mengalami kesulitan penyediaan kebutuhan konsumsi BBM masyarakat, karena produksi migas Indonesia masih didominasi oleh minyak mentah.
Bandingkan dengan yang tertera pada tabel 1.2 dengan tabel 1.3. Selisih produksi kilang dengan konsumsi kilang dalam negeri pada tahun 2004 sebesar
minus 48217 ribu barel. Tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kilang yang
sebesar 1.6 persen tidak mampu memenuhi pertumbuhan rata-rata konsumsi kilang sebesar 4,2 persen.Peningkatan produksi tidak saja dipengaruhi oleh jumlah cadangan migas
sebagai input, tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan teknologi dalam
eksplorasi, eksploitasi dan pengilangan yang didasarkan atas asas efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaannya.Tabel 1.3 : Konsumsi Hasil Kilang
Tahun Kotis. Ilsl kilang Kom. Hsl kilang/ th Pertumbuhan (ribu barel' hari) (ribu barel) (%)
2000 996,4 363 686 6.9
200! 1 026,0 374490 3,0
2002 1 075,4 392 521 4,8
2003 1 112,9 406 209 3.S
2004 1 143,7 417451 2.8
Sumber: OPEC diolah
Ketiga, ketergantungan pada modal asing. Guna menutup kekurangan
Purnomo Yusgiantoro (2000) mensinyalir, yang selama ini neraca perdagangan sektor migas selalu positif cenderung merosot akibat menurunya produksi minyak dan harga minyak serta meningkatnya impor minyak untuk memenuhi kebutuhan domestik. Mengimpor migas mempunyai masalah sendiri dilihat dari balance of
payment, neraca pembayaran, yakni melemahnya kemampuan menyediakan
devisa.
Peningkatan pengeluaran belanja negara yang disebabkan atas meningkatnya biaya impor BBM selalu diselesaikan dengan cara memotong anggaran subsidi BBM. Dan, pada akhirnya pencabutan subsidi BBM akan mamunculkan dampak berganda, multiple effect lainnya. Berupa kenaikan harga-harga barang atau inflasi
yang pada gilirannya akan mengurangi daya beli masyarakat secara signifikan.
Pencabutan subsidi BBM sebanyak dua kali pada Maret dan Oktober 2005 menjadi contoh yang cukup baik tentang dampak buruk pencabutan subsidi.
Dari beberapa argumentasi yang telah diungkapkan, dapat digunakan untuk
melihat penyebab masalah krisis migas kita. Sebagian besar masalah tidak hadir
karena keberadaan minyak bumi dan gas, namun lebih dikarenakan pengelolaannya yang kebanyakan kurang tepat.
Sehingga pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimana kontribusi pendapatan ekspor sektor migas mampu menstimulasi pertumbuhan output aggregate atau PDB. Guna penyelidikan atas pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul "Kontribusi Ekspor Sektor Minyak Bumi dan gas
(Migas) dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia: Periode Studi 1970
tahun terakhir ini, persentasenya memang menurun, menjadi sekitar 25 persen, tetapi tetap merupakan pos penerimaan yang sangat besar (lebih dari 100 trilyun). Penerimaan migas tersebut yang selama ini menjadi sumber utama pembiayaan anggaran pemerintah, sekaligus pembiayaan pembangunan ekonomi.
Peran penting migas berikutnya adalah dalam neraca perdagangan Indonesia. Ekspor migas menjadi primadona sampai sekarang. Neraca perdagangan migas selalu surplus, dan berfungsi mengamankan cadangan devisa. Sektor migas juga menjadi "daya tarik" masuknya bantuan asing dan penanaman modal asing, sehingga "memperkuat" neraca modal dan neraca pembayaran.
Sangat jelas bahwa pada masa lalu, boom oil berdampak simultan kepada semua
sektor ekonomi lain.
Dalam hal ekonomi Migas ini, Pertamina perlu dicermati secara tersendiri.
BUMN yang dalam waktu lama diberi kekuasaan besar dari hulu sampai ke hilir
ini, menyembunyikan berbagai ketidakefisienan dibalik perhitungan yang rumit, sehingga angka penerimaan migas bisa jadi jauh lebih besar dari itu. Bagian pemerintah dari laba Pertamina yang dibagikan sangatlah kecil dibandingkan skala ekonomi operasionalnya. Bahkan dalam beberapa tahun menunjukkan angka yang merugi. Lebih rumit lagi jika masalah subsidi BBM yang dibayarkan melalui
Pertamina diperhitungkan secara cermat.
