• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Kondisi Umum Daerah Penelitian

4.1.1 Letak geografis, administratif dan topografi Pulau Panjang, Banten Pulau Panjang merupakan salah satu pulau yang terletak di Teluk Banten yang secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Propisi Banten. Pulau Panjang berada pada koordinat 6o25’18”-6o28’12” LS dan 106o22’9”-106o25’36” BT. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Banten dan sebelah timur berbatasan dengan Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil (Arfando 2008).

Pulau Panjang memiliki luas wilayah sekitar ±820 Ha dan merupakan pulau terbesar di perairan Teluk Banten bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, seperti Pulau Semut, Gugusan Pulau Lima, Pulau Gedang, Pulau Kubur, Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, Pulau Tarahan, dan Pulau Kali yang rata-rata tidak berpenduduk (Arfando 2008). Terdapat 5 kampung (dusun) yaitu Peres, Kebalen, Kampung Baru, Sukarela, Sukadiri, Penenganan dan Pasir Putih.

Panjang keliling Pulau Panjang kurang lebih 10 km dan 65% diantaranya ditumbuhi oleh hutang mangrove. Persebaran mangrove terdapat hampir di seluruh wilayah pantai, yaitu pantai barat-timur, dan sedikit di pantai bagian utara (Arfando 2008). Jenis mangrove yang tumbuh di Pulau Panjang adalah

Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Soneratia alba, Bruguira gymnorhiza, Aviciena alba, Lumnitzera racemosa dan Aegiceras floridum (Lestarina 2011).

Topografi Pulau Panjang sebagian besar merupakan dataran rendah dengan tingkat kelerengan antara 0-15% dan ketinggian yang hampir sejajar dengan permukaan laut yaitu 0-2 meter di atas permukaan laut (Lampiran 5).

4.1.2 Kondisi perairan (potensi, kedalaman, pasang surut dan arus)

Perairan Teluk Banten dengan kedalaman berkisar antara 5 sampai 13 meter dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan tangkap oleh sekitar 28.660 jiwa (Resmiati

at al. 2002). Perairan Pulau Panjang memiliki potensi yang cukup baik untuk

dikembangkan bagi kegiatan perikanan, mulai dari kegiatan perikanan tangkap, budidaya sampai pada pengolahan hasil perikanan. Salah satu komoditas

(2)

0 20 40 60 80 100 120 15- Jun-10 16- Jun-10 17- Jun-10 18- Jun-10 19- Jun-10 20- Jun-10 21- Jun-10 22- Jun-10 23- Jun-10 24- Jun-10 25- Jun-10 26- Jun-10 27- Jun-10 28- Jun-10 29- Jun-10 30- Jun-10 1-Jul -10 2-Jul -10 E le v a si ( cm) Tinggi Pasut perikanan tangkap utama yang dihasilkan adalah ikan teri. Ikan teri yang dihasilkan di perairan Pulau Panjang memiliki kualitas ekspor. Selain itu, dengan kondisi perairan yang memiliki terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang cukup baik, perairan Pulau Panjang memiliki komoditas perikanan yang lengkap. Perairan Pulau Panjang sering digunakan sebagai lokasi pemancingan. Sementara itu, potensi budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya rumput laut. Rumput laut dari perairan Pulau Panjang telah dikenal baik tidak hanya di wilayah Banten tetapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia (Saifullah 2010).

Gerakan pasang surut di perairan Pulau Panjang, Banten diprediksi berdasarkan data elevasi muka laut selama 15 hari (16-30 Juni 2010) yang diterbitkan oleh Dishidros (Dinas Hidro-Oseanografi) TNI-AL di stasiun pengamatan Suralaya (stasiun terdekat dengan perairan Pulau Panjang) (Lampiran 6). Berdasarkan perhitungan, lokasi studi perairan Suralaya memiliki nilai bilangan Fromzahl (F) sebesar 1,01 (Lampiran 7). Menurut kriteria courtier

range perairan tersebut memiliki karakteristik pasut bertipe campuran dengan tipe

campuran condong ke harian ganda (mixed tide preavailing semidiurnal) (Gambar 9). Tipe pasut ini memiliki arti yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut selama 24 jam atau massa air akan bergerak menuju pasang selama 6 jam dan akan berbalik pada 6 jam kemudian. Nilai tunggang pasut (tidal range) harian berkisar antara 10-70 cm.

Gambar 9. Grafik pasang surut (cm) di perairan Pulau Panjang , Banten, Juni 2010 Waktu

(3)

Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan tiap bulan di Utara dan Barat Pulau Jawa diperoleh dari hasil analisis data arus permukaan yang bersumber dari

Japan Oceanographic Data Center (JODC). JODC memperoleh data yang

diobservasi oleh Japan Guard Coast, Badan Meteorologi, Dinas Perikanan dan organisasi lainnya termasuk Badan Pertahanan, Lembaga Pemerintah Daerah, universitas, dan industri swasta di Jepang. JODC juga memperoleh data melalui data oseanografi internasional dan sistem pertukaran informasi (IODE). Data-data tersebut mencakup wilayah geografi seluruh dunia dan periode waktu 1854-2010. Gambar 10 menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan bulanan di Utara dan Barat Pulau Jawa yang dikelompokkan berdasarkan musim di Indonesia, yaitu a) musim barat, b) musim peralihan 1, c) musim timur dan d) musim peralihan 2. Pola sebaran arah arus permukaan dipengaruhi oleh pola sebaran arah dan kecepatan angin.

Gambar 10a menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim barat (Desember-Februari). Secara umum, arus di Utara dan Barat Pulau Jawa bergerak relatif seragam menuju Timur. Arus bergerak dengan kecepatan relatif tinggi pada perairan Utara Jawa. Gambar 10b menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim peralihan 1 (Maret-Mei). Arus di Utara dan Barat Pulau Jawa bergerak tidak teratur, pada bulan Maret menuju Timur dengan kecepatan lebih rendah dari bulan sebelumnya dan kemudian bergerak ke arah sebaliknya menuju Barat pada bulan Mei dengan kecepatan yang rendah di Utara Jawa dan meninggi di Barat Jawa. Gambar 10c menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim timur (Juni-Agustus). Secara umum, arus di Utara dan Barat Pulau Jawa bergerak relatif seragam menuju Barat. Arus bergerak dengan kecepatan relatif tinggi pada perairan Utara dan Barat Jawa pada awal musim (Juni) dan melemah (khususnya di Utara Jawa) pada akhir (Agustus). Gambar 10b menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim peralihan 2 (September-November). Arus bergerak tidak teratur, pada bulan September arus menuju Barat baik di Utara maupun Barat Pulau Jawa, kemudian pada bulan Oktober arah arus berubah menuju Timur di bagian Utara Jawa dan arus secara seragam

(4)

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center

P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bu ju r -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center

P. S um atera P. Ja wa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center P. Sumatera P. Jawa Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Su mbe r: Diolah dari

J apan Oceano grap hic Data Center P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center P. Sumatera

P. Jawa

bergerak menuju Timur baik di Utara maupun Barat Pulau Jawa dengan kecepatan yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya.

Arus berperan dalam distribusi radionuklida alam yang jatuh ke permukaan perairan melalui fall out dari atmosfer maupun dari air hujan yang mencuci tempat pembuangan abu milik PLTU-batubara yang kemudian mengalir menuju perairan pesisir. Berdasarkan pola pergerakan arus (Gambar 10) perairan Pulau Panjang, Banten memiliki peluang terdistribusi radionuklida alam hasil aktivitas PLTU Suralaya pada musim barat dan akhir musim peralihan 2.

