• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKTER, PASIEN DAN MALPRAKTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DOKTER, PASIEN DAN MALPRAKTIK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DOKTER, PASIEN DAN MALPRAKTIK

Wahyu Wiriadinata

*

Balai Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Agung RI Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, D.K.I. Jakarta, 12550 Abstract

The purpose of this paper is to answer the questions and problems that give a rise to disputes between physicians and their patient and the liabilities of physicians to their patients in case a malpractice. The research method used was a juridical-normative approach, by studying applicable legislations, both con-tained in laws themselves and in legal references/books. The result in a juridical aspect was written in a descriptive-analytical form. The conclusion of this paper is: that disputes have occurred due to malprac-tices that the physicians committed to their patients, and that physicians’ liability involved criminal, pri-vate, and administrative aspects.

Keywords: physician, patient, malpractice, liability. Intisari

Tulisan ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan dan masalah penyebab perselisihan antara dokter den-gan pasien dan pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam hal terjadi malpraktik. Metode penulisan yang digunakan yaitu pendekatan yuridis normatif, dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, baik yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan hukum. Hasilnya berupa aspek yuridis dituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah: Perselisihan terjadi akibat dari malpraktik dokter terhadap pasien dan pertanggung-jawaban dokter meliputi pidana, perdata dan etik.

Kata Kunci: dokter, pasien, malpraktik, pertanggungjawaban.

* Alamat korespondensi: wahyuwiriadinata@yahoo.co.id

Pokok Muatan

A. Pendahuluan... B. Pembahasan... 1. Penyebab Perselisihan Pasien dan Dokter... 2. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Pasien Dalam Hal Malpraktik... C. Penutup... 44 44 44 49 52

(2)

A. Pendahuluan

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu unsur kepastian hu-kum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan manfaat yang da-pat diperoleh dari ditegakkannya hukum itu. Dalam pelaksanaan penegakan hukum masyarakat meng-harapkan juga agar hukum bisa memberikan keadi-lan bagi kepentingan mereka.1 Kemanfaatan dalam

penegakan hukum salah satunya dimaksud untuk pembangunan masyarakat, termasuk di dalamnya pembangunan kesehatan masyarakat.

Pembangunan kesehatan masyarakat diarah-kan untuk meningkatdiarah-kan derajat kesehatan, sangat besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan juga sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manu-sia Indonemanu-sia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini merupakan usaha dalam rangka mengemban amanah sebagaimana termuat dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) “Negara ber-tanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang lay-ak”. Dokter merupakan soko guru dalam menjel-makan cita-cita dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 tersebut dimaksud.

Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya, harus dilakukan secara terpadu dan berkesinam-bungan guna mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan yang menyangkut upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan harus dilaksan-akan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinam-bungan, dan dilaksanakan bersama antara pemerin-tah dan masyarakat, termasuk dokter di dalamnya.

Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia yang tanggungjawab pelaksanaannya ada pada pemerintah. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. Oleh karenanya pemerintah berkewajiban menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat, membiayai pela-yanan kesehatan yang bersifat public goods seperti imunisasi, pemberantasan penyakit menular, dan kewajiban membiayai pelayanan kesehatan orang miskin dan usia lanjut. Pada dasarnya perubahan hubungan antara dokter dan pasien sejalan pula dengan perkembangan ilmu dan teknologi, baik di bidang hukum maupun ilmu kedokteran sendiri, dan juga disebabkan oleh bertumbuhnya kesadaran hukum masyarakat khususnya Indonesia, sebagai salah satu hasil pembangunan.

Perubahan karakteristik masyarakat dan dok-ter sebagai pemberi jasa, dan perubahan masyarakat sebagai pengguna jasa kedokteran tersebut, bila tidak didukung oleh peningkatan komunikasi antara dokter dan pasien dapat menimbulkan ketidakpua-san dan konflik antara keduanya. Konflik itu sering terjadi akibat dari malpraktik yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya. Konflik itu terbukti den-gan antara lain masih rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan masih banyaknya kesalahan dalam pengobatan pasien yang menimbulkan cacat atau kematian. Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa pokok permasalahan dalam tulisan ini, yaitu apa penyebab perselisihan/konflik antara dokter dengan pasien? Bagaimana pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam hal terjadi malpraktek oleh dokter?

