• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Umum

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi dalam pembentukan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja dapat memberikan gambaran tentang seberapa besar nilai tambah yang diberikan oleh tenaga kerja pada suatu kegiatan ekonomi.

Sebagaimana telah didefinisikan pada bagian sebelumnya, dalam penelitian ini produktivitas tenaga kerja dihitung dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada suatu tahun dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja (tenaga kerja) pada tahun yang sama. Oleh karena itu, sebelum membahas produktivitas tenaga kerja perlu dipaparkan gambaran umum komponen penentu produktivitas tenaga kerja, yaitu nilai PDRB dan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Data PDRB yang disajikan adalah data PDRB tanpa Migas atas dasar harga konstan 2000. PDRB Pulau Jawa dalam penelitian ini dihitung sebagai penjumlahan agregat dari seluruh PDRB kabupaten/kota di Pulau Jawa. Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan kontribusi sektoral PDRB menurut lapangan usaha pada tahun 2001-2008. Penggunaan PDRB tanpa Migas mengingat bahwa jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki output dari sub-sektor Migas kurang dari 10 persen dari total 115 kabupaten/Kota yang ada di Pulau Jawa.

Selama tahun pengamatan 2001 – 2008, lapangan usaha atau sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling dominan, hampir 30 persen dari total PDRB. Dikuti kemudian dengan sektor perdagangan (rata-rata 23 persen) dan sektor keuangan dengan kontribusi rata-rata sebesar 12,37 persen. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar seperlima terhadap pembentukan PDRB, sementara sektor pertambangan hanya 0,74 persen salah satunya karena tidak memasukkan hasil pertambangan minyak dan gas bumi (migas).

Tabel 4 menyajikan perkembangan dan rata-rata kontribusi PDRB secara sektoral.

(2)

Tabel 4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008

Lapangan Usaha (dalam persentase) Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2001 13,10 0,83 29,25 1,44 5,90 21,57 5,67 12,77 9,48 2002 12,83 0,81 28,97 1,48 5,85 22,05 5,89 12,71 9,41 2003 12,21 0,69 29,31 1,54 5,88 22,51 6,16 12,45 9,24 2004 11,94 0,67 29,26 1,57 5,86 22,83 6,40 12,37 9,10 2005 11,65 0,67 29,50 1,60 5,81 22,90 6,50 12,40 8,98 2006 11,35 0,68 29,17 1,59 5,86 23,43 6,75 12,18 8,99 2007 11,07 0,69 28,96 1,59 5,87 23,74 7,00 12,10 8,98 2008 10,59 0,84 28,59 1,55 5,90 24,31 7,33 11,94 8,95 Rata-rata 11,84 0,74 29,13 1,54 5,87 22,92 6,46 12,37 9,14

Sumber: Data diolah (2011)

Kontribusi sektoral selama periode pengamatan tidak menunjukkan perubahan yang mencolok. Meskipun demikian, dari tahun 2001 ke tahun 2008 terdapat kecenderungan penurunan kontribusi pada sektor pertanian, sebaliknya kenaikan kontribusi terjadi pada sektor perdagangan.

Sementara jika dilihat dari nilainya, selama tahun 2001-2008 terdapat kecendrungan kenaikan PDRB Pulau Jawa. Jika pada tahun 2001 nilainya sebesar 787.226.346,46 (juta rupiah) dengan rata-rata 6.845.446,49 (juta rupiah), maka pada tahun 2005 meningkat menjadi 978.286.387,54 (juta rupiah) dengan rata-rata sebesar 8.506.838,15 (juta rupiah). Tahun 2008 nilai PDRB Pulau Jawa terus mengalami peningkatan menjadi 1.164.876.028,25 (juta rupiah) dengan nilai rata-rata 10.129.356,77 (juta rupiah).

Ditinjau dari nilai PDRB kabupaten/kota terhadap nilai rata-rata PDRB Pulau Jawa, pada tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki PDRB di bawah rata-rata PDRB Pulau Jawa, sementara 26 kabupaten/kota sisanya memiliki PDRB di atas nilai rata-rata PDRB Pulau Jawa. Komposisi tersebut tidak banyak berubah, pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota nilai PDRB-nya berada dibawah rata-rata PDRB Pulau Jawa sedangkan 25 kabupaten/kota sisanya memiliki PDRB lebih tinggi dari rata-rata PDRB Pulau Jawa.

Peringkat atas didominasi kota-kota di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya di bagian barat serta Kota Surabaya dan sekitarnya di bagian timur Pulau Jawa. Sementara Kepulauan Seribu yang juga merupakan wilayah administratif Provinsi

(3)

DKI Jakarta justru berada pada peringkat terbawah. Hal tersebut terkait dengan karakteristik geografisnya sebagai kepulauan sehingga menyulitkan jangkauan layanan infrastruktur yang tersedia. Selain itu posisinya yang terpisah dari wilayah administratif Provinsi DKI Jakarta lainnya juga menyebabkan kurang dapat menikmati fasilitas infrastruktur yang ada di ibu kota.

Tabel 5 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai PDRB tahun 2001, 2005 dan 2008.

Tabel 5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat PDRB Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001-2008

2001 2005 2008

Pering-kat Kabupaten/

Kota (Juta Rp)PDRB Kabupaten/Kota (Juta Rp)PDRB Kabupaten/Kota (Juta Rp)PDRB

1 Jakarta Pusat 62.426.503,46 Jakarta Pusat 75.964.763,00 Jakarta Pusat 91.228.665,00 2 Kota Surabaya 53.512.601,88 Jakarta Selatan 65.946.353,00 Kota Surabaya 79.820.021,93 3 Jakarta Selatan 53.333.764,00 Kota Surabaya 65.717.925,51 Jakarta Selatan 78.997.462,00 4 Jakarta Utara 46.053.817,35 Jakarta Utara 55.829.604,00 Jakarta Utara 66.535.642,00 5 Jakarta Timur 41.495.509,09 Jakarta Timur 50.495.912,00 Jakarta Timur 60.123.979,00 6 Jakarta Barat 35.780.192,00 Jakarta Barat 44.169.682,00 Jakarta Barat 52.734.937,93 7 Bekasi 31.888.777,57 Bekasi 40.750.989,09 Bekasi 49.302.484,59 8 Bogor 19.424.213,96 Bogor 25.056.365,22 Kota Tangerang 44.688.789,00 9 Kota Kediri 17.894.726,11 Bandung 22.548.518,20 Bogor 29.271.000,00 10 Sidoarjo 17.486.943,05 Sidoarjo 22.099.391,51 Kota Bandung 26.986.877,00

… ……….. ……….. ……….. ……….. ……….. ………..

RATA-RATA

PDRB PULAU JAWA 6.845.446,49 8.506.838,15 10.129.356,77

… ……….. ……….. ……….. ……….. ……….. ………..

106 Kota Tegal 814.469,18 Pacitan 1.213.211,65 Pacitan 1.397.218,01 107 Kota Batu 811.597,84 Kota Batu 1.048.847,78 Kota Batu 1.279.668,05 108 Kota Mojokerto 810.713,09 Kota Tegal 1.002.822,00 Kota Tegal 1.166.546,89 109 Kota Magelang 759.504,24 Kota Madiun 891.355,19 Kota Madiun 1.071.013,56 110 Kota Madiun 735.182,21 Kota Magelang 890.399,02 Kota Pasuruan 1.047.157,44 111 Kota Pasuruan 695.724,34 Kota Pasuruan 878.136,23 Kota Magelang 993.863,83 112 Kota Salatiga 611.506,08 Kota Salatiga 722.063,95 Kota Salatiga 832.154,87 113 Kota Banjar 496.598,85 Kota Blitar 594.668,37 Kota Blitar 723.858,61 114 Kota Blitar 468.853,10 Kota Banjar 588.216,00 Kota Banjar 677.455,67 115 Kep. Seribu 153.109,00 Kep. Seribu 134.087,00 Kep.Seribu 152.073,00 Sumber: Data diolah (2011)

Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha

Data tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini juga disajikan dalam bentuk rinci menurut lapangan usaha utama, yaitu 9 (sembilan) sektor

(4)

sebagaimana yang digunakan dalam PDRB. Perlu dicatat bahwa untuk beberapa kabupaten/kota terdapat klasifikasi lain-lain, yaitu untuk tenaga kerja yang sulit dimasukkan dalam klasifikasi Sembilan sektor. Pada penelitian ini, klasifikasi tersebut diabaikan dengan alasan hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memiliki sehingga jumlahnya relatif sedikit.