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus: 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s P. Sumatera P. Jawa Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center

Desember Januari Februari

Maret April Mei

a) Musim barat

(5)

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sum ber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sum ber: Diolah d ari

J apan Oc eanographic Data Center P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g RKecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sum b er: Diolah da ri

Ja pan Oc eano graph ic Da ta Ce nter P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Su m be r: Dio la h da ri

J apa n Oce an ograp hic Da ta C ente r P. Sumatera P. Jawa 105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107 Bujur -7 -6.8 -6.6 -6.4 -6.2 -6 -5.8 -5.6 -5.4 -5.2 -5 L in ta n g Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s Sumber: Diolah dari

Japan Oceanographic Data Center P. Sumatera

P. Jawa

Gambar 10. Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan (m/s) di Utara dan Barat Pulau Jawa berdasarkan penggolongan musim di Indonesia (a. musim barat, b. musim peralihan 1, c. musim timur dan d. musim

peralihan 2)

4.1.3 Klimatologi (curah hujan, arah dan kecepatan angin)

Kondisi curah hujan bulanan dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di darerah Kabupaten Serang disajikan pada Gambar 11 dan Lampiran 10. Curah hujan berkisar antara 20,4 mm (bulan Agustus) dan 258 mm (bulan Februari). Curah hujan pada Musim Barat (Desember-Februari) relatif tinggi dan sebaliknya pada Musim Timur (Juni-Agustus) relatif rendah. Salah satu cara polutan dapat

Juni Juli Agustus

September Oktober November

c) Musim timur

(6)

masuk ke perairan laut yaitu melalui air hujan (wet fallout) yang mencuci debu-debu di atmosfer kemudian dipresipitasikan ke permukaan air laut. Debu-debu-debu tersebut dapat mengandung berbagai jenis radionuklida alam primordial dan logam berat, yang bersal dari aktivitas PLTU-batubara melalui emisi abu terbangnya (fly ash). Air hujan juga dapat mengencerkan konsentrasi radionuklida alam yang terkandung dalam perairan laut.

Sumber: Badan Meteorolgi dan Geofisika, Jakarta

Gambar 11. Curah hujan bulanan (mm) dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daererah Kabupaten Serang, Banten

Data kecepatan angin yang terdiri atas komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara-selatan (meridional) pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut bersumber dari ECMWF (European Centre for Medium Range Forecast) dan

QuickSAT. Data angin 1 jaman dari Januari 2000-Desember 2009 (10 tahun)

dengan resolusi spasial 1,5°x1,5° dalam format NetCDF dari ECMWF pada posisi geografis pengamatan 106,5o BT dan 6o LS dianalisis untuk memperoleh gambaran persentase arah dan kecepatan angin pada tiap periode musim di Indonesia (diagram mawar angin/windrose). Data angin bulanan pada tahun 2010 dari QuickSAT dianalisis untuk menggambarkan pola sebaran arah dan kecepatan angin tiap bulan di Utara dan Barat Pulau Jawa.

Diagram mawar angin digunakan untuk menunjukkan arah tujuan dan kecepatan angin yang dikelompokkan berdasarkan skala beaufort. Indonesia memiliki dua musim dalam satu tahun, yaitu musim barat dan musim timur yang diselingi oleh musim pancaroba atau peralihan, oleh karena itu arah dan kecepatan

B u l a n J a n F e b M r t A p r l M e i J u n J u l A g s t S e p t O k t N o v D e s C u ra h hu ja n ( mm) 0 5 0 1 0 0 1 5 0 2 0 0 2 5 0 3 0 0 waktu sampling

(7)

angin akan berubah pada tiap musimnya. Arah dan kecepatan angin tersebut dapat menggambarkan distribusi emisi gas dan debu dari aktivitas PLTU- batubara.

Musim barat terjadi sekitar bulan Desember sampai Februari. Angin di perairan Barat dan Utara Jawa selama musim barat bertiup relatif seragam menuju timur (angin muson barat). Angin bertiup dengan kecepatan relatif tinggi terutama pada Bulan Februari 2010 (Gambar 12a). Kecepatan angin berkisar antara 0,5– ≥11,1 m/s didominasi pada kisaran 3,6–5,7 m/s yang mencapai 39,7%. Arah datang angin bervariasi namun arah barat mendominasi wilayah studi dengan persentase kejadian sekitar 35%, diikuti dari arah barat laut (sekitar 25%) dan dari barat daya (sekitar 23%) (Gambar 12b).

Gambar 12. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim barat berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim barat di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten.

Desember Januari

Februari

(a) (a)

(8)

Musim peralihan dari musim barat ke musim timur (pancaroba I) terjadi pada bulan Maret sampai Mei. Pola sebaran angin di perairan Barat dan Utara Jawa pada musim ini berubah-ubah. Pada bulan Maret angin masih bertiup ke arah Timur akan tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dari bulan sebelumnya (Februari). Pada bulan April terjadi perubahan arah tiupan angin yaitu menuju ke Barat dengan kecepatan rendah dan kemudian kecepatan bertambah tinggi pada bulan Mei (Gambar 13a). Kecepatan angin pada musim ini berkisar antara 0,5–

≥8,8 m/s didominasi pada kisaran 2,1–3,6 m/s sebesar 37%. Arah dan kecepatan angin sangat bervariasi pada 8 arah mata angin. Arah datang angin bervariasi namun arah dari timur di wilayah studi memiliki persentase kejadian tertinggi sekitar 22%, diikuti dari arah barat daya sekitar 19% dan dari arah timur dan timur laut masing-masing sekitar 23% (Gambar 13b).

Gambar 13. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 1 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten. Mei Maret April (a) (a) (a) (b)

(9)

Musim timur terjadi pada bulan Juni sampai Agustus. Angin di perairan Barat dan Utara Jawa selama musim timur bergerak dengan arah relatif seragam menuju barat dan barat laut (terjadi angin muson timur), dengan kecepatan relatif tinggi (Gambar 14a). Kecepatan angin berkisar antara 0,5– ≥8,8 m/s didominasi pada kisaran 2,1–3,6 m/s yang mencapai 39,4%. Arah datang angin di wilayah studi didominasi oleh arah dari timur dengan persentase kejadian sekitar 38%, diikuti dari arah timur laut (sekitar 23%) dan dari barat daya (sekitar 22%) (Gambar 14b).

Gambar 14. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim timur berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim timur di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten.

Musim peralihan dari musim timur ke musim barat (pancaroba II) terjadi pada bulan September sampai November. Pola sebaran angin pada musim ini di perairan Barat dan Utara Jawa pada musim ini berubah-ubah. Pada bulan September angin masih bertiup ke arah barat dan barat laut dan kecepatannya melemah dari bulan sebelumnya (Agustus). Arah dan kecepatan yang pada bulan

Juni Juli

Agustus (a)

(a)

(10)

Oktober relatif sama dengan bulan September. Pada bulan November terjadi perubahan arah tiupan angin yaitu menuju ke timur dengan kecepatan yang lebih rendah (Gambar 15a). Kecepatan angin berkisar antara 0,5– ≥8,8 m/s didominasi pada kisaran 2,1–3,6 m/s yang mencapai 40,4%. Sama halnya dengan musim peralihan I, pada musim peralihan II arah dan kecepatan angin sangat bervariasi pada 8 arah angin. Arah datang angin bervariasi namun arah dari tenggara di wilayah studi memiliki persentase kejadian tertinggi sekitar 19%, diikuti dari arah timur sekitar 17% dan dari arah selatan, barat daya dan timur laut masing-masing sekitar 15% (Gambar 15b).

Gambar 15. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 2 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten. September Oktober November (a) (a) (a) (b)

(11)

Gambar 16 menyajikan persentase arah dan kecepatan angin di lokasi pengamatan (perairan Pulau Panjang, Banten) selama 10 tahun. Arah angin dominan bergerak dari barat menuju timur (angin barat) dengan persentase kecepatan tertinggi adalah 2,1 m/s–5,7 m/s sebesar 66,2% . Dengan demikian, abu terbang dari aktivitas PLTU-batubara Suralaya memiliki peluang didistribusikan ke perairan Pulau Panjang yang berada di bagian timur PLTU dan mengkontaminasi perairan tersebut. Hal tersebut juga dikuatkan dengan hasil penelitian ANDAL PLTU Suralaya 2007 yang menunjukkan bahwa Kecamatan Pulo Ampel, Banten merupakan daerah paparan abu cukup luas, yaitu sebesara 45% dari luas wilayah, dimana diketahui bahwa Pulau Panjang juga merupakan bagian dari Kecamatan Pulo Ampel, Banten.

Gambar 16. Persentase arah dan kecepatan angin di perairan Pulau Panjang, Banten, selama 10 tahun (Januari 2000-Desember 2009)

4.1.4 Lokasi pembanding

Lokasi pengambilan contoh sebagai pembanding adalah perairan Teluk Lada, Kampung Kemuning, Citeureup, Pandeglang, Banten (105o38’40,4”E; 6o38’53,2”S) (Lampiran 4). Lokasi pembanding berdekatan dengan PLTU- batubara Labuan dengan jarak sekitar 12 km. PLTU-batubara Labuan memiliki 2 unit dengan kapasitas 600 MW dan baru memulai operasi pada 15 November

(12)

2009, serta diresmikan oleh Presiden RI pada 28 Januari 2010. Perairan di Teluk Lada dimanfaatkan penduduk sekitar untuk perikanan tangkap (diantaranya ikan teri dan kerang darah) dan sangat jarang ditemukan aktivitas budidaya rumput laut, namun banyak terdapat lokasi wisata.