B. Pembahasan

1. Penyebab Perselisihan Pasien dan Dokter a. Hukum Kedokteran dan Hukum

Kesehatan

Hukum kedokteran diberi penger-tian sebagai hukum yang mengatur produk profesi dokter, disebabkan karena adanya

1 Rena Yulia, “Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 18, No. 1, Febru ari 2008, hlm. 57.

(3)

hubungan dengan pihak lain, baik itu pasien maupun tenaga kesehatan yang lain. Dengan demikian hanya menyangkut profesi dokter,2

atau dengan lain kata “sekelompok manusia dalam masyarakat sebagai satu sistem, yang memiliki keahlian dan keterampilan khu-sus”.3

Indonesia belum memiliki hukum kedokteran dalam arti yang tersusun dalam suatu Undang-Undang tersendiri (terkodi-fikasi). Hukum yang ada barulah hukum kesehatan yang dimuat dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Namun ber-tolak dari ketentuan-ketentuan yang terda-pat dalam UU No. 23 Tahun 1992 tersebut dapat diadakan studi, ketentuan pasal-pasal mana yang mengatur hubungan dokter se-bagai satu pihak dengan pasien atau dengan tenaga kesehatan lainnya di lain-pihak, khu-susnya dalam upaya pelayanan kesehatan. Hubungan-hubungan hukum yang diatur di dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kese-hatan dapat dikaitkan dengan hukum perdata dan hukum pidana umum yang diatur dalam

Burgerlijk Wetboek/KUHPerdata dan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Norma yang ada dalam hukum ke-sehatan merupakan kaidah yang mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan upaya dan pemeliharaan di bidang kesehatan. Per-bedaan antara hukum kesehatan dan hukum kedokteran, terletak pada ruang lingkupnya saja. Ruang lingkup hukum kesehatan meli-puti semua aspek yang berkaitan dengan ke-sehatan, yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan. Sedangkan ruang lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pro-fesi kedokteran. Karena masalah kedokteran juga termasuk di dalam ruang lingkup ke-

sehatan, maka sebenarnya hukum kedok-teran adalah bagian dari hukum kesehatan. Dilihat dari hakikatnya, baik hukum keseha-tan maupun hukum kedokteran merupakan penerapan dari perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara dalam bidang kesehatan.

b. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah salah satu tempat untuk pasien berobat dan dokter melayani pasien dalam hal pengobatan dan pemulihan kesehatan. Pengertian Rumah Sakit diatur oleh Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Bab I Pasal 1: “Bahwa rumah sakit adalah suatu sarana dalam mata rantai sistem kesehatan nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat”.

Rumah sakit adalah4 “Suatu sarana

yang merupakan bagian dari sistem pelay-anan kesehatan yang menjalankan rawat inap, rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala pe-nunjangnya”. Dengan demikian rumah sakit adalah tempat untuk menyelenggarakan salah satu upaya kesehatan yaitu upaya pelayanan kesehatan. Dalam hubungan hukum sebagai suatu sistem sosial, rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Rumah sakit bukan persoonlijke yang dapat berbuat dalam lalu lintas hukum dalam masyarakat sebagai manusia (natuurlijk persoon), namun rumah sakit diberi kedudukan menurut hukum se-bagai “persoon” dan karenanya rumah sakit merupakan “rechtpersoon”. Hukum yang telah menjadikan rumah sakit sebagai

“re-chtspersoon” dan oleh karena itu rumah sakit

juga mempunyai hak dan kewajiban hukum atas tindakan yang dilakukannya. Untuk ber-buat hukum sebagai subyek hukum inilah

2 Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan yang menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan merupakan jenis tenaga medis, khususnya dalam huruf a.

3 Pasal 4 ayat (1) dan (3) jo. Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

4 Panitia Etika Rumah Sakit, 1991, Etika Rumah Sakit di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, RS Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, hlm. 1.

(4)

rumah sakit melibatkan seorang berprofesi kedokteran atau tenaga kesehatan yang tidak hanya terdiri dari para dokter dan dokter gigi tetapi semua jenis kesehatan.

