• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Umum Hutan Rakyat di Wilayah Penelitian

Hutan Rakyat di wilayah penelitian yang berada di daerah Pasir Madang Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor pada umumnya didomonasi oleh tanaman dari jenis sengon (Paraserientes Falcataria) dan kayu afrika (Maesopsis eminii). Jenis-jenis tanaman lainnya yang sering dibudidayakan oleh masyarakat antara lain adalah jabon (Anthocephalus cadamba) , akasia (Acacia Mangium), puspa (Schima wallichii), dan tanaman buah seperti durian (Durio zibethinus), mangga (Mangifera indica), alpukat (Persea americana), dan pisang (Musa acuminata). Tanaman sengon dan kayu afrika lebih banyak dipilih oleh petani karena jenis kayu ini memiliki masa panen yang relatif singkat dibandingkan dengan jenis kayu lainnya.

Secara umum hutan rakyat yang dijumpai terdiri dari dua model pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 2. Model pertama adalah hutan rakyat dengan penanaman sengon menggunakan sistem yang cenderung monokultur. Pada model ini, sebagian besar ruang pada lahan petani digunakan untuk tanaman kayu-kayuan yang didominasi sengon dan kayu afrika. Jenis-jenis kayu lainnya masih memungkinkan untuk dijumpai, namun dalam jumlah yang relatif lebih sedikit. Tanaman palawija, seperti jagung, singkong, ubi jalar, kacang tanah , pisang, cabai kadang-kadang dijumpai juga pada model penanaman seperti ini, terutama pada saat umur tanaman sengon masih relatif muda. Palawija ditanam untuk memanfaatkan areal lahan yang masih kosong dibawah tegakan sengon. Akan tetapi apabila tajuk tegakan sengon sudah menutupi areal lahan dibawahnya, atau sekitar 60% areal lahan sudah tertutupi tajuk tegakan, makan penanaman palawija sudah tidak dilakukan lagi karena intensitas cahaya matahari yang sudah semakin berkurang dan persaingan untuk memperoleh unsur hara yang semakin sulit.

Model yang kedua pada lokasi penelitian adalah sebagian besar ruang pada lahan petani digunakan untuk membudidayakan palawija dan hortikultura. Tanaman sengon atau jenis-jenis kayu lainnya sering dijumpai sebagai tanaman

(2)

pembatas lahan atau juga dalam bentuk larikan-larikan, sehingga lebih menyerupai sistem agroforestry. Baik pada model pertama maupun model kedua terlihat jelas bahwa petani berusaha memanfaatkan ruang lahan mereka dengan semaksimal mungkin dengan jenis tanaman kayu-kayuan maupun palawija sehingga sulit dijumpai areal lahan yang kosong.

Gambar 2. Pola hutan rakyat di Pasir Madang

Hutan rakyat yang terdapat di areal penelitian dibangun diatas lahan-lahan HGU. Letak hutan rakyat tersebut pada umumnya tidak berjauhan dari tempat tinggal petani. Luasan hutan rakyat yang dimiliki rumah tangga petani pada umumnya relatif kecil dan sebagian besar berada di bawah 0,5 ha.

Gambar 3. Diagram proporsi sebaran luas kepemilikan hutan rakyat di Desa Pasir Madang.

5.2. Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Petani di Wilayah Penelitian

Pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian pada umumnya masih dilakukan secara tradisional. Para petani melakukan budidaya penanaman sengon atau jenis lainnya dengan kurang memperhatikan aspek-aspek silvikultur tanaman, karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki. Tahapan kegiatan dalam

(3)

budidaya hutan rakyat di wilayah penelitian terdiri dari beberapa kegiatan yang meliputi kegiatan-kegiatan pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.

a. Pengadaan benih dan bibit

Benih atau bibit tanaman yang digunakan petani umumnya berasal dari penjual ataupun menemukan dilingkungan mereka sekitar. Kemudian petani menyemai sendiri atau membeli langsung dalam bentuk bibit. Sampai saat ini belum pernah ada bantuan dalam bentuk benih maupun bibit dari instansi-instansi terkait.

b. Persiapan dan penanaman

Langkah awal dalam pembuatan adalah pembersihan lahan yang berupa penyiangan tumbuhan bawah. Langkah selanjutnya adalah pengolahan tanah, yang meliputi penggemburan tanah, penggebrusan akar alang-alang, penghalusan dan pembersihan tanah pada jalur tanam. Selanjutnya dibuat larikan untuk mempermudah penanaman sesuai jarak tanam.

Lubang tanam untuk bibit dipersiapkan dengan menggali lubang sedalam 30 x 30 x 30 cm. Lubang tanam dibiarkan tiga sampai empat hari sebelum ditanami agar kandungan asam tanah hilang. Jarak tanam yang umumnya digunakan adalah 1,5-2 m x 2m.

Gambar 4. Jarak tanam

Penanaman bibit pada lubang tanam dilakukan dengan terlebih dahulu melepaskan polybag atau kantung plastik bibit. Polybag dilepaskan secara perlahan dan dijaga agar media bibit yang melindungi akar tetap kompak. Setelah bibit ditanam, lubang tanam dipadatkan dengan tanah di sekitarnya.

(4)

c. Pemeliharaan tanaman

Tidak banyak kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan di lokasi penelitian. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang sering dilakukan adalah pembersihan tumbuhan bawah yang bertujuan untuk mengurangi dan mengendalikan tenaman pengganggu yang menjadi pesaing tanaman dalam memperoleh unsur-unsur hara, cahaya matahari dan air. Selanjutnya tumbuhan bawah tersebut dipakai oleh petani sendiri untuk pakan ternak yang dimiliki petani.