4. 2 PLTU-Batubara Suralaya

PLTU Suralaya terletak di Desa Suralaya, Merak, Kota Cilegon, Propinsi Banten, berjarak 7 km ke arah utara dari Pelabuhan Penyeberangan Merak dan sekitar 12 km dari Pulau Panjang, Banten (Gambar 8). Luas lahan yang digunakan untuk membangun PLTU Suralaya berikut sarana dan fasilitas penunjang lainnya adalah 240,65 hektar. Sumber daya yang dikelola (kapasitas) dari PLTU Suralaya adalah 3.400 MW yang dihasilkan oleh 7 unitnya (unit 1-4 sebesar 1.600 MW dan unit 5-7 sebesar 1.800 MW). Sumber daya yang dihasilkan berfungsi untuk menyediakan energi listrik sebesar 40% dari kebutuhan energi listrik se Jawa–Bali dari seluruh kapasitas pembangkit listrik lainnya (PT Indonesia Power 2011). PLTU Suralaya didesain untuk batubara yang mempunyai kekerasan rendah (lunak) (Sukandarrumidai 2009).

4.2.1 Transportasi bahan bakar

Bahan bakar utama yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya adalah low rank coal yang berasal dari Bukit Asam, Sumatera Selatan. Pengangkutan batubara dilakukan dengan menggunakan jalan darat (Tanjung Enim-Tarahan) dan menggunakan kapal laut (Tarahan-Suralaya). Selain batubara, bahan bakar minyak juga digunakan untuk UBP Suralaya khususnya unit 1-4 (PT Indonesia Power 2010).

Sebagai sarana untuk bongkar muat batubara dan bahan bakar minyak telah dibuat dua darmaga yang terpisah. Darmaga batubara dilengkapi dengan hopper dan belt conveyor untuk membawa batubara dengan kapasitas 4.000 ton/jam (2

belt) ke tempat penampungan batubara. Batubara dari tempat penampungan

batubara dibawa ke under ground belt conveyor dengan bulldozer dan dari stocker

reclaimer dengan menggunakan ban berjalan kapasitas 2.000 ton/jam, lalu

(13)

dengan menggunakan coal feeder untuk digiling menjadi serbuk halus (lebih kurang 70% lolos ayakan 200 mesh). Serbuk batubara yang halus dibakar dalam ruang bakar (burner) dengan tekanan udara panas (PT Indonesia Power 2010).

4.2.2 Boiler dan turbin

Bahan baku air ketel (boiler) berasal dari laut yang diolah menjadi air tawar dengan menggunakan instalasi desalinasi. Air produk desalinasi sebelum dialirkan ke ketel uap diolah dahulu di water treatment plant. Pada proses pembuatan uap, diperlukan batubara sekitar 170 ton/jam/unit untuk Unit 1-4, sedangkan untuk Unit 5-7 memerlukan batubara sebanyak 255 ton/jam/unit, sehingga menghasilkan uap kering sejumlah 1.200 ton/jam/unit dengan temperatur sekitar 538oC dan tekanan 169 kg/cm2. Uap tersebut dimasukkan ke turbin sebagai pemutar poros, dan selanjutnya poros turbin disambung langsung dengan poros generator, sehingga menghasilkan daya listrik. Air kondensat yang dihasilkan dapat digunakan kembali sebagai air ketel (PT Indonesia Power 2010). Pendingin kondensor digunakan air laut secara langsung sedangkan pendingin peralatan mekanik menggunakan air laut tidak secara langsung. Diperlukan air laut sekitar 57.700 m3/jam/unit untuk keperluan pendinginan. Beberapa hal yang dilakukan dalam proses pendinginan yaitu pemasangan saringan, menginjeksikan Chlor dengan kadar 1 ppm dan pembuatan saluran terbuka sepanjang 1,5 km agar temperatur air buangan tidak terlalu banyak berbeda dengan temperatur ambien air laut (PT Indonesia Power 2010).

4.2.3 Emisi abu hasil pembakaran batubara

Proses pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat berupa abu (abu dasar/botom ash dan abu terbang/fly ash), ampas (slag) dan pirit (pyrities). Banyaknya ampas yang dihasilkan dapat mencapai 5,07 ton/jam. Ampas dipindahkan dari bawah tungku pembakar kemudian dihancurkan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Setelah melalui beberapa proses ampas diangkut dengan truk ke tempat pembuangan abu (PT Indonesia Power 2007).

(14)

Kandungan abu hasil pembakaran batubara sekitar 10% dari volume batubara yang terpisah menjadi abu dasar (20%) dan abu terbang (80%) yang akan keluar melalui cerobong asap. Alat pengendali lingkungan PLTU Suralaya terkait abu tersebut berupa cerobong asap setinggi 200 meter (Unit 1-4) dan 275 meter (Unit 5-7) dan diameter 6,5 meter. Cerobong dipasang Electrostatic Precipitator (EP) yang berfungsi untuk menyaring/menahan abu hasil pembakaran batubara sebelum diemisikan ke udara terbuka (ambien) dengan efisiensi 99,5% (PT Indonesia Power 2007).

Bila diketahui diameter cerobong asap 6,5 m, kecepatan udara di dalam cerobong 20 m/s maka laju alir udara (Q) adalah 663,4 m3/s. Kandungan abu terbang sebesar 8%, maka laju emisi gas buangan dari cerobong asap:

= × ... (13) = 8 × 10 × 255

= 20.499 = 2585,5

= ( ) ... (14) = , , = 3,8973 = 3897,3

Jika efisiensi electrostatic precipitator sebesar 99,5% maka abu/debu yang diemisikan ke udara terbuka sebesar 19,4865 mg/m3 tiap jam (sedangkan PLTU beroperasi 24 jam per hari). Nilai emisi tersebut berada di bawah baku mutu emisi yang diizinkan sebesar 150 mg/m3 (SK Men LH No.13/95). Gas SO2, NO2 dan debu yang teremisi dari cerobong asap akan menyebar di atmosfer (udara ambien) tergantung dari arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, tinggi cerobong dan tinggi kepulan asap (plume rise) (PT Indonesia Power 2007).

4.3 Kualitas Perairan Pesisir Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten 4.3.1 Salinitas, pH, suhu, DO dan TSS

Kegiatan riset yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010 menunjukkan bahwa parameter perairan seperti salinitas, pH, suhu dan padatan tersuspensi total (TSS)

(15)

umumnya berada dalam kondisi alami untuk perairan pesisir di Indonesia. Pengukuran di perairan Pulau Panjang dilakukan pada jam 11-13 WIB sedangkan lokasi pembanding pada jam 15 WIB. Kedalaman perairan lokasi studi yaitu 10 meter pada Stasiun 1, 12 meter pada Stasiun 2, 7 meter pada Stasiun 3 dan 3 meter pada Stasiun pembanding. Nilai kualitas perairan dapat dilihat pada Gambar 17 sampai 21 dan Lampiran 19.

Gambar 17 menyajikan nilai kadar garam atau salinitas pada tiap stasiun pengamatan. Salinitas perairan Pulau Panjang, Banten relatif konstan dengan kisaran 30,2‰–30,7‰ (rata-rata 30,4‰) sedangkan lokasi pembanding 27‰. Lokasi pengamatan berada di pesisir laut sehingga memiliki kisaran salinitas air laut (>17‰). Lokasi stasiun pembanding berdekatan dengan sungai yang bermuara (Sungai Ci Jedang) sehingga menurunkan nilai salintias karena masukkan air tawar.

