• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT SKRIPSI"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

POSISIPENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH

DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

ANIFATUL KIFTIYAH NIM 072111055

PROGRAM STUDI KONSENTRASI ILMU FALAK

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)

ii Jl. Candi Permata II / 180 Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks Hal : Naskah Skripsi

An. Sdri. Anifatul Kiftiyah

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara :

Nama : Anifatul Kiftiyah

NIM : 072111055

Judul Skripsi : PosisiPenggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosyahkan.

Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 10 Mei 2011 Pembimbing I Drs. H. Eman Sulaeman, MH NIP. 19650605 199203 1003 Pembimbing II

Drs. H. Slamet Hambali, M.Si NIP. 19540805 198003 1 004

(3)

iii

PENGESAHAN

Nama : Anifatul Kiftiyah

N I M : 072111055

Fakultas/Jurusan : Syari’ah / Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Ilmu Falak

Judul : Posisi Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta hadiningrat

Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :

20 Juni 2011

dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata 1 (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah.

Semarang, 20 Juni 2011 Dewan Penguji, Ketua Sidang, Moh.Khasan, M. Ag NIP. 19741212 200312 1004 Sekretaris Sidang, Drs. H. Eman Sulaeman, MH NIP. 19650605 199203 1003 Penguji I, Dr. Ali Imron, M. Ag NIP. 19730730 200312 1003 Penguji II, H, Ahmad Izzuddin, M. Ag NIP. 19720512 199903 1003 Pembimbing I, Drs. H. Eman Sulaeman, MH NIP. 19650605 199203 1003 Pembimbing II,

Drs. H. Slamet Hambali, M.Si NIP. 19540805 198003 1002

(4)

iv

















Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu

terang,

agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala

sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.

(Q.S. al-Isra: 12)

















Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap dosa mereka, akan tetapi kewajiban mereka telah mengingatkan mereka agar mereka bertaqwa.

(5)

v

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan untuk:

Bapak dan ibu tersayang

(Mastur dan Suparti), yang dengan sabar dan ikhlas mendidik anknya sampai saat ini dan seterusnya, yang selalu mengingatkan untuk memberi yang terbaik

dengan cara yang terbaik pula.

Adik-adik ku tersayang (Muhammad Habib Firmansyah dan Ahyi Hidayatullah Kavi).

Serta guru-guru tercinta semoga ilmu yang diberikan menjadi barokah dan senantiasa bermanfaat di dunia dan akhirat.

Serta untuk oarang-orang tersayang (keluarga serta sahabat-sahabat yang selalu ada) yang turut serta mendoakan untuk menjadi lebih baik.

(6)

vi

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan, demikian juga skripsi ini tidak berisi pikiran orang lain kecuali referensi dan informasi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 12 Juni 2011

Deklarator

Anifatul Kiftiyah NIM:72111055

(7)

vii

ABSTRAK

Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal adanya Penanggalan Jawa Islam. Hanya beberapa kelompok masyarakat Jawa saja yang masih menggunakan penanggalan Jawa Islam. Dari beberapa kelompok tersebut banyak yang masih menggunakan sistem hisab Aboge. Akan tetapi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah menggunakan sistem Asapon. Hal menarik bagi penulis yang akan penulis teliti adalah tentang posisi penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam hal yang berkaitan dengan penentuan ibadah. Sebagaimana yang kita tahu masalah yang berkaitan dengan penentuan waktu-waktu untuk pelaksanaan ibadah merupakan masalah yang sangatlah krusial.

Dalam penelitian ini, persoalan yang dibahas adalah: 1. Bagaimanakah sistem penanggalan Jawa Islam yang di pakai oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?, 2. Bagaimana posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dibutuhkan metode penelitian yang bersifat lapangan (Field Research) dengan pendekatan ilmu falak. Data primer berupa hasil wawancara kepada ahli hisab Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Data sekunder diperoleh dari dokumentasi, berupa catatan atau tulisan. Analisis dilakukan bersamaan dengan penyajian data berdasarkan pendekatan penelitian, dengan metode analisis deskriptif. Tujuan dari analisis deskriptif sendiri untuk memberikan deskripsi mengenai subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Analisis ini digunakan untuk mengetahui Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Hadiningrat Ngayogyakarta.

Temuan dari hasil skripsi ini adalah pertama, dalam perhitungan penanggalan Jawa Islam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih menggunakan cara perhitungan manual dengan rumus sederhana (sistem aritmatik). Sehingga untuk menentukan tanggal, bulan, dan tahun pihak hisab Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat harus mengetahui urutan penanggalan sebelumnya. Kedua, terjadi pergeseran penggunaan penanggalan Jawa Islam antara sebelum kemerdekaan RI dengan setelah kemerdekaan RI. Saat ini penggunaan penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam hal penetapan waktu ibadah lebih mengikuti ketetapan pemerintah, akan tetapi dalam penetapan upacara adat istiadat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih tetap menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai acuan.

(8)

viii

telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ‘inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam Dalam Pelaksanaan Ibadah Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a, perhatian, pengorbanan, nasehat dan curahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapkan dalam untaian kata-kata.

2. PD. Pontren Kementrian Agama RI, yang telah memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.

3. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).

(9)

ix

4. Drs. H. Eman Sulaeman, MH., selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak (KIF) yang pertama, beserta staf-staf-nya, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya mulai dari pertama kita belajar di Semarang sampai saat ini. Arja’ Imroni, M.Ag, selaku ketua prodi Konsentrasi Ilmu Falak yang ke dua, yang turut serta membimbing kami saat ini dengan penuh kesabaran. 5. KH. Sirodj Chudlori, dan H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, selaku Kyai, serta

pembimbing penulis selama di Semarang, serta keluarga besar PP. Daarun Naajah.

6. Eman Sulaeman, M.H., selaku pembimbing I dan dosen wali, serta Drs. Slamet Hambali, M.Si, selaku pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah memberikan masukan sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini. 7. Para abdi dalem Keraton Hadiningrat Ngayogyakarta khususnya bapak KRT.

Rintaiswara yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data serta informasi yang diperlukan dalam penulisan skripsi.

