• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia di pesisir kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia di pesisir kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

!

" #$%&

(4)
(5)

3

* #$%4 / #$%4

%5 %& 6

+ " ' " " * " "

. " 7

! 8%& 9 #" ':$ (#" ;:$ 5< !! 8#= 9 #" ':$ (%" ;:% $&<" !!! 85$ 9 #" ':$ (%" ;:% $4<" !7 85# 9 #" ':$ (" ;:$ =><

" '? ? 8 "

" " <

7 '?

" '?

(6)

" - )

A

B A

* #$%4 / #$%4

%5 %&

6 + " ' " " * " "

. " 7

! 8%& 9 #" ':$ (#" ;:$ 5" <" !! 8#= 9 #" ':$ (%" ;:% $&" <"

!!! 85$ 9 #" ':$ (%" ;:% $4" <" !7 85# 9 #" ':$ (" ;:$ =>" <

C " '?

" " A " " " "

' A "

A 7 '?

'?

(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

, @ ! + ,!* @ '((%%%$$&%

!

! " * ! " * +

! . " -+ ! ! " *

(12)
(13)

+ " # $ ?,

! . " -+

! ! " * "

! " *

E ! ! 8E! !<

2

8+ ! " + " + , " + "

+ . " <" ? * ?

! E #$%% E #$%% "

(14)
(15)

+F +) + -E +F +) .+* +) +F +) E+* !)+,

% -, + 2E2+, %

E %

#

* 4

# !,/+2+, 2 + + (

(

F E 5

4 *- 1 - -,-E! !+, =

3 E =

+ =

> >

' %$

+ %%

+ %%

F %%

%#

E %4

+ %&

& + !E +, -* + + +, %(

E %(

%( %6

E %>

/ ##

7 G #(

" #=

E H * #>

( - !* 2E+, +, +)+, 4&

(16)

% 6

# %%

4 ) =

& ) %$

( %%

% + #

# =

4 %$

& . '+ F% F# %>

( . '+ F% F4 #$

5 #&

6 #5

= F C #5

> ! " #6

%$ . '+ 8F% F#< 4$

%% . '+ 8F% F4< 4%

% 4>

# &$

4 ? &%

& 8 '+< &#

( 8'+< 4>

5 &(

6 &5

= &6

(17)

Keanekaragaman dan kepadatan biota bentik relatif cukup tinggi ditemukan di perairan pesisir. Wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya hayati laut tertinggi serta merupakan media produktif dalam pemenuhan kebutuhan manusia di bidang pemanfaatan sumber pangan, tambang mineral, kawasan rekreasi dan pariwisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa sekarang dan masa mendatang. Akan tetapi saat ini terlihat jelas bahwa perhatian terhadap biota laut ikan maupun non ikan semakin rendah karena kurangnya kesadaran beberapa lapisan masyarakat akan pentingnya biota laut, bahkan saat ini faktor ekonomi dan keserakahan manusia menjadi pemicu rusaknya ekosistem pesisir dan laut.

Secara umum bivalvia sebagai salah satu kelompok biota laut yang tersebar secara luas di pesisir perairan Indonesia. Salah satu lokasi penyebaran bivalvia yang diduga cukup luas dengan kepadatan spesies yang tinggi adalah di perairan pesisir kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur dimana pada cakupan pesisir perairannya termasuk dalam kawasan Teluk Balok dan Teluk Sembulu.

Teluk Balok Kabupaten Belitung merupakan salah satu teluk besar yang terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Teluk ini kurang lebih memiliki

luasan 190 km2 dan dibatasi hingga sejauh 4 mil dari pantai. Letak geografis

Teluk Balok diperkirakan 107°48’00” BT / 108°01’30” BT dan 3°03’00” LS /

3°19’30”LS (Aryanto et al., 2005). Kawasan Teluk Balok hingga saat ini masih

menjadi pusat kegiatan perikanan dan kelautan khususnya pada pemanfaatan hasil laut, eksploitasi ikan serta moluska seperti udang, kepiting, kerang, dan siput laut. Ada beberapa prospek pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Teluk Balok yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dimulai dari wisata bahari, budidaya laut, pertambakan dan pelabuhan. Berbeda halnya dengan Teluk Sembulu yang memiliki luasan lebih kecil dibandingkan dengan Teluk Balok sehingga diduga variasi biota laut yang ada tidak begitu besar. Secara administratif, Teluk Sembulu termasuk dalam wilayah cakupan Kecamatan Simpang Pesak.

Kecamatan Simpang pesak merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan Dendang Kabupaten Belitung Timur yang resmi dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2010 dengan luasan seluruhnya 24.330 ha atau kurang

lebih 243.30 km2 yang terletak di Pulau Belitung. Adapun batas wilayah

(18)

Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa pemanfaatan spesies/spesies bivalvia tertentu sampai saat ini masih terus dilakukan dengan hanya mengeksploitasi sumberdaya langsung dari alam, karena hingga saat ini belum ada kegiatan pembudidayaan kerang/kerang laut di perairan sekitar Teluk Balok begitu juga dengan wilayah Teluk Sembulu. Berbagai spesies bivalvia telah ditangkap untuk kemudian diambil dagingnya sementara cangkangnya dijadikan sebagai hiasan (ornamen). Jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan sampai saat ini belum ditetapkan secara jelas sehingga tingkat pemanfaatan menjadi tidak terkendali.

Distribusi lokal bivalvia secara spasial dan pertumbuhannya sangat bergantung pada kondisi habitat (kualitas substrat), jumlah dan spesies makanan yang tersedia serta interaksi antara ekosistem yang terdapat di pesisir perairan yang didukung oleh beberapa faktor osenografi seperti pasang surut. Adanya

pencucian (flushing time) dari sirkulasi pasut akan membawa nutrien (unsur hara)

dari sungai masuk ke laut dan akan tersebar luas secara alami kemudian terperangkap di kolom air dan sedimen oleh karena itu wilayah pesisir pantai tergolong subur dan produktif sehingga diduga biota – biota laut intertidal khususnya bivalvia juga ikut melimpah. Faktor – faktor tersebut akan menimbulkan perbedaan karakteristik habitat dicirikan oleh variasi lingkungan perairan yang beragam serta perbedaan substrat dasar perairan yang berdampak pada penyebaran spesies bivalvia yang khas di suatu perairan. Secara umum bivalvia dapat tersebar di berbagai ekosistem perairan dangkal yaitu ekosistem lamun, alga, terumbu karang dan daerah lepas pantai.

Melihat kekhasan berbagai kerakteristik habitat yang dijumpai di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak serta di dukung oleh terbatasnya informasi mengenai spesies – spesies bivalvia yang ditemukan di daerah tersebut, maka perlu adanya suatu kajian mendalam mengenai struktur komunitas dan distribusi spasial bivalvia berdasarkan preferensi habitat pada zona intertidal di sepanjang wilayah pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak.

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi yang akurat, jelas dan terbaru sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya bivalvia khususnya untuk spesies/spesies bivalvia yang bernilai ekonomis penting supaya tetap lestari dimasa mendatang.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1 Mengetahui komunitas bivalvia yang ditemukan di perairan pesisir

Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur.

2 Mengetahui distribusi spasial bivalvia berdasarkan karakteristik dan

preferensi habitat.

3 Mengetahui hubungan antara karakteristik biofisik perairan dan sedimen

(19)

Bila ditinjau dari segi ekonomi, bivalvia merupakan sumberdaya hayati laut non ikan terpopuler ke dua setelah sumberdaya hayati ikan yang memilki nilai ekonomis penting dan berprotein tinggi sehingga banyak digemari oleh masyarakat pesisir di berbagai wilayah Indonesia. Tidak heran jika permintaan pasar terhadap beberapa spesies bivalvia melambung tinggi dalam beberapa tahun terakhir karena semakin tinggi harga perkilogram ikan di pasaran, kondisi ini mengakibatkan bivalvia menjadi alternatif makanan yang sering dijadikan sebagai menu protein hewani pengganti ikan.

Tidak banyak informasi/data mengenai kegiatan eksploitasi bivalvia yang bernilai ekonomis di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak, akan tetapi kegiatan tersebut diperkirakan terus meningkat. Berdasarkan hasil pendugaan warga setempat, beberapa spesies bivalvia tertentu diperkirakan telah mengalami penurunan populasi spesies kerang yang umum dieksploitasi serta di duga terjadi penurunan ukuran maksimum kerang yang dibarengi dengan mulai sulitnya mendapatkan kerang – kerang konsumsi pada musim – musim tertentu, kondisi ini disebabkan oleh laju pertumbuhan yang tidak sebanding dengan laju penangkapan bivalvia di alam. Jika kondisi ini terus menerus terjadi tanpa adanya kegiatan budidaya dan manajemen penangkapan kerang yang diperbolehkan, maka populasi stok dari beberapa spesies bivalvia di pesisir perairan kecamatan Simpang Pesak dikhawatirkan akan sangat terancam di masa mendatang. Adanya isu degradasi lingkungan yang umumnya terjadi di spot wilayah pesisir dan laut karena adanya perubahan fungsi lahan, masukan bahan organik/ bahan pencemar dari daratan di duga secara langsung dapat mempengaruhi struktur komunitas dan kepadatan spesies organisme bentik.

