• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH (Python brongersmai Stull, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH (Python brongersmai Stull, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN TESIS."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH

(Python brongersmai Stull, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL

TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN

TESIS

Oleh

Markus Mangantar Pardamean Sianturi

127004007/ PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(2)

KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH

(Python brongersmai Stull, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL

TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Markus Mangantar Pardamean Sianturi

127004007/ PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(3)

Judul Tesis : KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH (Python brongersmai STULL, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN

Nama Mahasiswa : Markus Mangantar Pardamean Sianturi

Nomor Pokok : 127004007

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Dr. Erni Jumilawaty, M.Si) (Dr. Delvian, S. P, M.P)

Anggota Ketua

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Delvian, SP, MP) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 7 Februari 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Delvian, SP, MP

Anggota : 1. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

2. Dr. Ir. Mukhlis, MS

(5)

PERNYATAAN

KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH

(Python brongersmai Stull, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL

TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, April 2016 Penulis,

(6)

KAJIAN BIOLOGI ULAR SANCA DARAH MERAH

(Python brongersmai Stull, 1938) GUNA PEMANFAATAN HASIL

TANGKAPAN SECARA BERKELANJUTAN

ABSTRAK

Ular sanca darah merah atau P. brongersmai merupakan ular yang tinggi tingkat eksploitasinya di Sumatera Utara. Tingginya permintaan atas kulit dari ular ini sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia telah mengakibatkan penangkapannya di alam menjadi prioritas utama. Penelitian ini mengkaji karakteristik individu P. brongersmai yang terdapat di alam berdasarkan sifat biologinya. Pengumpulan sampel ular dilakukan di dua tempat yaitu di Kota Rantau Prapat dan Kabupaten Langkat. Parameter yang dikaji meliputi rasio kelamin, morfometri dan perbandingan individu betina dewasa dengan juvenil. Total sampel P. brongersmai dalam penelitian ini sebanyak 541 individu yang terbagi atas 269 jantan dan 272 betina. Rasio kelamin jantan dan betina dari kedua tempat menunjukkan hasil yang berbeda yaitu 1 : 0,66 di Kabupaten Langkat dan 0,98 : 1 di Kota Rantau Prapat. Rasio kelamin total sampel ialah sebesar 0,98 : 1 untuk jantan banding betina. Hasil pengukuran morfometri menunjukkan hasil yang signifikan antara jantan dan betina. Individu betina dewasa yang ditangkap sebanyak 264 individu dan hanya ditemukan 8 juvenil. Hasil analisis multivariat menunjukkan hasil beda nyata antara individu jantan dan betina terkait hubungan antar peubah morfologi dan anatomi yang dibandingkan. Melalui peubah berat dan lebar perut, ditemukan adanya hubungan erat dengan kualitas/ besaran lemak pada individu betina dan prediksi SVL yang relevan dapat dilakukan pada individu betina namun tidak berlaku pada individu jantan. Secara praktikal, penangkapan individu betina diluar panjang SVL 132,98 - 159,37 cm dapat menjaga kelestarian populasi P. brongersmai di alam

Kata kunci: Python brongersmai, snout-vent length, besaran lemak, berat dan lebar perut.

(7)

BIOLOGICAL ASPECT OF RED BLOOD PYTHON

(Python brongersmai Stull, 1938) TO ACHIEVE SUSTAINABLE

USE AND HARVEST

ABSTRACT

Red-blood pythonor known as Python brongersmai was one of the most exploited species in North Sumatera. The high demand on its skin trade as one of Indonesian export commodity has made a priority of its catch from the wild. Research is to evaluate the characterstic of each individu of wild P. brongersmai based on biological character. Samples were collected from two slaughterhouse aided by catcher from Rantau Prapat city and Langkat regency. Parameters measured in this research were sex ratio, morphometery, and comparison of adult and juvenil individu of P. brongersmai. Total samples of P. brongersmai in this research was 541 snakes which divided into 269 male and 272 female. Sex ratio of male versus female from two different place showed different results, which was 1 : 0,66 from Langkat and 1 : 0,96 from Rantau Prapat. Total samples sex ratio was declared by 0,98 : 1 for male versus female. Morphometrical measurement showed significant result from male and female. Adult female P. brongersmai found in this study was 264 individu while juvenile only 8 individu. Multivariate analysis showed that there was a significant result between female and male in terms of correlation between morphology and anatomy variables. Correlation analysis showed tight correlation between weight and stomach width variabl with, quality of fat deposits in female and relevant SVL may be predicted under linear regression model but not applicable to male. In practical means, harvesting of female P. brongersmai should be considered or limited between SVL of 132,98 - 159,37 cm to sustain the population in the wild.

Keywords: P. brongersmai, snout-vent length, fat deposits, weight and stomach width

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul Kajian Biologi Ular Sanca Darah Merah (Python brongersmai Stull, 1938) Guna Pemanfaatan Hasil Tangkapan Secara

Berkelanjutan dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar magister pada

Program Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama melakukan penelitian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Delvian SP, MP selaku Ketua Program Studi Magister dan Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 3. Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah

membimbing dalam penelitian tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir Muklis, M.Si selaku Komisi Penguji yang telah memberikan masukan dalam analisis data penelitian tesis ini.

5. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku Komisi Penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Sudirman dan Bang Cipto yang telah menyediakan tempat, objek penelitian, dukungan moril dan materil selama penelitian tesis ini.

7. Isteri tercinta dr. Ruth Diana Taruli Asi Tambunan beserta anak-anak kami yang telah sabar menemani penulis dalam menyelesaikan studi magister ini. 8. Tim kreatif yang telah membantu penulis dalam proses penelitian tesis ini. 9. Rekan seperjuangan PSL 2012 yang telah memberikan dukungan kepada

penulis selama menjalani kehidupan di kampus.

10. Pimpinan dan rekan kerja di Balai Besar KSDA Sumatera Utara atas dukungan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. 11. Terakhir, terima kasih kepada setiap individu yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam setiap proses penyelesaian tesis ini.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1980 di Pekanbaru, Riau. Merupakan anak ke 5 dari 6 bersaudara dari pasangan Bapak S. Sianturi dengan Ibu R. Siregar.

Penulis mengikuti pendidikan formal di Sekolah Dasar Santa Maria Pekanbaru pada tahun 1986 hingga 1992. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pekabaru pada tahun 1992 hingga 1995. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Pekanbaru pada tahun 1995 hingga 1998.

Pada tahun 1999, penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan di Unit KSDA Sumatera Utara II yang sekarang bernama Balai Besar KSDA Sumatera Utara. Penulis melanjutkan pendidikan formal pada jenjang Sarjana (S-1) di Fakultas Biologi, Univesitas Medan Area pada tahun 2004 hingga 2009. Pada tahun 2010, penulis menikah dengan dr. Ruth Diana Taruli Asi Tambunan dan sekarang telah dikaruniai dengan 2 orang anak yaitu Abigail Martha Marasi Sianturi dan Aloysius Hamonangan Sianturi. Penulis melanjutkan pendidikan formal pada jenjang Magister (S-2) di Sekolah Pascasarjana, Program Studi Magister dan Doktor, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada tahun 2012 hingga 2016.

(10)

. DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN ... i PERNYATAAN ... ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... iii iv v vi vii viii x xi xiii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 5 1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Biologi Ular Sanca ... 7

2.2. Penentuan Jenis Kelamin (Sexing) ... 2.3. Siklus Lemak ... 8 9 2.3. Perdagangan Kulit Ular ... 12

2.4. Ekologi Python brongersmai ... 14

2.5. Cara Pengumpulan Ular 15 BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Waktu dan Tempat ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 3.3. Prosedur Penelitian ... 3.3.1 Pengumpulan Data Karakter Biologi P. Brongersmai... 3.4. Analisa Data ... 17 18 18 20 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Jumlah Individu P. brongersmai Hasil Tangkapan ... 21

4.2. Pengukuran Morfometri P. brongersmai ... 23

4.3. Besaran Lemak ... 27

4.4. Karakter Reproduksi ... 33

(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1. Kesimpulan ... 48

5.2. Saran ... 48

(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Data kuota tahunan dan penggunaan kouta tahunan pada beberapa

jenis Python (Departemen Kehutanan, 2011) ... 14

4.1. Jumlah individu P. brongersmai jantan-betina ... 21

4.2. Data Morfometri P. brongersmai (N = 541) ... 24

4.3. Data Morfometri P. brongersmai dari Rantau Prapat (N = 511) ... 24

4.4. Data Morfometri P. brongersmai dari Langkat (N = 30) ... 24

4.5. Perbandingan Morfometri Jantan dan Betina (N = 541) ... 25

4.6. Perbandingan Morfometri Jantan dan Betina (N = 511) ... 25

4.7. Perbandingan Morfometri Jantan dan Betina (N = 30) ... 25

4.8. Karakter Reproduksi P. brongersmai Betina ... 33

4.9. Karakter Reproduksi P. brongersmai Jantan ... 33 4.10. Hasil analisis multivariat antara besaran lemak terhadap satu set

peubah SVL, berat dan lebar perut ... 41

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Python brongersmai A. Dokumentasi Pribadi, dan

