• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs)."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur

Oleh : AHMAD IHSAN NPM. 0871010044

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJ UAN MENGIKUTI UJ IAN SKRIPSI

TINDAK PIDANA PENGGELAPANAN DALAM JABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs)

Disusun Oleh AHMAD IHSAN

0871010044

Telah dipertahankan dihadapkan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur pada tanggal : 20 Juni 2013

Menyetujui PEMBIMBING

HARYO SULISTIYANTORO,SH,MM NIP. 1962 0625 1991 031 001

Mengetahui DEKAN

(3)

iii

H

ALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI TINDAK PIDANA PENGGELAPANAN DALAM JABATAN SENIOR

FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs)

Telah dipertahankan dihadapkan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur pada tanggal : 20 Juni 2013

Disusun Oleh : AHMAD IHSAN

0871010044

Pembimbing Tim Penguji 1.

HARYO SULISTIYANTORO,SH,MM MAS ANIENDA TIEN F., SH, MH NIP. 1962 0625 1991 031 001 NPT. 377 09070 223

2.

SUBANI, SH., M,Si

NIP.19510504 198303 1 001

3.

HARYO SULISTIYANTORO,SH,MM NIP. 1962 0625 1991 031 001

Mengetahui DEKAN

(4)

iv

H

ALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI

TINDAK PIDANA PENGGELAPANAN DALAM JABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs) Disusun Oleh :

AHMAD IHSAN 0871010044

Telah dipertahankan dihadapkan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur pada tanggal : 20 Juni 2013

Tim Penguji 1.

MAS ANIENDA TIEN F. SH, MH (...) NPT. 377 09070 223

2.

SUBANI, SH, M.Si (...) NIP. 19510504 198303 1 001

3.

HARYO SULISTIYANTORO,SH,MM (...)

NIP. 1962 0625 1991 031 001

Mengetahui DEKAN

(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : AHMAD IHSAN

Tempat / Tgl Lahir : Gresik, 14 Juni 1990

NPM : 0871010044

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl, Medangan, Kec. Benjeng Kab. Gresik Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM J ABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK (Studi Kasus Putusan Pengadilan Gr esik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs)”

Dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta sendiri, yang saya buat dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan ( plagiat ).

Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan ( Sarjana Hukum ) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui Surabaya, 13 Juni 2013

Pembimbing Utama Penulis

HARYO SULISTIYANTORO,SH,MM AHMAD IHSAN

(6)

Dengan mengucapkan puja dan puji Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Di sini penulis mengambil judul “TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM J ABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT. RHODIA DI GRESIK ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Neger i Gr esik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs )”

Penulisan skripsi ini disusun guna memenuhi tugas akhir yang ada di Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur dalam mencapai Sarjana Hukum.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan dorongan oleh beberapa pihak. Maka pada kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H. M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang juga selaku pembimbing yang bersedia meluangkan waktu untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi.

2. Bapak Sutrisno, S.H. M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, M.S selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

(7)

“Veteran” Jawa Timur.

6. Kepala bagian Tata Usaha Fakultas Hukum beserta staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

7. Kepada kedua orang tua yang paling saya sayangi yakni H. Ridhwan dan HJ. Mulyanah, adik tersayang Ichwan Arif yang telah membantu dan memberi semangat dalam skripsi saya.

8. Kepada Windhu, Binar, Radit, Jaka, afif, Ekkik, Saipul, Ricko, Fani, Perdana, Danu, Alfin, Fitra, Pancar, selaku teman penulis yang memberikan keluangan waktu untuk bersedia membantu menyelesaikan skripsi ini.

9. Lia Wahyu Ambarwati yang selalu menemani dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Sungguh penulis harapkan saran dan kritik yang baik demi kesempurnaan skripsi ini. Dengan harapan bahwa skripsi ini Insya Allah akan berguna bagi teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum

Gresik, 30 Juni 2013

Penulis

(8)

Halaman 1.5.2. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan dan

(9)

1.6.4. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 1.7. Sistematika Penulisan ...

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM

JABATAN DENGAN MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO. 163/PID.B/2010/PN.GS) ... 2.1. Faktor Internal Yang Menyebabkan Terjadinya

Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan Dengan Menggunakan Identitas Palsu ... 2.2. Faktor Eksternal Yang Menyebabkan Terjadinya

Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan Dengan Menggunakan Identitas Palsu ... BAB III PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN

(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GHRESIK NO. 163/PID.B/2010/PN.GS ... 3.1. Gambaran Umum ... 3.2. Penerapan Sanksi Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan Dengan Menggunakan Identitas Palsu ... 3.3. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor

(10)

BAB IV PENUTUP ... 4.1. Kesimpulan ... 4.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA

(11)

xi

FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa : AHMAD IHSAN

NPM : 0871010044

Tempat Tanggal Lahir : Gresik, 14 Juni 1990

Program Studi : Strata 1 ( S1)

Judul Skripsi :

TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM J ABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs) ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam faktor – faktor penyebab terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu dan untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi terhadap tindak pidana penggelapan dalam jabatan. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Gresik. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatir adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach) yakni mengutip pendapat-pendapat para sarjana. Sumber data diperoleh dari sumber data sekunder dengan bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu di Pengadilan Negeri Gresik terdapat faktor internal dari dalam pelaku yakni faktor ekonomi dan kurangnya pemahaman terhadap agama dan juga terdapat faktor eksternal yakni sistem hukum yang lemah, culture corporation yakni faktor budaya perusahaan. Penerapan sanksi tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Gresik tidak selalu dikenakan pasal berlapis karena masih melihat unsur-unsur tindak pidana tersebut

(12)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) disebutkan sebagai berikut: “Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”, dan “suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 29 disebutkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan agama dan memberikan kebebasan warganya untuk menjalankan syariat agamanya.

Negara yang menganut faham keagamaan seharusnya warganya menjalankan perintah dan menjahui larangan-larangan yang telah digariskan oleh hukum agama yaitu melakukan perbuatan kejahatan, namun kenyataannya banyak terjadi perbuatan jahat yang merugikan perekonomian Negara maupun orang lain dengan berbagai modus operandi.

