• Tidak ada hasil yang ditemukan

USU Law Journal, Vol.5.No.3 (Oktober 2017)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USU Law Journal, Vol.5.No.3 (Oktober 2017)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

USU Law Journal, Vol.5.No.3 (Oktober 2017)

127 - 153

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN PREMANISME UNTUK MENGAMANKAN PROGRAM PRIORITAS NASIONAL DI PELABUHAN

(STUDI DI POLRES PELABUHAN BELAWAN) Tito Travolta Hutauruk

Madiasa Ablisar, Mahmud Mulyadi, Suhaidi titotravolta.hutauruk@gmail.com

ABSTRACT

The thuggery handling conducted by the Police to support the National priority program at Pelabuhan is done by penal approach that is oriented to the act of cleaning and eradicating thuggery as it has been formulated in the program of wins ProMoTer Kapolri and Commander Wish Head of North Sumatra Regional Police. Another approach is a non-penal approach that is more oriented to preventive actions from potential startup to disturbance threshold, such as conducting activities oriented to problem-oriented policing and strengthening synergy. In addition, the role of the National Police in the handling of thuggery is expected not as a tool of ruling but as an institution that upholds human rights by no longer putting forward violence, more to approach system thinking, knowledge, skill and atitude through soft reform Skil. This is the basic framework of the Police professionalism. In the case of the Police, especially the Belawan Port Resort Police has not been optimal in the handling of thuggery, it certainly has implications for the cleaning program of thuggery as outlined in the policy and strategy of North Sumatra Regional Police and regional development.

KeyWords : Role of Police, Thugs, National Priority Program at Port.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ancaman kriminalitas yang dihadapi oleh Polri dalam upaya penguatan keamanan dan ketertiban sebagai wujud dari kegiatan pengamanan paket kebijakan ekonomi melalui program aksi nasional pembersihan preman dan premanisme (program quick wins) adalah munculnya aksi-aksi premanisme yang terjadi yang menimbulkan keresahan dan ketidaktentraman bagi pelaku bisnis maupun masyarakat. Adapun aksi-aksi kejahatan yang dilakukan oleh premanisme pada umumnya melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan jalanan (street crime) misalnya pelaku premanisme melakukan suatu perbuatan yang dapat pidana (strafbarehandeling) sebagaimana diatur di dalam KUH Pidana,1 antara lain : pemerasan (Pasal

368 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pengrusakan (Pasal 406 KUHP) yang tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan keresahan di masyarakat. Pada saat ini praktik premanisme telah berkembang dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis dan penguasaan jalur-jalur produksi pada sektor barang dan jasa misalnya di kawasan pelabuhan. Dapat dicontohkan di wilayah hukum Polres Pelabuhan Belawan, aksi premanisme terus berkembang untuk menguasai sektor barang dan jasa yang berlindung dibalik organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan serta organisasi-organisasi serikat buruh yang sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan dengan dalih uang keamanan, uang kesejahteraan organisasi buruh dan organisasi kemasyarakatan, penguasaan gudang-gudang, penyediaan kendaraan-kendaraan angkutan barang dari pelabuhan ke gudang-gudang penyimpanan barang dengan biaya yang cukup tinggi. Di samping itu pengutipan-pengutipan kendaraan yang masuk di kawasan industri Pelabuhan Belawan dengan mengatasnamakan organisasi buruh dan pekerja.2

Aksi-aksi yang dilakukan oleh kalangan premanisme dengan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan dengan mengabaikan norma-norma yang ada dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melakukan tindakan kejahatan merupakan salah satu faktor

1 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka, 2014), hlm.

96, bahwa : “Elemen-elemen perbuatan pidana yang lebih sederhana dikemukakan oleh Schaffmeister, Keizer dan Sutorius yang menyatakan unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan hukum dan dapat dicela. Pendapat yang demikian juga dikemukakan oleh Pompe yang menyatakan “Het strafbare feit een gedraging zijn met drie algemen eigenschapen wederrechtelijk, aan schuld te witjen en strafbaar”. (perbuatan pidana suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana)”.

2 Rudi Rifani, “Optimalisasi Penegakan Hukum Kasus Premanisme Oleh Subdit III Ditkrimmum

Polda Sumut Guna Meningkatkan Profesionalisme Polri Dalam Rangka Terpeliharanya Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat”, Naskah Akhir Karya Perorangan, Sespimen Polri, 2015, hlm. 47.

(2)

128 munculnya istilah premanisme di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan pendapat Miller seperti yang dikutip oleh Purnianti dan Puteri, dapat digambarkan bahwa : “Premanisme sebagai sebuah abstraksi dari nilai-nilai sosial yang disebut sebagai focal concern, yaitu : Pertama, Trouble, Chonic anxiety over possible confrontation with law enforcement: personnel and the consequences of illegal behaviour. Kedua, toughness, the exhibition of physical prowess, fearlessness, masculinity, thus, they equate femininity with weakness. Ketiga, smartness, display of verbal aqility, quick witted, ability to outsmart. Keempat, excitement, thrill seeking, taking a change and fighting. Kelima, fale, a tedency to trust in luck. Keenam, Autonomy, they need to feel independent and free from external authority”.3

Istilah “Preman” sudah menjadi kosa kata sehari-hari yang akrab di telinga masyarakat, baik awam sampai orang terdidik. Istilah ini kerap dihubungkan dengan aktifitas sekelompok orang yang melakukan aksi-aksi kekerasan dan pemerasan. Masyarakat mengenal istilah “preman pasar”, “preman kampung”, “preman parkir”, “preman pertokoan”, dan penyebutan lainnya. Sejumlah nama terkenal yang dihubungkan dengan aksi premanisme adalah John Kei dan Hercules. Nama Hercules kembali muncul seiring penangkapan tanggal 08 Maret 2013 dengan tuduhan pemerasan terhadap pengembang di kawasan Kebun Jeruk. Nama John Kei muncul ke permukaan terkait dakwaan membunuh pimpinan PT. Sanex Steel, Tan Harry Tantono yang terjadi di Kamar 2701 Swiss-Bell Hotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat pada hari Kamis, 26 Januari 2012.4