Sektor pertanian menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Rata-rata tenaga kerja sektor pertanian tahun 2001-2008 sebesar 36 persen dari total tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama periode tersebut.

Tabel 6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008

Lapangan Usaha (dalam persentase)

Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2001 39,7 0,5 15,7 0,2 4,6 20,7 5,5 2,2 10,9 2002 37,0 0,7 17,0 0,2 5,4 19,5 6,6 1,6 12,0 2003 39,5 0,6 15,2 0,3 4,4 20,6 5,9 1,4 12,0 2004 36,2 0,5 16,1 0,3 5,1 21,2 6,5 1,6 12,5 2005 34,5 0,6 16,5 0,2 5,6 21,8 6,2 1,8 12,8 2006 32,6 0,7 17,2 0,5 5,7 22,1 6,3 1,8 13,2 2007 34,4 0,7 15,5 0,2 6,1 22,3 5,7 1,5 13,4 2008 35,0 0,8 13,7 0,3 6,1 23,9 6,5 2,0 11,7 Rata-Rata 36,1 0,7 15,9 0,3 5,4 21,5 6,1 1,7 12,3

Sumber: Data diolah (2011)

Keterangan:

1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan; 2. Pertambangan & Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air Bersih; 5. Bangunan dan Kontruksi; 6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel; 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi; 8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan; 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan

Tenaga kerja juga banyak terkonsentrasi di sektor perdagangan, selama periode pengamatan 2001-2008 rata-rata berjumlah lebih dari seperlima (21,5 persen) dari total penduduk yang bekerja. Sektor perindustrian menjadi sektor berikutnya yang banyak menyerap tenaga kerja dengan rata-rata sebanyak 15,9 persen. Sedangkan sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja adalah sektor pertambangan, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor keuangan. (Tabel 6).

Sementara jika dilihat dari besarnya penduduk yang bekerja, selama tahun 2001-2008 terdapat kecenderungan kenaikan jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa.

(5)

Jika pada tahun 2001 jumlah tenaga kerja sebesar 58.345.450 orang dengan nilai rata-rata 507.352 orang, maka pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja meningkat menjadi 60.109.456 dengan rata-rata sebesar 522.691 orang. Tahun 2008 jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa terus mengalami peningkatan menjadi 60.339.089 orang dengan nilai rata-rata sebanyak 524.688 tenaga kerja.

Ditinjau dari jumlah tenaga kerja kabupaten/kota terhadap nilai rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa, pada tahun 2001 sebanyak 61 kabupaten/kota yang memiliki jumlah tenaga kerja di bawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa, sementara 54 kabupaten/kota sisanya memiliki jumlah tenaga kerja di atas nilai rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Pada tahun 2005 sebanyak 60 kabupaten/kota yang memiliki jumlah tenaga kerja berada dibawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa sedangkan 55 kabupaten/kota sisanya memiliki jumlah tenaga kerja di lebih tinggi dari rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Sedangkan pada tahun 2008, komposisi tersebut tidak banyak berubah dengan sebanyak 63 Kabupaten/Kota memiliki jumlah tenaga kerja di bawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa dan 52 kabupaten/kota lainnya jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa.

Tabel 7 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan jumlah tenaga kerja dibanding rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa.

Tabel 7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001-2008

2001 2005 2008 Pering-kat Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang)

1 Bandung 1.500.360 Bandung 1.452.378 Bogor 1.470.340

2 Kota Surabaya 1.354.191 Bogor 1.426.408 Tangerang 1.405.901 3 Malang 1.317.093 Malang 1.265.426 Kota Surabaya 1.249.314 4 Bogor 1.283.998 Kota Surabaya 1.253.922 Malang 1.237.577

5 Jember 1.225.429 Jember 1.170.028 Jember 1.183.197

6 Tangerang 1.062.312 Tangerang 1.086.574 Bandung 1.182.854 7 Jakarta Timur 951.900 Jakarta Timur 926.792 Jakarta Timur 1.091.139 8 Pasuruan 895.294 Kota Bandung 889.973 Jakarta Barat 1.013.159 9 Sukabumi 877.028 Banyuwangi 888.715 Jakarta Selatan 979.454 10 Banyuwangi 871.847 Garut 871.919 Kota Bandung 952.752

(6)

RATA-RATA TENAGA

KERJA PULAU JAWA 507.352 522.691 524.688

Tabel 7. (Lanjutan) 2001 2005 2008 Pering-kat Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) … ……….. ……….. ……….. ……….. ……….. ………..

106 Kota Batu 94.149 Kota Sukabumi 85.426 KotaProbolinggo 96.976 107 Kota Pasuruan 84.323 Kota Probolinggo 83.824 Kota Batu 88.555 108 Kota Madiun 77.777 Kota Pasuruan 73.870 Kota Salatiga 78.668 109 Kota Sukabumi 77.114 Kota Madiun 73.407 Kota Pasuruan 76.569 110 Kota Salatiga 66.028 Kota Salatiga 71.292 Kota Madiun 75.180 111 Kota Blitar 61.618 Kota Banjar 59.668 Kota Banjar 66.424 112 Kota Banjar 60.736 Kota Magelang 54.475 Kota Blitar 61.992 113 Kota Mojokerto 55.412 Kota Blitar 53.999 Kota Magelang 56.107 114 Kota Magelang 49.000 Kota Mojokerto 51.126 Kota Mojokerto 53.661 115 Kepulauan Seribu 7.038 Kepulauan Seribu 7.028 Kep. Seribu 6.981 Sumber: Data diolah (2011)

Produktivitas Tenaga Kerja

Berdasarkan kedua data yang telah dipaparkan di atas, yaitu dengan membagi nilai PDRB kabupaten/Kota dengan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota maka diperoleh nilai produktivitas tenaga kerja kabupaten/Kota. Berdasarkan ketersediaan data, produktivitas tenaga kerja dapat dihitung secara rinci untuk masing-masing sektor di setiap Kabupaten/Kota pada setiap tahun, yaitu tahun 2001 sampai dengan 2008.

Secara agregat produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa cenderung meningkat. Pada tahun 2001 rata-rata seorang tenaga kerja menghasilkan output sebesar Rp. 13,49 juta rupiah per tahun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 19,31 juta rupiah per tahun (Gambar 6).

Sementara secara sektoral, sektor Keuangan merupakan sektor dengan produktivitas tenaga kerja terbesar. Setiap tenaga kerja sektor keuangan secara rata-rata menghasilkan Rp. 119,6 juta rupiah/tahun, disusul dengan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih/LGA (Rp. 97,48 juta rupiah/tenaga kerja/tahun), sektor Industri Pengolahan (30,65 juta rupiah/tenaga kerja/tahun). Perhatian perlu diberikan kepada sektor LGA karena beberapa Kabupaten/Kota tidak memiliki tenaga kerja di sektor ini. Hal tersebut dapat terjadi karena berkaitan dengan

(7)

masalah kesulitan klasifikasi jenis perkejaan ataupun karena sektor ini memang hemat tenaga kerja.

Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2001 -2008

Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah, rata-rata setiap tenaga kerja menghasilkan output Rp. 5,43 juta rupiah/tahun (Tabel 8). Sedangkan di sektor pertambangan rata-rata setiap tenaga kerja memberikan output sebesar Rp. 18,44 juta rupiah/tahun. Perlu diingat bahwa PDRB yang digunakan pada analisis ini adalah PDRB tanpa migas sehingga produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan hanya mencakup PDRB dari sub-sektor Pertambangan tanpa migas dan Penggalian, tidak termasuk dari sub-sub-sektor Migas.

