• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hadis-Hadis Tentang Hari Raya Bertepatan Dengan Hari Jumat: Suatu Analisis Astronomi Oleh : Syamsul Anwar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hadis-Hadis Tentang Hari Raya Bertepatan Dengan Hari Jumat: Suatu Analisis Astronomi Oleh : Syamsul Anwar"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Syamsul Anwar • Abstrak

Tulisan ini mengkaji hari raya ('id) yang jatuh hari jum'at sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadis. Pertanyaannya adalah benarkah hari raya ('id) pernah terjadi hari jum'at di zaman Nabi s.a.w.? Kalau benar, hari raya apa dan kapan? Apakah ada keselarasan antara analisis ilmu hadis dan analisis astronomi mengenai hal ini. Kesimpulannya antara lain bahwa analisis astronomi dapat mengkonfirmasi analisis ilmu hadis.

A. Latar Belakang, Permasalahan dan Tujuan Penelitian

Dalam kenyataan tidak jarang hari raya Islam ('id) jatuh pada hari Jumat. Misalnya apa yang kita saksikan pada idul fitri 1428 H. yang baru lalu, di mana sebagian umat Islam di dunia termasuk sebagian di Indonesia merayakannya pada hari Jumat.1 Di zaman Nabi s.a.w. hari raya juga pernah jatuh hari Jumat, seperti dilaporkan dalam hadis riwayat Abu Dawud. Hadis lain menerangkan bahwa hari raya yang jatuh hari Jumat itu adalah hari raya idul fitri sebagaimana ditegaskan dalam hadis al-Tabarani.2

Dalam pada itu Firdaus bin Yahya, dari Singapura, melakukan kajian tentang awal dan akhir Ramadan di zaman Nabi s.a.w. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa Nabi s.a.w. lebih banyak berpuasa Ramadlan 29 hari daripada 30 hari. Penemuannya ini sejalan dengan hadis-hadis yang menyatakan bahwa beliau lebih banyak puasa Ramadlan 29 hari, serta sejalan pula dengan penegasan al-‘Asqallani bahwa beliau berpuasa 30 hari hanya dua kali dari sembilan kali beliau mengalami Ramadlan, selebihnya beliau berpuasa Ramadlan 29 hari.3 Namun secara

Penulis adalah guru besar Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

1 Pada Idul Fitri 1428 H yang lalu terdapat empat hari berbeda di mana umat Islam di seluruh dunia merayakan lebaran. Dua negara, yaitu Nigeria dan Niger di Afrika, merayakannya hari Kamis; 40 negara yang meliputi antara lain Saudi Arabia beserta negara-negara tetangganya di Teluk berhari raya pada hari Jumat; 38 negara berhari raya pada hari Sabtu; dan 3 negara, yaitu India, Pakistan dan Bangladesh, berhari raya pada hari Ahad. Lihat “The Official First Day in Different Countries,” Http://www.icoproject.org/icop/shw28.html, diakses pada tanggal 16-11-2007.

2 Hadis-hadisnya dikemukakan di belakang pada sub D.

3 Firdaus bin Yahya, “An Analytical Study of Beginning and End of Ramadan During Prophet Muhammad’s Time,” dalam Guessoum dan Odeh, Applications of

(2)

tidak langsung dari uraiannya tentang awal dan akhir Ramadlan itu terlihat bahwa tidak ada Ramadlan Rasulullah s.a.w. yang berakhir hari Kamis dan karena itu tidak ada idul fitri yang jatuh hari Jumat. Firdaus bin Yaya tidak menyinggung hal ini, bahkan tampaknya juga ia tidak menyadari ada hari raya di zaman Nabi s.a.w. (sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis) yang jatuh hari Jumat. Analisisnya ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang hadis-hadis yang menyatakan bahwa lebaran termasuk idul fitri jatuh hari Jumat.

Dari latar belakang di atas timbul beberapa pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Benarkah hari raya ('id) pernah jatuh pada hari Jumat di zaman Nabi s.a.w.? (2) Apabila pernah, hari raya apakah yang jatuh hari Jumat itu, apakah idul fitri atau idul adha atau keduanya? (3) Tahun berapakah hari raya Nabi s.a.w. bertepatan dengan hari Jumat? (4) Apakah hadis-hadis tentang hari raya jatuh hari Jumat itu sahih? (5) Apakah ada keselarasan antara hasil kajian ilmu hadis dan hasil kajian astronomi dalam masalah ini?

Penelitian ini pada pokoknya menggunakan pendekatan astronomi. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam analisis hadis, dalam arti dapat memperkuat analisis ilmu hadis sendiri. Apabila analisis astronomis sejalan dengan keterangan hadis-hadis berarti pendekatan astronomi mengkonfirmasi data hadis. Akan tetapi apabila sebaliknya yang terjadi, berarti pendekatan astronomi, dalam beberapa kasus, dapat mendhaifkan suatu hadis. Analisis seperti ini sekaligus dapat menunjukkan sejauh mana akurasi analisis ilmu hadis, khususnya dalam menentukan kesahihan atau kedhaifan suatu hadis. Apabila hasil analisis ilmu hadis sesuai dengan hasil analisis astronomi, itu berarti bahwa yang terakhir ini membuktikan bahwa analisis ilmu hadis memang memiliki tingkat akurasi yang memadai. Akan tetapi apabila hasilnya adalah sebaliknya, di mana hasil analisis ilmu hadis tidak didukung oleh analisis astronomi, itu berarti bahwa ilmu hadis belum memiliki tingkat akurasi sebagaimana mestinya. Lebih lanjut diharapkan bahwa penggunaan analisis astronomi dapat membantu analisis-analisis hadis yang berkaitan dengan data-data astronomi.

B. Landasan Teori: Kriteria Visibilitas Hilal

Meskipun semangat al-Qur'an cenderung kepada penggunaan hisab sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah, “Matahari dan bulan beredar berdasarkan perhitungan,” [Q. 55: 5] dan “Dialah yang

Astronomical Calculations to Islamic Issues (Abu Dhabi: ICOP, EAS & CDR, 2007), p. 43-55. Selanjutnya disebut AACII.

(3)

menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (hisab)” [Q. 10: 5], namun Nabi s.a.w. secara faktual melakukan penetapan awal bulan dengan berdasarkan rukyat, tidak berdasarkan hisab. Hal itu dapat diketahui dari sabda beliau,

ﺍﻮﻣﻮﺻ ِﻪِﺘﻳﺅﺮِﻟ ﺍﻭﺮِﻄﹾﻓﹶﺃﻭ ِﻪِﺘﻳﺅﺮِﻟ ﹾﻥِﺈﹶﻓ ﻲﻤﹸﻏ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﺍﻮﹸﻠِﻤﹾﻛﹶﺄﹶﻓ ﺩﺪﻌﹾﻟﺍ ] ﻩﺍﻭ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻢﻠﺴﻣﻭ ، ﻆﻔﻠﻟﺍﻭ ﻪﻟ [

Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridul fitrilah karena melihatnya. Jika kamu tertutup awan (sehingga tidak bisa melihat hilal), maka genapkanlah bilangan bulan tiga puluh hari [HR al-Bukhari³ dan Muslim; lafal Muslim].4

Mengapa Nabi s.a.w. menggunakan rukyat adalah karena di zaman dan dalam masyarakat beliau ilmu hisab belum berkembang. Dengan kata lain ‘illat penggunaan rukyat di zaman Nabi s.a.w. adalah keadaan umat yang masih ummi dalam pengertian belum banyak mengenal baca-tulis dan keahlian hisab.5 Ini ditegaskan sendiri oleh Nabi s.a.w. dalam sabdanya,

ﺎﻧِﺇ ﹲﺔﻣﹸﺃ ﹲﺔﻴﻣﹸﺃ ﹶﻻ ﺐﺘﹾﻜﻧ ﹶﻻﻭ ﺐﺴﺤﻧ ، ﺍ ﺮﻬﺸﻟ ﺍﹶﺬﹶﻜﻫ ﺍﹶﺬﹶﻜﻫﻭ ﻲِﻨﻌﻳ ﹰﺓﺮﻣ ﹰﺔﻌﺴِﺗ ﻦﻳِﺮﺸِﻋﻭ ﹰﺓﺮﻣﻭ ﻦﻴِﺛﹶﻼﹶﺛ ] ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻢﻠﺴﻣﻭ [ Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang tidak bisa baca-tulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu begini begini. Maksud beliau bulan itu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari [HR al-Bukhari dan Muslim].6

Oleh karena Nabi s.a.w. meggunakan hisab, maka kita memerlukan kriteria visibilitas awal hilal beberapa saat sesudah kelahiran Bulan baru (konjungsi) guna membuat perkiraan kapan Nabi s.a.w. memasuki bulan Syawal (beridul fitri) dan kapan beliau memasuki bulan Zulhijah guna menentukan kapan ia beridul adha. Upaya menentukan kriteria visibilitas hilal sudah sangat tua dalam peradaban umat manusia, setidaknya dapat dicatat sejak zaman Babilonia. Orang-orang Babilonia

4 Muslim, Sahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr li al-Tiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', 1412/1992), I: 482, hadis no. 1018b.

