingkirkan penyebab aktual atau potensial yang memperlambat penyembuhan, dan untuk menciptakan suatu lingkungan lokal yang optimal juga untuk rekonstruksi dan epitelialisasi vaskular dan jaringan ikat.

Beberapa prinsip perawatan luka secara lokal meliputi debridemen, pembersihan, dan pemberian balutan. Ulkus dengan jaringan nekrotik harus dilakukan debridemen. Prinsip perawatan luka menurut Morison (2003) adalah :

1) Membuang jaringan mati

Adanya jaringan nekrotik dapat memperlambat penyembuhan serta mendorong terjadinya infeksi, dan seringkali menutupi luas yang sebenarnya dari kerusakan jaringan. Debridemen bedah dengan anestesi umum atau lokal merupakan metode yang paling cepat untuk memperoleh lapisan luka yang bersih. Meskipun demikian tindakan tersebut mungkin tidak perlu bagi lansia atau pasien yang sangat lemah, dimana metode lain dapat dicoba dilakukan.

Debridemen adalah pembuangan jaringan nekrotik sehingga jaringan sehat dapat bergenerasi. Pembuangan jaringan nekrotik diperlukan untuk menghilangkan ulkus yang menjadi sumber infeksi, agar lebih mudah melihat bagian dasar luka sehingga dapat menentukan tahap ulkus secara akurat, dan memberikan

(9)

dasar yang bersih yang diperlukan untuk proses penyembuhan (Potter, 2006).

Metode debridemen yang digunakan harus tergantung dengan metode yang paling sesuai dengan kondisi klien dan tujuan perawatan. Perlu diingat bahwa selama proses debridemen beberapa observasi luka normal yang mungkin terjadi antara lain adalah adanya peningkatan eksudat, bau dan bertambahnya ukuran luka.

Setelah dekubitus berhasil dilakukan debridemen dan mempunyai bagian dasar granulasi bersih, maka tujuan perawatan luka lokal selanjutnya adalah memberikan lingkungan yang tepat untuk penyembuhan luka dengan kelembaban dan mendukung pembentukan jaringan granulasi baru.

2) Perawatan luka yang terinfeksi

Kebanyakan luka terbuka kronis didiami oleh mikroorganisme yang sangat banyak yang tampaknya tidak memperlambat proses penyembuhan. Sehingga hanya diperlukan pengambilan hapusan luka guna mengidentifikasi mikroorganisme dan menentukan sensitivitas mikroorgansme terhadap antibiotik, apabila luka tersebut memperlihatkan tanda dan gejala klinis infeksi, seperti nyeri setempat dan eritema, edema lokal, eksudat berlebihan, pus dan bau busuk.

3) Perawatan luka dengan banyak eksudat

Sekalipun jaringan nekrotik dan jaringan yang tampak jelas terinfeksi telah diangkat dari bidang luka, luka dapat terus menghasilkan eksudat dalam jumlah banyak yang dapat menembus non-oklusif dan meningkatkan resiko infeksi luka. Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai stadium

(10)

tersebut diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak melekat.

4) Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat

Bila jumlah eksudat sudah berkurang, maka silastic foam

merupakan suatu cara pembalutan yang sangat bermanfaat khususnya pada luka dalam yang bersih dan berbentuk cawan, atau dekubitus luas di daerah sakrum.

5) Perawatan luka superfisial yang bersih dengan sedikit eksudat Banyak balutan yang sesuai untuk menangani luka superficial yang bersih. Memberikan lingkungan yang lembab dengan terus menerus akan dapat mendorong epitelialisasi yang cepat dan mengurangi rasa nyeri serta melindungi permukaan luka dari kerusakan mekanis lebih lanjut dan kontaminasi. Balutan yang ideal adalah balutan yang dapat dibiarkan tidak terganggu selama beberapa hari.

c. Metodepembersihanluka

Ada dua metode dasar untuk pembersihan luka secara mekanik : irigasi dan menyikat langsung dengan bola kapas atau kasa. Kesulitan dari irigasi adalah bagaimana caranya untuk memakai larutan pembersih dengan tekanan yang cukup sehingga dapat meluruhkan debris tanpa merusak jaringan yang ada di bawahnya. Untuk luka yang yang tidak terlalu terkontaminasi, air steril atau larutan 0,9% adalah agens pembersih pilihan. Pada keadaan dimana terdapat resiko tinggi terhadap infeksi luka, maka keadaan tersebut merupakan indikasi untuk pengunaan larutan antiseptik (Morison, 2003).

Karakteristik antiseptik yang ideal (Morison, 2003) antara lain, mampu membunuh mikroorganisme dalam rentang yang luas, tetap efektif terhadap berbagai macam pengenceran, non toksik terhadap

(11)

jaringan tubuh manusia, tidak mudah menimbulkan reaksi sensitivitas, baik lokal maupun sistemik. Bekerja secara efisien, meski terdapat bahan-bahan organik (misal, pus dan darah) dan bereaksi secara cepat, tidak mahal serta awet.