(13)

istilah Belanda “strafbare feid”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: 1) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; 2) Peristiwa pidana; 3) Perbuatan pidana dan tindak pidana.1

Mengenai “strafbare feid” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".2 Hal ini berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum.

Perbuatan pidana kepada pelakunya dikenasak sanksi berupa pidana bagi yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana yang dilakukannya tidak jarang satu perbuatan pidana dapat melanggar dua pasal atau lebih atau bahkan melanggar dua peraturan perundang-undangan sebagaimana kasus yang terjadi di bawah ini:

Giok Lan Melannia Indahwati salah seorang pekerja pada PT Rhodia di Gresik, perusahaan yang bergerak di bidang industri kimia yang ditempatkan pada jabatan senior finance executif dengan tugas dan tanggung jawab antara lain membuat bilyet giro (BG), membuat cek, melakukan pembayaran ke supplier dan mengecek saldo bank.

1

Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, hlm. 204.

2

(14)

PT Rhodia dalam menjalankan usaha bekerja sama dengan beberapa perusahaan lain yang memasok kebutuhan untuk operasional perusahaan antara lain PT Manggala Indah Makmur dan PT Ecogreen Oleochemical dan perusahaan suplier tersebut setelah mengirimkan barang sesuai dengan kesepakatan permintaan barang dan PT Rhodia memasukan tagihan untuk melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang tertera dalam tagihan tersebut.

Giro yang seharusnya digunakan untuk pembayaran kepada suplier telah dicairkan oleh Giok Lan Melannia Indahwati dengan bantuan Lusiana (bagian cashier Finance and Administration Executif PT Rhodia) dan itu dilakukan secara berulang-ulang, tetapi tidak untuk melakukan pembayaran melainkan dimasukan rekening terdakwa Giok Lan Melannia Indahwati atas nama Manggala Indah di Bank Panin dan nama tersebut digunakan terdakwa dalam membuka rekening bank merupakan nama fiktif dengan membuat Kartu Tanda Penduduk untuk dirinya.

Tindakan terdakwa tersebut oleh jaksa penuntut umum didakwa dalam dakwaan kesatu melanggar pasal 374 KUHP dan dakwaan Kedua melanggar pasal 372 KUHP.

(15)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam proposal ini permasalahannya dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu (putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs) ?

2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penggelapan

dalam jabatan (analisis putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs) ?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu (putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs).

b. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan (analisis putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs).

1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

(16)

b. Manfaat Praktis.

Sebagai masukan atau sumbangan pemikiran terutama bagi para pihak yang menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan dan para penegak hokum dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan terutama perusahaan swasta..

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam hukum pidana dibedakan antara perbuatan atau tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Suatu perbuatan atau tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, jika tindakan tersebut telah dirumuskan terlebih dahulu sebagai perbuatan pidana. Hal tersebut diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa “tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari perbuatan itu”.

Sianturi mengatakan tindak pidana berasal dari istilah Belanda “strafbare feid”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia:

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; b. Peristiwa pidana;

c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.3

3

(17)

Mengenai “strafbare feid” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".4 Hal ini berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum.

Perihal hukum pidana itu sendiri, Moeljatno mengemukakan: Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan-larangan tersebut;

2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.5

Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno di atas dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum pidana. Karena hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

4

Moeljatno, Op. Cit., hlm. 54.

5

(18)

pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.

Menurut Cecar Lambroso, faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana terletak dalam diri pribadi manusia (internal) dan keadaan alam sekeliling kehidupan manusia (eksternal).6

1.5.2. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan dan Penipuan

Tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan masing-masing diatur dalam KUHP. Tindak pidana penggelapan ditentukan dalam Pasal 372 KUHP :

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Ketentuan Pasal 372 KUHP tersebut di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana penggelapan sebagai berikut:

a. unsur subyektif : dengan sengaja;

6

(19)

b. unsur obyektif :

- menguasai secara melawan hukum; - suatu benda;

- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; - berada padanya bukan karena kejahatan.7

Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”, merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut: “Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.8 Jadi kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya.

Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki secara melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei

7

Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989, h 105.

8

(20)

1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.9

Jadi apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan hukum.

Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”, menurut Sugandhi adalah sebagai berikut :

Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini.10

Sedang menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian sebagaimana Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi pemiliknya”.11 Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya.

9

Ibid., hlm. 622.

10

Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 376.

11

(21)

Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku”.12

Selanjutnya Sianturi mengemukakan bahwa barang yang dimaksud ada padanya atau kekuasaannya ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu terhadap barang tersebut. Barang itu tidak mesti secara nyata ada di tangan seseorang itu, tetapi dapat juga jika barang itu dititipkan kepada orang lain, tetapi orang lain itu memandang bahwa si penitip inilah yang berkuasa pada tersebut.

Jadi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu berada padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundangan yang berlaku seperti :

1. Peminjaman, 2. Penyewaaan, 3. Sewa-beli, 4. Penggadaian,

5. Jual beli dengan hak utama untuk membeli kembali oleh sipenjual, 6. Penitipan,

12

(22)

7. Hak retensi, dan lain sebagainya tetapi juga karena sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum seperti misalnya :

a. Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya;

b. Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di rumah seseorang ketika ia bertamu;

c. Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak disadarinya; dan lain sebagainya.13

Hal tersebut berarti bahwa apabila barang tersebut secara keseluruhan miliknya sendiri, maka tidak dapat dikatakan bahwa barang tersebut adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain.

Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan karena kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda tertentu”.14

Jadi jika barang tersebut berada di tangannya melalui mengambil dari orang lain tanpa hak, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan penggelapan melainkan melakukan tindak pidana pencurian.

Pasal 374 KUHP menentukan bahwa “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang

13

Sianturi, Op. cit., hlm. 622.

14

(23)

disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”.