5 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1426/2005), II: 152; az-Zarqa, Fatawa Mustafa az-Zarqa (Damaskus: Dar al-Qalam, 1425/2004), p. 160-161; idem., al-‘Aql wa al-Fiqh fi Fahm al-Hadis an-Nabawi (Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: ad-Dar asy-Syamiyyah, 1423/2002), p. 76; Ahmad Syakir, Awa’il asy-Syuhur al-‘Arabiyyah, sebagaimana dikutip al-Qaradawi, Kaifa Nata‘amal ma‘a as-Sunnah an-Nabawiyyah: Ma‘alim wa Dawabit (al-Mansurah: Dar al-Wafa’, dan Herndon: IIIT, 1991), p. 149.

6 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1407 / 1987), II: 675, hadis no. 1814; dan Muslim, op. cit., I: 482, hadis no. 1080n.

(4)

merumuskan dua kriteria untuk dapat melihat hilal, yaitu (1) usia hilal di tempat terbenamnya matahari lebih dari dua puluh empat jam, dan (2) mukus hilal lebih dari empat puluh delapan menit.7

Yang dimaksud dengan usia hilal adalah umur Bulan dihitung sejak saat kelahirannya (saat konjungsi) hingga waktu tertentu di suatu tempat. Yang dimaksud dengan mukus hilal adalah tenggang waktu antara terbenamnya matahari dan terbenamnya Bulan pada suatu sore.8 Misalnya

untuk awal Zulhijah 1428 mendatang di kota Lima, Peru, konjungsi geosentrik menjelang awal (kelahiran hilal) Zulhijah terjadi pada hari Ahad pukul 12.40 waktu setempat. Matahari terbenam pada hari itu di kota tersebut pukul 18.25. Jadi usia Bulan pada saat matahari terbenam di Lima adalah 5 jam 10 menit. Bulan terbenam di kota tersebut pada sore Ahad itu pukul 18.37 waktu setempat. Jadi mukus hilal adalah 11 menit.9 Jadi bila diterapkan kriteria Babilonia, hilal belum akan terlihat, meskipun telah berada di atas ufuk, karena usianya kurang dari 24 jam dan mukusnya kurang dari 48 menit.

Meskipun kriteria Babilonia ini sederhana, namun bertahan cukup lama dan tidak mengalami banyak perubahan hingga beberapa waktu belum lama ini.10 Di zaman Islam kriteria ini juga tetap populer

sebagaimana tampak dalam pernyataan al-Battan³ yang dikutip mengatakan tentang orang zaman kuna, “Mereka berbicara tentang rukyat hilal tidak secara komplit, melainkan secara kurang lebih. Mereka menegaskan bahwa tidak mungkin melihat hilal apabila usianya kurang dari sehari semalam. Bila dipelajari, akan ternyata bahwa pernyataan ini merupakan dasar dari praktik yang dijalankan.”11 Namun demikian para ahli astronomi Muslim juga mengembangkan daftar-daftar untuk menentukan visibilitas hilal. Yang lebih penting lagi mereka juga telah menyadari arti penting parameter lebar hilal (cresent’s width, samk a-hilal) guna menentukan visibilitasnya.12

Di zaman modern (abad ke-20) ahli astronomi Muslim pertama yang telah mewakafkan karir ilmiahnya untuk pengkajian masalah ini

7 Ilyas, A Modern Guide to Astronomical Culculations of Islamic Calendar, Times & Qibla (Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd., 198), p. 84.

8 Fernini, “Astonomical Cresent Visibility Criteria,” dalam AACII, p. 31. 9 Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Program al-Mawaqit ad-Daqiqah yang dibuat oleh Muhammad ‘Audah. Koordinat kota Lima adalah φ = -12° 02′ LS dan λ = 77° 07′ BB. Ketinggian dihitung dari permukaan laut (0 meter).

10 Ilyas, loc. cit.

11 Muhammad Ibn ‘Abd ar-Razzaq, al-‘Uzb az-Zalal fi Mabahis Ru’yah al-Hilal (Casablanca: Syarikah an-Nasyr wa at-Tauzi‘ al-Madaris, 2002), II: 21.

(5)

secara lebih intensif dalam kaitan dengan pembuatan kalender hijriah adalah Mohammad Ilyas dari Malaysia. Ia mengembangkan suatu kriteria baru untuk menentukan visibilitas hilal dan yang lebih penting lagi ia orang pertama yang memperkenalkan konsep International Lunar Date Line (Garis Tanggal Qamariah Internasional), walaupun konsep ini mendapat kritik karena sifatnya yang tidak tetap, tetapi bergerak dari bulan ke bulan. Di samping itu ia juga memperkenalkan konsep-konsep seperti Islamic Day Number, Hijrah Day Number, dan Islamic Lunation Number, yang secara berurutan menunjuk kepada jumlah putaran bulan, jumlah hari dalam suatu tahun, dan jumlah kumulatif hari sejak tanggal 01-01-01 Hijriah. Misalnya tanggal 10 Zulhijah 1407 H adalah hari yang ke-335 dalam tahun itu, dan hari yang ke-498573 (dihitung sejak tanggal 01-01-01 H), serta putaran bulan yang ke-16884.13 Berdasarkan kriteria visibilitas yang diusulkan Ilyas, Mansur Ahmad membuat shoftware yang disebut Moon Calculator yang merupakan program komputer pertama untuk membuat kurve rukyat hilal dengan menggunakan beberapa parameter. Beberapa waktu kemudian dikembangkan dengan dilengkapi fasilitas pembuatan kalender hijriah yang didasarkan kepada rukyat hilal regional atau kalender berdasarkan tiga zona.14

Pada abad ke-20 upaya pembuatan kriteria rukyat hilal mengalami perkembangan pesat karena banyaknya para ahli yang memberi perhatian kepada bidang ini baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Kriteria itu tidak hanya mempertimbangkan faktor astronomis semata seperti kedudukan benda-benda langit, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor atmosfir seperti polusi, dan faktor-faktor-faktor-faktor fisiologis seperti kemampuan mata untuk menangkap obyek di langit. Di kalangan sarjana Islam upaya paling mutakhir pembuatan kriteria tersebut adalah yang diusulkan oleh Muhammad Syaukat ‘Audah. Menurut ‘Audah, penggunaan satu parameter saja tidak dapat menjadi suatu kriteria rukyat yang akurat. Misalnya penggunaan usia hilal saja atau mukus hilal saja, yang sering dilakukan, sama sekali tidak memiliki nilai prediktif terhadap visibilitas hilal. Oleh karena itu, setidaknya harus digunakan dua variabel.15

‘Audah membuat kriteria visibilitas hilal berdasarkan data dari 737 hasil observasi hilal yang didokumentasikan pada database Islamic Cresent

13 Ilyas, New Moon’s Visibility and International Islamic Calendar for the Asia-Pasific Region, 1407H – 1421H (Islamabad-Kuala Lumpur: COMSTECH-OIC, RESEAP & University of Science Malaysia, 1994), p. 39, 41 dan 74.

14 ‘Audah, “Tatbiqat Tiknulujiya al-Ma‘lumat li I‘dad Taqwim Hijri ‘Alami,” makalah disampaikan alam Simposium Internasional “Toward a Unified International Islamic Calendar,” Jakarta, 4-6 Sptember 2007, p. 2.

(6)

Observation Project (ICOP) yang didirikan tahun 1998. Kriteria tersebut mempertimbangkan dua variabel, yaitu (1) busur rukyat (qaus ar-ru’yah, arc of vision) toposentrik, dan (2) lebar hilal (samk al-hilal, cresent’s width) toposentrik. Kriteria ini ditampilkan dalam tabel berikut:16

Tabel 1: Kriteria ‘Audah (KA)

Lebar hilal (cresent’s width) 0,1’ 0,2’ 0,3’ 0,4’ 0,5’ 0,6’ 0,7’

0,8’ 0,9’

Busur rukyat 1 (arc of vision 1) 5,6° 5,0° 4,4° 3,8° 3,2° 2,7°

2,1° 1,6° 1,0°

Busur rukyat 2 (arc of vision 2) 8,5° 7,9o 7,3o 6,7o 6,2o 5,6o

5,1o 4,5o 4,0o

Busur rukyat 3 (arc of vision 3) 12,2o 11,6o 11,0o 10,4o 9,8o 9,3o

8,7o 8,2o 7,6o

Penjelasannya adalah bahwa busur rukyat (arc of vision) 1, 2, dan 3 menunjukkan zona-zona di mana secara berurutan hilal hanya bisa dilihat dengan menggunakan alat bantu optik (seperti teropong), hilal bisa terlihat dengan menggunakan alat bantu optik dan dapat juga dilihat dengan mata telanjang tetapi sukar, dan hilal bisa dilihat dengan mata telanjang secara mudah. Jadi apabila dari perhitungan dihasilkan data bahwa pada suatu zona ditemukan lebar hilal (cresent’s width) adalah 0,1’ atau lebih dan busur rukyat (arc of vision) adalah 5,6º atau lebih, atau lebar hilal 0,2’ atau lebih dan busur rukyat 5,0º atau lebih, atau lebar hilal 0,3’ atau lebih dan busur rukyat adalah 4,4º atau lebih, dan seterusnya, maka itu berarti pada zona tersebut hilal dapat dirukyat akan tetapi hanya dengan menggunakan alat bantu optik. Apabila lebar hilal adalah 0,1’ atau lebih dan busur rukyatnya adalah 8,5º atau lebih dan seterusnya, maka itu berarti bahwa hilal pada zona bersangkutan dapat dilihat dengan menggunakan alat bantu optik, tetapi juga bisa dilihat dengan mata telanjang hanya saja sedikit sukar. Selanjutnya apabila pada suatu zona dihasilkan perhitungan bahwa lebar hilal adalah 0,1’ atau lebih dan busur rukyatnya adalah 12,2º atau lebih dan seterusnya, maka di zona tersebut hilal dapat dirukyat dengan mata telanjang secara jelas.