8. Keluarga besar Amanatul Ummah yang telah mendidik selama 6 tahun dalam menimba ilmu.

9. Sayful Mujab dan Tedi Kholiludin atas segala bantuan dan pengarahannya. 10.Mamas, thank’s for everything (yang tidak bisa disebutin satu persatu).

11.Buat temen-temen Genk-Star tersayang (Cepot, Yuyun, Bekong, Ipeh, Yoyo’, Katrok, Adah band, Faroh, Aro, Mannan, Rifa’, Entink, tahrir, Mbah Ansor, Faqih, Hasdul, Encep, Raymon, Mas Camcul, Maryantul, Jaelani, Ibor, Opil, Oki, Hasan, Mahyo, Usro’, Anis, Inung.). Manis pahit perjalanan kita adalah

(10)

x

12.Sobat-sobat D’najira dan ade’-ade’ KIF yang udah ngasih banyak kebaikan. Khususnya Litle family in badriyah room (kitri, yuyun, latipong, aina, nita) temen tidur bareng, temen bercerita kesana kemari.

13.Temen-temen HIMMAH Jogja ”Himpunan Mahasiswa Amanatul Ummah Jogjakarta” (fita, ana, ziqi, syauqi, dkk), temen-temen UIN Sunan Kalijaga (Arip, Lang) yang udah ngasih hotel gratis selama penelitian.

14.Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis selama penulis menimba ilmu di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Tidak ada ucapan yang dapat penulis kemukakan disini atas jasa-jasa mereka, kecuali sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt.

Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.

Semarang, 12 Juni 2011 Penulis

Anifatul Kiftiyah

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN DEKLARASI ... vi

HALAMAN ABSTRAK ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Telaah Pustaka ... 12

E. Metodologi Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan... 18

BAB II : TINJAUAN UMUN TENTANG SISTEM PENANGGALAN JAWA ISLAM A. Sistem Penanggalan ... 20

1. Metode Hisab ... 21

(12)

xii

2.1. Hisab Haqiqi Taqribi ... 28

2.2. Hisab Haqiqi Bi Tahqiqi ... 29

2.3. Hisab Haqiqi Kontemporer ... 30

C. Penanggalan Jawa Islam ... 38

BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP POSISI PENGGUNAAN SISTEM PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT. A. Sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ... 45

1. Awalnya, Mataram Islam ... 45

2. Kasultanan Yogyakarta ... 48

B. Sejarah Penanggalan Jawa Islam ... 50

C. Pengertian dan Macam-macam Ibadah ... 52

D. Sistem Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ... 56

E. Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ... 67

(13)

xiii

BAB IV : ANALISIS POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT.

A. Analisis Sistem Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ... 71 B. Analisis Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam

Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat ... 79

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 1. Sistem Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ... 91 2. Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ... 91 B. Saran ... 92 C. Penutup ... 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

(14)

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mengetahui banyaknya sistem perhitungan awal bulan dalam tahun Hijriyah, Jawa dan Masehi termasuk salah satu persoalan yang penting untuk dipelajari karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Terutama dibidang agama dalam penentuan hari-hari besar agama Islam maupun agama-agama lainnya. Pentingnya perhitungan awal bulan ini karena masyarakat masih menggunakan penetapan awal bulan sebagai acuan ibadah secara Syar’i.

Penanggalan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya penanggalan akan terasa hambar, karena masyarakat akan kesulitan dalam menentukan kegiatan yang akan mereka lakukan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan waktu. Penanggalan ini telah ada sejak dulu kala, mulai dari bentuk dan sistem yang sederhana kemudian terus berkembang menjadi lebih baik dan praktis.

Adanya penanggalan ini kita bisa mengetahui hari, tanggal, bulan dan tahun. Karena penanggalan merupakan manifestasi dari satuan waktu, yang satuan-satuan tersebut dinotasikan dalam ukuran hari, tanggal, bulan, tahun dan sebagainya.

(15)

2

Di negara Indonesia terdapat tiga penanggalan yang sudah mengakar kuat dengan pola kehidupan masyarakat. Penanggalan tersebut adalah penanggalan Masehi1 (Syamsiyah), penanggalan Hijriyah2 (Kamariah), dan penanggalan Jawa3. Penanggalan Masehi biasanya banyak digunakan masyarakat pada umumnya. Sedangkan penanggalan Hijriyah biasanya digunakan oleh umat Islam untuk menentukan waktu-waktu ibadah. Sedangkan penanggalan Jawa hanya digunakan oleh masyarakat Jawa tertentu.

Satu tahun Masehi (masa perjalanan semu Matahari dari titik aries4

hingga kembali ke titik aries lagi) adalah 365,25 hari. Untuk mengatasi angka

pecahan 0,25 hari maka dibuatlah tahun pendek yang disebut dengan tahun

basitoh, dan tahun panjang yang disebut kabisat. Tahun pendek umurnya 365

hari, sedangkan umur tahun panjang 366 hari. Urutan 1, 2, 3, adalah tahun pendek (basitoh), sedangkan urutan 4 adalah tahun panjang (kabisat)5.

Sedangkan satu tahun Hijriyah rata-rata adalah 354 11/30 hari. Tahun pendek berumur 354 hari, dan tahun panjang berumur 355 hari. Dalam setiap 30 tahun terdiri dari 11 tahun panjang dan 19 tahun pendek. Tahun-tahun

1

Dinamakan tahun syamsiyah karena perhitungannya dihitung menurut lamanya Bumi mengeliningi Matahari dalam satu kali putaran. Tahun ini dinamakan juga tahun miladiyah. Zul Efendi, IlmuFalak, Bukit Tinggi: STAIN Bukit Tinggi, 2002, hlm. 67. Dalam bukunya Susiknan Azhari, tahun ini disebut juga tahun tropis, yaitu periode revolusi Bumi lamanya 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik. Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,

Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007, cet. 2hlm. 17 2

Dinamakan tahun Kamariah karena perhitungannya berdasarkan gerak Bulan mengelilingi Bumi selama 29 hari 12 jam 44 menit dan 03 detik atau masanya satu bulan Kamariah. ibid., hlm.75-76

3

Tahun Jawa di sebut juga tahun Aji Saka, sebab permulaan perhitungannya di mulai seorang raja dari keturunan Aji Saka, pada tahun 78 M. Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa,Semarang: IAIN Walisongo, 2009, hlm. 7

4

Dua buah titik perpotongan ekliptika dan equator sekitar tanggal 21 maret. P. Simamora , Ilmu Falak (KOSMOGRAFI), Jakarta: CV. Pedjuang Bangsa, 1985, hlm. 13.

