Pengaturan
l{ukum
Tindakan Teknologi Pornografi Melalui Akses Media InternetOleh: Amirudin Y. Dako
Abstract
Pornography websites Existence phenomenon in internet always shows
nonplusing improvement. The increasing ofpornography sites caused by this
business has promising business opportunity.
Pornography phenomenon
in
internet worldthat
is
is
not
iscontrolled,
cqn
generate morale degradation whichwill
take plac<)continually, along with progress of technologt that is becoming increases.
Internet blooming makes governmental control to pornography matter is not maximally. In the end government feels dfficulty to black out matq)
pornography websites
which every when
emerging.To
overconxepornograplry websites bloaming which more and more,
it
can be done by government not only relies on the law Products, especially criminal law, but also by increasing social values, cultt4re, religion qnd morale effectively.Kata Kunci: Hukum, Teknologi, Pornografi, Media, Internet
Pendahuluan
Internet
merupakan
sebuah ruang infofinasi dan komunikasi yangmenjanjikan
menembus batas-batasantar
rregara
dan
memPercePat penyebaran dan pertukaranilmu
dan gagasandi
kalangan ilmuwan . dan cendekiawandi
seluruh dunia. Hal inijuga
berlaku
bagi
anggota
tubuh manusia. Perlakuan terhadap tubuhatau
ekspolitasi
mengajarkanbagaimana
' melihat
danmemperlakukan tubuh seseorang. Perlakuan terhadaP tubuh atau
eksploitasi
tersebut
meruPakanperbuatan
yang
tidak
bermoral.Maknanya bahwa perbuatan tersebut tidak terlepas dari
nilai
etika, norma,aturan yang kemungkinan besar akan menggangu
stabilitas sosial
dalam masyarakat itu sendiri.Eksploitasi
tubuh
dapat dikatakan sebagai sebuah komoditastitik
temu kapitaslime yang menjadikan tubuh sebagai sebuah produk dengan bingkai yang menarik bagi siapa sajayang melihatnya. Pada bagian ini tubuh dieksploitasi
untuk
menggugah danmembangkitkan nafsu dan selera lawan jenis. Dengan bantuan teknologi, maka
muncul
produk-produkyang
lebihvariatif,
sehingga muncul setiap saat variasi pornografi baru yaitu pomoaksi,pornomedia, pornoteks, pornosuara dan
lain sebagainya.
Internet membawa kita kepada ruang atau dunia baru yang terciPta yang dinamakan Cyberspace. Istilah
ini
yang pertamakali
digunakan olehWilliam
Gibson (1994) dalarn novelfiksi
ilmiahnya "Neuromencer"
ini menampilkan realitasvirtual
(virtualreality), dunia maya, dunia yang tanpa batas (Howard Rheingold,
lgtl),
di mana penghuninya dapat berhubungandengan siapa saja dan
di
*unu i.ju
(Bruce Sterling, 1990).Gambaran mengenai nilai guna
tubuh
hanya
bagi
kepentinganekonomis pemiliknya
terlihat
Jari makna munculdari
pornografi. padahakekatnya
pomografi
dapat berartiperbuatan melacur
yangmenggambarkan
nilai
nafsu
rendahyalg
dieksploitasi dengan
tujuansebagai alat untuk menarik minat ljwan
jenis.
Cyberspace
menawarkanmanusia
untuk "hidup"
dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagaisisi
realitasbaru yang
tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuhdengan harapan,
keseningan,kemudahan dan pengembaraan seperti
teleshoping,
tuleconferince,teledildonic,
virtual cafe,
virtual architecture, virtual museum, cybers ex,cyberparty
dan
cyberorgasm (yasrafAmir
Piliang dalam
Mark
Slouka,t9e9).
Di
Indonesiasendiri,
masihkental
nilai-nilai
yang
menegaskanbahwa pornografi Internet
itu
6arangharam. Maka Internet
wajib
dibrede[Hal
ini
tidak
saja
dilontarkan dan disarankan oleh, paraelit
masyarakat,yang mengaku tahu dan kenal dengan Internet, tapijuga dipraktikkan
di
level unit masyarakat terkecil..