Kegiatan selanjutnya yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan tanaman adalah pemberantasan penyakit. Serangga hama yang dijumpai di areal hutan rakyat ini adalah serangga perusak daun antara lain belalang, dan ulat daun. Tanda serangan yang disebabkan serangga perusak daun adalah daun tidak utuh, berlubang, dan daun habis, yang tersisa hanya tulang daunnya saja. Penyakit berikutnya yang ditemukan didaerah penelitian adalah Karat Puru. Penyebabnya adalah jamur karat (Uromycladium tepperianum (Sace)McAlp.). Rahayu (2007) dalam Jumali (2009), menyebutkan bahwa jamur karat puru hanya membutuhkan 1 inang saja yaitu tanaman sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya. Jamur hanya memerlukan satu macam spora yang dinamakan teliospora saja. Secara spesifik, telliospora mempunyai struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangka terdiri dari 3 telliospora. Ukuran spora berkisar antara lebar 14-20 um dan panjang 17-28 um. Teliospora mudah diterbangkan oleh angin dari satu tempat ke tempat yang lain ataupun dari tanaman sengon satu ke tanaman sengon yang lain. Apabila telah mendapatkan tempat sesuai terutama pada bagian tanaman yang masih muda dan kondisi lingkungannya menguntungkan, teliospora akan berkecambah membentuk basidiospora. Basidiospora ini dapat secara langsung melakukan penetrasi, menembus lapisan epidermmis membentuk hypha didalam atau diantara sel-sel epidermis, xylem dan phloem. Pada semai, batang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan jamur karat puru.

(5)

Gambar 5. Pohon sengon yang terserang penyakit

Serangan karat puru ditandai dengan terjadinya pembengkakan (gall) pada ranting/ cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan helai daun. Penyakit karat puru dapat menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan tanaman sengon. Penyebaran penyakit ini sangat cepat, dengan menyerang tanaman sengon mulai dari persemai sampai lapangan dan pada semua tingkatan umur. Kerusakan serius bila serangan terjadi pada tanaman muda, karena titik-titik serangan bisa terjadi di batang pokok/utama sehingga batang pokok/utama rusak/cacat, tidak dapat menghasilkan pohon yang berkualitas tinggi.

Serangan karat puru ini sebenarnya dapat dicegah sejak dini yaitu apabila gejala-gejala serangan terjadi ketika masih dalam persemaian harus segera dicabut dan dimusnahkan. Namun apabila tanaman sengon telah terjangkit serangan karat puru biasanya petani mengendalikannya dengan cara mekanik. Cara mekanik yaitu dengan memotong pucuk, cabang ranting yang telah terserang ataupun dengan melakukan penjarangan dengan memilah tanaman sengon yang telah terserang.

Kegitan berikutnya adalah penjarangan. Penjarangan merupakan suatu perlakuan silvikultur dengan memberikan pengaturan ruang tumbuh bagi tanaman dengan melakukan penyeleksian tegakan yang memiliki pertumbuhan kurang baik, sehingga pada akhir daur didapatkan tegakan yang merata, sehat, berbatang lurus , dan tanpa cacat kayu. Adapun tujuan akhir dari kegiatan penjarangan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan sehingga pada akhir daur diperoleh tegakan dengan kualitas dan volume yang tinggi.

(6)

Terdapat beberapa prinsip penjarangan yang dijadikan panduan bagi petani di lokasi penelitian yaitu target utama kegiatan penjarangan adalah tegakan tinggal yang berkualitas pada akhir daur bukan pada hasil kayu penjarangannya, pelaksanaan penjarangan dilakukan secara tepat dan benar. Dalam penjarangan dilakukan penebangan terhadap pohon yang tertekan dan memiliki pertumbuhan yang kurang baik atau terserang pengakit. Beberapa petani melakukan kegiatan pemelihaan penjarangan ini, namun banyak juga petani yang tidak melakukan kegitan penjarangan tersebut dikarenakan pola pikir sebagian petani yang menganggap jika dilakukan penjarangan maka petani akan merasa rugi.

Pada umumnya, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan dilokasi penelitian hanya sebatas pembersihan tumbuhan bawah saja. Untuk kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan lanjutan, penjarangan, penyulaman, tidak dilakukan oleh petani atau bisa dibilang dibiarkan tumbuh begitu saja. Hal ini dikarenakan adanya faktor keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani di daerah penelitian.

Dari segi hasil hutan rakyat yang dipanen yang merupakan komoditas utama selain kayu adalah tanaman palawija. Tanaman palawija yang dibudidayakan di Desa Pasir Madang ini adalah jagung, kacang tanah, cabe, buncis, mentimun dan lain-lain. Komoditas tanaman palawija yang ditanam ini mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan hasil hutan kayu baik dari segi lingkungan maupun dari segi waktu berproduksinya bahkan jika hasilnya dipanen hanya akan menyebabkan degradasi dalam jumlah kecil sekali. Sementara itu, untuk pengusahaan produk kayu akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup besar.

