• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Hukum LEGITIME Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Edisi, Maret 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Hukum LEGITIME Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Edisi, Maret 2013"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

 

Jurnal Hukum LEGITIME

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Edisi, Maret 2013

Pelindung/penasehat : Rektor Universitas Muhammadiyah Kendari

Penanggung jawab : Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

Pemimpin Redaksi : Ahmad Rustan, S.H.,MH

Redaksi Ahli : Prof. Dr. H. Muh. Jufri Dewa, S.H.,M.H Dr. Muh. Alim, S.H.,M.H

Dr. Deity Yuningsih, S.H.,M.H Dr. Kamaruddin Djafar, SH,MH Dewan Redaksi : Arifai, S.H.,MH

Nur Nashriani Jufri, S.H.,M.H

Kamaruddin S.H.,MH

Andi Arnoliaty, S.H Redaktur Pelaksana : Rudi Iskandar, S.H

Dirawati, S.H

Multi Sri Asnani, S.H

Jurnal Hukum LEGITIME diterbitkan dua kali dalam setahun oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari dimaksudkan sebagai media komunikasi, informasi dan kajian Ilmu Hukum. Naskah atau artikel yang dimuat sepenuhnya merupakan pendapat dan tanggungjawab pribadi penulis. Adapun pedoman penulisan, sebagai berikut :

 Panjang tulisan antara 10-15 halaman, diketik dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran huruf 12 dan spasi 1,5.

 Sistematika tulisan meliputi : Judul (maksimal 3 baris), nama penulis, abstrak (satu paragraf, maksimal ¼ halaman), kata kunci, pendahuluan, kajian pustaka, analisis masalah, penutup dan daftar pustaka.

 Sumber kutipan ditulis nama, tahun : halaman. Contoh : Soerjono Soekanto, 1986:252.

 Penulisan daftar pustaka ditulis nama lengkap penulis, tahun penerbitan, judul buku (ditulis miring), tempat penerbitan, nama penerbit. Contoh : Soerjono Soekanto. 1986. Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press

 Naskah dalam bentuk hasil print out dan soft copy dikirim kepada :

Alamat Redaksi : Jurnal Hukum LEGITIME

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 10 Kendari, Sulawesi Tenggara, 93118

(3)

 

DEKAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, Jurnal Ilmiah Hukum “LEGITIME” Edisi Maret, Volume III, Nomor 1 Tahun 2013, telah hadir dihadapan pembaca. Kehadiran jurnal “LEGITIME” ini patut mendapat apresiasi dari semua pihak termasuk saya selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.

Dengan kehadiran jurnal “LEGITIME” ini diharapkan dapat memberi warna baru, dan membawa spirit baru serta dapat memberi informasi berimbang terkait kajian-kajian hukum yang aktual dan berkembang dalam masyarakat. Selain itu, Jurnal “LEGITIME” ini diharapkan menjadi media penyambung lidah dari para penulisnya sehingga dapat memberikan gagasan dan ide-ide serta solusi alternatif terhadap problematika hukum yang berkembang.

Semoga Jurnal Hukum “LEGITIME” terus eksis dan berkarya sehingga dapat menjadi salah satu pilihan bacaan yang menarik bagi pembacanya. Akhirnya, selaku Dekan, saya ucapkan selamat kepada Jurnal Ilmiah Hukum “LEGITIME” yang terbit untuk edisi bulan Maret 2013 ini, semoga ini menjadi awal yang baik untuk berkarya dan lebih bermakna. Amin...

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kendari, 12 Maret 2013 D e k a n ,

(4)

 

PENGANTAR REDAKSI

“Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”

Tiada kata yang patut diucapkan selain syukur Alhamdulillah, karena hanya dengan seisin-Nya, Jurnal Ilmiah Hukum “LEGITIME” Edisi Maret, Volume. III, Nomor. 1 Tahun 2013 telah terbit. Ini merupakan sebuah keberhasilan dari sebuah perjuangan panjang bagi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari untuk terus berkarya.

Pada edisi keempat ini, redaksi telah menyiapkan berbagai tulisan pilihan yang variatif dan kreatif serta aktual terkait fenomena hukum yang relevan saat ini khususnya terkait dengan isu-isu lingkungan, ketenagakerjaan, partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD, kedudukan pendidikan agama dalam UU sisdiknas dan hukum progresif yang ditulis oleh beberapa penulis yang tentunya juga berkualitas dan mempunyai kompetensi sehingga diharapkan mampu mendapat tempat di hati para pembaca.

Potret penegakan hukum kita dari hari ke hari semakin buram dan penuh noda. Tentunya ini tidak boleh lepas dari perhatian kita semua khususnya kalangan kampus dengan melihat dari sudut pandang ilmiah. Dengan demikian, maka ide, gagasan, telaah kritis dan solusi alternatif jangan disimpan di dalam hati, akan tetapi disalurkan. Yang pasti, Jurnal Ilmiah Hukum “LEGITIME” merupakan media yang hadir untuk anda.

Akhirnya redaksi ucapkan terima kasih atas kepercayaan dari para pembaca atas kesetiannya menikmati sajian ini, semoga “LEGITIME” dapat menjadi media komunikasi yang dapat menyatukan hati kita dalam perbedaan ide, gagasan dan pandangan menuju terwujudnya penegakan hukum yang “Adil Sejak di Dalam Pikiran”. SEMOGA

“Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”

Kendari, 12 Maret 2013 REDAKSI

(5)

 

DAFTAR ISI

Ketentuan penulisan... i Sambutan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari…. ii Pengantar Redaksi... iii Daftar Isi ... iv

1. Analisis Hukum Dampak Pertambangan Bahan Galian Emas Terhadap Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup

Oleh : Prof. Dr. H. Muh. Jufri Dewa, SH.,MH……… 1 2. Telaah Yuridis Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan

Industrial

Oleh : Rasmuddin, SH.,MH ... 27 3. Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan APBD di desa Puwulo

Kec. Laeya Kabupaten Konawe Selatan

Oleh : Ahmad Rustan, SH.,MH, Nur Nashriani Djufri, SH.,MH dan Dirawati, SH ... 37 4. Kedudukan Pendidikan Agama (Islam) Dalam Undang-Undang No. 20

Tahun 2003 Tentang Sisdiknas

Oleh : Dr. Sukring, S.Ag.,MH……… 55 5. Paradigma Hukum Progresif

(6)

ANALISIS HUKUM DAMPAK PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN EMAS TERHADAP KELESTARIAN

FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Muh. Jufri Dewa

(Staf Pengajar Fak. Hukum Unhalu)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan membangun konsep hukum untuk mencegah dan/atau menanggulangi dampak kerusakan lingkungan dari aspek hukum, dengan tujuan untuk “mengetahui dan menganalisis dampak penting yang timbul akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas terhadap kelestarian lingkungan hidup di Kecamatan Rarowatu Utara Kab. Bombana”.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksplorasi dengan mendekatan empiris - normatif. Pendekatan empiris dimaksudkan untuk melakukan pengamatan terhadap dampak penting pertambangan bahan galian eman terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup di wilayah pertambangan, sedangkan pendekatan normatif dimaksudkan untuk melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap penegakan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pertambangan.

Kegiatan pertambangan bahan galian emas di Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana pada hahaketnya menimbulkan dampak penting terhadap kelestarian fungsi lingkungan; berupa: 1. Dampak terhadap kerusakan fungsi hutan secara ekologi berupa pengurangan debit air sungai dan tanah, banjir dan lonsor; 2. Dampak terhadap Pertanian, berupa sumber dan debit/aliran air rendah serta menyebabkan terjadinya kekeringan pada areal persawahan masyarakat; 3. Dampak terhadap penurunan kualitas air, karena kandungan merkuri di sumber mata air sungai mencapai 0,98, jauh lebih besar dari batas toleransi 0,002 mg/perliter; 4. Dampak terhadap sosial budaya, terjadi kesenjangan sosial antara pendatang dan penduduk setempat, karena masyarakat setempat kurang terakses bekerja dipertambangan; 5. Dampak terhadap ekonomi, berupa penurunan penghasilan masyarakat yang semula berprofesi sebagai petani, tidak lagi bertani karena kekurangan air ke areal persawahan karena dibwendung dan digunakan sebagai bahan material pengolahan emas; dan 6. Dampak terhadap kesehatan lingkungan, berupa ketidak tersediaan air bersih, pola penyakit dan prevalensi rate dengan adanya kegiatan pertambangan bahan galian emas, serta hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak terpenuhi lagi.

