• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PREFERENSI HABITAT SPONS DI PESISIR PULAU

PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ERA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014 Era Sari NIM C54100078

_____________________________

(4)

ABSTRAK

ERA SARI. Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ADRIANI SUNUDDIN.

Spons laut dapat hidup di berbagai habitat seperti pasir, karang mati, batu serta pada media yang mempunyai struktur keras. Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur komunitas spons dan mengetahui preferensi habitat spons di pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – November 2014 bertempat di Pulau Pramuka, sebelah Timur yaitu Stasiun 1 habitat lamun (SL1) dan Stasiun 1 habitat Mangrove (SM1), Tenggara yaitu Stasiun 2 habitat lamun (SL2) dan Stasiun 2 habitat mangrove (SM2), dan Selatan yaitu Stasiun 3 habitat lamun (SL3) dan Stasiun 3 habitat mangrove (SM3). Pengamatan spons dan pengambilan sampel spons dilakukan dengan metode transek sabuk sepanjang 30 m sejajar garis pantai dengan radius 1 m, sedangkan untuk menghitung kerapatan dan penutupan jenis lamun dan mangrove menggunakan transek kuadrat ukuran 0.5 x 0.5 m2 dan 5 x 5 m2. Hasil penelitian mendapati spons yang terdiri atas 9 ordo, 14 famili, dan 16 genera. Tujuh jenis ditemukan di habitat lamun, empat jenis ditemukan di habitat mangrove dan lima jenis ditemukan di kedua habitat. Spons yang umum ditemukan di lamun adalah Plakinastrella onkodes, sedangkan spons yang umum ditemukan di mangrove adalah Callyspongia pallida.

Kata kunci: struktur komunitas, spons, lamun, mangrove, Pulau Pramuka

ABSTRACT

ERA SARI. Habitat Preferences of Sponges at Pramuka Island Coast, Kepulauan Seribu. Under Direction of DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ADRIANI SUNUDDIN.

Marine sponges live at several habitats, such as sand, dead coral, rock and any media which has hard structure. The purposes of this study were to study sponges community structure and determine the habitat preferences of sponges’ at Pramuka Island coast, Kepulauan Seribu. This study was conducted in August to November 2014 at three sites representing each habitats; in The east of Pramuka Island for seagrass (SL1) and mangrove (SM1), Southeast (SL2 and SM2), and South (SL3 and SM3). Sponge observation and sample collection were done by 30 m belt transect method placed along the coastline with the radius of 1 m, while to calculate the density and type of seagrass and mangrove closure using quadratic transect size of 0.5 x 0.5 m2 and 5 x 5 m2. The result of this study showed that sponges had a variety of 16 species of 9 orders, 14 families, and 16 genera. Seven species of sponge was observed at seagrass habitat, while four species at mangrove and five at both habitats. Plakinastrella onkodes was the most common species observed in seagrass, Callyspongia pallida was the most common species observed in mangrove.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

PREFERENSI HABITAT SPONS DI PESISIR PULAU

PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ERA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Nama : Era Sari NIM : C54100078

Tanggal Lulus:

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah spons, dengan judul Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA dan Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penelitian skripsi ini atas segala saran, bimbingan, dan nasihat selama penelitian berlangsung dan selama penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapakan terima kasih kepada Ibu Meutia Samira Ismet, S.Si, M.Si atas bantuannya selama ini, serta terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedarma, DEA selaku dosen penguji. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga atas segala doa, pengertian dan kasih sayangnya, kemudian untuk keluarga besar Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan angkatan 47 atas segala bantuan dukungan dan semangatnya khususnya Novi Dwi Indriyani, Nandike Ayudiah Poetri, Yuliyana Mubarokah, Winda Meilindo dan Nurgraha Dwi Saputra.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur Tahapan Penelitian 3

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Komunitas Spons di Pulau Pramuka 7

Karakteristik Habitat Lamun di Perairan Pulau Pramuka 11 Karakteristik Habitat Mangrove di Perairan Pulau Pramuka 14

Preferensi Habitat Spons 15

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 20

(10)

DAFTAR TABEL

1 Kerapatan dan penutupan jenis lamun pada masing-masing stasiun 12 2 Kualitas air di habitat lamun pada masing-masing stasiun 13 3 Kerapatan dan penutupan jenis mangrove pada masing-masing stasiun 14 4 Kualitas air di habitat mangrove pada masing-masing stasiun 15

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar Peta Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Spons di Pulau

Pramuka, Kepulauan Seribu 2

2 Gambar (a) Spikula Megaskleres Monoaxon (b) Spikula Megaskleres Tetraxon (c) Spikula Mikroskleres Monoaxon (d) Spikula Mikroskleres

Sigamatosklera 4

3 Gambar Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat

Lamun 8

4 Gambar Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat

Mangrove 9

5 Gambar Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi Spons di

Habitat Lamun 10

6 Gambar Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi Spons di

Habitat Mangrove 11

7 Grafik Analisis Koresponden antara Spons dengan Kelimpahan Spons di

Setiap Stasiun Pengamatan 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Matriks data Analisis Koresponden 20

2 Taksonomi Spons yang Ditemukan di Habitat Lamun dan Mangrove 21

3 Spons yang Ditemukan di Habitat Lamun 22

4 Spons yang Ditemukan di Habitat Mangrove 23

5 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Lamun 25 6 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove 26

7 Morfologi Spons dari Pulau Pramuka 27

8 Hasil Spikula Berdasarkan Ukuran Masing-masing Spesies Spons 30

9 Beragam Bentuk Spikula 31

10 Hasil Tabel Kontingensi Analisis Koresponden (Correspondence

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Spons termasuk Filum Porifera yang merupakan hewan bersel banyak paling sederhana, dikatakan demikian karena kumpulan organ maupun kemampuan geraknya sangat kecil dan hidupnya bersifat sessile. Filum Porifera dibagi menjadi 3 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, dan Demospongiae. Kelas Calcarea merupakan spons yang jumlahnya sedikit sekitar 10% dari jumlah semua hewan spons yang ada di laut. Kelas Hexactinellida belum banyak dikenal, karena sulit didapat dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 m). Kelas Demospongiae terdiri dari 90% dari sekitar 4500 – 5000 jenis, dari total jenis yang hidup di dunia. Kelas ini dibagi menjadi 3 subkelas, 13 ordo, 71 famili dan 1005 genera, meskipun hanya 507 genera yang dinyatakan masih ada, 481 genera hidup diperairan laut dan 26 genera hidup di air tawar (Hooper 2000). Kelas Demospongiae adalah spons yang paling banyak ditemukan dan penyebarannya luas, jenis spons ini beragam dan relatif banyak mendapatkan perhatian dari para ahli biokimia.