Proses
cybernation
yangmenimbulkan
harapan
akankemudahan,
kesenangan
dankesempatan
itu
ternyata
tidak selamanyademikian
karena
dalam cyberspacejuga
terdapatsisi
gelapyang perlu kita perhatikan sebagaimana
yang
dikatakan
oleh
Neill
Barrett(1997) dan
Mark
D.
Rasch (1996) bahwa internet mempunyai sisi gelap,sebagai sarana
yang
mendukungkejahatan,
di
mana80%
gambar dIinternet adalah gambar pomo-.
Munculnya
produk_produkyang lebih variatif
dari
pornografitersebut
memberikan
pilihan
Lagikonsumen untuk memilih produk mana
yang tepat. Dalam dunia bisnis, nafsu seksual merupakan komoditas yang tak akan habis ditekan
inflasi,
sehinggaakan tetap memberi keuntungan bagi pelaku bisnisnya.
Cyberporn atau pornografi di internet
itu
merupakan salah satu dari sisi gelap itu. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 282 dan pasal 2g3 KUHP,Hukum
pidana
Indonesia melarangpornografi
dalam
bentuk
apapun.Tulisan ini
akan
beruiahamengungkapkan
tentang
relevansihukum
pidana
yang
ada
sekarangdengan
cyberporn
dan
bagaimanapencegahan
dan
penanggulangannyabaik bagi pengakses maupun pengelola
warung internet
maupun pengusaha jasa layanan internet lain.Berdasarkan
uraian
di
atas, maka penulis mencoba menguraikanketerkaitan antara
teknologi
dan pornografi serta aspek hukum terutamahukum pidana. Hal
ini
dilakukan oleh penulis dalam rangka salah satunyamemberikan
sumbangan pemikirandalam upaya
menekan penyebaranpornografi yang sudah mencapai
titik
kulminasinya,
apalagi
ketikapornografi bertemu dengan
yangnamanya teknologi.
Pornografi
dan
hukumdalam masyarakat. Namun munculnya pornografi
melalui medium
Internet membuat aturan yang ada seolah tidak bekerja.Ini
menyebabkan munculnya pendapatyang
mengatakan bahwapornografi
lnternet
tidak
termasuk dalam wilayah hukum positif (tertulis),dan
belum
diatur
dalam
undang-undang, mengingat pornografi lnternetmemiliki
karakteristikyang
berbeda dengan pornografi tradisional.Seluk-Beluk Pornografi
Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan besar
dan men-dasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala
global.
Denganmenggunakan
internet,
penggunadimanjakan untuk berkelana menembus
batas kedaulatan suatu negara, batas
budaya, agatna,
politik,
ras,
hirarki, birokrasidan
sebagainya. Selain ituinternet juga menjadi sarana yang baik bagi masyarakat dalam pekerjaan, di
rumah
maupun
di
tempat-tempat pelayanan publik lainnya.Ada
pandangan yang bersifatsepihak
mengenai
pomografi.Perempuan selalu dijadikan objek yang
utama
dalam
penggambaran materiyang
bermuatan pornografi, padahaltidak
sedikit laki-laki menjadi bagianpenting
dari
pertunjukan pornografitersebut yakni sebagai pasangan lawan
dari perempuan"
Di
Indonesia sendiri, sampai saat ini tidak ada rumusan baku tentangdefenisi pornografi. Namun, demikian bukan berarti sistem hukum nasional
tidak mengenal delik pornografi. Delik pornografi digolongkan sebagai tindak
pidana
melanggar
kesusilaan(zedelijkheid),
yaitu
yang
khusus berkaitan dengan seksualitas. MenurutWirjono Prodjodikoro, rumusan
pasal-pasal dalam
KUHP tidak
menyebutkata
"pomografi"
secara
langsung(letterlijk).
Akan
tetapi,
dalamperkembangan selanjutnya, para ahli ilmu hukum menggunakan istilah delik pornografi
ini
untuk membedakannya dengan kejahatan danl atau pelanggarankesopanan
yang lain.
Wirjono menyebut kejahatan dan pelanggaranini
sebagai "Tindak Pidana mengenaiPornografi".
Menurut sastrawan H.B. Jasin
pornografi adalah setiap tulisan atau
gambar
yang
ditulis
atau
digambardengan maksud
untuk
merangsangseksualitas seseorang.
