EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA ANAK PENDERITA INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) BAGIAN ATAS DI INSTALASI
RAWAT JALAN RSI SULTAN AGUNG SEMARANG
PERIODE AGUSTUS 2015 – JUNI 2016
ARTIKEL
Oleh
SUMARI SIDIK
NIM. 050112a087
PROGRAM STUDI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN
EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA ANAK PENDERITA INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) BAGIAN ATAS DI INSTALASI
RAWAT JALAN RSI SULTAN AGUNG SEMARANG
PERIODE AGUSTUS 2015 – JUNI 2016
ARTIKEL
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Oleh
SUMARI SIDIK
NIM. 050112a087
PROGRAM STUDI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN
Evaluasi Rasionalitas Penggunaaan Antibiotik Pada Anak Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Atas di Instalasi Rawat Jalan RSI
Sultan Agung Semarang Periode Agustus 2015-Juni 2016
Sumari Sidik
Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, Email : sidik_kinan99@yahoo.co.id
ABSTRAK
Latar Belakang : Peranan antibiotik pada ISPA bagian atas mempunyai peranan penting dalam penyembuhan. Antibiotik hendaknya digunakan secara rasional karena mempunyai dampak yang besar salah satunya yaitu terjadinya resistensi.Tujuan :Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita ISPA bagian atas.
Metode :Rancangan penelitian adalah deskriptif dan pengambilan data secara
retrospektif, dengan sampel sebanyak 50 diambil secara purposive sampling.Analisis data yaitu univariat menggunakan program Statistic Package for the Social Science (SPSS).
Hasil : Rasionalitas penggunaan antibiotik meliputi tepat jenis antibiotik 36 %, tepat dosis antibiotik 20 %, tepat frekuensi pemberian antibiotik 54 % dan kerasionalan terapi dari ketiga parameter 20 %.
Simpulan : Kerasionalan penggunaan antibiotik pada pengobatan ISPA bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSI Sultan Agung Semarang berdasarkan tepat jenis antibiotik, tepat dosis antibiotik dan tepat frekuensi pemberian antibiotik yaitu sebesar 20 %.
Saran : Diperlukan membuat pedoman khusus(Clinical Pathway) untuk pengobatan ISPA bagian atas pada pasien rawat jalan.
Kata Kunci : ISPA,antibiotik, rasionalitas Kepustakaan : 40 (2000-2015)
ABSTRACT
Background :The role of antibiotics forupper respiratory infection plays an important role in healing. Antibiotics should be used rationally because they have a huge impact, one of which is the occurrence of resistance. Objectives : This study aim to determine the rationality of antibiotic use in pediatric patients with upper respiratory infection.
Method : The study design was descriptive and retrospective data collection, with the samples of 50 people taken by purposive sampling. The data analysis program of univariate usedStatistic Package for the Social Science (SPSS).
Results :The rationality of the use of antibiotics included the right kind of antibiotic 36 %, appropriate doses of antibiotics 20 %, the exact frequency of antibiotics 54 % and rationalization of the treatment of the three parameters20 %. Conclusion :The rationality for the use of antibiotics in the treatment of upper respiratory infection in outpatient installation of Sultan Agungislamic hospital Semarangby the right kind of antibiotic, appropriate antibiotic treatment and the proper frequency of administration of antibiotics which is 20 %.
Suggestion : It needs specific guidelines (Clinical Pathway) for the treatment of upper respiratory infection in outpatients.
Keywords :ARI, antibiotics, rationality Biliographies : 40 (2000-2015)
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Menurut WHO (2003) Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit penyebab kematian anak di seluruh dunia. Salah satu contoh penyakit infeksi yaitu penggunaan antibiotik mempunyai peranan penting dalam proses penyembuhan. Penggunaan antibiotik hendaknya digunakan secara rasional karena mempunyai dampak yang besar salah satunya terjadinya resistensi. Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Banyak pengobatan yang diterima anak tidak sesuai dengan kondisi anak tersebut, sehingga hal ini dapat mengakibatkan penggunaan obat yang tidak rasional. Pengobatan yang ideal untuk anak adalah sesuai dengan umur, kondisi psikologis dan berat badan anak agar efek terapi yang diinginkan dapat tercapai.
