• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. terhadap beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. terhadap beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2. 1. Akulturasi Budaya

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), istilah akulturasi diartikan sebagai penyerapan yang terjadi oleh seorang individu atau sekelompok masyarakat, terhadap beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari kontak atau interaksi dari kedua kelompok kebudayaan tersebut, sedangkan akulturasi budaya diartikan sebagai hasil interaksi manusia berupa pencampuran dari beberapa macam kebudayaan secara perlahan menuju bentuk budaya baru.

Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya.

Mengenai pengertian tentang akulturasi, Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1990: 253-254) juga mengemukakan bahwa:

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri.

Perhatian terhadap saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk kedalam kebudayaan penerima, akan memberikan suatu gambaran yang konkret tentang jalannya suatu proses akulturasi (Koentjaraningrat, 1990: 253-254).

(2)

Proses dari wujud akulturasi kebudayaan, terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian masing-masing dari kebudayaan tersebut berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan. Hasil dari proses wujud akulturasi kebudayaan tersebut, dapat dilihat pada Bahasa, Religi dan Kepercayaan, Organisasi Sosial Kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Kesenian dan Bentuk Bangunan. Bentuk dari perwujudan akulturasi budaya, merupakan salah satu hasil aktivitas manusia dalam menjalankan proses perpaduan budaya.

Adapun teori tentang bangunan Islam dan China yang dikemukakan oleh Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina – Islam – Jawa (2005: 175-182), yaitu:

…terdapat beberapa kajian tentang Muslim China di Jawa yang merupakan sebuah warisan kebudayaan berupa bangunan kuno yang mencerminkan adanya akulturasi dua kebudayaan. Kebudayaan China Islam dan Jawa tersebut dapat dilihat pada arsitektur bangunan tua, ornamen serta sejarah yang mencerminkan tentang adanya akulturasi dari dua kebudayaan tersebut. Acuan pertama pada kebudayaan islam dapat dilihat pada berbagai macam ornamen bangunan yang memiliki makna ajaran islam, ukiran kaligrafi serta simbol-simbol yang mengandung makna akhlak bagi diri sendiri, agama dan lingkungan disekitarnya. Acuan kedua adalah kebuadayaan China yang dapat dilihat pada bentuk atap bersusun melengkung keatas, ukiran-ukiran serta warna khas China dan keramik-keramik khas Tiongkok yang mendominasi bangunan-bangunan dan situs kuno tersebut…

Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik), selalu menimbulkan perpaduan antara kebudayaan inti (kebudayaan asli) dengan kebudayaan luar lainnya. Konsep melting pot (tempat bertemunya berbagai suku, agama dan tempat persinggahan antar bangsa) merupakan salah satu hasil dari sebuah wujud akulturasi budaya, ketika unsur-unsur kebudayaan saling bertemu dan melebur menjadi satu kebudayaan. Proses perubahan kebudayaan tersebut,

(3)

terjadi dikarenakan adanya kontak langsung terus menerus dengan kebudayaan asing yang berbeda (ada unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, ada juga yang sukar diterima bahkan ditolak).

2. 2. Masuknya Bangsa China di kota Cirebon

Kota Cirebon bukan sekedar nama tanpa sejarah, Cirebon merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang terletak di pesisir pantai bagian Utara Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan kota air. Lokasinya yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuat kota Cirebon berperan sebagai jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda, sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, bahwa Cirebon bukanlah Jawa dan bukan pula Sunda.

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Gandrasta Bangko, “Caruban: Tiga Budaya, Tiga Keraton”, 27 Maret 2006, yaitu:

Cirebon berasal dari kata Caruban yang mengandung arti “tempat pertemuan atau persimpangan jalan”, ada juga yang meyakini bahwa Cirebon berasal dari kata Carub (bahasa Jawa) yang berarti “campuran”. Pengembara Portugis Tome Pires, menyebutkan bahwa bentuk dari kata Caruban dicatat sebagai Choroboarn, dari kata tersebut berubah ucapan menjadi Carbon, Cerbon, Crebon, lalu disebut Cirebon. Kata Ci mengandung makna air atau aliran sungai dan rebon mengandung makna udang kecil. Jadi, Cirebon memiliki arti “sungai yang mengandung banyak udang”. (www.kompas.com/kompas-cetak/0508/26/daerah/20 02279.htm).