Persetujuan untuk melakukan peker-jaan, seorang dokter diatur dalam Pasal 1601 BW berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan menerima upah. Syarat-syarat yang dimaksudkan dapat dituangkan dalam desk-ripsi tugas yang dibuat rumah sakit sebagai badan hukum selaku pihak yang memberi pekerjaan dan tenaga kesehatan yang terlibat sebagai penerima pekerjaan. Dalam kenyat-aannya dokter yang bekerja di rumah sakit dapat digolongkan sebagai “dokter karyawan dan dokter tamu”. Dokter karyawan rumah sakit, datang pada saat jam kerja dan mel-akukan pelayanan medis pada jam dinasnya untuk dan atas nama rumah sakit dan terikat kepada. peraturan-peraturan yang terdapat dalam rumah sakit. Sedangkan dokter tamu bekerjanya insidental (tidak tetap).

c. Kelalaian

Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang hati-hati menurut ukuran wajar. Karena tidak melaku-kan apa yang seharusnya seseorang itu. Kela-laian mencakup 2 (dua) hal, yakni: Pertama,

karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan; atau Kedua, karena tidak

melakukan sesuatu yang seharusnya dilaku-kannya. Kelalaian atau negligence menurut Keeton Medical Negligence – The Standard

of Care, 19805 adalah suatu sikap – tindak

yang oleh masyarakat dianggap menimbul-kan bahaya secara tidak wajar dan diklasi-fikasikan demikian karena orang itu bisa membayangkan atau seharusnya membay-angkan bahwa tindakan itu bisa mengaki-batkan orang lain harus menanggung risiko, dan bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati.

Profesi dokter harus tunduk dan

men-taati norma-norma umum termasuk norma se-bagaimana disuratkan pada pendapat tersebut di atas (KUHPerdata dan KUHP), juga teliti dan hati-hati. Norma berfungsi untuk mewu-judkan tata tertib di dalam masyarakat, se- hingga hubungan manusia berjalan lancar dan tertib. Seorang dokter bisa dinilai ber-tanggung jawab terhadap profesional

negli-gence apabila sikap atau perbuatannya tidak

berdasarkan standar yang umum berlaku pada profesinya, sehingga pasien sampai cedera karena kelalaiannya.

Adalah kewajiban seorang dokter untuk mengikuti perkembangan ilmu peng-etahuan termasuk apa yang diutarakan oleh Keeton di atas. Dan kalau karena tertinggal ilmunya sampai mengakibatkan pasien men-derita cedera, maka tindakan itu juga bisa termasuk kelalaian. Dilihat dari segi etik pun demikian. KODEKI Pasal 18 mencan-tumkan: “Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-cita yang luhur”.

d. Tolok Ukur/Standar Kelalaian Me-dis

Seorang dokter dapat dikatakan mem-punyai kesalahan apabila ia pada saat melaku-kan perbuatan itu dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya. Artinya ialah, men-gapa ia melakukan perbuatan yang merugi-kan masyarakat itu, padahal ia mampu untuk mengetahui perbuatan tersebut, dan oleh ka-rena itu seharusnya dapat menghindari untuk berbuat demikian. Apabila seorang dokter melakukannya, ini berarti dirinya memang sengaja melakukan perbuatan tersebut. Ka-rena itu celaannya menjadi: mengapa dokter melakukan perbuatan yang ia mengerti akan berakibat merugikan masyarakat. Dokter tersebut mengetahui kalau perbuatannya itu dilarang.

Kealpaan/kelalaian terjadi apabila se-seorang melakukan perbuatan itu karena ia alpa/lalai terhadap kewajiban yang menurut 46

(5)

tatanan kehidupan masyarakat yang ber-laku seharusnya/sepatutnya tidak diber-laku- dilaku-kan olehnya. Karena itu mengapa ia tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang se-harusnya/sepatutnya dilakukan, sehingga masyarakat tidak dirugikan. Sedangkan yang dimaksud dengan kesengajaan ialah perbua-tan yang diinsafi, dimengerti, dan diketahui sebagai demikian, seorang dokter yang mel-akukan aborsi (abortus provocatus

crimi-nalis) hal ini dilakukan dengan kesengajaan

(dolus). Berkaitan dengan hal ini PBB juga tidak pernah bisa secara tegas-tegas mela-rang anggotanya yang melakukan praktik aborsi, karena belum adanya kesepakatan hu-kum yang melarang atau membolehkannya.6

Adapun profesi medis di Indonesia sendiri dengan tegas menolak aborsi, sehingga tidak ada unsur salah sangka/salah paham. Den-gan demikian untuk adanya unsur kesalahan harus ada hubungan yang erat antara keadaan batin pelaku dengan perbuatan yang dilaku-kan. Keadaan batin pelaku itulah yang me-nyertai perbuatannya sehingga menimbulkan perbuatan tercela yang berupa kesengajaan dan atau kealpaan/kelalaian. Oleh karena itu dalam kepustakaan disebutkan bahwa kesen-gajaan – dolus – dan kealpaan atau kelalaian – culpa – merupakan bentuk-bentuk kesala-han.