Di Indonesia sekitar 10 juta kejadian ISPA pada anak terjadi setiap tahunnya. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13 % merupakan kasus berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Kejadian batuk dan pilek pada balita diperkirakan terjadi 2-3 kali per tahun (KemenKes R1, 2012). Resiko ISPA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, akan tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media akut (OMA) dan mastoiditis. Bahkan infeksi saluran nafas bagian atas bila tidak di atasi dengan baik dapat menyebabkan komplikasi fatal yakni pneumonia (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan Riskesdas 2013 karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun. Sedangkan menurut SIRS 2013 persentase pasien anak balita rawat inap berjenis kelamin laki-laki sebesar 54,18% (5.983 jiwa) dan berjenis kelamin perempuan sebesar 45,82% (5.060 jiwa) tidak jauh berbeda persentase dengan pasien anak balita rawat jalan berjenis kelamin laki-laki sebesar 51,89% (44.702 jiwa) dan berjenis kelamin perempuan sebesar 48,11% (41.448 jiwa) (KemenKes RI, 2015).
Kota Semarang merupakan ibukota propinsi Jawa Tengah yang penduduknya sebagian besar adalah pendatang dari kota-kota lain di Jawa Tengah. Dengan demikian kota Semarang memiliki karakteristik penduduk yang dapat mewakili karakteristik penduduk seluruh propinsi Jawa Tengah. Banyaknya polusi udara di kota Semarang menyebabkan banyak penduduk Semarang terutama balita yang menderita ISPA. Hal ini dapat diketahui dengan tingginya angka kunjungan pasien ISPA di tempat-tempat pelayanan kesehatan di seluruh kota Semarang (Dinkes Semarang, 2008).
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik pada anak penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas. Evaluasi pada penelitian ini dilakukan dengan cara menilai rasionalitas penggunaan antibiotik berdasarkan tepat pemilihan jenis antibiotik, tepat dosis dan tepat frekuensi pemberian antibiotik.
2. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita ISPA bagian atas di instalasi rawat jalan RSI Sultan Agung Semarang.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita ISPA bagian atas di instalasi rawat jalan RSI Sultan Agung Semarang yang meliputi meliputi tepat pemilihan jenis antibiotik, tepat dosis dan frekuensi pemberian antibiotik.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan desain (rancangan) penelitian deskriptif dan pengambilan data secara retrospektif. Retrospektif merupakan pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (Notoatmodjo, 2005).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien anak yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas dan tercatat pada rekam medis di Instalasi Rawat Jalan RSI Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-Juni 2016.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien anak yang berusia 2-12 tahun yang menderita ISPA bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSI Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-Juni 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria dalam penelitian ini, antara lain: 1. Kriteria Inklusi
a. Pasien anak yang berusia 2-12 tahun yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSI Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-Juni 2016.
b. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik.
c. Pasien ISPA bagian atas yang memiliki data lengkap dan memuat data penting (nama pasien, umur, jenis kelamin, berat badan, diagnosis, gejala, dosis, frekuensi pemberian).
2. Kriteria Eksklusi
a. Rekam medik yang tidak terbaca dengan jelas.
b. Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas dengan komplikasi.
Dalam penelitian ini, cara pengambilan sampel adalah purposive
sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiono, 2012). Dalam hal ini peneliti menelusuri rekam medik pasien anak yang berusia 2-12 tahun yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSI Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-Juni 2016, kemudian diambil data rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 di RSI Sultan Agung Semarang. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Lembar Pengumpul Data (LPD).
Analisis data penelitian ini yaitu analisis univariat tentang rasionalitas penggunaaan antibiotik pada anak penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas dengan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Pasien
a. Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki - laki 29 58
Perempuan 21 42
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.1, dapat diketahui bahwa frekuensi pasien ISPA bagian atas terbanyak adalah pasien anak laki-laki sebesar 58 %. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa penderita ISPA bagian atas mempunyai selisih yang tidak terlalu jauh antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jenis kelamin bukan merupakan faktor yang dapat menyebabkan penyakit tersebut.
b. Umur
Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Pasien berdasarkan umur
Umur Frekuensi Persentase (%)
2 – 6 tahun 38 76
6– 12 tahun 12 24
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.2, dapat diketahui bahwa frekuensi pasien ISPA bagian atas terbanyak adalah pada kelompok umur 2-6 tahun sebesar 76 %. Umur tersebut merupakan kelompok yang rentan terkena penyakit infeksi, terutama ISPA bagian atas. Hal ini dikarenakan daya tahan tubuhnya lebih rendah (WHO, 2007).
c. Diagnosa
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Pasien berdasarkan diagnosa
Diagnosa Frekuensi Persentase (%)
Otitis Media Akut 2 4
Sinusitis 40 80
Faringitis 8 16
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui bahwa frekuensi diagnosa anak pasien ISPA bagian atas terbanyak adalah sinusitis sebesar 80 %. Karena sinusitis dapat terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, alergi maupun benda asing (Depkes RI, 2005).