Secara umum, tubuh spons terdiri atas dinding tubuh, ostia (tempat masuknya air), atrium (rongga tubuh) dan oskulum (tempat keluarnya air). Spons memiliki bentuk yang bervariasi, ada yang berbentuk cabang, pipih, mangkok, cerobong dan ada pula yang berbentuk bola (Rachmaniar et al. 2001). Biota laut ini dikenal dengan filter feeder yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum. Spons laut dapat hidup di berbagai habitat seperti pasir, karang mati, batu serta pada media yang mempunyai struktur keras. Spons mengandung senyawa bahan alam (metabolit sekunder), senyawa bahan alam ini banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi, karena memiliki sifat bioaktif. Spons memiliki senyawa bioaktif yang paling potensial, bahkan senyawa bioaktif yang dikandungnya lebih banyak dibandingkan dengan alga dan tumbuhan darat (Muniarsih 2003).

Penelitian-penelitian tentang spons laut telah banyak dilakukan seperti Rachmaniar et al. (2001), Muniarsih (2003) dan Haris (2004). Akan tetapi penelitian mengenai preferensi habitat spons di Indonesia belum banyak dilakukan. Karjo (2006) telah melakukan penelitian mengenai Distribusi dan Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta

(12)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas spons dan mengetahui preferensi habitat spons di pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian ini dibagi kedalam dua tahap, yaitu pengambilan data dan pengolahan data sampel. Pengambilan data di lakukan pada 15-17 Agustus 2014 dengan 3 stasiun penelitian, masing-masing stasiun terdapat 2 titik lokasi pengamatan yaitu di habitat lamun dan habitat mangrove. Tahapan pengolahan data contoh dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan September 2014 bertempat di Bagian Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Spons di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu spons, alkohol 70%, es untuk pengawetan sampel spons dan reagen untuk titrasi Dissolved Oxygen (DO).

Alat

(13)

3 (newtop/sabak, pensil), cutter, GPS (Global Positioning system), gunting, plastik contoh, botol contoh, botol erlenmeyer, gelas ukur, botol BOD, kertas label, kamera underwater, refraktometer, kertas lakmus, ADS (Alat Dasar Selam), dan kalkulator.

Prosedur Tahapan Penelitian Pengamatan Spons di Habitat Lamun

Metode yang digunakan untuk pengamatan spons di padang lamun yaitu metode transek sabuk dengan radius 1 m sepanjang transek garis 30 m sejajar garis pantai. Spons yang ditemukan di dokumentasikan dan diamati morfologinya untuk kepentingan identifikasi. Kerapatan dan penutupan jenis lamun dihitung menggunakan transek kuadrat (0.5 x 0.5 m2) dengan jarak antar transek 10 dan diletakkan secara zig-zag di sepanjang transek sabuk.

Pengamatan Spons di Habitat Mangrove

Metode yang digunakan untuk pengamatan spons di habitat mangrove yaitu metode transek sabuk dengan radius 1 m sepanjang transek garis 30 m sejajar garis pantai. Spons diamati morfologinya ketika di perairan dan di darat, morfologi yang diamati meliputi warna, tekstur (kasar, halus, keras, lembut), dan bentuk pertumbuhannya. Morfologi tersebut diamati untuk kepentingan identifikasi jenis spons. Kerapatan dan penutupan jenis mangrove dihitung menggunakan transek kuadrat (5 x 5 m2) dengan jarak antar transek 5 m dan diletakkan secara zig-zag di sepanjang transek sabuk.

Preparasi Pengambilan Sampel Spons

Spons yang ditemukan di habitat lamun dan mangrove difoto atau didokumentasikan dan diambil sebagian dengan cara memotong spons dengan menggunakan pisau cutter. Sampel spons yang diambil dimasukkan ke dalam plastik sampel yang berisi air laut untuk kepentingan identifikasi jenis spons dan pengamatan morfologi spons. Morfologi spons diamati langsung pada habitat aslinya dan di laboratorium. Sampel spons yang diambil, langsung diawetkan dengan menggunakan alkohol 70%. Setelah diberi alkohol, sampel disimpan dalam kotak yang berisi es untuk mencegah kerusakkan sampel spons sebelum dianalisis di laboratorium. Spons diidentifikasi dengan melakukan pengamatan morfologi dan spikula spons.

Identifikasi Spons

(14)

4

x 10 (Hooper 2000). Spikula tersebut diidentifikasi berdasarkan ukuran dan axis. Menurut Hooper (2000) Berdasarkan ukurannya, spikula dibagi menjadi dua yaitu:

1. Megaskleres, spikula besar dengan ukuran panjang 0.1>1 mm; dapat bergabung membentuk bagian yang koheren

2. Mikroskleres, spikula kecil berukuran panjang 0.01 – 1 mm; tersebar di seluruh tubuh

Berdasarkan axis (cabang), spikula dibedakan atas 3 bentuk, yaitu: 1. Monaxon, spikula dengan satu axis

2. Triaxon, spikula dengan tiga axis 3. Tetraxon, spikula dengan empat axis

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2 (a) Spikula Megaskleres Monoaxon (b) Spikula Megaskleres Tetraxon (c) Spikula Mikroskleres monoaxon (d) Spikula Mikroskleres Sigmatoslera

Identifikasi lanjut jenis atau spesies spons mengacu pada buku Hooper 2000 beserta database spons dunia yang terdapat pada situs web marinesspecies.org/porifera dan spongeguide.org

Pengukuran Kualitas Perairan

(15)

5

Prosedur Analisis Data Habitat Lamun dan Mangrove

Analisis yang dilakukan pada habitat lamun dan mangrove yaitu dengan menghitung kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis dan indeks nilai penting.