B. Dokumentasi Siregar (2012) ... 8 2.2. A. Probe untuk sexing pada ular, B. Teknik probing pada ular

Sumber : Mader (2006) dalam Matswapati (2009) ... 9 2.3. Dokumentasi Pribadi Ular Sanca P. brongersmai, A. Betina,

B. Jantan ... 9 2.4. Negara Pengekspor Kulit Ular Terbesar tahun 2008 Sumber

CITES www.dashborad.cites.org ... 13 4.1. Distribusi Individu P. brongersmai Berdasarkan Besaran Lemak

(N = 541) ... 28 4.2. Distribusi Individu P. brongersmai Berdasarkan Besaran Lemak

(N = 511) ... 28 4.3. Distribusi Individu P. brongersmai Berdasarkan Besaran Lemak

(N = 30) ... 29 4.4. Besaran Lemak ... 31 4.5. Distribusi Jumlah Individu Betina Dewasa Berdasarkan SVL dan

Kategori ... 34 4.6. Distribusi Jumlah Individu Betina Dewasa Berdasarkan Massa dan

Kategori ... 35 4.7. Distribusi Individu Jantan Dewasa Berdasarkan SVL dan Kategori ... 35 4.8. Distribusi Jumlah Individu Jantan Dewasa Berdasarkan Massa dan

Kategori ... 36 4.9. A. Individu Betina Dewasa (Kiri) yang ditunjukkan dengan

adanya temuan folikel matang dan B. Juvenil (Kanan) ... 37 4.10. Individu Jantan Dewasa yang ditunjukkan dengan adanya cairan

(14)

4.11. Hasil uji regresi peubah morfologi dengan anatomi

P. brongersmai jantan ... 39 4.12. Hasil uji regresi peubah morfologi dengan anatomi

P. brongersmai betina ... 40 4.13. Proporsi Individu: A. Betina, B. Jantan, C. Keseluruhan ... 43 4.14. Hasil uji regresi peubah SVL terhadap masing-masing peubah

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Uji multivariat individu P. brongersmai jantan ... 53 2. Uji multivariat individu P. brongersmai betina ... 55

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia telah dikenal dunia internasional sebagai eksportir satwa liar yang menjanjikan, memiliki potensi keragaman jenis satwa yang diperdagangkan. Potensi satwa Indonesia yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk hidup, kulit, daging, dan bahan medis telah meningkatkan permintaan ekspor terhadap spesies satwa ke tingkat eksploitasi yang tinggi. Golongan reptilia telah lama dikenal sebagai salah satu bahan baku kulit yang bernilai estetika dan ekonomi. Contoh dari kelas reptilia yang diekspor berasal dari golongan kadal dan ular (Iskandar dan Erdelen, 2006; Nijman, 2009; Departemen Kehutanan, 2011)

. Beberapa spesies reptilia yang dimanfaatkan dalam skala industri diantaranya buaya air asin atau Saltwater Crocodile, biawak atau Monitor lizard, dan ular sanca atau Python yang merupakan contoh spesies dari ordo kadal, buaya, dan ular (Keogh et al., 2001; Shine et al., 1996; Webb et al., 2011). Spesies ular sanca atau Python, merupakan contoh spesies ular yang telah mendapatkan perhatian dunia sebagai material yang diakui secara estetik dan bernilai ekonomi tinggi. Ular Python merupakan contoh ular yang dimanfaatkan kulitnya dalam bentuk kulit utuh maupun potongan. Organisasi internasional yang memantau perdagangan satwa liar atau lebih dikenal dengan CITES, telah

(17)

mengatur kuantitas ekspor ular sanca dalam bentuk kuota yang disepakati dengan peraturan kementerian kehutanan (Kasterine et al, 2012; www.unep-wcmc.org).

Berdasarkan data nasional, ular sanca termasuk dalam komoditi yang stabil tingkat ekspornya berdasarkan kuota yang diperbolehkan dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, berkisar antara 157,500 untuk Python reticulatus, 1.944 untuk Python curtus, 36.936 untuk Python brongersmai, dan 10.800 untuk Python breitensteini (Departemen Kehutanan, 2011). Pesona kulit ular sanca batik atau

Python reticulatus bagi negara importir sangat tinggi, menjadikan spesies tersebut

yang paling diminati diikuti dengan kelompok ular sanca darah yaitu P. brongersmai dan P. curtus. Sentra ekspor ular sanca di Indonesia terletak di

daerah Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan data nasional, provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan pusat pengumpulan ular sanca jenis darah merah (Python brongersmai) yang terbanyak di Indonesia untuk periode tahun 2005 hingga 2009 dan kuota penangkapan satwaliar jenis ular sanca batik (Python reticulatus) terbanyak kedua di Indonesia setelah Provinsi Sulawesi Selatan. Areal

pengumpulan dan penangkapan pada daerah Sumatera Utara berfokus pada beberapa daerah diantaranya Kabupaten Labuhan Batu, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat, Asahan, dan Kota Sibolga.

Ketersediaan Python dalam menunjang permintaan ekspor sangat ditentukan dari aktivitas penangkapan dari para penangkap ular dan populasi ular di alam juga didukung dari penangkaran beberapa penyedia ular sanca kualitas ekspor (Kasterine et al., 2012). Penangkapan ular di alam dalam memenuhi kebutuhan ekspor seringkali tidak memperhatikan aspek ekologi dan regulasi pemerintah sebab keseluruhan hasil tangkapan akan dikumpulkan dan dipanen

(18)

terus menerus. Kecendurungan terjadi jika pemanenan ular yang sah telah mencapai kuota sebelum akhir tahun, maka kegiatan penangkapan masih berlanjut, menjadikan spesies ular sanca batik dan darah merah menjadi spesies yang sangat tinggi tingkat ekspolitasinya (Keogh et al., 2001). Tata laksana dan manajemen penangkapan ular di alam merupakan cara yang diusahakan dalam menjaga populasi ular agar tetap lestari.

Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekspolitasi satwa liar masih tergolong rendah sementara upaya konservasi masih kurang efektif dalam mengatur kelangsungan proses panen ular di alam berdasarkan penelitian Siregar (2011) dan Wardhani (2012) di Sumatera Utara dan Kalimantan. Nainggolan (2015) telah meneliti mengenai karakteristik biologis ular panenan yaitu P. reticulatus di Sumatera Utara sebagai data awal dalam mengkaji status kelestarian

di alam. Oleh karena itu, data empiris di lapangan terkait sifat karakter biologi cenderung berhasil dalam menetapkan status ketersediaan ular sanca di alam, dalam kasus ini mengenai kelestarian P. brongersmai. Shine et al (1999) berpendapat ular yang diekspolitasi atau hasil tangkapan dari alam liar memiliki variasi dan karakteristik beragam terkait sifat biologis yang dimiliki. Karakter biologis seperti rasio seks dan morfometri umumnya digunakan sebagai karakteristik biologi populasi ular sanca yang terdapat di areal tangkapan.

Karakteristik biologis sebagai data di lapangan dapat digunakan dalam meninjau status kelestarian populasi ular sanca di alam. Selain mengetahui status populasi ular di alam, dampak perubahan habitat akibat manusia dapat diketahui dengan menelaah karakteristik biologi tersebut. Ular sanca asal Sumatera Utara telah ditelaah dari segi biologi oleh Shine et al menggunakan atribut biologis pada

(19)

tahun 1999 dengan proyeksi pada kelestarian ular sanca kedepannya. Fenomena yang tampak di lapangan saat ini, ialah berkurangnya individu P. brongersmai dengan ukuran ideal, dengan asumsi telah terjadi perubahan terhadap populasi P. brongersmai di alam akibat adanya aktivitas penangkapan yang dahulu telah

dimulai hingga saat ini.