Jika luka sangat terkontaminasi oleh bahan-bahan asing atau jaringan nekrotik, pembersihan luka diperlukan setiap kali mengganti balutan. Namun bila lukanya bersih, hanya terdapat sedikit eksudat, dan bergranulasi sehat, pembersihan yang berulang dapat lebih membahayakan dibandingkan keuntungannya. Pembersihan berulang dapat mengakibatkan trauma pada jaringan halus yang baru terbentuk, mengurangi suhu permukaan luka, dan mengangkat eksudat yang mempunyai sifat bakterisida.

d. Pemberianbalutan

Jika ada kulit yang rusak maka biasanya diperlukan balutan untuk melindungi jaringan yang berada di bawahnya dari sebuah kerusakan yang lebih lanjut dan untuk menggantikan sementara beberapa fungsi kulit yang utuh (Morison, 2003).

Karakteristik balutan luka yang ideal (Morison, 2003) antara lain, tidak melekat dan impermeable terhadap bakteri, mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada tempat luka sementara juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan. Sebagai penyekat suhu, non toksik dan non alergenik, nyaman dan mudah disesuaikan, awet. Mampu melindungi luka dari trauma lebih lanjut dan tidak perlu sering mengganti balutan serta murah harganya.

Rencana perawatan akan berubah sesuai dengan tingkat penyembuhan ulkus. Contoh ; pada luka nekrotik, sebelumnya penggunaan balutan membran untuk mendebrid luka dengan cara autolisis. Kemudian pada tahap-tahap dekubitus (tahap III dan IV) yang menghasilkan eksudat memerlukan balutan yang mampu

(12)

menyerap eksudat tersebut. Pada daerah kemerahan atau yang mengalami kerusakan integritas kulit, maka direkomendasikan penggunaan produk perawatan kulit yang memberi lubrikasi dan melindungi serta meningkatkan penyembuhan luka. Jika ulkus berwarna merah muda dan disertai granulasi pada seluruh bagian maka ulkus tersebut perlu dibalut untuk meningkatkan penyembuhan. Lingkungan lembab dan bersih akan meningkatkan migrasi sel epitel ke seluruh permukaan ulkus.

Metode lain untuk mengobati luka lokal antara lain, seperti metode energi elektromagnetik, telah digunakan untuk membantu proses penyembuhan luka. The Agency For Health Care Policy and Research/AHCPR, 1994 dalam Potter (2006) merekomendasikan tindakan elektoterapy untuk mengobati dekubitus tahap III dan IV yang tidak berespon dengan tindakan konvensional. Ketersediaan fasilitas kesehatan dan melibatkan tim kesehatan lain juga ikut mempengaruhi keberhasilan perawatan dekubitus.

B. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

(13)

2. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan dalam aspek kognitif menurut Notoatmodjo (2007), dibagi menjadi 6 (enam) tingkatan yaitu :

a. Tahu ( know )

Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, dari seluruh bahan yang dipelajari. Tahu ini merupakan tingkat pengertian yang paling rendah.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami ini diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi ke kondisi sebenarnya.

c. Aplikasi (Aplication)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen - komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

3. Pengukuran Pengetahuan

Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan ini berkaitan dengan pengetahuan perawat tentang teori dan praktik perawatan dekubitus.

(14)

4. Sumber – sumber pengetahuan

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya.

5. Faktoryangmempengaruhipengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007) faktoryang mempengaruhipengetahuan adalah :

a. Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungannya, mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan mudah mengenali dekubitus baik dari tanda, gejala, cara penanganan serta efek yang ditimbulkan, oleh sebab ini faktor pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seorang perawat dalam menyikapi suatu kejadian dekubitus.

b. Media massa

Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagai informasi dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, internet, radio, majalah, pamflet, dan lain-lain) akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terpapar informasi media. Ini berarti paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Media masa sebagai jendela informasi dapat menjadi salah satu sumber bagi para perawat untuk memahami dekubitus dan perawatannya.

(15)

c. Hubungan sosial

Manusia adalah makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat berinteraksi secara continue akan lebih besar terpapar informasi. Sementara faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikasi untuk menerima pesan menurut model komunikasi media dengan demikian hubungan sosial dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tentang suatu hal. d. Pengalaman

Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya, misalnya sering mengikuti kegiatan. Kegiatan yang mendidik misalnya seminar organisasi dapat memperluas jangkauan pengalamannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang suatu hal dapat diperoleh.