Kata Kunci : Dampak Pertambangan, Bahan Galian Emas, dan Kelestarian fungsi lingkungan

(7)

I Pendahuluan 1. Latar Belakang

Kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan dambaan bagi setiap manusia di muka bumi karena merupakan kepentingan bersama, sehingga pengelolaan lingkungan menuntut tanggung jawab, tata kelola pemerintahan yang baik, dan peranserta masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Pengelolaan lingkungan hidup termasuk sumber daya alam, menjadi sarana penting untuk

mencapai terwujudnya kesejahteraan dan mutu hidup

generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu, lingkungan hidup dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan yang serasi, selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Dalam hal

ini pengelolaan sumber daya alam di satu pihak dan kelestarian fungsi lingkungan hidup di lain pihak, harus terintegrasi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Keterpaduan unsur-unsur tersebut, dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan wujud pencapaian pelestarian lingkungan hidup berkelanjutan yang berwawasan lingkungan; berupa upaya sadar dan terencana yang

memadukan aspek lingkungan hidup, sosial-budaya, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Upaya tersebut sangat penting mengingat, makin meningkatnya pemanfaatan lingkungan (fisik) di satu pihak menyebabkan akan makin meningkat dampak terhadap fungsi lingkungan hidup di lain pihak. Kondisi semacam ini, diperlukan upaya pengendalian terhadap dampak lingkungan, sehingga risiko terhadap lingkungan dapat ditekan sekecil mungkin.

Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berwawasan lingkungan harus dilakukan dengan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009).

Dengan diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, merupakan umbrella provision atau payung bagi semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan. Sampai saat ini perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan titik kelemahan dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup berkelanjutan.

Salah satu contoh konkrit yang menggambarkan kelemahan

(8)

dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yaitu timbulnya konflik lahan pertambangan antara kepentingan pengusaha tambang melawan rakyat, karena perebutan lokasi pertambangan. Dalam hal ini peran pemerintah daerah tidak bisa dilepaskan dalam Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan sebagai pemicu konflik. Dengan konflik tersebut rakyat setempat selalu menjadi korban setiap kali muncul konflik pertambangan serta dampak pertambangan.

Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, pengelolaan pertambangan bahan galian emas secara adminstratif telah menimbulkan berbagai permasalahan di bidang lingkungan hidup, sejak tahun 2008 hingga 2012 telah diterbitkan sebanyak 58 Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Bupati Bombana. Ke 58 Izin Usaha Pertambangan tersebut, 18 IUP dalam status eksplorasi dan 36 IUP dalam status eksploitasi atau IUP operasi produksi.

Khususnya di Kecamatan Rarowatu Utara, permasalahan yang timbul akibat diterbitkannya izin usaha pertambangan bahan galian emas di bidang lingkungan secara administratif, antara lain: terjadinya komplik tanah warisan masyarakat dengan lokasi penambangan, terjadinya kekeringan air di areal persawahan akibat penambangan emas di sekitar kali, lokasi penambangan dalam kawasan hutan (12 Perusahaan), baik pada kawasan hutan produksi (HPB dan HPT) seluas 19. 012 Ha, kawasan hutan lindung (HL) seluas 845 Ha,

dan areal penggunaan lain (APL) seluas 8.664 Ha, (Dinas Kehutana Kabupaten Bombana, 2012).

Timbulnya permasalahan lingkungan di lokasi penambangan bahan galian emas tersebut, diakibatkan antara lain pengelolaan lingkungan tidak secara bijaksana dalam hal: perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan lingkungan hidup, dan

penegakan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam dengan tidak memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan, dihadapkan pada kasus-kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, perma-salahan penelitian ini adalah “Ba-gaimana analisis hukum dampak penting yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas terhadap kelestarian lingkun-gan hidup di di Kecamatan Rarowa-tu Utara Kab. Bombana”?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan membangun konsep hukum untuk mencegah dan/atau menanggulangi dampak kerusakan lingkungan dari aspek hukum, dengan tujuan untuk “men-getahui dan menganalisis dampak penting yang timbul akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas terhadap kelestarian lingkungan hi-dup di Kecamatan Rarowatu Utara Kab. Bombana”.

(9)

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan akademik (teoretik), dan kepentingan praktikal. Kegunaan akademik (teoritikal), yaitu: a. mengembangkan konsep hukum tentang kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk mencegah dan/atau menanggulangi dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan; b. mengembangkan hasil kajian akademik sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum lingkungan. Kegunaan praktikal, yaitu: Kegunaan bagi pemerintah daerah, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan tentang pengelolaan pertambangan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup; Kegunaan bagi

pengusaha pertambangan merupakan sumbangan pemikiran

kepada pihak pengelola tambang mengenai pentingnya persamaan persepsi terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup secara konsisten untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan serta cara penanggulangan dampak kerusakan lingkungan; dan Kegunaan bagi masyarakat dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan untuk memelihara dayadukung dan dayatampung lingkungan hidup yang berkelanjutan.

II Studi Kepustakaan

1. Dampak Industri Pertambangan Terhadap Lingkungan Hidup

Kelestarian fungsi lingkungan merupakan rangkaian

upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Namun kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh tingkat pengambilan keputusan. Kepentingan pelestarian lingkungan sering diabaikan

sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan (http://trit

0824.student.ipb.ac.id/2010/06/20/ analisis kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan).

Salah satu faktor penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah keberadaan industri pertambangan sebagai penyumbang dampak negatif yang luar biasa terhadap kerusakan lingkungan yang ada di sekitarnya. Namun disadari pula bahwa, eksistensi industri pertambangan di tengah-tengah masyarakat mempunyai dampak positif dan negatif pada kehidupan manusia, baik secara ekologis, sosial, dan ekonomi (http://deerungbebas. blogspot.com/2010/07/ kerusakan-lingkungan-oleh-industri). Secara ekologis, industri dapat merubah infrastruktur masyarakat maupun

terjadinya pencemaran lingkungan. Secara sosial, adanya

(10)

industri berdampak pada perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, dan Secara ekonomi, keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat melalui pemberian kesempatan kerja.

Jenis industri yang paling berdampak terhadap kerusakan lingkungan adalah industri ekstraktif, yaitu industri yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam, seperti industri

pertambangan. Menurut Koordinator Jaringan Advokasi

Tambang (Jatam), industri pertambangan seringkali membuat kerusakan lingkungan, mulai dari hilangnya kawasan hutan hingga menyebabkan pencemaran lingkunganhttp://deeruangbebas.

blogspot.com/2010/ 07 / kerusakan lingkungan oleh industri). Industri yang bergerak di bidang pertambangan merupakan salah satu pemberi kontribusi terhadap kerusakan lingkungan, selain mengganggu daerah aliran sungai (DAS), proses penambangan juga menyumbang limbah (tailing) B3 (bahan beracun dan berbahaya) bagi lingkungan sekitarnya. Demikian pula kegiatan penambangan bahan galian emas dapat memicuh terjadinya krisis air. Hal ini dikarenakan adanya ekstraksi dalam penambangan emas, untuk mendapatkan satu gram emas dibutuhkan 100 liter air untuk proses ekstrasi. Sifat industri semacam ini (industri pengelolaan sumber daya alam yang tak terbaharui) merupakan industri jangka pendek, tetapi mampu memberikan dampak yang panjang bagi kerusakan

lingkungan. Untuk itu, kerusakan lingkungan akibat industri adalah hal yang segera ditanggulangi, sebab kerusakan lingkungan hidup memiliki dampak signifikan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Dalam hal ini pengelolaan industri diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup, agar permasalahan kerusakan lingkungan oleh industri dapat diminimalisir.

Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Pfleiger et al (2005) juga mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat menghindari klaim masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi (Muhammad Ja’far; 2006:4). Demikian pula pandangan Ferreira (2004), bahwa persoalan konservasi lingkungan merupakan tugas setiap individu, pemerintah dan perusahaan. Sebagai bagian dari tatanan sosial,

perusahaan seyogyanya melaporkan pengelolaan lingkungan lingkungan perusahaannya dalam annual

report (Muhammad Ja’far; 2006:4). Hal ini terkait dengan tiga aspek keberlanjutan, yakni: aspek keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial.

Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting dalam mendorong terciptanya kinerja lingkungan, dan lebih jauh lagi mendorong perusahaan go publik untuk melaporkan pengelolaan lingkungannya. Pelaporan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan industri merupakan

(11)

faktor penting dalam transpransi pengelolaan lingkungan. Hal ini karena perusahaan industri merupakan salah satu pihak penyumbang utama pertumbuhan ekonomi suatu negara dan daerah, sekaligus sebagai penyumbang dominan terhadap persoalan lingkungan akibat proses produksinya yang menggunakan sumber daya alam. Artinya,

pengungkapan laporan pengelolaan lingkungan dalam

annual report merupakan bentuk pertanggung jawaban sosial untuk mengetahui dampak ekologi atas suatu prestasi ekonomi perusahaan

industri. Permasalahannya pelaporan manajemen lingkungan

oleh perusahaan industri di Indonesia masih dalam sebatas voluntary disclosure. Sepanjang pelaporan manajemen lingkungan masih bersifat voluntary disclosure, maka saling tuding dan lempar tanggungjawab antara pemerintah, perusahaan industri dan masyarakat terhadap persoalan kerusakan lingkungan akan senantiasa terjadi. Oleh karena itu, penelitian yang menguji bagaimana dampak industri pertambangan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup perlu dilakukan dan peran pemerintah dalam pengelolaan dan pelaporan lingkungan perusahaan perlu dilakukan. Karena peran pemerintah menjadi sentral perhatian pengelolaan lingkungan hidup, sebab pemerintah selkaku pihak yang memilki otoritas dan tanggungjawab serta kewenangan atas penguasaan dan regulasi lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Bersamaan dengan itu, melekat pula kewajiban terhadap lingkungan, bahwa setiap orang

berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Kewajiban tersebut mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam kegiatan penyuluhan dan bimbingan di bidang lingkungan hidup, memberikan informasi yang benar dan akurat, dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, kelestarian fungsi lingkungan

hidup dalam pengelolaan lingkungan hidup, dapat pula dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup. Pasal 26 ayat

(2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka

(12)

menjamin saran dan tanggapan. Masyarakat dimaksud adalah masyarakat pemerhati lingkungan hidup, dan/atau masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

Oleh karena itu, lingkungan hidup harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatn ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian,

demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan

penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Untuk itu, menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan yang bersifat nasional dan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan secara taat asas dan konsisten pada tataran implementasi pemanfaatan sumber daya alam (lingkungan hidup). 2. Memelihara Kelestarian Fungsi

Lingkungan Hidup Berkelanjutan

Pemeliharaan lingkungan hidup merupakan upaya yang dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup (kelangsungan sumber daya alam hayati dan non-hayati) dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan

manusia. Pemeliharaan kelangsungan sumber daya alam

hayati dan non-hayati tersebut dilakukan melalui upaya; konservasi sumber daya alam; dan pencadangan sumber daya alam.

Konservasi sumber daya alam merupakan upaya pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta keseimbangan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Pencadangan sumber daya alam merupakan sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan paling sedikit 30% dari luasan.

Berdasarkan uraian tersebut tentang pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup berkelanjutan, secara yuridis formal telah tertuang dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Namun kenyataan dalam tataran implementasinya belum maksimal pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik pada tahapan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup, tahapan pemanfaatan lingkungan hidup, tahapan pengendalian pemanfaatan lingkungan hidup, maupun pada tahapan pemeliharaan lingkungan hidup.

Untuk itu, dalam pengelolaan

lingkungan berkelanjutan diperlukan pokok-pokok kebijakan,

sebagai berikut:

1. Pengelolaan sumber daya alam direncanakan sesuai dengan dayadukung lingkungannya; 2. Proyek pembangunan yang

berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan analisis

(13)

mengenai dampak lingkungan sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan kegiatan. Melalui studi AMDAL, dapat diperkirakan dampak negatif

pembangunan terhadap lingkungan sehingga disusun

rencana Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang mengendalikan dampak negatif dan pelaksanaan RPL ini ditetapkan pula rencana Rencana Pengelolaan Lingkungan yang berfungsi

untuk memantau apakah dampak negatif pembangunan dapat terkendali;

3. Penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah

mengutamakan: a. Penganggulangan bahan beracun dan berbahaya (limbah

B3), b. Penanggulangan limbah padat supaya tidak mengganggu kesehatan masyarakat, c. Penetapan baku mutu emisi dan fluen, dan d. Pengembangan baku mutu air dan udara;

4. Pengembangan

keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan. Usaha ini perlu ditunjang oleh berbagai kebijakan lain, seperti: a. Pengelolaam hutan tropis yang secara khusus melestarikan habitat (tempat tinggi) flora dan fauna dalam taman nasional, suaka alam, suaka marga satwa, cagar alam dan lainnya, b. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang secara khusus melestarikan keanakaragaman hayati di wilayah pesisir dan hutan;

5. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui: a. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), b. Rehabilitas dan reklamasi bekas pembangunan dan galian C, dan c. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;

6. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan: a. Manfaat dan biaya lingkungan perlu diperhitungkan dalam analisis ekonomi, b. Pengurasan sumber daya alam (resouerce depletion) perlu diperhatikan sebagai bagian dan ongkos pembangunan, c. Sangat penting adalah memasukkan pertimbangan lingkungan dalam kebijakan investasi, perpajakan, dan perdagangan;

7. Pengembangan peranserta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup, berupa merangsang masyarakat dalam pengembangan lingkungan melalui pembinaan kesadaran lingkungan masyarakat;

8. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong

badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;

9. Pengembangan kerja sama luar negeri (Muh. Jufri Dewa, 2011:33).

Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, ter-masuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin

(14)

ke-mampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan gene-rasi masa depan. Untuk itu, pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, dan asas keberlanjutan. Asas tanggung jawab negara, dimaknai di satu sisi, negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan; sedang di sisi lain, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksinya negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya ddan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam suatu generasi.

III Metode Penelitian

Penelitian ini ini dilakukan di Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana. Pertimbangan penetapan lokasi penelitian karena intensitas kegiatan pertambangan bahan galian emas yang dilakukan oleh 13 perusahaan pertambangan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup relatif tinggi, sehingga kegiatan tersebut berakibat pada kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksplorasi dengan mendekatan empiris - normatif.

Pendekatan empiris dimaksudkan untuk melakukan pengamatan terhadap dampak penting pertambangan bahan galian eman terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup di wilayah

pertambangan, sedangkan pendekatan normatif dimaksudkan

untuk melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap penegakan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pertambangan.

Data primer dan sekunder, diperoleh dengan menggunakan teknik: observasi, wawancara, dan dokementasi. Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan, baik data primer maupun data sekunder dianalisia dengan menggunakan teknis analisis normatif kualitatif, kemudian disajikan secara deskriptif.

IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Kecamatan Rarowatu Utara merupakan salah satu kecamatan hasil pemekaran dari Kecamatan Rarowatu. Secara astronomis, terletak 40 22’ 59,4’ – 40 43’43,0’ Lintas Utara dan antara 1210 42’24,0’ – 1220 6’27,9’ Bujur Timur. Secara geografis, berbatasan dengan; sebelah Utara, Kecamatan Lantari Jaya, sebelah Timur Selat Tiworo, dan sebelah Selatan dan Barat Kecamatan Rarowatu. Secara administrasi, terdiri atas 7 (tujuh) Desa dan 1 (satu) Kelurahan serta 19 Dusun dan 3 Lingkungan.

Luas wilayah 231,20 Km2, dan 7.505 jiwa penduduk.