S ta s iu n S t. 1 S t. 2 S t. 3 S t. k o n t r o l Salini tas ( o / oo ) 0 .0 5 .0 1 0 . 0 1 5 . 0 2 0 . 0 2 5 . 0 3 0 . 0 3 5 . 0 3 0 .2 3 0 .3 3 0 .7 2 7 .0

Gambar 17. Nilai salinitas (‰) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 Gambar 18 menyajikan nilai derajat keasaman (pH) di lokasi studi. pH perairan Pulau Panjang, Banten dan pembanding adalah bersifat alkali (basa) berkisar antara 7,56-8,33 (rata-rata 8,01) dan 7,91 di lokasi pembanding. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2007). pH sangat mempengaruhi kelarutan ion logam maupun zat radioaktif dalam perairan, dimana kelarutannya akan tinggi pada pH rendah. Perairan yang bersifat basa dan netral cenderung memiliki produktifitas lebih tinggi daripada yang bersifat asam. Penurunan nilai pH dapat disebabkan oleh penambahan pengotoran perairan yang terus-menerus baik yang berasal dari limbah domestik dan industri.

Salinitas alami air laut >17‰ (Valikangas in Nontji 1987)

St. 4 (pembanding)

(16)

S t a s i u n S t . 1 S t . 2 S t . 3 S t . k o n t r o l pH 0 . 0 0 2 . 0 0 4 . 0 0 6 . 0 0 8 . 0 0 1 0 . 0 0 8 . 1 5 8 . 3 3 7 . 5 6 7 . 9 1

Gambar 18. Nilai pH pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010

Gambar 19 menyajikan nilai suhu (oC) pada lokasi pengamatan. Suhu perairan Pulau Panjang, Banten berkisar antara 29,5 oC-30,1 oC (rata-rata 29,8 oC) dan 31oC di lokasi pembanding. Suhu perairan wilayah Indonesia dikategorikan pada perairan relatif hangat karena terkait dengan kondisi geografis yang berada di daerah tropis. Suhu air permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 28-31 o

C (Nontji, 1987). Berdasarkan uraian di atas, hasil pengamatan suhu di lokasi pengamatan masih dalam kondisi normal. Peningkatan suhu perairan cenderung menaikkan akumulasi dan toksisitas dari logam berat dan zat radioaktif, hal ini terjadi akibat meningkatnya laju metabolisme dari organisme akuatik.

Stasiun St. 1 St. 2 St. 3 St. kontrol S uhu ( oC) 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 30.1 29.8 29.5 31.0

Gambar 19. Nilai suhu perairan (oC) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010

Baku mutu 7-8,5 (Kepmen LH No. 51 Th. 2004) St. 4 (pembanding) St. 4 (pembanding)

Alami atau berkisar 28-31oC (Nontji 1987)

(17)

1 2 3 4 (pembanding) D O ( m g /l) 0 1 2 3 4 5 6 Stasiun 2,23 1,68 0,72

Kadar oksigen terlarut (DO) perairan Pulau Panjang berkisar antara 0,72 mg/l-2,23 mg/l. Dengan DO terendah pada Stasiun 3 dan tertinggi pada Stasiun 1 (Gambar 20). Kadar DO minimum peruntukan kehidupan organisme akuatik 5,0-9,0 mg/l (Kanada, 1992 in Effendi, 2007). Pada Stasiun 1, 2 dan 3 kadar oksigen terlarutnya kurang dari 5 mg/l, namun ikan masih dapat bertahan hidup dengan kisaran oksigen terlarut 1,0 mg/l-5,0 mg/l walaupun ada potensi terganggu pertumbuhannya.

Gambar 20. Nilai DO (mg/l) perairan pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010

Total Suspended Solid (TSS) di perairan Pulau Panjang berkisar antara 15,2

mg/l-17,2 mg/l (rata-rata 16,2 mg/l) dan pada lokasi pembanding 19,7 mg/l (Gambar 21). Dari nilai tersebut dapat disebutkan bahwa perairan tersebut masih layak untuk kehidupan organisme akuatik. Kadar TSS peruntukkan kehidupan organisme akuatik adalah 25 mg/l (European Community, 1992 in Effendi, 2007). Faktor kedalaman ikut mempengaruhi proses resuspensi, dimana pada perairan dangkal memungkinkan terjadinya resuspensi yang lebih tinggi karena pengaruh pengadukan arus. Resuspensi mengakibatkan bertambahnya kandungan TSS di kolom perairan. Selain itu, lokasi yang lebih dekat dengan daratan di wilayah pesisir juga pada umunya memiliki kandungan TSS yang tinggi. Pada stasiun yang lebih dangkal memiliki nilai TSS yang tinggi (stasiun pembanding). Stasiun 3 di perairan Pulau Panjang, Banten memiliki nilai TSS tertinggi diduga karena

Baku Mutu ≥5 mg/l

(18)

lokasi berada pada daerah yang memiliki gelombang yang relatif lebih tinggi dan kedalaman yang lebih dangkal. Kondisi pasut ikut mempengaruhi nilai TSS. Kondisi perairan dalam keadaan pasang menyebabkan massa air di daerah pesisir diencerkan oleh massa air laut yang datang, sehingga konsentrasi TSS yang terukur lebih kecil.

Zat padat tersuspensi mempengaruhi keberadaan radionuklida alam dalam kolom perairan, dimana semakin banyak zat padat tersuspensi maka semakin luas permukaan partikel dalam mengadsorbsi ion-ion radionuklida alam dalam kolom perairan sehingga konsentrasi radionuklida primordial terlarut dalam air laut berkurang. Radionuklida yang teradsorpsi zat padat tersuspensi tersebut kemudian dideposisikan ke sedimen perairan sehingga konsentrasinya meningkat di sedimen. S ta s iu n 1 2 3 4 (p e m b a n d in g ) T SS (m g /l) 0 2 0 8 0 1 6 ,2 1 5 ,2 1 7 ,2 1 9 ,7

Gambar 21. Nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010

4.3.2 Tekstur dan bahan organik total sedimen

Tipe sedimen dilokasi pengamatan adalah pasir berlanau (Stasiun 1 dan 2) dan pasir (Stasiun 3 dan pembanding) (Gambar 22 dan Lampiran 11). Penamaan jenis sedimen berdasarkan diagram Shepard. Fraksi pasir mendominasi pada Stasiun 3 dan pembanding (>90%). Seluruh stasiun pengamatan berada di daerah pesisir/pantai sehingga tipe sedimennya didominasi fraksi pasir, karena adanya pengaruh arus di daerah pantai, dimana partikel berukuran lebih kecil akan terbawa kembali oleh arus ke daerah laut sedangkan partikel berukuran lebih besar

Baku Mutu ≤80 mg/l

(19)

Stasiun St. 1 St. 2 St. 3 St. kontrol T e ks tu r s e d im en ( %) 0 20 40 60 80 100 sand silt clay

akan terendapkan di daerah pantai. Daerah pantai tergolong dalam High Energy

Environment (HEE).

Jenis sedimen (substrat dasar perairan) dapat menjadi faktor pembatas bagi penyebaran organisme bentik karena jenis sedimen berhubungan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan unsur hara dalam sedimen. Fraksi liat/lempung mampu mengikat 226Ra dan 232Th 5 kali lebih tinggi dibandingkan fraksi pasir dan lanau (UNSCEAR 1993).

Gambar 22. Sebaran rata-rata fraksi sedimen pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010

Kandungan bahan organik total (TOM) dalam sedimen yang terukur di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 23. TOM dalam sedimen berkaitan erat dengan jenis sedimen. Semakin halus fraksi sedimen, kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik semakin besar. Bahan organik berkaitan erat dengan unsur hara. Bahan organik tinggi berarti unsur hara tinggi juga. Pada sedimen berpasir umumnya miskin zat hara dan begitu sebaliknya substrat yang lebih halus kaya akan unsur hara. Sedimen dengan fraksi pasir mendominasi biasanya berada pada wilayah dengan kekuatan energi gelombang dan arus lebih besar (high energy environment) sehingga mencuci bahan organik dan polutan lain dalam sedimen.

Stasiun-stasiun yang memiliki kandungan TOM rendah seperti Stasiun 3 dan kontrol dicirikan pada wilayah dengan tipe sedimen yang didominasi oleh pasir. Stasiun 1 dan 2 yang memiliki kandungan lanau dan lempung lebih tinggi

St. 4 (pembanding)

(20)

memiliki kandungan TOM yang lebih tinggi. Sedimen yang mengandung jumlah mineral lempung (clay) dan bahan organik tinggi akan cenderung mengakumulasi logam berat maupun radionuklida primordial lebih tinggi, karena senyawa-senyawa tersebut memiliki sifat mengikat logam berat dan radionuklida alam.