Kejahatan ini dinamakan “penggelapan berat”. Yang dapat dituntut menurut pasal ini misalnya :15

a. Seseorang yang karena hubungan pekerjaannya, diserahi menyimpan barang, kemudian digelapkan; misalnya : hubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga atau antara majikan dan buruhnya;

b. Seseorang yang menyimpan barang itu karena jabatannya; misalnya : tukang penatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang sepatu, tukang jam atau tukang sepeda yang menggelapkan sepatu, jam atau sepeda, yang diserahka kepadanya untuk diperbaiki;

c. Seseorang yang memegang barang itu karena mendapat upah uang; misalnya : seorang karyawan kereta api yang membayarkan barang dari seorang penumpang dengan mendapat upah uang, kemudian menggelapkan barang yang dibawanya itu.

Pasal ini tidak berlaku bagi pegawai negeri yang menggelapkan: 1. Uang atau kertas berharga yang disimpannya karena jabatannya.

Pegawai negeri yang dengan sengaja menggelapkan uang atau

15

(24)

kertas berharga yang disimpan karena jabatannya, dikenakan Pasal 415 KUHP;

2. Barang bukti atau keterangan yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak, yang disimpan karena jabatannya. Pegawai negeri yang menggelapkan barang-barang yang disebut di sini, yang disimpan karena jabatannya, dikenakan Pasal 417 KUHP.

Tetapi seorang pegawai negeri yang menggelapkan barang inventaris kantor, walaupun barang itu ia simpan karena jabatannya, ia tidak dikenakan Pasal 415 atau Pasal 417 KUHP, karena barang yang digelapkan bukan barang-barang yang dimaksudkan oleh pasal itu. Ia dapat dikenakan Pasal 372 jo. 52 KUHP.

Penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang menentukan: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Tindak pidana penipuan dalam membentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 378 KUHP itu terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur subyektif :

- dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, - dengan melawan hukum.

(25)

- membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/

Menurut Moch. Anwar unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain diartikan bahwa maksud itu harus ditunjukkan kepada menguntungkan dengan melawan hukum, sehingga pelaku harus mengetahui, bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya itu harus bersifat melawan hukum.17

Unsur melawan hukum berarti bertentangan dengan kepatutan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat.18

Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hokum berarti “menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak”.19

Unsur obyektif menggerakkan menurut Sianturi adalah tergeraknya hati si korban dan mau melakukan suatu perbuatan.20

(26)

Kendati mengenai suatu sikap ragu-ragu atau penolakan dari si korban, yang demikian si korban melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya justru merugikan diri sendiri, tanpa paksaan.

Unsur dengan memakai nama palsu menurut Satauchid Kartanegara suatu nama palsu itu harus merupakan nama seseorang.21 Nama tersebut dapat merupakan nama yang sebenarnya bukan merupakan nama dari pelaku sendiri, misalnya : Simin diganti dengan Siman.

Yang dimaksud rangkaian kebohongan adalah beberapa keterangan yang saling mengisi yang seakan-akan benar isi keterangan itu, padahal tidak lain daripada kebohongan.22 Rangkaian kebohongan-kebohongan tersebut ditujukan untuk menunjukkan tentang sesuatu yang seakan-akan benar.

Menurut Moch. Anwar tipu muslihat merupakan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga perbuatan-perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain.23 Sugandhi mengartikan tipu muslihat adalah “suatu tipu yang diatur demikian rapinya, sehingga orang yang berpikiran normalpun dapat mempercayainya

20

(27)

akan kebenaran hal yang ditipukannya”.24 Jadi suatu tipu muslihat tidak terdiri dari ucapan saja tetapi dapat dibuktikan atas perbuatan atau tindakan si pelaku. Hal ini berarti bahwa jika tidak dapat dibuktikan atas perbuatan atau tindakan si pelaku, maka tidak dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378 KUHP.

1.5.3. Pengertian Tindak Pidana Membuat Surat Palsu

Buku XII KUHP dengan judul Bab Pemalsuan Surat tertuang dalam Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pasal 263 ayat (1) KUHP menentukan bahwa barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Ketentuan Pasal 263 KUHP diawali dengan kata “barangsiapa” yang ditujukan kepada pihak yang memalsukan surat tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan surat, dijelaskan sebagai berikut: “Yang diartikan dengan surat dalam bab ini ialah segala surat

24

(28)

baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya”.

Surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang :

a. dapat menerbitkan suatu hak (misalnya : ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lain-lain)

b. dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya : surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, pejanjian sewa dan sebagainya)

c. dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kwitansi atau surat semacam itu); atau

d. suatu surat yang boleh dipergnakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya : surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi).

Perbuatan yang diancam hukuman disini ialah : “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat.”

“Membuat surat palsu” membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Pegawi polisi membuat proses-perbal yang beisi sesuatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses perbal palsu. Ia membuat proses-perbal palsu, apabila pegawai polisi itu menuliskan dalam proses-perbalnya lain dari pada hal yang diceritakan kepadanya oleh orang tersebut.25

“Memalsu surat” mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari pad yang asli. Adapun caranya bermacam-macam. Tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula

25

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

(29)

dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau merobah sesuatu dari surat itu.26 Memalsu tanda tangan masuk pengertian memalsu surat dalam Pasal ini. Demikian pula penempelan suatu foto orang lain dari pada pemegang yang berhak dalam suatu surat ijazah sekolah, ijazah mengemudi (rijbewijs), harus dipandang sebagai suatu pemalsuan.

Supaya dapat dihukum menurut Pasal ini, maka pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau suruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu. Jadi pemalsuan surat untuk kepentingan pelajaran, penyelidikan, atau percobaan dilaboratorium, tidak dapat dikenakan Pasal ini.

Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian. “Dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan "kerugian” disini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian inmateriil yang timbul dari perbuatan tersebut.

Pihak yang dapat dihukum menurut Pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2). “Sengaja” maksudnya, bahwa orang yang

26

(30)

menggunakan itu harus mengetahui benar-benar, bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.