Oleh karena itu, saran terkait pemanfaatan satwa liar khususnya kepada para penangkap ular diharapkan mampu dijabarkan melalui penelitian ini. Penelitian mengenai karakteristik biologis P. brongersmai hasil tangkapan di alam berguna untuk menentukan apakah sistem penangkapan saat ini masih mendukung kelestarian. Penelitian ini akan difokuskan pada ular sanca darah merah atau P. brongersmai sebagai kelompok ular sanca kedua yang tinggi tingkat

eksploitasinya di daerah Sumatera Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Prospek ekspor satwa liar terutama ular sanca atau Python makin baik di mata internasional, mengakibatkan adanya usaha tambahan dalam penyediaan stok. Beberapa kenyataan saat ini menyangkut ketersediaan ular sanca dari Indonesia diantaranya:

1) Kegiatan penangkapan ular sanca darah, P. brongersmai yang kian meningkat dari tahun ke tahun dengan kecendurungan penangkapan terus terjadi walau kuota tahunan telah terpenuhi.

2) Adanya kegiatan penangkapan yang tidak terkontrol dan tidak selektif dikhawatirkan lambat laun akan berdampak pada keseragaman individu dari

(20)

segi kelas usia dalam populasi ular. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya variasi ukuran dan individu P. brongersmai yang fertil di alam dan berujung pada ketidakmampuan populasi dalam menjaga kelestariannya. 3) Pergeseran struktur populasi secara langsung akan berdampak terhadap kelestarian jumlah ular sanca darah di alam dan secara tidak langsung akan mempengaruhi aktivitas ekspor kulit ular di Indonesia.

Maka penentuan kebijakan penangkapan dengan kriteria biologi tertentu berdasarkan data faktual dibutuhkan untuk menelaah status kelestarian P. brongersmai yang terdapat di alam.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian antara lain:

1) Menganalisis karakteristik biologis terkini P. brongersmai hasil tangkapan dengan parameter jumlah panenan, rasio kelamin, morfometri, besaran lemak, dan kematangan reproduksi,

2) Menentukan kriteria individu P. brongersmai hasil tangkapan yang ideal sesuai prinsip kelestarian berdasarkan karakter biologi

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran mengenai keadaan struktur populasi Python curtus group, khususnya P. brongersmai di alam sebagai akibat adanya aktifitas penangkapan. Melalui

(21)

penelitian ini, informasi mengenai karakteristik panenan Python brongersmai di Sumatera Utara dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan ke masyarakat dan menjadi salah satu pertimbangan bagi satuan kerja lingkup Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kehutanan selaku Management Authority dalam penentuan kebijakan Python brongersmai.

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ular Sanca

Lebih dari 100.000 Blood Python (brongersmai) dan sanca ekor pendek (curtus dan breitensteini) diambil dari hutan Kalimantan dan Sumatera setiap tahunnya

untuk penjualan kulit secara komersial. Secara tradisional semua ular tersebut dijual dengan spesies yang sama (Python curtus), dengan 3 sub spesies berbeda pada warna, ukuran dan penyebaran geografi. Analisis urutan DNA dan data morfologi menjelaskan hubungan filogenik, taksonomi dan biogeografi dalam grup ini.

Python brongersmai mempunyai ciri warna tersediri (dari antara ketiga

sub spesies, hanya brongersmai yang mempunyai warna merah atau orange), ukuran (jenis ini bisa tumbuh sampai ukuran 2,6 m dibanding yang lain hanya sekitar 2 m), sisik (brongersmai mempunyai > 166 sisik ventral, dibanding < 166 pada taksa lainnya dan mempunyai dua supralabial pada setiap ujungnya, dibanding satu supralabial pada dua taksa lainnya). Sanca darah dan sanca ekor pendek juga memiliki ukuran ekor yang pendek dan berbeda jauh dibandingkan dengan sanca lain dengan rata-rata panjang ekor/ panjang kepala yang hanya 1,6 (Keogh et al, 2001).

(23)

Gambar 2.1. Python brongersmai A. Dokumentasi Pribadi, dan B. Dokumentasi Siregar (2012)

2.2 Penentuan Jenis Kelamin (Sexing)

Kesulitan penentuan jenis kelamin pada ular yang berumur muda sampai saat ini masih merupakan masalah (Raharjo et al, 2008). Tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui jenis kelamin (sexing) pada ular. Pada ular-ular yang tergolong primitif termasuk sanca, pengamatan jenis kelamin dapat dibandingkan dari ukuran pelvic spurs. Berikut merupakan metode pertama yaitu pengamatan bagian tubuh ular. Pada jantan bagian ini lebih panjang daripada betina. Pelvic spurs digunakan jantan pada waktu perkawinan, sedang betina tidak. Sehingga,

pada jantan terlihat lebih berkembang dan panjang.

Metode kedua dilakukan dengan mengamati proporsi bentuk bagian belakang (setelah kloaka) pada ular. Hemipenis pada jantan menyisip pada ekor, sehingga bagian belakang akan terlihat bengkak. Jadi, bagian belakang terlihat lebih datar untuk jantan, sedangkan pada betina terlihat membentuk legok tepat setelah kloaka. Metode ketiga sekaligus metode yang paling akurat dan sering digunakan umumnya adalah dengan probing, yaitu dengan memasukan probe B

A

B

A

(24)

(alat yang meruncing, halus dan tumpul pada ujungnya) ke dalam kloaka untuk mengetahui anatomi dari kloaka.

Gambar 2.2. A. Probe untuk sexing pada ular, B. Teknik probing pada ular Sumber : Mader (2006) dalam Matswapati (2009)

Gambar 2.3. Dokumentasi Pribadi Ular Sanca P. brongersmai, A. Betina, B. Jantan

Metode tersebut berbasis dari pengetahuan tentang perbedaan kedalaman antara kelenjar kloaka, yang berperan dalam mensekresi feromon yang berfungsi dalam menandai teritori dan memberi tanda kepada jantan bahwa betina siap kawin, pada betina dengan diverticulum hemipenis, yang dibentuk antara hemipenis kanan dan kiri, pada jantan. Langkah dari probing adalah, probe dimasukkan pada kloaka kearah kaudal setelah dilumuri pelicin, kemudian

(25)

kedalaman probe yang dapat masuk diukur dengan satuan sisik subkaudal pada ular (Matswapati, 2009).

2.3 Siklus lemak

Ketersediaan lemak erat hubungannya dengan proses vitellogenesis yaitu proses produksi kuning telur/ eeg yolk . betina yang ukuran dan bobot tubuhnya kurang karena kurangnya deposit lemak mengakibatkan prose vittelogenesis tidak bisa berlangsung hingga mengakibatkan betina menjadi infertile (Ross dan Marzec 1990).

Matswapati (2009) menyatakan bahwa siklus lemak berperan penting dalam proses pematangan folikel, dimana terjadi pembentukan folikel-folikel di germinal epitel dari ovarium kemudian melepaskan ovum yang telah matang. Proses pematangan folikel dimulai dengan kehadiran folikel kecil yang belum berkembang di ovarium. Folikel-folikel tersebut kemudian membesar yang kemudian dilanjutkan dengan proses vittelogenesis. Ketika folikel tersebut telah matang, folikel tersebut kemudian melepas ovum matang ke oviduk melalui corong oviduk. Bila betina kawin, ovum yang telah memasuki oviduk akan terbuahi oleh sperma dan dilanjutkan dengan pemberian dinding / membran dan cangkang telur. Pada ular sanca, pemberian dinding telur terjadi setelah pembuahan ovum sedangkan pada ular-ular yang tergolong ovovivipar pemberian dinding sebelum pembuahan ovum.

Selanjutnya siklus pematangan folikel dan siklus lemak pada ular dimulai dengan pematangan folikel berukuran kecil pada musim kawin yang kemudian

(26)

membesar ukurannya. Folikel tersebut kemudian matang diikuti pematangan ovum yang diikuti dengan akumulasi kuning telur dari cadangan lemak. Kemudian setelah folikel-folikel telah matang, ovum dilepaskan dan memasuki oviduk. Folikel yang telah melepaskan ovum berkembang menjadi CL yang berperan dalam mengatur jumlah ovum yang akan dilepaskan dalam satu periode reproduksi. Ular yang telah mendapatkan pasangannya melakukan kopulasi. Pada ular sanca, ovulasi terjadi setelah kopulasi sedangkan beberapa spesies lainnya ovum telah dilepaskan dan menunggu dibuahi di oviduk. Setelah terjadi fertilisasi dan kemudian induk ular bunting. Setelah menemukan lokasi yang tepat, induk mengeluarkan telur-telurnya (ular-ular sanca) atau melahirkan anakannya (ular-ular boa).