Stasiun S t. 1 S t. 2 S t. 3 S t. kontrol T O M ( %) 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 12 .6 0 1 5.6 5 7.9 3 6 .56

Gambar 23. Kandungan TOM (%) dalam sedimen pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010

4.4 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Air dan Sedimen 4.4.1 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam air

Konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th pada kolom air perairan Pulau Panjang maupun lokasi pembanding diukur baik total maupun yang terlarut. Konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th teradsorpsi pada partikel tersuspensi dapat dihitung secara matematis dengan cara mengurangi konsentrasi total dengan terlarut (Lampiran 19).

Konsentrasi radionuklida 238U baik total, teradsorpsi materi tersuspensi dan terlarut pada lokasi pengamatan tidak terdeteksi atau dibawah batas deteksi alat yaitu sebesar 0,1749 Bq/l (Lampiran 9). Konsentrasi 232Th (total, teradsorpsi materi tersuspensi dan terlarut) pada lokasi penelitian disajikan oleh Gambar 24. Konsentrasi 232Th total dalam air berkisar antara 0,0790–0,1299 Bq/l dengan rata-rata 0,1103 Bq/l, lebih tinggi daripada lokasi pembanding (0,0671 Bq/l), dengan konsentrasi tertinggi pada Stasiun 1. Konsentras 232Th tersuspensi berkisar antara 0,0167–0,0433 Bq/l dengan rata-rata 0,0290 Bq/l, lebih rendah daripada lokasi pembanding (0,0338 Bq/l), dengan konsentrasi tertinggi pada Stasiun 1.

St. 4 (pembanding)

(21)

Konsentras 232Th terlarut dalam air berkisar antara 0,0623–0,0951 Bq/l dengan rata-rata 0,0813 Bq/l, lebih tinggi daripada lokasi pembanding (0,0333 Bq/l), dengan konsentrasi tertinggi pada Stasiun 2.

Konsentrasi radionuklida alam di dalam air laut suatu perairan dipengaruhi beberapa parameter fisika kimia sperti pH, salinitas, suhu dan TSS maupun sumber polutan tersebut. Secara umum, konsentrasi 232Th (total, terlarut dan tersuspensi) di perairan Pulau Panjang tertinggi berada pada Stasiun 1 dan 2 hal ini diduga karena kedua lokasi tersebut jaraknya lebih dekat dengan PLTU Suralaya dan merupakan jalur pelayaran kapal tongkang pengangkut batubara dari

Stockpile batubara yang menjadi sumber polutan radionuklida alam. Gambar 24

menunjukkan bahwa konsentrasi total 232Th dalam air laut di lokasi pembanding lebih kecil daripada perairan Pulau Panjang, hal tersebut berkaitan dengan lebih kecilnya konsentrasi sumber polutan yang diduga berasal dari aktivitas PLTU-batubara Labuan (operasi dan pengangkutan bahan bakar PLTU-batubara dengan kapal tongkang) yang memiliki jumlah unit lebih sedikit (2 unit) dan baru beroperasi sekitar 1 tahun. S tasiu n 1 2 3 4 (p e m b a n d in g ) K o n s e n tr a s i 2 32 T h (B q /l) 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 0 .2 0 2 3 2 T h to ta l 2 3 2 T h p a d a T S S 2 3 2 T h te rla ru t

Gambar 24. Konsentrasi 232Th (Bq/l) total, tersuspensi dan terlarut dalam air laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010

(22)

Nilai kapasitas adsorpsi (KA) dan dissolved transport indice (DTI) dari 232Th dalam sistem akuatik dapat menggambarkan tingkat adsorpsi 32Th oleh materi tersuspensi maupun tingkat kelarutannya (Tabel 9). KA dan DTI dapat menjelaskan fate dari radionuklida alam dimana semakin tinggi nilai DTI maka radionuklida tersebut makin besar dalam jumlah terlarut sehingga dapat memiliki nilai toksisitas yang lebih tinggi dan tersedia secara biologi (bioavailibilty) bagi organisme akuatik. Sebaliknya, semakin tinggi nilai KA berarti radionuklida tersebut banyak yang teradsorpsi oleh materi tersuspensi (baik partikel inorganik (clay mineral) maupun partikel organik (fitoplankton, bakteri, virus dan debris)) sehingga mengurangi konsentrasi bentuk terlarutnya. Materi tersuspensi mengalami agregasi sehingga kemudian dengan adanya gaya gravitasi akan dideposit dan diakumulasi dalam sedimen (dasar perairan) sehingga konsentrasinya tinggi di sedimen. Proses adsorpsi ini dikenal dengan fenomena

scavenging (Chester 1990; Libes 1992).

Menurut Chester (1990) bahwa elemen kimia U dan Th memiliki nilai DTI 1-10%. Tingginya nilai DTI pada lokasi pengamatan dikarenakan rendahnya konsentrasi TSS sehingga sebagian besar 232Th berada dalam bentuk terlarut. TSS terdiri dari bahan organik dan inorganik. Bahan organik dalam TSS berperan dalam melakukan ikatan dengan radionuklida atau logam berat (organic ligands

bond), sehingga persentase bahan organik dalam TSS berpengaruh terhadap

fenomena adsorpsi terhadap elemen kimia terlarut. Semakin rendah nilai pH (cenderung asam) maka semakin tinggi radionuklida terlarutnya. Stasiun 3 di Perairan Pulau Panjang, Banten memiliki nilai DTI (%) paling tinggi karena memiliki pH paling rendah. Nilai KA (%) yang besar pada Stasiun 4 (pembanding) terkait dengan konsentrasi TSS yang lebih tinggi pada stasiun tersebut.

Tabel 9. Nilai dissolved transport indice (DTI) dan kapasitas adsorpsi (KA) dari 232Th di lokasi pengamatan pada Juni-Juli 2010

Stasiun DTI (%) KA (%)

1 66,6963 33,3037

2 77,9437 22,0563

3 78,8519 21,1481

(23)

Baku mutu yang dikeluarkan oleh Dirjen Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) No. 293/Dj/VII/1995 tentang radioaktivitas di lingkungan, ditetapkan bahwa ambang batas yang direkomendasikan untuk 238U adalah 104 Bq/l baik sebagai senyawa larut maupun tidak larut dan untuk 232Th adalah 700 Bq/l sebagai senyawa larut dan 10000 Bq/l sebagai senyawa tidak larut (BATAN 1995). Konsentrasi 238U dan 232Th di perairan Pulau Panjang, Banten dan lokasi pembanding masih di bawah ambang batas. Konsentrasi total 238U dan 232Th dalam air laut lokasi pengamatan masih berada dalam kisaran konsentrasi alami dalam air laut di dunia menurut Michael 1994. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut di beberapa perairan Indonesia di sajikan pada Tabel 10 sebagai perbandingan.

Tabel 10. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia

Sumber Lokasi Unit 238U 232Th

Mellawati, 2004

Perairan Pesisir Gresik, Jawa Timur

(kawasan industri fosfat) Bq/l

0,0001 - 0,0877

0,0002 - 0,0401

Arief, 2006

Perairan Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kawasan

Tambang Batubara) Bq/l ttd-0,9220 ttd-6,7810 Susenao dan Umbara, 2006

Semenanjung Muria, Jepara

(Kawasan PLTU Tanjung Jati) Bq/l -

9,0800 ± 1,44 Sabam, 2011

(hasil penelitian)

Pulau Panjang, Banten (Kawasan

PLTU Suralaya) Bq/l ttd

0,0790 – 0,1299 Michael 1994 Kisaran alami rata-rata di dunia Bq/l

0,0230 - 0,0580

0,0012 -2,0000 ttd : tidak terdeteksi (detection limit 238U: 0,1749 Bq/l)

4.4.2 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen

Gambar 25 dan Lampiran 19 menyajikan profil sebaran konsentrasi 238U dan 232

Th total dalam sedimen pada lokasi pengamatan. Konsentrasi radionuklida alam 238U total dalam sedimen berkisar antara 18,6160-35,0013 Bq/kg berat kering sampel (dray wight) dengan rata-rata 29,5195 Bq/kg, nilai ini lebih tinggi daripada di lokasi pembanding (10,4253 Bq/kg). Konsentrasi radionuklida alam 232

Th total dalam sedimen berkisar antara 11,2502–35,6685 Bq/kg dengan rata-rata 22,7929 Bq/kg dan nilai konsentrasi ini lebih tinggi daripada di lokasi

(24)

Stasiun 1 2 3 Kontrol A k ti v it a s U -2 3 8 ( B q /k g D W) 0 10 20 30 40 Stasiun 1 2 3 Kontrol A k ti v it a s T h o ri u m -2 32 ( B q /k g D W) 0 10 20 30 40

pembanding (16,5952 Bq/kg). Secara umum, rata-rata konsentrasi total 238U lebih besar daripada 232Th dalam sedimen lokasi pengamatan. Radionuklida alam 238U dan 232Th memiliki kerapatan jenis (densitas) relatif besar berturut-turut yaitu 19,5 g/cm3 dan 11,7 g/cm3, sehingga ion-ion 238U dan 232Th berpotensi membentuk senyawa tidak larut dan akan berada pada fase padat, kemudian terdeposit di sedimen (Lof 1987 in Mellawati 2004).