(4)

Budayawan Cirebon, Nurdin M. Noor juga menyimpulkan bahwa sosok kota Cirebon berkembang hingga saat ini tidak hanya cerminan dari karya, rasa dan karsa (buah pikiran, akal dan budi), melainkan pem-bias-an dari kebudayaan asing seperti kebudayaan Sunda, Jawa, Arab, China dan India. Sebagai daerah pesisir, sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh ajaran Islam, kota Cirebon merupakan sebuah pelabuhan penting disepanjang pesisir Utara Pulau Jawa. Karena letaknya yang sangat strategis, kota Cirebon menjadi sangat terbuka bagi interaksi kebudayaan yang meluas dan mendalam, sehingga kota Cirebon menjadi lintas perbatasan antar daerah dan merupakan daerah melting pot yaitu tempat bertemunya berbagai suku, agama dan tempat persinggahan antar bangsa yang dikenal sebagai kota perdagangan dan pusat perekonomian bagi kalangan pedagang nasional maupun internasional.

Adapun mengenai perkembangan kota Cirebon dengan bangsa China, yang disampaikan oleh Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina – Islam – Jawa (2005: 73), mengemukakan bahwa:

Setelah Dinasti Sung, yakni Dinasti Tang (618-906) China dan Jawa dijadikan rute pelayaran tetap dan juga terjadi kontak dengan Jawa, baik untuk keperluan niaga maupun sekedar menjalin persahabatan antar kedua Negara (misalnya pertukaran cinderamata).

Dan sejak saat itulah, mulai terjadi hubungan kerjasama yang intensif antara kota Cirebon dengan bangsa China, baik dalam menjalankan hubungan diplomatik antar kedua Negara maupun dalam hubungan ekonomi dan perdagangan. Bangsa China yang pada saat itu dikenal sangat maju dalam bidang perekonomian dan perniagaan, juga memiliki peran penting dalam proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di kota Cirebon Jawa Barat. Hubungan

(5)

kerjasama antara bangsa China dengan kota Cirebon terus berlanjut intensif hingga China dikuasai oleh Dinasti Ming (1368-1644), sebuah rezim yang memberikan apresiasi cukup besar terhadap komunitas Muslim di daratan China.

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Redaksi Swara Muslim, “Makna Kerukunan Dari Pelayaran Cheng Ho”, 6 Agustus 2005, yaitu:

Agama Islam yang mendapatkan perhatian besar dari Kaisar, memerintahkan seorang tokoh Muslim Tionghoa bernama Laksmana Cheng Ho (郑 和 ) atau

dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (馬三保) yang berasal dari etnis Hui di Yunan,

untuk melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa. Pada saat itu Laksmana Cheng Ho melibatkan 27.000 anak buah dan 308 perahu besar, bersama beberapa para petinggi ekspedisi Muslim Tionghoa lainnya seperti Ma Huan, Wai Ping dan Kung Wu Ping, menyempatkan diri untuk singgah di kota Cirebon sebelum bertolak ke kota Semarang. Tepat di daerah sekitar Puncak Bukit Amparan Jati (sekarang bernama Bukit Jati) yang dianggap sebagai puncak dari Pelabuhan Muara Jati, pada tahun 1415 Laksmana Cheng Ho bersama para petinggi ekspedisi Muslim Tionghoa mendirikan sebuah mercu suar (light house), yang bertujuan untuk mempermudah kapal-kapal yang akan singgah pada malam hari di kota Cirebon. Bangunan berupa pagoda China dengan atap bertingkat tersebut, dimaksudkan sebagai monumen untuk mengingat keberadaan orang-orang China di Pulau Jawa, khususnya di kota Cirebon dalam rangka misi kerjasama Tiongkok dengan kerajaan di Nusantara. Pada saat itu, Ki Ageng Tapa sebagai penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon memberikan kayu jati dan bahan-bahan makanan sebagai tanda

(6)

terima kasih kepada Laksmana Cheng Ho beserta pasukan armadanya. (http://swaramuslim.net/more.php?id=2_0_1_0_m).

Menurut pemerhati sejarah lokal Cirebon T. D. Soedjana, menyimpulkan bahwa misi Laksmana Cheng Ho tampaknya muhibah untuk menjalin hubungan bilateral dengan Negara-negara lain dalam meningkatkan pamor negeri Tiongkok dan menyimpan sebuah “agenda (rencana)” berupa Islamisasi dengan cara mendakwahkan ajaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Hal ini terbukti dengan adanya penempatan para duta Muslim Tionghoa disetiap daerah yang dikunjunginya.