Sebagai contoh adalah kasus awal Syawal 1428 H yang baru lalu di kota Santiago, Chili (Amerika Latin) dengan koordinat φ = -33° 23′ LS dan λ = -70° 47’ 21′ BB, ketinggian dihitung dari permukaan laut (0 m), dan zona waktu adalah GMT – 4 jam. Hasil hisab yang dilakukan (dengan menggunakan al-Mawaqit ad-Daqiqah) menunjukkan data sebagai berikut:

16 Ibid., p. 22.

(7)

1. Konjungsi geosentrik terjadi hari Kamis, 11-10-2007, pukul 01.01 dini hari waktu Santiago (GMT – 4 jam);

2. Matahari pada hari Kamis terbenam pukul 18.53 waktu setempat; 3. Bulan terbenam pukul 19.33 waktu setempat;

4. Usia hilal (toposentrik) saat matahari terbenam 17 jam 40 menit; 5. Mukus hilal 40 menit;

6. Lebar hilal (cresent’s width) adalah 0,15’; dan 7. Busur rukyat (arc of vision) adalah 8,0°.

Data pada angka 6 dan 7 menunjukkan bahwa di Santiago pada hari Kamis sore tanggal 11-10-2007 (29 Ramadan 1428 H) yang lalu, menurut kriteria ‘Audah, hilal dalam kondisi cuaca baik dapat dilihat dengan alat bantu optik, bahkan juga dengan mata telanjang, meskipun sukar (lihat Tabel 1 di atas).

Bila dari kota Santiago kita bergerak ke arah barat melalui garis Lintang Selatan –40° hingga sampai ke batas Garis Tanggal Internasional (180°), maka hilal semakin mudah dilihat. Ketika kita sampai pada Garis Bujur Barat 168° hingga 180°, maka di kawasan tersebut (yang terletak di laut Pasifik), menurut kriteria ‘Audah, hilal dapat dilihat secara jelas dengan mata telanjang. Hasil hisab berdasarkan al-Mawaqit ad-Daqiqah menunjukkan bahwa pada garis 168° BB dan garis –40° LS lebar hilal terlihat 0,28’ dan busur rukyat 11,1° yang berarti hilal dapat dilihat dengan mata telanjang secara jelas (lihat Tabel 1).

Kriteria ‘Audah sebagaimana dikemukakan di atas dituangkan dalam sebuah program yang dinamakannya al-Mawaqit ad-Daqiqah. Program ini dibuat oleh ‘Audah berdasarkan teori planetari VSOP82 dari Perancis untuk menghitung kedudukan matahari, dan ELP-2000-85 juga dari Perancis untuk menghitung kedudukan bulan. Akurasi VSOP82 cukup tinggi di mana ia mampu menghitung ke belakang sampai tahun 2000 SM dan ke depan sampai tahun 6000 M dengan selisih 1 detik busur. Sedang untuk periode 1900-2100 hanya selisih 0,005 detik busur. Sedangkan ELP-2000-85 dapat melakukan perhitungan astronomis antara tahun 1900-2100 dengan selisih hanya 1,44 detik busur, sementara untuk menghitung ke belakang sampai tahun 500 M dan ke depan sampai tahun 3500 M dengan selisih hanya 2,8 menit busur.17

C. Metode Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini pertama adalah data hadis yang melaporkan adanya 'id yang jatuh hari Jumat pada zaman Nabi s.a.w.

17 ‘Audah, “Tatbiqat,” pp. 2-3.

(8)

Data ini bersumber kepada kitab-kitab hadis. Kedua, dibutuhkan pula data tentang kapan Nabi s.a.w. pertama kali melaksanakan idul fitri dan idul adha dan kapan terakhir kali beliau melakukannya. Data ini diperlukan untuk membatasi jangka waktu pencarian. Sumber untuk data ini adalah sumber-sumber turas Islam termasuk juga kitab-kitab hadis sendiri. Ketiga, diperlukan data tentang peristiwa konjungsi hilal menjelang awal Syawal dan awal Zulhijah selama periode pencarian (periode Nabi s.a.w. melaksanakan perayaan 'id). Data ini akan diperoleh dari perhitungan (hisab) terhadap konjungsi menjelang Syawal dan Zulhijah dengan menggunakan Program al-Mawaqit ad-Daqiqah. Analisis dilakukan dengan memperhatikan data astronomi pada hari konjungsi dan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal dari ‘Audah yang dijelaskan di muka. Bila pada sore hari konjungsi ketika matahari terbenam terpenuhi kriteria visibilitas hilal, maka disimpulkan bahwa Nabi s.a.w. memasuki bulan baru keesokan harinya. Apabila sore hari konjungsi tidak dimungkinkan rukyat, berarti Nabi s.a.w. memasuki bulan baru mungkin lusa hari konjungsi, namun juga akan diperhatikan data astronomi keesokan hari konjungsi.

Dalam kaitan dengan idul fitri, maka konjungsinya harus terjadi pada hari Rabu atau hari Kamis agar idul fitri dimungkinkan jatuh hari Jumat. Apabila konjungsinya jatuh pada hari Senin misalnya, mustahillah idul fitri jatuh hari Jumat. Untuk idul adha, tanggal 1 Zulhijahnya harus jatuh hari Rabu agar idul adha (10 Zulhjah) jatuh hari Jumat. Agar tanggal 1 Zulhijah jatuh hari Rabu, maka konjungsi menjelang awal Zulhijah harus terjadi hari Senin atau Selasa (tergantung data astronomisnya). Apabila konjungsi terjadi pada selain hari tersebut, maka tanggal 1 Zulhjjah tidak mungkin jatuh hari Rabu dan karena itu idul adha tidak mungkin jatuh hari Jumat. Dengan cara demikian kita diharapkan dapat menentukan apakah benar ada idul fitri atau idul adha yang jatuh hari Jumat, dan jika ada, tahun berapa.

D. Hadis-hadis tentang ‘Id Jatuh Hari Jumat

Dari beberapa sumber hadis diperoleh data bahwa 'id pada zaman Nabi s.a.w. pernah jatuh hari Jumat. Hadis-hadis tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, hadis-hadis yang secara umum menyatakan bahwa 'id (hari raya) di zaman Nabi s.a.w. pernah jatuh pada hari Jumat, tanpa merinci 'id (hari raya) apakah yang jatuh hari Jumat tersebut, apakah idul fitri ataukah idul adha. Kedua, hadis yang menyatakan bahwa hari raya yang jatuh pada hari Jumat itu adalah hari raya idul fitri. Berikut ini dikemukakan dua sampel hadis yang mewakili masing-masing kategori tersebut.

(9)

a. Hadis Hari Raya Jatuh Hari Jumat ﻦﻋ ﰊﺃ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻦﻋ ﻝﻮﺳﺭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻧﹶﺃ ﻝﺎﻗ ﺪﻗ ﻊﻤﺘﺟﺍ ﰲ ﻢﹸﻜِﻣﻮﻳ ﺍﺬﻫ ِﻥﺍﺪﻴِﻋ ﻦﻤﹶﻓ َﺀﺎﺷ ﻩﹶﺃﺰﺟﹶﺃ ﻦﻣ ِﺔﻌﻤﺠﹾﻟﺍ ﺎﻧِﺇﻭ ﹶﻥﻮﻌﻤﺠﻣ ] ﻩﺍﻭ ﻮﺑﺃ ،ﺩﻭﺍﺩ ﻦﺑﺍ ،ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍﻭ ﺩﻭﺭﺎﳉﺍ ، ،ﻲﻘﻬﻴﺒﻟﺍﻭ ﻢﻛﺎﳊﺍﻭ ﻪﺤﺤﺻﻭ [

Artinya: Dari Ab Hurairah, dari Rasulullah s.a.w. (diriwayatkan) bahwa beliau bersabda: Pada hari ini bertemu dua hari raya ('id). Barang siapa yang ingin mengerjakan Jumat, maka ia akan mendapat pahala. Kami akan melakukan salat Jumat [Hadis diriwayatkan oleh Ab Dawud, Ibn Majah, Ibn al-Jarid, al-Baihaqi, dan al-Hakim yang sekaligus menyatakannya sahih].18

