BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan
Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang di terjemahkan dengan menggunakan istilah adalah perjanjian maupun persetujuan. ada yang menerjemahkan overeenkomst dengan perjanjian tetapi ada yang menterjemahkan dengan persetujuan. Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai pengertian perjanjian sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Kemudian setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya defenisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :
a. Perbuatan tersebut harus diatikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbutan hukum.
Namun menurut Kartini dan Muljadi & Gunawan Widjaja dalam bukunya bahwa perjanjian adalah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang mana menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Pasal tersebut menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi dan pihak lainya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut. Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih bandan hukum.15 Setiap sarjana memnpunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai defenisi perjanjian. Berikut adalah beberapa pendapat para sarjana :
1. Sudikno Mertokusumo
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan apabila sepakat dilanggar maka akibat haknya si pelangaar dikenakan sanksi.16 2. Abdulkadir Muhammad
perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.17
15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Jakarta, PT raja Grafindo Persada, 2006, hlm .92
16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal HukumSuatu Pengantar,Yogyakarta, Liberty,1988, hlm. 97 17
3. Setiawan
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18
4. Subekti
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal itu.19
5. Wirjono Prodjodikoro
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan sautu hal itu.20
6. Menurut Mariam Darus Badrulzaman
Perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi kewajiban itu. 21
Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu
18
Apit Nurwidijanto, pelaksanaan Perjanjian pemborongan bangunan pada puri kencana mulya persada di semarang, tesis ilmu hukum, universitas diponegoro, 2007, hal 41
19
Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta, 1980, hal 1 20
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan tertentu,sumur, Bandung,1992,hal.12
21
merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksankan prestasi. Perikatan dan perjanjian adalah dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu isitilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.22
Dalam KUHPerdata terjemahan subekti dan Tjirosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah istilah perikatan sebagaimana yang disebut dalam pasal 1233 KUH perdata yang mana menyebutkan bahwa : tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Artinya Perikatan lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataanya dapat berupa perbuatan.
Untuk memahami perbedaan dua istilah tersebut, menurut Prof subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan pernjanjian. Beliau memberikan definisi sebagai berikut : suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian didefinisikan
22
sebagai berikut suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada oranglain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Hakekat
antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu, merupakan hubungan
hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan
lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan
munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan undang-undang.23
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang
mengadakan perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan salah satu sumber
perikatan disamping sumber-sumber lainya, perjanjian disebut sebagai
persepekatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya
menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan suatu prestasi
tertentu.
Dari beberapa pengeretian tentang perjanjian yang telah diuraikan diatas,
terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan
hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu
sama lain dan menimbukan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat
perjanjian. Namun dalam praktiknya bukan hanya orang perorangan yang membuat
perjanjian, namun termasuk juga badan hukum juga merupakan subjek hukum.
Dari berbagai pengertian Perjanjian yang telah diuraikan diatas, Dapat
disimpulkan bahwa suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur yaitu : 24
23
http://NuruFatimah123.Wordpress.com/2010/05/13/Perbedaan-perikatan-dan-perjanjian/, diakses pada tanggal 1 maret 2014
24
1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih
Dalam hal ini kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataan kehendak.
Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak atau lebih
yang saling menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu.
2. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak
Kehendak dari para pihak saja tidak cukup untuk melahirkan suatu
perjanjian. Kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga setelah para
pihak saling menyatakan kehendaknya dan terdapat kesepakatan di antara
para pihak, terbentuklah suatu perjanjian di antara meraka.
3. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum
Suatu janji atau pernyataan kehendak tidak selamanya menimbulkan akibat
hukum. Terkadang suatu pernyataan kehendak hanya menimbukan
kewajiban sosial atau kesusilaan.
4. Akibat hukum untuk kepentingan pihak satu dan atas beban yang lain atau
timbal balik
Akibat hukum yang terjadi adalah kepentingan pihak yang satu dan atas
beban terhadap pihak yang lainya atau bersifat timbal balik. Yang perlu
diperhatikan adalah akibat hukum dari suatu perjanjian hanya berlaku bagi
para pihak dan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan
Pada umumnya para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian. Namun
dalam beberpa perjanjian tertentu undang-undang telah menentukan bentuk
B. Jenis-Jenis Perjanjian
secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah
perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar
sesuatu. Sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak
mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar seseuatu.
Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :25
1. Perjanjian Sepihak
Perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya
perjanjian hibah, perjanjian penanggungan, dan perjanjian pemberian kuasa
tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang
membebankan prestasi pada kedua belah pihak, misalnya jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam
meminjam tanpa bunga, dan peneletian barang tanpa biaya. Sedangkan
perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu
untuk melaksanakan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus
dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual beli.
Sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga.
3. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Riil dan Perjanjian Formil
25
Perjanjian konsensuil adalah Perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya Perjanjian jual beli dan
Perjanjian sewa menyewa. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang
tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan
penyerahan obyek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penelitian
barang dan perjanjian pinjam pakai. Perjanjian formil adalah perjanjian
yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu,
sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya
pembebasan jaminan fidusia.