Tabel 8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun 2001 - 2008

Sektor/Lapangan Usaha Produktivitas Tenaga Kerja(Juta Rp/TK/Tahun)

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan

Perikanan 5,43

Pertambangan 18,44

Industri Pengolahan 30,65

Listrik, Gas dan Air Bersih 97,48

Bangunan 18,17

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 17,65

Pengangkutan dan Komunikasi 17,55

(8)

Jasa-Jasa 12,29

Sumber: Data diolah (2011)

Rendahnya produktivitas di sektor pertanian menjadi salah satu indikasi terjadi masalah dalam transformasi ketenagakerjaan. Seharusnya ketika permintaan tenaga kerja di sektor pertanian telah lebih rendah dibanding dengan penawarannya maka kelebihan penawan tenaga kerja tersebut diserap oleh sektor-sektor lainnya. Kenyataannya terdapat hambatan (barrier) yang menghalangi perpindahan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian ke sektor lainnya, misalnya pengetahuan dan ketrampilan tertentu yang harus dimiliki tenaga kerja. Kondisi sektor pertanian yang over supply jumlah tenaga kerja tersebut merupakan penjelas tertekannya produktivitas sektor pertanian pada tingkat yang rendah.

Tabel 9 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai produktivitas tenaga kerja pada tahun 2001, 2005 dan 2008. Secara umum tidak terdapat perubahan yang berarti pada peringkat kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Tabel 9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008

2001 2005 2008 Pering-kat Kabupaten/ Kota Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Kabupaten/ Kota Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Kabupaten/ Kota Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun)

1 Jakarta Pusat 174,30 Jakarta Pusat 204,39 Jakarta Pusat 215,12 2 Kota Kediri 143,73 Kota Kediri 147,10 Kota Kediri 178,64 3 Jakarta Utara 80,06 Jakarta Utara 91,13 Jakarta Utara 98,26 4 Jakarta Selatan 72,89 Jakarta Selatan 86,12 Kota Cilegon 86,82 5 Kota Cilegon 67,76 Kota Cilegon 78,67 Jakarta Selatan 80,65

6 Bekasi 48,94 Bekasi 56,53 Kota Tangerang 69,60

7 Jakarta Barat 45,09 Jakarta Timur 54,10 Kota Surabaya 63,89 8 Jakarta Timur 43,59 Jakarta Barat 52,50 Bekasi 57,70 9 Kota Surabaya 39,52 Kota Cirebon 46,07 Jakarta Timur 55,10 10 Kota Cirebon 39,01 Kota Surabaya 46,03 Jakarta Barat 52,05

… ……….. ……….. ……….. ……….. ……….. ………..

PRODUKTIVITAS

PULAU JAWA 13,49 16,28 19,31

… ……….. ……….. ……….. ……….. ……….. ………..

106 Tegal 3,81 Trenggalek 4,67 Pemalang 5,54

107 Wonogiri 3,78 Pemalang 4,63 Trenggalek 5,49

108 Trenggalek 3,78 Wonogiri 4,61 Wonogiri 5,03

109 Wonosobo 3,62 Tegal 4,45 Kebumen 4,88

110 Pasuruan 3,59 Bondowoso 4,23 Pekalongan 4,58

111 Blora 3,53 Wonosobo 3,93 Wonosobo 4,57

(9)

113 Grobogan 3,33 Blora 3,86 Blora 4,33

114 Pamekasan 3,25 Grobogan 3,69 Grobogan 4,09

115 Pacitan 2,80 Pacitan 3,58 Pacitan 3,81

Sumber: Data diolah (2011)

Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota

Perbedaan produktivitas tenaga kerja adalah selisih antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih besar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa akan memiliki nilai perbedaan yang positif. Sebaliknya untuk kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja lebih kecil dari produktivitas Pulau Jawa maka perbedaan produktivitasnya akan bertanda negatif. Semakin besar nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja menunjukkan kabupaten/kota tersebut memiliki produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi.

Hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 2001 sampai dengan 2008 dapat diringkas sebagaimana disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008

Tahun Rata-rata Standar Deviasi Nilai Maximum MinimumNilai

2001 1,02 23,63 160,81 -10,70 2002 0,96 25,38 168,86 -13,07 2003 0,91 26,43 169,87 -12,22 2004 0,52 26,90 177,73 -13,32 2005 0,67 26,68 188,12 -12,69 2006 0,64 28,14 197,53 -13,51 2007 3,11 42,76 343,00 -14,90 2008 -0,21 29,39 195,81 -15,50

Sumber: Data diolah (2011)

Rata-rata perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan

(10)

pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang.

Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya (Gambar 7).

(11)

Gambar 7. Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2008

(12)
(13)

Tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 26 kabupaten/kota berada di atas rata-rata. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 25 kabupaten/kota yang lain berada di atas rata-rata.

Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata, baik berdasarkan data tahun 2001 maupun 2008 memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi.

Hasil perhitungan tahun 2001 pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas di atas rata-rata meskipun hanya berjumlah 26, memiliki nilai yang lebih tersebar. Sebanyak 16 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar. Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, sedangkan 5 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi berada pada nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

Data tahun 2008 menghasilkan 25 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata. Kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar sebanyak 15. Sedangkan 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, dan 5 kabupaten/kota sisanya memiliki perbedaan produktivtas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

Jakarta Pusat merupakan wilayah yang memiliki selisih perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tertinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Produktivitas tenaga kerja Jakarta Pusat pada tahun 2008 sebesar Rp. 215,12 juta rupiah /tahun sementara produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa Rp. 19,31 juta rupiah/tahun sehingga perbedaanya sebesar Rp. 195,81 juta rupiah/tahun. Kabupaten Pacitan dengan nilai produktivitas tenaga kerja terendah

(14)

menempati posisi paling bawah karena memiliki selisih negatif terbesar dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa.

Nilai dan peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pengujian perbedaan peringkat selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilakukan dengan melakukan uji keselarasan Kendall (Kendall

Concordance Test). Ringkasan hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall

N 8

Kendall's Wa .975

Chi-Square 889.214

df 114

Asymp. Sig. .000

a. Kendall's Coefficient of Concordance

Sumber : Data diolah (2011)

Berdasarkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic

significant) yang hasilnya < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang

menyatakan terdapat perbedaan ditolak, sehingga kesimpulannya tidak terdapat perbedaan di antara peringkat kabupaten/kota dari tahun 2001 sampai 2008. Berdasarkan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan.

Perhitungan Komponen Shift share

Nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dapat didekomposisi atau diuraikan menjadi tiga komponen, yaitu industrial mix,

productivity different dan allocative. Komponen-komponen tersebut dapat

digunakan untuk mengidentifikasi sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja dikarenakan perbedaan alokasi tenaga kerja atau perbedaan produktivitas sektoral

(15)

antar kabupaten/kota. Hasil perhitungan masing-masing komponen tersebut dipaparkan pada bagian selanjutnya.

Komponen Industrial Mix

Komponen industrial mix menggambarkan senjang produktivitas tenaga kerja yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi tenaga kerja di masing-masing kabupaten/kota terkait dengan produktivitas tenaga kerja di wilayah yang lebih luas (Pulau Jawa). Nilai komponen industrial mix akan tinggi jika terjadi konsentrasi tenaga kerja di suatu kabupaten/kota (Pj

i > PjJawa) pada sektor yang

memiliki produktivitas agregat yang tinggi. Sebaliknya jika terjadi konsentrasi yang rendah (Pj

i < PjJawa) pada sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja

Pulau Jawa yang tinggi, maka nilai komponen industrial mix kabupaten/kota tersebut akan rendah.

Ringkasan hasil perhitungan komponen industrial mix yang menunjukkan peringkat masing-masing kabupaten/kota ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Industrial Mix (μ = Σ(Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 – 2008

2001 2005 2008

Pering-Kat Kabupaten/

Kota μ Kabupaten/Kota μ Kabupaten/Kota μ

1 Kota Cirebon 20,72 Kota Depok 11,71 Jakarta Selatan 10,96 2 Kota Bekasi 18,32 Jakarta Selatan 10,03 Kota Depok 10,66 3 Kota Depok 18,09 Kota Tangerang 9,88 Kota Tangerang 10,24 4 Kota Bandung 17,82 Kota Bogor 8,98 Jakarta Timur 9,90 5 Kota Bogor 16,34 Tangerang 8,75 Kota Surabaya 9,90 6 Kota Sukabumi 15,90 Kota Bandung 8,50 Jakarta Barat 9,30 7 Kota Tangerang 8,33 Kota Cimahi 8,45 Jakarta Pusat 9,15 8 Kota Cimahi 7,86 Jakarta Barat 8,29 Kota Bekasi 9,02 9 Jakarta Timur 7,72 Kota Bekasi 8,13 Kota Cilegon 8,81 10 Jakarta Selatan 7,71 Jakarta Pusat 8,01 Sidoarjo 8,81

….. ….. ….. ….. ….. ….. …..