Pada umumnya faktor/faktor yang membatasi distribusi dan kelimpahan spesies bivalvia di alam dapat dikategorikan ke dalam dua bagian utama yaitu faktor dari dalam berupa sifat genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan suatu biota untuk memilih tipe habitat yang disenangi serta faktor/faktor dari luar yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi biota tersebut dengan lingkungannya, oleh karena itu distribusi serta kepadatan bivalvia di alam dapat dijadikan indikasi cocok tidaknya suatu habitat terhadap biota tertentu.

Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi biota adalah rendahnya kepadatan spesies biota pada suatu area ataupun ketidakmampuan menyebar mencapai area tersebut. Perubahan lingkungan baik secara alami ataupun sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti perubahan fungsi lahan mengrove untuk pembuatan tambak maupun silvikultur dapat mengakibatkan berkurangnya suatu populasi serta dapat mengganggu struktur komunitas bivalvia di daerah tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, muncul beberapa pertanyaan yang harus dijawab karena merupakan akar permasalahan yang ada, yaitu:

1 Spesies – spesies bivalvia apa saja yang ditemukan dan spesies apa yang

paling mendominasi di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur

2 Bagaimana struktur komunitas dan pola distribusi spasial bivalvia

(20)

3 Apakah terdapat hubungan yang relevan antara faktor oseanoghrafi (pasut), faktor fisika, kimia perairan dan sedimen terhadap penyebaran spasial bivalvia.

Gambar 1 Alur perumusan masalah. Kondisi Oseanografi

Wilayah pesisir Simpang Pesak Belitung Timur

Karakteristik /variasi habitat

Fraksi sedimen Bahan organik

Zona terdepan (rataan pasir)

Kualitas perairan

Zona pertengahan (didominasi lamun)

1 Strukur komunitas bivalvia

2 Distribusi spasial bivalvia

3 Preferensi habitat

Kualitas substrat

(21)

! !

Dharma (1988) mengelompokkan kelas bivalvia daerah tropis kedalam 4 ordo yaitu Taxodonta, Anisomyaria, Hippuritoida, dan Eulamellibranchia yang mencakup didalamnya 25 famili yaitu Arcidae, Mytillidae, Pinnidae, Isognomonidae, Malleidae, Pteridae, Ammusidae, Pectinidae, Spondylidae, Limidae, Anomiidae, Ostreidae, Chamidae, Lucinidae, Carditidae, Tridacnidae, Mactridae, Tellinidae, Donacidae, Psammobiidae, Corbiculidae, Unionidae, Veneridae, Teredinidae dan Pholadidae. Dharma (1988) juga menyebutkan bahwa kelas bivalvia terdiri dari 67 genera yang diantaranya merupakan genera yang sangat familiar dikalangan masyarakat karena beberapa spesies memiliki nilai

ekonomis penting seperti genera Tridacna, genera Anadara (Anadara granosa,

Anadara antiquata, Barbatia decussata), genera Anadonta, Gafrarium dan Tapes. Secara umum kerang termasuk dalam filum molusca yang memilki dua cangkang (valve) berbentuk simetri bilateral yang terdapat pada sisi atas dan sisi bawah tubuhnya (Brusca & Brusca 2003). Kaki berbentuk seperti kapak (pelecypoda), tidak memilki kepala dan mata akan tetapi memilki insang tipis dan berlapis/lapis terletak diantara mantel dimana kedua cangkangnya dapat dibuka /ditutup (umbo) sehingga dari karakteristik morfologi tersebut kelas ini lebih dikenal dengan nama bivalvia (Wells and Bryce 1988). Peredaran darah bivalvia secara umum adalah peredaran darah terbuka yaitu darah dipompa dari jantung ke sinus organ, ginjal, insang dan kembali ke jantung (Gosling 2003). Darah bivalvia

biasanya tidak berwarna, namun kerang spesies anadara granosa (famili arcidae)

mempunyai sel darah yang mengandung hemoglobin (Faulkner2009).

Gosling (2003), menyatakan bahwa cangkang bivalvia terdiri dari 3 lapisan yakni :

a. Lapisan luar tipis, hampir berupa kulit dan disebut periastracum yang melindungi

b. Lapisan kedua yang tebal terbuat dari kalsium karbonat, dan

c. Lapisan dalam terdiri dari mother of pearl, dibentuk oleh selaput mantel (tipis) yang membuat cangkang menebal saat hewannya bertambah tua. Fungsi dari permukaan luar mantel adalah mensekresi zat organik cangkang dan menimbun kristal/kristal kalsit (kapur).

(22)

Pada dasarnya bivalvia merupakan hewan bentik dengan kecepatan gerak yang sangat lambat, akan tetapi remis dan tiram memiliki alat perekat yang kuat pada substrat batu. Brandt (2009) menyatakan bahwa bivalviamampu menempati habitat laut pada kisaran kedalaman yang berbeda dari zona intertidal hingga kedalaman dibawah 5000 m dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada zona intertidal khususnya pada kedalaman 0 – 100 m dimana pada zona fotik masih bisa dijumpai ± 40 genera (Brandt, 2009). Sebagian besar dari mereka memakan plankton tersuspensi maupun terdeposit pada sedimen dan detritus yang terdapat pada kolom air.

" # $" # % & ' ! ! (

Pada umumnya bivalvia ditemukan pada daerah pantai tepatnya pada zona intertidal dan paparan benua hingga laut dalam. Beberapa faktor lingkungan yang menjadi faktor pembatas penyebaran spasial dan keberlangsungan hidup bivalvia meliputi pasang surut, suhu, gerakan gelombang, salinitas, oksigen terlarut, partikel tersuspensi (TSS), tipe substrat, ketersediaan makanan dan faktor biologis seperti adanya kompetisi dan predasi,

Pasang surut merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kehidupan pada zona intertidal. Menurut Illahude (1998), pasang surut merupakan proses

naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya

gaya tarik dari benda/benda angkasa, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Apabila daerah intertidal terlalu lama berada pada udara terbuka (surut rendah) mengakibatkan organisme akan kehilangan air ketika suhu tinggi, sulit mencari makan akibatnya akan kehilangan energi.

Gelombang yang terdapat dipermukaan laut pada umumnya terbentuk karena adanya proses alih energi dari angin kepermukaan laut (Neuman and Pierson 1966). Terpaan gelombang dapat menjadi faktor pembatas bagi organisme tertentu yang tidak dapat menahan terpaannya, tetapi diperlukan bagi organisme lain yang tidak dapat hidup selain didaerah dengan ombak yang kuat. Selain itu gelombang dapat memperluas batas zona intertidal, hal ini terjadi karena penghempasan air yang lebih tinggi di pantai dibandingkan dengan yang terjadi pada saat pasang surut normal. Deburan ombak yang terus menerus ini membuat organisme laut dapat hidup di daerah yang lebih tinggi di daerah yang terkena terpaan ombak daripada di daerah tenang pada kisaran pasang surut yang sama.

Pada zona daerah yang terkena hempasan gelombang jarang kekurangan oksigen, hal ini disebabkan gerakan gelombang dapat membantu terjadinya pencampuran dan pengadukan gas/gas di atmosfer kedalam air walaupun dalam jumlah sangat kecil (Sumich 1992). Kekurangan oksigen dapat mengurangi aktivitas organisme baik yang berhubungan dengan metabolisme maupun tingkah laku dan lama kelamaan organisme akan mati. Penurunan oksigen di genangan/ pasang tropik hanya 18% dari kejenuhan, (Levinton 1982 dan Nybakken 1992).

(23)

Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, mengakibatkan salinitas akan turun. Pada keadaan tertentu, penurunan salinitas ini akan melewati batas toleransi dan karena kebanyakan organisme intertidal menunjukkan toleransi yang terbatas terhadap penurunan salinitas ini sehingga organisme dapat mengalami kematian. Yang kedua, ada hubungannya dengan genangan pasang surut. Daerah ini dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas atau dapat memperlihatkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi pada siang hari.