Istilah Preman kerap dihubungkan dengan istilah dalam bahasa Belanda “Vrij man” yang artinya “orang bebas”. Bebas bukan dalam artian lawan kata “terkekang” atau “budak”, melainkan tidak tunduk dengan sistem pemerintahan dan aturan hukum. Vrij man dalam bahasa Indonesia kemudian berubah menjadi “preman”, dan memiliki arti sebutan kepada orang jahat, antara lain : penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane ada beberapa model preman yang ada di Indonesia, yaitu : preman yang tidak terorganisasi, preman yang memiliki pimpinan dan mempunyai daerah kekuasaan, preman terorganisasi, namun anggotanya yang menyetorkan uang kepada pimpinan, dan preman berkelompok dengan menggunakan bendera organisasi.5 Pendapat lain berasal dari Azwar Hazan

mengatakan, ada 4 (empat) kategori preman yang hidup dan berkembang di masyarakat yakni :

Pertama, preman tingkat bawah (beroperasi di wilayah pasar dan jalanan). Kedua, preman tingkat menengah (beroperasi di wilayah seperti debt collector). Ketiga, preman tingkat atas (beroperasi dengan payung ormas). Keempat, preman elit (beroperasi di wilayah struktur birokrasi dan menjadi backing premanisme di wilayah bawah).6

Penanggulangan yang dilakukan oleh Polri terhadap setiap gangguan premanisme adalah melakukan kegiatan kepolisian dan operasi kepolisian yang ditujukan agar potensi gangguan7

kriminalitas premanisme, ambang gangguan8 kriminalitas premanisme dapat diminimalisir

sehingga tidak menjadi gangguan nyata.9 Berdasarkan uraian ini, perlu ada kajian yang terfokus

pada mengoptimalkan penanggulangan premanisme guna pencapaian program quick wins Polri terkait “aksi nasional pembersihan preman dan premanisme” dalam rangka terwujudnya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga kebijakan ekonomi yang telah dirumuskan oleh pemerintah dapat terakselerasi dengan optimal.

Upaya penanggulangan premanisme yang dilakukan oleh Polri dalam prakteknya menggunakan modus operandi spesifik dibandingkan dengan kejahatan lainya yang dikategorikan sebagai street crime. Berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan yakni bersifat organize crime

dengan modus endaadse samenloop/concursus idealis maupun meerdadse samenloop/concursus realis.10

3 Artikata.com, Definisi Premanisme, diakses melalui

http://artikata.com/arti-373482-terpelihara.html, pada tanggal 22 November 2016.

4 Teguh Budiarto, “Memberantas Premanisme, Mungkinkah ?”, diakses dari

http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2013/09/memberantas-premanisme-mungkinkah.html, pada tanggal 19 Mei 2017.

5 Ibid. 6 Ibid.

7 Potensi Gangguan adalah segala bentuk gangguan keamanan pada tahap pembiakan dini, berupa

endapan permasalahan kegiatan masyarakat yang ditinjau dari aspek astagara (geografi, demografi, sumberdaya alam, ideologi, politik, ekonomi, situasi budaya dan hukum) berpengaruh terhadap timbulnya gangguan kamtibmas, yang apabila tidak ditangani secara tuntas dapat berkembang menjadi keadaan yang semakin memburuk menjadi ambang gangguan (PH) dan akhirnya menjadi gangguan nyata (AF).

8 Ambang Gangguan adalah suatu keadaan, peristiwa, situasi dan kondisi lingkungan berupa

gangguan keamanan yang belum terjadi, tetapi telah menimbulkan rasa kekhawatiran pada masyarakat, karena diperkirakan akan terjadi, dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat menjadi Ancaman Faktual / Gangguan Nyata.

9 Gangguan Nyata adalah segala gangguan nyata dalam bentuk kejahatan, pelanggaran, bencana alam,

dan kecelakaan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Terjadinya ancaman faktual ini diakibatkan tidak tertanganinya FKK dan PH dengan baik sehingga niat dan kesempatan bertemu dalam locus dan tempus yang sama.

(3)

129 Penanggulangan premanisme dapat dilakukan dengan pendekatan sistem termasuk sebagai sub sistem adalah koordinasi terpadu antar lintas sektoral. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan premanisme telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan11 berupa tindak pidana yang dilakukan,

melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi kejahatan dengan memanfaatkan sarana prasarana untuk melakukan kejahatan.12 Untuk itu diperlukan upaya berupa

penanggulangan premanisme, yang salah satu upaya yakni melakukan tindakan pemberantasan berupa tindakan secara represif dengan menggunakan kerangka KUH.Pidana merupakan tindakan pemberantasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Polri dalam kerangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat tentunya sangat memerlukan penangangan tersendiri dan sungguh sungguh. Hal ini bukan karena spesifikasi tindak kejahatan yang dilakukan oleh premanisme, namun perkembangan modus kejahatan premanisme yang mengancam keberlanjutan program prioritas nasional yang telah dirumuskan pada paket kebijakan ekonomi nasional. Sekalipun Polri telah melakukan berbagai hal untuk penanganan situasi Kamtibmas untuk mengamankan program prioritas nasional dengan cara meningkatkan kemampuan anggota Polri dalam penyidikan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem),13 atau dengan meningkatkan kegiatan preemtif dan preventif tanpa