Dalam terminologi bahasa, kealpaan mengandung arti kekeliruan, yaitu bahwa si-kap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukannya menentang la-rangan tersebut, dia bukannya menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang terla-rang itu, tetapi karena kesalahannya, keke-liruannya dalam batin sewaktu berbuat, se-hingga menimbulkan keadaan yang dilarang itu, karena ia kurang mengindahkan larangan itu. Dari perbuatannya itu ia telah alpa, lalai atau teledor. Ilmu pengetahuan hukum me-nyebutkan bahwa kealpaan mengandung dua

syarat: tidak mengadakan penduga-duga se-bagaimana yang diharuskan oleh hukum, dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaima-na yang diharuskan oleh hukum.

Yang dimaksud dengan tidak men-gadakan penduga-duga dapat terjadi karena 2 (dua) kemungkinan: (a) pelaku delik ber-pikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya itu. Padahal ternyata bahwa pendapatnya itu kemudian ternyata tidak be-nar. Dalam hal demikian telah terjadi keal-paan yang disadari – bewuste culpa. Pelaku delik tidak mengadakan penduga-duga lebih dulu itu terletak dalam kesalahan pikir atau pandang yang seharusnya dapat ia tepiskan. Kemungkinan ini diinsaf, namun tetap di-lakukan juga karena ia percaya akan kebe-naran pandangan atau pikirannya; (b) pelaku delik sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang itu mungkin da-pat terjadi karena perbuatannya. Dalam hal ini telah terjadi kealpaan yang tidak disadari -onbewuste culpa-. Dalam hal ini tidak me-ngadakan penduga-duga karena tidak adanya pikiran sama sekali bahwa akan terjadi aki-bat yang fatal karena perbuatannya itu.

Adapun yang dimaksud dengan tidak mengadakan penghati-hati ialah bahwa pelaku delik tidak mengadakan penelitian serta usaha-usaha pencegahan yang mung-kin dapat menjadi kenyataan apabila dalam kondisi tertentu, atau dalam caranya me-lakukan perbuatan itu akibat tersebut dapat terjadi. Dari uraian tersebut di atas dapat di-simpulkan, bahwa kealpaan atau kelalaian hakikatnya mengandung tiga unsur, yaitu:

Pertama, pelaku berbuat (atau tidak

ber-buat), lain daripada apa yang seharusnya ia perbuat (atau tidak berbuat), sehingga de-ngan berbuat demikian (atau tidak berbuat) telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Kedua, pelaku telah berbuat lalai, lengah,

atau kurang berpikir panjang. Ketiga,

per-6 Mien Rukmini, “Pengaturan Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan”, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Vol. 4, No. 3, Oktober 2003, hlm. 296.

(6)

buatan pelaku tersebut dapat dicela, dan oleh karena itu pelaku harus mempertanggung-jawabkan akibat yang terjadi karena perbua-tannya itu.

Tinjauan dari segi hukum perdata dalam kaitannya dengan kesalahan atau kela-laian dalam melaksanakan profesi dokter be-rawal dari hubungan antara dua pihak yaitu dokter dan pasien, yang dalam hubungan hukum perdata dapat berkedudukan sebagai penggugat dan tergugat. Antara penggugat dan tergugat (dokter dan pasien) telah ter-jadi hubungan hukum yang disebut transaksi

terapeutik. Transaksi terapeutik tersebut

tel-ah terjadi kesepakatan di antara kedua beltel-ah pihak untuk masing-masing akan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah diperjanji-kan. Dalam hal ini masing-masing pihak baik dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, yaitu dokter akan mengupayakan kesembuhan, dan pasien akan memberikan imbalan atas upaya yang telah dilakukan oleh dokter tersebut. Guga-tan oleh pasien dapat terjadi dalam hal dokter tidak memenuhi apa yang telah dijanjikan. Tidak dipenuhinya janji tersebut disebabkan karena tidak menguasai keluhan pasien yang dapat disebabkan karena sama sekali tidak dipenuhi, atau janji tersebut dipenuhi tetapi tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan, atau dipenuhi tetapi lain dengan apa yang telah dijanjikan, sehingga pasien merasa dirugikan.