2. Penggunaan Obat a. Jenis Antibiotik
Tabel 4.4 Penggunaan Antibiotik berdasarkan Jenis Antibiotik Antibiotik Frekuensi Persentase (%)
Amoxicillin 15 30
Cefadroxil 15 30
Cefixime 20 40
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.4, dapat diketahui bahwa frekuensi penggunaan antibiotik berdasarkan jenis antibiotik pada anak pasien ISPA bagian atas terbanyak adalah cefixim sebesar 40 %. Cefixim merupakan antibiotik generasi ketiga golongan sefalosporin yang termasuk antibiotik beta-laktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin. Pada umumnya mempunyai efek samping yang sama dengan kelompok penisilin tetapi lebih jarang dan lebih ringan (Tjay dan Kirana, 2007).
b. Obat Penyerta
Tabel 4.5 Obat Penyerta
Golongan Obat
Antipiretik Parasetamol Analgesik Ibuprofen Antihistamin CTM
Dekongestan Tremenza (Pseudoefedrin HCL, Tripolidin HCL) Kortikosteroid Dexamethason, Metilprednisolon, Kenacort
(Triamcinolon) Mukolitik &
Ekspektoran
Ambroxol, Sanadryl (Difenhidramin HCL), Triaminic batuk pilek, GG
Antivirus Isprinol Bronkodilator Salbutamol
Antialergi Cetirizine (Setirizin HCL), Celestamine (Betametason, Deksklorfeniramina maleat) Antiemetik Domperidon, Vometa
Antifungi Nistatin
Barbiturat Luminal (Phenobarbital)
Vitamin Apyalis (Vitamin A, B1,B2,B6,B12, C, D), Curvit (Kurkumoid, Vit B1,B2, B6, B12, b-karoten), Zamel (Vit A, Tiamin, Riboflavin, Piridoxin), B complex, B6
Lain-lain Starmuno kids, Benozym (Pankretin, Bromelain, Ox-bile)
Berdasarkan tabel 4.5, menunjukkan bahwa tiap pasien mendapatkan obat penyerta atau terapi suportif untuk mengobati tanda dan gejala yang dialami pasien, sehingga memberikan kenyamanan khususnya pada anak.
3. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik
a. Ketepatan Penggunaan Antibiotik berdasarkan Jenis Antibiotik Tabel 4.6 Distribusi Ketepatan Penggunaan Antibiotik
berdasarkan Jenis Antibiotik
Jenis Antibiotik Frekuensi Persentase (%)
Tidak Tepat 32 64
Tepat 18 36
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.6, dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotik berdasarkan jenis antibiotik yang sudah tepat (36 %).
Pada diagnosa otitis media akut pasien diberi antibiotik cefadroxil dan amoxicillin dengan pemberian tunggal. Berdasarkan buku Depkes (2005) yang berjudul “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan” antibiotik cefadroxil tidak termasuk dalam antibiotik yang digunakan dalam pengobatan otitis media akut, maka penggunaan cefadroxil dalam mengobati otitis media akut tidak tepat. Antibiotik cefadroxil dianjurkan penggunaannya untuk pengobatan radang hulu kerongkongan atau sakit tenggorokan, infeksi saluran kemih dan infeksi kulit (Tjay dan Kirana, 2002). Sedangkan amoxicillin merupakan antibiotik lini pertama pada pengobatan otitis media akut yang berdasarkan buku Depkes (2005) yang berjudul “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan” antibiotik, maka penggunaan amoxicillin sudah tepat. Amoxicillin adalah antibiotik golongan penisilin yang merupakan derivat β-laktam yang memiliki aksi bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri (Depkes RI, 2005).
