• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Anemia Defisiensi Besi Final PDF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Anemia Defisiensi Besi Final PDF"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing :

dr. Elizabeth Yohmi, Sp. A

Penyusun : Richard Bun (2014-061-188) Klarissa Chrishalim (2014-061-181)

ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA

PERIODE : 23 MAY 2016 – 8 JUNI 2016

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB). Kelompok usia yang paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2 tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak, antara lain menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak yang berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang.1

Prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%.2 Pada usia balita, prevalens tertinggi DB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian DB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi.3

Selama ini upaya penanggulangan anemia masih difokuskan pada sasaran ibu hamil, sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, dan anak sekolah belum ditangani. Padahal dampak negatif yang ditumbuhkan anemia gizi pada anak-anak sangat serius, karena sedang dalam tahap tumbuh kembang yang cepat, yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya.

Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas maka penting bagi tenaga medis untuk mengetahui tentang anemia defisiensi besi khususnnya pada anak.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi4

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin, dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2007 diperoleh prevalens ADB pada anak balita di Indonesia adalah 40-45%. Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat, dan gangguan fungsi imun pada anak. Prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah, dan masa remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang sehingga dapat menyebabkan exudative enteropathy dan kehilangan darah akibat menstruasi. Data SKRT tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%, serta 40,1% pada wanita hamil.

2.2 Etiologi3

Sebagian besar zat besi pada neonatus adalah dalam bentuk hemoglobin yang bersirkulasi. Saat konsentrasi hemoglobin yang tinggi dari bayi baru lahir menurun 2-3 bulan dari kehidupan, banyak zat besi yang terdaur ulang. Cadangan besi biasanya cukup untuk pembentukan darah pada 6-9 bulan pertama kehidupan pada bayi cukup aterm. Cadangan lebih cepat habis pada bayi kecil masa kehamilan, atau bayi dengan kehilangan darah perinatal karena cadangan zat besi yang relatif lebih sedikit. Sumber makanan dari zat besi berperan sangat penting. Pada bayi aterm, anemia karena asupan yang inadekuat

(4)

terjadi pada usia 9-24 bulan dan relatif jarang setelahnya. Pola asupan yang biasa didapat pada bayi dengan ADB karena nutrisi pada negara maju adalah kelebihan konsumsi dari susu sapi (rendah kandungan zat besi, kehilangan darah dari kolitis protein susu) pada anak yang seringkali berat badan berlebih, sedangkan pada negara berkembang, nutrisi yang kurang berperan lebih banyak pada kasus DB.

Kehilangan darah harus dipertimbangkan sebagai kausa pada setiap kasus ADB, terlebih lagi pada anak yang lebih dewasa dan adolesen. ADB kronis akibat perdarahan

occult daapt disebabkan lesi pada traktus digestivus, seperti ulkus peptik, divertikulum

Meckel, polip, hemangioma, atau IBD. Balita dapat memiliki kehilangan darah kronis akibat ter-ekspos oleh protein susu sapi. Reaksi gastrointestinal tersebut tidak berhubungan dengan abnormalitas enzim pada mukosa seperti defisiensi laktase atau alergi susu. Anak tersebut akan mengembangkan anemia yang lebih parah dan dimulai lebih cepat dari anemia yang disebabkan asupan zat besi yang inadekuat. Kehilangan darah tersebut dapat dihindari dengan memberikan nutrisi secara ASI, dan menunda pemberian susu sapi pada tahun pertama kehidupan dan mengurangi kuantitas <24 cc/24 jam. Kehilangan darah yang tidak terciri juga diasosiasikan dengan diare kronis. Di negara berkembang, infeksi dari cacing tambang, Trichuris trichiura, Plasmodium, dan Helicobacter pylori sering berkontribusi terhadap DB. Penyakit Celiac dan giardiasis dapat mengganggu absorpsi besi. Sekitar 2% dari perempuan adolesen memiliki ADB, sebagian besar karena pertumbuhan mendadak dan kehilangan darah dari menstruasi.

2.3 Patogenesis5

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. 3 tahap defisiensi besi, yaitu:

• Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron depletion, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi, peningkatan absorpsi besi non heme.

(5)

Feritin serum menurun sedagkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekuranganbesi masih normal.

• Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari basil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.

 Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi dihaparkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

2.4 Manifestasi Klinis 3

Pada mayoritas anak dengan DB adalah asimtomatik dan teridentifikasi oleh skrining laboratorium. Pucat merupakan tanda klinis terpenting pada DB namun seringkali tidak terlihat sampai hemoglobin jatuh pada level 7-8 g/dL. Seringkali terlihat pucat pada telapak tangan, lipatan telapak tangan, kuku atau konjungtiva. Pada DB ringan sampai sedang (kadar hemoglobin 6-10 g/dL), mekanisme kompensasi termasuk peningkatan level dari 2,3-difosfogliserat dan penggeseran kurva disosiasi oksigen dapat sangat efektif sehingga gejala anemia selain iritabilita sedang sulit terlihat. Saat hemoglobin jatuh <5 g/dL, iritabilita, anoreksia, letargi muncul, dan aliran murmur sistolik sering dapat terdengar, seiring turunnya hemoglobin, takikardi dan gagal jantung tinggi outuput dapat terjadi.