Hal itu dapat diketahui dari penebangan tegakan dilokasi hutan rakyat. Biasanya petani menjual kayunya jika ada keperluan mendesak dan membutuhkan dana dalam jumlah besar atau bersifat insidentil seperti untuk membiayai acara pernikahan anak, khitanan, maupun membangun rumah ataupun jika mendadak ada anggota keluarga yang sakit. Sistem penebangan seperti ini dikenal dengan nama sistem tebang butuh. Penjualan kayu dilakukan kepada para pedagang kayu ditingkat tengkulak. Penjualan kayu dilakukan dalam bentuk pohon berdiri, sehingga kegiatan penebangan dilakukan oleh para tengkulak. Hal ini menguntungkan petani karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk

(7)

penebangan dan pengangkutan, namun kerugiannya petani kurang memiliki posisi tawar sehingga harga kayu yang ditawarkan oleh tengkulak relatif kecil.

Sistem pengelolaan di hutan rakyat Pasir Madang berlangsung dengan cukup baik namun masih kurang efektif karena adanya beberapa faktor yaitu faktor ekonomis, dimana masyarakat terutama masyarakat petani hutan merasakan adanya kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan dan kesejahteraan keluarganya walaupun pengusahaan hutan rakyat ini masih bersifat sebagai usaha sampingan. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani hutan juga bersifat kontinyu sehingga dapat digunakan jika petani membutuhkan biaya dalam jumlah besar dan dalam waktu yang mendesak. Faktor ekologis juga dirasakan secara langsung oleh masyarakat melalui fungsi hutan sebagai penjaga ketersediaan air, penyerap karbon, penghijauan lahan, pencegah terjadinya erosi dan secara tidak langsung juga dapat membantu mencegah kekeringan didaerah Pasir Madang. Faktor lainnya adalah adanya kearifan lokal yang selaras dengan alam sehingga timbul keinginan untuk tetap menjaga alam agar tetep lestari.

Faktor yang menjadi pembatas terhadap sistem produksi hutan rakyat di daerah Pasir Madang ini adalah keterbatasan kemampuan petani baik dari segi modal maupun dari segi tingkat pendidikan yang menyebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan, dan pola pikir terhadap pengelolaan guna penambahan nilai komoditas yang dihasilkan dari hutan rakyat. Harga jual komoditas hutan rakyat yang fluktuatif akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan pendapatan petani.

Faktor cuaca yang tidak menentu juga menjadi pembatas terhadap sistem produksi karena untuk menanam palawija yang umumnya dapat dipanen tiga kali dalam setahun, jika ketersediaan airnya kurang atau dilanda musim kering berkepanjangan mengakibatkan panen hanya dapat dilakukan sekali setahun. Selain itu, rendahnya pendidikan mengakibatkan terbatasnya informasi yang didapatkan petani baik dari segi harga pasar komoditi yang ada di lahan miliknya maupun informasi untuk pengelolaan hutan rakyat yang baik dan benar sehingga nantinya dapat menghasilkan komoditi yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.

(8)

5.3. Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Gambaran mengenai karakteristik petani hutan rakyat dilakukan dengan metode wawancara kepada responden. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 responden. Data yang dikumpulkan meliputi data identitas, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendapatan responden, pengeluaran responden, serta motivasi responden terhadap pengelolaan hutan rakyat khususnya untuk pengelolaan tanaman sengon.

5.3.1 Umur

Berdasarkan data yang dikumpulkan, umur responden yang paling muda adalah 27 tahun, dan yang paling tua berumur 66 tahun. Data umur responden disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan karakteristik kelas umur

Kelas umur Jumlah (Orang) Persentase (%)

27 - 33 4 13,3 34 - 40 8 26,7 41 - 47 9 30 48 - 54 4 13,3 55 - 61 3 10 ≥62 2 6,7

Tabel 3 menunjukkan persentase terbesar responden berada pada umur 41-47 tahun yaitu sebesar 30%. Hal ini disebabkan karena pada rentang umur 41-41-47 tahun responden masih masuk dalam umur produktif dan rata-rata telah berkeluarga, sehingga motivasi untuk bekerja sebagai petani hutan pada lahan hutan rakyat yang dimiliki lebih besar guna membantu mencukupi kebutuhan keluarganya.

Adapun responden yang berusia muda menunjukan bahwa pada dasarnya lahan hutan rakyat yang ada di daerah Pasir Madang merupakan lahan turun temurun yang diberikan sebagai warisan ke generasi berikutnya, sehingga untuk usaha pengembangan hutan rakyat itu sendiri juga dikelola secara turun temurun oleh pihak yang mengelola lahan tersebut. Tetapi dalam kenyataannya banyak juga masyarakat Pasir Madang yang berusia muda merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan, walaupun pada akhirnya apabila telah berkeluarga banyak yang kembali ke Pasir Madang dan meneruskan bekerja menjadi petani hutan rakyat.

(9)

5.3.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan petani berpengaruh pada pola pikir petani dalam mengelola hutan rakyat yang dimiliki sebagai upaya meningkatkan usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, tingkat pendidikan dapat menjadi indikator dalam suatu masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang dalam kehidupan suatu masyarakat, maka semakin tinggi pula status sosialnya di dalam masyarakat tersebut. Data tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase(%)

Tidak bersekolah 6 20%

SD 18 60%

SMP 4 13%

SMA 2 7%

Sarjana - 0%

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden (60%) tingkat pendidikannya hanya sampai SD. Kemudian disusul 20% responden tidak bersekolah, 13% SMP dan SMA 7%. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh besarnya biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, selain itu juga tidak terdapat fasilitas pendidikan pada tingkat lanjutan yang ada di Pasir Madang. Selama ini masyarakat desa yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus memiliki kemampuan untuk sekolah keluar desa. Selain itu tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari memaksa para petani untuk bekerja guna memenuhi kehidupan sehari-harinya sehingga pentingnya pendidikan menjadi agak dikesampingkan. Tingkat pendidikan yang masih rendah juga menyebabkan keterbatasan kemampuan sehingga kebanyakan usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan melanjutkan usaha orang tuanya yaitu menjadi petani hutan rakyat atau merantau ke daerah lain untuk mendapatkan pekerjaan.