Pornografi membuat fantasi pembaca atau orangyang melihatnya menjadi bersayap dan
ngelayap
ke
daerah-daerahperkelaminan
yang
menyebabkan syahwat berkoar-koar (Lesmana, 1995:l0e).
Ketidakjelasan defenisi
pornografi
dalarn
sistem
hukumnasional,
membawa
dua
dampak sekaligusyaitu;
kerugian dan
jugakeuntungan.
Kerugian
ini
terjadi,karena selama
ini
KUHP
telah"menyerahkan"
tafsir
pelanggarankesusilaan
kepada majelis
hakim. Penyerahkanpenafsiran
pornografipada
hakim
di
satu
sisi
dapat menimbulkan adanya ketidakpastianhukum.
Hal
ini
dibuktikan,
dalam sebuah penelitian Abdul Qodir tentangpornografi bahwa yurisprudensi yang
ada telah
menunjukkan
bahwa pertimbangandari
putusan-putusanhakim atas
kasus-kasus
delikpornografi
tidak
memberikan suatu gambaran tentang pemalramanhakim-hakim
Indonesia mengenai masalahpornografi.
Nilai
keuntungan yangdapat diperoleh bahwa
KUHp
telah memberikanruang pada
perubahanzaman
dalam
menafsirkan
sebuahinformasi dapat dikatakan pornografi atau tidak lagi.
Pada
intinya unsur
pokok pornografiialah
adanya kesengajaanuntuk
merangsang
nafsubirahi.sementara
unsur
tambahannyaialah adanya tujuan
untukmenimbulkan pikiran-pikiran
jorok serta menciptakan fantasike
daerah-daerah seputar perkelam inan.Sebagai contoh dapat kita lihat
delik
mempertontonkan alat pencegahkehamilan.
Dahulu,
sewaktu KUHP dibuat tindakan mempertontonkan alatpencegah
kehamilan
merupakantindakan
pelanggaran
terhadapkesusilaan. Karena itulah perbuatan ini diatur dalam Pasal 283 KUHP. Namun,
sekarang
nilai
ini
berubah menjaditindakan
yang
malah
dianjurkan melalui berbagai program pemerintahdiantaranya; keluarga berencana dan sekarang pencegahan penyakit AIDS.
Perkembangan defenisi dari pornografi
dan
praktek dalam sistem
hukumpidana
nasional
tentang
delikpornografi
telah
memperlihatkanbahwa pornografi
tidak bisa
kita lepaskan dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakatdan
cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai tersebut. ,Pornografi berasal
dari
kataYunani
yaitu
porne yang
berartipelacur dan grafi yang berasal dari kata
graphien yang artinya ungkapan. Ada
tiga
definisi
dari
pornografi menurutSita
Aripurnami,
(1994),
yaitu:Pertama, definisi pornografi dari sudut pandang konservatif yang menganggap semua penggambaran telanjang adalah
pornografi. Kedua, definisi pornografi berdasarkan pendekatan
liberal
yang menganggap pornografi adalah sesuatu yang baik-baik saja karena merupakanaspek seksualitas kita. Ketiga, definisi yang muncul dari pendekatan feminis yang muncul di tahun 1970-an dan
80-an yang menganggap pornografi adalah
presentasi baik secara verbal maupun gambar
dari
perilaku
seksual yang merendahkan atau kasar dari satu atau lebih pelaku.Pornografi
bersifat
relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaansuatu
bangsa. Bahkan
dalamlingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi
variasi
pengertian
pornografi
itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaanyang mencolok sekali (Hamzah, 1987). Pornografi tradisional biasanya
dilakukan melalui media lama seperti
buku,
majalah,film
dan videotape.Kehadiran
Internet
dan
cyberspacememberi
warna dalam
persoalanpornografi. Pornografi
di
internet berkaitan dengan possessing, creating,importing,
displaying,
publishingand/or
distributing
pornography(Susan W. Brenner, 1999). Pornografi
di
internet berkaitan denganisi
ataucontent
dari
situs yang
disajikankepada
pengaksesnya,
sehinggaConvention
on
Cybercrimedari lJni
Eropa mengkategorikan pornografi inidalam kategori
Content-related offences.Pada
dasamya
ada
dua pandangan mengenai seni dan estetika yang dapat dipakai untuk memahamimasalah pornografi. Konsep estetika
modemitas
membedakan
antaraKetelanjangan
tidak
menonjolkanaspek
seksualserta
sensual tubuh,melainkan
apa
yang
disimbolkan, misalnya kesuburandan
kelembutanpada
tubuh
perempuan. Sementarakebugilan menggambarkan tubuh yang
polos yang telah mendapatkan makna
sosial sehari-hari, seperti pembangkit birahi, komoditas yang dijual dan lain sebagainya.