e. Malpraktik

Istilah malpraktik atau malpractice menurut Daris, Peter Salim dalam “The

Con-temporary English Indonesia Dictionary”

berarti perbuatan atau tindakan yang salah, yang menunjukkan pada setiap sikap tinda-kan yang keliru. Sedangtinda-kan menurut John M. Echols dan Hassan Sadily dalam Kamus Inggris Indonesia, “malpractice” berarti cara pengobatan pasien yang salah. Adapun ruang

lingkupnya mencakup kurangnya kemam-puan untuk melaksanakan kewajiban-ke-wajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan. Jadi malpraktik merupakan salah satu penyebab perselisihan/konflik antara dokter dengan pasien.

f. Pembuktian Malpraktik

Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara), yaitu

positif wettelijk bewijstheorie, conviction intime, laconvviction raisonnee dan negatef wettelijk.7 Kalau kesalahan dokter

merupa-kan kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi ini untuk membuktikannya di pengadilan. Meskipun demikian tidak berarti kesalahan dokter tidak mungkin dapat dibuktikan, jadi kalau begitu bagaimana cara pembuktian malpraktik?

Pada criminal malpractice pembuk-tiannya didasarkan atas dipenuhi tidaknya unsur pidana, sehingga karenanya tergan-tung dari jenis criminal malpractice yang di-tuduhkan. Dalam hal dokter dituduh melaku-kan kealpaan sehingga pasien yang ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka sedang, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan yang salah yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati. Perlu dipahami bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan pasien meru-pakan bukti adanya criminal malpractice mengingat kejadian semacam itu juga dapat merupakan bagian dari risiko tindakan me-dis. Kesalahan diagnosis juga tidak boleh secara otomatis dijadikan ukuran adanya

criminal practice sebab banyak faktor yang

mempengaruhi ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang sebagian faktor tersebut be-rada di luar kekuasaan dokter. Kedua hal di 48

(7)

atas hanya dapat dijadikan persangkaan yang masih harus dibuktikan unsur-unsur pida-nanya.

Jika terbukti bersalah maka dokter da-pat dipidana sesuai jenis tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu dokter masih dapat digugat melalui peradilan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige

daad). Pada malpraktik perdata

pembuktian-nya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung atau tak langsung. Secara lang-sung, yaitu dengan membuktikan keempat unsurnya secara langsung, yang terdiri atas unsur kewajiban, menelantarkan kewajiban, rusaknya kesehatan dan adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan ke-wajiban dengan rusaknya kesehatan. Adapun secara tak langsung, yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin res

ipsa loquitor dapat membuktikan adanya

kesalahan di pihak dokter. Namun tidak se-mua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin res ipsa loquitor ini sebetulnya merupakan varian dari ‘doctrine

of common knowledge’, hanya saja di sini

masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian dokter.

Apabila ada gunting atau tang terting-gal dalam perut pasien yang menjalani ope-rasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin res ipsa loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat mem-buktikan kesalahan dokter, sebab gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tak ada kelalaian, Gunting atau tang yang terting-gal itu berada di bawah tanggung jawab dok-ter, Pasien dalam keadaan terbius, sehingga tidak mungkin dapat memberi andil terhadap tertinggalnya alat-alat tersebut. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pe-nyebab dari perselisihan konflik antara dok-ter dan pasien adalah adanya kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan malpraktik dan

berakibat kerugian yang diderita oleh pasien.

2. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Pasien dalam Hal Malpraktik

a. Pertanggungjawaban

Yang dimaksud pertanggungjawaban hukum dokter di sini adalah pertanggung-jawaban, yaitu suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum, bisa terjadi dalam bidang hukum perdata dan pidana. Dokter dinilai bertanggung jawab dalam bidang hukum perdata jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji/wanprestasi), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepa-kati juga bisa terjadi karena perbuatan yang melawan hukum.

Tindakan dokter yang dapat dikatego-rikan wanprestasi antara lain; tidak melaku-kan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi ter-lambat, melakukan apa yang menurut kes-epakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dan melakukan apa yang menu-rut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan. Dalam hal demikian dokter dapat dipersalah-kan melakudipersalah-kan perbuatan yang melawan hu-kum (onrechtsmatige daad). Jadi tindakan dokter dinilai melanggar Pasal 1365 KUH Perdata yaitu: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada se-orang lain, mewajibkan se-orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, meng-ganti kerugian tersebut”.