106 Ngawi -4,82 Sumenep -5,64 Kuningan -6,46

107 Lebak -5,05 Bondowoso -5,72 Cianjur -6,51

(16)

Tabel 12. (Lanjutan)

2001 2005 2008

Pering-Kat Kabupaten/

Kota μ Kabupaten/Kota μ Kabupaten/Kota μ

109 Grobogan -5,47 Bangkalan -5,79 Grobogan -6,63

110 Ponorogo -5,58 Blora -6,09 Wonogiri -6,71

111 Pacitan -5,59 Pamekasan -6,12 Blora -6,79

112 Pamekasan -5,64 Kepulauan Seribu -6,31 Gunung Kidul -6,99

113 Gunung Kidul -5,65 Pacitan -6,36 Ngawi -7,25

114 Blora -5,95 Ngawi -6,79 Sampang -7,37

115 Sampang -6,45 Sampang -7,97 Pamekasan -9,47

Sumber: Data diolah (2011)

Fenomena perbedaan nilai industrial mix di atas dapat dipahami lebih lanjut dengan membandingkan struktur ketenagakerjaan antar kabupaten/kota. Sebagai contoh dibandingkan antara Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan yang masing-masing merupakan wilayah dengan nilai komponen industrial mix tertinggi dan terendah. (Tabel 13).

Tabel 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan Tahun 2008 (dalam persen)

Tenaga Kerja (Persen) Sektor

Jakarta

Selatan PamekasanKabupaten

Produktivitas TK Pulau Jawa (juta Rp/orang/tahun)

Keuangan 10,47 0,08 116,18

Listrik, Gas dan Air 0,35 0,00 96,49

Industri Pengolahan 7,58 4,76 40,25 Angkutan dan Komunikasi 8,91 3,38 21,68 Pertambangan 0,68 0,42 19,80 Perdagangan 37,98 6,63 19,66 Bangunan 5,63 1,53 18,76 Jasa-jasa 27,76 6,31 14,72 Pertanian 0,65 76,89 5,85

Sumber: Data diolah (2011)

Jakarta Selatan yang memiliki perbedaan produktivitas positif terbesar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa memiliki konsentrasi tenaga

(17)

kerja pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Sebaliknya Kabupaten Pamekasan yang memiliki perbedaan negatif terbesar tenaga kerjanya kurang terkonsentrasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi tetapi justru terkonsentrasi pada sektor yang produktivitasnya rendah.

Tenaga kerja di Jakarta Selatan pada sektor Keuangan yang memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi (Rp. 116 juta rupiah/tahun) jauh lebih terkonsentrasi (10,47 persen) dibanding dengan Kabupaten Pamekasan yang hanya 0,08 persen pada sektor yang sama. Demikian juga dengan sektor Industri, sektor Angkutan, sektor Perdagangan dan sektor Jasa yang juga memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi konsentrasi tenaga kerja di Jakarta Selatan relatif lebih besar disbanding dengan tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan. Sebaliknya, tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan sebagian besar (lebih dari 75 persen) terkonsentrasi di sektor Pertanian yang memiliki produktivitas tenaga kerja terendah (Rp. 5,8 juta rupiah/tahun).

Gambaran menarik lainnya adalah terkait dengan transformasi tenaga kerja pada kurun waktu pengamatan. Sebagai contoh adalah Kota Cirebon yang pada tahun 2001 memiliki nilai komponen industrial mix terbesar (20,72) sehingga berada pada peringkat pertama, pada tahun 2008 tergeser kedudukannya dan berada pada peringkat 17 dengan nilai komponen industrial mix sebesar 7,33. Hal tersebut dapat ditelusuri dari pergesaran konsentrasi tenaga kerja di Kota Cirebon sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon pada Tahun 2001 dan 2008 2001 2008 Sektor Pangsa (persen) Produktivitas Pulau Jawa (JutaRp/orang/tahun) Pangsa (persen) Produktivitas Pulau Jawa (JutaRp/orang/tahun) Pertanian 1,78 4,46 3,62 5,85 Pertambangan 0,73 21,20 1,03 19,80 Industri Pengolahan 11,94 25,18 3,22 40,25

Listrik, Gas dan Air 0,63 110,14 2,27 96,49

Bangunan 4,71 17,31 9,06 18,76

Perdagangan 37,17 14,04 51,37 19,66

Angkutan dan Komunikasi 10,05 13,92 13,80 21,68

Keuangan 28,38 78,63 5,56 116,18

(18)

Nilai Komponen Industrial

Mix 20,72 7,33

Sumber: Data diolah (2011)

Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor Keuangan dari tahun 2001 (sebesar 28,38 persen) menjadi 5,56 persen pada tahun 2008, padahal sektor tersebut memiliki produktivitas tinggi (bahkan pada tahun 2008 menjadi sektor yang paling produktif) menjadi salah satu penyebab penurunan nilai komponen

industrial mix. Demikian juga pergeseran konsentrasi tenaga kerja yang terjadi di

sektor Industri Pengolahan juga turut menyumbang penurunan nilai komponen

industrial mix di Kota Cirebon. Meskipun terjadi peningkatan konsentrasi tenaga

kerja di sektor perdagangan yang juga mengalami peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi kondisi tersebut tidak dapat mengkompensasi penurunan nilai komponen nilai industrial mix.

Komponen Productivity Differential

Nilai komponen productivity differential menyumbang pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa melalui perbedaan produktivitas masing-masing sektor. Suatu sektor di kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa di sektor yang sama, akan memiliki nilai komponen productivity differential yang besar. Sebaliknya jika produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota pada suatu sektor lebih rendah dari produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa untuk sektor tersebut maka nilai komponen nilai komponen productivity differential juga akan rendah.

Dengan kata lain, komponen ini menggambarkan kondisi spesifik suatu wilayah yang bersifat kompetitif. Suatu kabupaten/kota memiliki tingkat produktivitas yang tinggi pada suatu sektor karena mendapat dukungan kebijakan, sumberdaya manusia dan investasi di sektor tersebut. Oleh karena itu perbedaan kemampuan SDM, tingkat teknologi, alokasi investasi, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain dapat menjadi penyebab perbedaan produktivitas sektoral antar kabupaten/kota di Pulau Jawa.

(19)

Hasil perhitungan komponen productivity defferential yang disajikan dalam bentuk ringkasan sepuluh teratas dan terbawah nilai salah satu komponen shift

share tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Productivity Differential πi= Σjpjjawa(xji– xjjawa) Tahun 2001 – 2008

2001 2005 2008

Pering-kat Kabupaten/

Kota πi Kabupaten/Kota πi Kabupaten/Kota πi

1 Jakarta Pusat 87,88 Jakarta Pusat 101,73 Kota Kediri 102,38 2 Kota Kediri 85,14 Kota Kediri 89,59 Jakarta Pusat 97,41 3 Jakarta Utara 48,10 Jakarta Utara 57,65 Bekasi 89,07 4 Kota Cilegon 33,41 Kota Cilegon 51,16 Kota Cirebon 68,04 5 Jakarta Timur 29,43 Kepulauan Seribu 51,12 Jakarta Utara 59,77 6 Kepulauan Seribu 27,88 Jakarta Selatan 41,63 Kota Cilegon 47,69 7 Jakarta Selatan 27,28 Kota Cirebon 39,36 Jakarta Timur 28,32 8 Kota Cirebon 27,20 Jakarta Timur 29,11 Jakarta Selatan 26,15

9 Bekasi 19,60 Bekasi 21,15 Kota Tangerang 25,45

10 Jakarta Barat 19,38 Jakarta Barat 20,34 Karawang 25,36

….. ………….. ….. ………….. ….. ………... …..