penguatan sinergitas dengan lintas sektoral tentunya tidak akan optimal dalam penanggulangan premanisme sehingga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan program prioritas nasional.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis terkait peran Polri dalam penanggulangan premanisme untuk mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan khususnya Pelabuhan Belawan. Adapun alasan penulis untuk mengambil penelitian di Pelabuhan Belawan, antara lain : Pertama, Pelabuhan Belawan sebagai sebagai salah satu pelabuhan yang paling rawan terhadap aksi premanisme. Polri khususnya Polres Pelabuhan Belawan telah berupaya untuk melakukan tindakan baik preemtif, preventif maupun represif, bahkan Mabes Polri telah sebagai satuan atas telah melakukan penindakan berupa Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indoneisa (APBMI), dengan tindak pidana meminta uang kepada pengguna jasa bongkar barang di Pelabuhan Belawan bekerjasama dengan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Mulat (TKBM) Upaya Karya atas dugaan tindak pidana perkara pemerasan dan atau pemaksaan dengan ancaman, sebagaimana dimaksud dalam pasal 368 dan atau pasal 335 ayat (1) KUH.Pidana. Kedua, setiap barang yang keluar dan masuk ke Pelabuhan Belawan dengan menggunakan truk maupun container sangat rentan terjadinya aksi pemerasan dan intimidasi terhadap supir maupun pemilik angkutan barang yang dilakukan oleh kalangan premanisme dengan alasan uang keamanan dan berlindung dibalik organisasi Serikat Pekerja, Organisasi Kepemudaan dan Pemuda Setempat.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka penelitian berjudul : “Peran Polri Dalam Penanggulangan Premanisme Untuk Mengamankan Program Prioritas Nasional di

Pelabuhan (Studi di Polres Pelabuhan Belawan)”, layak untuk dikaji lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah di dalam penulisan tesis ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana hambatan Polri untuk menanggulangi premanisme dalam kerangka mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan Belawan?

2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Polri untuk mengatasi hambatan penanggulangan premanisme dalam kerangka mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan Belawan?

11 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP,

1987/1988), hlm. 85, bahwa : “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.

12 Ibid., bahwa : “Kejahatan adalah perbuatan jahat (strafrechtelijk misdaadsbegrip) sebagaimana

terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana”.

13 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme,

(Bandung : Binacipta, 1996), hlm. 14, bahwa : “Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem”.

(4)

130

C. Tujuan Penelitian

Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan Polri untuk menanggulangi premanisme dalam kerangka mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan Belawan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dilakukan oleh Polri untuk mengatasi hambatan penanggulangan premanisme dalam kerangka mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan Belawan.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun teoretis.

Dari segi teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap peran Polri dalam mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan melalui penanggulangan premanisme dan penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan akademisi hukum yang mendalami bidang kajian penelitian ini, khsususnya diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum ekonomi.

Manfaat dari segi praktis, diharapkan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya Polri untuk melakukan tindakan penanggulangan premanisme dalam kerangka mengamankan program prioritas nasional di Pelabuhan. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi-instansi terkait maupun masyarakat dalam upaya penanggulangan premanisme yang menghambat pencapaian program pembangunan nasional.

II. KERANGKA TEORI

Teori Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy)

Adapun teori yang digunakan pada penelitian tesis ini yakni teori kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang merupakan usaha rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.14 Oleh karena itu

kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime).15 Kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media).16

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application.” Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass media).

Pendekatan integral antara penal policy dan non penal policy dalam penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum pidana ini.17Pertama,

dari sisi hakikat terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah yang berdimensi sosial dan kemanusian disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan kejahatan ini bila tidak dibantu oleh disiplin lain. Untuk itulah hukum pidana harus terpadu dengan pendekatan sosial.18Kedua, keterbatasan hukum pidana dapat dilihat

dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum pidana pada hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata (kurieren am symtom) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks

14 G. Pieter Hoefnagels, dalam Mahmud Mulyadi, “Upaya Menanggulangi CPO Ilegal Melalui

Pendekatan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy Design)”, seminar sehari “Kejahatan CPO dan Masa Depan Produksi CPO, Hotel Sabty Garden, Kisaran Asahan Selasa, 24 januari 2012, hlm. 12.

15 Ibid. 16 Ibid., hlm. 13. 17 Ibid.

18 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.

(5)

131 ini, hukum pidana berfungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam di tengah kehidupan masyarakat. Sanksi hukum pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk memberantas sumber penyakit (kejahatan), tetapi hanya sekedar untuk mengatasi gejala atau akibat dari penyakit tersebut. Dengan kata lain, sanksi hukum pidana bukanlah suatu pengobatan yang kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan yang

simptomatik.19 Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan

pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan, sehingga terkadang pelaku justru menjadi residivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu butuh pendekatan sosial di samping penerapan sanksi pidana.20

Keterbatasan pendekatan penal dalam upaya penanggulangan kejahatan seperti dikemukakan di atas, harus diikuti dengan pendekatan non-penal, yang dapat berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).21

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya suatu kejahatandengan sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.22

Kebijakan hukum dalam mengalokasi peranan Polri dalam tindakan/menanggulangi kejahatan premanisme dapat dijelaskan bahwa istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” dalam Bahasa Inggris atau politiek dalam Bahasa Belanda. Dengan demikian, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini juga dikenal dengan berbagai istilah yang lain, diantaranya adalah penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.23 Pengertian

kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.24 Menurut Sudarto adapun yang disebut dengan kebijakan/politik kriminal, yaitu25 :

1. “Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas (diambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dari badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat”.

Lebih lanjut dikemukakan Sudarto,26 melaksanakan politik hukum pidana berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dinyatakan juga bahwa melaksanakan hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi.

Pengertian politik hukum di atas, sesuai dengan definisi dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa penal policy sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pada pembuat undang-undang dan juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggaranya atau pelaksana putusan pengadilan.27 Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik kriminal. Hal

19 Mahmud Mulyadi, Op.cit, hlm. 14, bahwa : “Pengobatan simptomatik melalui sanksi pidana ini

mengandung banyak kelemahan sehingga masih dipersoalkan keefektifannya. Di samping itu juga, pengobatan melalui sanksi pidana itu sendiri mengandung juga sifat-sifat yang kontradiktif (paradoksal) dan unsur-unsur negatif yang dapat membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek-efek sampingan yang negatif”.

20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid.

23 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti,

1996), hlm. 27.