Sudah dianggap sebagai mempergunakan, ialah misalnya : menye-rahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lan-jut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut harus di-butuhkan. Dalam hal menggunakan surat palsu inipun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.

(31)

1.5.4. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan yang menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban ini dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Kesengajaan merupakan perbuatan manusia mempunyai kesalahan, terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu: 1) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus);

2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).27

Pelaku melakukan perbuatan pidana, baik disebabkan karena kesengajaan maupun karena kelalaiannya. Dengan sengaja menurut Moeljatno mengemukakan sebagai berikut:

1. Kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya.

2. Kesengajaan sebagai kepastian, yaitu si pembuat hanya dapat mencapai tujuan dengan melakukan perbuatan lain dan perbuatan tersebut juga merupakan perbuatan yang dilarang.

27

(32)

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu si pembuat mengetahui adanya kemungkinan terjadinya tindak pidana lain, namun tidak menghalangi maksud dari si pembuat untuk melakukan perbuatannya.28

Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal, apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum yang materiil berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.29 Sehubungan dengan sifat melawan hukum formal dan meteriil, Moeljatno mengemukakan: Formeel delicht juga disebut delik dengan perumusan

28

Ibid., hlm. 177.

29

(33)

formil, yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Materieel delicht juga disebut delik dengan perumusan materiel, yaitu delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.30

Sehubungan dengan unsur subyekti dalam tindak pidana penipuan ialah “dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”.31 sedangkan unsur obyektifnya yaitu barang siapa. Kata “barang siapa ini menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur dari tindak pidana penipuan, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader dari tindak pidana penipuan tersebut”.32

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.33. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach), yaitu mengutip

30

Ibid. hlm. 130

31

PAF. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru , Bandunmg, 1988, hlm. 144.

32

Ibid., hlm. 144.

33

(34)

pendapat para sarjana. Pendekatan konseptual ini perlu merujuk pada prinsip-prinsip hukum.34

1.6.2. Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang bersumber dari perundang-undangan atau bahan hukum,baik bahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan tersier dan dengan alat pengumpul data berupa studi dokumen.

Data sekunder terdiri dari :

a. Bahan humum primer merupakan bahan yang berupa peraturan perundang-undangan, dalam penulisan ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1.Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2.Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

b. Bahan hukum sekunder, antara lain berupa tulisan-tulisan dari para pakar dengan permasalahan yang diteliti ataupun yang berkaitan dengan bahan hukum primer meliputi literatur-literatur yang berupa buku, jurnal, makalah, dan hasil penelitian. Dalam penulisan ini bahan sekunder yang digunakan adalah :

1. Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama

2. Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana

34

(35)

3. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan

4. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum

c. Bahan hukum tersier, antara lain berupa bahan bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, artikel pada suratkabar atau koran dan majalah.

1.6.3. Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari dan mengidentifikasinya seluruh bahan hukum baik berupa peraturan perundang-undangan maupun pendapat para sarjana, kemudian bahan hukum tersebut diolah dengan cara dipilah-pilah dari bahan hukum yang bersifat umum kemudian disimpulkan menjadi khusus, sehingga diperoleh bahan hukum yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas, untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini.

1.6.4. Teknik Analisis Bahan Hukum

(36)

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian dipakai sebagai bahan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.35

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematka penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab yang tersusun secara sistematis. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan: Di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah, kemudian berdasarkan latar belakang dari skripsi yang penulis buat yang kemudian dirumuskan beberapa permasalahan. Selanjutnya penulis mempunyai tujuan penelitian dan juga manfaat penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Pada bagian Kajian Pustaka merupakan landasan hukum dan teori-teori dan memuat perundang-undangan umum dengan judul skripsi tindak pidana penggelapan dalam jabatan senior excutif finance di PT Rhodia di Gresik, isi dari dari penulisan skripsi ini mengenai pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana penggelapan dan penipuan dan pengertian tindak pidana membuat surat palsu. Selanjutnya

35

(37)

diuraikan tentang metode penelitian yang merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya mengemukakan tentang pendekatan masalah, sumber bahan hukum, pengumpulan bahan hukum serta teknik analisis bahan hukum

Bab II, dengan judul bab Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan menggunakan surat palsu (putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs). Bab ini dibahas untuk menjawab permasalahan pertama yaitu faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan menggunakan surat palsu (putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs). Sub babnya terdiri dari faktor internal yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu dan faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu. Dengan dibahasnya Bab II ini maka permasalahan pertama yaitu faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan menggunakan identitas palsu (putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs) telah terjawab.

(38)

Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs). Sub babnya terdiri dari gambaran kasus, penerapan sanksi tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan identitas palsu dan analisis putusan. Dengan dibahasnya Bab III ini maka permasalahan kedua yaitu bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan (analisis putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 163/Pid.B/2010/PN.Gs) telahn terjawab.

(39)

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJ ADINYA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM J ABATAN DENGAN MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK

NO. 163/PID.B/2010/PN.GS)

2.1.Faktor Internal Yang Menyebabkan Ter jadinya Tindak Pidana Penggelapan Dalam J abatan Dengan Menggunakan Identitas Palsu

Perihal faktor penyebab terjadinya tindak pidana tidak lepas untuk mempelajari mengenai kriminologi yakni ”ilmu yang mempelajari gejala kejahatan seluas-luasnya. Pengertian seluas-luasnya mengandung arti seluruh kejahatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan”.36 Sehubungan dengan hal yang dipelajari oleh kriminologi di antaranya.

Penjelasan ini mengemukakan suatu proses terjadinya seseorang berbuat sesuatu yang dapat dianalisa, dengan 9 hyphotesa sebagai berikut:

a. Tingkah Laku Manusia Itu Dipelajari

Secara kalimat negatif dapat dinyatakan bahwa perilaku jahat tidak merupakan kewarisan, maka sukar diterima bahwa seseorang menjadui penjahat secara mekanis.

b. Prilaku jahat dipelajari dalam hubungan antar manusia dalam suatu proses komunikasi.