Graaf dan Pigeaud dalam Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historitas dan Mitos (1998: 34 – 35), berpendapat bahwa:

Laksmana Haji Kung Wu Ping, seorang Muslim Tionghoa keturunan dari Konfusius mendirikan menara mercusuar di atas bukit Gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun pula komunitas Cina Muslim, yaitu di daerah Sembung, Sarindil dan Talang. Masing-masing daerah tersebut, dilengkapi sebuah Masjid agar memudahkan masyarakat Muslim Tionghoa dalam menjalankan ibadah shalat. Kampung Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal, kampung Talang ditugaskan memelihara pelabuhan dan kampung Sembung ditugaskan untuk memelihara mercu suar. Secara bersama-sama ketiga kampung Tionghoa Islam itu ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok Dinasti Ming. Pada waktu itu, daerah Cirebon penduduknya masih jarang, tetapi tanahnya sangat subur, karena terletak di kaki Gunung Ciremai.

Mengenai arus masuknya bangsa China di kota Cirebon, Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina – Islam – Jawa (2005-80), juga mengemukakan: “Dalam sejarah Dinasti Ming (明史), pada rentangan abad ke-14

hingga akhir abad ke-15 tidak kurang dari 43 duta Jawa datang ke Negeri China”. Ini artinya, telah terjadi hubungan baik antara Negeri China dengan Pulau Jawa, yang kemudian membuat masyarakat China secara bebas mendatangi Pulau Jawa

(7)

khususnya kota Cirebon. Seperti yang disaksikan Ma Huan, seorang sekretaris dan juru bicara Laksmana Cheng Ho bernama Islam Muhammad mengemukakan bahwa ekonomi yang kuat merupakan modal utama bagi para Muslim Tionghoa untuk menciptakan struktur sosial umat Islam yang mandiri dan otonom di kota Cirebon.

Dan sejak saat itulah, komunitas Muslim Tionghoa yang berasal dari Negeri China mulai berdatangan ke Pulau Jawa sebagai imigran. Migrasi tersebut terjadi dikarenakan kerusuhan sosial di China, ekspedisi politik atau hanya ingin mencari peluang baru yang menjanjikan bagi prospek ekonomi dan perdagangan mereka di Pulau Jawa, sebab pada saat itu iklim politik dan ekonomi di Pulau Jawa sangat terbuka (open management), sehingga memungkinkan bagi bangsa China untuk berinteraksi dan melakukan hubungan kerjasama di Pulau Jawa khususnya di kota Cirebon, Jawa Barat.

Graaf dan Pigeaud dalam Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historitas dan Mitos (1998: 46), berpendapat bahwa:

Pada awal abad ke-15, orang-orang Tionghoa yang ada di Pulau Jawa semuanya keturunan Yunnan dan Swatow. “Ma” dan “Bong” adalah nama keluarga Tionghoa dari Yunnan, sedangkan “Gan” merupakan nama keluarga dari swatow.

Para keluarga Tionghoa yang berasal dari daratan Tiongkok tersebut, pada umumnya adalah para Muslim Tionghoa yang taat pada ajaran Islam dan bekerja sebagai pedagang perantara, petani dan para pengrajin yang telah memilih untuk hidup menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Selain itu, mereka juga banyak mengajarkan tentang cara-cara membuat batu bata, genting, gerabah serta teknologi mesiu dan meriam-meriam berukuran besar.

(8)

2. 3. Tokoh-Tokoh Muslim Tionghoa di Kota Cirebon

Dalam konteks sejarah kebudayaan Islam di Pulau Jawa, pada rentangan abad ke-15 dan ke-16 merupakan sebuah kurun waktu yang disebut sebagai masa peralihan kebudayaan Hindu – Buddha, ditandai dengan tumbuhnya suatu kebudayaan baru yang menampilkan unsur kebudayaan Islam.

Asvi Warman Adam dalam Babad Tionghoa Muslim (2005), mengemukakan bahwa:

Ada berbagai teori tentang penyebaran agama Islam ke Nusantara ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa Islam yang berkembang di sini berasal Hadramaut, Arab Selatan. Pendapat kedua mengatakan bahwa penyebarannya justru datang dari India. Pandangan ketiga justru menyebutkan bahwa Islam yang berkembang di kepulauan ini berasal dari Cina.