5

Abd. Salam Nawawi, Ilmu Falak Cara Praktis Menghitung Waktu Shalat Arah Kiblat Dan Awal Bulan, Sidoarjo: Aqaba, 2009, cet. 4, hlm. 49

(16)

panjang (kabisat) ada pada urutan tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29.6

Dalam satu tahun terdapat 12 bulan baik tahun Syamsiyah, Kamariah maupun tahun Jawa, sebagaimana Firman Allah swt:



Artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu menciptakan langit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram …". ( al Taubah 36)7 Untuk bulan pada tahun Syamsiyah, jumlah harinya sudah dapat diketahui secara pasti yaitu 30 atau 31 hari setiap bulannya kecuali untuk bulan Februari jumlah harinya adalah 28 hari untuk tahun basitoh dan 29 hari untuk tahun kabisat. Sedangkan untuk tahun Kamariah jumlah hari dalam tiap bulannya sama dengan satu synodic8 sehingga selama satu tahun jumlah hari

dalam satu bulan akan bergantian antara 29 atau 30 hari, sehingga penentuannya memerlukan perhitungan yang jelas.

Secara fiqh terdapat dua metode dalam penentuan awal bulan Kamariah yakni dengan cara hisab dan rukyah, akan tetapi di negara Indonesia

6

Ibid., hlm. 53. 7

Depag RI, al- Qur’an dan Terjemahnya A-Jumanatu ‘Ali,Bandung: CV Penerbit J-ART, 2005, hlm. 193.

8

Synodic atau dalam istilah falak Ijtima’ adalah durasi yang dibutuhkan oleh Bulan berada dalam suatu fase Bulan baru ke fase Bulan baru berikutnya. Adapun waktu yang dibutuhkan adalah 29,530588 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Lihat dalam Susiknan Azhari Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 29.

(17)

4

terdapat beberapa metode yakni, Rukyah fi Wilayatul Hukmi, Rukyah Global,

dan Imkanurukyah, Hisab,Kejawen (Aboge, Asapon).9

Rukyah adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit di langit (ufuk)10 sebelah barat setelah matahari terbenam menjelang awal

bulan Kamariah, khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzhulhijjah, untuk menentukan Bulan baru itu dimulai.11 Metode rukyah ini berlandaskan dengan hadits Nabi SAW:

امهىع للها يضر رمع هب للها دبع هع عفاو هع كل ام هع ةملسم هب للهادبع اىثدح

:

لاقف ن اضمر ركذ معلص للها لىسر نا

:

ل لاهلا اورت ىتح اىمىصت لا

,

اورطفت لاو

ًل اوردقاف مكيلع مغ ناف يورت ىتح

Artinya : “telah diceritakan Abdulah bin Maslamah dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar R.A.: sesungguhnya Rasullullah SAW telah menyebutkan bulan ramadln maka bersabda: maka jangan kamu berpuasa kecuali telah melihat hilal (bulan) dan (kelak) janganlah kamu berbuka kecuali setelah melihatnya. Jika kalian di tutupi mendung maka sempurnakanlah. 12

9

Direktorat Pendidikan dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Kumpulan Materi Pelatihan Ketrampilan Khusus Bidang Hisab-Rukyat, dalam makalah Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, Masjid Agung Jawa Tengah, 2007. Dalam power pointnya rukyah global disebut juga rukyah Internasional.

10

Ufuk atau horison merupakan garis batas pandangan manusia. Semakin tinggi letak seseorang semakin luas pandangan yang bisa dilihat. Untuk itu tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan Hilal adalah tempat yang tinggi di pinggir laut lepas. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab & Rukyah, Gema Insani Press: Jakarta, 1996, hlm. 22-23

11

Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: buana Pustaka, 2004, hlm. 173

12

Muhammad Abdul Aziz al-Halidi,1996, Irsyadus Syariy, jilid 4 , Beirut: Darl al-Kotob al-Alamiyah, hlm. 458.

(18)

Untuk Rukyah fi Wilayatil Hukmi sendiri adalah rukyah sejauh wilayah

hukum, sehingga dibagian manapun dari Sabang sampai Merauke rukyah dilakukan, hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.13

Sedangkan Rukyah Internasional14 merupakan rukyah ditujukan pada

seluruh umat Islam di dunia. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan.15 Sedangkan Imkanurrukyah adalah metode

dalam penentuan awal bulan Kamariah yang dipakai pemerintah untuk menghilangkan perbedaan.16

Adapun hisab sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung. Dalam ilmu falak yang dimaksud dengan hisab adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui hilal. Dalam literatur-literatur klasik ilmu hisab juga sering disebut dengan ilmu Falak.17

Metode hisab ini melandaskan pada firman Allah.













Artinya : ”Dialah yang menjadikan matahari bersinar, bulan bersinar dan ditetapkannya manzilah manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan diperhitungkan” (Q.S Yunus: 5)18

13

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 6

14

Rukyah internasional ini disebut juga dengan rukyah global. Lihat Ahmad Izzuddin dalam power point Kumpulan Materi Pelatihan Ketrampilan Kuhusus Bidang Hisab-rukyat di Masjid Agung Jawa Tengah 2007.

15

Ibid,. hlm. 86. 16

Ibid., hlm. xvi. 17

Fakhrudin ar-Razi, At-tafsir al-Kabir, Beirut dar al-Fikr, 1398 H juz 5, p. 479, lihat Susiknan Azhari , Ilmu Falak, Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007. Cet. 2. hlm. 97-98.