36

(40)

Hubungan komunikasi ini dapat berupa relasi lisan ataupun melalui gerakan-gerakan badan yang mengandung suatu sikap tertentu.

c. Bagian-bagian utama (unsur penentu) dari prilaku kiminil, dipelajari dalam kelompok pergaulan yang intim.

Secara kalimat negatif dapat dijelaskan bahwa alat-alat komunikasi tak langsung dalam masyarakat seperti surat kabar, film dan lain-lain, tidak mempunyai peranan yang penting atas terjadinya tingkah laku kejahatan. d. Apabila prilaku kriminil itu dipelajari (dalam suatu proses mempelajari);

maka terjadi kemungkinan-kemungkinan;

1. Cara dilakukannya kejahatan dapat bersifat sederhana, dapat pula yang rumit.

2. Motif, dorongan-dorongan, sikap dan tindakan kejahatan bersifat spesifik.

e. Arah motif dan pendorong-pendorong yang spesifik, dipelajari dalam kehiupan masyarakat, yang mana di dalamnya terdapat individu yang menyetujui pentaatan terhadap undang-undang; dan terdapat pula yang lebih senang melanggar undang-undang.

f. Seseorang menjadi pelanggar undang-undang karena lebih menafsirkan ”persetujuan”nya akan pelanggaran undang-undang, dari pada menyetujui perbuatan mentaati undang-undang.

(41)

kriminil atau juga anti kriminil dalam hubungan dengan pengertian, frequency, duration, intensity dan priority.

Frequency dan Duration dalam penjelasan cara-cara sudah jelas mennjukkan lamanya proses berlangsung, intensity dan priority menunjukkan prinsip yang utama, yang memberikan penafsiran terhadap berlakunya suatu undang-undang. Dan proses priority ini dapat diketahui sejak kehidupan mudanya.

h. Proses mempelajari tingkah laku kejahatan secaa berasosiasi dengan pola-pola kriminalitas dan sikap anti kriminil, yang meliputi di dalamnya sebagaimana kita mempelajari segala sesuatu. Dalam arti kalimat negatif berarti bahwa mempelajari tingkah lakui kriminil tidak dibatasi seperti halnya meniru orang lain berbuat kejahatan (proses belajar berbeda dengan gerakan meniru).

i. Apabila tingkah laku kejahatan adalah expresi dari pada kebutuhan-kebutuhan dana nilai-nilai umum; sebenarnya sulit dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tadi, karena kelakuan atau tindakan yang tidak merupakan kejahatan adalah juga expresi dari pada kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama; misalnya pencuri dan buruh yang jujur mereka bekerja untuk mendapatkan uang untuk nafkahnya (sebagai pencerminan kebutuhannya), jadi nyatalah bahwa terjadinya suatu masyarakat, dan bukan merupakan gejala kewarisan sifat.37

37

(42)

Faktor internal adalah dari dalam diri sipelaku terkait dengan persepsi terhadap penggelapan dalam jabatan dan moralitas maupun integritas moral individu yang bersangkutan.

a. Persepsi Terhadap Penggelapan dalam jabatan

Penggelapan dalam jabatan adalah sebuah perbuatan kriminal dan kejahatan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Meskipun demikian, ada anggapan yang mengatakan bahwa yang bersifat fungsional, karena disebut mendapat meningkatkan derajat ekonomi seseorang karenanya, Uang suap dianggap dapat memberi konstribusi positif, Yaitu dapat mengatasi regiditas dan konfleksitas sistem administrasi yang kaku. Bahkan, beberapa bentuk penggelapan dalam jabatan juga disinyalir dapat memberi andil bagi pembangunan politik dengan cara penguatan partai politik tertentu. Umumnya penggelapan dalam jabatan disebabkan karena tidak seimbangnya antara jabatan yang diembannya dengan pendapatan yang diperoleh oleh seorang pejabat, ditambah dengan kesempatan yang ada padanya karena jabatannya, untuk menutupi penilaian masyarakat sekitarnya mencari jalan pintas dengan memanfaatkan kesempatan memakai uang perusahaan tanpa hak.38

b. Moralitas dan Integritas individu

Persoalan moralitas banyak dihubungkan dengan pemahaman dan internalisasi nilai-nilai keagamaan pada seseorang. Agama, dalam hal islam misalnya mengajarkan manusia untuk tidak mencuri, karena Tuhan

38

Wawancara dengan Edy Toto Purbo, Hakim Pengadilan Negeri Gresik, Tanggal 23 Maret 2013.

(43)

Yang Maha Esa akan mengancam tindakan pencurian dengan siksa didunia (potong tangan) dan juga siksa di akhirat. Agama juga mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Pengingkaran terhadap prinsip-prinsip agama ini menjadikan individu tidak memiliki moralitas. Semua agama melarang menggunakan apapun tanpa hak, pengelapan dalam jabatan ini di antara salah satu penyebab pada diri pelaku yaitu kurangnya memahami mengenai larangan agama tersebut. Umumnya kepetingan duniawi yang menjadi pertimbangan utama, sehingga selama ada kesempatan tanpa harus memikirkan apa kelak yang diterimanya setelah meninggal dunia diabaikan oleh pelaku39

Memperhatikan uraian sebagaimana di atas berkaitan dengan faktor internal yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana penggelapan yaitu faktor ekonomi yang kurang menunjang bila dibandingkan dengan jabatan yang diembannya, kesempatan ada dan kurangnya memahami bahwa hidup tidak hanya didunia saja melainkan di akhirat nanti setelah meningal dunia yang diajarkan oleh semua agama juga menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak pidana dalam jabatannya.

2.2. Faktor Eksternal Yang Menyebabkan Ter jadinya Tindak Pidana Penggelapan Dalam J abatan Dengan Menggunakan Identitas Palsu

Faktor eksternal adalah sistem dan struktur hukum, politik, corporate culture, sistem dan culture sosial, dan pendidikan.