Betina yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai induk menjadi sangat kurus karena deposit lemak tubuh telah terpakai sejak masa bunting (ular-ular sboa dan sanca) dan mengeram (ular-ular sanca). Betina tersebut tidak dapat memulai siklus pematangan folikel hingga deposit lemaknya terisi kembali. Ular kembali menumpuk lemak tubuhnya dengan memakan mangsanya. Setelah lemak tubuhnya terisi kembali, betina tersebut telah siap untuk memulai siklus berikutnya. Siklus lemak sangat tergantung pada kuantitas lemak yang terkumpul yang dipengaruhi oleh asupan makanan, yang juga akan mempengaruhi proses pematangan folikel. Sehingga reproduksi pada ular sangat dipengaruhi oleh asupan makanan sebelum memasuki masa berbiak.

(27)

2.4 Perdagangan Kulit Ular

Sesuai kesepakatan internasional, tingkat eksploitasi komersial kehidupan liar harus dikontrol agar lestari secara ekologis dalam jangka waktu yang panjang. Ini berarti bahwa satwa liar dapat dipanen secara periodik tanpa mengurangi potensi perkembangbiakannya. Dasar umum yang biasa dipakai untuk mengevaluasi pemanenan lestari meliputi kuantifikasi tingkat sumber daya dan ketetapan dari kemampuan sumber daya untuk bertahan dari berbagai macam eksploitasi pada berbagai tingkat intensitas. Namun demikian, masih ditemukan hambatan untuk mencapai tujuan tersebut, baik dari segi merancang maupun melaksanakan manajemen strategis yang efektif. Meskipun telah dilakukan pemantauan populasi hidupan liar yang dieksploitasi, kenyataannya adalah banyak spesies yang dieksploitasi tidak dapat terpantau (Nainggolan, 2015).

Ular sanca di daerah Asia Tenggara dieksploitasi secara besar-besaran untuk mendapatkan kulit, daging, dan ramuan tradisional Cina, dengan hampir setengah juta kulit ular diekspor setiap tahunnya. Perdagangan ini menghasilkan pemasukan yang sangat besar, tetapi tidak diketahui pasti jumlah orang pedalaman yang bekerja sebagai kolektor, peternak, dan yang terlibat dalam pemprosesan ular tersebut. Tingginya jumlah kulit ular yang diperdagangkan meningkatkan perhatian tentang konservasi sebagai efek dari pemanenan populasi liar dari ular sanca dan potensi terganggunya kelestarian hewan tersebut berkaitan dengan perdagangan.

Perdagangan global kulit ular dimonitoring dan diatur oleh pemerintah melalui Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Diputuskan pada tahun 1973 (dan menerima hak penuh pada

(28)

1975). CITES secara legal menyetujui perjanjian yang bertujuan untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan terhadap tanaman dan hewan liar melalui perdagangan internasional. Python (famili Pythonidae) sudah tercatat di CITES semenjak tahun 1975.

Gambar 2.4. Negara Pengekspor Kulit Ular Terbesar tahun 2008 Sumber : CITES www.dashborad.cites.org

Menurut data CITES tahun 2008 indonesia adalah Negara pengekspor kulit ular terbesar di dunia dengan data ekspor lebih dari 3.000.000 kulit per tahunnya lebih tinggi dari Negara-negara pengekspor lain seperti Colombia dan USA. Kulit Phython brongermai sendiri adalah salah satu jenis kulit yang tinggi permintaan ekspornya setiap tahun.

Melalui konvensi, kerangka seni dibentuk untuk memfasilitasi perusahaan internasional dan aturan perdagangan hewan liar (International Trade Center, 2012). Menurut Departemen Kehutanan (2011), secara umum ada 4 spesies Python yang biasa dijual dari Indonesia, yaitu Python breitensteini, Python

(29)

permintaan pasar akan Python, jumlah kuota hampir terpenuhi 100% setiap tahunnya.

Tabel 2.1. Data kuota tahunan dan penggunaan kouta tahunan pada beberapa jenis Python (Departemen Kehutanan, 2011)

2.3 Ekologi Python brongersmai

Ular sanca darah merah (Python brongersmai) hidup di lahan-lahan dataran rendah di timur Sumatera. Ular sanca darah merah tidak berasosiasi kuat dengan habitat air sebagaimana ular sanca. Lahan-lahan perkebunan kelapa sawit tampaknya mampu memberikan tempat yang optimal bagi ular sanca darah merah untuk bersarang/bersembunyi. Kerapatan populasi tikus yang tinggi pada perkebunan kelapa sawit telah menyediakan makanan dan tempat-tempat bersarang/bersembunyi untuk ular tersebut. Ular sanca darah merah bersarang/bersembunyi di lubang-lubang di tanah (bekas lubang tikus), di pohon-pohon atau batang-batang pohon-pohon tumbang (Siregar, 2012).

No Year

P. breitensteini P. brongersmai P.curtus P. reticulates

Quota Actual Export Quota Actual Export Quota Actual Export Quota Actual Export 1 2006 10,800 10,800 36,936 36,936 1,944 1,944 157,500 157,400 2 2007 10,800 10,800 36,936 36,886 1,944 1,944 157,500 157,387 3 2008 10,800 10,800 36,936 36,936 1,944 1,944 157,500 157,100 4 2009 10,800 10,800 36,936 36,936 1,944 1,944 157,500 157,489 5 2010 10,800 10,800 36,936 36,931 1,944 1,018 157,500 157,500

(30)

Kerapatan populasi adalah besarnya populasi alam hubungannya dengan satuan ruangan. menyebutkan bahwa kerapatan populasi sama dengan densitas (kelimpahan) populasi atau kepadatan populasi. Kerapatan populasi satwaliar perlu diketahui karena menunjukkan daya dukung lingkungan dan sangat menentukan prospek kelestariannya. Kerapatan populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi jantan dan betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi, kerapatannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka kemungkinan populasi tersebut untuk menurun akan lebih besar.

2.4 Cara Pengumpulan Ular

Sanca dikumpulkan dari beberapa daerah yang berbeda di Sumatera Utara dan dikirim hidup-hidup pada rumah pengepul. Kita tidak dapat mengetahui pasti asal dari semua ular tersebut, tetapi dua spesies ular tersebut datang dari dua area yang berbeda. Sanca ekor pendek (Python curtus) datang dari Sumatera bagian barat dengan banyak di antaranya berasal dari dekat kota Sibolga. Pengiriman spesies ini dilakukan dengan menggunakan truk dan biasanya dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan sanca ekor pendek, kebanyakan Python brongersmai ditemukan dari kebun kelapa sawit dekat dengan rumah pengepul dan biasanya dijual (per satuan ular atau dalam jumlah yang sedikit) oleh orang yang menangkapnya.

Ular-ular tersebut sering secara tidak sengaja ditemukan dan ditangkap, biasanya di perkebunan. Asosiasi antara sanca darah dengan kebun kelapa sawit secara khusus menarik dalam aspek biologi. Penjual kulit ular mengatakan bahwa Python brongersmai adalah hewan yang sedikit jumlahnya di daerah Medan

(31)

sebelum cepatnya pertumbuhan pertambahan kebun kelapa sawit 10-20 tahun yang lalu. Seiring dengan meningkatnya keuntungan berkebun kelapa sawit, terjadi peningkatan penanaman semenjak saat itu, baik hutan dan kebun karet ditebang dan berganti dengan perkebunan kelapa sawit. Efek dari perubahan habitat tersebut berhubungan dengan perdagangan reptil seiring dengan meningkatnya jumlah sanca darah dan secara simultan berkurang jumlah Python reticulatus (Shine et al, 2006).

Penangkap profesional memasang perangkap di sekitar lokasi yang diduga dekat dengan sarang P. Reticulatus sementara penangkap insidensial banyak menangkap P. reticulatus secara kebetulan, saat mereka pergi berladang, berkebun dan mencari kayu di hutan. Lainnya ditangkap di/dekat desa-desa. P. reticulatus yang akan dijual ke pengumpul untuk perdagangan kulit dibiarkan

hidup dalam karung kemudian diangkut ke tempat pengumpul dimana P. reticulatusdisimpan untuk jangka waktu yang bervariasi antara satu hari sampai 7

hari. P. reticulatus hasil tangkapan yang terdapat di karung plastik kemudian dibawa ke pengumpul untuk dijual. Pengumpul akan memeriksa ular dari penangkap, mengukur panjang dan memeriksa kondisi kulit P. reticulatus apakah ada cacat karena akan mempengaruhi harga (Nainggolan, 2015).