Setidak-tidaknya
ada
empatpendapat yanlg berkaitan
dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen (1995), yaitu: Pertam4 Pornographyis
bad becauseit is violence and oppression (Catharine
Mackinnon).
Kedua,
Pornographymust
be
toleratedfor free
speechreasons
(Nadine
Strossen). Ketiga,Pornography
r
good,
liberating,allows us
to grow
as
sexual beings(Wendy McElroy).
Keempat,Pornography
is
absolutelybad
byreligious commandement
or
other rule arisingfront a morality of prohition.Aspek
Hukum Pidana
Dalam PornografiFenomena
pornografi
ataucyberporn
yang
menjamur
harus dipandang sebagaihal
yang
telah melanggar moral dan etika serta rasakesusilaan. Penanganan secara law enforcement terkendala
oleh
regulasihukum yang banyak mengandung sisi
lemah bahkan
kevakuman
aturan hukum.Pornografi dapat merangsang
timbulnya
tindak
pidana
lain.Penelitian
dari
Ninuk
Widyantoro(Hamzah,
1987)
membuktikan haltersebut. Penayangan pornografi pada
saat yang tepat dapat membangkitkan gairah seksual
yang
meningkat danmenuntut
penyaluran segera, tetapisering
sulit
dilaksanakan.
Apabila mekanisme sensor lemah, penyalurandilaksanakan tanpa memikirkan resiko bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Violent pornografi
merupakanperangsang
yang kuat
bagipenerimanyq
yang
apabiladilaksanakan akan
dapatmengakibatkan pelecehan seksual yang berdampak berat (Darm abrata" 1994).
Internet pada
dasarnyadiciptakan
untuk
kebaikan,
seiringberjalannya
waktu
internet
jugamenjadi
alat yang
mempermudahkejahatan.
Setidak-tidaknyahal
itutercermin
dari
apa yang
dikatakanJonathan Blumen (1996) bahwa "The Internet
is
"dangerous" becauseit
is a ruediumfor
the
instantaneous and uncontrolled transmiss ion of ideas. "Hukum pidana
kita
yang bersumberpada
KUHP
sebenarnyatelah
mengatur persoalan pornografi dalam Pasal282
dan 283.Dari
segihistoris,
terlihat
bahwa
KUHP
kita dirancang bukan untuk mengantisipasi perkembangan internet seperti sekarangini.
KUHP
dibuat pada tahun 1881sedangkan Internet
mulaidikembangkan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an. Perbedaanjarak yang panjang dan landasan berfikir dari pembentuknya dengan keadaan
berkembang
menimbulkan
pada
saatdalam
penerapanKUHP
terhadappersoalan
cyberporn.
Penulis dalamhal
ini
hanya akan membatasi pada persoalanteoritis
berupa peninjauan terhadap pasal-pasalyang
berkaitandengan
pornografi
danperkembangannya
melalui
internet yangini kesulitan-kesulitan
serta
penafsiran terhadapisi
pasaltersebut.
Dalam
KUFIP,
pomografi merupakan kejahatanyang
termasukgolongan
tindak pidana
melanggarkesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283. Tindak pidana
pornografi berkaitan dengan
adatkebiasaan
yang
berhubungan dengan kelamin (seks) seseorang. Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282KUHP
baik yang terdapat dalamayat
(1), (2)
maupun
(3)
dapatdigolongkan
menjadi
tiga
macam,yaitu:
Pertama,
menyiarkan,mempertontonkan
atau
menempelkan dengan terang-terangantulisan
dansebagainya.
Kedua,
membuat,membawa
masuk,
mengirimkanlangsung, membawa
keluar
atau menyediakantulisan
dan
sebagainyauntuk
disiarkan, dipertontonkan atauditempelkan dengan terang-terangan.