a. Kerapatan Jenis Lamun dan Mangrove

Kerapatan jenis adalah jumlah total individu suatu jenis (lamun/mangrove) dalam satu unit area yang dihitung. Kerapatan jenis dihitung berdasarkan rumus (Fachrul 2007) sebagai berikut:

Keterangan :

Di = Kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

Ni = Jumlah total individu jenis ke-i (ind)

A = Luas area total pengambilan contoh (m2)

b. Penutupan Jenis Lamun

Keterangan :

Ci = Penutupan jenis ke-i (ind/m2)

Mi = Persentase nilai tengah kelas ke-i

f i = Frekuensi (jumlah jenis ke-i)

= Jumlah total frekuensi jenis ke-i

d. Penutupan Jenis Mangrove

Keterangan :

Ci = Penutupan jenis ke-i (ind/m2)

BA = π DB ²/4 (cm²)

BA = Jumlah seluruh luas lingkar pohon, anakan, semai (m2)

Spons

Analisis yang dilakukan pada spons yaitu dengan menghitung kelimpahan (X), indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), indeks dominasi (D).

a. Kelimpahan Spons (X)

Kelimpahan spons adalah jumlah individu persatuan luas. Kelimpahan spons yang ada pada stasiun pengamatan spons dihitung berdasarkan (Fachrul 2007):

(16)

Keterangan:

X = Kelimpahan spons (ind/ m2) Xi = Jumlah individu spons (ind)

A = Luas pengamatan spons (m2)

b. Indeks Keanekaragaman(H’)

Indeks keanekaragaman yang paling umum digunakan adalah indeks Shannon-Wiener (Bakus 2007) dengan rumus:

Keterangan :

H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah genus biota

Pi = Proporsi jumlah individu pada genus biota (ni/N)

ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah seluruh jenis

Keanekaragaman jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati biota yang akan diteliti. Bila nilai indeks semakin tinggi, berarti komunitas biota perairan itu makin beragam dan tidak hanya di dominasi oleh satu atau dua taksa saja. Kriteria hasil indeks keanekaragaman menurut Brower et al. 1989 yaitu sebagai berikut: H’<3.32 tingkat keanekaragaman jenisnya rendah artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan komunitas rendah, H’ berkisar 3.32-9.97 tingkat keanekaragaman jenisnya sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan sedang, dan jika H’>9.97 maka tingkat keanekaragaman jenisnya tinggi artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam kestabilan komunitas tinggi.

c. Indeks Keseragaman (E)

Keseragaman digunakan untuk mengetahui pola penyebaran individu tiap taksa. Rumus indeks keseragaman (Index Evenness) ditentukan dengan persamaan (Bakus 2007) sebagai berikut:

Keterangan :

E = Indeks keseragaman Evenness

H’ = Indeks keanekaragaman Shanon & Wiener H maks = Keragaman maksimum (log2 S)

S = Banyaknya taksa (Jumlah individu yang ditemukan)

Penggolongan nilai keseragaman menurut Pielou (1977) adalah 0 – 0.25 tidak merata, 0.26 – 0.50 kurang merata, 0.51 – 0.75 cukup merata, 0.76 – 0.95 hampir merata, dan 0.06 – 1.00 merata

d. Indeks Dominasi (D)

Nilai indeks keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil biasanya menandakan adanya dominasi suatu spesies terhadap spesies-spesies lain. Ada tidaknya dominasi dari suatu taksa tertentu yang ditentukan dengan indeks Simpson (Fachrul 2007) dengan persamaannya sebagai berikut :

(17)

7

Keterangan :

D = Indeks dominasi Simpson

Pi = Proporsi jumlah individu pada genus biota (ni/N)

ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah seluruh jenis

Kisaran indeks dominasi dinyatakan sebagai berikut: 0 < D ≤ 0.50: dominasi rendah; 0.50 < D ≤ 0.75: dominasi sedang; dan 0.75 < D ≤ 1.00: dominasi tinggi.

Preferensi Habitat Spons

Analisis preferensi habitat spons yang ditemukan di Pulau Pramuka menggunakan Analisis Koresponden (Correspondence Analysis) yaitu dengan menghubungkan jenis spesies spons dengan kelimpahan spons di habitat lamun dan mangrove (Bengen 2000). Matriks data yang digunakan yaitu jenis spesies spons dan kelimpahan spons di setiap stasiun pengamatan (Lampiran 1). Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu tempat dengan kepadatan yang tertentu pula. Pengerjaan analisis koresponden menggunakan software Minitab 15.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komunitas Spons Di Pulau Pramuka Kelimpahan Spons di Habitat Lamun dan Mangrove

(18)

Pengamatan spons di habitat lamun dan habitat mangrove dilakukan di ketiga stasiun pada titik yang berbeda. Spons yang ditemukan di Pulau Pramuka ada 16 jenis yang terdiri atas 9 ordo, 14 famili dan 16 genera (Lampiran 2). Semua jenis spons yang ditemukan baik di habitat lamun maupun di habitat mangrove merupakan jenis spons dari kelas Demospongiae. Jenis spons tersebut adalah Agelas conifera, Amphimedon viridis, Aka shipona, Callyspongia pallida, Chalinula pseudomolitba, Clathria reinwardti, Halisarca sp, Halichondria melanodocia, Hyrtios violaceus, Plakinastrela onkodes, Spirastrella hartmanni, Tectitethya crypta, Haliclona cymaeformis, Agelas cervicornis, Haliclona oculata, dan Spheciospongia vesparium.