(32)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 hingga Desember 2015. Kegiatan lapangan berlangsung di Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Langkat sebagai sentra pengumpul P. brongersmai berdasarkan informasi peneliti. Penentuan lokasi pengumpulan data secara purpossive sampling dimana yaitu di tempat pengumpul dari penangkap P. brongersmai. Ular-ular tersebut dikumpulkan dari berbagai daerah baik di sekitar wilayah kecamatan, kabupaten maupun kota di Sumatera Utara, yang diangkut dalam keadaan hidup ke rumah pemotongan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian diantaranya alat tulis, alat ukur, alat bedah, alat timbang, kamera digital, tally sheet dan komputer untuk penyusunan laporan. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ialah individu P. brongersmai hasil tangkapan.

(33)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengumpulan Data Karakter Biologi P. brongersmai Hasil Tangkapan

Di lokasi pengumpul, individu P. brongersmai hasil tangkapan yang baru saja dibunuh, langsung diamati sebelum dikuliti. Parameter yang dicatat sebelum dikuliti diantaranya jumlah individu total, jumlah individu jantan-betina, morfometri meliputi panjang badan/ snout-vent length (SVL), panjang ekor, massa tubuh, dan lebar perut. Karakter reproduksi pada individu betina meliputi dokumentasi kondisi kematangan reproduksi dan perhitungan jumlah telur yang diamati sedangkan pada individu jantan dilihat kematangan reproduksi.

Selanjutnya kegiatan pengambilan data biologi P. brongersmai dengan lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Jumlah dan Jenis Kelamin Individu

Data jumlah individu (N) hasil tangkapan yang dikumpulkan dicatat dengan menhitung langsung seluruh spesimen yang dipotong. Penentuan jenis kelamin individu jantan dan betina ditentukan dengan mengamati bentuk kelamin individu yang telah dipotong. Individu jantan ditandai dengan adanya hemipenis sedangkan individu betina tidak memiliki adanya organ kelamin luar selain kloaka.

b. Pengukuran Morfometri

Data numerik dalam penelitian ini ialah hasil pengukuran morfometri setiap individu P. brongersmai hasil tangkapan yang diamati. Data massa tubuh tiap individu diukur dalam skala kilogram (kg) menggunakan timbangan. Data ukuran tubuh/ SVL dalam skala centimeter (cm) diambil menggunakan meteran kain dengan meletakkan ujung meteran pada ujung

(34)

menggunakan meteran kain dengan posisi pengukuran pada abdomen individu. Datapanjang ekor diukur dalam skala centimeter (cm) menggunakan mistar dengan arah pengukuran dari kloaka hingga ekor. c. Besaran Lemak

Penentuan Besaran Lemak dalam penelitian ini ialah berdasarkan ada tidaknya dan diameter jaringan lemak secara umum yang diamati pada tiap individu. Besaran Lemak diberikan peringkat mulai dari: Peringkat 0, tidak terbentuk jaringan lemak; Peringkat 1 (rendah), dengan diameter jaringan lemak berkisar antara 1 – 2 cm, Peringkat 2 (sedang), dengan diameter jaringan lemak berkisar antara 2 – 3 cm; dan Peringkat 3 (terbaik), dengan diamater jaringan lemak lebih besar dari 3 cm.

d. Karakter Reproduksi

Pengambilan data karakter reproduksi mengacu pada individu betina dengan beberapa kategori yakni: Dewasa, artinya pernah melakukan perkawinan di alam. Karakter dewasa ini dibedakan dalam dua kategori yakni Sedang Bertelur (SB) dan Tidak Sedang Bertelur (STB). Karakter lainnya ialah Juvenil, yaitu individu betina yang belum pernah melakukan perkawinan di alam. Penentuan individu juvenil dan dewasa berdasarkan ciri penampakan kelenjar kelamin yang berbeda.

(35)

3.4 Analisa Data

Data numerik karakter biologi P. brongersmai hasil tangkapan akan disajikan dalam bentuk rataan dengan standar deviasi. Data akan ditampilkan dalam bentuk Tabel maupun grafik histogram dan plot sebaran. Analisa statistik menggunakan uji t terhadap signifikansi perbedaan rataan tiap parameter morfometri individu jantan dan betina pada taraf kepercayaan 95% menggunakan program komputer Minitab versi 16. Analisis hubungan antar karakter morfologi meliputi SVL, lebar perut, dan berat dengan anatomi yaitu besaran lemak menggunakan regresi linear dengan bantuan program Microsoft Excel. Analisis multivariat antar parameter yang disebutkan menggunakan program SPSS untuk melihat signifikansi keeratan hubungan antar data penelitian.

(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jumlah Individu P. brongersmai Hasil Tangkapan

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, individu P. brongermai yang ditangkap memiliki total sampel (N) sebanyak 541 individu. Kegiatan pengumpulan data dilakukan berkala setiap hari dengan mencatat langsung individu yang akan dikuliti pada tempat pemotongan. Keseluruhan data menyangkut presentasi jumlah jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jumlah individu P. brongersmai jantan-betina

Lokasi Parameter

Jenis Kelamin Individu Rasio Kelamin (%)

Rantau Prapat Jantan 251 49,12 : 50,88

Betina 260 Total 511 Langkat Jantan 18 60 : 40 Betina 12 Total 30 Total Keseluruhan 541 49,72 : 50,28

Berdasarkan data pada Tabel 4.1, didapatkan jumlah yang hampir sama untuk individu P. brongersmai jantan dan betina. Hal ini mengindikasikan bahwa individu P. brongersmai di alam memiliki kesempatan yang sama untuk tertangkap oleh para penangkap ular. Penangkapan yang tidak berlangsung secara selektif berdasarkan jenis kelamin juga mungkin diasumsikan individu jantan dan

(37)

betina memiliki karakteristik habitat dan pola pergerakan yang sama di alam. Hal ini mungkin diakibatkan juga dengan adanya ekspansi kebun kelapa sawit yang semakin meluas, menjadikan sebagian habitat terlihat homogen sehingga P. brongersmai semakin sulit menemukan mikrohabitat spesifik dan bervariasi bagi

individu P. brongersmai jantan dan betina untuk hidup.

Shine et al pada tahun 1999 telah melakukan survey terhadap dua jenis ular sanca pada beberapa daerah di Sumatera Utara salah satunya P. brongersmai sebanyak 1.769 individu yang didapatkan melalui cara mendatangi rumah potong atau pengumpul agar mempermudah proses pengkoleksian data. Rasio kelamin yang didapat pada penelitian tersebut yaitu sebanyak 51,5 % individu jantan dan 48,5 % individu betina. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini dimana jumlah betina didapat lebih banyak dibandingkan dengan jantan yaitu sebesar 50,28 % berbanding 49,72 %.

Duvall et al., (1993) dalam R.A. Seigel dan J. T. Collins menyatakan bahwa secara umum, perkawinan ular yang terjadi di alam berlangsung secara poligini, yaitu individu jantan dapat melangsungkan perkawinan dengan beberapa individu betina. Untuk keseimbangan populasi di alam, dengan sistem perkawinan poligini tersebut, maka diharapkan jumlah individu betina yang tertangkap lebih besar dibandingkan individu jantan.

Dalam penelitian ini, jumlah individu betina yang tertangkap hampir sama jumlahnya dengan individu jantan. Hal ini menggambarkan bahwa saat ini antara individu jantan dan betina memiliki kesempatan tertangkap yang sama di alam dengan rasio kelamin hampir mencapai 1 : 1. Kondisi ini tidak menggambarkan populasi ular yang seimbang di alam. Berlawanan dengan sistem poligini atau

(38)

sistem ular secara umum, seharusnya jumlah individu betina yang tertangkap lebih besar daripada individu jantan di alam

Perbedaan lokasi penangkapan P. brongersmai juga berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan, karakteristik tangkapan dan karakter biologinya. Pada penelitian ini, pengambilan data jumlah individu P. brongersmai dipengaruhi oleh intensitas penangkapan para penangkap yang berdasarkan informasi cenderung tidak diatur. Pada lokasi Rantau Prapat, lokasi pengumpul yang dijadikan sebagai tempat pengumpulan data tergolong sebagai pengumpul dalam skala besar, karena menampung berbagai ular hasil tangkapan dari berbagai kabupaten dan kecamatan. Sementara tempat pengumpul pada daerah Langkat lebih kecil ruang lingkupnya dikarenakan hanya sebatas daerah sekitar Langkat dan kebun sawit di sekitar lokasi. Selain itu, pada lokasi Langkat distribusinya tidak begitu luas dikarenakan akses menuju ibu kota yang kurang dan pemanfaatan ular hasil tangkapan hanya digunakan dalam taraf untuk keperluan konveksi atau pembuatan material pakaian. .