5.3.3 Pekerjaan Pokok dan Sampingan

Sebanyak 22 dari 30 orang responden memiliki pekerjaan sampingan selain bekerja sebagai petani hutan rakyat. Data pekerjaan sampingan responden disajikan pada Tabel 5.

(10)

Tabel 5 Jenis pekerjaan sampingan responden

Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

Pegawai 3 10%

Pedagang 3 10%

Peternak 14 46,7%

Jasa 16 53,3%

Tabel 5 menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang paling banyak adalah sebagai jasa yaitu sebesar 53,3%. Mayoritas responden menjual jasa mereka sebagai buruh tani dan gurandil. Jenis pekerjaan sampingan sebagai peternak juga mempunyai presentase yang cukup besar yaitu sebesar 46,7%. Dengan adanya pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan maka dapat diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan responden tidak hanya dari usaha hutan rakyat saja, namun juga dari pekerjaan sampingan lainnya. Selain itu, terdapat beberapa responden yang memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan sampingan. Hal ini juga menjelaskan bahwa mereka memiliki waktu luang untuk dimanfaatkan guna meningkatkan penghasilan yang dimiliki.

5.4. Pendapatan

Perbedaan mata pencaharian akan menyebabkan perbedaan jumlah pendapatan pada masing-masing responden. Pendapatan ini dihitung dalam jangka waktu satu tahun terakhir dari perolehan pekerjaan responden baik dari hasil hutan rakyat maupun di luar hasil hutan rakyat dan dikelompokkan berdasarkan distribusi frekuensi pendapatan responden. Distribusi frekuensi pendapatan responden disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Distribusi frekuensi pendapatan responden tahun 2011

No Kelas Kelas (Rp) Frekuensi Persentase (%)

1 6.900.000 – 15.182.857 16 53,3

2 15.182.858 – 23.465.714 9 30

3 23.465.715 – 31.748.571 3 10

4 48.314.287 – 64.880.000 2 6,7

Mayoritas distribusi pendapatan responden berada pada rentang Rp. 6.900.000,- sampai 15.182.857,- sebesar 53,3%, Hal ini dikarenakan sebagian besar responden yang berada pada selang ini memiliki pekerjaan sampingan yang bergerak di bidang jasa. Sedangkan untuk minoritas distribusi pendapatan responden berada pada selang Rp. 48.314.287,- sampai Rp. 64.880.000,- sebesar 6,7%, berbeda dengan responden yang berada pada selang mayoritas, pada selang ini responden memiliki pekerjaan sampingan sebagai wirausaha/pedagang.

(11)

Pendapatan dari hutan rakyat diperoleh dari penjualan kayu dan tanaman palawija yang ada di lahan milik petani, sedangkan untuk pendapatan non hutan rakyat diperoleh dari hasil peternakan, perdagangan, upah atau gaji, dan lain-lain. Data penghasilan responden dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pendapatan seluruh responden tahun 2011

Sumber Pendapatan

Jumlah (Rp. Juta/thn) Jumlah (Rp.

Juta/thn)

Total (Rp. Juta/thn) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Hutan Rakyat 232,26 Kayu 14 25,8 27 64 130,8 Palawija 24,98 27,5 23,1 25,88 101,46 Non HR 301,28 Peternakan 12,3 4,6 4 0 20,9 Perdagangan 8,11 50,4 0 27 85,5 Lain-lain 100,38 69 25,5 0 194,88 (Upah/gaji) Total 159,76 177,3 79,6 116,88 533,54

Tabel 7 memberikan informai bahwa pendapatan hutan rakyat dibagi menjadi pendapatan dari kayu dan tanaman palawija. Hasil perhitungan pendapatan hutan rakyat berupa kayu pada kelas 1, 2, 3 dan 4 adalah masing-masing sebesar Rp. 14.000.000,-/tahun, 25.800.000,-/tahun, 27.000.000,-/tahun dan 64.000.000,-/tahun. Sedangkan hasil perhitungan pendapatan hutan rakyat berupa palawija pada kelas 1, 2, 3 dan 4 adalah masing-masing sebesar Rp. 24.980.000,-/tahun, 27.500.000,-/tahun, 23.100.000,-/tahun dan 25.880.000,-/tahun. Pendapatan non hutan rakyat pada kelas 1 dan 2 lebih besar dari pada pendapatan hutan rakyat, sedangkan pada kelas 3 dan 4 terjadi sebaliknya yaitu pendapatan dari hutan rakyat lebih besar dari pada pendapatan non hutan rakyat. Pada kelas 1 dan 2 pendapatan terbesar berasal dari upah/gaji, hal ini karena distribusi pekerjaan responden pada kelas ini yang mayoritas bergerak di bidang jasa.

5.5. Pengeluaran

Pengeluaran responden dihitung untuk semua keperluan mulai dari kebutuhan tetap tahunan, kebutuhan insidental, dan kebutuhan lain yang dikeluarkan tahun 2011. Tiap kebutuhan rumah tangga berbeda-beda dipengaruhi jumlah anggota keluarga dan jenis kebutuhannya. Data pengeluaran responden disajikan dalam Tabel 8.