(15)

Pembagian daerah administrasi menurut desa dan kelurahan, berikut: 1. Desa Lantowua, luas wilayah 15,55 Km2, dan terdiri atas 3 dusun, serta 580 jiwa penduduk; 2. Desa Watu Mentade, luas wilayah (masih tergabung dengan desa induk), dan terdiri atas 3 dusun, serta 483 jiwa penduduk; 3. Desa Hukaea, luas wilayah 18,98 Km2 dan terdiri atas 3 dusun, serta 775 jiwa penduduk; 4. Desa Tunas Baru, luas wilayah 8,11 Km2, dan terdiri atas 2 dusun, serta 364 jiwa penduduk; 5. Desa Tembe, luas wilayah (masih tergabung dengan desa induk), dan terdiri atas 3 dusun, serta 446 jiwa penduduk; 6. Kelurahan Aneka Marga, luas wilayah 20,22 Km 2, dan terdiri atas 3 lingkungan serta 1.229 jiwa penduduk; 7. Desa Marga Jaya, luas wilayah (masih tergabung dengan desa induk), dan terdiri atas 2 dusun serta 1.422 jiwa penduduk; dan 8. Desa Wumbu Bangka, luas wilayah 176,45 Km2, dan terdiri atas 3 dusun serta 2.206 jiwa penduduk. Desa yang terbanyak jumlah penduduknya adalah Desa Wumbu Bangka 2.206 jiwa, dan paling sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Tunas Baru 364 jiwa (Kecamatan Rarowatu Utara Dalam Angka Tahun 2012).

Selanjutnya, dari segi penggunaan tanah (lahan), diklasifikasikan ke dalam 12 kategori, yaitu: 1. Tanah persawahan, terdiri atas: sawah pengairan, sawah tada hujan, sawah pasang surut, dan sawah

lainnya (rembesan rawa yang ditanami padi); 2. Tanah bangunan/pekarangan

(perumahan dan perkantoran); 3. Tanah tegal/kebun, terdiri atas: tanaman buah-buahan oleh masyarakat (seperti: alpokat, mangga, rambutan, langsat, jeruk, jambu biji, jambu air, durian, pepaya, pisang, nenas, salak, nangka, sawo, sukun, manggis, melinjo), dan tanaman sayur-sayuran oleh masyarakat (seperti: kajang panjang, cabe, tomat, terung, buncis, ketimun, labu, kangkung dan bayam, bawang merah, bawang putih, bawang daun dan kacang merah); 4. Tanah ladang oleh masyarakat (seperti: padi ladang, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang hijau); 5. Tanah padang rumput; 6. Tanah rawa yang tidak dapat ditanami; 7. Tanah tambak dan empang; 8.Tanah lahan yang tidak dimanfaatkan, 9. Tanah (lahan) kayu-kayuan; 10 Tanah (lahan) hutan negara, terdiri atas: Kawasan Suaka alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi; 11. Tanah perkebunan (seperti: Kelapa, Jambu mente, dan Kakao); dan 12. Tanah penggunaan lain.

Unsur-unsur lingkungan tersebut, seperti sumber daya manusia, sumber daya alam (hayati dan non hayati), dan sumber daya buatan; dengan keberadaan kegiatan pertambangan bahan galian emas di Kecamatan Rarowatu Utara berdampak penting terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup.

(16)

2. Analisis Hukum Dampak Penting Pertambangan Bahan Galian Emas Terhadap Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Di Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana

Dampak penting kegiatan

pertambangan terhadap lingkungan adalah perubahan

lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan pertambangan bahan galian emas terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dalam kaitannya dengan kegiatan pertambangan oleh ke 13 (tiga belas) perusahaan yang

melakukan kegiatan pertambangan bahan galian emas

dalam wilayah Kecamatan Rarowatu Utara, dengan luas

wilayah pertambangan keseluruhan perusahaan 30.448

Ha. Adapun rincian perusahaan dimaksud dengan luas wilayah pertambangan masing-masing, terdiri atas: 1. PT. Panca Logam Makmur, luas wilayah pertambangan 1.210 Ha; 2. PT. Anugrah Alam Buana Indonesia, luas wilayah pertambangan 2.000 Ha; 3. PT. Bahtra Sultra Mining, luas wilayah pertambangan 5.420 Ha; 4. PT. Terang Guna Sentosa, luas wilayah pertambangan 850 Ha; 5. PT. Dynasti Thamier Dwi Jaya, luas wilayah pertambangan 1.000 Ha; 6. PT Karya Cipta Pratama, luas wilayah pertambangan 250 Ha; 7. PT. Panca Logam Nusantara, luas wilayah pertambangan 2.000 Ha; 8. PT. Sultra Utama Nikel, luas

wilayah pertambangan 2.344 Ha; 9. PT. Prima Energi Utama Jaya, luas wilayah pertambangan 5.076 Ha; dan 10 PT. Genesha Delta Pertama, luas wilayah pertambangan 8.277 Ha (ke 10 perusahaan pertambangan ini dengan status izin usaha pertambangan Operasi Produksi (IUP OP)); selanjutnya, 11. PT. Tambang Bumi Sulawesi Blok II, luas wilayah pertambangan 200 Ha; 12. PT. Ayuta Mitra Sentosa, luas wilayah pertambangan 1.250 Ha; dan 13 PT. Agra Mining Sejahtra 571 Ha (ketiga perusahaan pertambangan ini dengan status izin usaha pertambangan eksplorasi), (Sumber data: Dinas Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Bombana, 2012).

Ke 13 (tiga belas) perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di Kecamatan Rarowatu Utara tersebut, baru 3 (tiga) perusahaan pertambangan yang berproduksi, yaitu: 1. PT. Sultra Utama Nikel (SUN), 2. PT. Panca Logam Makmur, dan 3. PT. Dynasti Thamier Dwi Jaya; sedangkan 10 (sepuluh) perusahaan lainnya belum berproduksi (7 dengan status IUP Operasi Produksi, tapi belum berproduksi, bahkan ada 2 (dua) diantara 7 perusahaan tersebut dihentikan sementara yaitu: PT. Karya Cipta Pratama, dan PT. Bahtra Sultra Mining; dan 3 Perusahaan dengan status IUP Eksplorasi).

Kegiatan pertambangan tersebut, menimbulkan dampak penting terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup;

(17)

mencakup: 1. Dampak terhadap kerusakan fungsi hutan 2. Dampak terhadap Pertanian; 3. Dampak terhadap penurunan kualitas air; 4. Dampak terhadap Sosial budaya; 5. Dampak terhadap ekonomi; dan 6. Dampak terhadap kesehatan lingkungan. Ke 6 (enam) dampak penting terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup, sebagai berikut:

1. Dampak terhadap Kerusa-kan Fungsi Hutan

Komponen ruang dan lahan yang terkena dampak penting kegiatan pertamban-gan bahan galian emas di Ke-cematan Rarowatu Utara mengakibatkan kerusakan fungsi hutan, sehingga hutan tidak lagi berfungsi sebagai-mana mestinya, sebagai fungsi lindung/ekologi, fungsi pro-duksi (sumber air, kayu dan hasil hutan ikutan lainnya), dan fungsi sosial-ekonomi dan budaya.

Jumlah perusahaan yang melakukan pertambangan ba-han galian emas di kawasan hutan dalam wilayah Kecama-tan Rarowatu Utara sebanyak 12 Perusahaan, dengan luas penambangan dalam kawasan hutan 13.898 Ha (7 perusa-haan izin usaha pertamban-gannya dalam wilayah Keca-matan Rarowatu Utara, dan 5 perusahaan izin usaha per-tambangannya di Kecamatan Lantari Jaya dan Kecamatan Rarowatu, tapi melakukan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan di wilayah Ke-camatan Rarowatu Utara).