Ketiga,
dengan terang-terangan ataudengan menyiarkan
suatu
tulisanmenawarkan dengan tidak diminta atau
menunjukkan,
bahwa
tulisan
dansebagainya itu boleh di dapat.
Berdasarkan pasal tersebut dan penafsiran mengenai makna pornografi dalam masyarakat, terjadi perubahan-perubahan yang menggeser makna kata
tersebut.
Pergeseranmakna
yangdisebabkan
oleh
perkembanganteknologi informasi
seharusnya mengubah penafsiran terhadap unsurdelik
pornografi.
Jika
menggunakanpenafsira lama, maka layar komputer
yang
dimiliki
oleh
rental
komputer, perkantoranmaupun pribadi
tidak dapat dikategorikan sebagai makna di muka umum sebagaimana dimaksudkandalarn Pasal 282
KUHP.
Sebenarnya apa yang dikatakan sebagaidi
mukaumum dalam
hal
ini
harus ditafsirkan secaralebih
luas dengan pendekatanteknologi informasi itu sendiri.
Penanggulangan
Pornografi
Melalui TeknologiPornografi merupakan
permasalahan
yang
sering
menuaikontroversi,
terutama
dengan munculnya media baru,yaitu
internet sehingga memunculkanmoral
panicdiantara lembaga peradilan, pemerintah
dan media.
Kepanikan
itumenyebabkan
berbagai
negara membatasiakses, bahkan
melarangperedaran
materi yang
mengandungpornografi.
Akan tetapi
karena tidakada
kesatuan pendapat,maka
sulituntuk
menentukanmateri
pornografiseperti apa
yang
dapat
dijadikansebagai
ukuran
yng
pasti
bagi masyarakat global.Hukum merupakan salah satu bentuk pembatasan yang paling nyata
terhadap pornografi.
Dalam
kontekshukum negara, kita memiliki beberapa perundang-undangan
yang
melarang pornografi. Pembatasanyang
paling umum dapatdilihat
dalam Pasal 282, Pasal283, Pasal 532, Pasal 533 KUHP.Kemudian peraturan
perundang-perundanganlain
yang
mengaturtentang pornografi adalah
UU
No
40tahun 1999 tentang Pers, Pasal 36 ayat
(5)
UU
No
32
tahun 2002
tentang Penyiaran.Untuk
mencapai
tujuanbersama
berupa keinginan
untuk memberantas pomografi, maka harusada
kompromi
di
antara
mereka.Masyarakat berkeinginan
agar pornografidi
internet dapat ditekansehingga dampak buruk yang muncul
tidak
akan membahayakan nilai-nilaikehidupan
bermasyarakat.Hal
ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses,orang
tua(terutama yang anaknya senang main
internet
dan
juga
dirinya
sendiri), pengusahaatau
pemilik
warnet danaparat penegak hukum.
Selain menjadi ujung tombak dari kerangka pemberdayaan teknologi
telematika,
warung
internet
j.rgu merupakanujung
tombak
dari
Parapara
penikmat situs-situs
Porno.Dalam
konteks
pencegahan
danpenanggulangan
cyberporn
ini,pengusaha
atau
Pemilik
warnet menghadapidilema.
Dilema-dilema tersebut adalah: Pertama, situs pomo merupakan dayatarik
yang luar biasadan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan
bagi
pengusahaini
meruPakan iconkeuntungan. Kedua, adanya larangan
atau himbauan bagi penunjung untuk
tidak
mengaksessitus porno
akanmenurunkan
jumlah
Pengunjung.Ketiga,
untuk
mengontrol Penggunainternet
agff
tidak
memasuki situsporno agak
susahkarena
Pemakaiinternet
di
wametjuga
banYak dan langkahini
memerlukan tenaga yang berartilebih
jauh
adalah tambahnya pengeluaran.KeemPat,
Pembatasanusia
pengunjungjuga
akan semakinmemperparah
dan
mem-Persulit pemasaranyang akibat lebih
jauhadalah
bangkrutnYa
warnetnYa. Kelima,tidak
semua Pengusaha ataupemilik warnet
memPunYaikemampuan untuk memasang software
yang
mampu
menYaring situs-situsmana yang boleh dibuka.
Upaya
Penanggulangankejahatan
perlu
ditemPuh
dengan pendekatan kebijakanyang
meliputiadanya
keterpaduan
(integralitas) antarapolitik
kriminal dan
politik sosialdan
keterpaduan antara upaya penanggulangankejahatan
denganpenal
dan non
penal.