Terlepas dari teori diatas, komunitas Muslim Tionghoa juga merupakan salah satu komunitas yang memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di kota Cirebon. Dalam mensyiarkan ajaran Islam, para Muslim Tionghoa di kota Cirebon saling bahu-membahu dalam menyebarkan dan memperluas ajaran serta entitas Islam Tionghoa, sehingga terjalin semacam kegiatan untuk menjalankan misi politik, pemerintahan dan keagamaan. Misi tersebut adalah untuk mewujudkan kekuasaan Islam dan mensosialisikan varian ke-Islaman bermahzab Hanafi sebagaimana yang berkembang di daerah China Selatan.

Hok Tjwan Sie dalam bukunya The 6th Overseas Chinese State (1990: 154), mengemukakan bahwa Maulana Raden Rahmat seorang Muslim Tionghoa yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel atau Bong Swie Hoo (溫 瑞 和 ),

(9)

Tionghoa di kota Bangil, Jawa Timur. Pusat Muslim Tionghoa tersebut ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti, karena berlaku maklumat Kaisar yang melarang orang-orang Tionghoa meninggalkan Negeri China.

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Asvi Warman Adam. “印度尼西亚科学院历史学

家”. 2006 年 1 月 29 日: 1445 年来到爪哇岛的温瑞和就是苏南安佩尔;温瑞和娶了颜英祖--1423 年调来厨闽的马尼拉华人甲必丹)的女儿妮格德﹒马尼拉为妻,生下波囊, 就是后来的苏南宝曩;苏南安佩尔和苏南古利收领和教养了波囊。颜英 祖的另一个孩子是颜四章,后来是三宝垄的华人甲必丹。1481 年颜四章 建造了淡目的伊斯兰教堂,他用木船结构的船杆作教堂坚固的竖柱。沙 益的苏南卡里嘉贾,就是颜四章;而苏南顾农贾提,即沙立夫希达悦都 拉 , 就 是 杜 亚 波 ; 而 苏 南 库 都 斯 即 查 法 尔 西 迪 就 是 蔡 迪 树 。 (http://osc2005.com/bbs/topiclist.aspx?themeId=194). Artinya:

Bong Swie Hoo yang datang di Jawa pada tahun 1445, sama dengan Sunan Ampel. Bong swie Hoo menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak dari Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban pada tahun 1423). Dari perkawinan ini, lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh oleh Sunan Ampel bersama dengan Sunan Giri, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Putera Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang, yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Pada tahun 1481, Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan tukang kayu yang berasal dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid tersebut, dibangun dengan model kontruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang tersebut dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu utuh. Sunan Kalijaga yang pada masa mudanya bernama Raden Said, tidak lain adalah Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah, adalah Toh A Bo, sementara itu Sunan Kudus atau Jafar Sidik tidak lain adalah Ja Tik Su.

(10)

Pada tahun 1474, Maulana Raden Rahmat atau Sunan Ampel (溫瑞和)

membentuk perkumpulan para Sunan yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para Wali tersebut mendapatkan gelar Sunan atau biasa disebut guru agama (Ustadz), yang terdiri dari:

1. Maulana Raden Rahmat.

Sunan Ampel ( 苏南安佩尔 ) alias Bong Swie Hoo.

2. Raden Makdum Ibrahim.

Sunan Bonang ( 苏南宝曩 ) alias Bong Ang.

3. Raden Palu.

Sunan Giri ( 苏南吉里 ).

4. Syech Syarifuddun.

Sunan Drajad ( 苏南德拉加 ) alias Bong Tak Keng.

5. Syech Ja’far Shadiq.

Sunan Kudus ( 苏南库都斯 ) alias Ja Tik Su.

6. Raden Mahmud Syahid.

Sunan Kalijaga ( 苏南卡里嘉贾 ) alias Gan Si Cang.

7. Raden Umar Said.

Sunan Muria ( 苏南穆里亚 ).

(11)

Sunan Maulana Malik Ibrahim ( 苏南毛拉那马立克易卜拉欣 )

alias Chen Ying Hua. 9. Syech Syarief Hidayatullah.

Sunan Gunung Jati ( 苏南顾农贾提 ) alias Toh A Bo.