(12)

Tabel 8 Pengeluaran responden untuk biaya tahunan pada tahun 2011

Indikator Pengeluaran Jumlah (Rp. Juta/thn) Total (Rp.

Juta/thn)

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Pangan 85,44 72 28,8 24 210,24

Sandang 5,46 7,7 5,5 3 21,66

Pendidikan 4,3 7,05 5,5 3,5 20,35

Pajak 0 0 0 0 0

Sarana Rumah Tangga 5,4 4,23 1,62 1,08 12,33

Kesehatan, dll 48,25 51,1 18,1 19 136,45

Total 148,85 142,08 59,52 50,58 401,03

Pengeluaran untuk biaya tahunan yang dikeluarkan seluruh responden petani hutan rakyat adalah sebesar Rp. 401.030.000/tahun. Sedangkan untuk alokasi pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk kebutuhan pangan yaitu sebesar Rp 85.440.000,-/tahun pada kelas 1, Rp 72.000.000,-/tahun pada kelas 2, Rp 28.800.000,-/tahun pada kelas 3 dan Rp 24.000.000,-/tahun pada kelas 4. Sedangkan untuk alokasi pengeluaran terkecil adalah untuk pembayaran pajak. Tidak adanya pembayaran pajak tiap tahun dikarenakan tanah milik petani berada pada tanah yang berstatus kepemilikan lahan bekas HGU (Hak Guna Usaha).

Petani hutan rakyat di daerah Pasir Madang adalah petani subsisten. Petani subsisten adalah petani yang hanya berusaha tani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kurangnya pendidikan, minimnya keterampilan, dan kurangnya modal memaksa petani menjadi petani subsisten. Selain biaya tetap tahunan, pengeluaran responden untuk biaya insidental dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Pengeluaran responden untuk biaya insidental tahun 2011

Indikator Pengeluaran Jumlah (Rp. Juta/thn) Total

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 (Rp. Juta/thn)

Nikah - - 10 - 10

Khitanan 1 - - 4,5 5,5

Lain-lain (Rumah Sakit, Pembangunan rumah, Pembayaran hutang, Sumbangan/Bantuan Rukun Tetangga (RT), dll) 1,5 17,76 5 52 76,26 Total Pengeluaran 2,5 17,76 15 56,5 91,76

Biaya insidental yang dikeluarkan oleh responden berupa biaya untuk pernikahan, khitanan dan biaya lain-lain yang meliputi biaya rumah sakit, pembangunan rumah, pembayaran hutang, dan sumbangan atau bantuan rukun tetangga. Biaya tersebut dikeluarkan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang mendesak untuk dipenuhi. Sumbangan atau bantuan rukun tetangga dikeluarkan

(13)

jika ada tetangga akan mengadakan suatu acara. Kondisi lingkungan pedesaan dan rasa kekeluargaan yang tinggi menyebabkan responden memiliki rasa membantu yang tinggi baik dalam hal tenaga maupun uang saat keluarga atau tetangga mengadakan suatu acara.

Pengeluaran terbesar untuk biaya insidental adalah pada kelas 4 sebesar Rp. 56.500.000,-/tahun dan terkecil pada kelas satu sebesar Rp. 2.500.000,-/tahun. Tidak semua responden mengeluarkan biaya insidental dalam kurun waktu satu tahun. Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran untuk keseluruhan responden dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Perbandingan total pendapatan dan pengeluaran seluruh responden tahun 2011 Kelas Pendapatan (Rp.jt/thn) Pengeluaran (Rp.jt/thn) Jumlah Pendapatan Perkapita (Rp.jt/kapita/tahun) Jumlah Pengeluaran Perkapita (Rp.jt/kapita/tahun) Kelas 1 159,76 151,35 66,316667 60,45375 Kelas 2 177,3 159,84 36,315 32,9315 Kelas 3 79,6 74,52 16,005357 15,186548 Kelas 4 116,88 107,08 38,96 36,86 Total 533,54 492,79 157,597024 145,431798

Pendapatan keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp. 533.540.000,- dan untuk pengeluaran keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp 492.790.000,-. Pendapatan perkapita keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp. 157.597.024,- dan untuk pengeluaran keseluruhan dari responden adalah sebesar Rp 145.431.798,-. Jumlah pendapatan perkapita lebih besar daripada jumlah pengeluaran perkapita pada kelas 1, kelas 2, kelas 3 maupun kelas 4. Hal ini menunjukkan bahwa jika dibandingkan antara pendapatan dan pengeluaran maka dapat diketahui bahwa pendapatan responden lebih besar daripada pengeluaran responden, sehingga secara keseluruhan petani mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya baik dari hasil hutan rakyat maupum dari hasil non hutan rakyat. Meskipun secara keseluruhan petani mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya pada kenyataannya pada masing-masing kelas 1 dan kelas 2 terdapat 1 responden dimana memiliki kondisi pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Visualisasi pendapatan dan pengeluaran responden dapat dilihat pada Gambar 6.

(14)

Pengeluaran_1 Pendapatan_1 70000000 60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 D a ta

Boxplot of Pendapatan_1, Pengeluaran_1

Gambar 6. Boxplot pendapatan dan pengeluaran

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa garis pendapatan berada diatas garis pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan responden lebih besar dari pengeluaran. Jadi, rata-rata petani mampu membiayai kebutuhannya baik dari hasil hutan rakyat maupun dari hasil non hutan rakyat.