Ketersediaan makanan dapat mempengaruhi pertumbuhan jaringan, penyimpanan dan penggunaan makanan dapat merubah rasio berat badan terhadap panjang cangkang. Variasi indeks kondisi pada waktu yang berbeda sejalan dengan fluktuasi dan perubahan ketersediaan makanan di perairan.

Menurut Gosling (2003), umumnya bivalvia mengubur diri pada substrat

dangkal, kebiasaan makan (filter feeder & detritus feeder) sering dihubungkan

dengan makanan yang berada di dasar substrat dimana bivalvia itu hidup, dengan komponen nutrien yang penting adalah detritus organik, plankton dan algae

uniseluler serta dapat beradaptasi dengan temperatur optimum antara 20/30oC.

Predator atau pemangsaan adalah hal terpenting dalam rantai makanan yang dapat menyebabkan kepunahan maupun penurunan kepadatan spesies. Peranan

grazer atau herbivora dalam mengatur batas atas dan batas bawah zona intertidal sangat penting. Adapun grazer pada zona intertidal yang dominan berupa limpet, bulu babi dan siput litorina.

TSS adalah bahan/bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad – jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah yang terbawa masuk kebadan air (Effendie, 2003). Padatan tersuspensi total ini dipengaruhi oleh bahan – bahan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik. Padatan tersuspensi dapat mengganggu proses respirasi organisme perairan dan dapat meningkatkan kekeruhan perairan hingga akhirnya mereduksi produktivitas perairan. Ada hubungan antara TSS dan kekeruhan dimana peningkatan TSS menyebabkan peningkatan kekeruhan (APHA 2005).

Kesesuaian untk kepentingan perairan (perikanan) berdasarkan nilai padatan tersuspensi ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kisaran nilai TSS dan pengaruhnya terhadap organisme dasar

Nilai TSS (mg/l) Pengaruh terhadap organisme dasar

< 25 Tidak berpengaruh

25 – 80 Sedikit berpengaruh

81 – 400 Kurang baik bagi kepentingan organisme dasar (bentos)

>400 Tidak baik bagi kepentingan organisme dasar (bentos)

(24)

) *

+ , #

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013. Pengambilan contoh dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 2). Analisis sampel biota dan pengukuran morfometrik bivalvia dilakukan di Laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Belitung Timur. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Proling Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor. Sementara analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium tanah Biotrop Bogor.

Gambar 2 Peta stasiun penelitian

,

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi water sampler,

botol sampel, termometer, secchi disk, refraktometer, DO meter, pH meter, grab

(25)

# ,

Penelitian ini menggunakan metode survey, sementara penentuan titik

sampling menggunakan purposive sampling method, yaitu penentuan lokasi

sampling dengan beberapa pertimbangan tertentu oleh peneliti (Fachrul 2006).

Menurut Isdradjad et al. (2004), dalam melakukan penelitian perlu

diperhatikan mekanisme penentuan unit pengambilan contoh dengan ketentuan seperti mudah diidentifikasi variabilitas lingkungannya, mudah diakses dan kondisi lingkungan hampir sevarians/seragam. Adapun stasiun pengamatan yang

terpilih berdasarkan purposive sampling ditunjukkan pada Gambar 2, yaitu :

: terletak di pesisir pantai Suge Desa Simpang Pesak (115.80 ha)

pada posisi geografis 03o09’ 31.85” LS dan 1070 57’ 04.00” BT. Pantai Suge

merupakan wilayah dramaga yang diduga mendapatkan masukan bahan organik tinggi, akibat rutinitas kegiatan pelabuhan. Selain itu adanya kegiatan konversi lahan mangrove dan kegiatan penimbunan pasir pasca proyek pembangunan Jalan pengangkutan pasir oleh PT. SNI (Selat Nasik Indokuarsa) di wilayah pesisir diduga berpengaruh terhadap dinamika perairan pada stasiun ini. Substratnya didominasi oleh lumpur. Pada Stasiun I, ekosistem padang lamun hidup berdampingan dengan ekosistem mangrove. Penyebaran lamun pada Stasiun I dimulai dari pinggir pantai hingga jarak 50

m ke arah laut ditumbuhi oleh spesies lamun Enhalus acoroides, Halophila

: terletak di pesisir pantai Setigi Desa Dukong (28.0 ha)pada posisi

geografis 03o12’ 15.93” LS dan 1070 58’ 09.87” BT, area ini termasuk kategori

kawasan pesisir yang rawan terjadi abrasi pantai dan selalu mendapat masukan air tawar dari rawa serta selalu terekspos matahari ketika surut. Substrat didominasi oleh pasir kasar hingga pasir halus serta sedikit sekali dijumpai vegetasi mangrove. Pada stasiun II sangat jarang ditemukan lamun,

hanya spesies lamun E. acoroides yang bisa bertahan hidup di daerah ini

dengan pola spesies monospesifik.

: terletak di pangkalan Aik Lanun Desa Tanjung Kelumpang

(31.75 ha) pada posisi geografis 03o15’ 41.70” LS dan 1070 58’ 32.17” BT.

Area ini merupakan kawasan wisata yang sering dikunjungi, baik itu dari kalangan wisatawan lokal maupun wisatawan interlokal. Area ini juga dipengaruhi oleh aktivitas perkapalan dan Aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan mencari kerang sangat tinggi di area ini khususnya pada saat kondisi surut. Stasiun III memiliki topografi pantai yang landai, dengan substrat dasar perairan berpasir dan ditemukan juga kerikil pada zonasi terdepan serta tidak ditemukan adanya vegetasi mangrove yang tumbuh namun masih bisa

dijumpai 2 spesies lamun yaitu E. Acoroides dan C. rotundata.

-: terletak di pesisir pantai Kukup Desa Tanjung Batu Itam (67.75)

(26)

merupakan wilayah pusat Teluk Sembulu yang ditumbuhi vegetasi mangrove lebat. Aktivitas perikanan penduduk sangat tinggi di area ini terutama aktivitas mencari kerang saat kondisi surut. Selain itu terdapat aliran sungai cukup besar yang masuk ke perairan di kawasan ini. Substrat yang ditemukan didaerah ini lebih bervariasi yaitu dari substrat berlumpur (debu dan liat) hingga pasir kasar. Pada Stasiun IV, ekosistem padang lamun tumbuh berdampingan dengan ekosistem mangrove yang rapat. Pada stasiun ini

ditemukan 3 spesies lamun, yaitu E. Acoroides, Thalassia hemprichii, dan C.

rotundata yang tidak tersebar secara merata. Lamun tumbuh berkelompok/

kelompok. C. rotundata ditemui sampai pada jarak sekitar 30 m dari pinggir

pantai. T. hemprichii dijumpai pada jarak antara 30 – 70 m dari pantai

sedangkan E. Acoroides terlihat tersebar secara merata pada setiap kelompok

lamun hingga ke arah tubir. Lamun tumbuh dari pinggir pantai hingga ke arah tubir, dengan kerapatan yang semakin berkurang dengan pola spesies semakin

monospesifik.

.# #

Teknik Penarikan contoh menggunakan metode pengambilan contoh acak sistematik dengan membentangkan 3 transek garis sepanjang zona intertidal dengan jarak antar transek garis ± 20 meter ke arah kiri maupun ke arah kanan, sementara jumlah plot transek yang akan diamati pada setiap sub stasiun (ulangan) berjumlah 9 transek kuadrat dengan jarak masing/masing antar plot sebesar 50 m. Pada setiap stasiun pengamatan terdiri dari 3 sub stasiun pengamatan, dimana pada setiap sub stasiun pengamatan di bentangkan 3 transek garis utama dengan jarak masing – masing ± 100 m. Adapun desain penarikan contoh ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Desain penarikan contoh pada setiap sub stasiun pengamatan

' .# # ! !

(27)

hidup dan yang terdapat diatas substrat / permukaan sedimen pada zona intertidal. Semua sampel bivalvia yang terdapat di dalam transek diambil dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diawetkan dalam larutan formalin 10% kemudian diidentifikasi.

Pada setiap transek yang diamati dilakukan juga pencatatan seluruh spesies biota laut yang ditemukan dilokasi penelitian termasuk kehadiran biota – biota selain bivalvia seperti Echinodermata, gastropoda, polychaeta, dan lain – lain.

' & , ,

Pengukuran kualitas perairan dilakukan dengan dua cara yaitu secara insitu

(suhu, oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, dan kecerahan, serta kedalaman perairan) dan pengukuran di laboratorium Pro/link Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui kadar nitrat, posfat, partikel tersuspensi, partikel organik total/TOM, BOD dengan mengacu pedoman APHA (2005). Pengambilan contoh air

dilakukan pada saat pasang dengan menggunakan water sampler.