Spons yang ditemukan di habitat lamun ada 12 jenis yaitu Agelas conifera, Amphimedon viridis, Aka shipona, Chalinula pseudomolitba, Clathria reinwardti, Halisarca sp, Halichondria melanodocia, Hyrtios violaceus, Plakinastrela onkodes, Spirastrella hartmanni, Tectitethya crypta, dan Haliclona cymaeformis (Lampiran 3), sedangkan spons yang ditemukan di habitat mangrove ada 9 jenis yaitu Amphimedon viridis, Callyspongia pallida, Chalinula pseudomolitba, Halichondria melanodocia, Hyrtios violaceus, Tectitethya crypta, Agelas cervicornis, Haliclona oculata, dan Spheciospongia vesparium (Lampiran 4). Kelimpahan total spons di habitat lamun yang paling tinggi terdapat di SL1 yaitu sebesar 568 ind/m2 (Lampiran 5). Stasiun ini dicirikan dengan kerapatan lamun yang jarang, sedangkan kelimpahan total spons paling tinggi di habitat mangrove yaitu SM2 sebesar 9.47 ind/m2 (Lampiran 6). Stasiun ini dicirikan dengan penutupan vegetasi mangrove yang rendah. Hal ini diduga spons tesebut lebih menyukai habitat yang langsung terpapar sinar matahari, sehingga spons lebih banyak ditemukan di habitat dengan kerapatan vegetasi rendah. Selain itu, kondisi lingkungan di SL1 dan SM2 memiliki kandungan nitrat dan orto-fosfat lebih tinggi dibanding dengan stasiun lain. Kelimpahan spons di habitat lamun dan habitat mangrove disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

(19)

9 Gambar 3 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Lamun

Gambar 4 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove Gambar 3 menjelaskan bahwa spons yang paling banyak ditemukan di habitat lamun yaitu jenis Plakinastrella onkodes, jenis spons ini mendominasi dan mempunyai kelimpahan yang tinggi di ketiga stasiun pada habitat lamun. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis spons Plakinastrella onkodes merupakan jenis spons yang mempunyai tekstur tubuh yang keras, kokoh ,berwarna coklat, yang tumbuh secara tegak dan tertanam di substrat sehingga spons jenis ini mampu beradaptasi terhadap gelombang dan arus (Lampiran 7). Arus air yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan spons (Voogd 2005). Menurut Muniarsih dan Rachmaniar (1999) spons memperoleh makanannya dengan cara menyaring partikel-partikel makanan yang terbawa oleh arus yang melewati tubuhnya. Arus berperan penting dalam proses penyediaan makanan bagi spons yang merupakan filter feeder. Kemudian Duckworth et al. (1997) dalam Asro et al. (2013) juga menyatakan bahwa arus berguna menghalau dan membersihkan sampah yang menutupi fragmen sehingga spons dapat tumbuh lebih baik.

(20)

tubuh yang lembut, berwarna hijau, dan tumbuh bercabang dengan cara menempel di akar mangove (Lampiran 7).

Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spons di Habitat Lamun dan Habitat Mangrove

Keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominasi (D) jenis merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan berdasarkan komponen biologis. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominasi (D) jenis disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spons di Habitat Lamun

Indeks keanekaragaman (H’) spons di SL1 sebesar 1.68, SL2 sebesar 0.98 dan SL3 sebesar 0.56. Menurut Brower et al. (1989), ketiga stasiun memiliki tingkat keanekaragaman spons yang rendah artinya penyebaran jumlah individu tiap jenis termasuk dalam kestabilan komunitas rendah. Indeks keseragaman (E) spons di SL1, SL2 dan SL3 berturut-turut sebesar 0.47, 0.27 dan 0.16. Menurut Pielou (1977), SL1 dan SL2 mempunyai keseragaman spons yang kurang merata, sedangkan SL3 keseragaman spons termasuk tidak merata. Indeks dominasi (D) spons di SL1 sebesar 0.10, SL2 sebesar 0.46, dan SL3 sebesar 0.002. Berdasarkan kisaran indeks dominasi Brower et al. (1989) ketiga Stasiun memiliki dominasi spons yang rendah (Gambar 5)

(21)

11

Gambar 6 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spons di Habitat Mangrove

Gambar 6 menunjukkan bahwa Indeks keanekaragaman (H’) spons di SM1 sebesar 1.62, SM2 sebesar 0.88 dan SM3 sebesar 0.85. Ketiga stasiun memiliki keanekaragaman spons yang rendah (Brower et al. 1989). Indeks keseragaman (E) spons di SM1, SM2, dan SM3 berturut-turut sebesar 0.51, 0.28, dan 0.27. Berdasarkan penggolongan nilai indeks keseragaman menurut Pielou (1977), keseragaman spons di SM1 termasuk cukup merata, sedangkan SM2 dan SM3 mempunyai keseragaman spons yang kurang merata. Indeks dominasi (D) spons di SM1 sebesar 0.03, SM2 sebesar 0.13, dan SM3 sebesar 0.01. Ketiga Stasiun tersebut mempunyai dominasi spons dengan kategori rendah (Brower et al. 1989).

Karakteristik Habitat Lamun di Perairan Pulau Pramuka Kerapatan Jenis dan Penutupan Jenis Lamun

(22)

Penutupan jenis menggambarkan tingkat penaungan ruang oleh komunitas lamun. Informasi mengenai penutupan sangat penting untuk mengetahui kondisi ekosistem secara keseluruhan serta sejauh mana komunitas lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada. Nilai kerapatan belum tentu dapat menggambarkan tingkat penutupan suatu jenis lamun, karena nilai penutupan selain dipengaruhi oleh kerapatan juga erat kaitannya dengan tipe morfologi jenis lamun (Zulkifli 2000). Hasil kerapatan jenis lamun pada masing-masing stasiun disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kerapatan jenis dan penutupan jenis lamun pada masing-masing stasiun

Jenis Lamun

Di=Kerapatan jenis (ind/m2); Ci=Penutupan jenis (ind/m2)

Jenis lamun yang ditemukan di SL1 yaitu Cymodocea rotundata, di SL2 Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis, sedangkan di SL3 Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis. Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun yang mendominasi di ketiga lokasi penelitian dan memiliki nilai kerapatan jenis dan penutupan jenis paling tinggi dibandingkan jenis lamun lainnya. Menurut Tomascik et al. (1997), Cymodocea rotundata mampu hidup di daerah dangkal yang tertutup karang dan mempunyai toleransi yang tinggi di daerah tidak terendam air. Cymodocea rotundata ini juga merupakan jenis lamun yang menyukai perairan yang terpapar sinar matahari dan merupakan jenis lamun yang kosmopolit, yaitu dapat tumbuh hampir di semua kategori habitat (Broun 1985). Tingginya penutupan jenis tidak selamanya linear dengan jumlah jenis maupun kerapatan jenis karena penutupan dipengaruhi lebar helaian daun, sedangkan kerapatan dipengaruhi jumlah tegakan lamun. Lebar helain daun sangat berpengaruh pada penutupan substrat, makin lebar helaian daun dari jenis lamun tertentu maka kemampuan untuk menutupi substrat semakin besar. Ketiga stasiun didominasi oleh Cymodocea rotundata dengan ukuran helaian daun yang cukup lebar dan memiliki jumlah tegakan yang paling banyak dibanding jenis lamun lainnya, sehingga mempunyai nilai penutupan yang besar.