Sebagai pemeran utama dalam proses sejarah Islamisasi di Pulau Jawa, Wali Songo merupakan gambaran dari sebuah kekuasaan politik yang penyampaian ajaran ke-Islamannya sering disisipkan berbagai macam aspek-aspek kebudayaan, seperti kebudayaan Islam, Hindu dan Budha. Dalam menyebarkan agama Islam, Wali Songo juga berperan sebagai panotogomo atau penata agama (Ulama atau Wali) serta sebagai pedagang profesional dan penasehat politik. Selain itu, mereka juga memperkenalkan berbagai bentuk peradaban baru seperti kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, pengetahuan, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga sistem pemerintahan dan menetap di tiga wilayah penting yaitu:

a). Surabaya – Gresik (Jawa Timur), b). Demak – Kudus (Jawa Tengah) dan c). Cirebon (Jawa Barat).

(http://www.pesantren.net/sejarah/wali-index.shtml).

Sebagai salah satu kota pusat dakwah agama Islam di Jawa Barat, kota Cirebon memiliki beberapa tokoh Muslim Tionghoa yang berperan penting dalam masuk dan berkembangnya ajaran Islam, diantaranya adalah:

(12)

Pada tahun 1479, Wali Songo mengutus Syech Syarief Hidayatullah yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati (杜亞波) untuk menetap

di kota Cirebon, Jawa Barat. Pengutusan Sunan Gunung Jati di kota Cirebon tersebut, memiliki misi berupa penyebaran dan pengembangan ajaran Islam dan dinobatkan sebagai penegak Panotogomo Islam oleh para Wali Songo diseluruh Jawa Barat, yang berpusat pada pemerintahan Keraton Kasepuhan sebagai tempat pengembangan ajaran Islam.

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Hidayat Tantan, “Sunan Gunung Jati Darah Biru Nujum Bertuah”, 13 Desember 2001, yaitu:

Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Keraton Kasepuhan lahir pada tahun 1448 di Pasai Sumatera Utara dan telah mendalami ilmu agama Islam sejak berusia 14 tahun dari para ulama ternama di Mesir. Beliau sempat berkelana ke berbagai negara untuk mempelajari berbagai macam Mahzab, seperti Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, Mahzab Hambali dan Mahzab Hanafi. Selain mengelilingi Jazirah Arab, Sunan Gunung Jati diketahui pernah singgah ke Negeri China untuk memperdalam ilmu agama Islam dan mempelajari ilmu ketabiban (ilmu kedokteran), hingga pada akhirnya Sunan Gunung Jati mendapatkan gelar Syech Maulana Insan Kamil di Negeri China.

Dalam persinggahannya tersebut, Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam dengan cara berpraktik sebagai tabib menggunakan sabda dari Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:

(13)

“Berwudhulah kamu dan shalatlah, sesungguhnya dalam shalat itu ada penyembuhan (H. R. Ibnu Hajah)”.

Dalam waktu singkat, nama Sunan Gunung Jati semerbak di kota raja dan dalam persinggahannya di Negeri China tersebut, pada tahun 1481 Sunan Gunung Jati menikahi Puteri China bernama Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien), anak seorang Kaisar dari Dinasti Ming.

(http://gatra.com/articlephp?id=13514).

Pengembara Portugis Tome Pires (Cortesao, 1, 1944, 179) berpendapat, bahwa:

Beberapa penguasa China yang dengan sukarela mengirim salah seorang anak perempuannya kepada seorang vassal Jawa untuk dinikahi, diiringi sejumlah besar pengikut dan sebuah kapal penuh kepeng.

Kisah perkawinan Syech Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) penguasa politik dan keagamaan di kota Cirebon dengan Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien) di Negeri China, mendukung informasi Tome Pires tersebut. Pernikahan antara Sunan Gunung Jati dan Puteri Ong Tien, diperkirakan berindikasi politik untuk mencari dukungan bangsa China (Muslim Tionghoa) yang sudah lama menunjukkan eksistensinya dalam rangka menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam di kota Cirebon Jawa Barat yang berpusat pada pemerintahan Keraton Kasepuhan.

Hal tersebut, juga diungkapkan oleh Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina – Islam – Jawa (2005: 164-165), bahwa:

Satu hal yang menarik dari sejarah Sunan Gunung Jati adalah wataknya yang akomodatif dalam menyebarkan ke-Islaman. Dalam rangka menarik simpati komunitas China, Sunan Gunung Jati selalu menampilkan produk kesenian budaya yang mencerminkan 3

(14)

identitas: Islam, Hinduisme dan China yang masing-masing eksis di Cirebon.