Untuk pengobatan sinusitis, antibiotik yang digunakan adalah amoxicillin, cefadroxil, dan cefixime dengan pemberian tunggal. Berdasarkan buku Depkes (2005) yang berjudul “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan” amoxicillin merupakan antibiotik yang digunakan dalam pengobatan sinusitis, maka penggunaan antibiotik amoxicillin sudah tepat. Amoxicillin merupakan penisilin spektrum luas derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Spektrumnya mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Dimana Streptococcus
umum penyebab sinusitis (Depkes RI, 2005). Antibiotik cefadroxil dan cefixime tidak termasuk dalam antibiotik yang digunakan dalam pengobatan sinusitis, maka penggunaan cefadroxil dan cefixime dalam mengobati sinusitis tidak tepat.
Meskipun begitu, antibiotik cefixime berdasarkan buku panduan dari Dipiro, dkk (2012) yang berjudul “Pharmacotherapy Handbook
8th edition” dapat digunakan dalam pengobatan sinusitis.
Untuk pengobatan faringitis, antibiotik yang digunakan adalah cefixime dan cefadroxil dengan pemberian tunggal. Berdasarkan dari buku pedoman Depkes (2005) yang berjudul “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan” antibiotik cefixime bukan antibiotik yang di rekomendasikan dalam pengobatan faringitis, maka penggunaan cefixime tidak tepat. Pada buku acuan Depkes (2005) antibiotik golongan sefalosporin yang digunakan adalah generasi satu dan dua, sedangkan cefixim adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga (Depkes RI, 2005). Sedangkan penggunaan cefadroxil dalam pengobatan faringitis sudah tepat, karena dalam buku Depkes (2005) cefadroxil merupakan antibiotik lini kedua dalam pengobatan faringitis.
Meskipun begitu, terdapat penggunaan antibiotik yang tidak tepat berdasarkan jenis antibiotik sebesar 64 %. Dimana penggunaan antibiotik cefadroxil untuk penyakit otitis media akut dan sinusitis tidak tepat, begitu juga penggunaan antibiotik cefixime pada pengobatan faringitis tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dapat menyebabkan kegagalan terapi bahkan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (Anonim, 2010). b. Ketepatan Penggunaan Antibiotik berdasarkan Dosis Antibiotik
Tabel 4.7 Distribusi Ketepatan Penggunaan Antibiotik berdasarkan Dosis Antibiotik
Jenis Antibiotik Frekuensi Persentase (%)
Tidak Tepat 40 80
Tepat 10 20
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.7, dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotik berdasarkan dosis antibiotik yang sudah tepat (20 %) dan tidak tepat dosis sebesar 80 %. Dosis antibiotik yang tidak tepat meliputi overdose (dosisnya kelebihan) sebesar 64 % dan yang
underdose (dosisnya kurang) sebesar 16 %. Dosis yang diberikan
kebanyakan sesuai dengan dosis yang ada pada bentuk sediaanya, misal pada sediaan sirup maka dosis yang diberikan sesuai dengan mililiter yang ada di sirup tersebut dan tidak sesuai dengan perhitungan berdasarkan berat badan anak.
Dosis di hitung berdasarkan berat badan setiap pasien anak dikali dosis yang berasal dari buku pedoman Depkes (2005) yang berjudul “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan”. Dosis untuk antibiotik amoxicillin pada otitis media akut dan sinusitis dosisnya yaitu 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. Untuk cefadroxil pada pengobatan faringitis dosisnya yaitu 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis. Sedangkan cefixime pada pengobatan sinusitis dosisnya 8 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis.
Penggunaan dosis antibiotik yang sesuai dapat memaksimalkan kerja obat, sehingga terapi yang diinginkan tercapai (Anonim. 2010). Pemberian dosis yang kurang akan mengakibatkan tidak berefeknya antibiotik dan dapat mengakibatkan resistensi bakteri yang tersisa dalam tubuh, namun jika dosis lebih akan mengakibatkan resiko efek samping yang tidak diinginkan pada pasien (Setiabudy, 2007).