4.2 Pengukuran Morfometri P. brongersmai

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, individu P. brongersmai yang ditangkap memiliki ukuran morfometrik yang bervariasi dengan nilai ukuran minimum dan maksimum tertentu. Keseluruhan data rataan morfometri untuk tiap parameter yang diukur dapat dilihat pada Tabel 4.2., 4.3., 4.5., dan 4.6.

(39)

Tabel 4.2. Data Morfometri P. brongersmai (N = 541)

Parameter Rataan Std. Deviasi Minimum Maksimum Snout-vent length (SVL) 137,41 11,86 130 180

Massa (kg) 3,9 0,91 2 7

Panjang Ekor (cm) 12,3 1,3 7 17

Lebar Perut (cm) 24,3 2,28 18 34

Tabel 4.3. Data Morfometri P. brongersmai dari Rantau Prapat (N = 511)

Parameter Rataan Std. Deviasi Minimum Maksimum Snout-vent length (SVL) 138 10,53 110 180

Massa (kg) 3,96 0,88 2,1 7

Panjang Ekor (cm) 12,38 1,25 7 17

Lebar Perut (cm) 24,39 2,28 18 34

Tabel 4.4. Data Morfometri P. brongersmai dari Langkat (N = 30)

Parameter Rataan Std. Deviasi Minimum Maksimum Snout-vent length (SVL) 130,67 9,17 115 156

Massa (kg) 3,12 0,85 2 6

Panjang Ekor (cm) 11,08 1,6 9 15

Lebar Perut (cm) 22,79 1,95 19,5 29

Berdasarkan hasil yang didapat, rentang nilai antar tiap parameter ular hasil tangkapan dapat digunakan sebagai gambaran di alam. Hal ini disebabkan oleh nilai yang variatif dalam sebaran tiap parameter yang diukur. Berdasarkan data minimum dan maksimum didapatkan rentang data yang relatif luas, menegaskan bahwa morfometri individu P. brongersmai yang tertangkap bervariasi ukurannya dan menggambarkan pola penangkapan yang tidak selektif. Profil hasil survei Shine et al., pada tahun 1999 menunjukkan rentang minimum yang berbeda untuk tiap parameter yang diukur. SVL ular yang didapat pada saat itu berkisar 85 hingga 185 cm untuk jantan dan betina. Dalam penelitian terkini, ukuran minimum 85 cm tidak dijumpai menandakan adanya kemungkinan ukuran

(40)

tersebut sudah sangat minim di alam sehingga kurang memiliki kesempatan untuk ditangkap dari alam. Asumsi lain, bahwa penangkap menilai bahwa ukuran tersebut tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Beberapa penangkap umumnya memiliki pemahaman atau kriteria sendiri untuk menangkap individu yang jauh terlihat lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Hasil uji t terhadap parameter morfometri antara individu P. brongersmai jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 4.5., 4.6., dan 4.7.

Tabel 4.5. Perbandingan Morfometri Jantan dan Betina (N = 541)

Parameter Skala

pengukuran Betina (♀) Jantan (♂) Panjang tubuh/

Snout-vent length (SVL) Cm 140,18 ± 11,03 132,1 ± 21,17

Massa Kg 4,19 ± 0,95 3,62 ± 0,75

Panjang Ekor Cm 12,57 ± 1,34 12,03 ± 1,2

Lebar Perut Cm 24,9 ± 2,35 23,69 ± 2,04

Tabel 4.6. Perbandingan Morfometri Jantan dan Betina (N = 511)

Parameter Skala

pengukuran Betina (♀) Jantan (♂) Panjang tubuh/

Snout-vent length (SVL) Cm 140,5 ± 10,95 135,47 ± 9,43

Massa Kg 4,24 ± 0,91 3,66 ± 0,74

Panjang Ekor Cm 12,65 ± 1,29 12,09 ± 1,14

Lebar Perut Cm 25 ± 2,32 23,78 ± 2,05

Tabel 4.7. Perbandingan Morfometri Jantan dan Betina (N = 30)

Parameter Skala

pengukuran Betina (♀) Jantan (♂) Panjang tubuh/

Snout-vent length (SVL) Cm 136,7 ± 9,26 126,63 ± 6,7

Massa Kg 3,8 ± 0,86 2,66 ± 0,44

Panjang Ekor Cm 11,96 ± 1,6 10,5 ± 6,7

(41)

Secara umum individu P. brongersmai betina memiliki bobot tubuh yang lebih berat dibandingkan dengan individu jantan. Hal ini sejalan dengan keseluruhan parameter morfometri lainnya seperti SVL, panjang ekor, dan lebar perut. Perbedaan rerata parameter tersebut menunjukkan adanya dimorfisme seksual dalam populasi P. brongersmai di alam. Secara umum, lokasi penangkapan P. brongersmai berasal dari perkebunan kelapa sawit baik pada daerah Rantau Prapat maupun Langkat. Adanya perbedaan karakter biologi antar lokasi menunjukkan adanya perbedaan sumber daya yang dapat mencakup ketersediaan makanan yaitu mangsa berupa tikus dan hewan mangsa juga mikrohabitat yang mendukung pertumbuhan dan reproduksi P. brongersmai. Penelitian kedepannya terkait data empiris dari lapangan/ lokasi penangkapan diharapkan akan mampu menjawab kaitan antara karakter biologi spesifik P. brongersmai dari masing-masing habitat.

Umumnya terdapat beberapa keuntungan ditinjau dari adanya dimorfisme ukuran secara seksual di alam, terkhusus pada individu betina. Rivas dan Burghadt (2001) menyatakan bahwa individu betina yang memiliki ukuran lebih besar di alam dibanding jantan cenderung memiliki hubungan positif terhadap fekunditas dan keberlangsungan hidup anakan di alam. Ukuran individu betina yang lebih besar menopang jumlah anakan yang diproduksi setelah perkawinan. Lanjutnya, Rivas (2000) juga menjelaskan bahwa dimorfisme seksual pada individu betina menunjukkan bahwa seleksi alam yang terjadi pada nenek moyang ular memiliki tekanan seleksi yang lebih selektif terhadap individu betina dibandingkan individu jantan. Sifat atau ukuran tersebut terus dijaga pada

(42)

individu betina hingga garis keturunan ular sekarang terkait keuntungan yang diberikan secara biologis.

Shine et al., (1999) mendapatkan dimorfisme seksual yang tidak berbeda nyata antara individu P. brongermai jantan dan betina. Namun, hal ini menunjukkan perbedaan pada jenis ular sanca lainnya yaitu P. reticulatus dengan dominansi betina memiliki ukuran yang jauh lebih besar. Secara allometri, juga didapatkan perbedaan parameter morfometri pada P. reticulatus jantan dan betina. Pada P. brongersmai parameter seperti massa, SVL, panjang ekor, dan lebar perut dalam penelitian ini kurang berhubungan melalui regresi linear dimana (nilai r < 0,6; data tidak ditampilkan) untuk memprediksi suatu parameter melalui penggunaan satu parameter lainnya.

Nainggolan (2015) juga mendapatkan hasil pengukuran morfometri yang cenderung menunjukkan dimorfisme seksual dimana individu Python reticulatus betina memiliki nilai morfometri yang lebih besar dibandingkan individu jantan. Individu betina memiliki SVL dengan rerata 278 cm sedangkan individu jantan memiliki SVL dengan rerata 267 cm. Berdasarkan uji statistik hasil yang didapat signifikan namun hasil tersebut belum begitu signifikan secara biologis.

4.3 Besaran Lemak

Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat distribusi jumlah individu terhadap Besaran Lemak. Penentuan Besaran Lemak pada jantan dan betina memiliki perbedaan dari segi jumlah individu pada Besaran Lemak tertentu . Data mengenai frekuensi Besaran Lemak dapat dilihat pada Gambar 4.1., 4.2., dan 4.3.