Jadi seorang dokter harus bertang-gungjawab atas kesalahan/kelalaiannya yang mengakibatkan pasien cedera atau bahkan meninggal dunia. Tanggung jawab itu berupa pengganti kerugian baik materiil maupun immaterial terhadap pasien/keluar-ganya. Contoh perbuatan melanggar hukum adalah apabila seorang dokter bedah karena kelalaiannya telah meninggalkan kain kasa/

(8)

alat dalam tubuh pasien, sehingga pasien mengalami infeksi sehingga mengakibatkan pasien tersebut menderita dan dapat pula karena komplikasinya menyebabkan pasien tersebut meninggal dunia.

Dokter tidak saja bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukannya tetapi juga atas kelalaian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya. Contoh, seorang dokter ahli bedah bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh perawat yang membantu dalam pelaksanaan operasi di kamar bedah. Tanggung jawab dapat bersi-fat individual atau korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan

principle of vicarious liability. Dengan

prin-sip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokter-dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksana-kan kewajiban rumah sakit.

b. Karena Wanprestasi

Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Dalam hal mal-praktik oleh dokter gugatan atas dasar

wan-prestasi itu harus dibuktikan bahwa dokter

itu benar-benar telah mengadakan perjan-jian, kemudian dia telah melakukan

wan-prestasi terhadap perjanjian tersebut (yang

harus didasarkan pada kesalahan profesi). Pasien harus mempunyai bukti-bukti keru-gian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi dalam praktiknya tidak mudah untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal ini yang sangat su-lit dalam pembuktiannya karena mengingat perikatan antara dokter dan pasien adalah bersifat inspaningsverbintenis.

c. Karena Perbuatan Melawan Hu-kum (Onrechtmatige Daad)

Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata pasien bisa menggugat seorang dokter oleh karena telah melakukan perbuatan yang mel-anggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang mem-bawa kerugian kepada orang lain, mewajib-kan orang yang karena salahnya menerbitmewajib-kan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Undang-Undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan mela-wan hukum, yang harus ditafsirkan oleh per-adilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-un-dang. Akan tetapi sejak tahun 1919 yuris-prudensi tetap, telah memberikan penger-tian yaitu setiap tindakan atau kelalaian baik yang: - melanggar hak orang lain - berten-tangan dengan kewajiban hukum diri sendiri - menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik) - tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang se-orang dalam pergaulan hidup.

Juga sedikitnya harus ada kesala-han yang mendasari perbuatan tersebut dan antara tindakan tak wajar atau kelalaian dan kerugian yang terjadi harus terdapat hubun-gan sebab akibat yang jelas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 mengenai Arrest Lindeboum melawan Cohen adalah mencakup pengertian berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, dan bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri atau kesusilaan atau kepa-tutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain. Ini berarti, kesalahan diartikan secara luas meliputi kesengajaan, kelalaian dan kurang hati-hati. Dan me- ngenai kesalahan dokter dalam menjalankan 50

(9)

profesinya atau kesalahan profesional pada dasarnya berkaitan dengan kewajiban yang timbul karena profesinya atau disebut ke-wajiban profesional.

Selain dapat dituntut atas dasar

wan-prestasi dan melawan hukum seperti tersebut

di atas, dokter juga dapat dituntut atas dasar kelalaian, sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut, “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena per-buatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

d. Tanggung Jawab Pidana

Kesalahan atau kelalaian tenaga kes-ehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Un-dang Hukum Pidana. Mengenai criminal

malpractice yang berupa

kecerobohan/kela-laian banyak kasus yang muncul di Rumah Sakit. Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4-D, yai-tu: duty (kewajiban), derelictions of that duty (penyimpangan kewajiban), damage (keru-gian), direct causal relationship (berkaitan langsung).

Duty atau kewajiban bisa

berdasar-kan perjanjian (ius contractu) atau menurut undang-undang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dok-ter pula untuk memperoleh informed

con-sent, dalam arti wajib memberikan informasi

yang cukup dan mengerti sebelum mengam-bil tindakannya. Informasi itu mencakup

antara lain: risiko yang melekat pada tinda-kan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan ten-tang persetujuan tindakan medis sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.

Penentuan bahwa adanya penyim-pangan dari standar profesi medis adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta se-cara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.

Damage berarti kerugian yang

diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosion-al atau berbagai kategori kerugian lain-nya, di dalam kepustakaan dibedakan menjadi kerugian umum (general da-

mages) termasuk kehilangan pendapatan

yang akan diterima, kesakitan dan pender-itaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus dike-luarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.