Hadis yang dikutip di atas memliki beberapa versi matan dan, menurut Ibn al-Mulaqqan, terdapat empat jalur periwayatannya. Matan yang dikutip di atas adalah salah satu di antaranya. Matan lain ada yang menegaskan bahwa Mu‘awiyah bertanya kepada Zaid Ibn Arqam apakah ia pernah mengalami hari raya jatuh pada hari Jumat di zaman Rasulullah s.a.w. dan bagaimana praktik Rasulullah. Zaid menjelaskan bahwa di zaman Rasulullah s.a.w. pernah 'id jatuh bersamaan dengan hari Jumat dan Rasulullah s.a.w. memberi rukhsah untuk tidak menghadiri Jumat.19

Keseluruhan hadis-hadis kategori pertama ini intinya menerangkan bahwa di zaman Rasulullah s.a.w. pernah 'id jatuh hari Jumat, tetapi tidak menjelaskan 'id apa yang jatuh hari Jumat itu.

b. Hadis Idul Fitri di Zaman Nabi s.a.w. Pernah Jatuh Hari Jumat ِﻦﻋ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻝﺎﻗ ﻊﻤﺘﺟﺍ ِﻥﺍﺪﻴِﻋ ﻰﻠﻋ ِﺪﻬﻋ ﻝﻮﺳﺭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻡﻮﻳ ٍﺮﹾﻄِﻓ ﺔﻌﲨﻭ ﻰﱠﻠـﺼﹶﻓ ﻢِﻬِﺑ ﻝﻮﺳﺭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﺻ ﹶﺓﻼ ِﺪﻴِﻌﹾﻟﺍ ﻢﹸﺛ ﹶﻞﺒﹾﻗﹶﺃ ﻢﻬﻴﻠﻋ ِﻪِﻬﺟﻮِﺑ ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻳ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻢﹸﻜﻧِﺇ ﺪﻗ ﻢﺘﺒﺻﹶﺃ ﺍﺮﻴﺧ ﺍﺮﺟﹶﺃﻭ ﺎﻧِﺇﻭ ﹶﻥﻮﻌِﻤﺠﻣ ﻦﻤﹶﻓ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﹾﻥﹶﺃ ﻊِﻤﺠﻳ ﺎﻨﻌﻣ ﻊِﻤﺠﻴﹾﻠﹶﻓ ﻦﻣﻭ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﹾﻥﹶﺃ ﻊِﺟﺮﻳ ﱃﺇ ِﻪـِﻠﻫﹶﺃ ﻊـِﺟﺮﻴﹾﻠﹶﻓ ] ﻩﺍﻭﺭ ﱐﺍﱪﻄﻟﺍ ﰲ ﻣ ﻪﻤﺠﻌ .[

Artinya: Dari Ibn ‘Umar (diriwayatan bahwa) ia berkata: Pada masa Rasulullah s.a.w. pernah dua hari raya jatuh bersamaan, yaitu idul fitri dan Jumat, maka Rasulullah s.a.w. salat 'id bersama kaum Muslimin. Kemudian beliau menoleh kepada mereka dan bersabda: Wahai kaum

18 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1414/1994), I: 255, hadis no. 1073, “Bab Iza Wafaqa Yaum al-Jum‘ah Yaum ‘id;” Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 416, hadis no. 1311, “Bab Ma Ja’a fi Ma Iza Ijtama‘a al-‘idan fi Yaum;” Ibn al-Jarud, al-Muntaqa (Beirut: Mu’assasah al-Kitab as-Saqafiyyah, 1408/1988), p. 84, hadis no. 302; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra (Mekah: Maktabah Dar al-Baz, 1414/1994), III: 318, hadis no. 6082; dan al-Hakim, al-Mustadrak (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411/1990), I: 425, hadis no. 1064.

(10)

Muslimin, sesungguhya kalian mendapat kebaikan dan pahala dan kami akan menyelenggarakan salat Jumat. Barang siapa yang ingin salat Jumat bersama kami, silahkan, dan barang siapa yang ingin pulang ke rumahnya silahkan pulang [Hadis riwayat al-Tabarani].20

Sejauh pelacakan penulis, hadis kategori ini hanya diriwayatkan oleh Tabarani. ‘Abd ar-Razzaq memang meriwayatkanya juga dalam al-Musannaf, tetapi secara mursal, sehingga jelas dhaif.21

E. Kapan 'Id Disyariatkan Pertama Kali

Untuk menenukan jangka waktu penelitian perlu diketahui kapan Nabi s.a.w. melaksanakan 'id pertama dan terakhir kali. Wahbah az-Zuhaili menegaskan bahwa idul fitri dan idul adha disyariatkan pada tahun pertama hijriah.22 Alasannya adalah hadis Anas sebagai berikut,

ﻦﻋ ٍﺲﻧﹶﺃ ﻝﺎﻗ ﻡِﺪﹶﻗ ﻝﻮﺳﺭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﹶﺔﻨﻳِﺪﻤﹾﻟﺍ ﻢﻬﹶﻟﻭ ِﻥﺎﻣﻮﻳ ﹶﻥﻮﺒﻌﹾﻠﻳ ﺎﻤِﻬﻴِﻓ ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻣ ِﻥﺍﹶﺬﻫ ِﻥﺎﻣﻮﻴﹾﻟﺍ ﺍﻮﻟﺎﻗ ﺎﻨﻛ ﺐﻌﹾﻠﻧ ﺎﻤِﻬﻴِﻓ ﰲ ِﺔﻴِﻠِﻫﺎﺠﹾﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻝﻮﺳﺭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﱠﻥِﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﻗ ﻢﹸﻜﹶﻟﺪﺑﹶﺃ ﺎـﻤِﻬِﺑ ﺍﺮﻴﺧ ﺎﻤﻬﻨِﻣ ﻡﻮﻳ ﻰﺤﺿﹶﺄﹾﻟﺍ ﻡﻮﻳﻭ ﺮﹾﻄِﻔﹾﻟﺍ ] ﻩﺍﻭﺭ ﻮﺑﺃ ﺩﻭﺍﺩ ﺪﲪﺃﻭ ﻢﻛﺎﳊﺍﻭ ﻪﺤﺤﺻﻭ . [

Artinya: Dari Anas, ia mengatakan: Rasulullah datang di Madinah (saat berhijrah), ketika itu orang-orang Madinah memiliki dua hari raya di mana mereka mengadakan permainan. Rasulullah s.a.w. bertanya: Hari apa ini? Mereka menjawab: Di zaman Jahiliah dulu kami mengadakan permainan pada dua hari ini. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: Allah mengganti kedua hari itu untuk kamu dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari idul adha dan hari idul fitri [Hadis riwayat Ab Dawud, Ahmad dan al-Hakim yang menyatakanya sebagai hadis sahih].23

Dari hadis ini tampaknya, menurut Wahbah az-Zuhaili, begitu Rasulullah s.a.w. datang di Madinah, beliau langsung mengubah dua hari raya penduduk Madinah dengan idul fitri dan idul adha. Barangkali atas dasar itu Wahbah menyatakan kedua hari raya Islam ini disyariatkan pertama kali pada tahun pertama hijriah. Akan tetapi, masih menurut

20 At-Tabarani, al-Mu‘jam al-Kabir (Mosul: Maktabah az-Zahrah, 1404/1983), XII: 435, hadis no. 13591.

21 ‘Abd ar-Razzaq, al-Musannaf (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1403 H), III: 304-305, hadis no. 5729.

22 Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), II: 362. 23 Abu Dawud, op. cit., I: 267, hadis no. 1134.

(11)

Wahbah az-Zuhaili, salat 'id pertama yang dilakukan Rasulullah s.a.w. adalah salat idul fitri tahun 2 H.24

Pandangan Wahbah az-Zuhaili bahwa salat 'id disyariatkan pertama kali pada tahun pertama hijriah bertentangan dengan pandangan para ulama termasuk ahli-ahli sejarah pada umumnya, yang menegaskan bahwa salat hari raya disyariatkan pada tahun kedua hijriah, tahun di mana kebanyakan ketentuan hukum syariah disyariatkan. Al-‘Adwi menegaskan, “Salat 'id pertama yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. adalah salat idul fitri tahun ke-2 H. Begitu pula puasa, zakat dan kebanyakan hukum sama-sama disyariatkan pada tahun tersebut.”25 Qalyubi (w. 1069/1659) dalam hasyiyahnya menegaskan juga, “Disyariatkannya salat idul fitri adalah pada tahun ke-2 H seperti halnya idul adha. Salat 'id pertama yang dilakukan Nabi s.a.w. adalah salat idul fitri yang Ramadannya difardukan bulan Sya'ban tahun itu juga dan zakat fitrah difardukan pada bulan Ramadlan tersebut.”26 Ad-Dimyati menegaskan, “Salat 'id pertama yang dilakukan

Nabi s.a.w. adalah salat idul fitri pada tahun ke-2 H. Demikian pula salat idul adha disyariatkan pada tahun tersebut.”27

Selain itu para ulama menyepakati bahwa Ramadlan, dan karena itu juga idul fitri, yang dialami Nabi s.a.w. adalah sembilan kali. Mengingat Rasulullah s.a.w. wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 11 H,28 maka ini

berarti bahwa hari raya pertama yang dialami Nabi s.a.w. adalah pada tahun ke-2 H. Ibn al-Qayyim (w. 751/1350) menyatakan, “Puasa Ramadlan difardukan pada tahun ke-2 H, lalu Rasulullah s.a.w. wafat, dan beliau mengalami puasa Ramadlan sembilan kali.”29

Dari keseluruhan apa yang dikemukakan terdahulu disimpulkan bahwa idul fitri dan idul adha disyariatkan pada tahun ke-2 H. Dengan demkian Rasulullah s.a.w. mengalami sembilan kali idul fitri dan idul adha, dan yang terakhir adalah idul fitri dan idul adha tahun 10 H. Oleh karena itu, pencarian hari raya yang jatuh pada hari Jumat adalah antara tahun 2 s/d 10 H.