(23)

13 bahwa di SM3 memiliki karakter habitat yaitu substrat dengan kandungan pasir halus, sedangkan di SL1 dan SL2 didominasi oleh substrat hamparan karang mati dan rubble. Menurut Tomascik et al. (1997), kandungan bahan organik pada sedimen halus lebih tinggi dibandingkan sedimen kasar, tingginya kandungan bahan organik dalam substrat sangat menunjang proses pertumbuhan dari lamun.

Kondisi Lingkungan Perairan di Habitat Lamun Pulau Pramuka

Pengukuran kualitas perairan pada habitat lamun dilakukan di tiga stasiun yaitu bagian Timur (SL1), Tenggara (SL2), dan Selatan (SL3) Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Parameter yang diambil untuk mengukur kualitas perairan adalah parameter fisika dan kimiawi yaitu suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, pH, DO, nitrat, dan orto fosfat. Nilai kualitas perairan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kualitas air di habitat lamun pada masing-masing stasiun

No Parameter Lokasi Penelitian Baku Mutu* SL2 SL2 SL3 *Keterangan : Nilai baku mutu berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004

Berdasarkan data kualitas air pada Tabel 2, kedalaman perairan pada ketiga lokasi penelitian di habitat lamun kurang dari 1 m dengan kecerahan 100%, hal tersebut terlihat dari substrat dasar perairan yang terlihat dengan jelas. Suhu perairan di ketiga lokasi penelitian sebesar 30 C, kisaran suhu optimal bagi jenis lamun untuk perkembangannya adalah 28-30 C. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting bagi kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme perairan (De Rosa et al. 2003). Salinitas yang terukur di ketiga stasiun

(24)

Karakteristik Habitat Mangrove di Perairan Pulau Pramuka Kerapatan Jenis dan Penutupan Jenis Mangrove

Kerapatan jenis dan penutupan jenis mangrove diamati dengan menggunakan transek 5 x 5 m2 dan dihitung tegakkan mangrove berdasarkan ukurannya yaitu pohon, anakan, dan semai. Pohon merupakan tegakkan mangrove yang mempunyai tinggi lebih dari 1 m dan diameter batang lebih dari 4 cm. Anakan merupakan tegakkan mangrove yang mempunyai tinggi lebih dari 1 m dan diameter batang kurang dari 4 cm, sedangkan semai merupakan tegakkan mangrove yang mempunyai tinggi kurang dari 1 m dan diameter batang kurang dari 1 cm. Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut (FAO 1982). Jenis mangrove yang ditemukan di ketiga stasiun penelitian yaitu jenis Rhizophora mucronata dengan tegakkan berupa semai dan anakan. Hasil kerapatan dan penutupana jenis mangrove disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kerapatan dan penutupan jenis mangrove pada masing-masing stasiun

Jenis

Di=Kerapatan jenis (ind/m2); Ci=Penutupan Jenis (ind/m2); S=Semai; A=Anakan

Mangrove di Pulau Pramuka merupakan mangrove buatan atau mangrove yang ditanam sendiri oleh penduduk atau masyarakat luar yang berkunjung ke Pulau Pramuka untuk tujuan konservasi. Jumlah tegakan individu mangrove di SM1 dan SM2 didominasi oleh semai, sedangkan SM3 didominasi oleh anakan. Kerapatan jenis mangrove rata-rata tertinggi adalah SM2 yang didominasi semai, karena di stasiun ini jumlah tegakan mangrovenya lebih banyak dan memiliki nilai nitrat dan orto fosfat lebih tinggi (Tabel 4). Penutupan jenis mangrove rata-rata tertinggi adalah SM1, hal ini dikarenakan di SM1 jumlah anakan mangrove lebih banyak dibandingkan SM2. SM3 memiliki kerapatan jenis dan penutupan jenis rata-rata terendah, karena stasiun ini mempunyai tegakan mangrove yang sedikit dibandingkan stasiun lainnya.

Kondisi Lingkungan Perairan di Habitat Mangrove Pulau Pramuka

Karakteristik fisika dan kimiawi perairan di habitat mangrove pada seluruh stasiun pengamatan masih berada dalam kisaran yang dapat mendukung kehidupan biota laut (Kepmen LH No.51 Tahun 2004). Habitat ini tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dari kualitas perairan pada habitat lamun. Kualitas perairan di habitat mangrove pada msasing-masing stasiun disajikan pada Tabel 4.

(25)

15 Tabel 4 Kualitas air di habitat mangrove pada masing-masing stasiun

No Parameter Lokasi Baku Mutu* *Keterangan : Nilai baku mutu berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004

Berdasarkan Tabel 4 kedalaman dan kecerahan di habitat mangrove tidak berbeda dengan kedalaman dan kecerahan pada habitat lamun yaitu kurang dari 1 meter dengan kecerahan 100%. Suhu pada ketiga lokasi penelitian berkisar antara 29-30 C. Salinitas terukur yang terdapat di ketiga stasiun mempunyai nilai yang sama yaitu 34 ‰. DO yang didapat pada masing-masing stasiun yaitu 6.29 mg/L, 6.88 mg/L, dan 6.6 mg/L. Nilai tersebut masih berada pada baku mutu yang ditetapkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004 yaitu lebih dari 5mg/L. Kandungan nitrat dan orto fosfat yang didapat di SM1 yaitu 0.014 mg/L dan 0.015 mg/L, SM2 sebesar 0.049 mg/L dan 0.015 mg/L, sedangkan SM3 sebesar 0.012 mg/L dan 0.016 mg/L. Nilai tersebut lebih tinggi daripada baku mutu air laut menurut Kepmen LH No.51 Tahun 2004, kecuali untuk orto-fosfat di SM1 yang sama dengan nilai baku mutu.