Angka-angka yang dipakai untuk menghitung subsidi BBM tak mudah dicerna. Perhitungannya menganggap minyak mentah dibeli tanpa subsidi. Maka tidak hanya setiap tambahan impor yang membebani, akan tetapi minyak mentah yang diproduksi domestik pun akan dihitung berdasarkan itu. Jika dihitung secara
jauh lebih besar terhadap komponen-komponen ini dibandingkan dengan
sektor-sektor non-minyak bumi.
3.
Penemuan berikutnya tidak adanya asosiasi antara tingkat pertumbuhan nilai
tambah bruto sektor minyak bumi dan tingkat pertumbuhan nilai tambah
bruto sektor-sektor lainnya dalam ekonomi dan juga tak terdapatnya asosiasi
antara tingkat pertumbuhan ekspor sektor minyak bumi dan tingkat
pertumbuhan Produk Nasional Bruto tanpa ekspor sektor minyak bumi
menunjukan bahwa jumlah yang meningkat dalam sumber keuangan yang
diberikan oleh sektor minyak bumi untuk ekonomi telah digunakan secara
tidak msional. Juga sebagai tambahan terhadap alasan ini, pertumbuhan
output sektor-sektor lain dalam ekonomi, mungkin telah terhalang oleh
faktor lain di luarsumber-sumber keuangan.
3.1.3 Penggunaan Pendapatan Devisa
1.
Penemuan menunjukan bahwa impor barang mewah merupakan bagian yang
akup besar dalam keseluruhan impor barang konsumsi. Mengingat hanya
sbagian kecil golongan atas dalam masyarakat, yaitu kelompok 5- 10
persen teratas, yang merupakan pemakai barang konsumsi mewah ini, maka
kenyataan ini akan mendorong suatu kesimpulan bahwa impor telah begitu
besar ditujukan untuk kepentingan kelompok kaya. Pola konsumsi Indonesia
setelah efek pamer internasional yang masuk lewat liberalisasi perdagangan
dan pemasukan investasi asing yang cukup banyak dalam sektor produksi
barang konsumsi. cu*
adalah bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi terhadap dan ekspor suatu
jenis barang tertentu, dimana negara tersebut memiliki absolute advantage
keunggulan absolut dan tidak memproduksi atau melakukan impor jenis barang
yang negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolute, absolute disadvantage
terhadap negara lain yang memproduksi barang sejenis. Teori ini menekankan
efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, di dalam proses
produksi sangat menentukan keunggulan atau tingkat daya saing. Tingkat
keunggulan diukur berdasarkan nilai tenaga kerja yang sifatnya homogen.
Teori Keunggulan Absolut menyaratkan masing-masing negara yang
melakukan perdagangan internasional mempunyai keunggulan absolut sehingga
diperoleh manfaat untuk kedua negara. Namun persoalannya adalah apabila satu
negara
memiliki
keunggulan
absolut
atas
barang-barang
yang
akan
diperdagangkan maka hanya satu negara yang akan mendapatkan gains from
trade, sehingga perdagangan tidak akan terjadi.
Teori keunggulan komparatif dari J. S. Mill dan David Ricardo muncul
sebagai kritik dan usaha penyempurnaan atau perbaikan dari teori keunggulan
absolut. Dasar pemikiran kedua tokoh ini dalam memandang terjadinya
perdagangan internasional pada prinsipnya tidak berbeda.
John Stuart Mill beranggapan bahwa perdagangan internasional akan terjadi
apabila suatu negara mcngkhususkan diri pada ekspor barang tertentu yang
memiliki keunggulan komparatif. comparative advantage dan mengkhususkan
diri pada impor barang yang memiliki kerugian komparatif. comparative
4. 2 Teori Kritis Perdagangan Internasional
Sritua Arief (1979) menyatakan secara tegas tentang keberadaan teori-teori perdagangan internasional yang ada selama ini meskipun mengandung analisa bagi pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara sedang berkembang, namun teori-teori ini tidak cukup terperinci untuk meliputi cakrawala yang lebih luas dan
kompleksitas berkembangan negara-negara ini karena teori-teori ini tidak meneliti
struktur ekonomi di dalam negara-negara tersebut dengan cukup mendalam.