F. Data Konjungsi Menjelang Awal Syawal dan Zulhijah Tahun 2-10 H.

24 Az-Zuhaili, op. cit., II: 363.

25 Al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Adwi (Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H), I: 489. 26 Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi (Beirut: Dar al-Fikr, 1419/1998), I: 353. 27 Ad-Dimyati, I‘anah at-Talibin (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 261. 28 Al-Baihaqi, Dala’il an-Nubuwwah (Tt.: tnp., t.t.), VII: 235.

29 Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma‘ad fi Hayi Khair al-‘Ibad (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah dan Kuwait: Maktabah Manar Islamiyyah, 1407/1986), II: 30; dan Mardawi, al-Insaf (Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arab³, t.t.), III: 269.

(12)

Data konjungsi berikut adalah untuk kota Madinah di mana Rasulllah s.a.w. tinggal setelah hijrah, kecuali untuk bulan Zulhijah tahun 10 H. Koordinat kota Madinah adalah φ = 24° 28’ 03” LU dan λ = 39° 36’ 41” BT, ketinggian 604 meter, dan waktunya adalah GMT + 3 jam. Untuk Zulhijah 10 H data konjungsinya dihitung untuk kota Mekah karena di sanalah haji wada' dilaksanakan Rasulullah s.a.w. Koordinat Mekah adalah φ = 21° 25’ 22” LU dan λ = 39° 49’ 31” BT, ketinggian 304 meter, dan waktunya adalah GMT + 3 jam. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan al-Mawaqit ad-Daqiqah dari ‘Audah. Data konjungsi adalah konjungsi geosentrik, sedangkan data lainnya toposentrik. Jam yang disebutkan di bawah ini adalah waktu kota yang dihitung (GMT + 3 JAM). KA adalah singkatan dari Kriteria ‘Audah. Ada lima klasifikasi visibilitas dan non visibilitas hilal dalam kriteria ‘Audah, yaitu:

1. Terlihat dengan mata telanjang secara jelas,

2. Terlihat dengan alat optik, bisa dengan mata telanjang tetapi sedikit sukar,

3. Terlihat hanya dengan alat optik saja, 4. Tak terlihat meskipun dengan alat optik,

5. Mustahil terlihat (karena bulan berada di bawah ufuk). 1. Bulan Syawal

a) Tahun 2 H. / 624 M.

Konjungsi: Sabtu, 24-03-624, pk 23:21 Keadaan Ahad, 25-03-624 Matahari terbenam 18:39 18:40 Bulan terbenam 18:24 19:19 Elongasi +6º 00’ 36” +10o 00' 16" Tinggi Bulan – 05o 06’ 06” +06o 54' 20" Tinggi matahari – 01o 42’ 11” – 01o 42’ 11” Busur Rukyat – 03º 27’ 24” (-3,5o) +08o 43' 53” (08,7o) Lebar hilal +00º 00’ 05” (0,09’) +00o 00' 15” (0,24’)

KA: Mustahil terlihat Terlihat dgn alat optik,

bisa dgn mata telanjang tetapi agak sukar

b) Tahun 3 H. / 625 M.

Konjungsi: Kamis, 14-03-625, pk 10:20 Keadaan Jumat, 15-03-625

(13)

Bulan terbenam 18:52 19:53 Elongasi +06o 03’ 05” +17o 33' 57" Tinggi Bulan – 01o 52’ 55” +15o 13' 23" Tinggi matahari – 01o 42’ 05” – 01o 42’ 14” Busur Rukyat +03o 39’ 39” (3,7o) +17o 13' 28” (17,2o) Lebar +00o 00’ 06” (0,09’) +00o 00' 47” (0,78’) KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn mata

telanjang secara jelas c) Tahun 4 H. / 626 M.

Konjungsi: Selasa, 04-03-626, pk 02:00 Keadaan Rabu, 05-03-626 Matahari terbenam 18:32 18:32 Bulan terbenam 19:12 20:18 Elongasi +09o 50’ 57” +23o 20' 11" Tinggi Bulan +07o 00’ 53” +21o 14' 41" Tinggi matahari – 01o 42’ 17” – 01o 42’ 17” Busur Rukyat +08o 55’ 40” (08,9o) +23o 24' 47” (23,4o) Lebar +00o 00’ 15” (0,26’) +00o 01' 25” (1,41’)

KA: Terlihat dgn alat optik , bisa juga dgn Terlihat dgn mata telanjang secara

mata telanjang tetapi sedikit sukar jelas d) Tahun 5 H. / 627 M.

Konjungsi: Sabtu, 21-02-627, pk 17:55 Keadaan Ahad, 22-02-627 Matahari terbenam 18:27 18:27 Bulan terbenam 18:22 19:27 Elongasi +04o 31’ 00” +13o 38' 24" Tinggi Bulan – 02o 37’ 20” +11o 13' 13" Tinggi matahari – 01o 42’ 20” – 01o 42’ 20” Busur Rukyat –00o 56’ 33” (–0,9o) +13o 14' 56” (13,2o) Width +00o 00’ 03” (0,05’) +00o 00' 29” (0,48’)

KA: Mustahil terlihat Terlihat dgn mata

telanjang secara jelas e) Tahun 6 H. / 628 M.

(14)

Konjungsi: Kamis, 11-02-628, pk 05:32 Keadaan Jumat, 12-02-628 Matahari terbenam 18:21 18:22 Bulan terbenam 18:46 19:46 Elongasi +06o 45’ 12” +18o 23' 35" Tinggi Bulan +03o 34’ 44” +16o 09' 14" Tinggi matahari – 01o 42’ 23” – 01o 42’ 23” Busur Rukyat +05o 25’ 45” (5,4o) +18o 18' 04” (18,03o) Width +00o 00’ 07” (0,11’) +00o 00' 50” (0,84’) KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Dapat dilihat dgn mata

telanjang secara jelas

f) Tahun 7 H. / 629 M.

Konjungsi: Senin, 30-01-629, pk 09:51 Keadaan Selasa, 31-01-629 Matahari terbenam 18:14 18:15 Bulan terbenam 18:26 19:20 Elongasi +04o 34’ 11” +14o 23' 45" Tinggi Bulan +00o 44’ 33” +11o 57' 07" Tinggi matahari – 01o 42’ 26” – 01o 42’ 25” Busur Rukyat +02o 31’ 01” (2,5o) +14o 01' 33” (14,0o) Lebar +00o 00’ 03” (0,05’) +00o 00' 29” (0,49’)

KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Dapat dilihat dgn mata telanjang secara jelas

g) Tahun 8 H. / 630 M.

Konjungsi: Jumat, 19-01-630, pk 09:19 Keadaan Sabtu, 20-01-630 Matahari terbenam 18:07 18:07 Bulan terbenam 18:19 19:12 Elongasi +04o 19’ 55” +14o 05' 49" Tinggi Bulan +00o 41’ 12” +11o 29' 58" Tinggi matahari – 01o 42’ 28” –01o 42’ 28” Busur Rukyat +02o 27’ 45” (2,5o) +13o 36' 17” (13,6o) Lebar +00o 00’ 03” (0,04’) +00o 00' 27” (0,46’)

(15)

KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Dapat dilihat dgn mata telanjang secara jelas h) Tahun 9 H. / 631 M.

Konjungsi: Selasa, 08-01-631, pk 11:20 Keadaan Rabu, 09-01-631 Matahari terbenam 17:59 17:59 Bulan terbenam 18:06 19:05 Elongasi +03o 31’ 59” +14o 05' 30" Tinggi Bulan –00o 11’ 55” +11o 16' 40" Tinggi matahari – 01o 42’ 30” – 01o 42’ 30” Busur Rukyat +01o 33’ 19” (1,6o) +13o 26' 55” (13,4o) Lebar +00o 00’ 02” (0,03’) +00o 00' 28” (0,47’) KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn mata

telanjang secara jelas i) Tahun 10 H. / 631 M.