Preferensi Habitat Spons

Preferensi habitat spons di pesisir Pulau Pramuka dianalisis dengan menggunakan analisis koresponden (correspondence analysis) yaitu dengan melihat hubungan spons dengan kelimpahan spons di setiap stasiun pengamatan habitat lamun dan habitat mangrove (Bengen 2000). Hasil analisis ini dapat mengeksplorasi hubungan antara spons dengan karakteristik stasiun pengamatan di perairan Pulau Pramuka. Hasil analisis koresponden ada pada Gambar 7.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai akar ciri 0.7652 pada sumbu pertama dan 0.4135 pada sumbu kedua. Sumbu pertama dapat menjelaskan informasi yang ada sebesar 48.20% dari keragaman total, sedangkan sumbu kedua sebesar 26.04%, sehingga total dari keragaman yang dapat dijelaskan oleh analisis ini adalah sebesar 74.24% (Lampiran 10).

(26)

hubungan genera dengan karakteristik stasiun pengamatan (Gotelli and Ellison 2004).

SL=Stasiun habitat lamun; SM=Stasiun habitat mangrove; Aco=Agelas conifera; Avi= Amphimedon viridis; Ash= Aka shipona; Cpa= Callyspongia pallida; Cps= Chalinula pseudomolitba; Cre= Clathria reinwardti; Hsp= Halisarca sp; Hme= Halichondria melanodocia; Hvi= Hyrtois violaceus; Pon= Plakinastrella onkodes; Sha= Spirastrella hartmanni; Tcr= Tectitethya crypta; Hcy= Haliclona cymaeformis; Ace=Agelas cervicornis; Hoc=Haliclona oculata; Sve=Spheciospongia vesparium;

Gambar 7 Grafik Analisis Koresponden antara Spons dengan Kelimpahan Spons di Setiap Stasiun Pengamatan

Spons jenis Hoc cenderung mengelompok di SM3, jenis ini lebih menyukai habitat mangrove yang mempunyai kerapatan dan penutupan jenis rendah. Kemudian untuk jenis Ace dan Sve lebih cenderung mengelompok di SM1, kedua jenis ini lebih menyukai habitat mangrove yang memiliki nilai penutupan jenis tertinggi. Spons jenis Cpa lebih cenderung mengelompok ke SM2, jenis ini lebih menyukai habitat mangrove yang memiliki tegakan individu mangrove berupa semai lebih banyak dibandingkan anakan, sehingga tutupan dari individu mangrove tidak begitu besar dan menyebabkan intensitas cahaya yang tinggi. Selain itu, spons jenis Cpa juga menyukai habitat dengan kandungan nutrien yang tinggi. Spons jenis Hoc, Sve, Ace dan Cpa adalah spons yang hanya ditemukan di habitat mangrove dan tidak ditemukan pada habitat lamun, diduga keempat jenis ini lebih menyukai habitat mangrove dibanding habitat lamun. Spons jenis Cps dan Avi berada di antara stasiun lamun dan stasiun mangrove, diduga kedua spons

(27)

17 ini menyukai habitat lamun dan habitat mangrove. Hasil dari analisis koresponden tersebut menunjukkan bahwa jenis spons yang lain lebih mengelompok ke SL1, SL2, dan SL3 yaitu Aco, Ash, Cre, Hsp, Hme, Hvi, Pon, Sha, Tcr, dan Hcy, diduga jenis-jenis spons terebut lebih menyukai habitat lamun dibandingkan dengan habitat mangrove (Gambar 7).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Spons yang ditemukan di pesisir Pulau Pramuka terdapat 16 jenis yang terdiri atas 9 ordo, 14 famili dan 16 genera. 7 jenis ditemukan di habitat lamun, 4 jenis ditemukan di habitat mangrove dan 5 jenis ditemukan di kedua habitat. Spons yang paling banyak ditemukan di habitat lamun yaitu jenis Plakinastrella onkodes, spons ini lebih menyukai habitat lamun dengan kerapatan jenis lamun yang rendah. Jenis spons yang paling banyak ditemukan di habitat mangrove adalah Callyspongia pallida, spons ini lebih menyukai habitat mangrove yang memiliki kerapatan jenis mangrove yang rendah.

Saran

Perlu diteliti dan diidentifikasi senyawa bioaktif spons yang dominan ditemukan di habitat lamun dan habitat mangrove seperti, Plakinastrella onkodes dan Callyspongia pallida untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada spons tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Asro M, Yusnaini, Halili. 2013. Pertumbuhan Spons (Stylotella aurantium) yang Ditransplantasi pada Berbagai Kedalaman. Jurnal Mina Laut Indonesia. 01(01):133-144.

Bakus GJ. 2007. Quantitative Analysis of Marine Biological Communities: Field biology and environment. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. 435 hal Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data

Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.56 - 70 hal.

Broun JJ. 1985. A Preliminary Study of the Thalassodendrom ciliatum (FORSK) Den Hartog From Eastern Indonesia. Aquatic Botany. 23:249-260.

(28)

De Rosa S, De Caro S, Iodice C, Tommonaro G, Stefanov K, Popov S. 2003. Development in Primary Cell Culture of Demosponges. Journal Biotechnology. 100:119–125.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. 258 Hal.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. . Townville:Australian Institute of Marine Science

Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. 198 hal.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1982. Management and Utilization of mangroves in Asia and the Pasific. Rome: FAO

Gotelli NJA, M Ellison. 2004. A Primer of Ecological Statistics. Sinauer Associates, Inc. USA: Massachusetts.

Haris A. 2004. Transplantasi Spons Laut Aaptos aaptos Schmidt

(Porifera:Demospongiae: Pertumbuhan, Sintasan. Perkembangan Gamet dan Bioaktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar dan Fraksinya) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hoffmann F, Rapp HT, Zoller T, Reitner J. 2003. Growth and Generation in Cultivated Fragments of the Boreal Deep Water Sponge Geodia baretti Bowerbank (Geodiidae, Tetractinellida, Demospongiae). Journal of Biotechnology. 100:109-118

Hooper JNA. 2000. Spongeguide: Guide to Sponge Collection and Identification. Australia: Museum. 129 PP.

Karjo K. 2006. Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Kepmen LH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.

Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta (ID).

Kiswara W, Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (eds.). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi Lingkungannya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta (ID): hal 11-25.

Krebs CJ. 1972. The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York (NY). Harper and Row Publisher. 800 PP.

Muniarsih T. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan Obat-obatan. Oseana. 28(3):27-33.