Contoh sedimen diambil tidak bersamaan dengan pengambilan contoh air. Sedimen diambil kurang lebih 500 gram dengan menggunakan Ekman Grab dan

dimasukkan ke dalam plastik serta disimpan dalam cool box. Analisis sampel

tanah dilakukan di Laboatorium tanah BIOTROP Bogor. Adapun pengambilan sampel tanah dilakukan untuk mengetahui kandungan C/organik dan total

nitrogen (N), P2O5, pH, dan fraksi sedimen. Adapun parameter kualitas

lingkungan (habitat) yang diukur secara detail disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2 Beberapa parameter lingkungan perairan dan substrat yang diukur

# / #,

(28)

= 100%

Keterangan :

Fi : Frekuensi keterdapatan organisme ke – i yang tertangkap (%)

ti : Jumlah stasiun dimana spesies ke/ i tertangkap

T : Jumlah semua stasiun.

& , &

Kepadatan spesies merupakan jumlah spesies biota yang ditemukan pada setiap pengambilan contoh. Adapaun persamaan yang digunakan mengacu pada Krebs (1989) yaitu:

= 1000

Keterangan:

D : Kepadatan individu (ind/m2)

a : Jumlah spesies ke/i (makrozobentos) yang ditemukan dalam b

b : Luas pengambilan contoh (1m2 = 10.000 cm2)

&

Keanekaragaman spesies disebut juga heterogenan spesies yang dapat menggambarkan struktur komunitas dengan perhitungan menggunakan rumus

Shannon/Wiener in Odum (1993) sebagai berikut :

H’ = −∑Pi Log2 Pi

Keterangan :

H’ : Indeks keanekaragaman spesies

Pi : Jumlah spesies ke/i per jumlah total (ni/N)

n : Jumlah spesies

Penentuan kriteria :

H’< 3,32 : Keanekaragaman rendah

3.32<H’<9.97 : Keanekaragaman sedang

H’> 9.97 : Keanekaragaman tinggi.

&

Indeks keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Odum. 1993) dengan perhitungan sebagai berikut:

E =

Keterangan :

E : Indeks keseragaman

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon/Wiener

H maks : Keanekaragaman maksimum (Log2 S)

S : Jumlah spesies Dengan kriteria:

E < 0.4 : Keseragaman rendah

0.4< E<0.6 : Keseragaman sedang

(29)

#

Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya spesies yang dominansi pada komunitas, digunakan indeks dominansi Simpson (Odum. 1993) :

C = ∑ ( )2

Keterangan :

C : Indeks dominansi Simpson

ni : Jumlah individu spesies ke –i

N : Jumlah individu semua spesies

Nilai indeks dominansi berkisar antara 0/1; indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu spesies spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu spesies pada satu stasiun), sedangkan indeks 0 menunjukkan bahwa diantara spesies/ spesies yang ditemukan tidak ada yang mendominasi.

' ' ,

Determinasi karakteristik habitat antar stasiun pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multi variabel yang didasarkan pada analisis

komponen utama (Principal Component Analyisis / PCA) (Bengen 2000).

Analisis komponen utama (PCA) merupakan metode deskriptif yang bertujuan mempresentasikan dalam bentuk grafik, informasi mana yang terdapat dalam suatu matrik data. Matrik data yang dimaksud adalah terdiri dari pengamatan sebagai individu stastistik (baris) dan parameter fisika/kimia sebagai variabel kuantitatif berupa kolom /J (Bengen 2000). Dengan demikian matriks data ini merupakan tabel kontingensi bivalvia dengan stasiun pengamatan atau bivalvia dengan karakteristik sedimen.

Data dari parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama sehingga data perlu tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai parameter inisial dengan nilai rata/rata parameter tersebut.

= −

Keterangan:

C : Nilai Pusat

Xij : Nilai parameter inisial

Xik : Nilai rata/rata parameter.

Pereduksian adalah hasil bagi antara nilai parameter yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku paramater tersebut.

=

Keterangan:

R : nilai reduksi

C : nilai pusat

Sd : nilai simpangan baku

Hubungan antara parameter ditentukan dengan menggunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik sebagai berikut:

(30)

Keterangan:

Bsxn : matriks korelasi rij

Asxn : matriks indeks sintetik Aij

A’sxn : matriks transpose Asxn

Analisis komponen utama ini menurut Bengen (2000) berprinsip pada pengukuran jarak euklidian (jumlah kuadrat perbedaaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden), semakin kecil jarak euklidean antara stasiun yang diamati maka semakin mirip karakteristik habitat antara dua stasiun tersebut.

Pada tabel kontingensi I dan J mempunyai peranan yang simetris, membandingkan elemen – elemen I (untuk masing – masing J) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/nj, dimana ni = ∑ nij (jumlah subjek I yang memiliki karakter j). Selanjutnya kemiripan

Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu habitat dengan kepadatan tertentu pula. Secara kuantitatif hal ini dapat diketahui dengan

menggunakan analisis faktorial koresponden (Correspondence Analysis, CA)

(Bengen 2000).

Analisis faktorial koresponden merupakan salah satu bentuk analisis statistik multivariabel. Analisis ini didasarkan pada matriks data i (baris (stasiun pengamatan) dan j kolom (komposisi ukuran cangkang dan sebaran kepadatan bivalvia serta persentase dan ketebalan vegetasi) dimana kepadatan dan komposisi ukuran masing/masing spesies bivalvia yang ditemukan ataupun keberadaan vegetasi j untuk stasiun ke/i pada baris ke/i dan kolom ke/j. Dengan demikian, matriks data ini merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan x komposisi ukuran masing/masing bivalvia dan stasiun pengamatan x sebaran kepadatan bivalvia serta stasiun pengamatan x persentase dan ketebalan vegetasi.

(31)

1

, '

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan uji sampel di laboratorium, diperoleh kisaran nilai parameter biofisik kelautan dan substrat yang cukup bervariasi pada setiap stasiun yang diamati di sekitar perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur. Adapun nilai – nilai parameter fisika kimia perairan dan substrat disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 dibawah ini :

Tabel 3 Rerata hasil pengukuran kualitas perairan di kecamatan Simpang Pesak

#

Tabel 4 Rerata karakteristik substrat di pesisir kecamatan Simpang Pesak

& .2# *3 ' & '

5.8 2.28 0.04 8.10 79.5 9.8 10.7 Pasir berlumpur

6.2 3.43 0.13 14.2 85.5 6.4 8.4 Pasir

6.8 2.02 0.07 5.65 86.5 10.5 2.9 Pasir

- 5.7 3.09 0.14 4.77 62.7 32.9 3.8 Pasir berlumpur

Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (2004), secara umum kondisi hidrologi (kualitas perairan) pada area studi termasuk kondisi yang optimal bagi kelangsungan hidup biota laut bentik khususnya bivalvia.

Suhu perairan rata/rata mempunyai kisaran antara 31.6oC – 32.6oC. Kisaran

suhu tersebut merupakan kisaran normal untuk daerah tropis dan masih dalam rentang toleransi untuk biota laut sesuai standar baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (2004) yakni antara 28°C / 32°C.

Kisaran nilai salinitas rata/rata di pesisir perairan Kecamatan Simpang

Pesak yaitu 31.3 o/oo – 32.6o/oo. Salinitas terendah terdapat pada Stasiun II, yaitu

31.3o/oo karena merupakan daerah rawan abrasi yang selalu mendapat masukan air

tawar dari daratan, selain itu wilayah ini tidak ditumbuhi oleh hutan mangrove

namun hanya bisa dijumpai rawa. Menurut Verwen et al. (2007), moluska

(32)

Nilai derajat keasaman rata/rata (pH) berkisar antara 7.9 – 8.3. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk normal untuk pH air laut di Indonesia. Nilai pH antara 7.5 – 8.5 merupakan kisaran optimal bagi pertumbuhan kerang. Menurut Nybakken (1998) menyatakan bahwa derajat pH di lingkungan perairan laut umumnya relatif stabil dan berada pada kisaran yang sempit,

Total suspended solid (TSS) rata/rata berkisar antara 13.0 mg/l – 87.5 mg/l. Nilai TSS terendah dijumpai pada Stasiun III sebesar 13 mg/l. Menurut Effendi (2003), kisaran TSS < 25 mg/l tidak berpengaruh pada kehidupan organisme bentik. TSS tertinggi ditemukan pada Stasiun I berkisar 87.5 mg/l, dimana kisaran nilai TSS antara 81 mg/l – 400 mg/l akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme bentik khususnya gastropoda dan bivalvia.

Rerata oksigen terlarut/DO (Dissolved oxygen) berkisar 5.3 mg/l – 6.9 mg/l.