Konjungsi: Sabtu, 28-12-631, pk 20:28 Keadaan Ahad, 29-12-631 Matahari terbenam 17:51 17:52 Bulan terbenam 17:35 18:41 Elongasi +03o 27’ 49” +10o 52' 57" Tinggi Bulan –04o 50’ 39” +07o 52' 47" Tinggi matahari – 01o 42’ 32” – 01o 42’ 32” Busur Rukyat – 03o 13’ 10” (–3,2o) +09o 57' 58” (10,0o) Lebar +00o 00’ 02” (0,03’) +00o 00' 18” (0,3’)

KA: Mustahil terlihat Terlihat dgn alat optik,

bisa dgn mata telanjang tetapi sedikit sukar 2. Bulan Zulhijah Tahun 2-10 H

a) Tahun 2 H. / 624 M.

Konjungsi: Rabu, 23-05-624, pk 02:51 Keadaan Kamis, 24-05-624

(16)

Bulan terbenam 19:33 20:26 Elongasi +06o 48’ 24” +17o 29' 14" Tinggi Bulan +04o 03’ 12” +14o 45' 50" Tinggi matahari – 01o 42’ 00” – 01o 42’ 00” Busur Rukyat +05o 46’ 20” (5,8o) +16o 20' 35” (16,3o) Lebar +00o 00’ 06” (0,11’) +00o 00' 42” (0,71’) KA: Terlihat hanya dgn alat optik saja Terlihat dgn mata telanjang

secara jelas b) Tahun 3 H. / 625 M.

Konjungsi: Ahad, 12-05-625, pk 07:14 Keadaan Senin, 13-05-625 Matahari terbenam 18:59 19:00 Bulan terbenam 19:21 20:20 Elongasi +05 o 06’ 16” +16o 45' 22" Tinggi Bulan +02o 52’ 17” +14o 37' 52" Tinggi matahari – 01o 42’ 01” – 01o 42’ 01” Busur Rukyat +04o 37’ 10” (4,6o) +16o 22' 19” (16,4o) Lebar +00o 00’ 04” (0,06’) +00o 00' 40” (0,67’)

KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn mata telanjang secara jelas c) Tahun 4 H. / 626 M.

Konjungsi: Kamis, 01-05-626, pk 18:45 Keadaan Jumat, 02-05-626 Matahari terbenam 18:54 18:54 Bulan terbenam 18:49 19:55 Elongasi +01 o 22’ 05” +12o 26' 54" Tinggi Bulan – 02o 44’ 23” +10o 38' 45" Tinggi matahari – 01o 42’ 03” – 01o 42’ 02” Busur Rukyat – 01o 23’ 28” (1,1o) +12o 30' 52” (12,5o) Lebar +00o 00’ 06” (0,0’) +00o 00' 24” (0,4’)

KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn mata telanjang secara jelas

(17)

Konjungsi: Selasa, 21-04-627, pk 11:08 Keadaan Rabu, 22-04-627 Matahari terbenam 18:50 18:50 Bulan terbenam 19:07 20:17 Elongasi +03o 33’ 00” +17o 48’ 26” Tinggi Bulan +01o 50’ 47” +16o 06’ 19” Tinggi matahari – 01o 42’ 04” – 01o 42’ 04” Busur Rukyat +03o 37’ 15” (3,6o) +18o 07’ 39” (18,1o) Lebar +00o 00’ 02” (0,03’) +00o 00’ 50” (0,83’) KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn mata

telanjang secara jelas e) Tahun 6 H. / 628 M.

Konjungsi: Ahad, 10-04-628, pk 11:08 Keadaan Senin, 11-04-628 Matahari terbenam 18:46 18:46 Bulan terbenam 19:21 20:30 Elongasi +07o 38’ 32” +21o 35’ 45” Tinggi Bulan +05o 52’ 51” +19o 50’ 43” Tinggi matahari – 01o 42’ 07” – 01o 42’ 07” Busur Rukyat +07o 44’ 37” (7,7o) +21o 59’ 29” (22,0o) Lebar +00o 00’ 09” (0,15’) +00o 01’ 13” (1,21’) KA: Terlihat hanya dgn alat optik saja Terlihat dgn mata telanjang

secara jelas

f) Tahun 7 H. / 629 M.

Konjungsi: Kamis, 30-03-629, pk 16:24 Keadaan Jumat, 31-03-629 Matahari terbenam 18:41 18:42 Bulan terbenam 18:43 19:41 Elongasi +01o 25’ 50” +12o 56’ 12” Tinggi Bulan – 01o 26’ 29” +11o 02’ 38” Tinggi matahari – 01o 42’ 10” – 01o 42’ 09” Busur Rukyat +00o 15’ 58” (0,3o) +12o 59’ 56” (13,0o) Lebar +00o 00’ 00” (0,0’) +00o 00’ 25” (0,42’) KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn mata

(18)

telanjang secara jelas

g) Tahun 8 H. / 630 M.

Konjungsi: Senin, 19-03-630, pk 11:08 Keadaan Selasa, 20-03-630 Matahari terbenam 18:37 18:38 Bulan terbenam 18:27 19:19 Elongasi +02o 56’ 16” +09o 18’ 39” Tinggi Bulan – 03o 57’ 31” +07o 12’ 06” Tinggi matahari – 01o 42’ 13” – 01o 42’ 12” Busur Rukyat – 02o 17’ 34” (–2,3o) +09o 03’ 15” (9,1o) Lebar +00o 00’ 01” (0,02’) +00o 00’ 12” (0,2’) KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn alat optik,

bisa dgn mata telanjang tetapi agak sukar

h) Tahun 9 H. / 631 M.

Konjungsi: Jumat, 08-03-631, pk 21:46 Keadaan Sabtu, 09-03-631 Matahari terbenam 18:33 18:34 Bulan terbenam 18:23 19:12 Elongasi +03o 22’ 49” +09o 08’ 24” Tinggi Bulan – 04o 00’ 22” +06o 51’ 35” Tinggi matahari – 01o 42’ 16” – 01o 42’ 15” Busur Rukyat – 02o 20’ 10” (–2,3o) +08o 41’ 12” (8,7o) Lebar +00o 00’ 02” (0,03’) +00o 00’ 12” (0,19’)

KA: Tak terlihat meskipun dgn alat optik Terlihat dgn alat optik, bisa dgn mata telanjang tetapi agak sukar

i) Tahun 10 H. / 632 M. (untuk kota Mekah)

Konjungsi: Rabu, 26-02-632, pk 00:09 Keadaan Kamis, 27-02-632

(19)

Bulan terbenam 19:04 19:55 Elongasi +08o 51’ 16” +20o 02’ 28” Tinggi Bulan +06o 28’ 20” +17o 57’ 04” Tinggi matahari – 01o 27’ 11” – 01o 27’ 11” Busur Rukyat +08o 01’ 04” (8,0o) +19o 37’ 43” (19,6o) Lebar +00o 00’ 11” (0,19’) +00o 00’ 57” (0,94’) KA: Terlihat dgn alat optik, bisa dgn mata Terlihat dgn mata

telanjang secara

telanjang tetapi sedikit sukar jelas

G. Analisis

Data konjungsi menjelang awal Syawal dan awal Zulhijah dari tahun 2 H hingga 10 H di atas dapat diringkas dalam Tabel 2 berikut:

Tabel 2: Data Konjungsi Menjelang Syawal dan Zulhijah

Thn Konjungsi menjelang Syawal Konjungsi menjelang Zulhijah 2 H Sabtu, 24-03-624, pk. 23:21 Rabu, 23-05-624, pk. 02:51 3 H Kamis, 14-03-625, pk. 10:20 Ahad, 12-05-625, pk. 07:14 4 H Selasa, 04-03-626, pk. 02:00 Kamis, 01-05-626, pk. 18:45 5 H Sabtu, 21-02-627, pk. 17:55 Selasa, 21-04-627, pk. 11:08 6 H Kamis, 11-02-628, pk. 05-32 Ahad, 10-04-628, pk. 03:54 7 H Senin, 30-01-629, pk. 09:51 Kamis, 30-03-629, pk. 16:24 8 H Jumat, 19-01-630, pk. 09:19 Senin, 19-03-630, pk. 21:37 9 H Selasa, 08-01-631, pk. 11:20 Jumat, 08-03-631, pk. 21:46 10H Sabtu, 28-12-631, pk. 20:28 Rabu, 26-02-632, pk. 00:09

Untuk memungkinkan idul fitri jatuh hari Jumat, konjungsi menjelang Syawal harus terjadi hari Rabu atau Kamis. Tabel di atas memperlihatkan bahwa tidak ada konjungsi menjelang Syawal dari tahun 2 H hingga tahun 10 H yang terjadi hari Rabu. Sedangkan konjungsi hari

(20)

Kamis terjadi dua kali, yaitu tahun 3 H bertepatan dengan 14-03-625 M, pukul 10:20, dan tahun 6 H bertepatan dengan tanggal 11-02-628 M, pukul 05:32. Pada tahun-tahun lainnya (2, 4, 5, 7, 8, 9, 10 H) konjungsi hilal Syawal terjadi pada selain hari Rabu dan Kamis sehingga dengan demikian pada tahun-tahun tersebut mustahil idul fitri terjadi hari Jumat. Mari kita lihat tahun 3 H. Pada sore Kamis (hari konjungsi) busur rukyat (arc of vision) adalah +03o 39’ 39” (3,7o) dan lebar hilal (cresent width) adalah

+00o 00’ 06’ (0,09’). Bila data ini dihubungkan kepada parameter ‘Audah

yang telah disebutkan dalam Tabel 1 terdahulu, maka kondisi pada hari Kamis sore tahun 3 H (14-03-625 M) tidak memungkinkan untuk terjadinya rukyat sekalipun menggunakan alat optik semisal teropong. Jadi dapat dipastikan bahwa pada tahun ini (tahun 3 H) Nabi s.a.w. tidak berlebaran hari Jumat. Hilal baru terlihat dengan jelas pada hari Jumat sore, sehingga Nabi s.a.w. dipastikan berlebaran hari Sabtu.