Ke 7 (tujuh) perusahaan dengan izin usaha pertamban-gannya dalam wilayah Keca-matan Rarowatu Utara; den-gan rincian perusahaan dan luas wilayah pertambangan dalam kawasan hutan; seba-gai berikut: 1. PT. Anugrah Alam Buana Indonesia, seluas 1.968 Ha; yang terdiri atas hutan produksi bebas (HPB) seluas 642 Ha dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.326 Ha; 2. PT. Bahtera Sultra Mining, seluas 3.917 Ha dengan status hutan produksi terbatas (HPT); 3. PT. Cahaya Gemilang Sentosa, luas 5.306 Ha dengan status hutan produksi bebas (HPB); 4. PT Panca Logam Makmur, seluas 557 Ha, yang terdiri atas hutan produksi bebas (HPB) seluas 443 Ha, dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 114 Ha; 5. PT Panca Logam Nusantara, luas 1.898 Ha dengan status hutan produksi bebas (HPB); 6. PT Sultra Utama Nikel, seluas 1.574 dengan status hutan produksi bebas (HPB); dan 7. PT. Terang Guna Sentosa, seluas 57 Ha dengan status hutan produksi terbatas (HPT); Sedangkan 5 perusahaan lainnya izin usaha pertambangannya dalam wilayah Kecamatan Lantari Jaya dan Kecamatan Rarowatu, namun melakukan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan wilayah Kecamatan Rarowatu Utara; dengan rincian perusahaan dan luas wilayah

(18)

pertambangan dalam kawasan hutan, sebagai berikut: 1. PT. Agramining Sejahtra (Kec. Lantari), seluas 557 Ha dengan status hutan produksi bebas (HPB); 2. PT. Daya Utama Sakti (Kec. Lantari), seluas 702 Ha dengan status hutan lindung (HL); 3. PT. Gamalama Putra Jaya (Kec. Lantari), seluas 143 Ha dengan status hutan lindung (HL); 4. Niagatama Makmur Sembada (Kec. Rarowatu), seluas 1.204 Ha dengan status hutan produksi bebas (HPB); dan 5 PT. Sumber Alam Mega Karya (Kec. Rarowatu), seluas 941 Ha pada hutan produksi bebas (HPB) dan 1.034 Ha pada hutan produksi terbatas (HPT), (Telaah data: Dinas Kehuatan Kabupaten Bombana, 2012).

Berdasarkan fakta tersebut, bahwa kegiatan pertambangan bahan galian emas yang dilakukan oleh ke 13 (tiga belas) perusahaan pertambangan dalam kawasan hutan, baik dalam kawasan hutan produksi bebas, kawasan hutan produksi terbatas, maupun dalam kawasan hutan lindung dari aspek hukum kehutanan pada hakekatnya dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada ayat (2) Penggunaan kawasan hutan (produksi dan lindung) dapat dilakukan kegiatan tanpa mengubah fungsi pokok

kawasan hutan. Ayat (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh

Menteri dengan mempertimbangkan batasan

luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkunga. Ayat (4) Pada kawasan hutan lindung di larang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka, dan ayat (5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut, kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dapat dilakukan dengan alasan tujuan strategi dan untuk kepentingan umum, dan oleh pemerintah telah

menetapkan suatu kebijaksanaan penggunaan

kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan sistem pinjam pakai kawasan hutan selagi tidak mengakibatkan kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dengan pola pertambangan tertutup. Pinjam pakai penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan oleh pengguna (pemohon) harus memenuhi sejumlah persyaratan dan kewajiban sebagaimana

(19)

diatur dalam ketentuan Pasal 12 hingga Pasal 14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Demikian pula dalam ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan, Pasal 1 angka 1, Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan adalah penggunaan kawasan hutan

lindung untuk segala bentuk kegiatan di bidang pertambangan tanpa mengubah peruntukan dan

fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan lindung pada kegiatan pertambangan, baik pada tahap eksplorasi maupun pada tahap eksploitasi oleh pengguna kawasan harus

memenuhi sejumlah kewajiban sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 7 hingga Pasal 14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004.

Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan tersebut,

menunjukkan bahwa komitmen dan konsistensi

dalam hal penegakan hukum kehutanan tidak serius untuk

mempertahankan dan memelihara kelestarian fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai sistem penyangga

kehidupan manusia

(masyarakat) pada umumnya, dan khususnya masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, karena hutan tersebut tidak lagi berfungsi sebagai pelindung/ekologi, produksi, sosial-ekonomi dan budaya.

Dampak penting terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup secara langsung akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas di dalam kawasan hutan adalah kerusakan ekologi, berupa pengurangan debit air sungai dan tanah, karena eksploitasi tambang dimulai dari pembukaan hutan, pengupasan lapisan tanah dan gerusan tanah pada kedalaman tertentu. Tata air mengalami perubahan dan terjadi sedimentasi, banjir dan lonsor.

Di Kecamatan Rarowatu, sungai dan

cabang-cabang sungai yang sebelum ada kegiatan pertambangan menjadi sumber air bagi masyarakat (termasuk persawahan), dan setelah

adanya kegiatan pertambangan telah merusak

bentang sungai, meninggalkan lubang-lubang dengan ke dalaman 5 – 10 meter. Hal ini berdampak pula bagi petani sawah sekitar 500 Ha menjadi lahan tidur karena kekeringan sehingga sebahagian petani beralih profesi ke tambang dan sebahagian mengangur.

2. Dampak terhadap Pertanian (penurunan debit/aliran air)

Parameter debit/aliran sungai dengan adanya

(20)

kegiatan pertambang-an bahan galian emas menimbulkan dampak. Hal ini disebabkan oleh kondisi awal parameter debit/aliran sudah berada dalam kondisi buruk, disebabkan karena telah ada

kerusakan kawasan hutan/revegetasi, yang diduga

karena pengaruh kegiatan pertambangan bahan galian emas dalam kawasan hutan.

Meskipun parameter debit/aliran sungai relatif

kecil, tetapi strategis dan penting untuk dikelola secara lestari, karena pada hakekatnya kegiatan eksplorasi pertambangan bahan galian emas telah melakukan pembukaan hutan, lapisan tanah dikupas dan digerus dari permukaan hingga ke dalaman tertentu, tata air dirombak, karena kandungan emas, tembaga dan mineral berada dalam tanah pada ke dalaman dan lapisan tertentu dari perut bumi. Kegiatan ini menyebabkan terganggunya tata air setempat, resiko bencana longsor serta banjir dan kerusakan besar di puluhan anak sungai. Bantaran sungai menjadi kubangan air yang tak lagi menjamin ketersediaan air bersih bagi warga masyarakat setempat. Pendunlangan menggali lubang pada ke dalaman 5-10 meter, menggerus tanah untuk mencari butir emas.

Dampak yang timbul akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas tersebut

dari segi pemanfaatan air bagi pertanian telah mengalami kekurangan sumber air dan debir/aliran air rendah serta menyebabkan terjadinya kekeringan pada areal persawahan pada umumnya, khususnya pada areal persawahan di Kecamatan Rarowatu Utara. Berdasarkan informasi dari Penyuluh Pertanian Kec. Rarowatu Utara, bahwa Pada tahun 2009 luas tanam 28 Ha, tidak ada yang panen (puso). Pada tahun 2010 luas tanam 1.227 Ha dan hasil panen atau produksi 4,7 ton/Ha. Pada tahun 2011, luas tanam 605 Ha; puso 330 Ha dan panen 275 Ha dengan jumlah produksi 3,5 ton/Ha; dan Pada tahun 2012 luas tanan 898 Ha, panen atau jumlah produksi 4,2 ton/Ha, ini naik produksinya karena petani menggunakan mesin pompa air atau sumur bor sebagai sumber air pertanian (Wawancara, Arsi, SP, Penyuluh Pertanian, Kec. Rarowatu Utara, Tanggal 6 Desember 2012).

Pada tahun 2011 dua kelompok tani; Kelompok Tani Sipatuo Sipatokkong dengan luas tanam 18 Ha, dan Kelompok Tani Mappadeceng dengan luas tanam 43 Ha (total 61 Ha), gagal total panen akibat dari dampak kegiatan pertambangan bahan galian emas PT Sultra Utama Nikel (SUN) karena ketika padi mau dipanen tanggul

(21)

perusahaan tersebut jebol dan limbahnya (lumpur) mengalir dan menimbun lahan persawahan. Sebagai kompensasinya, perusahaan memberikan ganti kerugian senilai Rp. 3.700.000 per/Ha (Wawancara, Arsi, SP, Penyuluh Pertanian Kec. Rarowatu Utara dan Justang, Masyarakat Tani, Tanggal 7 Desember 2012).

Dengan kegiatan pertambangan bahan galian emas dalam wilayah Kecamatan Rarowatu Utara menimbulkan dampak di bidang pertanian, berupa menurunnya produktivitas tanaman padi disebabkan antara lain: a. terjadinya kekurangan air (kekeringan areal persawahan), karena air sungai Langkowala dibendung oleh perusahaan dan dijadikan sebagai bahan material pengelolaan emas, sehingga air sungai tidak mengalir ke persawahan; b. Petani pada umumnya beralih profesi dari petani ke penambang emas; dan c. Karena petani tidak lagi serentak bertani sawah, sehingga yang bertani sawah gagal panen karena tanaman padinya diserang hama.