Pada tahun 1537, Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Keraton Kasepuhan yang sudah lanjut usianya (89 tahun) mundur dari jabatannya untuk mendalami ilmu dakwah agama Islam dan digantikan oleh para keturunannya. Berdasarkan catatan sejarah pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun di kota Cirebon (dulu Carbon), dan dimakamkan di daerah Sembung Gunung Jati (Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung) sekitar 5 km dari pusat kota Cirebon, Jawa Barat.

2. 3. 2. Haji Tan Eng Hoat (Maulana Ifdhil Hanafi)

Teks Malay Annals yang berasal dari Kelenteng Talang Cirebon, memberitakan bahwa seorang Muslim Tionghoa pertama yang berasal dari Hokkian (福建) adalah Haji Tan Eng Hoat, sejak tahun 1513 – 1564

beliau aktif menjadi penggerak dan penyebar ajaran Islam di kota Cirebon, dan merupakan seorang Muslim Tionghoa yang sangat taat pada ajaran Islam.

Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2005: 72-73), mengemukakan bahwa:

Pada tahun 1526 saat menjadi imam di daerah Sembung kota Cirebon, Haji Tan Eng Hoat didatangi oleh rombongan armada Kerajaan Demak yaitu Pimpinan Trenggana yang didampingi Kin San seorang Muslim Tionghoa yang pandai berbahasa China (sebagai penerjemah Pimpinan Trenggana terhadap Haji Tan Eng Hoat). Pada

(15)

pertemuannya tersebut, Haji Tan Eng Hoat mendapatkan gelar Mu La Na Fu Di La Ha Na Fi (Maulana Ifdhil Hanafi) dari Pimpinan Trenggana, sebagai isyarat bahwa Haji Tan Eng Hoat tetap diperbolehkan menyebarluaskan ajaran Islam di kota Cirebon dengan menggunakan bahasa China dalam menjalankan praktik ritual ibadah terutama shalat fardhu, dan tidak diharuskan untuk beralih ke Mahzab Syafi’i yang ibadah fardhunya menggunakan bahasa Arab.

Tradisi masyarakat kota Cirebon menyebutkan bahwa tokoh yang bernama Haji Tan Eng Hoat (Maulana Ifdhil Hanafi) tersebut, merupakan salah seorang Muslim Tionghoa yang memberikan gagasan agar Sunan Gunung Jati mendirikan pemerintahan kasunanan Kasepuhan di kota Cirebon Jawa Barat. Beliau mendapatkan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya dan merupakan Raja Muda bawahan Kesultanan Kasepuhan Cirebon di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati.

Pada tahun 1564, Haji Tan Eng Hoat dikabarkan meninggal dunia pada saat ekspedisi militer melawan Kerajaan Galuh yang beragama Hindu dan dimakamkan disebuah “pulau dalam danau” (nama danau tersebut tidak disebutkan dalam catatan Kelenteng Talang).

2. 3. 3. Tan Sam Cai (Muhammad Syafi’i)

Agung Nugroho dalam artikelnya “Jasa Besar Sam Tjai Kong Tetap Dihargai Keraton Kasepuhan Cirebon”, Koran Pikiran Rakyat beredar 9 April 2005, mengemukakan bahwa Tan Sam Cai (Muhammad Syafi’i) merupakan seorang Muslim Tionghoa yang berasal dari wilayah Fu Jian (福建) – China Selatan, yang memiliki nama kecil Chen San Cai (陈三

(16)

Menteri Keuangan yang handal dan terpercaya dalam pemerintahan Keraton Kasepuhan dan memperoleh gelar Tumenggung Arya Wira Tjoela (Gelar “Arya” merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa luar biasa terhadap pemerintahan keraton Cirebon).

Berkat kepiawannya, Keraton Kasepuhan dapat berkembang dari sisi keuangan sehingga syiar ajaran Islam di Jawa Barat khususnya di kota Cirebon dapat berjalan lancar. Selain menjabat sebagai Menteri Keuangan, Tan Sam Cai merupakan seorang arsitek dalam pembangunan kompleks pertapaan para raja yang dikenal dengan sebutan Taman Air Goa Sunyaragi dan sebagai pendiri kelenteng kontroversial bernama Kelenteng Talang di daerah Talang kota Cirebon Jawa Barat. Meski memiliki jasa sangat besar terhadap pemerintahan Keraton Kasepuhan dalam mensyiarkan ajaran Islam, Tan Sam Cai memilih untuk pindah ke agama Konghucu pada akhir hayatnya. Meski dinilai sebagai sosok yang kontroversial, nama Tan Sam Cai tetap dihormati sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kesultanan Cirebon serta dalam proses penyebaran ajaran Islam di kota Cirebon Jawa Barat.