18

(19)

6

Kaidah yang digunakan dalam ilmu hisab adalah kaidah eksakta,

yaitu dalam menjelaskan kaidah-kaidah Ilmu Hisab modern menggunakan

pendekatan Spherical Trigonometry yaitu ilmu ukur segitiga bola yang

menggunakan data-data hasil observasi. Oleh karena itu, data-data yang digunakan oleh ilmu hisab modern dapat dikontrol dan dikendalikan oleh setiap saat dengan hasil observasi. Atas dasar inilah, banyak kalangan mengatakan bahwa ilmu hisab ini memberikan hasil yang gath’i (pasti) dan meyakinkan. 19

Perkembangan selanjutnya, hisab terbagi menjadi beberapa kelompok sehingga kemudian dikenal istilah Hisab Urfi20 dan Hisab Hakiki21. Yang

termasuk dalam hisab urfi adalah hisab penanggalan Jawa Islam. Sedangkan istilah Hisab Haqiqi dikalsifikasikan menjadi Hisab Haqiqi Taqribi, Hisab

Haqiqi bil Tahqiqi dan Hisab HaqiqiKontemporer.22

19

Depag RI. Almanak Hisab Rukyat Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm.15.

20

Hisab Urfi adalah perhitungan awal bulan Kamariah yang didasarkan pada umur-umur Bulan secara konvensional, untuk Bulan-bulan ganjil berumur 30 dan bulan-bulan genap berumur 29 hari kecuali pada tahu kabisat untuk bulan yang ke 12 menjadi 30 hari. Setiap satu daur (30 tahun) terdapat 11 tahun kabisat (panjang = 355 hari)bdan 19 tahun basitah (pendek = 354 hari). Tahun-tahun kabisat jatuh ke 2, 5, 7, 10, 13, 15 (16), 18, 21, 24, 26, dan 29. Selain dari urutan tersebut merupakan tahun basitah. Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan press, 2009, hlm. 79

21

Hisab haqiqi adalah hisab yang didasarkan pada perdaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur Bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan melainkan bergantung posisi Hilal setiap Bulan. Sehingga umur Bulan bisa jadi berturut -turut 29 hari atau 30 hari bahkan boleh jadi bergantian, ibid.

22

Makalah disampaikan dalam seminar Nasional sehari hisab rukyah di Tugu Bogor Jawa Barat pada tanggal 27 April 1992.

(20)

Hisab Haqiqi Taqribi, kelompok ini menggunakan data Bulan dan

Matahari berdasarkan data dan table Ulugh Bek23 dengan proses perhitungan

yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola.24

Hisab Haqiqi bi Tahqiqi,yaitu dengan cara menghitung atau

menentukan posisi Matahari, Bulan dan titik simpul orbit Bulan dengan orbit Matahari dalam sistem koordinat ekliptika. Artinya sistem ini menggunakan tabel-tabel yang sudah dikoreksi dan diperhitungkan relatif lebih rumit, serta mamakai ilmu ukur segitiga bola.25

Hisab Haqiqi Kontemporer, metode ini menggunakan hasil penelitian

terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan, sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan teknologi dan sains. Cara hitung lebih mudah dengan bantuan alat teknologi yang berkembang. Rumus-rumusnyapun lebih disederhanakan.26

Akibat dari pengelompokan-pengelompokan dalam sistem hisab tidak jarang terjadi perbedaan perhitungan antara kelompok yang satu dengan yang lain sehingga di antara sesama madzhab hisabpun sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah, hal ini karena metode yang digunakan

23

Ahli astronomi yang lahir di Salatin (1393 M) dan meninggal di Iskandaria (1449) dengan obsevatoriumnya ia berhasil menyusun tabel data astronomi yang banyak digunakan pada perkembanga ilmu falak masa-masa selanjutnya. Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak,Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005,hlm. 117

24

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha,Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 7-8.

25 Ibid. 26

(21)

8

dalam menghitung menggunakan metode yang berbeda pula. Termasuk dalam perhitungan penanggalan Jawa Islam yang termasuk dalam hisab urfi.

Sedangkan hisab kejawen lebih dikenal dengan penanggalan Jawa Islam yang mempunyai arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari, tanggal, keagamaan, akan tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan yang disebut petangan jawi. Yakni perhitungan baik buruk yang dilukiskan

dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranatamangsa, wuku, dan lain-lainya.27

Penanggalan Jawa Islam ini merupakan penggabungan antara penanggalan Jawa Saka dan penanggalan Hijriyah. Nama hari dalam Penanggalan Jawa Islam berasal dari kata-kata Arab yakni Ahad, Isnain,

Tsalasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabtu. Nama-nama itu dipakai sejak pergantian penanggalan Jawa Saka menjadi penanggalan Jawa Islam yang nama ilmiahnya Anno Javanico. Pergantian penanggalan itu mulai 1 Sura

tahun alip 1555 J yang jatuh pada 1 Muharram 1043 H, sama dengan 8 Juli 1633 M. Penanggalan tersebut merupakan bukti akulturasi agama Islam dan kebudayaan Jawa yang luar biasa.28

Sebagaimana telah diketahui, sistem penanggalan Jawa Islam pada masa lampau dikenal adanya pembagian enaman (Sadwara), limaan

(Pancawara) hari yang tertera dalam prasasti dan masih berlaku pada masa

27

Suwardi Endraswar, Budaya Jawa,Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005, hlm. 151. Dikutip dari Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi Atas Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2006, hlm. 15

28

(22)

sekarang di Bali. Sedangkan dalam sistem pancawara pada Jawa modern masih mengenal istilah: Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.29

Penanggalan Saka mengikuti sistem Solair atau Syamsiyah, perjalanan

Bumi mengitari Matahari, sedangkan penanggalan Sultan Agung mengikuti sistem Lunair atau Kamariah, yakni perjalanan Bulan mengitari Bumi seperti

penanggalan Hijriyah.30

Sebagaimana sebuah penanggalan, bahwa penanggalan Jawa Islam merupakan salah satu hasil warisan dan budaya asli bangsa Indonesia. Dan saat ini pun mulai hilang dan luntur. Karena sudah jarang lagi masyarakat yang menganutnya. Akan tetapi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih menggunakan penanggalan Jawa Islam.31 Yang sampai saat ini masih dipegangi oleh mayoritas umat Islam Jawa sebagaimana di kalangan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menentukan hari-hari besar seperti acara Maulud Nabi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Grebegan), di Keraton

Cirebon (PunjungJimat), penentuan satu Suro, Poso dan hari raya (awal-akhir

Poso dan Riyoyo). Pemakaian prinsip Asapon ini memang sudah semestinya,

karena menurut perhitungan yang berlaku adalah pemikiran Asapon, bukan

pemikiran-pemikiran sebelumnya seperti Aboge, Ajumgi atau Akawon yang

semestinya sudah dinasah (diganti).32

29

Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jakarta: PT Logos Wancana Ilmu, 1998, hlm. 274-275.