Bahkan di Desa Wumbu Bangka, kegiatan pertanian tidak ada sama sekali, luas lahan pertanian 60 Ha, hanya sebagai lahan tidur sejak tahun 2009 hingga sekarang (wawancara, Sumo Sunar, Ketua Kelompok Tani Tete Tarai, Desa Wumbu Bangka, Kecamatan Rarowatu Utara,

Tanggal 6 Desember 2012).

Dengan keberadaan pertambangan ini di Desa

Wumbu Bangka juga tidak memberikan kesejahtraan bagi masyarakat di dalam dan sekitar lokasi pertambangan PT. Panca Logam Makmur, masyarakat setempat bekerja di perusahaan pertambangan dengan sistem bagi hasil 30 : 70, yaitu 30 % untuk pekerja dan 70% untuk perusahaan (peralatan atau mesin yang dipergunakan disediakan oleh perusahaan). Selain itu, juga ada sistem pekerja harian, yakni pekerja dengan peralatan sendiri serta biaya sendiri menambang di lokasi pertambangan perusahaan dengan menyetor 3 gram per/hari. Jika tidak mencapai target yang ditentukan diberhentikan, dan harus bermohon kembali jika mau menambang lagi (wawancara,

Sumarto, Penambang, Tanggal 6 Desember 2012).

Untuk itu, dampak penting yang dialami oleh petani akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas dalam kawasan hutan mulai dirasakan di 15 desa/kelurahan pada 2 (dua) kecamatan (Lantari Jaya dan Rarowatu Utara) mengalami kekurangan air dan mengakibatkan sekitar 500 Ha sawah puso. Sebelum ada kegiatan pertambangan rata-rata setiap petani memperoleh 5-6 ton gabah per sekali panen, dan kini setelah ada kegiatan pertambangan petani

(22)

kehilang sekitar 2500 ton gabah.

Kekhawatiran paling mendasar dengan kehadiran pertambangan bahan galian emas, secara bertahap terjadi kekurangan pangan dan akan memiskinkan masyarakat setempat pada khususnya, karena persedian pangan pada kawasan relatif berkurang dan menggantungkan suplay pangan dari luar kawasan atau luar daerah. Dalam hal ini apa yang menjadi kebijakan pemerintah mengenai ketahanan pangan, sulit tercapai sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan dimaksud adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Konsep ketahanan pangan berkaitan dengan beberapa konsep turunannya, seperti kemandirian pangan yang menunjukkan kapasita suatu kawasan (pertanian) untuk memenuhi kebutuhan pangan secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi pangan dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar daerah (sistem masyarakat kawasan), maka semakin berkurang derajat kemandiriannya dalam penyediaan pangan dan begitu

sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga

ditunjukkan oleh lemahnya kapasitas kawasan (pertanian) untuk menyediakan pangan bermutu, aman, dan terjangkau melalui usaha-usaha sendiri atau mandiri tanpa bantuan dari pihak luar.

Konsep lain yang berkaitan dengan ketahanan pangan adalah apa yang dikenal dengan istilah “kedaulatan pangan”, yaitu selain memperhitungkan ketersediaan pangan secara memadai dan mandiri bagi masyarakat yang hidup pada

kawasan (pertanian) bersangkutan, juga memperhitungkan siapa yang

menguasai sumber-sumber pangan dan siapa yang termarjinalisasi atas sumber-sumber pangan yang tersedia pada kawasan pertanian tersebut.

Untuk mengatasi kelangkaan pangan bagi masyarakat setempat akibat dampak penting kegiatan pertambangan bahan galian emas dalam wilayah Kecamatan Rarowatu, dan jika kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, bahwa

mekanisme antisipasi kerawanan pangan dapat dikembangkan dengan modifikasi kelembagaan pangan lokal sejenis lumbung pangan di setiap desa/kelurahan. Kelembagaan pangan lokal dalam bentuk lumbung pangan desa diharapkan mampu hidup dan

(23)

tumbuh sebagai lembaga cadangan pangan desa, yang memiliki peran dan fungsi sebagai unit pelayanan pemerintah di bidang pangan di tingkat lokal (desa), maupun sebagai stok pangan lokal semacam bulog di tingkat desa.

Hal tersebut, juga merujuk pada Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan. Kementerian

Dalam Negeri (Kemdagri) secara berkelanjutan telah

mendorong proses pemberdayaan masyarakat

melalui fasilitasi untuk berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan lokal dalam bentuk lumbung pangan desa (masyarakat). Kehadiran lembaga ini dimaksudkan untuk mendorong partisipasi masyarakat di bidang pangan sesuai dengan potensi modal sosial yang ada di tingkat lokal (desa).

3. Dampak terhadap Penuru-nan Kualitas Air

Komponen kualitas air yang terkena dampak penting berupa sifat fisik dan kimia organik air. Dampak penting ini bersifat negatif ditimbulkan oleh komponen kegiatan pertambangan bahan galian emas dengan menggunakan air raksa dalam pengolahan atau pendulangan emas. Parameter fisik, kimia

dan biologi air lainnya dengan

adanya kegiatan pertambangan bahan galian

emas ini secara holistik termasuk kategori besaran kecil, karena kondisi awal kualitas air dari sifat-sifat tersebut sudah jelek yang diduga karena kegiatan pendulangan bahan galian emas tidak tertib yang dilakukan oleh masyarakat sekitar bantaran sungai dengan menggunakan air raksa.

Untuk itu, kandungan merkuri di sumber mata air sungai dan/atau bendungan Langkowala mencapai 0,98 mg perliter air. Kandungan merkuri sebesar itu, jauh lebih besar sekitar 490 kali lipat dari ambang batas yang toleransi, yakni 0,002 mg per/liter. Bendungan sungai

Langkowala, sentral permukiman enam (SP-6)

Wumbu Bangka, SP-8 eks pertambangan rakyat, dan Sungai Langkowala sebagai tempat lokasi kandungan merkuri yang paling tinggi. Selain itu, tubuh Sungai Langkowala, Wumbu Bangka dan Tahi Ite, kini sudah tertimbung tanah galian dan daerah tangkapan air berubah menjadi lubang-lubang besar dan dalam. Perusahaan yang melakukan penambangan (PT Panca Logam) mengeruk dan mengupas gunung dan memoton aliran sungai untuk pembuatan cek dam. Terdapat sejumlah bekas kerukan yang secara detail tidak diketahui

(24)

berfungsinya sebagai apa, selain pembuatan jalan produksi.

Hal-hal tersebut, memaju deforestasi, karena perubahan bentang alam yang sangat besar telah terjadi di wilayah tersebut. Pelaku penambang (khususnya penambang liar yang melakukan penambangan di bantaran sungai) selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah konsentrasi logam atau mineral di dalam tanah, perusahaan pertambangan melakukan penggalian di mulai dengan mengupas tanah bagian atas yang disebut tanah pucuk atau top soil (seperti yang dilakukan oleh PT Panca Logam Nusantara).

Kegiatan pertambangan bahan galian emas yang dilakukan oleh perusahaan

pertambangan dan pertambangan liar (tanpa izin

penambangan) yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu dengan menggunakan bahan kimia berupa air raksa atau merkuri dan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan (air dan tanah) merupakan tindakan yang melanggar hak asasi

manusia sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan

Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan

bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Konsekuensi logis dari hak atas lingkungan yang baik dan sehat tersebut, maka setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam

ketentuan Pasal 67 UU Nomor 32 Tahun 2009. Bagi setiap orang atau perusahaan pertambangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pertambangan bahan galian emas, berkewajiban: menjaga keberlajutan fungsi lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup (Pasal 68 hurup b dan c UU Nomor 32 Tahun 2009). Untuk itu, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, membuang limbah ke media lingkungan hidup, membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup (Pasal 69 ayat (1) hurup a,e dan g UU Nomor 32 Tahun 2009). Tindak pidana terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 69 ayat (1) hurup g tersebut adalah kejahatan dan sanksinya pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling banyak 3 miliar rupiah.