39

(44)

a. Sistem hukum

Penyebab penggelapan dalam jabatan sering dilihat dari seberapa besar efektifitas sistem hukum untuk mencegahnya. Sistem hukum yang tidak efektif sangat berpengaruh terhadap perilaku penggelapan dalam jabatan, dan jika awalnya disebabkan oleh tidak adanya dana untuk penyelesaian masalah, peluang tersebut digunakan untuk penyelewengan-penyelewengan yang lebih besar. Jaks, pengecara, hakim, melakukan kerja sama yang saling menguntungkan diantara mereka sendiri sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku penggelapan dalam jabatan. Sistem hukum di Indonesia yang tidak perlu dipungkiri dan umum sudah mengetahui bahwa sistem hukum di Indonesia kurang berpihak pada pelaku tindak pidana dari kalangan bawah, banyak dijmumpai pelaku tindak pidana yang seharusnya pidana penjara yang dijatuhkan berat, namun kenyataannya tidak seimbang dengan tindakan yang dilakukannya dalam arti pidana yang dijatuhkan adalah ringan. Ini menjadi salah satu penyebab orang tidak jera dalam melakukan tindak pidana termasuk penggelapan dalam jabatan, pemeriksaan perkara dengan majelis hakim diharapkan putusan yang dijatuhkan seadil-adilnya kenyataan yang terjadi tidak jarang pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan tidak secara aklamasi, melainkan melalui foting jika ada hakim yang tidak setuju atas pertimbangan hakim lainnya.40

40

(45)

b. Sistem politik

Struktur dan sistem politik biasanya dipahami sebagai proses sebagai proses bagaimana kekuasaan didapatkan dan dijalankan. Meskipun perilaku penggelapan dan penyuapan sebagai hal yang lama terjadi, tetapi masih ada pengaruh cara pandang politik tradisional, yang membenarkan seorang raja yang menggunakan penghasilan negara demi kepentingan keluarga, keaguangan pribadi dan dinasti. Dalam sistem tradisional, pejabat menggunakan penghasilan dari jabatannya untuk menunjukkan keagungannya sebagai pejabat negara. Keluarga pejabat, orang terpandang juga mempengaruhi perilaku pelaku tindak pidana dalam jabatannya, dengan harapan turuyt campur tangannya akan mempengaruhi proses bahkan perkaranya ditutup.41

c. Carporate culture

Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab penggelapan dalam jabatan adalah faktor budaya perusahaan atau lembaga (corporate culture).

Corporate cultur yang dimaksud adalah kebisaan kerja seluruh perangkat perusahaan atau lembaga baik manajemen maupun seluruh lapisan karyawan yang dibentuk dan dibakukan serta diterima sebagai standar perilaku kerja, serta membuat seluruh perangkat terikat terhadap perusahaan atau lembaga inti. Inti dari corporate culture adalah nilai atau value yang menjadi landasan kerja. Kondisi perusahaan juga dapat menjadi penyebab terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan, misalnya

41

(46)

perusahaan keluarga jadi pos-pos penting diduduki oleh lingkaran keluarga, pegawai lainnya menjadi enggan dan adanya rasa takut memberikan pengawasan dan tegoran untuk menyelamatkan diri pribadi agar tetap bekerja.42

Nilai-nilai yang menjadi landasan kerja bias berasal dari ajaran agama ataupun tradisi. Adapun dalam ajaran islam terdapat nilai-nilai yang seharusnya menjadi rujukan corporate culture seperti keharusan untuk bekerja keras dan selalu bekerjasama untuk kebaikan, bersikap profesional, jujur, tidak saling menipu, dan tidak saling bermusuhan. Jabatan seharusnya didukung oleh pengetahuan baik pendidikan yang diperoleh secara formal maupun informal, aturan perusahaan yang tidak memberikan keleluasaan pekerja untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, kurangnya saling toleransi dalam perusahaan, kuarngnya pengawasan menjadi salah satu penyebab terjadinya penggelapan dalam jabatan.43 d. Struktur dan sistem sosial

Struktur dan sistem politik tersebut akan semakin memberi peluang untuk penggelapan dalam jabatan jika ditingkat masyarakat juga muncul budaya nrimo, ing pandum. Budaya pada awalnya tampak tumbuh di masyarakat jawa, bahwa manusia manusia harus menerima kenyataan, sabar dengan kenyataan. Jika dihubungkan dengan penggelapan dalam

42

Ibid.

43

(47)

jabatan di Indonesia maka muncul satu praduga bahwa penggelapan dalam jabatan hampir menjadi kultur yang diterima oleh masyarakat Indonesia. e. Sistem pendidikan

Diatas segala faktor yang sudah disebut diatas, memang sudah saatnya jika dunia pendidikan melakukan koreksi diri (intropeksi). Lembaga pendidikan sebagai lembaga pencerahan yang mendidik siswa dan mahasiswa untuk lebih kritis, paham dengan kenyataan, dan bias menyelesaikan persoalan-persoalan hidup masih dipersoalkan.

Persoalan ini tentu saja menjadi persoalan yang sangat kursial, idikator keberhasilan belajar yang hanya dilihat dari nilai yang didapatkan murid, tentu membuat tenaga pendidik memiliki peluang untuk penyelewengan atau penggelapan dalam jabatan dengan memberikannilai tidak berdasarkan kemampuan tetapi karena faktor lain. Selain itu kecenderungan peerta didik untuk melakukan negosiasi dalam mendapatkan nilai juga menjadi persoalan yang sangat memperihatinkan. Banyak dijumpai pegawai yang menempati pos-pos penting dengan gelar kesarjanaannya, namun maraknya gelar kesarjanaan yang diperoleh melalui prosedur yang resmi menjadikan gelar pendidikan hanya sebagai pajangan karena tidak diikuti dengan ilmu yang didapat dengan jabatan yang diembannya.44

f. Sistem ekonomi

Persoalan kemiskinan, gaji yang tidak memadai menjadi faktor yang

44

(48)