30

M. Hariwijaya, Islam Kejawen, op. cit., hlm. 242 31

Terbukti masih adanya penanggalan yang bercorak Jawa yang masih digunakan dan di cetak oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

32

Mengenai alasan harus adanya penggantianya prinsip dapat dilhat dalam Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, op.cit., hlm 7-9.

(23)

10

Suku Jawa sendiri adalah kelompok etnis terbesar di Asia Tenggara. Etnik ini berjumlah sekitar empat puluh persen dari dua ratus juta penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah pemeluk agama Islam.33 Adapun pusat dari peradaban Jawa ini terletak di Jawa Tengah yang berpusat di Surakarta dan Yogyakarta yang biasa disebut dengan Kejawen.34

Banyak orang Jawa yang sangat mencintai peradaban mereka sendiri. Seringkali mereka melihatnya sebagai intisari kebudayaan mereka. Mereka gemar sekali menjelaskan praktik-praktik keagamaan yang berhubungan dengan adat-istiadat, perhitungan hari, dan hal-hal sejenisnya. Untuk memahami apa yang terjadi, kita harus menyelami latar belakang pemikiran Jawa. Termasuk pemikiran mereka tentang penanggalan Jawa Islam yang masih mereka gunakan sampai saat ini.

Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal adanya Penanggalan Jawa Islam. Hanya beberapa kelompok masyarakat Jawa saja yang masih menggunakan penanggalan Jawa Islam. Dari beberapa kelompok tersebut banyak yang masih menggunakan sistem hisab Aboge. Akan tetapi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah menggunakan sistem Asapon.

Hal menarik bagi penulis yang akan penulis teliti adalah tentang posisi penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam hal yang berkaitan dengan penentuan ibadah. Sebagaimana yang kita tahu masalah yang berkaitan dengan penentuan waktu-waktu untuk pelaksanaan ibadah sangatlah krusial.

33

Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, Yogyakarta :PT. LKiS Printing Cemerlang, 2001, hlm. 9

34

(24)

Oleh karena itu yang menjadi alasan penulis dalam penelitian ini adalah sejauh ini Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih menggunakan sistem penanggalan Jawa Islam. Dengan alasan di atas, maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian tentang posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat khususnya

dalam bidang agama dengan judul “POSISI PENGGUNAAN

PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT.”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis kemukakan pokok masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah sistem penanggalan Jawa Islam yang dipakai oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?

2. Bagaimana posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dan manfaat dari adanya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sistem perhitungan penanggalan Jawa Islam yang dipakai di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Untuk mengetahui posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

(25)

12

D. TELAAH PUSTAKA

Sejauh penelusuran penulis sudah ada beberapa buku yang membahas tentang sistem penanggalan Jawa Islam. Lebih khususnya lagi dalam buku-buku falak dan penelitian hisab rukyah. Dalam skripsi Ahmad Syifa’ul Anam

Studi tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab Khulasoh alWafiyah

dengan metode hakiki bi tahqiq yang menguraikan bagaimana hisab awal

bulan dengan metode kitab Khulasoh al-Wafiyah.35

Dalam penelitian Ahmad Izzuddin tentang pemikiran Hisab Rukyah Muhammad Mas Mansur al-Batawi dalam kitab Sullamun Nayyirain.36

pemikiran Zubaer Umar al-Jaelany dalam kitab Kulasatul Wafiyah37.

Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil dalam kitab Fath al-Rauf al-Mannan.38

Dalam dua penelitian ini membahas tentang pemikiran studi tokoh, jadi jelas hal yang dibahas tentang pemikiran yang terkait dengan tokoh tersebut. Kemudian Skripsi Ahmad Izzuddin Analisis Kritis Tentang Hisab Awal Bulan

Qamariyah dalam Kitab Sullamun Nayyirain yang menguraikan hisab awal

bulan menurut kitab Sullamun Nayyirain.39

35

A.Syifaul Anam, Studi tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab Khulasoh alWafiyah dengan metode haqiqi bi tahqiq,Skripsi Sarjana fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang, 2001,t.d 36

Ahmad Izzuddin, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional(Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas Manshu al-Batawi), Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2004.

37

Ahmad Izzuddin, Zubaer Umar Al-Jaelany Dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyah Di Indonesia, Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2002.

38

Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil (Studi Atas Kitab Fath al-Rauf al-Mannan), Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2005.

39

Ahmad Izzuddin, Analisis kritis tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab Sullamun Nayyirain, Skripsi sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang,1997,td.

(26)

Selain itu Ahmad Izzuddin dalam penelitiannya Fiqh Hisab Rukyah

Kejawen Studi Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun Golak Desa

Kenteng Ambarawa Jawa Tengah 40, penelitian yang ketiga ini berisi tentang

hisab jawa semacam Aboge dan Asapon yang lebih ditekan kan kepada

penelitian di dusun Golak, desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah.

Dalam skripsi Tahrir Fauzi, Studi Analisis Penetapan Awal Bulan

Kamariah Sistem Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibaranag Kabupaten

Banyumas Jawa Tengah,41 M, Rizal Zakaria, Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Penggunaan Kalender Jawa Islam Aboge Sebagai Ancer-Ancer

Rukyah Dalam Penentuan 1 Syawal 1430 H Aliran Thoriqoh Naqsabandiyah

Kholidiyah Mujadidah Al-Aliyah Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang.42

Penulis juga berpedoman terhadap penelitian yang dilakukan oleh Slamet Hambali tentang penentuan Poso dan Riyoyo di Keraton Yogyakarta “Melacak Metode Penentuan Poso Dan Riyoyo Kalangan Keraton Yogyakarta”. Disana menjelaskan tentang bagaimana cara Keraton Yogyakarta menentukan Poso dan Riyoyo yang masih berpedoman terhadap penanggalan Jawa Islam.43

40

Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi Penentuan Poso dan RiyoyoMasyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah , Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2006.