106 Brebes -8,29 Sampang -10,70 Temanggung -12,38

107 Demak -8,31 Demak -10,72 Pacitan -12,64

108 Pacitan -8,37 Grobogan -10,72 Banyumas -12,72

109 Wonogiri -8,67 Purbalingga -10,73 Tegal -12,80

110 Pemalang -8,82 Kebumen -10,74 Pemalang -12,81

111 Purbalingga -8,88 Wonosobo -11,17 Grobogan -12,86

112 Pasuruan -8,94 Brebes -11,17 Pekalongan -13,28

113 Wonosobo -8,95 Tegal -11,39 Wonogiri -13,32

114 Tegal -9,49 Blora -11,63 Wonosobo -13,84

115 Bondowoso -9,63 Bondowoso -12,06 Blora -14,14

Sumber: Data diolah (2011)

Perbedaan nilai komponen productivity differential di atas dapat dijelaskan lebih lanjut dengan membandingkan tingkat produktivitas tenaga kerja sektoral di Kota Kediri dan Kabupaten Blora yang masing-masing pada tahun 2008 merupakan wilayah dengan nilai komponen productivity differential tertinggi dan terendah. (Tabel 16).

Kota Kediri yang memiliki nilai komponen productivity differential paling besar mempunyai nilai produktivitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa kecuali untuk sektor

(20)

Pertambangan, sektor LGA, sektor Bangunan, dan sektor Jasa. Sektor-sektor yang memiliki produktivitas yang tinggi tersebut juga didukung oleh konsentrasi tenaga kerja yang tinggi juga, misalnya sektor Perdagangan dan sektor Industri. Sebaliknya di Kabupaten Blora seluruh sektor perekonomian memiliki nilai produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa, bahkan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti sektor Pertanian dan sektor Perdagangan.

Tabel 16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan Kabupaten Blora Tahun 2008

Kota Kediri Kabupaten Blora

Sektor Produk-Tivitas Perbedaan dengan Produktivitas Jawa Tenaga

Kerja Produk-Tivitas

Perbedaan dengan Produktivitas Jawa Tenaga Kerja Produk tivitas Pulau Jawa Pertanian 6,06 0,21 7.630 3,84 -2,00 278.500 5,85 Pertambangan 3,69 -16,11 472 15,04 -4,76 4.688 19,80 Industri 558,27 518,02 26.980 8,47 -31,78 14.947 40,25

Listrik, Gas dan Air 58,92 -37,57 932 30,70 -65,78 329 96,49

Bangunan 3,07 -15,69 11.247 3,52 -15,25 18.835 18,76

Perdagangan 140,40 120,74 41.271 3,85 -15,80 74.793 19,66

Angkutan 23,54 1,86 8.438 6,49 -15,19 9.126 21,68

Keuangan 320,62 204,44 2.349 27,71 -88,47 5.140 116,18

Jasa-jasa 10,28 -4,45 24.966 2,85 -11,87 51.144 14,72

Sumber: Data diolah (2011)

Keterangan:

Produktivitas : Juta Rp/Orang/Tahun Perbedaan dengan produktivitas jawa : Juta Rp/Orang/Tahun

Tenaga kerja : Orang

Komponen Allocative

Komponen allocative merupakan gabungan kedua komponen sebelumnya, yaitu nilai yang menyebabkan perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding wilayah yang lebih luas (produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa) baik yang disebabkan oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja sektoral maupun alokasi tenaga kerja secara sektoral.

Oleh karena itu nilai komponen allocative ditentukan oleh kemampuan suatu wilayah untuk mentransformasi tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi.

(21)

Bentuk ringkas peringkat sepuluh teratas dan terbawah kabupaten/kota berdasarkan komponen allocative dapat dilihat pada Tabel 17. Sedangkan selengkapnya nilai dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan komponen

allocative selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada

Lampiran 5.

Tabel 17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Sepuluh Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Allocative αi = Σj(xji – xjjawa)(pji – pjjawa) Tahun 2001, 2005 dan 2008

2001 2005 2008

Pering-kat Kabupaten/

Kota αi Kabupaten/Kota αi Kabupaten/Kota αi

1 Jakarta Pusat 66,05 Jakarta Pusat 78,37 Jakarta Pusat 89,26 2 Kota Kediri 40,75 Kota Kediri 36,20 Kota Kediri 51,51 3 Jakarta Selatan 24,41 Jakarta Selatan 18,19 Jakarta Selatan 24,24 4 Kota Cilegon 16,36 Bekasi 13,33 Kota Tangerang 14,61 5 Jakarta Utara 13,25 Jakarta Utara 10,98 Kota Cilegon 11,02 6 Bekasi 12,16 Jakarta Barat 7,59 Jakarta Utara 10,47

7 Jakarta Barat 6,51 Sampang 6,91 Kota Surabaya 9,44

8 Kota Surabaya 5,57 Bondowoso 5,36 Blora 5,95

9 Sampang 3,78 Blora 5,29 Wonogiri 5,75

10 Kota Cimahi 3,66 Kota Surabaya 4,39 Garut 4,72

….. ………… …… ………… …… ………… ……

106 Jakarta Timur -7,05 Kota Pasuruan -5,70 Purwakarta -12,26 107 Kota Magelang -8,30 Kota Magelang -6,63 Kota Bogor -13,05

108 Kepulauan Seribu -14,97 Jepara -7,96 Bogor -13,23

109 Kota Bogor -15,29 Kota Bekasi -8,15 Kota Depok -14,37 110 Kota Bandung -17,61 Lebak -8,42 Kota Bekasi -18,42 111 Kota Bekasi -18,71 Tangerang -9,89 Karawang -18,85 112 Kota Pekalongan -18,73 Kota Cirebon -13,01 Subang -22,07 113 Kota Depok -19,19 Kota Depok -14,20 Kepulauan Seribu -22,08 114 Kota Cirebon -22,40 Kota Pekalongan -18,60 Kota Cirebon -49,01 115 Kota Sukabumi -30,55 Kepulauan Seribu -42,14 Bekasi -50,21 Sumber: Data diolah

Lampiran 6.a. sampai dengan 6.h. menyajikan hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kontribusi masing-masing komponen analisis shift

share (yi– yJAWA = μi + πi + αi) dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008. Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Matrik Kontiguitas Spasial

Perbedaan produktifitas tenaga kerja antara suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa perlu dilihat lebih lanjut secara spasial.

(22)

Fokus pembahasan akan diarahkan pada meneliti apakah terdapat pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan pada nilai produktivitas tenaga kerja maupun komponen shift share yang merupakan penyusun nilai produktifitas tenaga kerja.

Untuk keperluan tersebut maka perlu dibangun suatu model keterkaitan spasial di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa dengan menggunakan spatial weight matrix (matrik W). Sesuai dengan fokus pembahasan untuk melihat pola pengelompokan , maka digunakan pendekatan ketetanggaan sebagai matrik W. Artinya keterkaitan spasial diasumsikan terjadi pada kabupaten-kabupaten/kota-kota yang berbatasan dan berdekatan.

Secara umum tidak ada hambatan mobilitas antar kabupaten/kota yang bertetangga dan diasumsikan interaksi tidak hanya terjadi antar kabupaten/kota yang berbatasan langsung tetapi juga pada beberapa kabupaten/kota lainnya yang menjadi tetangga dari kabupaten/kota yang berbatasan langsung. Oleh karena itu matrik W yang digunakan untuk keperluan analisis spasial pada penelitian ini adalah queen contiguity orde 4.

Pemilihan orde 4 juga dapat mengatasi masalah ketetanggan pada sebuah kabupaten/kota yang berlokasi di dalam kabupaten/kota lainnya. Kota Bogor misalnya, jika menggunakan orde 1 maka hanya bertetangga dengan Kabupaten Bogor saja tetapi dengan menggunakan orde 4 akan bertetangga dengan 22 kabupaten/kota lainnya.