2. 4. Identitas Kebudayaan China, Jawa dan Islam di Kota Cirebon

Dalam berbagai cerita sejarah, banyak metode yang digunakan dalam menjalankan syiar ajaran Islam seperti melalui kesenian, pendidikan dan simbolisasi. Hal-hal tersebut dimaknai sesuai dengan pemikiran yang mengandung

(17)

nilai-nilai berfilsafat tinggi yang hingga saat ini dapat dijumpai pada seni musik, seni tari, ukiran, batik serta bentuk dari sebuah bangunan.

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Tri Agung Kristanto, “Bangunan Bersejarah”, 9 Desember 2005, yaitu:

Benda cagar budaya merupakan benda buatan manusia yang bergerak atau tidak bergerak dan merupakan satu kesatuan atau sebuah kelompok yang pada bagian atau sisa-sisa dari bangunan tersebut sekurang-kurangnya berusia 50 tahun atau mewakili arsitektur yang memiliki sebuah ciri khas serta diangggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. (http://arsitekturindis. com/index.php/archieves/category/bangunan-bersejarah).

Kebudayaan-kebudayaan yang mempengaruhi suatu bangunan, merupakan benda cagar budaya yang harus dilestarikan dan merupakan suatu kebudayaan sebagai hasil tingkah laku yang berwujud karya-karya intelektual sebuah sejarah. Hal tersebut, juga diungkapkan oleh Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina – Islam – Jawa (2005: 41), bahwa:

Eksistensi Cina Islam pada awal perkembangan agama Islam di Jawa ini tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengembara asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan dengan berbagai peninggalan kepurbakalaan Islam di Jawa yang mengisyaratkan pengaruh Cina yang cukup kuat sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15 dan -16 telah terjalin apa yang dinamakan Sino – Javanese Muslim Culture.

Bentuk akulturasi kebudayaan, dapat dilihat dalam bentuk perwujudan bangunan tua hasil akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa sebagai benda cagar budaya di kota Cirebon Jawa Barat. Bangunan-bangunan tua tersebut, memiliki akulturasi kebudayaan Islam Tionghoa yang cukup kuat, sehingga terjalin

(18)

apa yang dinamakan Sino – Javanese Muslim Culture (kebudayaan China – Jawa Islam) pada bangunan Kompleks Keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Taman Air Goa Sunyaragi dan Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung yang memiliki ciri khas bangunan berupa keramik khas Tiongkok yang dijadikan hiasan utama pada bangunannya. Selain itu, terdapat sebuah bangunan tua peninggalan sejarah berupa kelenteng kontroversial yang diduga kuat oleh para sejarahwan lokal Cirebon, merupakan bangunan masjid yang dibangun oleh seorang Muslim Tionghoa di daerah Talang kota Cirebon Jawa Barat.

Referensi

Dokumen terkait

Risiko yang mungkin terjadi adalah koordinasi antara Mandiri Call dengan Sistem Bank Mandiri. Permasalahan yang pernah terjadi adalah pembobolan rekening nasabah oleh orang

membayar denda administratif dengan besaran sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 2 Peraturan Gubernur Nomor 46 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin Dan

Charoen Pokphand Indonesia Food Division mengeluarkan kebijakan mutu yang merupakan kebijakan perusahaan yaitu: Senantiasa menghasilkan produk yang bermutu tinggi, halal

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Mandailing Natal Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Mandailing Natal

Berdasarkan perhitungan dengan melakukan penjumlahan nilai setiap indikator pada veriabel struktur RTH di atas, dapat diketahui bahwa nilai variabel struktur RTH adalah dua

Sistem bypass adalah suatu sistem yang mana sebagian dari umpan (feed) langsung dicampur dengan produk tidak melalui proses, biasanya bertujuan

5 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan

da #e#erapa teknik dalam analisa kecernaan pakan seperti teknik in 0i0o, in 0itro dan teknik in sacco" 6eknik in 0itro atau yang dikenal dengan dengan teknik mengukur daya secara