Gambar 25. Konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) total dalam sedimen pada lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010

Secara umum, sedimen pada Stasiun 1 dan 2 memiliki konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th total relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 3 (kecuali pada 238U) dan stasiun 4 (lokasi pembanding). Hal ini diduga lokasi tersebut lebih dekat dengan PLTU-batubara juga merupakan jalur kapal tongkang pengangkut batubara yang berpotensi melepas polutan 238U dan 232Th. Konsentrasi 238U dan 232Th juga dipengaruhi oleh karakteristik fisika kimia sedimen diantaranya tekstur sedimen dan bahan oragnik total (TOM). Terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik yaitu pada sedimen bertekstur halus, persentase bahan organiknya lebih tinggi dari pada sedimen kasar. Bahan organik tinggi akan cenderung mengakumulasi logam berat maupun radionuklida alam lebih tinggi, karena senyawa-senyawa tersebut memiliki sifat mengikat logam berat dan radionuklida alam. Stasiun 1 dan 2 memiliki persentase ukuran butir sedimen lanau dan lempung lebih tinggi dan kandungan TOM yang lebih tinggi, sedangkan Stasiun 3 dan 4 (lokasi

4

(25)

pembanding) tipe sedimennya berpasir dan kandungan TOM nya lebih rendah, sehingga Stasiun 1 dan 2 memiliki konsentrasi 238U dan 232Th total dalam sedimen cenderung lebih tinggi. Logam berat dan radionuklida alam memiliki konsentrasi yang lebih besar pada fraksi sedimen yang lebih kecil/halus dibanding fraksi yang lebih besar (Aleksander et al. 2001; Randle dan Jundi 2001).

Tekstur sedimen dan TOM berhubungan dengan kondisi energi lingkungan perairan. Perairan dengan energi rendah (tenang) memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen lumpur (sedimen fraksi halus) yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Perairan yang berenergi tinggi pada umumya memiliki sedimen yang kasar dan kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang lebih halus dan bahan organik tercuci oleh arus dan gelombang. Stasiun 3 berada pada posisi yang lebih terbuka di Pulau Panjang, Banten sehingga terkena gelombang dan arus yang lebih kuat yang berasal dari Laut Jawa.

Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia disajikan pada Tabel 11 sebagai perbandingan. Konsentrasi 238U dan 232Th tersebut masih berada dalam kisaran konsentrasi alami total dalam sedimen laut di dunia menurut Michael 1994.

Tabel 11. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia

Sumber Lokasi Unit 238U 232Th

Mellawati, 2004

Perairan Pesisir Gresik, Jawa Timur

(kawasan industri fosfat) Bq/kg

11,4200-741,8700

20,2700-881,1800

Arief, 2006

Perairan Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kawasan

Tambang Batubara) Bq/kg 2,1500-43,1200 5,2400-31,7100 Susenao dan Umbara, 2006

Semenanjung Muria, Jepara

(Kawasan PLTU Tanjung Jati) Bq/kg -

192,6700± 22,35 Sabam, 2011

(hasil penelitian)

Pulau Panjang, Banten (Kawasan

PLTU Suralaya) Bq/kg

18,6160- 35,0013

11,2502- 35,6685 Michael, 1994 Kisaran alami rata-rata di dunia Bq/kg 10 – 50 7 – 50

4.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Rumput Laut

Hasil identifikasi rumput laut dari perairan Pulau Panjang, Banten dan lokasi pembanding, baik yang alami maupun yang dibudidaya oleh penduduk setempat

(26)

telah ditemukan lima jenis (Tabel 12 dan Lampiran 18). Rumput laut budidaya yaitu Eucheuma alvarezii (Doty)/Kappaphycus alvarezii (Doty) dikenal masyarakat dengan nama Cottoni. Contoh rumput laut budidaya memiliki usia tanam ±2 minggu saat dilakukan sampling dan umumnya dipanen pada umur tanaman 4 minggu. Rumput laut alami diduga berusia lebih tua karena dibiarkan tumbuh tanpa dipanen oleh masyarakat setempat. Usia sampel berkaitan dengan lama penyerapan dan bioakumulasi radionuklida alam oleh rumput laut tersebut. Tabel 12. Rumput laut yang ditemukan di lokasi pengamatan

Stasiun Jenis rumput laut Keterangan

1 Eucheuma alvarezii (Doty) Budidaya

2 Eucheuma alvarezii (Doty) Budidaya

Sargassum duplicatum Alami

Gracilaria salicornia Alami

3 Eucheuma alvarezii (Doty) Budidaya

Sargassum duplicatum Alami

Gracilaria salicornia Alami

Padina australis Alami

Ulva lactuca Alami

4 (pembanding) Eucheuma alvarezii (Doty) Budidaya

Sargassum duplicatum Alami

Gambar 26 dan Lampiran 19 menyajikan konsentrasi 238U dalam rumput laut di lokasi pengamatan. Konsentrasi 238U dalam rumput laut budidaya Eucheuma

alvarezii (Doty) yang disampling dari semua stasiun pengamatan menunjukkan

nilai yang berada di bawah batas deteksi alat sebesar 5,3984 Bq/kg (Lampiran 9). Hal ini diduga disebabkan karena konsentrasi 238U terlarut dalam air laut relatif kecil (<0,1749 Bq/l) dan waktu pemaparan yang lebih pendek (karena usia tanam rumput laut budidaya lebih pendek). Konsentrasi rata-rata 238U dalam rumput laut alami di perairan Pulau Panjang, Banten lebih tinggi pada Ulva lactuca (algae hijau), kemudian berturut-turut Sargassum duplicatum (algae coklat), Padina

australis (algae coklat) dan Gracilaria salicornia (algae merah). Rumput laut

alami ditemukan menempel pada substrat dasar (sedimen), sehingga selain menyerap radionuklida alam dari kolom air juga dari sedimen melalui akar.

(27)

S ta s iu n 1 2 3 K o n tro l Aktiv itas U -2 3 8 ( B q/k g D W) 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 E u c h e u m a a lv a re z ii ( D o ty ) S a r g a s s u m d u p lic a tu m G ra c ila ria s a lic o rn ia P a d in a a u s tr a lis U lv a la c tu c a

4 (pembanding)

Gambar 26. Konsentrasi 238U (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010

Gambar 27 dan Lampiran 19 menyajikan konsentrasi 232Th dalam rumput laut di lokasi pengamatan. Konsentrasi 232Th dalam rumput laut budidaya Eucheuma

alvarezii (Doty) berkisar antara 3,6735-4,8347 Bq/kg dengan rata-rata 4,1247

Bq/kg (lebih tinggi daripada lokasi pembanding 2,3005 Bq/kg). Konsentrasi rata-rata 232Th dalam rumput laut alami berturut-turut tertinggi pada Ulva lactuca (9,0788 Bq/kg) kemudian Padina australis 4,8386 Bq/kg, Sargassum duplicatum (4,4079 Bq/kg) dan Gracilaria salicornia (4,2721 Bq/kg).