Clark (1997) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimum untuk kehidupan moluska berkisar antara 4.1 – 6.6 ppm dengan batas minimum 4 ppm, sehingga secara keseluruhan nilai ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan kerang. DO tertinggi terdapat pada stasiun III, hal ini berkaitan dengan kecepatan arus dan gelombang yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya difusi oksigen ke kolom air. Nilai DO terendah ditemukan pada Stasiun IV tepatnya didaerah Teluk Sembulu yang berarus lemah dan relatif tenang sehingga konsentrasi oksigen yang terdifusi ke kolom air cenderung rendah. Dody (1998), dan Sanusi (2006), menyatakan bahwa oksigen terlarut di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air (lamun) serta dari

limpasan air permukaan (Run off) maupun dari air hujan.

Nilai BOD pada pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak berkisar 0.45 mg/l – 2.61 mg/l. Kisaran nilai tersebut tergolong rendah, artinya wilayah pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak dikategorikan masih alami dan bebas dari pencemaran perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran ringan.

Kecepatan arus rata/rata yang terukur di lokasi penelitian berkisar antara 0.019 m/s – 0.088 m/s. Arus ini relatif tenang karena pada beberapa spot area penelitian yang di ukur pada wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak masih termasuk wilayah terlindung dan terdapat pulau/pulau kecil yang mengelilinginya. Kecepatan arus tertinggi ditemukan pada Stasiun III, hal ini disebabkan karena wilayah pesisir pantai Tj Ru (Pangkalan Aik lanun) terletak di daerah terbuka tanpa adanya pulau/pulau kecil yang mengelilinginya atau tepatnya berada di ujung mulut Teluk Balok.

Konsentrasi rerata nitrat dan ortofosfat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar stasiun pengamatan yang diukur. Konsentrasi nitrat (NO3) dan

ortofosfat (PO4) di sekitar wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak

(33)

Menurut Wardoyo (1981) dalam Komala (2012), apabila suatu perairan memiliki kandungan nitrat sebesar 0.100 – 0.500 mg/l termasuk tipe perairan mesotrofik.

Menurut Komala (2012), Dalam perairan alami, kadar ortofosfat tidak boleh lebih dari 0.1 mg/l kecuali perairan yang menerima berbagai macam limbah dari

rumah tangga, industri dan kegiatan pertanian. Ortofosfat (PO4) akan menjadi

faktor pembatas apabila konsentrasinya kurang dari 0.02 mg/l. Perairan dikatakan subur, apabila kandungan fosfatnya lebih besar dari 0.05 mg/l (Wardoyo 1981). Konsentrasi bahan organik total (TOM) dalam kolom air berkisar 20.7 mg/l – 31.6 mg/l. Koesobiono (1979) menyatakan perairan dengan kandungan bahan organik total diatas 26 mg/l tergolong subur.

Nilai kerapatan lamun rata/rata berkisar antara 87.06 – 213.6 tegakan/m2.

Kerapatan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun IV, hal ini didukung oleh keberadaan mangrove yang rapat. Menurut Bengen (2000), kondisi mangove yang baik akan berdampak pada keberlangsungan hidup ekosistem lamun dan terumbu karang, karena ke/3 ekosistem ini saling berinteraksi satu sama sehingga dapat dikatakan bahwa ketika ekositem mangrove berada dalam kondisi baik, maka ekosistem lamun dan juga ekositem terumbu karang akan berada dalam kondisi baik pula. Bahan organik yang tinggi bersumber dari tingginya kerapatan mangrove dan lamun. Menurut Peterson (1999), meningkatnya jumlah kepadatan spesies bivalvia suspended feedermampu meningkatkan produktivitas lamun.

'

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi substrat pada setiap

stasiun pengamatan. Menurut Veiga et al. (2014), substrat dasar merupakan salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran makrozobentos, karena selain berperan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai penimbun unsur hara (sebagai media penyedia sumber makanan), tempat berkumpulnya bahan organik serta tempat perlindungan organisme dari ancaman predator. Pendistribusian sedimen biasanya sangat ditentukan oleh pasang surut, gelombang dan debit air serta interaksi faktor biofisik kelautan lainnya.

(34)

karena didukung oleh keberadaan lamun dan kerapatan mangrove yang tinggi. Bengen (2002) mengemukakan bahwa vegetasi mangrove dapat tumbuh dengan baik pada sedimen berlumpur dan pasir berlumpur terutama di kawasan estuari.

Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa secara umum karakteristik substrat antar stasiun pengamatan pada cakupan kawasan pesisir Kecamatan Simpang Pesak memiliki kemiripan ekologi yang kuat khususnya pada Stasiun II dan Stasiun III. Beberapa spesies lamun dan bivalvia yang ditemui di lokasi sampling secara umum memiliki kesamaan spesies bivalvia, hanya komposisi tiap spesies yang membedakan. Akan tetapi berbeda halnya pada Stasiun IV yang memilki kemiripan karakteristik fisika kimia perairan dengan Stasiun I namun tidak ditemukan komposisi spesies kerang yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor fisika kimia perairan belum cukup kuat dalam menentukan distribusi maupun preferensi habitat makrozoobentos khususnya bivalvia, karena ada faktor lain yang bisa dibandingkan yaitu kualitas substrat, dan hubungan interaksi antar spesies (kompetisi dan predasi).

Rerata persentase ukuran partikel pasir terbesar terdapat pada stasiun III (86.5%) diikuti oleh Stasiun II (85.5%) dan Stasiun I (79.5%). Akan tetapi dari ke/4 stasiun yang diamati, hanya Stasiun III yang memiliki substrat kerikil (pasir sangat kasar pada zonasi terdepan dengan persentase hampir mencapai 100%, hal ini dipengaruhi oleh letak Stasiun III berada di ujung Teluk Balok yang

berhubungan langsung dengan laut terbuka (wave exposure area). Ukuran butiran

yang besar ini (kerikil) sangat terkait juga dengan kondisi dinamika perairan yang

ada pada stasiun/stasiun yang diamati. Menurut Malvarez et al. (2001), Arus yang

berasal dari besarnya energi gelombang laut yang menyebar hingga ke tepian pantai akan mempengaruhi ukuran sedimen yang ada. Neuman and Pierson (1966) mennambahkan bahwa energi gelombang dipengaruhi oleh kecepatan angin, kondisi topoghrafi dasar perairan dan luas penyebarannya. Gelombang yang besar juga berpengaruh terhadap proses pencucian sedimen, yang mana sedimen dengan ukuran partikel yang kecil akan tercuci kembali ke laut dan hanya sedikit saja yang mengendap di dasar substrat.

Nilai rerata derajat keasaman (pH) substrat pada daerah pengambilan contoh di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak tergolong asam yaitu 5.7 – 6.8. Rendahnya pH substrat dibandingkan pH air laut karena adanya pembusukan daun/daun lamun dan vegetasi mangrove yang hidup berdampingan dengan vegetasi lamun yang lebih bersuasana asam sedangkan pH air laut lebih dipengaruhi oleh larutan garam yang bersuasana basa dan besifat penyangga.

Kandungan C/organik pada substrat berkisar antara 2.02% – 3.43%. Sedangkan kandungan Nitrogen dalam substrat berkisar 0.04% – 0.14%. Menurut Sanusi (2006), Sumber utama C/organik pada sedimen berasal dari penguraian jasad renik (fitoplankton, zooplankton, diatom) yang mati, bisa juga berasal dari dedaunan / serasah (mangrove, lamun, makroalga) yang mengalami proses dekomposisi, Sementara distribusi N (nitrogen) dalam laut dipengaruhi oleh proses fotosintesis, gerakan massa air (adveksi dan difusi) dan gerakan gravitasi residu organisme air. Fitoplankton yang mati akan mengalami proses demineralisasi (degradasi) membentuk kembali unsur/unsur penyusunnya (C, N, P)

dengan rasio komposisi C : N : P ~ 106:16:1, yang disebut dengan Redfild Ratio.

Nilai P205 pada substrat berkisar antara 4.77% / 14.2%. Rasio C, N, dan P bisa

(35)

organik, dimana hubungan antara kandungan bahan organik dan status trofik suatu perairan dinyatakan oleh BPI (Bio Production Index) yang diperoleh dari pengukuran persentase kandungan C dan P. Berdasarkan pendekatan BPI, perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur termasuk dalam kondisi perairan yang oligotrofik (BPI rendah).