24 Ibid., hlm. 27

25 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1977), hlm. 161. 26Ibid

(6)

132 ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.28 Bertolak dari pengertian tersebut, menurut G

Peter Hoefnagels dinyatakan bahwa criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime, definisi yang lain adalah sebagai berikut : 1) criminal policy is the science of responses; 2) criminal policy is the science of crime prevention; 3) criminal policy is a policy of designating human behaviour as crime; 4) criminal policy is a rational total of the responses to crime.29

Berdasarkan uraian pengertian politik kriminal sebagaimana tersebut di atas, Barda Nawawi Arief, merumuskan bahwa30 :

“Politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan atau tindak pidana dengan hukum pidana pada hakekat nya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)”.

Dikemukakan juga oleh Muladi, bahwa : “Kejahatan pada hakekatnya merupakan proses sosial (criminallitiet is social process), sehingga politik kriminal harus dilihat sebagai kerangka politik sosial, yaitu usaha dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya”.31

Berkaitan dengan pendapat Muladi tersebut, Barda Nawawi Arief merumuskan, bahwa : “Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence)”. Oleh karena itu wajar pulalah, apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalam nya “social welfare policy” dan “social defence policy”.32

Berdasarkan pada pengertian kebijakan hukum pidana sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan bahwa ruang lingkup kebijakan hukum pidana adalah sebagai bagian dari kebijakan atau policy yaitu sebagai bagian dari politik hukum atau penegakan hukum, politik hukum, politik kriminal dan politik sosial. Menurut HL. Packer yang dikutip Barda Nawawi Arief, disebutkan bahwa masih pentingnya menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan yang didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut33 :

1. “Sanksi pidana sangatlah diperlukan, karena kita tidak dapat hidup sekarang maupun masa yang akan datang tanpa pidana. (the criminal sanction is indispensable: we could not life now or in foreseable future, get along without it);

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman- ancaman dari bahaya (The criminal is the best available device we have for dealing wth gross and immidiate harms and threats of harm); 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/ terbaik” dan suatu

ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor, used indiscriminate ly and coercively, it is threatener)”.

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah suatu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.34 Menanggulangi adalah usaha

28 Sudarto, Op.cit. 29 Ibid.

30 Barda Nawawi Arief, Op.cit.

31 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Undip, 1995), hlm. 7. 32 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 27.

33 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana

Penjara, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1996), hlm. 28.

34 Ibid, hlm. 7, bahwa : “Sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan

(7)

133 mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya. Dari uraian di atas dapat dirinci bahwa tujuan Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, sebagai berikut35 :

1. “Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2. Menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas;

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya”.

Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Davies, antara lain36 :

1. “Menjaga masyarakat dengan mencegah kejahatan yang akan terjadi, dengan merehabilitasi terpidana atau orang-orang yang diperkirakan mampu melakukan kejahatan.

2. Menegakan hukum dan respek kepada hukum dengan memastikan pembinaan yang baik kepada tersangka, terdakwa atau terpidana, mengeksekusi terpidana dan mencegah masyarakat yang tidak bersalah dari tuntutan hukum.

3. Menjaga hukum dan ketertiban.

4. Menghukum pelanggar kejahatan sesuai dengan prinsip keadilan. 5. Membantu korban kejahatan”.

Sistem Peradilan Pidana mempunyai komponen-komponen, yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dalam mekanisme peradilan pidana.37 Fungsi utama dari

polisi adalah menegakan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka polisi melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian informasi yang luas tentang kejahatan dilingkungan tempat tinggal masyarakat, melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini tentang upaya penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan swadaya masyarakat. Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku kejahatan melalui fungsi penyidikan.38

Selanjutnya terkait dengan penal policy untuk menguatkan peran Polri sebagai sub Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) di dalam mengamankan program prioritas nasional dan kebijakan pemerintah terhadap aksi-aksi premanisme tentunya berkaitan erat dengan teori penegakan hukum yang menjadi kerangka dasar Polri untuk melakukan tindakan represif berupa penyelidikan dan penyidikan pelaku kejahatan premanisme, teori sistem hukum (legal system) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penanggulangan premanisme yang dapat berimplikasi terhadap kegiatan mengamankan program prioritas nasional dan kebijakan pemerintah, teori ini juga digunakan untuk melihat faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam penanggulangan premanisme khususnya menyangkut peran Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan premanisme.

Peran Polri dalam penegakan hukum kejahatan premanisme yang lebih berorientasi pada penggunanan sarana penal dengan menempatkan Polri sebagai penyidik (sub system criminal justice system), hal ini tentunya identik dengan operasionalisasi dan kongkeritasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum.39 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan

sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata di dalam proses peradilan pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam subsistem antara lain kekuasaan penyidikan,40 kekuasaan penuntutan,

pidana (criminal justice system) ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat”.

35Ibid.

36 Davies et.al dalam Mahmud Mulyadi, Ibid.

37 Ronald J. Waldron, dalam Mahmud Mulyadi, Ibid., hlm. 9. 38 Ibid.

39 Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 157.

40 Hakekat fungsi kepolisian dalam suatu negara yang berdasar hukum seperti Indonesia maka Polri

adalah aparatur penegak hukum sesuai Pasal 2 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerinatahan negara di bidang

(8)

134 kekuasaan mengadili atau menjatuhkan putusan serta kekuasaan pelaksanaan putusan.41

Disamping itu, menurut Mardjono Reksodiputro, ada 3 (tiga) tujuan dari Sistem Peradilan Pidana, yaitu : Pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. Kedua, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. Ketiga, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.42

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya yakni dari hukumnya itu sendiri.43 Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.

Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Penegakan hukum adalah proses dilaksanakannya upaya untuk menegakkan atau memfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, penegakan hukum juga dapat ditinjau dari sudut subjek dan sudut obyek penegakan hukum. Sudut subyek penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian dalam arti sempit, penegakan hukum dari segi subyeknya dapat diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum untuk menjamin dan memastikan aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya, dimana aparat penegak hukum tersebut, apabila diperlukan dapat menggunakan daya paksa untuk menegakkannya. Dalam arti luas, penegakan hukum dari segi subyeknya dapat diartikan sebagai keterlibatan seluruh subyek hukum dalam setiap hubungan hukum untuk penegakan hukum. Selanjutnya, penegakan hukum dari sudut pandang obyeknya atau hukum itu sendiri juga dapat dibedakan dalam arti luas dan sempit.44

Teori Efektivitas Hukum

Penegakan hukum dalam arti luas dapat berarti penegakan hukum yang mencakup atau meliputi nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat dan nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam hukum formal itu sendiri. Penegakan hukum dari aspek obyeknya dalam arti sempit dapat diartikan sebagai penegakan hukum yang sebagaimana yang tertuang dalam aturan yang tertulis atau formal. Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto,45 efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

1. “Undang-Undang (Substansi/isi)

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain, undang-undang tidak berlaku surut, Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula, undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama, undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu, Undang-Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, Undang- undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan.

2. Penegak Hukum

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, penganyoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

41 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu,

(Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006), hlm. 20.

42 Mardjono Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan

Wajah pelaku Kejahatan di Indonesia, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pelayanan Hukum, 1993), hlm. 84.

43 Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada

orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat : Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar Filsafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm. 53. Lihat juga : Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 110-111.

44 Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum”, http://www.solusihukum.com, diakses tanggal 24

November 2016.

45 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke-35, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,

(9)

135 Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum antara lain: Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi, belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material, kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.Halangan-halangan sebagaimana tersebut di atas tentunya dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru, senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu,peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya, senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya, orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan, menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya, berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib, percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia, menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak lain, berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang baik. Ada tiga faktor elemen penting yang mempengaruhi kinerja aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya, yaitu46 :

a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan

c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sisi tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan di dalam sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah:

a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

b. Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau keakhlakan. c. Nilai konservatisme atau kelanggengan dan nilai kebaruan.

Tujuan dari penegakan hukum yang ingin dicapai yakni pemidanaan, yang untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.47

46 Ibid.

(10)

136 Pemidanaan harus didahului dengan menempatkan suatu perbuatan sebagai kejahatan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto bahwa mengenai masalah penentuan hukum pidana harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut48 :

1. «Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting)».

Berbagai kajian sistematis terkait penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakanhukum terhadap premanisme. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Secara empirik, efektivitas penegakan hukum juga telah dikemukakan oleh Walter C. Reckless,49 yaitu harus dilihat bagaimana sistem dan organisasinya

bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya. Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan ambruk, atau setengah-tengahnya.

Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hambatan Polri Untuk Menanggulangi Premanisme Dalam Kerangka

Mengamankan Program Prioritas Nasional Di Pelabuhan

1. Implikasi Penanggulangan Premanisme yang belum optimal terhadap

peran Polri di dalam Mengamankan Program Prioritas Nasional di Pelabuhan

Peran Polri terhadap penanggulangan kejahatan premanisme pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana.50 Sesuai dengan sumber dan ruang lingkup wewenang Polri, maka

dalam merumuskan bentuk-bentuk wewenangnya sebaiknya ditinjau dari rumusan tugas-tugas yang secara universal dapat dikelompokan dalam tugas kepolisian preventif dan tugas kepolisian represif baik yang bersifat non justisial maupun justisial. Tugas kepolisian preventif dan represif non justisial dilaksanakan oleh seluruh anggota Polri, dengan demikian setiap anggota Polri dengan sendirinya memiliki wewenang umum kepolisian. Tugas kepolisian justisial dilaksanakan oleh setiap anggota Polri yang karena jabatannya diberikan wewenang khusus kepolisian di bidang penyidikan. Tindakan represif berupa penyidikan yang dilakukan Polri dalam pemberantasan kejahatan jalanan (street crime) dilakukan dalam rangka penegakan hukum yang ditinjau dari sudut objeknya yakni dari hukumnya itu sendiri.51 Artinya bahwa pada dasarnya tujuan dari

48 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 44-47.

49 Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi (Paparan

Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 58.

50 Barda Nawawi Arief, ”Kebijakan Kriminal”, http://kebijakankriminal.com/barda-arief-html,

diakses tanggal 30 April 2017, bahwa : “Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.

51 Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada

orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan

(11)

137 penegakan hukum untuk menanggulangi premanisme yang ingin dicapai adalah pemidanaan untuk memperbaiki pribadi penjahat itu sendiri dan membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni mereka yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.52

Peran Polri di dalam penanggulangan premanisme diharapkan bukan lagi sebagai alat penguasa melainkan sebagai institusi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak lagi mengedepankan kekerasan, lebih mengarah pada pendekatan system thinking (berfikir sistem),

knowledge, skill dan atitude melalui pembenahan soft skill. Hal ini merupakan kerangka dasar dari profesionalisme Polri. Dalam hal Polri khususnya Polres Pelabuhan Belawan belum optimal dalam penanggulangan premanisme tentunya berimplikasi pembersihan premanisme sebagaimana digariskan pada kebijakan dan strategi Kapolda Sumut dan pembangunan daerah, antara lain53 :

a. “Polri sebagai pilar utama negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, tentunya dituntut untuk mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara professional, modern dan terpercaya agar terwujud Kamtibmas yang kondusif, sehingga kepercayaan publik terhadap Polri, baik sebagai invidu maupun institusi dapat meningkat, utamanya di dalam mengamankan paket kebijakan ekonomi pemerintah yang mendukung pertumbuhan pembangunan di daerah di dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang mengharuskan adanya faktor keamanan dan ketertiban dengan mengintensifkan program-program Polri yang salah satunya aksi nasional pembersihan preman dan premanisme.