(25)

4. Dampak terhadap Sosial Budaya

Komponen sosial dan budaya yang terkena dampak penting akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas adalah kesenjangan sosial antar pendatang dan penduduk setempat karena, mayoritas masyarakat dari luar (pendatang) bekerja pada perusahaan pertambangan sedangkan masyarakat setempat kurang terakses keberja dipertambangan. Kalau ada masyarakat setempat yang bekerja dipertambangan hanya sebahagian kecil dan sebahagian besar tidak terakses bekerja dalam penambangan, sehingga sebahagian petani yang tidak bertani lagi karena kelangkaan atau kekuarangan air pertanian. Akibatnya akan terjadi dampak sosial tersistemik berupa; terjadinya kekurangan pangan yang akan mengakibatkan kemiskinan dan akan meningkat tingkat kriminalitas berupa pencurian karena terdesak akan kebutuhan hidup. Selain itu, terjadi perubahan norma-norma dalam kehidupan sosial dan budaya, karena pengaruh masyarakat dari luar (pendatang), seperti adanya billyard, café tenda di lokasi pertambangan

(perkampungan) dan tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpanan norma-norma kehidupan.

Dampak sosial dan budaya lainnya, pemukiman penduduk masuk dalam lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) terutama di Desa Wumbu Bangka, Desa Marga Jaya dan Kelurahan Aneka Marga serta sekaligus merupakan kecemasan dan keresahan bagi masyarakat di Desa dan Kelurahan tersebut. Parameter dampak terhadap lingkungan sosial dan budaya dengan keberadaan kegiatan pertambangan bahan galian emas ini secara holistik termasuk kategori tingkat besaran dampak kecil, akan tetapi jika ditinjau dari aspek jumlah dampak dengan kategori skala kepentingan dampak penting. Dengan

demikian parameter komponen sosial dan budaya

selain parameter kesenjangan sosial dan norma-norma kehidupan sosial perlu perhatian, jika tidak akan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan sosial dan budaya. 5. Dampak terhadap Ekonomi

Komponen ekonomi yang terkena dampak penting dengan keberadaan kegiatan pertambangan bahan galian emas berupa; sumber pencaharian, kesempatan kerja, pendapat keluarga, aksesbilitas dan perekonomian lokal. Dampak penting yang terjadi akibat kegiatan pertambangan berupa penurunan penghasilan masyarakat yang semula

(26)

berprofesi sebagai petani, tidak lagi bertani karena air yang mengalir ke areal persawahan dibendung oleh

pihak perusahaan pertambangan mengakibatkan

areal persawahan masyarakat tidak difungsikan lagi atau menjadi lahan tidur, sehingga pendapatan masyarakat di wilayah Kecamatan Rarowatu Utara setiap tahunnya 5 (lima) milyar sebelum ada pertambangan, kemudian turun menjadi 2 (dua) milyar setelah adanya pertambangan.

Untuk itu, seyogyanya pengelolaan pertambangan dari aspek ekonomi merupakan salah satu upaya

mewujudkan dan meningkatkan kesejahtraan

rakyat dengan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dalam hal ini usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi kesejahtraan rakyat, khususnya masyarakat di dalam dan di sekitar wilayah pertambangan. Sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut, mengandung arti bahwa di satu pihak negara berhak menguasai bumi, air

dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, dan di lain pihak negara berkewajiban memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahtraan rakyat.

Dalam hal ini pemanfaatan sumber daya tambang dilakukan dengan strategi pengelolaan tambang berkelanjutan yang berbasis lingkungan, sosial, dan ekonomi. Artinya, kebijakan pengelolaan pertambangan harus terintegrasikan ketiga unsur: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Unsur lingkungan merupakan unsur yang menjadi pertimbangan untuk

menentukan kelaikan investasi, sedangkan unsur

sosial dan ekonomi merupakan proses pengelolaan pertambangan

untuk keputusan investasi. Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa

perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Untuk itu, pengelolaan

pertambangan bersifat partisipatif, di mana masyarakat setempat secara proporsional diikiutsertakan dalam proses kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan

(27)

pertambangan. Hal tersebut merupakan pencerminan asas demokrasi, desentralisasi, dan hak asasi manusia; sehingga masyarakat secara moral ikutserta dan bertanggung jawab atas kelangsungan kegiatan pengelolaan pertambangan.

Dengan strategi tersebut, akan tercipta suatu

sistem pengelolaan pertambangan yang aspiratif

dan akomodatif, serta merupakan suatu upaya untuk mencegah timbulnya konflik (sengketa hukum) atas penggunaan lahan dan hak-hak di atas lahan antara masyarakat setempat dengan pihak perusahaan pengelola tambang bahan galian emas.

Dengan demikian, startegi pengelolaan pertambangan berkelanjutan

yang berbasis lingkungan, sosial dan ekonomi dilakukan dengan langkah-langkah strategi sebagai berikut: 1. Penegakan norma-norma hukum pertambangan dan hukum lingkungan, 2. Perlindungan dan kepastian wilayah izin usaha pertambangan, dalam ha ini penetapan tapal batas wilayah izin usaha pertambangan secara jelas, baik tapal batas lur (batas wilayah) maupun tapal batas dalam (fungsi) guna mencegah timbulnya penggunaan lahan tumpang tindih antara lahan masyarakat dengan wilayah (lokasi) izin usaha pertambangan, untuk menjami kepastian usaha.

6. Dampak terhadap Kesehatan Lingkunga dan Kesehatan Masyarakat

Komponen kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang terkena dampak penting akibat kegiatan pertambangan bahan galian emas di Kecamatan Rarowatu Utara berupa kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Dampak terhadap

parameter kesehatan lingkungan dan kesehatan

masyarakat lainnya yaitu ketersediaan air bersih, pola penyakit dan prevalensi rate dengan adanya kegiatan pertambangan bahan galian emas ini secara holistik termasuk kategori tingkat besaran dampak kecil, karena dari kondisi awal telah menunjukkan kualitas lingkungan kategori buruk dan akan diperparah lagi dengan adanya komponen kegiatan pertambangan bahan galian emas dan sekaligus menjadi sumber penyebab kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang dampaknya berada pada kategori kualitas buruk (Sumber: analisis dokumen AMDAL pada perusahaan pertambangan).

Untuk itu sumber penyebab dampak terhadap pola penyakit dan prevalensi rate dikelola secara baik untuk mencegah dan mengurangi penyebaran dampak, sedangkan ketersediaan air bersih dicarikan solusinya sehingga

(28)

terpenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat setempat yang berada di dalam dan sekitar wilayah pertambangan bahan galian emas. Hal ini karena proses kegiatan pertambangan selalu dibarengi dengan penurunan kualitas lingkungan hidup yang dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang dan berdampak penting bagi masyarakat dan lingkungan hidup itu sendiri.

Terwujudnya

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtra lahir dan bathin, …….., dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Ketentuan konstitusi tersebut, lebih dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 65 UU Nomor 32 Tahun 2009, pada ayat (1) setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia; ayat (3) setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang

diperkirakan dapat menimbulkan dampak

terhadap lingkungan hidup, dan ayat (5) setriap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Untuk memenuhi hak-hak manusia atas lingkungan yang baik dan sehat, maka pengelolaan pertambangan bahan galian emas dikelola secara bijaksana dan berwawasan lingkungan serta mengikutsertakan masyarakat, dan dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transpran dan lengkap terhadap rencana kegiatan pertambangan bahan galian emas serta dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungan hidup yang akan terjadi.