c. Ketepatan Penggunaan Antibiotik berdasarkan Frekuensi Pemberian Antibiotik
Tabel 4.8 Distribusi Ketepatan Penggunaan Antibiotik berdasarkan Frekuensi Pemberian Antibiotik Jenis Antibiotik Frekuensi Persentase (%) Tidak Tepat 23 46
Tepat 27 54
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.8, dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotik berdasarkan frekuensi pemberian antibiotik yang sudah tepat (54 %). Frekuensi pemberian antibiotik amoxicillin adalah 3 x sehari (tiap 8 jam), sedangkan untuk antibiotik cefadroxil dan cefixim adalah 2 x sehari (tiap 12 jam). Hal ini sesuai dengan buku acuan yang digunakan yaitu berdasarkan dari buku pedoman Depkes (2005) yang berjudul “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan”. Meskipun mayoritas sudah tepat dalam hal frekuensi
pemberian antibiotik, tetapi masih terdapat frekuensi pemberian antibiotik yang tidak tepat sebanyak 46 %. Ketidaktepatan frekuensi pemberian antibiotik dikarenakan pada beberapa pasien antibiotik cefadroxil dan cefixime diberikan 3 x 1 (tiap 8 jam). Padahal berdasarkan buku pedoman Depkes (2005) yang berjudul
“Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan”
antibiotik cefadroxil dan cefixime harus diberikan 2 x 1 (tiap 12 jam), semakin sedikit frekuensi pemberian maka akan meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi antibiotik.
Ketidaktepatan frekuensi pemberian antibiotik akan mempengaruhi kadar obat di dalam tubuh. Obat yang metabolismenya cepat dan t1/2-nya pendek, perlu diberikan sampai 3-6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap tinggi, sedangkan obat dengan half-life panjang, pada umumnya cukup diberikan satu kali sehari dan tidak perlu sampai 2 atau 3 kali. Kecuali bila obat sangat terikat pada
protein, sedangkan kadar plasma tinggi diperlukan untuk efek terapeutiknya (Waldon, 2008).
d. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik
Tabel 4.9 Distribusi Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Jenis Antibiotik Frekuensi Persentase (%)
Tidak Rasional 40 80
Rasional 10 20
Total 50 100
Berdasarkan tabel 4.9, dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSI Sultan Agung Semarang berdasarkan tepat jenis antibiotik, tepat dosis antibiotik dan tepat frekuensi pemberian antibiotik rasional sebesar 20 %. Kerasionalan penggunaan antibiotik dilihat dari parameter yang dipakai, antara lain tepat pemilihan jenis antibiotik, tepat dosis antibiotik dan tepat frekuensi pemberian antibiotik. Jika dalam pengobatan ketiga parameter tersebut tepat, maka dikatakan rasional.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak negatif, diantaranya timbulnya resistensi, terjadinya efek samping maupun toksisitas, terjadinya pemborosan biaya, dan tidak tercapainya manfaat klinik yang optimal dalam hal pencegahan maupun pengobatan penyakit infeksi (Kemenkes RI, 2011).
D. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas di instalasi rawat jalan RSI Sultan Agung Semarang Periode Agustus 2015 – Juni 2016 yang meliputi tepat pemilihan jenis antibiotik sudah tepat sebesar 36 %, tepat dosis antibiotik sudah tepat sebesar 20 %, tepat frekuensi pemberian antibiotik sudah tepat sebesar 54 % dan kerasionalan terapi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas dari ketiga parameter sudah rasional sebesar 20 %.
E. UCAPAN TERIMA KASIH
Seluruh civitas akademika STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, Ketua Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Drs. Jatmiko Susilo, Apt., M.Kes, Dosen Pembimbing I Richa Yuswantina S. Farm., Apt., M. Si., Dosen Pembimbing II Sikni Retno K, S.Farm., M.Sc., Apt., RSI Sultan Agung Semarang serta seluruh karyawan RSI Sultan Agung Semarang, Bapak Ibu saya tercinta serta kakak-kakak saya.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. 2003. Respiratory Acute Infections. Dalam Trimutiara. 2010.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut. (http://trimutiara. blogspot.
2. DepKes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
3. KemenKes RI, 2015, Situasi Kesehatan Anak Balita di Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
4. DinKes Semarang. 2008. Profil Kesehatan Kota Semarang. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Semarang.
5. Notoatmodjo, 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. 6. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B.
Alfabeta. Bandung.
7. WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) yang Cenderung menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
8. Tjay, T. H., dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting; Edisi ke 6. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
9. Dipiro, dkk., 2012. Pharmacotherapy Handbook 8th edition. The
McGraw-Hill Companies Inc , New York
10. Anonim. 2010. Masalah Penggunaan Obat di Institusi Pelayanan
Kesehatan. Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
11. Setiabudy, R. 2007. Pengantar Antimikroba. Dalam Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
12. Waldon, D.J. (2008). Pharmacokinetics and Drug Metabolism. Cambridge : Amgen, Inc., One Kendall Square, Building 1000, USA.
13. KemenKes RI, 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi
Antibiotik. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.