5.6. Kontribusi Hutan Rakyat

Setelah perhitungan pendapatan dan pengeluaran dihitung maka dapat dihitung kontribusi dari hutan rakyat terhadap pendapatan dan pengeluaran. Kontribusi hutan rakyat dibagi menjadi kontribusi pendapatan hutan rakyat dari kayu terhadap total pendapatan dan pengeluaran, serta kontribusi pendapatan hutan rakyat dari hasil tanaman palawija terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Selain itu dapat dihitung kontribusi hutan rakyat (kayu dan tanaman palawija) terhadap pendapatan dan pengeluaran, serta kontribusi non hutan rakyat terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11Persentase kontribusi hutan rakyat dan non hutan rakyat terhadap pendapatan dan pengeluaran responden tahun 2011

Indikator Persentase (%) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Rachman

Total pendapatan AF (buah) terhadap total

pendapatan - - - - 68,3

Total pendapatan HR (kayu) terhadap total

pendapatan 8,1 13,8 33,7 55 6,5

Total pendapatan HR (tanaman palawija)

(15)

Tabel 11 ...(Lanjutan) Indikator Persentase (%) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Rachman

Total pendapatan HR terhadap total

pendapatan 22,9 29,1 61,5 79,1 79,5

Total pendapatan non HR terhadap total

pendapatan 77 70,8 38,4 20,8 20,5

Total pendapatan HR terhadap total

pengeluaran 25 32,3 65,3 85,8 79,5

Total pendapatan AF (buah) terhadap total

pengeluaran - - - - 272,7

Total pendapatan HR (kayu) terhadap total

pengeluaran 8,8 15,4 35,2 58,9 26,2

Total pendapatan HR (tanaman palawija)

terhadap total pengeluaran 16,2 16,9 30,1 26,9 18,9

Persentase total pendapatan non HR terhadap

total pengeluaran 80,3 78,8 41,7 20,9 81,9

Total pendapatan terhadap total pengeluaran 105,3 111,1 107,1 106,7 399,7

Tabel 11 menunjukkan bahwa pada kelas 1 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 22,9% (dari 8,1% (kayu) ditambah 14,8% (palawija)) terhadap total pendapatan. Pada kelas 2 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 29,1% (dari 13,8% (kayu) ditambah 15,3% (palawija)) terhadap total pendapatan. Pada kelas 3 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 61,5% (dari 33,7% (kayu) ditambah 27,8% (palawija)) terhadap total pendapatan. Pada kelas 4 hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 79,1% (dari 55,0% (kayu) ditambah 24,1% (palawija)) terhadap total pendapatan. Sedangkan dari hasil non hutan rakyat berkontribusi cukup besar pada kelas 1 dan 2, yaitu sebesar 77,0% pada kelas 1 dan 70,8% pada kelas 2. Sedangkan pada kelas 3 sebesar 38,4% dan 20,8% pada kelas 4.

Pada kelas 1 sebagian besar pendapatan diperoleh dari non hutan rakyat. Hal ini dikarenakan pada kelas 1 mayoritas distribusi pekerjaan responden bergerak di bidang jasa. Tabel 11 juga memberikan informasi terjadinya kecenderungan sumber pemenuhan kebutuhan pada kelas 1 dan kelas 4 dimana pada kelas 1 cenderung lebih mengandalkan hasil dari non hutan rakyat dan pada kelas 4 lebih cenderung mengandalkan hasil dari hutan rakyat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan luas kepemilikan lahan, dimana pada kelas 1 memiliki luasan lahan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kelas 4. Luasan lahan yang lebih kecil pada kelas 1 memaksa petani untuk mencari tambahan pendapatan diluar sektor hutan rakyat guna mencukupi kebutuhan rumah tangga

(16)

keluarganya. Secara keseluruhan, pada setiap kelas persentase total pendapatan terhadap total pengeluaran didapatkan nilai positif yaitu nilai yang lebih besar dari 100% untuk persentase total pendapatan terhadap pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan responden mencukupi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.

Menurut Suharjito (2000), hutan rakyat hanya merupakan pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total. Namun pada hutan rakyat di Pasir Madang justru dirasakan peran yang sangat penting dan dapat menjadi hal yang bermanfaat secara kontinyu karena memberikan pendapatan lebih besar dari 10% terhadap pendapatan total. Kontribusi yang besar dari hutan rakyat di daerah Pasir Madang memberikan dampak yang positif bagi petani hutan rakyat dari segi ekonomi.

Dapat dibandingkan bahwa hutan rakyat pada penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan sebesar 22,9% pada kelas 1, 29,1% pada kelas2, 61,5% pada kelas 3 dan 79,1% pada kelas 4, sedangkan pada penelitian Rachman sebesar 79,5%. Agak sedikit berbeda jika dibandingkan dari hasil penelitian Rachman dimana hasil hutan rakyat dari produk kayu memberikan kontribusi sebesar 6,5% Sedangkan pada penelitian ini hasil hutan rakyat dari produk kayu sebesar 8,1% pada kelas 1, 13,8% pada kelas 2, 33,7% pada kelas 3 dan 55% pada kelas 4. Hal ini karena adanya pebedaan komoditas yang diusakan oleh petani dimana pada penelitian Rachman komoditas utamanya adalah buah-buahan.