(43)

Gambar 4.1. Distribusi Individu P. brongersmai Berdasarkan Besaran Lemak (N = 541)

Gambar 4.2. Distribusi Individu P. brongersmai Berdasarkan Besaran Lemak (N = 511) 1 62 131 75 1 46 108 117 0 20 40 60 80 100 120 140 0 1 2 3 Jum la h In d iv id u Besaran Lemak Jantan Betina Ket: 0 = 0 - 1 cm 1 = 1 - 2 cm 2 = 2 - 3 cm 3 = > 3 cm 1 49 127 74 0 40 104 116 0 20 40 60 80 100 120 140 0 1 2 3 Ju m la h In d iv id u Besaran Lemak Jantan Betina Ket: 0 = 0 - 1 cm 1 = 1 - 2 cm 2 = 2 - 3 cm 3 = > 3 cm

(44)

Gambar 4.3. Distribusi Individu P. brongersmai Berdasarkan Besaran Lemak (N = 30)

Dari data yang disajikan, diperoleh perbedaan hasil dari segi jumlah individu P. brongersmai yang memiliki besaran lemak tertentu. Pada individu jantan, Besaran Lemak dominan pada kelas 2 dengan total individu tertinggi yaitu 131, diikuti dengan kelas 3, kelas 1, dan kelas 0 dengan jumlah individu 75, 62, dan 1 individu. Jumlah individu P. brongersmai betina tertinggi terdapat pada kelas 3 dengan jumlah 117 individu, diikuti dengan kelas 2, kelas 1, dan kelas 0 dengan jumlah individu secara berurutan yaitu 108, 46, dan 1 individu. Bila dipisahkan berdasarkan lokasi maka terdapat dominansi individu dengan besaran lemak yang berbeda. Pada lokasi Rantau Prapat, besaran lemak yang tampak dari individu jantan dan betina tidak begitu berbeda dari penyajian data keseluruhan individu P. brongersmai namun pada lokasi Langkat, tampak dominansi individu jantan dan betina dengan besaran lemak kelas 1. Hal ini dapat diasumsikan bahwa

0 13 4 1 1 6 4 3 0 2 4 6 8 10 12 14 0 1 2 3 Ju m la h In d iv id u Besaran Lemak Jantan Betina Ket: 0 = 0 - 1 cm 1 = 1 - 2 cm 2 = 2 - 3 cm 3 = > 3 cm

(45)

namun jumlah sampel yang didapat belum memadai agar tidak menghasilkan data yang bias. Hal ini didukung pula dengan karakteristik penangkapan maupun intensitas penangkapan yang berbeda dari tiap lokasi yang perlu kajian lebih lanjut. Secara umum, cadangan lemak yang tersimpan dalam tubuh ular memiliki peranan dalam menjaga suhu tubuh dan stok cadangan energi. Namun pada individu betina, cadangan lemak berfungsi juga sebagai faktor penentu keberhasilan reproduksi di alam, dimana untuk melangsungkan perkawinan dibutuhkan cadangan lemak yang cukup yang digunakan untuk persiapan masa kebuntingan. Selama masa kebuntingan dan pengeraman, ular betina tidak mengambil asupan energi dari makanan namun memanfaatkan cadangan lemak yang telah tersimpan dalam tubuh.

Fungsi lemak lainnya berhubungan pada proses pembentukan kuning telur/ vitellogenesis. Ross dan Marzec (1990) mendapatkan hubungan antara infertilitas individu betina dengan cadangan lemak yang disimpan dalam tubuh. Individu betina yang kurus atau kurang bobot badannya, tidak mampu menghasilkan keturunan dikarenakan proses vitellogenesis yang tidak sempurna. Defisiensi cadangan lemak juga menyebabkan individu anakan memiliki viabilitas (keberhasilan hidup) yang lebih rendah dibandingkan individu betina dengan cadangan lemak yang proporsional. Hal tersebut diasumsikan akan mengakibatkan anakan yang dihasilkan berukuran lebih kecil.

Pengambilan data besaran lemak pada kelompok ularbertujuan untuk mengetahui adanya hubungan dengan kondisi fisiologis ular dimana adanya penumpukan lemak pada individu ular terutama pada individu betina bermanfaat dalam proses berkembangbiak. Pada individu betina, jumlah individu tertinggi

(46)

tampak pada kelas 3. Hal tersebut sejalan dengan asumsi bahwa individu betina secara fisiologi menumpuk sebagian energi dari makanan guna pembentukan kuning telur pada vitellogenesis. Kondisi ini menandakan individu betina masih belum tampak terganggu dalam berkembang biak. Kondisi dengan besaran lemak terbesar pula dapat dijadikan sebagai hubungan antara kematangan sebagai individu dewasa dan bukan lagi juvenil Shine et al., (1999), mengambil data kelas lemak dan bukan besaran lemak, untuk mengetahui dukungan habitat terhadap pertumbuhan ukuran ular tiap individu di alam. Secara umum, penentuan besaran lemak yang dilakukan pada penelitian ini dapatdilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Besaran Lemak: A. 0, B. 2, C. 3

Adanya data mengenai besaran lemak terbesar dan terkecil dari tiap individu yang ditangkap, secara tidak langsung menandakan bahwa kondisi

C

C

A

B A

(47)

ular dewasa, khususnya betina akan memiliki timbunan lemak yang lebih tinggi seperti ditunjukkan oleh data. Dalam kaitan terhadap kelimpahan pakan di alam, data mengenai besaran lemak dapat dihubungkan secara tidak langsung. Ular dewasa umumnya memerlukan timbunan lemak untuk melangsungkan perkembangbiakan. Hal ini hanya dapat terjadi jika asupan lemak cukup melalui mangsa yang didapat. Adanya pakan berupa hewan pengerat dan unggas umumnya ditemukan pada areal kawasan sawit seperti pada penelitian.

Berdasarkan penelitian Sianturi (2009) terhadap perkembangbiakan ular sanca darah, P. brongersmai di penangkaran, didapatkan bahwa kebutuhan pakan untuk ular dewasa sebanyak 1 sampai 2 ekor tikus untuk setiap minggunya. Namun di alam, kebutuhan makan P. brongersmai dapat lebih tinggi laju dan kuantitas dibandingkan di penangkaran. Pada musim kawin, ular betina cenderung mencari mangsa lebih aktif guna mendukung proses reproduksi.

Shine et al. (1999) yang meneliti isi lambung dari individu P. brongersmai yang ditangkap. Pada tahun 1997 oleh Shine dan Madsen,

didapatkan juga hubungan antara kepadatan mangsa terhadap laju reproduksi spesies ular sanca lainnya yaitu Liasis fuscus di daerah tropis Australia. Observasi langsung di lapangan pada saat itu menunjukkan bahwa proporsi ular betina dewasa pada saat pakan melimpah lebih tinggi bila dibandingkan pada musim pakan mengalami penurunan jumlah. Hal ini terkait dengan fekunditas secara genetik dan hasilnya akan mempengaruhi kondisi lemak yang diobservasi pada individu tersebut.

(48)

4.4 Karakter Reproduksi

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, didapatkan jumlah individu juvenil dan dewasa yang berbeda jauh. Penentuan individu yang masih juvenil dan dewasa ditentukan melalui pengamatan pada kelenjar kelamin setelah pembedahan. Pada jumlah telur yang diamati pada individu betina juga didapatkan hasil jumlah telur yang bervariasi. Secara keseluruhan, data karakter reproduksi disajikan dalam

Tabel 4.8. dan 4.9.

Tabel 4.8. Karakter Reproduksi P. brongersmai Betina.

Parameter Kategori

Dewasa Juvenil

Jumlah Individu 264 8

Rataan Clutch (butir) 17 -

Rataan SVL (cm) 140,5±10,94 129,75±9,41

Massa (kg) 4,23±0,93 2,83±0,5

Kondisi H 230 ind. -

STB 34 ind. -

Ket: H = Hamil, STB = Sedang Tidak Bertelur

Tabel 4.9. Karakter Reproduksi P. brongersmai Jantan

Parameter Kategori

Dewasa Juvenil

Jumlah Individu 239 30

Rataan SVL (cm) 136,41±8,9 124,07±6,02

Massa (kg) 3,71±0,72 2,87±0,5

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah individu P. brongersmai betina dewasa mencakup hingga 96% dari total sampel ular betina. Hal ini dapat menunjukkan bahwa individu betina dewasa masih tergolong banyak di alam. Terdapat 8 individu yang juvenil pada populasi. Individu juvenil biasanya ditandai

(49)

dengan ukuran yang berbeda dari individu dewasa. Distribusi individu juvenil dan individu dewasa berdasarkan SVL dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Distribusi Jumlah Individu Betina Dewasa Berdasarkan SVL dan Kategori

Individu juvenil umumnya memiliki SVL dan massa optimum sebelum menjadi dewasa. Individu dewasa cenderung memiliki bobot dan SVL yang cukup sebagai tanda kematangan dirinya untuk melaksanakan perkembangbiakan di alam. Distribusi individu juvenil dan dewasa berdasarkan massa dapat dilihat pada

Gambar 4.6. Namun, inspeksi mendalam terhadap organ kelamin dibutuhkan

untuk validitas pengkategorian individu juvenil dan dewasa. Hal ini disebabkan acuan SVL dan massa belum dapat menentukan kematangan reproduksi individu P. brongersmai. 180 175 170 165 160 155 150 145 140 135 130 125 120 115 110 105 50 40 30 20 10 0 SVL Betina Ju m la h I n d iv id u Dewasa Juvenil 1 2 2 1 1 1 3 1 1 4 13 11 28 42 51 45 45 15 3 1 1