4. Perjanjian bernama, perjanjian tidak bernama dan perjanjian campuran
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam
undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
secara khusus didalam undang-undang. Misalnya perjanjian Leaseing,
franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah
perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian
bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan
campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan
suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan
kamar).
Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi :
1. Zakelijk overeenkomst
Perjanjian yang menetapkan dipindahkanya suatu hak dari seseorang
2. Bevifs overeenkomst
Perjanjian untuk membuktikan sesuatu
3. Liberatoir overeenkomst
Perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban
4. Vatstelling overeenkomst
Perjanjian untuk mengkhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan
hukum diantara para pihak.
C. Asas Perjanjian
Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum
yang masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan
dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana
hukum itu dapat dilaksanakan. Asas hukum juga bukanlah peraturan hukum yang
konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya. Atau, merupakan latar
belakang yang mendasari peraturan yang konkrit, yang terdapat di dalam dan
dibelakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan undang-undang
dan putusan hakim yang merupakan hukum psotif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.26
Secara umum ada 3 asas perjanjian yaitu asas personalia, asas konsesualitas
dan asas kebebasan berkontrak. Menurut herlien budiono, ketiga asas tersebut perlu
26
ditambah dengan asas keseimbangan, sehingga lebih sesuai dengan keadaan
Indonesia.27
1. Asas personalia
Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 KUHPerdata,
yang berbunyi Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkanya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Dari
rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi,
hanya akan berlaku dan mengikat dirinya sendiri. Asas personalia merupakan asas
yang menetukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak
hanya untuk kepentingan perseorangan saja.
2. Asas konsensualitas
Asas ini dapat ditemukan dalam rumusan pada pasal 1320 KUHPerdata, yang
berbunyi :
Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan 4 syarat :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
d. Suatu sebab yang dilarang;
Asas konsensualitas memperlihatkan kedapa kita semua, bahwa pada
dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang
mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih
27
pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai
kesepakatan, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan
semata-mata. ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai
perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walaupun
demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitor (pihak yang berkewajiban
memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan
adanya suatu tindakan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
konsensualitas itu sebuah perjanjian disebut sah bila ada suatu kesepakatan, yakni
perseuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3. Asas kebebasan berkontrak
Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan bekontrak menemukan
dasar hukumnya pada rumusan pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Untuk diperlukan perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat :
a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
d. Suatu sebab yang tidak terlarang;
Dengan asas kebebasan bekontrak ini, para pihak yang membuat dan
mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan
atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi
yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Artinya asas
perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Namun
kebebasan tersebut tidak oleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan.
D. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat yang diperlukan agar suatu
perjanjian atau kontrak itu sah dan mengikat secara hukum, syarat sahya perjanjian
dapat dilihat didalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi :28
1. Kesepakatan mereka mengikatkan dirinya
Yaitu adanya titik temu diantara pihak tentang kepentingan-kepentingan
mereka yang berbeda.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Yaitu mampu melakukan perbuatan hukum, prinsipnya, semua orang
berhak melakukan perbuatan hukum, kecuali orang yang belum dewasa,
dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang oleh
undang-undang.
3. Suatu pokok persoalan tertentu
Yaitu objek perjanjianya harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis
maupun jumlahnya.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Yaitu objek yang diperjanjikan bukanlah objek terlarang tapi diperbolehkan
oleh hukum.
28
Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif sahnya perjanjian.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objekftif dalam dalam suatu
perjanjian . berikut adalah penjelasan dari syarat tersebut :29
i. Kesepakatan mereka mengikatkan dirinya
Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang mengadakan
atau melangsungkan perjanjian. Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi
pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa
kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1321 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih
pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan,
bagaimana cara melakasanakanya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakan.
ii. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Artinya kecakapan untuk bertindak dengan adanya kecakapan untuk
bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian
yang sah diantara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal
berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum.
29
Didalam masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut
doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan dalam :
a. Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan
dengan kecakapanya untuk bertindak dalam hukum;
b. Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini
tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XVI KUHPerdata dibawah judul
“pemberi kuasa”
c. Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari
pihak lain.
Kecakapan
Hal –hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak
dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi dan orang-perorangan ini
diatur dalam pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 kitab undang-undang hukum
perdata. Pasal 1329 kitab undang-undang hukum perdata menyataka bahwa : setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Namun dalam pasal 1330 KUHperdata memberikan batasan siapa saja yang
dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa :
1. Anak yang belum dewasa
2. Orang yang ditaruh dibawh pengampunan
3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang
Pemberi Kuasa
Sedangkan kewenangan bertindak berdasarkan pemberian kuasa pihak lain,
diatur dalam BAB XVI KUHPerdata didalam pasal 1792 KUHPerdata menyatakan
bahwa : Pemberian kuasa ialah suatu perjanjian yang berisikan pemberian
kekuasaaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas
nama orang yang memberikan kuasa.