41

Tahrir Fauzi, Studi Analisis Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Semarang: IAIN Walisongo, 2010, td.

42

M. Rizal Zakaria, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Kalender Jawa Islam Aboge Sebagai Ancer-ancer Rukyah dalam Penentuan 1 Syawal 1430 H Aliran Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah Mujadidah Al-Aliyah Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010, td.

43

Penelitian Slamet Hambali, Melacak Metode Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan Keraton Yogyakarta.

(27)

14

Dari beberapa tulisan di atas hanya membahas tentang sistem penanggalan Jawa beserta sejarah pergantian dari penanggalan Jawa asli ke sistem penanggalan Jawa Islam. Dalam kajian pustaka tersebut menurut penulis belum ada tulisan yang membahas masalah bagaimana sistem serta posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

E. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)44

yang berupaya mengungkap permasalahan penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam hal ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.45 Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

44

Penelitian lapangan adalah penelitian yang mempelajari secara intensif latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, mazhab, lembaga, atau komunitas. Dan merupakan penyelidikan mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa sehingga menghasilakan gambaran yang terorganisasikan dengan baik dan lengakap mengenai unit sosial tersebut. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 8.

45

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, hlm. 29. Sementara Hadawi dan Mimi Martin mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalalm keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan atau diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.

(28)

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.46

2. Metodepengumpulandata

a. Wawancara

Wawancara adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab dengan lisan pula. Ciri utama dari interview adalah adanya kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi (interviewer) dan sumber

informasi (interviewe).47

Dalam metode interview ini, penulis mengadakan wawancara dengan petugas keraton ndalem (abdi dalem) untuk mendapatkan

informasi sehubungan dengan penelitian ini. Dengan mewawancarai ahli hisab keraton bapak KRT. Rintaiswara

b. Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non manusia. Sumber ini terdiri atas dokumen atau rekaman.48 Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku Karaton Ngayugyakarta

Hadiningrat Pusat Budaya Jawa,, dan lain sebagainya. Teknik ini

digunakan untuk memperoleh data tentang keadaan disekitar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

46

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Rosdakarya, 2002, hlm. 3.

47

Ibid., hlm. 165. 48

Syamsuddin, Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 108.

(29)

16

Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, ada dua jenis data yang menjadi sumber penelitian ini, yakni data primer dan sekunder.

1) Sumber Data Primer

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan sumber data primer untuk memperoleh data-data dalam penyusunan proposal, seperti buku-buku atau kitab-kitab yang berkaitan erat dengan rumusan masalah yang dibahas dalam proposal ini. Karena data primer merupakan sumber informasi yang mempunyai wewenang serta tanggung jawab terhadap pengumpulan ataupun penyimpanan data. Sumber primer dalam penelitian ini adalah data hasil wawancara dengan ahli hisab keraton bapak KRT. Rintaiswara.

2) Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber informasi yang secara tidak langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi yang ada padanya.49

Dalam penelitian ini peneliti tidak hanya menggunakan sumber data primer saja. Akan tetapi sumber data sekunder juga dibutuhkan untuk melengkapi data-data serta keakurasian penelitian ini. Merupakan sumber data pendukung yang digunakan untuk memperkuat sumber utama. Sehingga akan lebih valid dalam menemukan kesimpulan.

49

(30)

3. Metode analisis

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.50 Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis disini menggunakan metode analisis deskriptif yakni suatu metode penelitian yang dimaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.51 Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep tersebut.

Setelah data terkumpul, data kemudian diolah dan dilakukan analisis data Metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode

analisis deskriptif. Tujuan dari analisis deskriptif sendiri untuk

memberikan deskripsi mengenai subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.52 Sebuah usaha untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan secara umum dan

menginterpretasikan mengenai apa yang ada tentang kondisi, pendapat yang sedang berlangsung serta akibat yang terjadi atau kecenderungan yang tengah berkembang. Analisis ini digunakan untuk mengetahui posisi penggunaan sistem penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

50

Lexy J. Moeloeng, ibid., 103. 51

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 18.

52

(31)

18

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam pengajuan proposal ini penulis akan membahas masalah-masalah sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian. Sebelumnya penulis sajikan sistematika sesuai dengan urutan pembahasannya, melalui tahap-tahap berikut ini.

BAB I: Pendahuluan

Akan membahas mengenai pendahuluan yang didalamnya berisi tentang judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Tinjauan Umun tentang Penanggalan Jawa Islam

Menjelaskan mengenai tinjauan umum tentang Sistem Penanggalan Jawa Islam. Dalam bab ini berisi tentang sistem penanggalan, Penanggalan Hijriyah dan Penanggalan Jawa Islam. Menjelaskan tentang definisi serta cara perhitungan dari penanggalan Hijriyah dan penanggalan Jawa Islam. BAB III: Tinjauan Umum Terhadap Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Menjelaskan mengenai tinjauan umum terhadap Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Meliputi, Sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sejarah penanggalan Jawa Islam, Sistem Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagaimana cara perhitungan serta seberapa

(32)

besar peran Penanggalan Jawa Islam ini dalam pelaksanaan ibadah terkait dengan Posisi penggunaannya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. BAB IV: Analisis Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Menjelaskan mengenai analisis terhadap Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pemaparan tentang pemikiran penulis untuk menganalisis Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

BAB V Penutup

Menjelaskan mengenai Penutup, bab ini merupakan bab penutup skripsi yang meliputi: kesimpulan, saran-saran dan penutup.