Perlakuan khusus perlu diberikan untuk Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep di Provinsi Jawa Timur karena wilayah-wilayah tersebut berada di kepulauan/pulau yang terpisah dari dataran utama Pulau Jawa. Kepulauan Seribu misalnya, Karena tidak memiliki batas bersama dengan wilayah lain dianggap tidak memiliki keterkaitan ketetanggaan. Kondisi tersebut dikoreksi dengan menganggap ada ketetanggaan dengan wilayah-wilayah administratif lainnya di Provinsi DKI Jakarta, sehingga Kepulauan Seribu yang semula tidak memiliki tetangga menjadi memiliki 5 (lima) tetangga.

Sedangkan kabupaten-kabupaten yang berada di Pulau Madura semula dikonstruksikan hanya bertetangga dengan sesama kabupaten lain di Pulau Madura sehingga masing-masing memiliki 3 (tiga) tetangga. Kondisi tersebut juga

(23)

dikoreksi dengan menambahkan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik sebagai wilayah tetangga kabupaten-kabupaten di Pulau Madura sehingga Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep menjadi memiliki 5 (lima) tetangga.

Pengujian Autokorelasi Spasial

Anselin (2003) mengusulkan beberapa langkah untuk menguji keberadaan pengelompokan spasial atau mengidentifikasi keberadaan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). Langkah pertama adalah dengan menggunakan perhitungan Moran’s I statistik (Tabel 18).

Tabel 18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran’s I

Perbedaan

Produktivitas Model KomponenIndustrial Mix

Model Komponen Productivity Diffferential Model Komponen Allocative Tahun

Moran’s-I p-value Moran’s-I p-value Moran’s-I p-value Moran’s-I p-value

2001 0,0923 0,010 0,1599 0,001 0,0969 0,009 0,0039 0,287 2002 0,0907 0,003 0,1459 0,001 0,0497 0,037 0,0184 0,129 2003 0,0899 0,012 0,0140 0,001 0,0811 0,015 0,0158 0,188 2004 0,0879 0,006 0,1095 0,002 0,1829 0,002 -0,0808 0,013 2005 0,1125 0,012 0,1771 0,001 0,1077 0,030 0,0201 0,112 2006 0,1099 0,007 0,1413 0,002 0,1034 0,007 0,0148 0,123 2007 0,1236 0,004 0,1856 0,001 0,0986 0,007 0,0592 0,024 2008 0,0905 0,009 0,0611 0,044 0,1605 0,001 -0,0102 0,529 Sumber: Data diolah (2011)

Terjadinya autokorelasi spasial dilihat melalui nilai value, yaitu Jika p-value < 0,05 maka secara statistik dugaan terjadi autokorelasi menjadi signifikan (Anselin, 2010). Pada perhitungan di atas, perbedaan produktivtas tenaga kerja antar kabupaten/kota, komponen industrial mix, dan komponen productivity

different menunjukkan signifikansi terjadinya autokorelasi, dan hanya komponen allocatove yang tidak signifikan kecuali pada tahun 2007.

Nilai Moran’s I yang positif menunjukkan terjadinya autokorelasi yang positif. Dalam penelitian ini, hal tersebut dapat dibaca terdapat kecenderungan kabupaten-kabupaten/kota-kota dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan mengelompok dan demikian juga sebaliknya terjadi pengelompokan di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota yang memiliki produktivitas rendah.

(24)

Berdasarkan hasil perhitungan Moran’s I maka perbedaan produktivitas antara kabupaten/kota di Jawa dengan produktivitas Pulau Jawa menunjukkan sebagian besar berkorelasi spasial secara positif. Demikian juga dengan komponen industrial mix dan productivity different juga menunjukkan terjadinya autokorelasi spasial. Sementara pada komponen allocative tidak terdapat konsistensi hubungan pada beberapa tahun pengamatan.

Klaster Kabupaten/Kota Berdasar Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

Moran’s I merupakan ukuran global yang belum dapat menunjukkan di kabupaten-kabupaten/kota-kota mana terjadi klaster. Oleh karena itu, pengujian diteruskan dengan menggunakan Moran scatterplots (Gambar 8.a. dan 8.b.). Hasilnya menunjukkan sebagian besar kabupaten/kota berada pada kuadran LL, yaitu memiliki produktivitas rendah dan dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki produktivitas rendah. Kondisi tersebut terjadi baik pada tahun 2001 maupun 2008.

(25)

Gambar 8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa Tahun 2001

Xi- XJAWA WX i - X JA WA WX i - X JA WA

(26)

Gambar 8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa Tahun 2008

Meskipun demikian, tidak setiap kabupaten/kota memiliki signifikansi posisi dalam kuadran Moran scatterplot tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian melalui Local Indicator Spatial Analysis (LISA) significant maps. Hasil penggabungan antara Moran scatterplot dan Moran significant maps adalah LISA

cluster maps yang menggambarkan posisi masing-masing kabupaten/kota.

Berdasarkan LISA cluster maps baik pada tahun 2001 maupun 2008 sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8, terdapat klaster High-High, Low-Low, High-Low, Low-High maupun kabupaten/kota yang tidak memiliki signifikansi pengelompokan.

(27)

Gambar 9. Klaster Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

TAHUN 2001

(28)
(29)

Klaster High-High terjadi pada kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi di Jakarta dan sekitarnya (High – High). DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi terutama berasal dari sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja sektoral yang tinggi seperti sektor keuangan, perdagangan dan jasa-jasa.

Tetapi pada wilayah yang sama juga ditemukan outlier yaitu kabupaten-kabupaten/kota-kota yang justru memiliki produktivitas tenaga kerja rendah meskipun bertetangga dengan kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi (Low – High).

Pola autokorelasi negatif tersebut dapat dipahami melalui pengertian PDRB menurut lapangan usaha yang merupakan penjumlahan nilai tambah yang dihasilkan seluruh kegiatan unit ekonomi di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Nilai tambah tersebut terdiri dari upah/gaji. pajak, dan surplus usaha.

Rendahnya produktivitas kota-kota di sekitar DKI Jakarta seperti Kota Depok, Kota Bekasi dan Kota Bogor dapat dilihat dari distribusi nilai tambah yang diterima masing-masing wilayah. Penduduk di kota-kota tersebut merupakan tenaga kerja komuter di Provinsi DKI Jakarta sehingga nilai tambah yang diterima kota-kota tersebut berasal dari penerimaan upah/gaji. Sementara nilai tambah yang lebih besar yang berasal dari pajak dan surplus usaha tetap terakumulasi di kota-kota di Provinsi DKI Jakarta.

Sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah berada pada klaster

Low – Low, yang artinya memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah dan

berkelompok dengan kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang menjadi tetangga yang juga memiliki produktivitas rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah.

Kota Semarang dan Kabupaten Kudus merupakan kabupaten/kota outlier di Provinsi Jawa Tengah, yang justru memiliki rpoduktivitas tenga kerja yang relatif tinggi dibanding kabupaten/kota disekitarnya (Kuadran High – Low). Sayangnya kedua wilayah tersebut belum dapat menjadi pusat pertumbuhan yang dapat memberikan kontribusi peningkatan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di sekitarnya.

(30)

Pola keterkaitan yang tidak signifikan yang menunjukkan tidak terdapat pengelompokan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja terjadi di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Kediri di bagian timur Pulau Jawa yang merupakan kabupaten/kota dengan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi tidak memiliki signifikansi klaster dengan kabupaten/kota tetangganya. Hal tersebut mengindikasikan penyebaran kabupaten/kota yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi tetapi belum cukup signifikan untuk berperan sebagai pusat-pusat pertumbuhan bagi wilayah di sekitarnya.

Pola interaksi yang menunjukkan terjadinya autokorelasi spasial negatif (klaster HL dan LH) mengindikasikan interaksi spasial yang tidak sehat. Kondisi ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Myrdal yang menunjukkan lemahnya dampak sebar (spread effect) dibanding dengan dampak balik (backwash effect). Hal tersebut berarti pusat-pusat pertumbuhan belum dapat memberikan dampak positif terhadap wilayah di sekitarnya. Sedangkan kabupaten-kabupaten/kota-kota yang lain tidak menujukan signifikansi pengelompokan.

Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Spesifikasi Model dengan Spasial Data Panel

Permodelan spasial digunakan untuk mengestimasi kontribusi masing-masing komponen shift share: Industry-Mix Component (μi), Productivity Differential Component (πi), dan Allocative Component (αi) terhadap perbedaan

produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Estimasi parameter pada masing-masing komponen shift share sebagai variabel bebas (independent

variable) akan dilakukan secara terpisah dengan variabel terikat (dependent variable) sebagai varibael penjelas (explanatory variable) yaitu perbedaan

produktivitas tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) model persamaan tunggal (single equation model), yaitu pengaruh komponen industry-mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja, pengaruh komponen productivity

differential terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja, dan pengaruh

(31)

Permodelan dilakukan dengan menggunakan data panel, yaitu menggabungkan antara data cross section 115 kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan data time series 8 (delapan) titik tahun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008.

Langkah awal dalam pemodelan spasial data panel adalah menguji adanya efek spasial Fixed Effect dan Random Effect menggunakan uji Likelihood Ratio (LR). Spesifikasi model ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan persamaan yang tidak bias sehingga penaksiran pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tidak bias. Adapun hipotesis yang digunakan untuk uji Likelihood Ratio sebagai berikut.

1. SAR Fixed Effect

H0: Lag model tidak berpengaruh

H1: Paling tidak ada satu lag model yang berpengaruh

2. SAR Random Effect

H0: 1 (Lag model tidak berpengaruh)

H1: 1 (Lag model berpengaruh)

3. SEM Fixed Effect

H0: Error model tidak berpengaruh

H1: Paling tidak ada satu error model yang berpengaruh

4. SEM Random Effect

H0: 1 (Error model tidak berpengaruh)

H1: 1 (Error model berpengaruh)

Uji likelihood Ratio (LR test) dilakukan pada masing-masing model, yaitu kontribusi komponen Industry-Mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota, kontribusi komponen Productivity Different terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota, dan kontribusi komponen Allocative terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota. Pengujian hipotesis menggunakan tingkat signifikasi ( ) sebesar 5%. Hasil uji likelihood

(32)

Tabel 19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: The Industry-Mix Component (μi)

Model Chi-Square DF P-value

SAR Fixed Effect 2566,5592 115 0,000

SAR Random Effect 1892,5523 1 0,000

SEM Fixed Effect 2579,4085 115 0,000

SEM Random Effect 1913,4178 1 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa: The Productivity Differential Component (πi)

Model Chi-Square DF P-value

SAR Fixed Effect 1168,3821 115 0,000

SAR Random Effect 572,5636 1 0,000

SEM Fixed Effect 1227,1336 115 0,000

SEM Random Effect 618,1747 1 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: The Allocative Component (αi)

Model Chi-Square DF P-value

SAR Fixed Effect 2324,9766 115 0,000

SAR Random Effect 1646,3492 1 0,000

SEM Fixed Effect 2338,7662 115 0,000

SEM Random Effect 1658,9157 1 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Berdasarkan Tabel 19, 20, dan 21 diketahui nilai p-value untuk setiap model kurang dari  = 5%. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa pengaruh efek spasial baik fixed effect maupun random effect signifikan pada model SAR maupun SEM. Oleh karena belum dapat ditentukan model yang paling sesuai maka perlu dilakukan uji Hausman untuk menentukan apakah model tersebut termasuk model fixed effect atau random effect.

(33)

Hipotesis yang digunakan dalam uji Hausman sebagai berikut. H0: h 0 (random effect)

H1: h 0 (fixed effect)

Hasil uji Hausman dapat dilihat pada Tabel 22, 23, dan 24 berikut ini. Tabel 22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Industry-Mix

Component (μi)

Model Chi-Square DF P-value

SAR Fixed Effect SAR Random

Effect 29,6942 2 0,000

SEM Fixed Effect SEM Random

Effect 40,8053 2 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Productivity

Differential Component (πi)

Model Chi-Square DF P-value

SAR Fixed Effect SAR Random

Effect 876,5984 2 0,000

SEM Fixed Effect SEM Random

Effect 127,6984 2 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Allocative

Component (αi)

Model Chi-Square DF P-value

SAR Fixed Effect SAR Random

Effect 15,4034 2 0,0005

SEM Fixed Effect SEM Random

Effect 6,5328 2 0,0381

Sumber: Data diolah (2011)

Hasil p-value Tabel 22, 23, dan 24 setiap model SAR dan SEM menunjukkan nilai  kurang dari 5%, sehingga model efek spasial yang terbentuk adalah fixed effect. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan untuk model

(34)

perbedaan produktivitas dengan masing-maisng variabel penjelas yang ada yaitu model SAR fixed effect dan SEM fixed effect.

Pemilihan model terbaik (goodness of fit) adalah dengan menggunakan kriteria R2dan Corr2. Nilai kedua kriteria R2dan Corr2 untuk semua kemungkinan model dapat dilihat pada Tabel 25, 26, dan 27.

Tabel 25. Nilai R2dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan

The Industry-Mix Component (μi)

Model R2 Corr2

SAR Fixed Effect 0,9557 0,0514

SEM Fixed Effect 0,9517 0,0502

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 26. Nilai R2dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan

The Productivity Differential Component (πi)

Model R2 Corr2

SAR Fixed Effect 0,9719 0,4080

SEM Fixed Effect 0,9699 0,4086

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 27. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan

The Allocative Component (αi)

Model R2 Corr2

SAR Fixed Effect 0,9662 0,3108

SEM Fixed Effect 0,9641 0,2941

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 25, 26, dan 27 menunjukkan pemilihan model terbaik antara SAR dan SEM dengan fixed effect spatial. Kriteria terbaik adalah memilih model yang memiliki nilai R2 terbesar dan Corr2 terkecil sehingga didapat selisih keduanya yng paling besar.

Hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component (μi) dan the Productivity Differential Component (πi) model terbaik yang didapatkan adalah SAR fixed effect.

(35)

Sementara untuk variabel penjelas the Allocative Component (αi) model

terbaiknya adalah SEM fixed effect.

Permodelan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan

Fixed Effect Spasial

Permodelan perbedaan produktivitas tenaga kerja pada masing-masing untuk setiap variabel prediktor dengan fixed effect spatial terdiri dari Spatial Lag

Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM).

Spatial Lag Model

Pada Spatial Lag Model akan dilakukan uji parsial dengan statistik uji t untuk melihat pengaruh masing-masing variabel prediktor yang ada di setiap model terhadap variabel respon. Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut.

H0: i 0

H1: i 0, i = 1,2,…,n

Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 28 berikut.

Tabel 28. Hasil Pengujian Koefisien Parameter Spatial Lag Model

Variabel ParameterKoefisien thit p-value

The Industry-Mix Component

μi 0,9263 6,772 0,000

δ 0,4449 8,0052 0,000

The Productivity Differential Component

πi 0,735 24,6678 0,000

δ 0,3489 7,0739 0,000

The Allocative Component

αi 0,6631 18,798 0,000

δ 0,3469 6,2836 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Pada Tabel 28 yang menyajikan hasil pengujian koefisien parameter secara parsial diketahui bahwa nilai p-value variabel untuk masing-masing model kurang dari sehingga keputusannya adalah tolak H0 yang artinya masing-masing

variabel prediktor The Industry-Mix Component, The Productivity Differential

(36)

perbedaan produktivitas tenaga kerja. Dengan demikian masing-masing model

fixed effect spatial lag yang terbentuk adalah sebagai berikut.

i it n 1 i ij ij it 0,4449 W y 0,9263μ ε y

   i it n 1 i ij ij it 0,3489 W y 0,735π ε y

   i it n 1 i ij ij it 0,3469 W y 0,6631α ε y

  

Koefisien spasial lag

 

 menunjukkan besarnya interaksi pada indeks perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota sepulau jawa. Besarnya interaksi antar variabel respon sepulau jawa untuk masing-masing model sebesar 0,4449; 0,3489; 0,3469 sehingga indeks perbedaan produktivitas tenaga kerja di setiap kabupaten/kota akan dipengaruhi oleh indeks perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga.