Dengan pemberian kuasa, pemberi kuasa dapat memberikan kuasa kepada
penerima kuasa khusus hanya untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang
berkaitan dengan hal-hal berhubungan dengan perubahan harta kekyaan pemberi
kuasa.
iii. Suatu pokok persoalan tertentu
Tentang hal tertentu dalam perjanjian KUHPerdata menjelaskan maksud hal
tertentu dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 KUHPerdata yang
berbunyi sebagai berikut : Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
perjanjian berupa suatu kebendaaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Secara sepintas, dengan rumusan “ pokok perjanjian berupa barang yang telah
ditentukan jenisnya” tampaknya KUHPerdata hanya menekankan pada perikatan
untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu.namun dari rumusan tersebut
hendak menjelaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatanya, baik itu
sesuatu, KUHPerdata menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti
melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.
iv. Suatu sebab yang tidak terlarang
Tentang sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal 1337 kitab
undang-undang hukum perdata. Pasal 1335 kitab undang-undang Hukum perdata
menyatakan bahwa : Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena
suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab” yang
dimaksud dalam pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam pasal 1335
KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :30
1. Bukan tanpa sebab;
2. Bukan sebab yang palsu;
3. Bukan sebab yang terlarang;
E. Wanprestasi
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena
kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Ada bebrapa pendapat
para sarjana tentang wanprestasi yakni:31
1. J.satrio
Suatu keadaan dimana debitur tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
30
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja ,Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT Raja Grafindo, hlm. 161
31
2. Yahya harahap
Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan
keharusan bagi pihak debitur untuk membayarkan ganti rugi, atau dengan
adanya wanprestasi oleh satu pihak, pihak yang lainya dapat menuntut
pembatalan perjanjian.
Bentuk-bentuk wanprestasi
Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
Melaksankan tetapi tidak seperti diperjanjikan
Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.32
Pembelaan Debitur Yang Wanprestasi
Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya
diberikan hukuman atas kelalaianya, ia dapat membela dirinya dengan mengajukan
beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu.
Pembelaan tersebut ada 3 macam, yaitu : 33
1. Menyatakan adanya keadaan memaksa (overmacht).
Dengan memajukan pembelaan ini debitur berusaha menunjukan bahwa tidak
terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali
tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan
atau peristiwa yang timbul dari diluar dugaan. Contoh : Gempa bumi, tsunami
dll.
32 Ibid. 33
2. Menyatakan bahwa kreditur lalai
Bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian
timbal balik dianggap ada suatu azas bahwa kedua belah pihak itu harus
sama-sama melakukan kewajibannya, masing-masing dapat mengatakan “jangan
menggap saya lalai kalau kamu sendiri juga sudah melalaikan kewajibanmu”.
Contoh : Si pembeli menuduh si penjual terlambat menyerahkan barangnya,
tetapi ia sendiri ternyata sudah tidak menepati janjinya untuk memberikan uang
muka.
3. Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknnya
Suatu sikap dari pihak kreditur dari mana pihak debitur boleh menyimpulkan
bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi. Contoh : si pembeli,
meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung
cacat yang tersembunyi dan tidak menegor si penjual atau mengembalikan
barangnya tetapi barang itu dipakainya. Bahkan barang tersebut dipesan lagi
dengan dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli.
Dalam hal ini jika ia kemudia menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian
maka tuntutan itu sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.
F. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas
dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
dengan undang-undang pidana tetapijuga jika perbuatan tersebut bertentangan
dengan unadng-udang lainya dan bahkan dengan ketentuan ketentuan hukum yang
tidak tertulis.34
Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam
undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum
adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menentukan satu pasal umum, yang
memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum dalam bahasa belanda disebut dengan onrechtmatigedaad dan
dalam bahasa inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti
salah. Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri
berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan
berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan
pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechtmatigedaad dalam system
hukum belanda atau dinegara-negara eropa continental lainya. Kata “tort” berasal
dari kata latin ”torquere” atau “tortus” dalam bahasa perancis, seperti kata
“wrong” yang berarti kesalahan atau kerugian “injury”. Sehingga pada prinsipnya,
tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan
melawan hukum ini adalah untuk mencapai seperti apa yang dilakukan dalam
pribahasa bahasa latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non
laedre, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak
merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).35
34
http://yasminelisasih.com/2012/05/31/perbuatan-melawan-hukum/, terakhir di akses pada tanggal 5 februari 2014
35
Onrechtmatigedaad pada pasal 1365 KUHPerdata dinyatakan : tiap
perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum itu
disebut sebagai subjek hukum yaitu biar manusia sebagai subjek hukum dan juga
badan hukum sebagai subjek hukum, dalam ilmu hukum terdapat tiga kategori
perbuatan melawan hukum yaitu :
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum :
Sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan melawan
hukum harus mengandung unsur-sebagai berikut :
a. Adanya suatu perbuatan;
b. Perbuatan tersebut melawan hukum;
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
d. Adanya kerugian bagi korban;
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Perbuatan melawan hukum menurut perspektif hukum pidana berarti apabila
perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan.
Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata dari sifat melanggarnya
oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab
hukum adalah undang-undang yang disebut sebagai pendirian formal, dan belum
tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang yang
bersifat melawan hukum, karena hukum bukanlah undang-undang saja disamping
undang-undang ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau
kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang disebut sebagai