Pengetahuan yang berkaitan dengan dekubitus sangat penting diketahui oleh seorang perawat antara lain tentang pengertian dekubitus, faktor-faktor resiko apa saja yang dapat menyebabkan dekubitus, karakteristik dekubitus, dan yang terpenting mengetahui cara melakukan perawatan dekubitus. Setelah perawat memiliki pengetahuan yang benar tentang dekubitus, maka diharapkan perawat mampu melakukan praktik perawatan dekubitus sesuai dengan standar operasional prosedur, sehingga dapat mengurangi angka kejadian dekubitus.

C. Sikap

1. Pengertiansikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb salah

(16)

seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).

2. Tingkatan sikap

Menurut Notoatmodjo (2007) sikap mempunyai 4 tingkatan dari yang terendah hingga yang tertinggi yaitu :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah.

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap (Azwar, 2002), yaitu :

(17)

a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang dialami seseorang akan ikut membantu dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

Pada umumya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformasi atau searah dengan orang lain yang dianggap penting. c. Pengaruh kebudayaan.

Seseorang hidup dan dibesarkan dari suatu kebudayaan, dengan demikian kebudayaan yang diikutinya mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap orang tersebut.

d. Media massa.

Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga terbentuklah arah sikap yang tertentu.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.

Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap.

f. Pengaruh faktor emosional.

Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

g. Pendidikan

Kurangnya pengetahuan seseorang akan mudah terpengaruh dalam bersikap.

D. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Praktik Perawatan Dekubitus

Seseorang setelah mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan akan dapat melaksanakan atau mempraktikkan apa

(18)

yang diketahui atau disikapi. Hal inilah yang disebut dengan praktik kesehatan. Oleh karena itu pengetahuan, sikap dan praktik ini memliki indikator yang sama yaitu sehubungan dengan penyakit, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta kesehatan lingkungan (Notoatmodjo, 2007).

Secara teori perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu mengikuti tahap-tahap yang meliputi perubahan pengetahuan, perubahan sikap hingga perubahan praktik. Beberapa peneliti telah membuktikan hal tersebut, namun penelitian lain juga membuktikan hal yang sebaliknya, artinya terdapat seseorang yang telah berperilaku positif, meskipun pengetahuan dan sikapnya masih negatif (Notoatmodjo, 2007).

Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar. Perilaku terdiri dari 3 domain yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Faktor yang membentuk perilaku ini disebut determinan. Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing-masing berdasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun. Salah satu teori determinan perilaku menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisa bahwa faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), adalah faktor-faktor yang mempermudah atau membentuk terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, norma sosial dan budaya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors ), adalah faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya sebuah perilaku, hal ini berupa sarana dan prasarana kesehatan, sumber-sumber khusus yang mendukung dan keterjangkaunan fsilitas kesehatan.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang menjadi pendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, yaitu sikap dan perilaku petugas kesehatan.

(19)

E. Kerangka Teori

Faktor Pemungkin : Fasilitas / sarana dan prasarana kesehatan

Gambar 2.1 Kerangka Teori Green Sumber : Notoatmodjo (2010)

F. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Keyakinan 4. Norma Sosial 5. Budaya Praktik perawatan dekubitus Faktor Penguat : Sikap dan Perilaku Petugas Kesehatan Variabel terikat Variabel bebas Praktik penanganan dekubitus Pengetahuan Sikap

(20)

G. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap perawat tentang dekubitus.

2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah praktik perawatan dekubitus.

H. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara pengetahuan perawat dengan praktik perawatan dekubitus di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.

2. Ada hubungan antara sikap perawat dengan praktik perawatan dekubitus di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.

(21)

Gambar

Tabel 2.1 Pengkajian Karakteristik Dekubitus
Gambar 2.1 Kerangka Teori Green  Sumber : Notoatmodjo (2010)

Referensi

Dokumen terkait

Satu hal yang harus diingat adalah bahwa komplikasi yang paling sering terjadi pada fraktur terbuka adalah infeksi. Insidensi terjadinya infeksi luka pada fraktur

Infeksi merupakan hal yang penting dan sering sebagai faktor lokal yang mengganggu penyembuhan luka. Infeksi akan memperpanjang fase inflamasi pada penyembuhan luka

Jenis sel Dalam sirkulasi darah Dalam jaringan hidup granulosit 6-8 jam memendek pada

1) Luas daerah tangkapan hujan dan kapasitas penyimpanan seringkali berukuran kecil atau terbatas, dan pada saat musim kering yang panjang tempat penyimpanan

Keputihan abnormal dapat terjadi pada semua alat genitalia (infeksi bibir kemaluan, liang senggama, mulut rahim, rahim dan jaringan penyangga, dan pada infeksi penyakit

perineum dengan terbentuknya jaringan baru yang menutupi luka perineum dalam jangka waktu 6-7 hari post partum. Kriteria penilaian luka adalah: 1) baik, jika

Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan

Asupan protein merupakan aspek terapi nutrisi yang sulit pada penderita sirosis hati karena tubuh memerlukan tambahan protein untuk penyembuhan dan pembentukan jaringan,