sangat klasik untuk membenarkan tindakan penggelapan dalam jabatan. Pegawai kelurahan mencari tambahan dengan menarik uang administrasi seikhlasnya. Aditjondro membagi penggelapan dalam jabatan dalam tiga lapis. Pertama penggelapan dalam jabatan yang langsung berkaitan antara warga (citizen) dan birokrasi dengan bentuk-bentuk seperti suap. Kedua Nepotisme, kronisme, dan kelas baru yang mendapatkan kemudahan untuk mendapatkan untuk usaha mereka. Ketiga penggelapan dalam jabatan cabal yang meliputi birokrat, politisi, aparat hukum pendidikan.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas berkaiktan dengan faktor eksternal terjadinya tindak pidana dalam jabatannya dapat dijelaskan bahwa kesempatan merupakan faktor utama seseorang melakukan tindak pidana, meskipun faktor lain menunjang, namun karena tidak ada kesempatan dapat menjadikan gagalnya rencana melakukan tindak pidana. Tindak pidana dalam jabatan yang berasal dari faktolr eksternal lebih komplek bila dibandingkan dengan faktor eksternal. Di antara faktor eksternal penggelapan dalam jabatan yaitu faktor sistem hukum yang lemah dan perlu adanya penagakan hukum, faktor sistem politik dengan kekuasaan didapatkan dan dijalankan. Dalam sistem tradisional, misalnya pekerja yang menduduki jabatan tertentu menggunakan penghasilan dari jabatannya untuk menunjukkan keagungannya sebagai pejabat negara. Carporate culture yaitu faktor budaya perusahaan atau lembaga (corporate culture). Corporate cultur

(49)

dan dibakukan serta diterima sebagai standar perilaku kerja, serta membuat seluruh perangkat terikat terhadap perusahaan atau lembaga inti. Struktur dan sistem social, semakin memberi peluang untuk penggelapan dalam jabatan jika ditingkat masyarakat juga muncul budaya nrimo, ing pandum. Sistem pendidikan, lembaga pendidikan sebagai lembaga pencerahan yang mendidik siswa dan mahasiswa untuk lebih kritis, paham dengan kenyataan, dan bias menyelesaikan persoalan-persoalan hidup masih dipersoalkan. Sistem ekonomi, persoalan kemiskinan, gaji yang tidak memadai menjadi faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatannya.

(50)
(51)

PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM J ABATAN (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO. 163/PID.B/2010/PN.GS)

3.1. Gambaran Kasus

Giok Lan Melannia Indahwati salah seorang pekerja pada PT Rhodia di Gresik, perusahaan yang bergerak di bidang industri kimia yang ditempatkan pada jabatan senior finance executif dengan tugas dan tanggung jawab antara lain membuat bilyet giro (BG), membuat cek, melakukan pembayaran ke supplier dan mengecek saldo bank.

PT Rhodia dalam menjalankan usaha bekerja sama dengan beberapa perusahaan lain yang memasok kebutuhan untuk operasional perusahaan antara lain PT Manggala Indah Makmur dan PT Ecogreen Oleochemical dan perusahaan suplier tersebut setelah mengirimkan barang sesuai dengan kesepakatan permintaan barang dan PT Rhodia memasukan tagihan untuk melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang tertera dalam tagihan tersebut.

(52)

nama Manggala Indah di Bank Panin dan nama tersebut digunakan terdakwa dalam rekening merupakan nama fiktif dengan membuat Kartu Tanda Penduduk untuk dirinya.

Tindakan terdakwa tersebut oleh jaksa penuntut umum didakwa dalam dakwaan kesatu melanggar pasal 374 KUHP dan dakwaan Kedua melanggar pasal 372 KUHP.

3.2. Penerapan Sanksi Tindak Pidana Penggelapan Dalam J abatan Dengan Menggunakan Identitas Palsu

Giok Lan Melannia Indahwati didakwa oleh jaksa penuntut umum melakukan penggelapan, apabila perbuatannya memenuhi keseluruhan unsur Pasal 372 KUHP, yaitu:

Ketentuan pasal 372 KUHP diawali dengan kata barangsiapa yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana dalam hal ini Giok Lan Melannia Indahwati, sehingga unsur barang siapa telah terpenuhi.

Dengan sengaja;

- menguasai secara melawan hukum; - suatu benda;

- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; - berada padanya bukan karena kejahatan.45

Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”, merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak pidana

45

(53)

penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut: “Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.46 Jadi kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya. Giok Lan Melannia Indahwati selaku karyawan yang menduduki jabatan tertentu pada jabatan senior finance executif, seharusnya uang yang ada padanya tersebut merupakan uang perusahaan, namun sejumlah uang tersebut digunakan untuk kepentingannya sendiri, penggunaan uang tersebut jelas dilakukan dengan sengaja, sehingga unsur dengan sengaja telah terpenuhi.

Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki secara melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.47 Jadi

46

Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, 1983, hlm. 622.

47

(54)

apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan hukum. Sejumlah uang yang digunakan oleh Giok Lan Melannia Indahwati tersebut adalah uang perusahaan, yang digunakan untuk kepentingannya sendiri, sehingga menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi termasuk menggunakan barang milik orang lain tanpa hak.

Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”, menurut Sugandhi adalah sebagai berikut :

Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini.48

Sedang menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi pemiliknya”.49 Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya. Giok Lan Melannia Indahwati menggunakan uang perusahaan, uang tersebut mempunyai nilai ekonomi, sehingga uang merupakan benda dan unsur benda telah terpen uhi.

48

Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 376.

49

(55)

Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku”.50 Uang yang digunakan oleh Giok Lan Melannia Indahwati secara keseluruhannya adalah uang perusahaan, sehingga unsur sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain telah terpenuhi.

Unsur kerikutnya yaitu kelima, yaitu “berada padanya bukan karena kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda tertentu”.51 Giok Lan Melannia Indahwati selaku karyawan yang menduduki jabatan tertentu pada jabatan senior finance executif, dipercaya untuk mengelola keuangan perusahaan, sehingga uang yang ada padanya bukan karena suatu perbuatan melawan hukum, dan jika uang yang ada padanya tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, tidak termasuk secara melawan hukum. Hal ini berarti unsur benda berada padanya bukan karena kejahatan barang telah terpenuhi.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa tindakan Giok Lan Melannia Indahwati telah memenuhi keseluruhan unsur pasal 372 KUHP yaitu melakukan tindak pidana penggelapan.