Usaha untuk melihat relevansi teori-teori perdagangan internasional dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi negara sedang berkembang dan usaha untuk mencari bentuk penjelasan baru tentang perdagangan internasional penulis memasukannya sebagai Teori Kritis Perdagangan Internasional, Sritua Arief menerangkan dalam Teori Perkembangan. Sebelum membahas studi Sritua Arief yang menerangkan bagaimana Teori Perkembangan bekerja, terlebih dahulu dibahas tentang Teori Pertumbuhan di mana Ekspor Bahan Baku Pokok Yang Memimpin. Hal ini menyangkut obyek penelitian berupa minyak bumi dan gas kaitanya dengan pertumbuhan ekonomi, selain untuk melihat kerja ekspor bahan primer dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara secara teoritis oleh studi Sritua
4. 2.1 Teori Pertumbuhan di mana Ekspor Bahan Baku Pokok Yang
Memimpin
Teori Pertumbuhan di mana Ekspor Bahan Baku Pokok Yang Memimpin menyatakan bahwa kalau permintaan akan ekspor bahan baku pokok meningkat. maka jumlah persediaan juga akan meningkat, yang akan memebahkan
peningkatan GNP, Gross National Product. Pendapatan yang dibelanjakan akan
menimbulkan kesempatan-kesempatan investasi dalam sektor-sektor lain dalam ekonomi sebagai akibat adanya kaitan kebelakang dan kedepan. Efek kaitan kebelakang dalam hal ini menunjukan pengaruh rangsangan untuk mengadakan investasi untuk memproduksi di dalam negeri untuk memperluas sektor ekspor, sedangkan efek kaitan kedepan menunjukan pengaruh rangsangan untuk mengadakan investasi dalam industri-industri yang menggunakan output darisektor ekspor sebagai input-nya.
Dengan mengutip studi historis oleh Harold Innis tentang industri minyak ikan dan bulu binatang Kanada, studi ini meletakan dasar untuk Staple Theory of economic Growth. Teori ini menganggap bahwa bahan baku adalah merupakan katalisator utama atau sektor yang memimpin dalam proses pertumbuhan ekonomi. Innis menggunakan fungsi produksi dalam teori perkembangan ekonomi Kanada dalam menjelaskan konsep pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh
ekspor.
Efek positif sektor ekspor barang primer terhadap sektor-sektor lain dalam ekonomi secara nyata dianggap berhasil baik kalau sektor-sektor ini banyak
Smith yang mengemukakan bahwa manfaat dapat diperoleh dengan adanya kerja
internasional.
Masalah teknologi juga tidak luput dari kritikan Prebisch, menurutnya
peranan teknologi yang dipegang oleh negen pusat dan peranan sebagai penvedia
bahan-bahan mentah untuk pusat yang dipegang oleh negeri pinggiran mengarah
kepada situasi di mana negen pinggiran tidak dapat menikmati kemajuan
teknologi di pusat, sedangkan peningkatan produktivitas di negeri pinggiran akan
menguntungkan pusat. Cara lain untuk menerangkan kemerosotan nilai tukar,
term of trade, ini ialah dengan melihat kepada kemajuan teknik di negara maju
yang menyebabkan berkurangnya penggunaan bahan mentah untuk setiap unit
output dan pertumbuhan pengunaan bahan-bahan sintetis sebagai input dalm
produksi berbagai barang. Secara tidak langsung teon keunggulan kompetitif
mendapat penentangan di sini.4. 3 Hipotesa
1. Bahwa diduga pada periode studi tahun 1970 - 2003, ekspor sektor migas
akan berpengaruh pada Produk Domestik Bruto (PDB), begitu pula hal sama
akan terjadi pada ekspor sektor non-migas, investasi dan tenaga kerja.
2 Bahwa diduga besaran pengaruh ekspor sektor migas terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) pada periode studi tahun 1970
2003 akan mencapai
dan Davidson). Dengan menggunakan model tersebut akan diketahui hubungan variabel-variabel independen terhadap variabel dependen.
Untuk memperoleh hasil regresi terbaik pada penelitian ini digunakan metode kuadrat terkecil/ OLS {Ordinary Least Squares). Penjelasan tentang model dan metode tersebut diperoleh dari Agus Widarjono (2005). Model
persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
/«/= f% +fi InXi, + f}2 lnX2, + pi InXa + /?, lnX4l+ e,
Dimana:
Y =PDB (Y)
X| = Ekspor Sektor Minyak (M)
X2 = Ekspor Sektor Non-Minyak (N)
X3 = Investasi (I)
X4= Tenaga Kerja (L)
(3o= nilai intercept (konstan) Pi = koefisien arah regresi
i =jumlahobservasi
e, = residual
5. 3 Pengujian Linearitas
Untuk melihat apakah data yang digunakan bersifat linear atau tidak dalam