Upayapenanggulangan
kejahatan
yangintegral mengandung
arti
pula bahwa masyarakat dengan seluruh potensinyaharus dipandang sebagai bagian dari
politik
kriminal (Barda Nawawi Arief,19e6).
Dalam persoalan pornografi di
internet, penggunaan sarana penal tidak
dapat berjalan
denganbaik
karena adanya kemandegan dalam penafsiranunsur-unsur
dalam pasal
tentangpornografi.
Di
sampingitu
adalah kesulitan dari aparat keamanan untukmelacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar
atau tulisan
pomo.
Selainitu
adalah keengganan hakim-hakimkita
untuk mendobraktradisi
lama yang legismoriented dengan pendekatan baru yang
mengedepankan searching
for
turth and justice.Melihat
sarana
penal
yangtidak lagi
efektif
dalam pencegahandan
penanggulangancyberporn
ini, maka langkahyang
harus ditempuh adalah dengan menggunakan sarananon
penal
yaitu
dengan melibatkanberbagai komponen dalam masyarakat
seperti pengusaha warneVjasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Koordinasi
ini
sulit dilakukan karenaterjadi
pertentangandi
antara komponen masyarakat tersebut. Padasatu
sisi
pomografi merupakan dayatarik dari
internet (pengusaha wamet) yang berharap keuntungan akan datangdan
pada
sisi lain dari
keinginan masyarakatuntuk
mempertahankannilai-nilai
kemasyarakatan kebudayaan.Undang-Undang
tidak
menghabiskantenaga
dalammerumuskan
RUU
Pornografi, namunperjuangan haruslah diarahkan pada
bagaimana membangkitkan
socialcontrol
masyarakatterhadap
aparatpenegak
hukum dalam
mengatasi penegakan peraturanyang
melanggardelik pornografi.
Persoalan
ketidakefektifan hukum nasional memang baru munculketika
mengatasi
pornografi
yangdisebarkan
melalui
Internet. Namun, halini
bukan berarti tidak ada hukumnasional yang dapat diterapkan dalam menjerat delik ini. Pada dasarnya untuk informasi pornografi
di
tnternet yangdibuat
oleh
warga
negara Indonesiadimana
pun
ia
berada, maka hukumnasional
yang
mengatur
delik pornografi dapat menjerat pelakunya. Permasalahannya timbul karena sampaisaat
ini
hukum nasionalkita
belumsecara tegas mengakui alat bukti dalam
bentuk
elektronik
dalam
proses pembuktiandi
Pengadilan. Disinilahinti
permasalahan mengapakasus-kasus pornografi
di
Internet
yangdibuat warga negara Indonesia, belum
dapat
dijerat
oleh
sistem
hukum nasional.Berbagai
peraturan
yang melarangpornografi,
dapat
terlihatsampai
sejauh
mana
pemerintah mengakomodasi perkembanganteknologi sebagai
cara
untukmembatasi
akses
pada
muatanpornografi,
di
samping penggunaanistilah yang tidak baku dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Perkembangan
internet yang
begitu pesat membuat kontrol terhadap materipornografi
tidak
dapat dilakukan olehpemerintah. Pemerintah
sendiriakhirnya kewalahan untuk memblokir dan
tentang
Pornografi menjadi sebuah
policy
yangditawarkan
dalam mencobamembendung pornografi
yang
sangat marak akhir-akhir. Apalagi kehadiranintemet
telah
membuat penyebaranpornografi
rnenjadi
tanpa
batas.Sebagai
sebuah
gagasan,
RUU Pornografi tentu sah-sah saja, namunbila
pembentukannyatelah
menjadisebuah keputusan, maka ada beberapa
hal yang harus
kita
perdebatkan lagi,terutama
tentang
seberapasignifikannya
kehadiran
RUUPornografi
dalam
memberantaspornografi.
Berbagai peraturan
perundang-undang
yang
ada
sekarang
telah mengaturtindak
pidana
pornografitermasuk
yang
disebarkan melaluimedia.
Setidak-tidaknya
seluruhperundang-undangan
yang
mengatur tentang media, seperi UU. 40 No. 1999 Tentang Pers,[fU.