5.7. Garis Kemiskinan dan Kesejahteraan

Setelah mengetahui besarnya kontribusi dari hutan rakyat, dapat dihitung juga tingkat kemiskinan pada responden di daerah Pasir Madang, tingkat kemiskinan ini dihitung untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dari responden. Suatu masyarakat belum tentu dapat dikatakan bebas dari kemiskinan dan belum dikatakan sejahtera jika penghasilannya belum bisa memenuhi kebutuhan minimumnya. Sajogyo (1997) dalam Indaryanti, dkk (2006) menyatakan konsep miskin atau tidak miskin tidak hanya bebas dari ancaman kelangsungan hidup secara fisik/biologis saja, tetapi juga harus mampu untuk hidup dan berfungsi sebagai anggota masyarakat di lingkungan setempat. Pada lokasi penelitian, contoh penerapan konsep tidak miskin adalah mampu memenuhi kebutuhan

(17)

pangannya, mempunyai kelebihan uang untuk ditabung dan jika ada tetangga yang mempunyai hajat (mengadakan acara atau syukuran) maka masyarakat lain ikut serta mengeluarkan biaya guna membantu pembiayaan acara tersebut.

Pada penelitian ini tingkat kemiskinan seseorang dihitung menggunakan standar pengukuran kemiskinan menurut Prof. Dr. Sajogyo. Garis kemiskinan mencangkup konsepsi nilai ambang kecukupan pangan dan menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Data hasil perhitungan garis kemiskinan untuk menentukan kesejahteraan responden disajikan pada gambar berikut :

Gambar 7. Grafik jumlah dan persentase garis kemiskinan

Mengacu pada teori garis kemiskinan Sajogyo, hanya 10 orang atau 36,6% yang pendapatan perkapitanya di bawah standar konsep tidak miskin. Kategori ini masuk kedalam kategori miskin sebesar 33,3% dari responden, yaitu rata-rata pengeluaran perkapitanya antara Rp. 1.224.000,- sampai Rp. 2.176.000,00, dan kategori nyaris miskin sebesar 3,3%, rata-rata pengeluaran perkapitanya kurang dari Rp. 1.224.000,-. Sedangkan untuk responden yang termasuk dalam kategori tidak miskin sebanyak 19 orang dari 30 responden atau sebesar 63,3%. Perhitungan dan pengelompokkan ini berasal dari perhitungan pengeluaran perkapita dari masing-masing rumah tangga responden yang dibandingkan dengan harga beras perkilogram yang dikonsumsi oleh responden. Harga beras yang dikonsumsi responden adalah sebesar Rp. 6.800,00/kg yaitu beras jenis Muncul-1.

Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan standar garis kemiskinan Sayogyo, jika pengeluaran perkapita rumah tangga >320 kg nilai tukar beras/orang/tahun atau pada kasus di Pasir Madang ini >320 kg x Rp. 6.800,00 = Rp. 2.176.000,00, maka responden tersebut dapat dikategorikan tidak miskin. Untuk kategori miskin yaitu apabila pengeluaran perkapita rumah tangga antara

(18)

180 sampai 320 kg atau antara Rp. 1.224.000,- sampai Rp. 2.176.000,-. Untuk kategori nyaris miskin ≤ 180 kg nilai tukar beras/orang pertahun atau ≤ 180 kg x Rp 6.800,00 = Rp. 1.224.000,-. Dari perhitungan maka diperoleh sebagian besar resonden atau 63,3% dari jumlah responden kehidupannya berada di lapisan ambang kecukupan pangan. Rumah tangga dalam lapisan ini mampu mencapai kebutuhan minimun pangan. Akan tetapi tidak semua responden di Pasir Madang ini merupakan warga yang hidup diatas garis kemiskinan menurut teori Sajogyo. Masih terdapat sekitar 36,6% dari responden yang hidup berada di bawah garis kemiskinan menurut teori Sajogyo ini. Grafik diatas juga memperlihatkan penurunan secara signifikan dari jumlah responden yang tidak miskin sampai responden yang paling miskin. Hal ini menunjukkan kondisi masyarakat tersebut termasuk kategori cukup baik dari segi pemenuhan kebutuhannya karena telah mampu membiayai kebutuhan rumah tangganya.

Dalam menentukan miskin dan tidak miskinnya rumah tangga, teori Sajogyo ini masih kurang relevan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9 dimana rumah tangga miskin menurut teori Sajogyo pun bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini terlihat pada Tabel 10 dimana penghasilannya bisa lebih besar daripada pengeluaran. Dalam usaha penuntasan kemiskinan, hutan rakyat memiliki peranan yang sangat penting. Hal ini juga dapat dilihat pada tabel 9 dimana peran hutan rakyat dapat memberikan penghasilan tambahan bagi petani sehingga petani dapat memcukupi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 10 juga menunjukkan bahwa hutan rakyat dapat memberikan manfaatnya dan ini menunjukkan bahwa hutan rakyat berperan cukup penting dalam usaha menuntasakan kemiskinan terutama pada masyarakat di pedesaan yang mengusahakan hutan rakyat.

5.8. Nilai Motivasi

Motivasi merupakan penggerak dalam diri individu atau seseorang untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pengelolaan dan pengembangan produk dari hutan rakyat juga dilatarbelakangi oleh motivasi. Motivasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Pasir Madang terutama dalam pengusahaan tegakan sengon sebagai komoditas yang dikembangkan dan memiliki nilai jual tinggi disajikan dalam Tabel 12.

(19)

Tabel 12 Nilai motivasi No. Pernyataan Persentase Jawaban (%) Tidak setuju Setuju Sgt setuju 1 Tegakan sengon pada HR memiliki manfaat ekonomi bagi

keluarga dan keuntungan bagi pendapatan.