50

Ibid., hlm. 625

51

(56)

Pasal 374 KUHP menentukan bahwa “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Kejahatan ini dinamakan “penggelapan berat”. Yang dapat dituntut menurut pasal ini misalnya :52 Seseorang yang karena hubungan pekerjaannya, diserahi menyimpan barang, kemudian digelapkan; misalnya : hubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga atau antara majikan dan buruhnya. Giok Lan Melannia Indahwati karyawan PT Rhodia yang ditempatkan pada jabatan tertentu pada jabatan senior finance executif. Hal ini berarti bahwa terjadi hubungan hukum antara PT Rhodia dengan Giok Lan Melannia Indahwati yang didasarkan pada perjanjian kerja, dengan posisinya sebagai karyawan yang menduduki jabatan tertentu pada jabatan senior finance executif diserahi untuk mengelola keuangan perusahaan, dan ternyata uang yang ada padanya tidak secara melawan hukum digunakan untuk kepentingannya sendiri, sehingga dapat dikualifikasikan Giok Lan Melannia Indahwati telah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatannya. Dengan demikian Giok Lan Melannia Indahwati telah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam pasal 374 KUHP, karena keseluruhan unsurnya terpenuhi.

52

(57)

Penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang menentukan:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Tindak pidana penipuan dalam membentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 378 KUHP itu terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur subyektif :

- dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, - dengan melawan hukum.

Unsur obyektif :

- membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/ penggerak; - memakai nama palsu;

- rangkaian kata-kata bohong; - tipu muslihat;

- menyerahkan suatu barang; - membuat hutang;

- menghapuskan piutang.53

Menurut Moch. Anwar unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain diartikan bahwa maksud itu harus ditunjukkan kepada menguntungkan dengan melawan hukum, sehingga pelaku harus mengetahui, bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya itu harus bersifat

53

(58)

melawan hukum.54 Pada kasus ini Giok Lan Melannia Indahwati telah diuntungkan dengan digunakannya uang milik perusahaan tersebut, sehingga unsur menguntungkan diri sendiri telah terpenuhi

Unsur melawan hukum berarti bertentangan dengan kepatutan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat.55 Giok Lan Melannia Indahwati sebagai karyawan perusahaan yang ditugaskan mengelola keuangan, namun tanpa hak menggunakan uang perusahaan tersebut, sehingga unsur melawan hukum telah terpenuhi.

Unsur obyektif menggerakkan menurut Sianturi adalah tergeraknya hati si korban dan mau melakukan suatu perbuatan.56 Kendati mengenai suatu sikap ragu-ragu atau penolakan dari si korban, yang demikian si korban melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya justru merugikan diri sendiri, tanpa paksaan. Unsur menggerakan orang lain tidak terpenuhi, karena dengan jabatan yang dimiliknya dapat memanfaatkan jabatannya tersebut.

Unsur dengan memakai nama palsu menurut Satauchid Kartanegara suatu nama palsu itu harus merupakan nama seseorang.57 Nama tersebut dapat merupakan nama yang sebenarnya bukan merupakan nama dari pelaku sendiri, misalnya : Simin diganti dengan Siman. Hal yang digunakan

Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, Tahun 1983, hlm. 633.

57

(59)

oleh Giok Lan Melannia Indahwati bukan nama palsu melainkan surat palsu yang digunakan untuk mengelola uang pribadi hasil penggelapan dalam jabatan.

Kebohongan yang dimaksud adalah beberapa keterangan yang saling mengisi yang seakan-akan benar isi keterangan itu, padahal tidak lain daripada kebohongan.58 Rangkaian kebohongan-kebohongan tersebut ditujukan untuk menunjukkan tentang sesuatu yang seakan-akan benar. Giok Lan Melannia Indahwati menggunakan uang secara melawan hukum tidak menggunakan rangkaian kebohongan melainkan karena jabatannya

Menurut Moch. Anwar tipu muslihat merupakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga perbuatan-perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain.59 Sugandhi mengartikan tipu muslihat adalah “suatu tipu yang diatur demikian rapinya, sehingga orang yang berpikiran normalpun dapat mempercayainya akan kebenaran hal yang ditipukannya”.60 Jadi suatu tipu muslihat tidak terdiri dari ucapan saja tetapi dapat dibuktikan atas perbuatan atau tindakan si pelaku.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas Giok Lan Melannia Indahwati tidak tgerbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378 KUHP, sehingga Giok Lan Melannia Indahwati

58

Sianturi, Op. Cit., hlm. 634.

59

Moch. Anwar, Op. Cit, hlm.41

60

Referensi

Dokumen terkait

Jawaban yang diperoleh dari aktivitas tersebut masih salah karena siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan mengambil begitu saja nilai yang mengikuti satuan gram hanya

Perkembangan desain grafis yang pesat menimbulkan banyak orang yang ingin menjadi pengusaha desain grafis.Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

Penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran berbasis praktikum dengan pendekatan inkuiri dan di kelas kontrol dengan menggunakan

Tentang Jadwal kegiatan, sebagian besar tidak memiliki dengan alasan tidak ada jam masuk kelas, alasan tersebut sebenarnya tidak tepat dan oleh karena itu kami menghimbau

minat belajar anak inklusi di kelas reguler melalui model pull out di MI Nurul

Pengaruh Kemampuan Berargumentasi Pada Model Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Mata Pelajaran Biologi SMA Negeri.. Patikraja Tahun Ajaran 2012/2013 Oleh

Wajib pajak akan berprilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban peprajakan apabila wajib pajak dapat memperoleh banyak manfaat atas kepemilikan NPWP, wajib pajak

Perlakuan sublethal fenol dengan konsentrasi yang berbeda terhadap kepiting bakau ( Scylla serata ) pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-5 dan hari ke-8 tidak