Dari segi pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana In-donesia dan dari sekian banyak pasal-pasal pidana yang menjerat perbuatan malpraktek yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien-nya dapat dipidana, sebab jika suatu perbua-tan secara formal dan material dapat dikuali-fikasikan sebagai perbuatan tercela, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (merupa-kan suatu delik),8 karena menurut kode etik

kedokteran malpraktek merupakan perbuatan tercela. Sedangkan menurut norma hukum

8 Widiada Gunakarya, “Sifat Melawan Hukum Material vs HAM Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 16, No. 10, Februari 2007, hlm. 31.

(10)

pidana sebagaimana diatur dalam KUHP malpraktek dapat dipidana berdasarkan Pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal 359 terse-but menyatakan bahwa: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihu-kum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Dari bunyi pasal ini kita bisa mengam-bil satu pengertian bahwa matinya orang ini sama sekali tidak dimaksud dan bukan meru-pakan tujuan dari pelaku tindak pidana, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hatinya atau lalainya pelaku (culpa delict). Hal ini bisa terjadi ke-tika seorang dokter melakukan pembedahan terhadap seorang pasien, tapi ternyata sele-sai pasien dibedah ada benda yang terting-gal di dalam tubuh pasien (bisa perban atau alat pemotong). Ini menimbulkan kematian pasien. Akan tetapi tertinggalnya perban atau alat pemotong dalam tubuh pasien itu dilaku-kan tidak dengan sengaja, adilaku-kan tetapi karena kelalaiannya atau karena kekurang hati-ha-tiannya dari dokter tersebut. Sebab apabila tertinggalnya perban atau alat potong itu di-lakukan dengan sengaja, maka dokter itu bisa dijerat dengan pasal 338 KUHP han biasa) atau pasal 340 KUHP (pembunu-han yang direncanakan). Pasal 360 ayat (1) mengatur bahwa: “Barangsiapa karena ke-salahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”. Dalam Pasal 360 ayat (2) diatur pula bahwa: “Barang-siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman pen-jara selama-lamanya sembilan bulan atau hu-kuman kurungan selama-lamanya enam bu-lan atau hukuman denda setinggi-tingginya

Rp.4.500,-”.

Rumusan pasal 360 ayat (1) dan (2) ini, hampir sama dengan rumusan pasal 359. Bedanya terletak pada akibat dari perbuatan pelaku. Kalau pada pasal 359 akibatnya ada-lah meninggal dunia, tapi dalam pasal 360 ayat (1) akibatnya adalah orang (pasien) luka berat, sedangkan dalam ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak da-pat menjalankan jabatannya atau pekerjaan-nya sementara. Delik Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang berwenang melakukan penyidikannya ada-lah pejabat Polisi Negara Republik Indo-nesia, sebagaimana diatur dalam KUHAP: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Re-publik Indonesia”.9 Dari uraian tersebut di

atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam hal terjadi malpraktek oleh dokter bisa berupa tanggung jawab hukum perdata dan pidana.

C. Kesimpulan

Dari pembahasan seperti diuraikan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa penyebab dari perselisihan konflik antara dokter dan pasien ada-lah adanya kesaada-lahan/kelalaian/kealpaan yang menimbulkan malpraktek dan berakibat kerugian yang diderita oleh pasien. Kesalahan dan kelalaian/ kealpaan terjadi apabila seseorang melakukan per-buatan itu karena ia lalai/alpa terhadap kewajiban yang menurut tatanan kehidupan masyarakat yang berlaku atau secara teknis harus dilakukan atau se-harusnya/sepatutnya tidak dilakukan olehnya. Ka-rena itu mengapa ia tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya/sepatutnya dilakukan, sehingga masyarakat tidak dirugikan. Contoh tinda-kan teknis yang harus dilakutinda-kan, misalnya seorang dokter pada waktu melakukan operasi di rongga pe-rut pasien, selesai operasi pada saat penutup kem-bali rongga perut pasien ternyata di rongga perut