0 66,67 33,33

2 Pengelolaan HR yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.

0 73,33 26,67

3 Hasil digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar. 16,67 70 13,33

4 Tanaman sengon hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

0 43,33 56,67

5 Pengelolaan sengon di HR membantu menyediakan lapangan pekerjaan.

0 63,33 36,67

6 Tanaman lain selain sengon lebih menguntungkan. 26,67 40 33,33

7 Tanaman sengon dapat membantu kesuburan tanah. 30 60 10

8 Tegakan sengon dapat membantu menjaga tanah dan tata air agar tidak menimbulkan erosi, longsor dan banjir.

6,67 23,33 70

9 Penanaman sengon di daerah Pasir Madang sudah sesuai dengan prinsip silvikultur.

40 40 20

10 Selain tanaman sengon yang ditanam di hutan rakyat, tanaman kayu lainnya (tanaman agroforestry juga ikut dipelihara).

23,33 40 36,67

11 Tegakan sengon dapat memberikan investasi masa depan bagi keluarga.

0 16,67 83,33

Rata-rata 13,03 48,79 38,18

Motivasi dalam pengelolaan hutan rakyat yang didominasi tegakan sengon dan kayu afrika ini dapat diketahui besarnya persentase responden yang menyatakan hutan rakyat yang ditanami tegakan sengon dan kayu afrika penting bagi aspek ekonomi, ekologi maupun sosial. Dari Tabel 12, dapat diketahui bahwa hampir dari setengah responden atau sebesar 48,79% memberikan jawaban setuju terhadap pentingnya tegakan sengon dan kayu afrika pada lahan hutan rakyat. Terutama dari aspek ekonomi sangat terlihat jelas bahwa responden memberikan respon positif terhadap keberadaan hutan rakyat tersebut. Hal ini dapat terlihat pada persentase skor dari pernyataan ke 1,2,3,4,6, dan 11.

Persentase tidak setuju sebesar 13,03% ini, menunjukkan masih ada petani yang kurang atau belum memperhatikan aspek pengelolaan dan pemeliharaan sengon di lahan hutan rakyat. Hal ini disebabkan responden tersebut juga merasakan manfaat tanaman lain selain tanaman sengon di lahan hutan rakyat. Namun beberapa responden ada yang benar-benar merasakan bahwa tanaman lain tidak lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tanaman sengon atau kayu afrika.

(20)

Dari aspek ekologi dapat dilihat bahwa hutan rakyat sengon memberikan dampak positif bagi kondisi lahan, tata air, tanah dan sebagainya. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil persentase jawaban pernyataan ke 7, 8, 9 dan 10. Upaya pengelolaan yang dilakukan oleh petani hutan terhadap tegakan sengon dapat dilihat dari pernyataan ke 9 yang menyatakan bahwa penanaman sengon di daerah Pasir Madang telah dilakukan sesuai dengan prinsip silvikultur, responden yang menjawab setuju sebesar 40% dan yang menjawab sangat setuju sebesar 20%. Hal ini menunjukkan tingginya motivasi dari responden dalam upaya pemeliharaan tegakan sengon pada lahan hutan rakyat di Desa Pasir Madang.

Sedangkan untuk aspek sosial dapat terlihat dari jawaban responden yang menjawab setuju pada pernyataan ke 5. Dari seluruh jawaban yang diberikan oleh responden dapat digolongkan bahwa responden yang mengelola hutan rakyat memiliki motivasi yang cukup tinggi dalam pengelolaan dan pemeliharaan hutan rakyat terutama untuk jenis sengon dan kayu afrika mengingat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan rakyat tersebut. Selain dapat dijadikan tabungan, tanaman ini juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Pasir Madang.

Gambar

Gambar 2.  Pola hutan rakyat di Pasir Madang
Gambar 5.  Pohon sengon yang terserang penyakit
Tabel 7  Pendapatan seluruh responden tahun 2011
Tabel 11 Persentase  kontribusi  hutan  rakyat  dan  non  hutan  rakyat  terhadap  pendapatan dan pengeluaran responden tahun 2011
+3

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengambilan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode geolistrik tahanan jenis dengan menginjeksikan arus listrik di permukaan bumi melalui

Hasil yang ditemukan: (1) krisis dan tantangan yang dialami pasca perceraian terwujud dalam beban psikologis dan beban ekonomi; (2) proses resiliensi pendidik perempuan

pembuatan kapal ikan masih kurang dikuasai. 3) Belum ada informasi (data-data) prototipe kapal ikan yang dikaitkan dengan alat tangkap, wilayah penangkapan dan kondisi perairan bagi

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Industri di Universitas

Pelajar yang menuntut ilmu di kota ini bukan hanya penduduk asli Pematang Siantar melainkan juga banyak yang berasal dari daerah-daerah tetangga seperti Dairi, Simalungun,

Symptom lain yang lazim dari lesion lobus parietal kanan telah dijelaskan oleh Warringtondan koleganya, pasien dengan lesion parietal kanan sangat buruk dalam

5) melaporkan hasil pelaksanaan wasrik yang menjadi tugas dan kewajibannya kepada Irjen TNI; dan.. 6) Irops dibantu oleh empat orang Inspektur Utama yang

1) Perempuan tersebut dibaringkan ruang utama pada rumah, berbantalkan paha calon mertuanya, kemudian perempuan tersebut disuruh oleh calon mertuanya itu untuk