Muniarsih T, Rachmaniar R. 1999. Isolasi Substansi Bioaktif Antimikroba dari Sponge Asal Pulau Pari Kepulauan Seribu. Prosiding Seminar Bioteknologi

Kelautan Indonesia I ’98. Jakarta 14–15 Oktober 1998: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. hal. 15 -158.

Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan. 367 Hal.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): PT. Gramedia. 195 Hal.

Pielou EC. 1977. Mathematical Ecology. John Wiley & Sons. Tronoto. 385 PP. Rachmaniar R, Motomasa Kobayasi, Abdullah Rasyid. 2001. Substansi

(29)

19 Indonesia. Prosiding Seminar Laut Nasional III. Jakarta 29-31. Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia , Jakarta . 2004.

Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta (ID): Djambatan. 540 hal.

Soedibjo, BS. 2008. Analisis komponen utama dalam kajian ekologi. Oseana. 33(2):43-53.

Tomascik TAJ, Mah A Nontji, MK Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas, Part One. Periplus Edition. 656 PP.

Voogd NJ de. 2005. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential [Disertasi]. Netherlands: University of Amsterdam.

(30)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Matriks Data Analisis Koresponden

No Jenis Spons Notasi SL1 SL2 SL3 SM1 SM2 SM3

1 Agelas conifera Aco 0.4 0.2 0.13 0.01 0.05 0

2 Amphimedon viridis Avi 0.03 0.2 0 0.03 0.01 0.06

3 Aka shipona Ash 0.6 0 0.16 0 0 0

4 Callyspongia pallida Cpa 0 0 0 0.11 0.31 0

5 Chalinula pseudomolitba Cps 0.05 0.11 0.01 0.08 0 0.01

6 Clathria reinwardti Cre 0.03 0.07 0 0 0 0

7 Halisarca sp Hsp 0 0.03 0.01 0 0 0

8 Halichondria melanodocia Hme 0 0.83 0 0.01 0 0

9 Hyrtois violaceus Hvi 0 0 0.01 0 0 0

10 Plakinastrella onkodes Pon 3.53 3.3 0.53 0 0 0

11 Spirastrella hartmanni Sha 3.23 0.1 0.18 0 0 0

12 Techtitethya crypta Tcr 1.57 0.43 0.43 0.01 0 0

13 Haliclona cymaeformys Hcy 0.01 0.01 0.01 0 0 0

14 Agelas cervicornis Ace 0 0 0 0.01 0 0

15 Haliclona oculata Hoc 0 0 0 0.03 0 0.05

16 Spheciospongia vesparium Sve 0 0 0 0.01 0 0

(31)

Lampiran 2 Taksonomi Spons yang Ditemukan di Pesisir Pulau Pramuka

Kelas Subkelas Ordo Family Genus Spesies

Demospongiae

Ceractinomorpha

Agelasida Agelasidae Agelas Agelas conifera

Agelasida Agelasidae Agelas Agelas cervicornis

Dctyoceratida Thorectidae Hyrtios Hyrtios violaceus

Haplosclerida Niphatidae Amphimedon Amphimedon viridis

Haplosclerida Chalinidae Chalinula Chalinula pseudomolitba

Haplosclerida Chalinidae Haliclona Haliclona cymaeformis

Haplosclerida Chalinidae Haliclona Haliclona oculata

Haplosclerida Callyspongiidae Callyspongia Callyspongia pallida

Haplosclerida Phloeodictyidae Aka Aka shipona

Halichondrida Halichondriidae Halichondria Halichondria melanodocia

Poecilosclerida Microcionidae Clathria Clathria reinwardti

Tetractinomorpha

Astrophorida Geodiidae Geodia Geodia gibberosa

Hadromerida Tethyidae Tectitethya Tectitethya crypta

Hadromerida Clionidae Spheciospongia Spheciospongia vesparium

Hadromerida Spirastrellidae Spirastrella Spiratrella hartmanni

Homosleromorpha Homosclerophorida Plakinidae Plakinastrella Plakinastrella onkodes

Halisarcida Halisarcidae Halisarca Halisarca sp

(32)

19 Lampiran 3 Jenis Spons yang Ditemukan di Habitat Lamun

1.Aka shipona (Ash)

2.Agelas conifera (Aco)

3.Halisarca sp (Hsp)

4.Haliclona cymaeformis (Hcy)

5.Clathria reinwardti (Cre)

6.Amphimedon viridis (Avi)

7.Plakinastrella onkodes (Pon)

(33)

Lampiran 3 (Lanjutan)

9.Hyrtios violaceus (Hvi) 11.Chalinula pseudomolitba (Cps)

10. Spirastrella hartmanni (Sha)

Lampiran 4 Jenis Spons yang Ditemukan di Habitat Mangrove

1.Chalinula pseudomolitba (Cps)

2.Amphimedon viridis (Avi)

3. Tectitethya crypta (Ttc)

4.Haliclona oculata (Hoc)

(34)

21 Lampiran 4 (Lanjutan)

5.Agelas cervicornis (Ace)

6.Halichondria melanodocia (Hme)

7.Speciospongia vesparium (Sve)

8.Callyspongia pallida (Cpa)

(35)

Lampiran 5 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Sasiun di Habitat Lamun

Spesies Jumlah Individu Kelimpahan (ind/ m

2

)

SL1 SL2 SL3 SL1 SL2 SL3

Agelas conifera 24 12 8 0.4 0.2 0.13

Spirastrella hartmanni 194 6 11 3.23 0.1 0.18

Plakinastrella onkodes 212 198 32 3.53 3.3 0.53

Chalinula pseudomolitba 3 7 1 0.05 0.11 0.01

Clathria reinwardti 2 4 0 0.03 0.07 0

Tectitethya crypta 94 26 26 1.57 0.43 0.43

Aka shipona 36 0 10 0.6 0 0.16

Amphimedon viridis 2 12 0 0.03 0.2 0

Haliclona cymaeformis 1 1 1 0.01 0.01 0.01

Halisarca sp 0 2 1 0 0.03 0.01

Hyrtois violaceus 0 0 1 0 0 0.01

Halichondria melanodocia 0 5 0 0 0.83 0

Total 568 273 91 9.47 4.55 1.51

(36)