(33)

20

BAB II

TINJAUAN UMUN TENTANG SISTEM PENANGGALAN JAWA ISLAM

A. Sistem Penanggalan

Penanggalan atau yang biasanya disebut juga dengan kalender adalah sebuah sistem pengorganisasian dari satuan-satuan waktu, untuk tujuan penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Penanggalan berkaitan erat dengan peradaban manusia, karena penanggalan mempunyai peran penting dalam penentuan waktu berburu, bertani, bermigrasi, peribadatan, serta perayaan-perayaan. Peran penting penanggalan ini lebih dirasakan oleh umat-umat dahulu. Walaupun demikian, penanggalan tidak kurang penting peranannya bagi umat sekarang.1

Penentuan penanggalan pada penanggalan Islam adalah berdasar atas penampakan al-hilal (bulan baru atau sabit pertama setelah terjadinya

ijtima’)2 sesaat sesudah Matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya bulan Kamariah, walau tidak dijelaskan di dalam al-Hadis maupun

al--Qur'an, nampaknya karena adanya kemudahan dalam menentukan awal

bulan, serta kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk

1

Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 115 2

Ijtima’ juga disebut Iqtiran, yaitu antar Bumi dan Bulan berada pada bujur astronomi, (Dawairu al-Buruj) yang sama, dalam istilah astronomi disebut konjungsi, para ahli hisab dijadikan pedoman untuk menentukan Bulan baru (Kamariah), Badan Hisab Rukyah Depag RI,

Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 219.

(34)

(fase) Bulan3. Hal ini berbeda dari penanggalan Syamsiyah yang

menekankan pada konsistensi terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.4

Untuk itu dalam penentuan waktu-waktu ibadah ini, khususnya dalam penentuan awal bulan Kamariah dibagi menjadi 2 kelompok:

1) Metode Hisab

Dalam bahasa Inggris kata hisab disebut Arithmatic yaitu ilmu

pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan.5

Kata ’hisab’ secara istilah adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukan suatu benda yang diinginkan. Dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan Kamariah, yang dimaksud adalah untuk menentukan kedudukan Matahari atau Bulan. Sehingga, kedudukan Matahari dan Bulan tersebut dapat diketahui pada saat-saat tertentu, seperti pada saat terbenamnya Matahari.6

Kata Hisab dalam al-Qur’an yang mempunyai arti ilmu hisab

terdapat dalam surat Yunus ayat 5, yang berbunyi :

3

Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzatil Bain, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007, hlm. 2.

4

Untuk jumlah hari Masehi Basitoh / Kabisat = Januari (31), Februari (59/60), Maret (90/91), April (120/121), Mei (151/152), Juni (181/182), Juli (212/213), Agustus (243/244), September (273/274), Oktober (304/305), Nopember (334/335), Desember (365/366) lihat: Sayful Mujab, op.cit., hlm. 2

5

Badan Hisab Rukyah Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 14.

6

(35)

22

Artinya :“ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan

bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”(Q.S Yunus: 5).7

2) Metode rukyah

Kegiatan merukyat merupakan komponen yang sangat penting pula dalam perhitungan awal bulan. Hal ini dikarenakan kegiatan merukyah merupakan konsep syari’ yang diajarkan Nabi Muhammad kepada umatnya. Kegiatan ini pula merupakan observasi praktis berupa pengamatan untuk terciptanya hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan perhitungan awal bulan Hijriyah atau Kamariah. Kegiatan ini pula bisa dijadikan kegiatan untuk mengoreksi perhitungan atau hisab yang dipakai8.

Istilah rukyah dilihat dari metodenya berati melihat atau mengamati al-hilal dengan mata ataupun dengan alat bantu seperti

teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru Kamariah.9 Apabila al-hilal berhasil di lihat maka malam itu dan

keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu untuk bulan baru. Sedangkan apabila al-hilal tidak berhasil dilihat karena gangguan

7

Ibid, hlm. 306. 8

Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzatil Bain,op. cit., hlm.9-10.

9

Abd. Salam Nawawi, Algoritma Hisab Ephimeris, Semarang: Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyah Nahdotul Ulama, 2006,hlm. 130.

(36)

cuaca maka tanggal satu Bulan baru ditetapkan pada malam hari berikutnya atau Bulan di-istikmal-kan (digenapkan) 30 hari.

Bulan-bulan yang menjadi sorotan oleh metode rukyah ini adalah dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah. Dua Bulan pertama berkaitan dengan puasa dan hari raya Idul Fitri, yang ketiga berkaitan dengan ibadah Haji. Keberhasilan dalam pelaksanaan rukyat sendiri sangatlah bergantung pada kondisi ufuk saat Matahari terbenam dan ketajaman mata perukyah.

Diketahui pula bahwa perbedaan dalam menentukan awal bulan Kamariah juga terjadi karena perbedaan memahami konsep permulaan melihat hilal. Disinilah kemudian muncul berbagai aliran mengenai penentuan awal bulan.

Dalam al-Qur’an dijelaskan beberapa petunjuk yang dijadikan landasan hisab rukyah untuk penentuan awal bulan Kamariah. Dasar hukum tersebut adalah:

1. Dasar hukum al-Qur’an antara lain : al-Baqarah : 189















Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; (Q.S. al-Baqarah : 189).

(37)

24 al-Baqarah ayat 185



















Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.(Q.S. al-Baqarah:185 )

Surat al-Isra ayat 12

























Artinya: Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Q.S. al-Isra: 12)

2. Dasar hukum dari hadis antara lain:

َةَرٌَْرُى اَبَأ ُتْعِمَّس َلاَق ٍداٌَِز ُنْب ُذَمَّحُم اَنَثَذَح ُتَبْعُش اَنَثَذَح ُمَدآ اَنَثَذَح

وُبَأ َلاَق َلاَق ْوَأ َمَلَّسَو ِوٍَْلَّع ُوَلّلا ىَلَّص ًُِبَنلا َلاَق ُلوُقٌَ ُوْنَع ُوَلّلا ًَِضَر

ًَِبُغ ْنِإَف ِوِتٌَْؤُرِل اوُرِطْفَأَو ِوِتٌَْؤُرِل اوُموُص َمَلَّسَو ِوٍَْلَّع ُوَلّلا ىَلَّص ِمِساَقْلا