' , '

Informasi penting terhadap sumbu komponen utama terpusat pada dua (2) sumbu utama F1 (45.27%) dan F2 (22.27%) dari keseluruhan persentase ragam total (lihat Gambar 4). Kontribusi variabel terhadap pembentukan sumbu utama menunjukkan bahwa pada sumbu (F1) dicirikan oleh enam variabel utama yaitu arus (0.89), pasir (0.9), oksigen terlarut (0.8), karbon organik (/0.94), debu (/0.85) dan posfat (/0.88). Variabel suhu, salinitas dan TSS berkontribusi cukup besar terhadap pembentukan sumbu utama (F2) negatif dengan nilai korelasi masing/ masing sebesar /0.76 /0.82 /0.65. Grafik PCA lingkaran korelasi antar variabel fisika kimia perairan dan substrat pada Gambar 5, menunjukkan bahwa parameter liat memiliki kontribusi terbesar dari seluruh hubungan korelasi yang ada terhadap pembentukan sumbu (F3) positif dengan nilai korelasi sebesar 0.97. Akar ciri (F3) hanya memberikan informasi sebesar 18.22% dari keseluruhan ragam total.

Representasi sebaran stasiun terhadap parameter lingkungan perairan dan substrat berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan adanya tiga (3) pengelompokkan habitat. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun I (I.1, I.2, I.3) dicirikan oleh parameter salinitas, dan pasir. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun II dan stasiun III. Karakteristik ekologi pada Stasiun II (II.1, II.2, dan II.3) dicirikan oleh parameter nitrat, dan liat, sementara karakteristik ekologi pada Stasiun III (III.1, III.2, dam III.3) dicirikan oleh parameter oksigen terlarut, arus dan pasir. Kelompok ketiga terdiri dari Stasiun IV (IV.1, IV.2, IV.3) dicirikan oleh parameter TSS, C/organik, posfat, dan debu.

(a) (b)

Gambar 4 Grafik PCA karakteristik habitat (kualitas air dan substrat)

(36)

(a) (b) Gambar 5 Grafik PCA karakteristik habitat (kualitas air dan substrat)

(a) Lingkaran korelasi antar variabel karakteristik habitat (F1 x F3) (b) Penyebaran stasiun berdasarkan karakteristik habitat (F1 x F3)

Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5, menunjukkan bahwa parameter TSS memiliki hubungan terbalik dengan paremeter Arus, hal ini mengindikasikan bahwa arus kuat dapat menyebabkan nilai TSS menjadi rendah (Daphne 2011). Menurut Sanusi (2006), arus kuat bisa mengaduk partikel/partikel yang mengendap didasar perairan namun akan mudah terbawa ke laut lepas sehingga menyebabkan rendahnya partikel tersuspensi pada kolom air khususnya di wilayah pesisir. Selain itu TSS memiliki hubungan yang sama (korelasi positif) dengan parameter kekeruhan, artinya semakin tinggi TSS maka kekeruhan juga akan semakin tinggi sementara parameter kecerahan memiliki hubungan terbalik dengan TSS, artinya semakin rendah TSS maka kecerahan akan semakin tinggi.

Salah satu parameter biofisik kelautan yang sangat menentukan sebaran dan kepadatan bivalvia adalah arus yang ditunjukkan dengan kuatnya arus pada masing/masing stasiun kecuali pada Stasiun IV yang dicirikan oleh arus lemah karena tepat berada di wilayah pusat Teluk Sembulu. Menurut Setyobudiandi (2009), kondisi arus dapat mempengaruhi penyebaran fraksi substrat. Hal ini ditunjukkan adanya kontribusi arus pada sumbu cukup besar terlihat dari nilai korelasi yang cukup besar yaitu r = 0.89, hal ini sangat relevan dengan nilai korelasi variabel pasir yang juga tinggi dan memiliki hubungan korelasi positif dengan variabel arus pada sumbu F1, artinya bahwa terjadi hubungan korelasi positif antara arus terhadap keberadaan pasir (0.9), korelasi negatif terhadap keberadaan debu (/0.85), akan tetapi antara variabel arus dan variabel liat ternyata tidak memiliki keeratan hubungan pada sumbu (F1) yang tercermin dari nilai r yang sangat rendah sebesar 0.09. Hal ini bisa diartikan bahwa semakin kecil kecepatan arus maka persentase pasir akan semakin rendah namun persentase debu dan liat menjadi tinggi membentuk sedimen pada permukaan substrat dasar, sebaliknya semakin besar kecepatan arus maka persentase pasir atau bahkan kerikil yang akan mendominasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dody

(1998), Komala (2012), Baron and Clavier (1992), Gab/Alla et al. (2007), dan

Campos et al. (2006). Menurut Kodama et al. (2012), kekayaan bahan organik

(37)

proporsi pasir, hal ini yang akan menjadi pemicu perbedaan sebaran spasial makrofauna bentik serta kepadatan individu dalam suatu komunitas.

Parameter C/organik dengan kepadatan spesies memiliki hubungan korelasi positif sebesar 0.19. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kennish (1990) dimana kandungan C/organik pada substrat memiliki korelasi yang positif terhadap kepadatan dan biomassa spesies. Bila dilihat dari kajian analisis komponen utama, parameter arus dan C/organik memiliki hubungan terbalik (berkorelasi negatif), artinya kenaikan kecepatan arus menyebabkan minimnya bahan organik baik yang terkandung dalam kolom air maupun yang terdapat pada substrat. Pergerakan air seperti arus dan gelombang memberikan pengaruh terhadap kandungan nutrien di perairan. Perairan yang cukup tenang akan menyebabkan lamanya massa tinggal bahan organik di perairan sehingga berpeluang untuk mengalami perombakan

menjadi nutrien anorganik. Luasan area (surface area), kedalaman, volume, laju

pembilasan (flushing rate), waktu tinggal air (residence time), pasang surut (tidal

exchange), percampuran (vertical mixing) dan stratifikasi merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi respon perairan terhadap masukan bahan organik dan akan berpengaruh terhadap transport, transformasi, retensi dan ekspor nutrien

(Koropitan et al. 2009).

Berdasarkan analisis komponen utama (PCA) terlihat bahwa keseluruhan variabel yang diukur pada dasarnya saling memiliki keterkaitan antar variabel namun ada 2 variabel yang menjadi faktor pembatas penyebaran kerang (bivalvia) berdasarkan preferensi habitatnya yaitu kecepatan arus yang berpengaruh pada jumlah konsentrasi oksigen terlarut (DO), kandungan C/organik, dan penyebaran fraksi substrat. Pada cakupan area yang lebih sempit, parameter suhu dan salinitas kurang berpengaruh terhadap penyebaran bivalvia seperti yang terjadi pada wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak.

Peranan oksigen di perairan cukup penting yakni untuk pernafasan dan juga merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan. Sumber oksigen di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air serta limpasan aliran permukaan yang masuk juga air hujan (Dody, 1998), selanjutnya dikatakan oleh Seitz (2009) bahwa konsentrasi maksimum (kejenuhan) oksigen di kolom air tergantung pada suhu perairan setempat, dimana semakin tinggi suhu air, maka konsentrasi oksigen terlarut semakin menurun. konsentrasi oksigen terlarut sangat mempengaruhi kepadatan organisme bentik, dimana oksigen terlarut ~ 4.5 mg/l bisa meningkatkan biomassa dan produktivitas biota laut, umumnya bivalvia ,masih mampu mentolerir kondisi hypoxia < 2 mg/l pada periode yang pendek, ketika level oksigen terlarut dibawah 4.5 mg/l akan mengancam ketersediaan biomasa predator, sehingga keseimbangan ekologi menjadi terganggu

(38)

# &# , & , ! ! , 4 &

Secara keseluruhan komunitas bivalvia yang ditemukan pada zona intertidal wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak terdiri dari 16 spesies dari 14 genera, 7 famili dan 2 ordo yakni ordo Taxodonta dan ordo Eulamellibranchia.

Ordo Taxodonta terdiri dari famili arcidae dari satu genera yang meliputi

tiga spesies yaitu Anadara antiquata, Anadara granosa, dan Anadara (Scapharca/

Curneacea) pilula. Ordo Eulamellibranchia terdiri dari 4 famili yaitu famili

Cartidae yang mencakup spesies Trachycardium subrogosum, famili Mactridae

yang mencakup spesies Mactra grandis, famili Tellinidae yang terdiri dari satu

spesies kerang yaitu Telina timorensis, dan famili Psammobidae yang terdiri dari

satu spesies bivalvia Hiatula chinensis, serta famili Veneridae yang terdiri dari

beberapa spesies kerang seperti Anomalocardia squamosa, Lioconcha castrensis

Gafrarium pectinatum, Gafrarium tumidum, Katelysia japonica, Placemen chlorotica, Tapes literatus, dan Pitar citrinus. Spesies bivalvia yang memiliki

kepadatan tertinggi dan cenderung mendominasi yaitu G. tumidum, G. pectinatum,

dan S. pilula mampu mencirikan habitat pada setiap stasiun yang diamati. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah perairan pesisir Kecamatan Simpang Pesak memiliki variasi habitat yang cukup beragam, yang didukung oleh adanya habitat

padang lamun yang cukup rapat dengan spesies lamun Enhalus acoroides tersebar

pada setiap stasiun yang diamati. Menurut Riniatsih dan Kushartono (2008), adanya vegetasi lamun yang rapat dapat menahan kecepatan arus di suatu perairan sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan organik yang terakumulasi pada substrat. Komposisi dan kepadatan spesies bivalvia berdasarkan yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan tersaji pada Gambar 6 dan Tabel 5.