Lampiran 6 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove

Spesies

Jumlah Individu Kelimpahan (ind/ m2)

SM1 SM2 SM3 SM1 SM2 SM3

Agelas conifera 1 3 0 0.01 0.05 0

Chalinula pseudomolitba 5 0 1 0.08 0 0.01

Callispongia pallida 7 19 0 0.11 0.31 0

Tectitethya crypta 1 0 0 0.01 0 0

Halichondria melanodocia 1 0 0 0.01 0 0

Amphimedon viridis 2 1 4 0.03 0.01 0.06

Speciospongia vesparium 1 0 0 0.01 0 0

Haliclona oculata 2 0 3 0.03 0 0.05

Agelas cervicornis 1 0 0 0.01 0 0

21 23 8 0.35 0.38 0.13

(37)

Lampiran 7 Morfologi Spons dari Pulau Pramuka

(38)
(39)
(40)

Lampiran 8 Karakteristik Spikula untuk masing-masing Jenis

No Jenis Spons

Spikula

A (Potongan Vertikal) B (Potongan Horizontal) Megaskleres Mikroskleres Megaskleres Mikroskleres

1 Agelas conifera 2 Amphimedon viridis Hastate Oxea Sigma,

Microxea

Microxea Hastate Oxea, Fusiform

12 Clathria reinwardti Hastate Oxea Hastate Oxea 13 Haliclona

cymaeformis

Fusiform Oxea, Styloid

Raphide Hastate Oxea 14 Hyrtois violaceus Hastate Oxea,

(41)

27 Lampiran 9 Beragam Bentuk Spikula Spons

1.Fusiform Oxea 4.Subtylostyle

2.Plagiotriane 5.Hastate Oxea

3.Styloid 6.Sigma

(42)

Lampiran 10 Hasil Tabel Kontingensi Analisis Korespondensi (Corrrespondence Analysis)

a. Nilai, Ragam, dan Kumulatif

Akar Ciri Sumbu

Sumbu 1 Sumbu 2

Nilai 0.7652 0.4135

Ragam (%) 48.20 26.04

Kumulatif Ragam (%) 48.20 74.24

b. Kontribusi Baris

ID Notasi Sumbu 1 Sumbu 2

Koordinat Korelasi Kontribusi Koordinat Korelasi Kontribusi

1 Aco 0.206 0.246 0.003 -0.213 0.261 0.005

2 Ash -2.444 0.094 0.003 -0.278 0.122 0.008

3 Ace 3.573 0.229 0.01 2.184 0.086 0.007

4 Avi 0.761 0.108 0.015 2.128 0.841 0.213

5 Cpa 5.121 0.94 0.847 -1.258 0.057 0.095

6 Cps 1.063 0.216 0.023 1.157 0.256 0.05

7 Cre -0.171 0.039 0.000 0.199 0.054 0.001

8 Hme -0.092 0.004 0.001 0.427 0.085 0.022

9 Hoc 2.612 0.11 0.042 6.952 0.776 0.55

10 Hcy -0.202 0.049 0.000 -0.045 0.002 0.000

11 Hsp -0.157 0.016 0.000 0.24 0.038 0.000

12 Hvi -0.219 0.005 0.000 -0.259 0.006 0.000

13 Pon -0.197 0.323 0.022 0.027 0.006 0.001

14 Sve 3.573 0.229 0.101 -2.184 0.086 0.007

15 Sha -0.246 0.109 0.016 -0.263 0.124 0.034

16 Tcr -0.21 0.215 0.008 -0.148 0.107 0.008

c. Kontribusi Kolom

ID Notasi Sumbu 1 Sumbu 2

Koordinat Korelasi Kontribusi Koordinat Korelasi Kontribusi

1 SL1 -0.22 0.226 0.035 -0.182 0.156 0.045

2 SL2 -0.119 0.023 0.006 0.261 0.109 0.051

3 SL3 -0.192 0.069 0.004 -0.167 0.052 0.006

4 SM1 3.125 0.628 0.225 1.405 0.127 0.084

5 SM2 4.961 0.884 0.7 -1.594 0.091 0.134

6 SM3 1.781 0.064 0.029 6.31 0.809 0.68

(43)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lahat, Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 02 September 1993 sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Erhan, dan Ibunda Warna. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Merapi Timur, Lahat, Sumatera Selatan. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur BUD di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2010.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) mulai dari tahun 2012-2013 dan sebagai anggota divisi Birousaha. Penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PPP Muncar, Banyuwangi.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir Dietriech G Bengen, DEA dan Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si

Gambar

Gambar 1  Peta Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Spons di Pulau
Gambar 2 (a) Spikula Megaskleres Monoaxon (b) Spikula Megaskleres Tetraxon
Gambar 3 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Lamun
Gambar 6 menunjukkan bahwa Indeks keanekaragaman (H’di SM1 sebesar 0.03, SM2 sebesar 0.13, dan SM3 sebesar 0.01
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini perlu dilakukan mengingat saat konflik terjadi di Saparua, pihak- pihak yang berkompeten di bidang agama (pemimpin umat) ternyata kemudian secara tidak sengaja dapat

Dalam La Barka, kemarahan tokoh utama wanita, Rina, seorang wanita Jawa, terhadap suaminya, Bonin, dipacu oleh sikap suami yang tidak menunjukkan hormat dengan

Untuk menangani isu-isu ini dengan lebih berkesan pendokong gerakan Islam perlu melihat dan mempelajari kerangka dan sistem yang ada; bukan menghentam dan

lulusan sekolah dasar (3) rendahnya produktivitas, kesejahteraan dan perlindungan sebagian besar pekerja. Kondisi riil ini diyakini sebagai faktor utama yang menyebabkan

Di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri serta bagaimana strategi bertahan yang dilakukan masyarakat penambang emas tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri

Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Dewandaru (E. Menurut Plezart dan Chan [11] semakin besar konsentrasi zat yang terdapat pada cakram akan memperbesar kemampuan

(b) Vena pulmonari mengangkut darah beroksigen dari peparu ke jantung, manakala aorta mengangkut daarah beroksigen dari jantung ke semua bahagian bada, kecuali peparu..

Dari definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengertian manajemen sumber daya manusia secara garis besar sama yaitu bahwa manajemen sumber daya manusia mendayagunakan tenaga