Gambar 27 menunjukkan bahwa secara statistik konsentrasi 232Th rumput laut alami dan budidaya tidak berbeda (relatif sama), kecuali untuk jenis Ulva lactuca. Hal ini dikarenakan rumput laut budidaya hidup terapung di permukaan kolom perairan, sehingga selain menyerap radionuklida alam dari kolom air juga dapat mengadsorpsi radionuklida alam yang jatuh dari atmosfer di permukaan tubuhnya. Rumput laut alami hidup menempel pada substrat dasar (sedimen) perairan, sehingga selain menyerap radionuklida alam dari kolom air juga dari sedimen melalui akar. Usia tanam contoh rumput laut budidaya relatif pendek yaitu ±2 minggu dan rumput laut alami diduga memiliki usia tanam yang lebih panjang. Dengan waktu pemaparan yang lebih pendek konsentrasi rumput laut budidaya tidak berbeda dengan rumput laut alami sehingga dapat dikatakan rumput laut

(28)

Stasiu n 1 2 3 K ontrol A k ti v it a s T h -232 ( B q /k g) 0 2 4 6 8 10 E ucheu m a alvarezii

S arga ssum duplicatum G racilaria salicornia P adina australis U lva lactuca

alami jenis Eucheuma alvarezii (Doty) memiliki laju penyerapan/akumulasi 232Th lebih baik.

Secara umum, konsentrasi 232Th dalam rumput laut baik budidaya tertinggi ditemukan di Stasiun 1 dan terendah di Stasiun 4 (pembanding), dimana profil tersebut sesuai dengan profil konsentrasi 232Th dalam air laut, sehingga rumput laut dapat dikatakan baik digunakan sebagai biomonitor keberadaan radionuklida alam yang konsentrasinya sangat rendah di kolom air (Goddard dan Jupp 2001; Strezov dan Nonova 2009).

Gambar 27. Konsentrasi 232Th (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010

Tabel 13 menunjukkan faktor konsentrasi berbagai jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan terhadap radionuklida alam 238U dan 232Th. Faktor konsentrasi menggambarkan konsentrasi 232Th dalam tubuh organisme relatif terhadap konsentrasi dalam unit volume air laut terlarut dan unit total sedimen, sehingga dapat menunjukkan kemampuan jenis rumput laut tertentu dalam menyerap elemen kimia (radionuklida alam) terlarut di kolom air dan dalam sedimen ke dalam tubuhnya. Hasil yang ditunjukkan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Goddard dan Jupp (2001) bahwa rumput laut algae hijau (Ulva lactuca) mengakumulasi radionuklida alam lebih tinggi daripada algae

4 (pembanding)

(29)

varietas coklat. Strezov dan Nonova (2009) menyimpulkan bahwa rumput laut algae hijau (Ulva lactuca) mengakumulasi radionuklida alam tiga kali lebih tinggi daripada contoh algae lain di Laut Hitam. Ulva lactuca mengakumulasi radionuklida alam lebih tinggi dikarenakan bentuk tubuhnya yang seperti daun lebar dan lebih tipis sehingga memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk menyerap radionuklida alam dalam kolom air, selain itu juga hidup menempel pada sedimen sehingga juga memperoleh radionuklida alam dari sedimen melalui akar.

Konsentrasi rata-rata 238U (18,5624 Bq/kg) lebih besar daripada 232Th (4,8501 Bq/kg) dalam rumput laut alami. Faktor konsentrasi 238U pada jenis-jenis rumput laut alami di lokasi pengamatan lebih tinggi daripada 232Th, sehingga 238U diakumulasi dengan tingkat yang lebih tinggi daripada 232Th pada rumput laut alami.

Tabel 13. Rata-rata faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010

Rumput laut 238 Faktor konsentrasi

U 232Th Algae merah: Gracilaria salicornia 0,1397 0,1221 Algae coklat: Sargassum duplicatum 0,9719 0,1695 Padina australis 0,4622 0,1385 Algae hijau: Ulva lactuca 1,3750 0,2598

4.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Biota (Ikan Teri Genus Stolephorus dan Kerang Genus Codakia)

Konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) dalam tubuh ikan teri dan kerang serta nilai faktor konsentrasinya (FK) di perairan Pulau Panjang, Banten ditunjukkan pada Tabel 14. Sampel ikan teri yang diteliti adalah Genus Stolephorus dari Famili Engraulidae, atau yang lebih dikenal sebagai ikan teri nasi. Sampel ikan teri diperoleh pada perairan Pulau Panjang hanya di Stasiun 1. Sampel kerang adalah dari Genus Codakia dan diambil hanya dari stasiun 3 di perairan Pulau Panjang, Banten.

(30)

Konsentrasi 238U dalam tubuh ikan teri berada di bawah batas deteksi alat (5,3984 Bq/kg), sedangkan konsentrasi rata-rata 232Th adalah 3,3078 Bq/kg. Rendahnya konsentrasi 238U dan 232Th dalam tubuh ikan teri diduga terkait dengan usia ikan teri yang relatif pendek sehingga waktu pemaparannya lebih pendek sehingga radionuklida yang dikandung relatif kecil. Makanan utama ikan teri adalah plankton, sehingga konsentrasi radionuklida dalam tubuhnya berhubungan dengan konsentrasi radionuklida total dalam air laut. 238U dan 232Th akan dideposisikan di tulang (organ target) ikan teri. Ikan teri banyak mengandung kalsium (Ca). Pada jaringan tulang, uranium dapat menggantikan kedudukan ion Ca (Mellawati 2004).

Habitat kerang Codakia adalah dalam sedimen/substrat dasar perairan yang relatif berpasir (coarse) di daerah padang lamun (Stasiun 3) dan mendapatkan makanan dengan cara feeding filter menggunakan siphon. Konsentrasi rata-rata 238

U dan 232Th dalam tubuh kerang Codakia yaitu 6,890 Bq/kg dan 3,602 Bq/kg. Konsentrasi 238U lebih tinggi daripada 232Th dalam tubuh kerang Codakia, hal ini terkait dengan tingginya konsentrasi 238U total dalam sedimen bila dibandingkan dengan 232Th, sehingga bioavailibilatas dari radionuklida 238U berpeluang lebih tinggi. Meskipun demikian, radionuklida 232Th diakumulasi pada tingkat yang lebih tinggi oleh kerang Codakia daripada 238U karena 232Th memiliki faktor konsentrasi sebesar 0,3202 yang lebih tinggi daripada 238U (0,1972).

Tabel 14. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam tubuh ikan teri (Stolephorus) dan kerang (Codakia) serta nilai faktor konsentrasinya di perairan Pulau Panjang, Banten, Juni 2010

Jenis biota Konsentrasi 238

U (Bq/kg) Konsentrasi 232 Th (Bq/kg) Faktor konsentrasi 238 U 232Th

Ikan teri (Genus Stolephorus,

Famili: Engraulidae) Ttd 3,5812

- 0,7830

Ttd 2,0254

Ttd 4,3168

Rata-rata ± sd Ttd 3,3078 ± 1,1699

Kerang (Genus Codakia) 5,2431 3,6808

0,1972 0,3202

6,5803 3,1449

8,8477 3,9812

Rata-rata ± sd 6,8903 ± 1,8221 3,6023 ± 0,4237

(31)

Ikan teri dan kerang dari perairan Pulau Panjang, Banten menjadi salah satu sumber makanan bagi penduduk lokal, selain itu ikan teri dari daerah ini dipasarkan sampai ke daerah-daerah lain di Indonesia. Radionuklida alam yang dikandung oleh ikan teri dan kerang dapat terkonsentrasi dalam tubuh manusia melalui konsumsi/saluran pencernaan (paparan radiasi interna). Tabel 15 memberikan informasi konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) pada produk olahan (dodol rumput laut dan ikan teri) dari hasil laut di Pulau Panjang dan lokasi pembanding. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam produk olahan relatif kecil, sehingga produk tersebut masih relatif aman untuk dikonsumsi.