9 Pasal 6 ayat (1) a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(11)

pasien tertinggal gunting yang digunakan bekas alat operasi dimaksud, karena kekhilafannya atau kealpaanya. Akibat tertinggalnya gunting di ro- ngga perut pasien tadi, pasien setelah selesai opera-si menderita sakit dan selanjutnya meninggal dunia. Bahwa pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam hal terjadi malpraktek yang diakibat-kan oleh kesalahan/kelalaian/kealpaan dokter bisa berupa tanggung jawab hukum perdata dan pidana. Tindakan dokter yang dapat dikategorikan karena kesalahan/kelalaian/kealpaan antara lain: yaitu ke-salahan/kelalaian/kealpaan yang tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilaku-kan, melakukan apa yang menurut kesepakatan-nya wajib dilakukan tetapi terlambat, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dan melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan. Kesalahan/kelalaian/kealpaan dokter dapat terjadi

di bidang hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata kesalahan/kelalaian/kealpaan yang menim-bulkan malpraktik dilakukan oleh dokter bisa digu-gat perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yaitu karena melakukan perbuatan melawan hukum atau onrechtsmatige daad.

Sedangkan kesalahan/kelalaian/kealpaan yang menimbulkan malpraktek dilakukan oleh dokter apabila menimbulkan luka dapat dituntut de-ngan Pasal 360 ayat (1) KUHP, yaitu “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain mendapat luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan pal-ing lama satu tahun”. Apabila malpraktik itu men-imbulkan kematian, maka dapat dituntut berdasar-kan Pasal 359 KUHP, yaitu: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, di-ancam dengan pidana penjara paling lama lima ta-hun atau kurungan paling lama satu tata-hun”.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Blumer, Herbert, 1969, Symbolic Interactionism:

Perspective and Method, Englewood Cliff,

Prentice Hall, N.J.

Guwandi, J., 1993, Etika dan Hukum Kedokteran. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana

Indo-nesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Panitia Etika Rumah Sakit, 1991, Etika Rumah

Sa-kit di Rumah SaSa-kit Dr. Cipto Mangunkusumo,

RS Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

B. Artikel Jurnal

Gunakarya, Widiada, “Sifat Melawan Hukum Ma-terial vs HAM Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 16, No. 10, Februari 2007.

M. Hamdan, “Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana (Suatu Catatan tentang Pem-baruan KUHAP)”, Jurnal Hukum

Pemban-gunan, Tahun Ke-40, No. 4, Oktober 2010.

Pakpahan, Rudy Hendra dan Eka N.A.M. Sihomb-ing, “Tanggung Jawab Negara dalam Pelak-sanaan Jaminan Sosial”, Jurnal Legislasi

In-donesia, Vol. 9, No. 2, Juli 2012.

Rukmini, Mien, “Pengaturan Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan”, Jurnal Ilmu Hukum

Liti-gasi, Vol. 4, No. 3, Oktober 2003.

Yulia, Rena, “Perlindungan Hukum terhadap Kor-ban Kejahatan”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 18, No. 1, Februari 2008.

C. Makalah

Sutrisno, S., “Tanggung Jawab Dokter di Bidang Hukum Perdata. Segi-Segi Hukum Pembuk-tian”, Makalah, Seminar Malpraktek Kedok-teran, Semarang, 29 Juni 1991.

D. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang

Referensi

Dokumen terkait

'LWLQMDX GDUL FDUD SHUZXMXGDQQ\D +D., VHEHQDUQ\D EHUEHGD GHQJDQ REMHN \DQJ EHUZXMXG ODLQQ\D 6HEDJDL FRQWRK KDN FLSWD GDODP VHEXDK OXNLVDQ DGDODK NHND\DDQ \DQJ WHUSLVDK GDUL

Organ yang dimaksud adalah organ perusahaan seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 1 ayat (2) dengan

Rata rata perubahan harga lahan pada radius <1 Km adalah 447% dari tahun 2000 hingga 2012.Beberapa faktor yang mendukung peningkatan harga lahan di radius

Hasil perhitungan aspek finansial meliputi perhitungan nilai operating profit (OP) sebesar Rp.60.435.500, dapat digunakan untuk biaya produksi berikutnya, net profit

Uji beda rata-rata posttest hasil belajar kewirausahaan siswa kelompok eksperimen 1 dan kelompok eksperimen 2 dengan metode pembelajaran Jigsaw dan TGT, terlihat bahwa

Our appl ication is a web client app, which means that what a user sees in the browser is not completely generated by the server and sent to the client, but the client has

proses pembelajaran dengan memberikan pertanyaan tentang materi pembelajaran berkaitan potensi sumber daya alam di Indonesia berupa sumber daya hutan, barang tambang, ikan,

Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan kelompok eksperimen setelah menggunakan model discovery learning dalam pembelajaran IPA terhadap hasil belajar siswa kelas IV