(39)

Tabel 5 Kepadatan spesies bivalvia di pesisir kecamatan Simpang Pesak (ind/m2)

Berdasarkan analisis frekuensi kehadiran, penyebaran spesies/spesies

bivalvia yang paling luas antara lain dari spesies G. pectinatum yaitu sebesar 75%

kemudian disusul dengan spesies G. tumidum sebesar 50%, hal ini

mengindikasikan bahwa genera Gafrarium termasuk kerang intertidal yang tersebar merata dan cenderung lebih menguasai ruang serta mampu bertahan

hidup hampir diseluruh stasiun yang diamati, namun penyebaran spesies G.

pectinatum tidak diiringi oleh kepadatan spesies yang tinggi di semua stasiun.

Kondisi ini menunjukkan bahwa G. pectinatum mampu menyebar luas secara

spasial akan tetapi cenderung tidak mendominasi akibat minimnya kemampuan adaptasi pada lingkungan yang lebih bervariasi dan cenderung fluktuatif. Berbeda halnya dengan spesies/spesies bivalvia lain yang memiliki nilai frekuensi kehadiran yang rendah sebesar 25% artinya bahwa spesies/spesies ini hanya ditemukan pada 1 stasiun saja yang biasanya diiringi oleh kepadatan spesies yang

tinggi (S. pilula dan A. squamosa) serta bisa juga karena faktor kesesuaian habitat

yang mencirikan spesies bivalvia tertentu, seperti T. timorensis dan H. chinensis

(Stasiun III), Anadara spp dan P. chlorotica (Stasiun IV), serta P. citrinus

(Stasiun II).

Pada Stasiun I, spesies bivalvia yang memiliki kepadatan tertinggi rata/rata

adalah G. pectinatum sebesar 14 ind/m2 dengan persentase komposisi sebesar

(40)

kepadatan lebih rendah sebesar 8 ind/m2 (38%). Akan tetapi kepadatan individu

Gafrarium spp yang ditemukan pada Stasiun I relatif lebih rendah bila dibandingkan Stasiun II dan Stasiun III, hal ini dikarenakan keberlangsungan

hidup G. pectinatum maupun G. tumidum telah terdesak oleh kehadiran spesies

lain yaitu siput gonggong (Strombus turturella) dari kelas gastropoda dengan

kepadatan tertinggi dan mendominasi sebagai penyusun struktur komunitas

makrozoobentos pada Stasiun I sehingga spesies Gafrarium spp tidak mampu

bertahan hidup. Menurut Dody (2010), siput gonggong (S. turturella) merupakan

spesies gastropoda yang bersifat grazing feeder yang lebih menyukai habitat pasir

berlumpur yang kaya bahan organik dengan kerapatan lamun yang tinggi. Kondisi ini membuktikan bahwa Stasiun I cenderung dikategorikan sebagai habitat yang

kurang relevan bagi keberlangsungan hidup bivalvia spesies Gafrarium spp

khususnya G. pectinatum. Menurut Gab/Alla et al. (2007), G. pectinatum lebih

banyak tersebar pada zona intertidal berpasir.

Pada Stasiun II, rerata kepadatan spesies kerang tertinggi secara berturut/

turut yaitu dari spesies G. pectinatum sebesar 28 ind/m2 (70%), disusul dengan

spesies P. citrinus sebesar 5 ind/m2 (13%). Spesies bivalvia T. subrogosum, M.

grandis, dan G. grayana memiliki kepadatan individu yang sangat rendah dan

relatif sama sebesar 2 ind/m2 (4%). Hal ini mengindikasikan bahwa Stasiun II

merupakan habitat yang paling sesuai untuk kelangsungan hidup G. pectinatum

akan tetapi kepadatannya semakin berkurang dikarenakan adanya tekanan ekologi yang kuat seperti tingkat kekeringan yang tinggi pada substrat dasar akibat pemanasan matahari secara terus menerus, kemudian secara tidak langsung telah berdampak pada penyusun komunitas bivalvia yang hidup di daerah tersebut

khususnya dari spesies G. pectinatum. Try (2001) juga menyebutkan bahwa G.

pectinatum hidup pada habitat berpasir dan berlumpur dan umumnya dijumpai pada zonasi intertidal dan zonasi subtidal.

Pada Stasiun III, spesies bivalvia G. tumidum memiliki kepadatan individu

kerang tertinggi yaitu sebesar 60 ind/m2 (70%), kemudian disusul dengan spesies

kerang G. pectinatum sebesar 10 ind/m2 (12%), dan K. japonica sebesar 7 ind/m2

(7%). Menurut Baron and Clavier (2008), G. tumidum umumnya lebih menyukai

habitat dengan substrat dasar berpasir hingga berlumpur. Sementara spesies

kerang terendah pada Stasiun III adalah T. timorensis dengan kepadatan rata/rata

sebesar 2 ind/m2 (3%) dan H. chinensis sebesar 2 ind/m2 (2%), spesies ini hanya

ditemukan pada Stasiun III tepatnya pada zonasi terdepan sedangkan pada stasiun lain tidak ditemukan, hal ini terkait dengan kesesuaian hidup pada habitat yang memiliki partikel substrat pasir kasar serta didukung oleh morfologi tubuh yang pipih, berbentuk hampir segitiga dan runcing pada bagian anterior serta memiliki kaki yang kuat. Kerang sudah teradaptasi dengan hempasan gelombang dan merupakan kerang penggali tercepat setelah terhempas oleh gelombang. Pada

umumnya T. timorensis dan H. chinensis banyak ditemukan pada wilayah pesisir

yang berarus kuat tepatnya pada substrat berpasir, dan kerikil pada zonasi terdepan wilayah pesisir pantai yang berdekatan dengan daratan (Carpenter and Niem 1998; de Casamajor 2006).

Spesies kerang tertinggi pada Stasiun IV yaitu S. pilula dengan kepadatan

rata/ratasebesar 62 ind/m2 (65%)kemudian disusul dengan A. squamosa sebesar

25 ind/m2 (27%). Kepadatan bivalvia terendah yaitu spesies P. chlorotica sebesar

(41)

3 ind/m2 (3%), hal ini diduga karena terdesak oleh kehadiran spesies/spesies lain yang lebih mendominasi. Menurut Nybakken (1998), musnahnya populasi bisa diakibatkan oleh adanya kompetisi dan predasi, dimana kompetisi ini dapat berupa perebutan pencari makanan, ruang (tempat tinggal), reproduksi dan lain/

lain. Disamping itu tingkat predasi yang tinggi oleh gastropoda Natica sp

menyebabkan A. granosa tidak mampu beradaptasi pada kawasan pesisir Teluk

Sembulu dengan substrat dasar lempung berdebu dan pasir. Hal ini didukung oleh

pernyataan Komala (2012), dimana spesies gastropoda Natica sp merupakan

predator dari A. granosa.

Mendominasinya spesies Anadara (Scaparcha) pilula, disebabkan karena

spesies ini paling mampu beradaptasi serta dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kaya kandungan C/organik. Menurut Riniatsih dan Widianingsih (2007) spesies kerang genera Anadara cenderung bersifat kosmopolitan yaitu tersebar di perairan tropis dan subtropis. Kerang ini dapat hidup di perairan dengan substrat dasar pasir berlumpur di perairan padang lamun. Pakar lain seperti Carpenter and

Niem (1998), Broom (1985), Nurdin et al. (2006), Baron and Clavier (1992ab,

2006), juga menyebutkan bahwa bivalvia genera Anadara banyak tersebar di wilayah Indo/Pasifik khususnya pada substrat dasar berlumpur, pasir berlumpur

dan lempung berdebu. Menurut Roopnarine (2008); Grillo et al. (1998); Ing (2001)

menyatakan bahwa A. squamosa (suspended feeder) umumnya melimpah pada

substrat dasar berpasir hingga berlumpur yang bebas kandungan liat.