b. Belum sepenuhnya adanya rasa aman yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat dan pelaku usaha karena masih banyaknya “tukang palak”, hal ini dapat terlihat dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan yang dilakukan oleh premanisme misalnya kualitas kejahatan premanisme yang sudah menjalar pada kegiatan-kegiatan kepentingan umum menyangkut pengadaan tanah demi kepentingan umum dengan melakukan penguasaan lahan. Kejahatan premanisme dimulai dari sifatnya ringan seperti pengutipan liar, pemalakan, hingga pemerasan, pencurian, perampasan, dan perampokan masih mendominasi crime indeks yang terjadi. Makin maraknya organisasi-organisasi kemasyarakatan menimbulkan gangguan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam bentuk organisasi kepemudaan (OKP), organisasi underbow dari partai, organisasi kelompok profesi seperti kelompok sopir angkutan kota, organisasi perburuhan seperti SPSI, SBSI dan lainnya. Bahkan adanya organisasi lokal informal yang menamakan dirinya pemuda setempat, yang memiliki penguasaan atas sumber-sumber di wilayahnya. Keberadaan organisasi - organisasi tersebut di dalam tataran formal tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada, namun secara fakta keberadaan organisasi kemasyarakatan tersebut dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum khususnya tindakan-tindakan premanisme. Ikatan kelompok menimbulkan rasa solidaritas kelompok yang kuat dan diimplementasikan dengan penguasaan atas suatu lokasi atau wilayah dan akibatnya dapat menimbulkan potensi konflik dengan kelompok lainnya”.

Metode penanggulangan premanisme yang dilakukan oleh Polres Pelabuhan Belawan merupakan suatu entitas yang menggambar situasi organisasi khususnya Polri untuk mengoptimalkan program Polri yang telah digariskan di dalam road map institusi Polri saat ini yakni “Polri profesional sebagai penggerak revolusi mental” yang salah satu sasaran dari program Polri yakni “Aksi nasional pembersihan preman dan premanisme”, yang selanjutnya diteruskan di dalam komitmen Kapolri sebagai penjabaran dari visi yakni: “Terwujudnya Polri yang makin profesional, modern, dan terpercaya, guna mendukung terciptanya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong-royong”. Selanjutnya metode yang diaplikasikan dalam pelaksanaan penanggulangan premanisme berorientasi pada suatu metode yang tepat guna memberikan hasil yang baik. metode akan dijalankan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan sesuai fungsinya serta didukung oleh adanya anggaran dan sarana prasarana. Jika melihat proses penanggulangan yang sudah dilakukan dapat dikatakan jauh dari harapan masyarakat, sehingga metode yang mengatur pelaksanaan tugas

keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat : Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar Filsafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm. 53. Lihat juga : Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 110-111.

52 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : Armico, 1984), hlm. 11. 53 Hasil wawancara dengan Kabagops Polres Pelabuhan Belawan, 24 April 2017.

(12)

138 seakan tidak memiliki arti dan fungsi yang sesungguhnya. Metode yang diaplikasikan dalam pelaksanaan penanggulangan kejahatan premanisme saat ini dinilai masih belum tepat sasaran, belum adanya keterpaduan tugas, pelaksanaan tidak sesuai dengan rencana dan tidak dilakukannnya pengawasan terhadap proses penyidikan yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan metode yang diaplikasikan dalam pelaksanaan penanggulangan kejahatan premanisme agar dapat menciptakan rasa aman di wilayah hukum Polres Pelabuhan Belawan. Tetapi pada kenyataannya metode yang diaplikasikan masih dihadapi dengan berbagai kendala, antara lain54 :

a. “Perencanaan, yakni: Pertama, masih lemahnya sistem perencanaan dalam menyusun rencana penanggulangan premanisme.Kedua, belum menentukan skala prioritas terhadap penanggulangan premanisme terutama di daerah rawan terjadinya aksi-aksi premanisme misalnya di Pelabuhan Belawan.

b. Pengorganisasian, yakni: Pertama, masih kurangnya pemetaan terkait dengan kekuatan maupun kelemahan yang ada dalam kerangka menanggulangi kejahatan premanisme.Kedua, Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) antar satuan fungsi (soliditas internal) masih kurang optimal sehingga berdampak pada penanggulangan premanisme. Dapat dideskripsikan bawa terkesan adanya pemahaman yang berbeda masing-masing fungsi di Polres Pelabuhan Belawan sampai dengan lini terdepan yakni Polsek dan Pos Pol terhadap program quick wins Polri menyangkut aksi nasional pembersihan preman dan premanisme sehingga berpengaruh terhadap soliditas Polri di Polres Pelabuhan Belawan antara lain menyangkut sinergitas internal antar satuan fungsi, Polsek dan Pos Pol.Dapat dicontohkan misalnya penanggulangan preman dan premanisme belum terintegrasi, dilakukan secara parsial baik di tingkat Polres maupun Polsek. Di samping dalam menciptakan situasi harkamtibmas sesuai kerawanan terjadinya kriminalitas premanisme tidak dilaksanakan secara maksimal, sebagai contohnya setiap ada kejahatan yang dilakukan oleh premanise selalu terdadak dengan setiap kejadian. Artinya lebih bersifat reaktif daripada proaktif (hanya menunggu laporan tanpa melakukan tindakan pengungkapan atas aksi-aksi premanisme yang meresahkan masyarakat dan pelaku usaha).Ketiga, pada tingkat satuan yang ada di Polres Pelabuhan Belawan terkait sosialisasi dan internalisasi tentang program quick wins Polri menyangkut aksi nasional pembersihan preman dan premanisme secara profesional yang didukung dengan Polri sebagai penggerak revolusi mental dan pelopor tertib sosial di ruang public belum optimal, sehingga timbul pemahaman bahwa program Polri dimaksud hanya bersifat sementara. Contoh misalnya penyusunan dan pengerahan sumber daya kesatuan di Polres dan Polsek dalam penanggulangan preman dan premanisme belum berdasarkan pada hakekat ancaman yang dihadapi dan terkadang dalam penanganannya atau pencapaian suatu target operasi personel pelaksana tidak berdasarkan suatu pemetaan daerah tingkat kerawanan kriminalitas premanisme yang tinggi, masih bersifat insidentil saja bukan melaksanakan tugas secara rutinitas, kurang intensif dalam membangun jejaring dengan masyarakat.