V Penutup 1. Simpulan

Berpangkaltolak dari la-tar belakang masalah dan pemba-hasan hasil penelitian, disimpulkan bahwa kegiatan pertambangan bahan galian emas di Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bom-bana menimbulkan dampak pent-ing terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup, berupa: 1. Dampak terhadap kerusakan fung-si hutan, secara langsung pada ke-rusakan ekologi, berupa penguran-gan debit air sungai dan tanah, ka-rena eksploitasi tambang dimulai dari pembukaan hutan, pengupa-san lapipengupa-san tanah dan gerupengupa-san ta-nah pada kedalaman tertentu, se-hingga tata air mengalami peruba-han dan terjadi sedimentasi, banjir dan lonsor; 2. Dampak terhadap pertanian dari segi pemanfaatan air bagi pertanian telah mengalami kekurangan sumber air dan de-bir/aliran air rendah serta

(29)

menye-babkan terjadinya kekeringan pada areal persawahan pada wilayah Kecamatan Rarowatu Utara Kabu-paten Bomban; 3. Dampak terha-dap penurunan kualitas air, dengan menggunakan air raksa dalam pengolahan atau pendulangan emas, maka kandungan merkuri dari sumber mata air sungai dan/atau bendungan Langkowala mencapai 0,98 mg perliter air, jauh lebih besar sekitar 490 kali lipat dari ambang batas yang toleransi, yakni 0,002 mg per/liter. Tindakan tersebut melanggar hak asasi ma-nusia sebagaimana ditegaskan da-lam ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak atas lingkun-gan hidup yang baik dan sehat se-bagai bagian dari hak asasi manu-sia; 4. Dampak terhadap sosial budaya; berupa kesenjangan sosial antar pendatang dan penduduk setempat karena, mayoritas masyarakat dari luar (pendatang) bekerja pada perusahaan pertambangan sedangkan masyarakat setempat kurang terakses keberja dipertambangan. Selain itu, akan terjadi dampak sosial tersistemik berupa; terjadinya kekurangan pangan yang akan mengakibatkan kemiskinan dan akan meningkat tingkat kriminalitas berupa pencurian karena terdesak akan kebutuhan hidup; 5. Dampak terhadap ekonomi, berupa penurunan penghasilan masyarakat yang semula berprofesi sebagai petani, tidak lagi bertani karena air yang mengalir ke areal persawahan dibendung oleh pihak

perusahaan pertambangan mengakibatkan areal persawahan

masyarakat tidak difungsikan lagi atau menjadi lahan tidur, sehingga pendapatan masyarakat di wilayah Kecamatan Rarowatu Utara setiap tahunnya 5 (lima) milyar sebelum ada pertambangan, kemudian turun menjadi 2 (dua) milyar setelah adanya pertambangan, karena banyaknya lahan masyaraakat tidak berfungsi lagi

sebagaimana fungsi peruntukannya; dan 6. Dampak

terhadap kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat, berdampak pada ketersediaan air bersih, pola penyakit dan prevalensi rate dengan kegiatan pertambangan bahan galian emas ini secara holistik termasuk kategori tingkat besaran dampak kecil. Terwujudnya lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 65 UU Nomor 32 Tahun 2009, bahwa setiap orang: berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia; berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup; dan juga berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

2. Saran

Berdasarkan pada simpulan tersebut, disarakan hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mencegah timbulnya dampak penting kegiatan pertambangan terhadap

(30)

kelestarian fungsi lingkungan hidup, seyogyanya pada pihak yang terkait, Pemerintah Daerah, Pengusaha, dan Masyarakat mempunyai persepsi dan komitmen yang sama serta konsisten menaati norma-norma hukum lingkungan dan hukum pertambangan dalam rangka mewujudkan pertambangan yang berwawasan lingkungan.

2. Untuk mengatasi kelangkaan atau kekurangan pangan masyarakat dalam wilayah Kecamatan Rarowatu Utara akibat dampak kegiatan pertambangan, perlu dibangun suatu kelembagaan pangan dalam bentuk lumbung pangan pada setiap desa/kelurahan. 3. Terwujudkan lingkungan hidup

yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, maka semua pihak wajib menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan demi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.

Daftar Pustaka

Mohammad Askin, (2010), Seluk Beluk Hukum Lingkungan Disesuaikan Dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, Pen. Nekamatra, Cet. I, Jakarta

Muhammad Erwin, (2008), Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup), Pen. Refika Aditama, Cet, I, Bandung

Muhammad Ja’far, (2006), Peran Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Dan Pelaporan

Kinerja Lingkungan Oleh Perusahaan-Perusahaan Publik di Indonesia, Laporan Hasil Penelitian

Muh. Jufri Dewa, (2011), Implementasi Peranserta Masyarakat Dalam Memelihara Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Pada Kawasan Pertambangan Emas di Bombana, Laporan Hasil Penelitian, Kendari

Sus Yanti Kamil, Tambang Emas Bombana; Berkah Atau Ancaman?, Dewan Daerah WALHI Sulawesi Tenggara Sekretaris Sarekat Hajau Indonesia Wil. Sultra

Anonim, SinarHarapan: Sumber Air di Bombana Terancam Merkuri, http://www.sinarharapan.co.id/c etak/berita/red/

---, Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkelanjutan, http://trit0824.student.ipb.ac.id/2 010/06/20

---, Ruang Bebas: Kerusakan Lingkungan Oleh Industri, http://deeruangbebas.

blogspot.com/2010/07

---, Peranan Manusia Dalam Pengelolaan Lingkungan, http://gurumuda. com/bse

---, Seminar NasionalEGSA Fair 2011: Peran Industri Dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, http://www.ugm.ac.id/index.php ? page=rilis&artikel=3360 ---, Implementasi Tanggungjawab Perusahaan terhadap Lingkungan Sekitar, http://radjafahmi.multiply.com/j ournal/item/8

(31)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009

tentang Pertambangan Batu Bara dan Minirel

Kabupaten Bombana Dalam Angka Tahun 2012

Kecamatan Rarowatu Dalam Angka Tahun 2012.

(32)

TELAAH YURIDIS PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Oleh : Rasmuddin

(Staf Pengajar Fak. Hukum Unhalu)

Abstrak

Perjanjian Kerja Bersama merupakan salah satu sarana yang strategis dalam pelaksanaan hubungan industrial di perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama menjadi sarana pemenuhan hak dan kewajiban bagi para pihak yakni pekerja dan pemberi kerja, serta mengatur bagaimana penyelesaiannya jika terjadi perselisihan hubungan industrial yang terjadi, serta memberikan jaminan kepastian hukum dalam melakukan tugas masing-masing. Oleh karena itu, tujuan pembuatan perjanjian kerja bersama adalah untuk mempertegaskan dan memperjelas hak dan kewajiban, menetapkan secara bersama mengenai syarat-syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sehingga dapat mendorong terciptanya hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.

Kata kunci : Perjanjian Kerja Bersama, Pemnuhan Hak dan Kewajiban

I. Pendahuluan

Terbentuknya sistem hubungan industrial disuatu negara sangat dipengaruhi dan didasarkan pada falsafah bangsa dan negara tersebut, sehingga sistem hubungan industrial disetiap negara tidak akan sama karena didasarkan pada falsafah negara masing-masing. Hubungan Industrial di Indonesia adalah suatu sistem yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 (Agus Suharmanu, dikutip dari http://www.nakertrans.go.id / majalah buletin/info hukum/vol 2 vi 2004/tata cara pembuatan perjanjian.php : 2005)

Hubungan antara pekerja dengan penyedia jasa (pengusaha) terjadi karena adanya hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja. Perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Paryadi (2004 : 92).

Kondisi yang diinginkan dari sistem hubungan industrial di Indonesia adalah terciptanya suasana hubungan kerja yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Dalam rangka mewujudkan hubungan kerja yang harmonis, dinamis dan berkeadilan tersebut, maka para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa wajib memahami dan mengetahui secara jelas hak dan kewajiban

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan setelah dianalisis, maka penelitian ini dapat

Radio Teletype (RTTY).. Masih banyak kelas emisi lainnya yang dapat dipergunakan oleh seorang Amatir Radio namun pada prinsipnya caranya sama dengan salah satu jenis kelas Emisi

Dengan sorotan global pada pasar hewan hidup yang menjual satwa liar bersama spesies domestik, termasuk anjing dan kucing untuk diambil dagingnya, komunitas global dan

+menginput data mahasiswa() +menginput data dosen() +menginput data matakuliah() +menginput data pertanyaan() +menginput data kategori() +menginput data fakultas() +menginput

Dapat dikatakan juga bahwa sebagian besar populasi mikroba pada MacConkey Agar adalah bakteri Gram negatif yang kurang resisten terhadap iradiasi, sehingga semakin

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa maraknya anak jalanan di Kota Bengkulu disebabkan masih kurangnya tindakan pemerintah terhadap anak jalanan.

Dari uraian berbagai peraturan seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa eksplorasi adalah merupakan kegiatan survey atau penelitian awal apakah usaha

Data dari hasil penelitian yang sudah melalui proses reduksi data kemudian peneliti sajikan dalam bentuk tabel dan teks narasi yang dilengkapi dengan beberapa