َنٍِثاَلَّث َناَبْعَش َةَذِع اوُلِّمّْكَأَف ْمُكٍَْلَّع

)

يراخبلا هاور

(

Artinya: Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami Syu’bah bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata saya menedengar Abu Hurairah dia berkata Nabi Saw bersabda atau berkata Abu Qosim Saw berpuasalah kamu karena melihat hilal dan

(38)

berbukalah karena melihat hilal pula, jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari. 10

Dalam melakukan rukyat, perbedaan pamahaman matlak masih menjadi permasalahan fenomenal. Ada pendapat yang menyatakan bahwa hasil rukyat disuatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Pemahaman ini karena menganggap khitab dalam hadis-hadis hisab

rukyat ditujukan kepada seluruh dunia Islam. Kelompok ini terkenal dengan Rukyat Global/ Internasional, di Indonesia seperti Hizbut

Tahrir dan Hizbullah. Pendapat lain menayatakan bahwa hasil rukyat berlaku bagi suatu wilayah kehakiman yang menetapkan hasil hisab tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan istilah Ru’yat fi Wilayah

al-Hukmi.11

B. Penanggalan Hijriyah

1) Hisab urfi

Urfi diambil dari kata فرعلا yang berarti تٍعرمّلا ةداعلا yaitu:

Convensi atau kebiasaan yang dipelihara12. Hisab urfi adalah perhitungan awal bulan Kamariah yang didasarkan pada umur-umur bulan secara konvensional, untuk bulan-bulan ganjil berumur-umur 30 dan bulan-bulan genap berumur 29 hari kecuali pada tahun kabisat untuk bulan yang ke 12 menjadi 30 hari. Setiap satu daur (30 tahun) terdapat 11 tahun kabisat (panjang = 355 hari)bdan 19

10

Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, edisi ke-2, zus. 6, hlm. 481, hadis ke- 1776 11

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah Dalam Penentuan Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha), Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 87.

12

Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1984, Cet. I, hlm. 920.

(39)

26

tahun basitah (pendek = 354 hari). Tahun-tahun kabisat jatuh ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. Selain dari urutan tersebut merupakan tahun basitah Sistem ini tidak berbeda dengan penanggalan masehi. Bilangan hari pada tiap bulan berjumlah tetap kecuali pada tahun-tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang satu hari.13 Adapun contoh cara perhitungan hisab urfi untuk mencari 1 Muharram 1431 H sebagai berikut:14

210 / 1431 = 6, 8142857114 1260–

30 / 171 150 – 21

Setelah itu pertemukan antara angka 21 dengan 150 pada tabel halaman 212 maka hasilnya sebagai hari. Pertemuan antara 150 dengan 21 adalah angka 5. Sedangkan dalam kitab

al-Khulasotul Wafiyah hitungan hari dimulai dengan hari Ahad. Maka

hasil perhitungan hisab urfi diatas bahwasannya 1 Muharram jatuh pada hari Kamis.15

Sistem penanggalan hisab urfi senantiasa menggunakan bilangan tetap yang tidak pernah berubah. Oleh karena itu, kadang hasil perhitungannya berbeda dengan hasil dari perhitungan hisab haqiqi dan kadang berbeda pula dengan penampakan Bulan (hilal).

13

Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan press, 2009, hlm. 79

14

Zubair Umar Al-Jaelani, al-Khulashatul Wafiyah, Surakarta : Melati, tt., hlm. 12. 15

(40)

Perlu diketahui bahwa hisab ini tidak hanya dipakai di negara Indonesia saja. Akan tetapi sudah digunakan di seluruh dunia Islam dalam kurun waktu yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat jika digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriyah. Hal ini dikarenakan rata-rata peredaran bulan tidaklah tepat sesuai dengan bentuk hilal (new moon) pada awal bulan.16

2) Hisab haqiqi

Hisab haqiqi adalah perhitungan hisab berdasarkan

perhitungan matematik dan astronomis akan tetapi tingkat perhitungannya juga bermacam-macam masih berupa pendekatan-pendekatan kasar, sampai yang sangat teliti. Dari yang hanya menggunakan tabel-tabel dan melakukan hitungan-hitungan interpolasi dan ekstarpolasi sederhana, sampai kepada perhitungan yang komplek dengan bantuan komputer berdasarkan perhitungan

trigonometri bola. Dari yang dasar perhitungannya menggunakan

kitab klasik sampai yang mengacu kepada astronomi modern. Perhitungan astronomi ini pada umumnya menetapkan hilal dianggap sebagai wujud (syah) berdasarkan pada kriteria dasar

yang sangat penting ijtima’ harus terjadi sebelum Matahari tenggelam.17

16

Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia, Studi Atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 2002, hlm. 24.

17

Tono Saksono, Mengkompromikan Hisab Rukyat, Amythas Publicita, Center For Islamic Studies: Jakarta, tt., hlm. 144-145

Referensi

Dokumen terkait

7ekanan darah pretest sistol pada kelompok  eksperimen sebesar -19,90 mmHg, pretest diastol sebesar -00,00 mmHg dan post eksperimen sebesar -19,90 mmHg, pretest diastol

Bagi pelajar yang mengikuti program secara Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), tempoh penangguhan yang dibenarkan ialah tidak melebihi enam (6) semester sepanjang pengajian. Pelajar

3.2.1 Melalui diskusi kelas dengan Whatsapp, dan tayangan Powerpoint pada aplikasi Google Meet, siswa dapat menganalisis 1 bentuk perkembangan arus globalisasi

Dengan merujuk pada data-data serta informasi-informasi yang telah diperoleh, pemerintah Australia dapat membuat keputusan untuk menetapkan sebuah sikap mengenai tindakan apa

pembelajaran akan menarik perhatian siswa, jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan sekitar, sehingga apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan dan

Tujuan makalah ini adalah merumuskan strategi transformasi kelembagaan gapoktan dan Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A) mendukung pengembangan agribsinis di perdesaan. Metode

yang terhubung pada layanan IoT platform. Gambar 2 menunjukkan arsitektur Watson™ IoT platform mengenai komunikasi perangkat dengan aplikasi yang tersedia di