Pada hari Kamis tahun 6 H (11-02-628 M), busur rukyat (arc of vision) adalah +05o 25’ 45” (5,4o) dan lebar hilal (cresent width) adalah +00o

00’ 07’ (0,11’). Data inipun tidak memungkinkan hilal untuk dilihat dengan alat bantu optik, apalagi dengan mata telanjang. Oleh karena itu, dapat pula dipastikan bahwa Nabi s.a.w. tidak mungkin berlebaran keesokan harinya, yaitu hari Jumat. Hilal baru terlihat jelas pada sore Jumat, sehingga bisa dipastikan bahwa Nabi s.a.w. berlebaran pada hari Sabtu.

Jadi secara keseluruhan dapat ditegaskan bahwa dari sudut analisis astronomi tidak ada idul fitri yang jatuh pada hari Jumat di zaman Nabi s.a.w. Barangkali timbul pertanyaan bagaimana dengan hadis al-Tabarani sebagaimana dikutip pada sub D di muka, yang menyatakan bahwa idul fitri pernah jatuh hari Jumat di zaman Nabi Muhammad s.a.w.? Menurut astronomi isi hadis itu tidak dapat dibenarkan. Bagaimana pandangan ilmu hadis terhadap hadis bersangkutan? Dalam sanad hadis ini terdapat rawi yang bernama Sa‘id Ibn Rasyid as-Sammak yang dinilai dhaif oleh para kritikus hadis. Al-Bukhari menegaskan bahwa Sa‘id adalah orang yang hadisnya mungkar.30 Abu Hatim menyatakannya sebagai rawi yang

hadisnya dhaif dan mungkar.31 An-Nasa’i menyatakan Sa‘id sebagai rawi

matruk32 dan Ibn al-Jauzi menyatakan hadis ini tidak sah.33 Bahkan

30 Al-Bukhari, at-Tarikh al-Ausat (Aleppo-Kairo: Dar al-Wa‘y dan Maktabah Dar at-Turas, 1397/1977), II: 185.

31 Ibn Abi Hatim, al-Jarh wa at-Ta‘dil (Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arab³, 1372/1952), IV: 19.

32 An-Nasa’i, ad-Du‘afa’ wa al-Matrukin (Aleppo: Dar al-Wa‘y, 1396 H), p. 53. 33 Ibn al-Jauzi, ad-Du‘afa’ wa al-Matrukin (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406 H), I: 317; Ibn al-Mulaqqan, al-Badr al-Munir (Riyad: Dar al-Hijrah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1425/2004), V: 104.

(21)

Tabarani sendiri, yang meriwayatkan hadis yang dibicarakan ini melalui Sa‘id, menyatakannya dhaif.34 Dengan demikian analisis astronomi sejalan dengan dan bahkan mengkonfirmasi penegasan ilmu hadis bahwa hadis al-Tabarani di atas tidak sahih.

Untuk idul adha, tanggal 1 Zulhijah harus jatuh hari Rabu agar idul adha (10 Zulhijah) jatuh hari Jumat. Apabila tanggal 1 Zulhijah harus jatuh hari Rabu, maka konjungsi menjelang awal Zulhijah harus terjadi hari Senin atau Selasa. Dari Tabel Konjungsi di atas, konjungsi menjelang Zulhijah yang terjadi hari Senin atau Selasa adalah tahun 5 H (Selasa, 21-04-627 M, pukul 11:08) dan tahun 8 H (Senin 19-03-630 M, pukul 21:46). Keadaan astronomis hilal pada hari Selasa 21-04-627 M (tahun 5 H) adalah bahwa busur rukyat +03o 37’ 15” (3,6o) dan lebar hilal 00o 00’ 02”

(0,03’). Dengan nilai parameter seperti ini, maka hilal tidak mungkin dirukyat sekalipun menggunakan alat bantu optik. Sedangkan hari berikutnya, Rabu, hilal sudah dapat dilihat dengan jelas sekali. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa tanggal 1 Zulhijah tahun 5 H tidak mungkin jatuh hari Rabu 22-04-627 M, melainkan jatuh hari Kamis 23-04-627 M. Dengan begitu idul adha tahun 5 H jatuh hari Sabtu tangal 02-05-627 M.

Untuk tahun 8 H, konjungsi terjadi hari Senin, 19-03-630 M, pukul 21:37. Pada sore Senin itu mustahil terjadi rukyat karena belum terjadi konjungsi. Mari kita lihat hari berikutnya, Selasa 20-03-630 M. Pada hari itu saat matahari terbenam busur rukyat (arc of vision) adalah +09o 03’ 15” (9,1) dan lebar hilal adalah +00o 00’ 12” (0,2). Dengan nilai parameter

seperti ini, hilal pada sore Selasa, 20-03-630 M dapat dilihat dengan alat optik, dan dapat juga dilihat dengan mata telanjang sekalipun sedikit sukar. Dengan apa yang dikemukakan baru saja, dimungkinkan bahwa Nabi s.a.w. atau para Sahabatnya melihat hilal Zulhijah pada sore Selasa tanggal 20-03-630 M, sehingga tanggal 1 Zulhijah jatuh hari Rabu tanggal 21-03-630 M. Dengan demikian idul adha tahun 8 H dimungkinkan jatuh pada hari Jumat 30-03-630 M. Untuk tahun-tahun lainnya tidak mungkin idul adha jatuh hari Jumat karena konjungsi menjelang awal Zulhijah tidak ada yang terjadi hari Senin atau Selasa (Periksa kembali data konjungsi di atas dan perhatikan catatan Kriteia ‘Audah [KA] di bawahnya). Jadi ternyata bahwa idul adha di zaman Nabi s.a.w. hanya dimungkinkan terjadi satu kali bertepatan dengan hari Jumat, yaitu idul adha tahun 8 H, yang bertepatan dengan hari Jumat tanggal 30- 03-630 M.

Jadi secara keseluruhan dapat dilihat bahwa hari raya ('id) yang jatuh hari Jumat pada masa Rasulullah s.a.w. (tahun 2 – 10 H) hanya satu kali saja, yaitu idul adha tahun 8 H. Sedang idul fitri tidak ada yang jatuh

34 Ibn al-Jauzi, loc. cit.

(22)

hari Jumat. Bila dibuat tabel hari-hari raya (id) Rasulullah s.a.w. adalah sebagai berikut:

Tabel 3: Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha Nabi s.a.w.:

Thn Idul Fitri Idul Adha

2 H Senin, 26-03-624 M * Ahad, 03-06-624 M 3 H Sabtu, 16-03-625 M Kamis, 23-05-625 M 4 H Rabu, 05-03-626 M * Senin, 12-05-626 M 5 H Senin, 23-02-627 M Sabtu, 02-05-627 M 6 H Sabtu, 13-02-628 M Kamis, 21-04-628 M 7 H Rabu, 01-02-629 M Senin, 09-04-629 M 8 H Ahad, 21-01-630 M Jumat, 29-03-630 M * 9 H Kamis, 10-01-631 M Selasa, 18-03-631 M * 10 H Selasa, 31-12-631 M ** 35 Sabtu, 07-03-632 M Analisis astronomi di muka memberi peluang kemungkinan di zaman Nabi s.a.w. 'id pernah jatuh hari Jumat. Hadis tersebut mempunyai beberapa jalur. Al-Hakim menyatakannya sahih dan memenuhi syarat Muslim. Ibn al-Mulaqqan membahasnya secara panjang lebar dan menunjukkan bahwa kebanyakan ulama menerimanya. Ia sendiri