No. 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran, UU. 8 Tahun 1992Tentang
Film
dan
UU
No.
36
No. Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,telah
pengaturandelik
pornografi dimasing-masing
media
tersebut.Sehingga
argumentasi
yangmenyatakan bahwa tidak ada perangkat
hukum dalam membendung pornografi
di
Indonesia adalah tidak tepat. Kedua,Persoalan mendasar
dari
tidak bekerjanya hukum bukan terletak padatidak
lengkapnya instrumen hukumtentang
tindak
pidana
pornografi, namun terletak padalaw
enforcementoleh para
aparuthukum,
terutamakepolisian
dalam
memberantas ponrografi.Oleh
karenaitulah,
adabaiknya
bila
koalisi anti
pornografibanyaknya situs porno yang setiap saat
muncul.
Pada akhirnya semua peraturan
yang dibuat
oleh
pemerintah akanmenjadi
teori
belaka tanpa
praktek yang memadai- Pertanyaan fi losofi snyakemudian adalah apakah pemerintah dalam
hal
ini
sebagai pembuat danmerumuskan
sekaligus
pelaksana hukum sudah menjangkau pemikiranseperti itu. Penutup
Para ahli sampai saat ini masih
mencari bagaimana menyajikan aroma,
rasa dan sentuhan padalayar komputer.
Perkembangan peraturan
yang
yangmenyangkut teknologi tidak dilepaskna
dari atau
merupakan
cerminanperkembangan teknologi
juga. Hal
inimenunjukkan
bahwa
persoalanpornografi
tidak
melulu
persoalanetika, moral,
ekonomi,
potitik
dan agama, akan tetapijuga
merupakanpersoalan teknologi. Teknologi telah
menjanjikan berbagai
hal
yangmemudahkan
manusia
memecehkanpersoalan
sekaligus
menjuruskan manusia dalam jurang ketergantungan.Pada
ranah
demikian,hukumpun
harus melihat
kenyataanbahwa pornografi
bukan
persoalan hukum semata, hukum harus melihat realitasyang ada
padabidang
lainuntuk
menentukkan
batas-bataspornografi
yang dapat
ditolerir,termasuk
perkembangan teknologisemakin lama semakin cangih.
Dalam
konteks
mencariterobosan untuk lebih dapat melakukan
prevensi,
perlu
dikedepankanpencegahan
terhadap
meluasnyafenomena
pornografi maupunpornoaksi
dengan
menggunakanpendekatan yang bersifat penal dan non penal. Pendekatan non penal antara lain
dapat
dilakukan denganmengefektifkan
nilai-nilai
sosial, budaya,susila,
agamayang
hidupDaftar Pustaka
Aripurnami, Sita, pornografi
Dalam Seminar pornografi Dalam1994
Barrett,
Neill,
i997,Digital
Crime,London
leyllekttf
Perempuan. Makalah dalamPerilaku Kriminal,
UI
Depok, II
Fet;;
Policing the Cybernation, Kogan page Ltd,electronic dapat
h
Blumen, Jonathan, 1gg5, 1s pornography
Bad? http://www
spectacre. org/ Is Pornography.
Brettner, Susan, 2000, tlthat is the
Model state contputer crimes Code?university of Dayton Schoolof Law.
Gibson,
William,
19g4, Neuromancer,New york: AceHamzah,
Andi,
1987,
Ponograi'
ooto*
Hukunt pidana,
suatu
studi perbandingan, BinaMuiia, Jakarta
Lesmana, 3-ipta, 1995,
pornogr"l
ooio*'urdia
Masa,puspa swara. Jakarta. Rasclr,
Mark
D.,
1996, Thetitrrir}
onaarririri,')-
fJiynrr
Guide
to
theEmerging Legar,.Issues, computer Law
Associati6n; versi erektronik
dapat dijumpri
di
;
Rheingold,
Howard,
lggl,
Virtual
Reali4t,Mandarin, dij umpai di http ://www. rhein so I d.com/vclhont
Srouka'
*^':,:,::?*I":::^ryf,_!:,,r"r,,P.andanran
Humanis tentans Budaya
Cy b ersp ac e yang Mer i s
lukail
Mizan, e?naungtri;*::,)*",:,^.:?-?.0,
T,i"
u":"i",
-