c. Pelaksanaan, yakni: Pertama, belum optimalnya pelaksanaan pola atau rumusan penanggulangan premanisme, hal ini dikarenakan belum sesuai dengan capaian target-target yang telah ditentukan.Kedua, belum adanya kontrak kinerja yang diberlakukan secara konsisten dalam menerapkan program percepatan Polri terkait aksi nasional pembersihan preman dan premanisme secara profesional sehingga berdampak pada kurangnya arahan dan petunjuk langsung dari pimpinan sehingga pada saat penyelenggaraan operasional Polri guna penanggulangan preman dan premanisme yang dilakukan belum mengarah kepada maksud dan tujuannya terciptanya rasa aman masyarakat dan pelaku usaha.

d. Pengendalian yakni analisis dan evaluasi yang dilakukan belum dapat mencapai tingkat kinerja dari rumusan atau pola penanggulangan premanisme yang telah ditentukan dalam rangka menguji pola tersebut atau menentukan cara bertindak baru. Hal ini dikarenakan belum adanya arahan langsung dan adanya atensi dari pimpinan untuk melaksanakan supervisi”.

Mengingat masih adanya keterbatasan sumber daya organisasi Polres Pelabuhan Belawan dalam penanggulangan kejahatan premanisme, maka Polres Pelabuhan Belawan dituntut mengembangkan kerjasama baik internal maupun eksternal. Oleh karena itu, guna mendukung keterbatasan sumber daya, maka Polres Pelabuhan Belawan melaksanakan kerjasama atau kegiatan, yang dapat terlihat dari data di bawah ini :

(13)

139 Tabel I

Grafik Kegiatan Polres Pelabuhan Belawan 2016

Sumber : Laporan Polres Pelabuhan Belawan, 2017

Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa hubungan kerjasama Polres Pelabuhan Belawan baik dengan internal maupun eksternal sudah terjalin dalam beberapa kegiatan seperti rapat koordinasi yang dilakukan 6 (enam) kali dalam setahun, razia bersama yang dilakukan sebanyak 4 (empat) kali, dan lain-lain. Kerjasama dapat berlangsung manakala individu-individu yang bersangkutan memiliki kepentingan yang sama dan memiliki kesadaran untuk bekerja sama guna mencapai kepentingan mereka tersebut. Sementara itu, pelaksanaan kerjasama dalam hal komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dalam penanggulangan premanisme masih terdapat beberapa kendala, secara lebih rinci dapat diuraikan seperti di bawah ini:55

a. “Frekuensi komunikasi masih dilaksanakan pada level pimpinan dan kurang menyentuh tingkat pelaksana di lapangan. Didukung oleh pola komunikasi yang masih informal menyebabkan hasil dari komunikasi tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan pembuatan rencana aksi bersama dalam penanggulangan premanisme secara nyata.

b. Koordinasiadalah proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada satuan yang terpisah untuk mencapai tujuan bersama secara efisien dan efektif. Koordinasi terlihat masih belum efektif, hal ini dikarenakan kurangnya intensitas pertemuan baik formal maupun nonformal khususnya di level bawah sebagai pelaksana di lapangan. Pada grafik diatas dapat diketahui bahwa dalam satu tahun, rapat koordinasi hanya dilakukan 6 (enam) kali dan seminar / sosialisasi bersama sebanyak 2 (dua) kali. c. Pelaksanaan kolaborasi belum optimal, hal ini dikarenakan kurangnya pelatihan

bersama dalam meningkatkan kompetensi personel terkait penanggulangan premanisme guna menentukan cara bertindak (CB) terhadap modus operandi yang sering dilakukan dalam setahun pelatihan hanya dilakukan 1(satu) kali”.

2. Faktor-Faktor Yang Menjadi Hambatan Bagi Polri Untuk Menanggulangi

Premanisme

a. Faktor Internal

Pengalokasian peran Polri khususnya Polres Pelabuhan Belawan dalam melakukan tindakan/menanggulangi premanisme tidak terlepas dari formulasi kebijakan hukum yang diselaraskan dengan pekembangan masyarakat dan kejahatan yang semakin kompleks, untuk ituPolri telah melakukan perubahan guna peningkatan penanggulangan kejahatan premanisme agar lebih terfokus dan memiliki kemampuan, ketrampilan dan keahlian sesuai dengan pembidangan tugasnya (kebijakan hukum dalam mengalokasi peranan Polri dalam menangulangi kejahatan premanisme), namun masih terkendala dengan kemampuan sumber daya organisasi Polri, antara lain56 :

1) “Kebutuhan personel Polri misalnya di Polres Pelabuhan Belawan bahwa dari 601 (enam ratus satu) personel Polres Pelabuhan Belawan baru terpenuhi sebanyak 78 % personel yang dilihat dari aspek pengaruh lingkungan strategik dalam pelaksanaan penanggulangan kejahatan premanisme terkendala oleh tidak seimbangnya jumlah personel yang ada dengan potensi kriminalitas yang dilakukan oleh premanisme. Dilihat dari aspek lingkungan strategik maka keberadaa Polres Pelabuhan Belawan dengan luas wilayah 69.230 Ha dengan jumlah Penduduk 762.783 Jiwa, wilayah Polres Pelabuhan Belawan meliputi daerah kerja Pelabuhan Belawan dan 3 (tiga) Polsek, antara lain : Polsekta Belawan, Polsekta Labuhan Deli dan Polsek Hamparan

55 Hasil wawancara dengan Kabagops Polres Pelabuhan Belawan, 24 April 2017. 56 Hasil wawancara dengan Kabag Ops Polres Pelabuhan Belawan, 24 April 2017.