35 Untuk kolom-kolom yang ditandai dengan satu bintang, yaitu idul fitri tahun 2 dan 4 H. serta idul adha tahun 8, 9, dan 10 H, hari raya ('id) dimungkinkan jatuh pada hari berikutnya, yaitu hari Selasa dan Kamis untuk, secara berurutan, idul fitri tahun 2 H dan 4 H, serta hari Sabtu, Rabu dan Ahad untuk, secara berurutan, idul adha tahun 8, 9, dan 10 H karena posisi hilal menurut kriteria ‘Audah adalah terlihat dengan alat optik dan dapat juga dilihat dengan mata telanjang dengan sedikit sukar. Apa yang dicantumkan dalam kolom idul fitri untuk tahun 2 dan 4 H adalah hasil analisis Firdaus bin Yahya yang melakukan kajian dengan mempertimbangkan beberapa hadis dan pendapat para ahli hadis (Lihat Firdaus bin Yahya, op. cit., pp. 53-54). Untuk idul adha tahun 8 H dipilih apa yang dicantumkan pada kolom tersebut (tidak dipilih hari berikutnya) karena adanya hadis-hadis yang menyatakan hari raya di zaman Nabi s.a.w. pernah jatuh hari Jumat. Untuk idul adha tahun 10 H, dipilih hari Sabtu karena banyaknya riwayat hadis dan pendapat ahli sejarah yang menyatakan bahwa hari Arafah tahun itu jatuh hari Jumat, jadi otomatis idul adha jatuh hari Sabtu. Untuk tahun 9 H dipilih tanggal seperti tercantum dalam kolom idul adha dikarenakan posisi astronomis hilal Zulhijah tahun itu lebih baik dibandingkan posisi hilal Zulhijah tahun 10 H. Untuk idul fitri tahun 10 H, yang ditandai dengan dua bintang, dimungkinkan lebarannya terjadi hari sebelumya. Apa yang dicantumkan adalah hasil analisis Firdaus. Untuk tahun-tahun lainnya, yang tidak ditandai dengan bintang, lebarannya cenderung dapat dipastikan seperti yang dicantumkan dalam tabel karena posisi hilal pada hari sebelumnya, menurut kriteria ‘Audah, adalah dapat dilihat dengan mata telanjang secara jelas dan lagi pula usia hilal umumnya di atas 24 jam.

(23)

menegaskan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang keseluruhannya dinilainya jayyid (baik). Namun ia menyebutkan juga ada beberapa ulama yang cenderung mendhaifkan. Analisis astronomi memungkinkan bahwa hari raya terjadi pada hari Jumat, yaitu idul adha tahun 8 H. Dengan demikian data astronomi dan data hadis saling menguatkan dan data tersebut tidak dapat ditafsirkan lain secara paling tepat kecuali bahwa hadis-hadis id pernah jatuh hari Jumat di zaman Nabi s.a.w. adalah otentik dan bahwa tahun 8 H dimungkinakan menurut astronomi Nabi s.a.w. berlebaran idul adha hari Jumat. Sebaliknya hadis al-Tabarani bahwa idul fitri jatuh hari Jumat adalah dhaif dan ini dikuatkan oleh penemuan astronomi bahwa tidak ada idul fitri di zaman Nabi s.a.w. yang jatuh hari Jumat.

H. Kesimpulan

Dari keseluruhan uraian yang dikemukakan pada halaman-halaman terdahulu kiranya sudah jelas kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik, yaitu:

1. Berdasarkan analisis astronomi dapat dibenarkan adanya hari raya yang jatuh pada hari Jumat pada zaman Nabi s.a.w.

2. Hari raya yang jatuh hari Jumat itu adalah hanya satu kali, yaitu hari raya idul adha, sedang idul fitri pada zaman Nabi s.a.w. tidak ada yang jatuh pada hari Jumat.

3. Idul adha yang jatuh pada hari Jumat itu adalah idul adha tahun 8 H. yang bertepatan dengan tanggal 29 Maret 630 M.

4. Hadis-hadis yang menyatakan hari raya pernah jatuh hari Jumat di zaman Nabi s.a.w. tanpa menyebutkan rincian adalah sahih dan dapat dibenarkan dari segi analisis astronomi; sedangkan hadis al-Tabarani yang menyatakan idul fitri pernah jatuh hari Jumat tidak sahih dan bertentangan dengan data astronomi.

5. Analisis astronomi dapat mendukung analisis hadis dan mengkonfirmasi analisis ilmu hadis tentang kedhaifan dan kesahihan hadis-hadis yang memiliki keterkaitan dengan data astronomi.

(24)

Daftar Pustaka

‘Audah, “Mi‘yar Jadid li Ru’yat al-Hilal,” dalam AACII, h. 20.

_______,“Tatbiqat Tiknulujiya al-Ma‘lumat li I‘dad Taqwim Hijri ‘Alami,” makalah disampaikan dalam Simposium Internasional “Toward a Unified International Islamic Calendar,” Jakarta, 4-6 Sptember 2007.

Ad-Dimyati, I‘anah at-Talibin, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Adwi, Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H.

al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, Mekah: Maktabah Dar al-Baz, 1414/1994. _______, Dala’il an-Nubuwwah, Tt.: tnp., t.t.

Al-Bukhari, at-Tarikh al-Ausat, Aleppo-Kairo: Dar al-Wa‘y dan Maktabah Dar at-Turas, 139/1977.

_______, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Kasir, 1407/1987.

al-Hakim, al-Mustadrak, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411/1990. al-Jarud,Ibn, al-Muntaqa, Beirut: Mu’assasah al-Kitab as-Saqafiyyah,

1408/1988.

al-Jauzi, Ibn, ad-Du‘afa’ wa al-Matrukin, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406 H. al-Mardawi, al-Insaf, Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t.

al-Mawaqit ad-Daqiqah yang dibuat oleh Muhammad ‘Audah. Koordinat kota Lima adalah φ = -12° 02′ LS dan λ = 77° 07′ BB. Ketinggian dihitung dari permukaan laut (0 meter).

al-Mulaqqan, Ibn, al-Badr al-Munir, Riyad: Dar al-Hijrah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1425/2004.

al-Qayyim,Ibn, Zad al-Ma‘ad fi Hayi Khair al-‘Ibad, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah.

An-Nasa'i, ad-Du‘afa’ wa al-Matrukin, Aleppo: Dar al-Wa‘y, 1396 H. ar-Razzaq, ‘Abd, al-Musannaf, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1403 H.

_______, Muhammad Ibn ‘Abd, al-‘Uzb az-Zalal fi Mabahis Ru’yah al-Hilal, Casablanca: Syarikah an-Nasyr wa at-Tauzi‘ al-Madaris, 2002. At-Tabarani, al-Mu‘jam al-Kabir, Mosul: Maktabah az-Zahrah, 1404/1983. az-Zarqa, ‘Aql wa Fiqh fi Fahm Hadis an-Nabawi, Damaskus: Dar

(25)

al-Qalam dan Beirut: ad-Dar asy-Syamiyyah, 1423/2002.

_______, Fatawa Mustafa az-Zarqa, Damaskus: Dar al-Qalam, 1425/2004. Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr,

1989.

Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1414/1994. Fernini, “Astonomical Cresent Visibility Criteria,” dalam AACII.

Hatim,Ibn Abi, al-Jarh wa at-Ta‘dil, Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1372/1952.

Http://www.icoproject.org/icop/shw28.html, “The Official First Day in Different Countries,”diakses pada tanggal 16-11-2007.

Ilyas, A Modern Guide to Astronomical Culculations of Islamic Calendar, Times & Qibla, Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd., 198.

_______, New Moon’s Visibility and International Islamic Calendar for the Asia-Pasific Region, 1407H.

1421H, Islamabad-Kuala Lumpur: COMSTECH-OIC, RESEAP & University of Science Malaysia, 1994.

Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr li Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1412/1992.

Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Dar al-Fikr, 1419/1998.

Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir Manar, Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1426/2005.

Syakir,Ahmad, Awa’il asy-Syuhur ‘Arabiyyah, sebagaimana dikutip al-Qaradawai, Kaifa Nata‘amal ma‘a as-Sunnah an-Nabawiyyah: Ma‘alim wa Dawabit, al-Mansurah: Dar al-Wafa’, dan Herndon: IIIT, 1991. Yahya, Firdaus bin, “An Analytical Study of Beginning and End of

Ramadan During Prophet Muhammad’s Time,” dalam Guessoum dan Odeh, Applications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, Abu Dhabi: ICOP, EAS & CDR, 2007.

Gambar

Tabel 3: Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha Nabi s.a.w.:

Referensi

Dokumen terkait

Respon terbaik pengemban polieugenil oksiasetat untuk ion Fe(III) dengan rentang pH yang lebih lebar (3-6), perbandingan mol pengemban : mol logam (5:1) yang lebih kecil,

Bidang Pemerintahan Desa dan Kelurahan mempunyai tugas pokok memimpin, merencanakan, mengatur, mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan bawahan dalam

Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tidak berjalan dengan baik perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban incest yaitu

Analisis Hubungan Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan Terhadap Pelayanan Instalasi Farmasi dengan Minat Pasien Menebus Kembali Resep Obat di Instalasi Farmasi RSUD

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap

Jika antara benda dan titik penglihatan tetap diletakkan sebuah bidang vertikal, maka pada bidang tersebut akan terbentuk bayangan yang disebut gambar perspektif.. Dalam

Anak yang menyukai matematika akan belajar matematika dengan baik dan sungguh-sungguh, sementara anak yang tidak menyukai matematika akan belajar dengan kurang