Tabel 15. Konsentrasi 238U dan 232Th pada produk olahan hasil laut

(dodol rumput laut dan ikan teri) di Pulau Panjang dan Kampung Kemuning, Citeureup, Banten, Juni-Juli 2010

Jenis produk Konsentrasi 238 U (Bq/kg) Konsentrasi 232 Th (Bq/kg) Pulau Panjang, Banten

Ikan teri hasil olahan

(Genus Stolephorus, Famili: Engraulidae) ttd 2,8755

ttd 2,3651

ttd 1,7398

Rata-rata ± sd ttd 2,3268±0,5688

Dodol rumput laut dari jenis Cottoni

(Eucheuma alvarezii (Doty)) ttd 0,6677

ttd 0,5812

ttd 2,3370

Rata-rata ± sd ttd 1,1953±0,9896

Lokasi Pembanding Ikan teri hasil olahan

(Genus Anchoa, Famili: Engraulidae) ttd 1,5273

ttd 2,2419

ttd 2,4116

Rata-rata ± sd ttd 2,0603±0,4693

(32)

4.7 Paparan Radiasi Interna Melalui Konsumsi Ikan Teri (Genus Stolephorus) dan Kerang (Genus Codakia)

Industri PLTU-batubara sebagai sumber radionuklida alam dapat mempengaruhi kesehatan manusia (masyarakat) di sekitar industri tersebut melalui paparan radiasi eksterna dan paparan radiasi interna. Paparan radiasi interna yaitu radionuklida alam masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan (inhalasi), makanan dan minuman (ingesti) dan injeksi (melalui kulit yang luka). Pada penelitian ini, paparan radiasi interna diukur yaitu melalui konsumsi ikan teri (Genus Stolephorus) dan kerang (Genus Codakia) yang merupakan bagian dari sumberdaya perairan Pulau Panjang, Banten dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal dan sekitarnya.

Wawancara (pengisian kuesioner) dilakukan terhadap penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten khususnya kelompok usia dewasa yaitu usia 18 tahun atau lebih (UU No. 30 Tahun 2004). Mayoritas responden yang berjumlah 67 orang adalah berjenis kelamin perempuan (83,6%) dikarenakan sebagian besar penduduk berjenis kelamin laki-laki melakukan aktivitas sebagai nelayan/melaut pada saat wawancara dilakukan (siang hari). Hasil wawancara memperlihatkan bahwa semua responden mengkonsumsi kerang (Genus Codakia) dan ikan teri (Genus Stolephorus).

Penduduk Pulau Panjang, Banten (Kampung Peres) memiliki nilai konsumsi kerang per hari (daily intakes) yaitu berkisar 0,0743–0,6686 kg/hari dengan rata-rata 0,2920 kg/hari dan total konsumsi per tahun (annual intakes) berkisar 3,8628- 162,2384 kg/tahun dengan rata-rata 43,5519 kg/tahun. Nilai konsumsi ikan teri per hari (daily intakes) berkisar 0,0155 – 0,1857 kg/hari dengan rata-rata 0,0811 kg/hari dan total konsumsi per tahun (annual intakes) berkisar 1,6095–67,5993 kg/tahun dengan rata-rata 17,0920 kg/tahun.

Konsentrasi rata-rata 238U dan 232Th dalam kerang yang diperoleh dari perairan Pulau Panjang, Banten secara berturut-turut adalah 1,2501 Bq/kg bobot basah (wet weigh) dan 0,6536 Bq/kg dan dalam ikan teri berturut-turut adalah tidak terdeteksi (ttd) dan 1,2763 Bq/kg. Tabel 15 menyajikan besarnya rata-rata asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th yang diperoleh melalui konsumsi kerang dan ikan teri pada penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten.

(33)

Tabel 16. Rata-rata asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th yang diperoleh melalui konsumsi kerang dan ikan teri pada penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten

No. Produk laut Asupan harian Asupan tahunan

Bq/hari mg/hari Bq/tahun mg/tahun

1 Kerang (Codakia) 238 U 0,3651±0,2003 0,0296±0,0162 54,4451±47,2533 4,4084±3,8261 232 Th 0,1909±0,1047 0,0465±0,0255 28,4642±24,7042 6,9297±6,0143 2 Ikan teri (Stolephorus) 238 U - - - - 232Th 0,1035±0,0583 0,0252±0,0142 21,8141±20,1660 5,3107±4,9095 Jumlah asupan 238 U 0,3651±0,2003 0,0296±0,0162 54,4451±47,2533 4,4084±3,8261 232Th 0,2943±0,1449 0,0717±0,0353 50,2783±34,4930 12,2404±8,3974

Penduduk Kampung Peres melalui konsumsi kerang dan ikan teri akan menerima rata-rata jumlah asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th. Rata-rata jumlah asupan harian 238U dan 232Th berturut-turut adalah 0,3651±0,2003 Bq/hari atau 0,0296±0,0162 mg/hari dan 0,2943±0,1449 Bq/hari atau 0,0717±0,0353 mg/hari. Rata-rata jumlah asupan tahunan 238U dan 232Th berturut-turut adalah 54,4451±47,2533 Bq/tahun atau 4,4084±3,8261 mg/tahun dan 50,2783±34,4930 Bq/tahun 12,2404±8,3974 mg/tahun.

Paparan radiasi interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten (sekitar PLTU-batubara Suralaya) melalui konsumsi kerang dan ikan teri dapat diestimasi berdasarkan pola konsumsi kerang dan ikan teri per hari. Berdasarkan data pola konsumsi kerang dan ikan teri per hari, diperoleh dosis efektif terikat (dosis equivalen) radionuklida individual dari paparan 238U dan 232

Th yang diterima penduduk (Lampiran 15).

Jika diasumsikan penduduk tidak pindah dari kawasan selama 1 tahun (365 hari) dan memiliki pola makan tetap, maka radiasi interna dari paparan radionuklida 238U yang diterima penduduk per tahun untuk kerang berkisar 0,00022–0,00913 mSv/tahun dan teri tidak terdeteksi. Radiasi interna dari paparan radionuklida 232Th yang diterima penduduk per tahun untuk kerang berkisar 0,00058–0,02439 mSv/tahun dan teri berkisar 0,00047–0,01984

(34)

mSv/tahun. Berdasarkan data tersebut, maka dosis efektif terikat total (dari paparan 238U dan 232Th) yang diterima penduduk melalui konsumsi kerang dan ikan teri adalah berkisar 0,0025–0,0461 mSv/tahun dengan rata-rata 0,0140± 0,0098 mSv/tahun. Perolehan dosis terbesar berasal dari asupan 232Th sebesar 0,0116±0,0079 mSv/tahun kemudian 238U sebesar 0,0025±0,0021 mSv/tahun. Sesuai rekomendasi IAEA yang harus diikuti oleh seluruh anggota IAEA (termasuk Indonesia) melalui Basic Safety Standard (BSS) Nomor 115, yaitu perihal batas dosis tahunan bagi pekerja radiasi adalah 20 mSv/tahun dan masyarakat 1 mSv/tahun rata-rata dalam 5 tahun (IAEA 1996). Dibandingkan batas maksimal paparan radiasi yang boleh diterima masyarakat oleh IAEA (1996) (1 mSv/tahun), maka nilai paparan radiasi interna yang diterima oleh penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten (0,0140±0,0098 mSv/tahun) masih lebih kecil, sehingga relatif tidak/belum membahayakan bagi kesehatan manusia.

Gambar

Gambar 9. Grafik pasang surut (cm) di perairan Pulau Panjang , Banten, Juni 2010 Waktu
Gambar 10.  Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan (m/s) di Utara dan                     Barat Pulau Jawa berdasarkan penggolongan musim di Indonesia                         (a
Gambar 12. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim barat berdasarkan                       data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose  musim                       barat di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten
Gambar 13. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 1                   berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010);
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengujian diketahui bahwa penerapan skenario variasi jumlah node berpengaruh terhadap kinerja protokol routing yang digunakan yaitu average throughput, average

Dari hasil kuesioner yang disebarkan ke delapan ( 8 ) Desa di Kecamatan Turi dan Berbah, peneliti dapat menjelaskan bahwa kesiapan perangkat desa dalam implementasi

Nilai tercatat atas aset keuangan dikurangi melalui penggunaan pos cadangan penurunan nilai dan jumlah kerugian yang terjadi diakui dalam laporan laba rugi komprehensif

Iklan Baris Iklan Baris JAKARTA UTARA Serba Serbi RUPA-RUPA SILAT SEKOLAH Rumah Dikontrakan LAIN-LAIN JAKARTA SELATAN JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR BODETABEK

Keuntungan menggunakan tepung mocaf di banding dengan terigu antara lain sebagai berikut: produk pangan olahan berbahan baku terigu/beras dapat diganti dengan bahan

Dengan demikian, tujuan penelitian ini meliputi (1) mendeskripsikan kinerja TPPS selama ini meliputi prosedur tahapan penulisan skripsi; (2) menjelaskan berbagai fakta

Terdakwa dalam perkara ini diputus bebas, karena majelis hakim menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidanagan dengan memeriksa beberapa