Untuk masing-masing variabel prediktor The Industry-Mix Component, The

Productivity Differential Component, dan The Allocative Component memiliki

tingkat elastisitas yang berbeda yaitu masing-masing 0,9263; 0,735; dan 0,6631. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan The Industry-Mix Component, The

Productivity Differential Component, dan The Allocative Component sebesar 1%

akan berdampak pada kenaikan perbedaan tingkat produktivitas tenaga kerja masing-masing sebesar 0,4449%; 0,3489%; dan 0,3469%.

Adapun untuk nilai R2 dan corr2 untuk masing-masing model dapat dilihat

pada Tabel 24, 25, dan 26. Sehingga persentase keragaman yang mampu dijelaskan oleh SAR spatial fixed effect masing-masing sebesar 90,43%; 56,39%; dan 65,54%.

Spatial Error Model

Seperti halnya Spatial Lag Model, pada Spatial Error Model juga akan dilakukan uji parsial dengan statistik uji t untuk melihat pengaruh masing-masing variabel prediktor yang ada di setiap model terhadap variabel respon. Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut.

(37)

H0: i 0

H1: i 0, i = 1,2,…,n

Tabel 29. Hasil Pengujian Koefisien Parameter Spatial Error Model

Variabel ParameterKoefisien thit p-value

The Industry-Mix Component

μi 0,9335 6,6911 0,000

φ 0,4549 8,0852 0,000

The Productivity Differential Component

πi 0,7405 24,8964 0,000

φ 0,4389 7,6051 0,000

The Allocative Component

αi 0,6617 18,4755 0,000

φ 0,3509 5,3637 0,000

Sumber: Data diolah (2011)

Tabel 29 yang merupakan hasil pengujian koefisien parameter Spatial Error

Model secara parsial. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai p-value variabel untuk

masing-masing model kurang dari  sehingga keputusannya adalah tolak H0 yang

artinya masing-masing variabel prediktor, yaitu the Industry-Mix Component, the

Productivity Differential Component, dan the Allocative Component berpengaruh

signifikan terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Dengan demikian masing-masing model fixed effect spatial error yang terbentuk adalah sebagai berikut.

    n 1 i ij jt i it it 0,9335μ 0,4549 W φ ε y

    n 1 i ij jt i it it 0,7405π 0,4389 W φ ε y

    n 1 i ij jt i it it 0,6617α 0,3509 W φ ε y

Koefisien spasial error

 

ρ menunjukkan besarnya interaksi spasial pada perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Besarnya interaksi antar variabel respon kabupaten/kota di Pulau Jawa untuk masing-masing model sebesar 0,4549; 0,4389; 0,3509 yang menunjukkan perbedaan

(38)

produktivitas tenaga kerja di setiap kabupaten/kota yang dipengaruhi oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga.

Masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component, the

Productivity Differential Component, dan the Allocative Component memiliki

tingkat elastisitas yang berbeda yaitu masing-masing 0,9335; 0,7405; dan 0,6617. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan the Industry-Mix Component, the

Productivity Differential Component, dan the Allocative Component sebesar 1%

akan berdampak pada kenaikan perbedaan tingkat produktivitas tenaga kerja masing-masing sebesar 0,4549%; 0,4389%; dan 0,3509%.

Adapun untuk nilai R2 dan corr2 untuk masing-masing model dapat dilihat

pada Tabel 25; 26; dan 27. Sehingga persentase keragaman yang mampu dijelaskan oleh SEM spatial fixed effect masing-masing sebesar 90,15%; 56,13%; dan 67%.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, model yang paling sesuai untuk masing-masing komponen shift share adalah sebagai berikut. Estimasi pengaruh atau kontribusi komponen industry mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja menggunakan model SAR fixed effect, sehingga diperoleh persamaan:

i it n 1 i ij ij it 0,4449 W y 0,9263μ ε y

  

Persamaan tersebut menunjukan jika suatu kabupaten/kota mampu melakukan transformasi ketenagakerjaan dalam arti “memindahkan” tenaga kerja dari sektor yang kurang produktif ke sektor yang lebih produktif maka akan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja di kabupaten/kota tersebut. Peningkatan komponen industry mix sebesar 1 juta rupiah/orang/tahun akan meningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa sebesar 0,93 juta rupiah/orang/tahun. Sedangkan signifikansi pada variabel interaksi spasial menunjukan bahwa peningkatan atau penurunan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh kenaikan atau penurunan alokasi tenaga kerja di kabupaten-kabupaten/kota-kota di sekitarnya yang menjadi tetangga.

Sementara untuk pengaruh komponen productivity differential, persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai:

(39)

i it n 1 i ij ij it 0,3489 W y 0,735π ε y

  

Persamaan tersebut juga menunjukan hubungan positif antara komponen

productivity differential dengan perbedaan produktivitas tenaga kerja

kabupaten/kota. Artinya, suatu kabupaten/kota dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja wilayahnya dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara sektoral sehingga dapat lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa di sektor yang sama. Kenaikan nilai komponen productivity differential sebesar 1 juta rupiah/orang/tahun akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tersebut sebesar 0,74 juta rupiah/orang/tahun, jika produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa dianggap tetap.

Hubungan positif yang signifikansi pada variabel interaksi spasial menunjukan bahwa peningkatan atau penurunan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh kenaikan atau penurunan produktivitas sektoral kabupaten-kabupaten/kota-kota di sekitarnya yang menjadi tetangga.

Sedangkan pada komponen allocative model yang paling sesuai adalah dengan menggunakan SEM fixed effect sehingga terbentuk persamaan sebagai berikut:

    n 1 i ij jt i it it 0,6617α 0,3509 W φ ε y

Nilai parameter yang ditunjukan persamaan tersebut dapat dibaca sebagai jika di suatu kabupaten/kota terjadi peningkatan alokasi tenaga kerja pada sektor yang lebih produktif dan disertai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja secara sektoral sehingga nilai komponen allocative meningkat sebesar 1 juta rupiah/orang/tahun maka akan memberikan kontribusi kenaikan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tersebut terhadap produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa sebesar 0,67 juta rupiah/orang/tahun. Signifikan efek spasial pada error mengindikasikan bahwa masih ada komponen atau hal-hal lain di wilayah sekitarnya yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota, misalnya alokasi modal yang ditentukan oleh daya tarik suatu kabupaten/kota dalam menarik investasi.

(40)

Gambar

Tabel 5  menyajikan  peringkat  sepuluh kabupaten/kota  teratas  dan  sepuluh terbawah berdasarkan nilai PDRB tahun 2001, 2005 dan 2008.
Tabel 7  menyajikan  peringkat  sepuluh kabupaten/kota  teratas  dan  sepuluh terbawah  berdasarkan  jumlah  tenaga  kerja    dibanding  rata-rata  jumlah  tenaga kerja di Pulau Jawa.
Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2001 - -2008
Tabel 9 menyajikan  peringkat  sepuluh kabupaten/kota  teratas  dan  sepuluh terbawah berdasarkan nilai produktivitas tenaga kerja pada tahun 2001, 2005 dan 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kegiatan belajar mengajar banyak usaha yang dilakukan seorang guru yang bekerja sama dengan siswanya untuk meningkatkan prestasi atau hasil belajar siswa. Salah

Inovasi merupakan salah satu yang harus dikembangkan dalam dunia bisnis, agar selalu muncul gagasan-gagasan baru yang dapat terus memperbaharui produk ataupun

Alkhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas kanuria dan rahamat-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul ”ASUHAN

Percepatan oksidasi lemak pindang dengan asap cair pada hari ke-2 yakni 0,20 lebih rendah dibandingkan dengan pindang tanpa asap cair yakni 1.62 Produksi angka peroksida pada

Hal senanda juga diungkapkan oleh Dalimoenthe (2011) bahwa, masyarakat pertama kali akan menyalahkan istri, dianggap tidak mampu menjaga diri, suami dan

Hubungan yang lebih berguna pada aliran fluida viskos adalah pernyataan untuk gaya F yang diberikan pada bola jari – jari yang bergerak dengan kecepatan v melalui fluida

Motorik adalah gerakan yang mennggunakan otot-otot halus atau sebagain anggota tubuh tertentu yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.Misalnya

Untuk melihat perubahan gambaran darah tepi sebelum dan sesudah pemberian kemoradioterapi pada penderita karsinoma nasofaring guna untuk menunjang pengambilan