Miskinnya jumlah spesies dan jumlah individu yang ditemukan pada masing/masing stasiun disebabkan karena kelompok bivalvia tertentu yang kepadatannya tinggi selalu di eksploitasi oleh masyarakat setempat dalam jumlah yang sangat besar dengan intensitas eksploitasi yang tak terkendalikan, hal ini terlihat dari ditemukannya spesies/spesies kerang yang berukuran kecil hampir pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pada spot/spot tertentu (khususnya stasiun I) terjadi tekanan ekologi yang cukup berpengaruh pada keberlangsungan hidup biota bentik yang diduga bersumber dari aktivitas penimbunan pasir yang pernah terjadi di wilayah pesisir pantai hingga sejauh 150 m untuk proses pembuatan jalan pengangkutan tambang ke kapal pengangkut, akibatnya berdampak pula pada ekologi Stasiun II yang letaknya berdekatan. Stasiun II saat ini merupakan wilayah pesisir yang rawan terjadi abrasi pantai yang mana substrat dasarnya sering terpapar matahari dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat berisiko memusnahkan populasi berbagai spesies bivalvia yang hidup di area tersebut.

& ' - & , & ! ! & , 8#

Kraufvelin et al. (2007) melaporkan bahwa interaksi antar gerakan air dan

(42)

Gambar 7 Distribusi substrat dasar perairan pada zona intertidal.

Gambar 8 Distribusi bivalvia pada zona intertidal di setiap stasiun pengamatan.

Gambar 9 Frekuensi kehadiran bivalvia pada zona intertidal.

0

X = zona pasang surut (Lower, Middle, Upper) pada setiap stasiun penelitian

(43)

Berdasarkan Gambar 7 diatas, persentase fraksi sedimen pasir cenderung mendominasi pada setiap zona pasang surut hampir diseluruh stasiun penelitian. Kecuali pada Stasiun III yang memiliki tekstur pasir kasar (kerikil) pada zonasi

terdepan (lower) namun tidak ditemukan pada zonasi tengah (middle) dan zonasi

belakang (upper). Kondisi ini menggambarkan bahwa Stasiun III sangat

dipengaruhi oleh arus yang kuat karena lokasinya tepat berada di kawasan tanjung dan berhadapan dengan laut lepas. Akan tetapi berbeda halnya pada Stasiun IV yang cenderung didominasi oleh debu pada zonasi terdepan, sementara pada zonasi tengah dan zonasi belakang didominasi oleh pasir, artinya bahwa Stasiun IV dipengaruhi oleh arus lemah karena tepat berada di kawasan Teluk Sembulu.

Gambar 8 menunjukkan bahwa spesies kerang yang ditemukan pada masing/masing zonasi intertidal tidak selalu sama pada setiap stasiun yang diamati. Menurut Nurdin (2008), komposisi dan kepadatan kerang pada zona intertidal sangat ditentukan oleh kualitas tempat hidup, komposisi ukuran partikel substrat, suhu, salinitas serta berpengaruh pada tingkah laku ataupun kekhususan fisiologi yang dimiliki oleh beberapa spesies kerang sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Dame (1996), juga menyatakan bahwa kepadatan dan kelimpahan bivalvia di perairan sangat ditentukan oleh kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat organisme itu hidup dan adanya dominasi spesies dimana spesies yang dominan menggeser spesies yang lain.

Berdasarkan Gambar 9, nilai frekuensi kehadiran bivalvia tertinggi pada

lokasi penelitian adalah spesies G. pectinatum dan G. tumidum, kondisi ini

menunjukkan bahwa spesies ini tersebar merata pada setiap zonasi intertidal dan

cenderung memiliki kepadatan spesies tertinggi. Berbeda halnya dengan spesies S.

pilula yang memiliki kepadatan spesies tertinggi namun nilai frekuensi kehadiran sangat rendah sebesar 25% oleh karena itu spesies ini hanya bisa dijumpai pada Stasiun IV. Tingginya kepadatan jenis bivalvia pada zona lower terkait dengan kemampuan hidup kerang intertidal pada kondisi pasang surut air laut dan arus gelombang. Kerang intertidal sangat mengikuti pola arus gelombang dimana pada

saat pasang kerang juga ikut bergerak ke arah zona belakang (upper), dan waktu

surut juga ikut bergerak ke zona terdepan (lower). Akan tetapi tidak semua

individu kerang yang ikut pola arus ini tergantung ukuran tubuh seperti ukuran muda sangat aktif sedangkan juvenil dan dewasa lebih cenderung bergerak pada

zona lower dan middle seperti genera Donax, Gafrarium dan Katelysia.

Denadai et al. (2001) menambahkan bahwa penyebaran spasial moluska

secara vertikal maupun horizontal akan berbeda – beda pada masing/masing individu, tergantung pada fraksi substrat, tipe pantai, dan luasan zona intertidal, namun tentunya tidak terlepas oleh pengaruh paramater biofisik kelautan yang akan menyebabkan respon adaptasi yang berbeda pula terutama faktor kekeringan (dessication). Hasil penelitian Denadai et al. (2001), menemukan fakta mengenai penyebaran spasial biota laut (bivalvia) khususnya dari jumlah spesies yang ditemukan pada substrat berpasir zona intertidal cenderung berbeda pada zona

terdepan, (lower tide), zona tengah (middle tide), dan zona belakang (upper tide),

dimana kepadatan spesies tertinggi ditemukan pada zona paling belakang (upper

tide) yang cenderung memiliki spesies yang seragam, sementara kepadatan

spesies terendah ditemukan pada zona terdepan (lower tide) namun spesies –

(44)

9 , #

Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) bivalvia tersaji pada Gambar 10 berikut.

Gambar 10 Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C)

Indeks keanekaragaman rata/rata (H’) komunitas bivalvia pada perairan Kecamatan Simpang pesak berkisar antara 0.662 – 1.038, hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perairan tergolong masih alami dan bebas bahan pencemar (parameter lingkungan perairan dan sedimen masih mendukung bagi kehidupan bivalvia, meskipun pada Stasiun I diduga terjadi tekanan ekologi yang cukup berarti terutama dari aktivitas manusia (antropogenik) yang masih bisa ditolerir oleh lingkungan perairan. Keanekaragaman terendah dijumpai pada Stasiun I, hal ini disebabkan oleh terjadinya kompetisi makanan dan ruang yang cukup kuat antar organisme bentik, Spesies/spesies bivalvia yang mampu hidup pada Stasiun I tergolong sangat rendah sehingga nilai keanekaragaman spesies juga rendah, akan tetapi nilai keseragamannya tinggi. Indeks keseragaman (E) berkisar antara 0.576 – 0.956.

Nilai dominansi berkisar antara 0 – 1. Semakin besar nilai indeks, maka semakin besar adanya kecenderungan salah satu spesies yang mendominasi populasi. Indeks dominansi (C) bivalvia pada masing/masing stasiun pengamatan di wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak relatif seragam yaitu berkisar antara 0.50 – 0.53. Nilai dominansi mendekati 1 (C > 5), mengindikasikan bahwa terdapat organisme tertentu yang mendominasi.

Gambar

Gambar 1  Alur perumusan masalah.
Gambar 2  Peta stasiun penelitian
Tabel 2  Beberapa parameter lingkungan perairan dan substrat yang diukur
Tabel 3  Rerata hasil pengukuran kualitas perairan di kecamatan Simpang Pesak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepadatan Makrozoobenthos yang ditemukan di Perairan sebelah barat Pantai Desa Pekalongan dari masing- masing stasiun dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu Stasiun II

Gambar 4 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove Gambar 3 menjelaskan bahwa spons yang paling banyak ditemukan di habitat lamun yaitu

Adapun hasil penelitian didapatkan jenis dan jumlah anggota kelas bivalvia yang ditemukan di Area PPLH Puntondo Kabupaten Takalar terdapat 4 Ordo dan 21 jenis dalam 2 Stasiun

Jumlah spesies individu jenis yang paling banyak terdapat pada stasiun 1 yaitu 5 jenis dengan jumlah 38 individu terdiri dari Anadara gubernaculum, Donax

Polypedates leucomystax tidak ditemukan pada level ketinggian di atas 75 m dpl dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai antara lain : tidak ada sumber

Gambar 4 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove Gambar 3 menjelaskan bahwa spons yang paling banyak ditemukan di habitat lamun yaitu

Selama periode penangkapan diperoleh 17 spesies ikan dengan jumlah total individu 429 ekor, spesies yang paling banyak ditemukan adalah Ambassis marcracanthus yang dapat ditemukan pada

Jika dilihat dari hasil peneletian dengan jumlah jenis bivalvia yang ditemukan pada setiap stasiun dapat dikatakan bahwa salinitas perairan Danau Lindu masih mendukung untuk kehidupan