0 2 4 6 8

(14)

140 Perak.Batas wilayah hukum Polres Pelabuhan Belawan, antara lain :Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Sebelah Selatan berbatasan dengan Polrestabes Medan(Polsek Medan Barat), Sebelah Barat berbatasan dengan Polres Langkat dan Sebelah Timur berbatasan dengan Polres Deli Serdang. Dengan melihat kondisi daerah berupa dataran rendah, sungai dan pinggiran laut, dengan kondisi yang cukup strategis ini dilihat dari perspektif keamanan menjadi potensi gangguan kamtibmas apabila tidak mendapat penanganan yang tepat dari berbagai elemen masyarakat. Pelabuhan Belawan memiliki 3 (tiga) cabang utama yang melayani pengguna jasa kepelabuhan yaitu Belawan Multipurpose Terminal, Belawan Internasional Container Terminal (BICT) dan Terminal Petikemas Domestik Belawan (TPKDB). Peningkatan kinerja Pelabuhan Belawan cukup berhasil . di BICT misalnya, kinerja produktifitas mencapai 34 B/S/H pada Tahun 2016 atau meningkat dari Tahun 2015 yang mencapai 31 B/S/H. Selanjutnya Turn Round Time (TRT) mencapai 31,50 yang menandakan bahwa waktu pelayanan kapal mulai masuk hingga keluar pelabuhan hanya 1 hari 7 jam.Kinerja yang diraih pelabuhan Belawan didukung oleh kesiapan peralatan yang maksimal yang terdiri dari peralatan Container Crane (CC) dan

Mobile Harbour Crane (MHC) serta Rubber Tyred GantryCrane (RTG), Reach Stacker, Sideloader, Forklift dan fasilitas Trucking. Adapun jumlah personel Polres Pelabuhan Belawan secara kuantitas dapat dilihat pada Tabel II di bawah ini :

Tabel II

Data Personel Polres Pelabuhan Belawan dan Jajaran

NO JAJARAN POLRES PELABUHAN DSPP JUMLAH RIIL KET

1 POLRES 500 346 69 %

2 POLSEK BELAWAN 90 71 79 %

3 POLSEK MEDAN LABUHAN 90 117 130 %

4 POLSEK HAMPARAN PERAK 90 67 74 %

JUMLAH 770 601 78 %

Sumber : Laporan Kesatuan Polres Pelabuhan Belawan tahun 2017 Berdasarkan data tersebut diatas, maka kebutuhan personel dari 601 (enam ratus satu) personel Polres Pelabuhan Belawan baru terpenuhi sebanyak 78 % personel yang dilihat dari aspek pengaruh lingkungan strategic dalam pelaksanaan penanggulangan kejahatan premanisme terkendala oleh tidak seimbangnya jumlah personel yang ada dengan potensi kriminalitas yang dilakukan oleh premanisme. 2) Kualitas personel Polri misalnya personel pada Polres Pelabuhan Belawan

menunjukkan masih minimnya personel yang mengikuti pendidikan baik pendidikan Kepolisian maupun pendidikan umum dengan rincian sebagai berikut: Pertama, pendidikan umum yang sampai dengan pendidikan S1 berjumlah 35 personel, pendidikan S2 berjumlah 4 personel. Kedua, pendidikan kepolisian dengan pendidikan Setukpa berjumlah 33 personel, pendidikan Selapa berjumlah 1 personel.

Ketiga, pendidikan kejuruan dengan pendidikan DAS berjumlah 5 personel. Rendahnya kualitas pendidikan umum maupun pendidikan kepolisian yang dimiliki oleh personel Polres Pelabuhan Belawan dan jajaran tentunya akan berdampak pada kurangnya kompetensi personel sehingga belum mampu memaksimalkan pelaksanaan tugas khususnya dalam penanggulangan preman dan premanisme. Kualitas mencerminkan adanya profesionalisme dalam pelaksanaan tugas sehingga dalam penanggulangan preman dan premanisme personel mampu menggali, mengolah serta mengambil kesimpulan terhadap informasi yang didapat dari masyarakat sehingga didapat suatu hasil yang tepat. Rendahnya kualitas pendidikan umum maupun pendidikan dan kejuruan Polres Pelabuhan Belawan dan jajaran akan berdampak pada kurangnya kompetensi personel sehingga belum mampu memaksimalkan pelaksanaan tugas. Selain itu, belum terwujudnya revolusi mental secara menyeluruh pada tubuh Kepolisian.Revolusi mental Polri terletak pada perubahan mentalitas dari dilayani menjadi pelayan masyarakat. Adapun kemampuan personel ini dapat diuraikan pada indikator Knowledge, Skill dan Attitude, misalnya kurangnya penguasaan dalam rangka penanggulangan preman dan premanisme serta belum mampu menampilkan gaya kerja yang responsif atau ketanggapsegeraan dalam menindaklanjuti laporan masyarakat dengan membangun strategi kemitraan terkait terjadinya gangguan Kamtibmas khususnya dalam penanggulangan premanisme”.

Gambar

Grafik Kegiatan Polres Pelabuhan Belawan 2016
Tabel II

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan Kabupaten Deli Serdang tahun 2018, potensi produksi perikanan budidaya ikan air tawar tercatat 1328,9 ton/tahun dengan luas

Untuk keperluan uji aerodinamika di terowongan angin, LAGG telah mengembangkan satu sistem pengukuran aliran turbulen, yang terdiri dari software sistem akuisisi dan pengolahan

Dari hasil analisa laboratorium (Tabel 1), tanah lokasi pengkajian tergolong sangat masam, C-organik sangat rendah, N, P tersedia dan K tersedia sangat rendah sampai

Menurut Wahyuni dan Ibrahim (2012:73) dalam tahap perencanaan dan pembuatan spesifikasi proses suatu proyek, guru hendaknya melakukan hal-hal seperti pemilihan

Kesenjangan kualitas dan biaya pendidikan di madrasah tersebut harus segera ditangani pemerintah sebab semua anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan berkualitas dengan biaya

esculenta terhadap Myeloma, HeLa dan SiHa cell line didapatkan hasil bahwa kadar protein tertinggi yaitu 740 µg/mL menyebabkan kematian sel myeloma 74,88%, sel HeLa 71,73%

[r]

a) Model pembelajaran Inquiry merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor.. secara seimbang, sehingga