(50)

Gambar 4.6. Distribusi Jumlah Individu Betina Dewasa Berdasarkan Massa dan Kategori

Gambar 4.7. Distribusi Individu Jantan Dewasa Berdasarkan SVL dan Kategori 7, 4 7, 2 7, 0 6, 8 6, 6 6, 4 6, 2 6, 0 5, 8 5, 6 5, 4 5, 2 5, 0 4, 8 4, 6 4, 4 4, 2 4, 0 3, 8 3, 6 3, 4 3, 2 3, 0 2, 8 2, 6 2, 4 2, 2 2, 0 1, 8 25 20 15 10 5 0 Massa Betina Ju m la h I n d iv id u Dewasa Juvenil 1 1 3 1 1 1 2 1 8 20 11 13 19 15 19 18 24 19 14 25 12 16 11 6 6 1 2 2 170 165 160 155 150 145 140 135 130 125 120 115 110 35 30 25 20 15 10 5 0 SVL Ju m la h I n d iv id u Dewasa Juvenil Kategori 1 2 7 1 5 3 6 1 3 1 2 1 1 1 5 1 12 3 23 11 32 21 33 15 29 16 23 6 3 1 0

(51)

Gambar 4.8. Distribusi Jumlah Individu Jantan Dewasa Berdasarkan Massa dan Kategori

Data distribusi individu juvenil dan dewasa berdasarkan SVL dan massa menunjukkan bahwa kategori yang menunjukkan individu tersebut juvenil secara morfometri memiliki perbedaan dengan keseluruhan individu betina dan jantan deasa. Sementara itu rentang nilai SVL dan massa individu juvenil hanya terwakili melalui 8 individu pada individu betina dan 26 individu pada individu jantan yang rentangnya masih termasuk kedalam rentang nilai massa dan SVL pada individu dewasa. Penentuan kategori dewasa dan juvenil secara langsung dilakukan dengan mengamati anatomi individu ular yang. dapat dilihat dari

gambar 4.4.3 6, 0 5, 8 5, 6 5, 4 5, 2 5, 0 4, 8 4, 6 4, 4 4, 2 4, 0 3, 8 3, 6 3, 4 3, 2 3, 0 2, 8 2, 6 2, 4 2, 2 2, 0 1, 8 30 25 20 15 10 5 0 Massa Ju m la h I n d iv id u Dewasa Juvenil Kategori 1 1 6 5 1 3 6 5 1 1 2 1 4 2 6 8 16 19 20 23 23 19 27 17 25 17 6 3 1

(52)

Gambar 4.9. A. Individu Betina Dewasa (Kiri) yang ditunjukkan dengan adanya temuan folikel matang dan B. Juvenil (Kanan)

Gambar 4.10. Individu Jantan Dewasa yang ditunjukkan dengan adanya cairan semen putih dari saluran kelamin

Penentuan individu juvenil dan dewasa berdasarkan pencirian penampakan kelenjar kelamin yang berbeda yang telah dilakukan oleh Shine et al., (1999) terhadap P. brongersmai. Individu juvenil memiliki saluran oviduk yang tipis, bening dan sempit seperti yang tampak pada gambar 4.9b sementara individu dewasa memiliki ciri kelenjar kelamin yang longgar, keruh dan lebar yang tampak pada gambar 4.9a. Namun melalui penelitian ini, terdapat kesenjangan jumlah antara individu betina dewasa dengan juvenil yakni hanya 8 juvenil dari 264 individu. Hal ini berbeda dari penelitian Shine et al., pada tahun 1999 yang masih menunjukkan pemerataan kategori reproduksi dalam hal jumlah juvenil yang

(53)

didapat. Perbandingan yang didapat dalam penelitian Shine untuk juvenil ialah 0.143 terhadap total sampel yang diteliti yakni 1769. Melihat minimnya hasil tangkapan individu betina juvenil dan besarnya populasi individu betina dewasa di alam dalam penelitian ini, maka untuk mengkaji aturan penangkapan yang lestari akan difokuskan pada individu betina dewasa.

Hubungan antar peubah morfologi dan anatomi selanjutnya dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Hasil regresi menunjukkan perbedaan nilai hubungan/ r antara keseluruhan individu jantan dan betina. Pada individu P. brongersmai jantan, hubungan antara besaran lemak dengan SVL, berat, dan lebar

perut secara berurutan menunjukkan hubungan /r senilai 0,032; 0,134; dan 0,071 sementara pada individu betina berdasarkan parameter yang sama menunjukkan hubungan senilai 0,12; 0,414; dan 0,302. Hasil uji regresi pada individu jantan mengindikasikan bahwa tidak terdapat peubah morfologi yang dapat digunakan untuk memprediksi besaran lemak. Sementara pada individu betina, karakter berat dan lebar perut dapat digunakan. Hasil uji regresi selengkapnya dapat dilihat pada

Gambar 4.11. untuk individu jantan dan Gambar 4.12. untuk individu betina.

Lebih lanjut, untuk melihat hubungan besaran lemak terhadap satu set peubah SVL, berat dan lebar perut, dilakukan analisis multivariat. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa besaran lemak berpengaruh terhadap satu set peubah SVL, berat dan lebar perut. Hasil analisis multivariat dapat dilihat pada

(54)

Gambar 4.11. Hasil uji regresi peubah morfologi dengan anatomi P. brongersmai jantan (Ket: tn = tidak nyata)

y = 0,002x + 1,662 r = 0,032 tn 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0 50 100 150 200 Be sa ra n L e m ak Panjang SVL (cm)

SVL dengan Besaran Lemak

y = -0,025x + 2,648 r = 0,071tn 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Be sa ra n L e m ak Lebar Perut (cm)

Lebar perut dengan Besaran Lemak

y = -0,129x + 2,510 r= 0,134 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0 1 2 3 4 5 6 7 Be sa ra n L e m ak Berat (kg)

(55)

Gambar 4.12. Hasil uji regresi peubah morfologi dengan anatomi y = 0,008x + 1,109 r = 0,12tn 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0 50 100 150 200 K an d u n ga n L e m ak Panjang SVL (cm)

SVL dengan Besaran Lemak

y = 0,323x + 0,896 r = 0,414** 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Be sa ra n L e m ak Berat (kg)

Berat dengan Besaran Lemak

y = 0,958x + 22,74 r = 0,302** 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Be sa ra n L e m ak Lebar Perut (cm)

Gambar

Gambar 2.1. Python brongersmai A. Dokumentasi Pribadi, dan  B. Dokumentasi Siregar (2012)
Gambar 2.2. A.  Probe untuk sexing pada ular, B. Teknik probing pada ular  Sumber : Mader (2006) dalam Matswapati (2009)
Gambar 2.4. Negara Pengekspor Kulit Ular Terbesar tahun 2008  Sumber : CITES www.dashborad.cites.org
Tabel 2.1. Data kuota tahunan dan penggunaan kouta tahunan pada beberapa jenis       Python (Departemen Kehutanan, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel 5 juga dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan suhu pada beberapa titik waktu setelah diberi perlakuan pada kelompok parasetamol, ekstrak 300 mg/Kg BB dan

Resistensi penggunaan insektisida pinjal tikus (Xenopsylla cheopis) dalam penanggulangan penyakit pes dibahas oleh Dyah mahendra Sukendra dan artikel terakhir adalah

Jika pembiasaan yang diberikan kepada anak tidak diskriminatif, maka akan terbentuk pribadi-pribadi yang baik sehingga mampu berinteraksi dengan harmonis, karena pembiasaan

bahwa minat (interest) berarti kecenderunga dari kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2012). Minat berwirausaha tidak selalu terbentuk

Setiap orang yang berusaha pasti akan mendapati hasil sesuai yang diusahakannya, begitulah yang telah di lakukan oleh Dinas Pariwisata Aceh Singkil, melihat

S-makin suur tanah sa*ahnya; s-makin s-dikit tamahan :u:uk untuk  makanan tanamannya. 'aktor utama k-suuran tanaman adaah k-suuran tanah. -suuran tanah t-rgantung

Penyajian ensambel Ganrang Pa’balle dalam upacara ritual Kalompoang, memiliki kedudukan khusus yang berfungsi tidak sebatas sebagai media pengiring upacara, akan

Daerah ini nulal berlaku seiaf, tang- gal iliundangkan alala.n Lenbaran Daerah Kota[a - dya Daerab Tingkat fI Banda