DB mempunyai efek sistemik non-hematologik. DB dan ADB mempunyai efek penurunan fungsi neurokognitif pada balita. Terdapat hubungan ADB dan kecacatan

(6)

kognitif yang ireversibel. Terdapat beberapa studi yang menemukan peningkatan resiko kejang, stroke, eksaserbasi restless leg syndrome kelak saat dewasa.

Manifestasi lain berupa pica, keinginan untuk memakan substansi non-nutritif, pagofagia, keinginan untuk memakan es.

2.5 Diagnosis4,7

Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta rnemberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektiinya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.

Anamnesis

 Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan

 Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar

 Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah, rambut

 Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras, gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics)

(7)

Pemeriksaan fisis

Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga.

 Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia

 Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL

 Tanpa organomegali

 Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal jantung, protein-losing enteropathy

 Rentan terhadap infeksi

 Gangguan pertumbuhan

 Penurunan aktivitas kerja Pemeriksaan penunjang

 Darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC rendah. Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah merupakan salah satu skrining defisiensi besi.

o Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%) pada talasemia trait

o Ratio MCV/RBC (Mentzer index) » 13 dan bila RDW index (MCV/RBC xRDW) 220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari 220 merupakan tanda talasemia trait.

o Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, dan poikilositosis.

 Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL dipertimbangkan sebagai diagnostik defisiensi besi

 Nilai retikulosit: normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang tidak adekuat

 Serum transferrin receptor (STfR): sensitif untuk menentukan defisiensi besi, mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit kronik

(8)

 Terapi besi (therapeutic trial): respons pemberian preparat besi dengan dosis 3 mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5–10 hari diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi. Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%) 3. Kadar Fe serum <50 μg/dL (N: 80-180 μg/dL) 4. Saturasi transferin <15% (N: 20-50%)

Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:

 Anemia tanpa perdarahan

 Tanpa organomegali

 Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target

 Respons terhadap pemberian terapi besi

2.6 Diferensial diagnosis3,8

Penyebab lain tersering dari anemia mikrositik adalah talasemia α atau β dan hemoglobinopati lain termasuk hemoglobin E dan C. Anemia akibat inflamasi biasanya normositik, namun dapat berupa mikrositik pada beberapa kasus. Keracunan timbal juga dapat menyebabkan anemia mikrositik, tapi seringkali anemia mikrositik karena DB menyebabkan pica dan intoksikasi tembaga sekunder.

Saat anemia ditentukan hanya dengan hemoglobin atau hematokrit, 60% dari anak pada negara berkembang memiliki anemia namun bukan karena DB. Tatalaksana dengan

(9)

zat besi tanpa pemeriksaan darah lengkap dan hitung diferensial harus dilakukan dengan hati-hati karena diagnosis yang lebih serius dapat terlewatkan.

2.7 Tatalaksana1,4

Tatalaksana dimulai dengan mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang abnormal, pasca pembedahan.

 Preparat besi

Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dL atau lebih. Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.

Komposisi besi elemental:

Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental

Pemeriksaan Laboratorium Anemia defisiensiBesi Thalasemia Minor Anemia PenyakitKronis

MCV Menurun Menurun N/Menurun

Fe serum Menurun Normal Menurun

TIBC Naik Normal Menurun

Saturasi transferin Menurun Normal Menurun

FEP Naik Normal Naik

(10)

Usia Dosis Besi Elemental Lama Pemberian

BBLR (<2500gram) 3mg/kgBB/hari Usia 1 bulan – 2 tahun

Cukup bulan 2mg/kgBB/hari Usia 4 bulan – 2 tahun

2 – 5 tahun 1mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan

berturut – turut setiap tahun >5 – 12 tahun (usia sekolah) 1mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan

berturut – turut setiap tahun

12 – 18 (remaja) 60mg/hari 2x/minggu selama 3 bulan

berturut – turut setiap tahun

 Transfusi darah

Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar Hb<4g/dL. Komponen darah yang diberi PRC.

Pencegahan

 Pencegahan primer

o Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan o Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun

o Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada waktunya, yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun

o Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi, serta menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan. o Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan

yang mengandung kadar besi yang berasal dari hewani o Pendidikan kebersihan lingkungan

(11)

 Pencegahan sekunder Skrining ADB.

Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat masih kontroversial. American

Academy of Pediatrics(AAP) menganjurkan antara usia 9–12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24 bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun. Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja. Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat skrining. Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyte protoporphyrin (ZEP). Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera memberi terapi.

 Suplementasi besi

Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di daerah dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan:

Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1 mg/kg BB/hari Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu

Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu

 Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi dan makanan pendamping ASI seperti sereal.

(12)

BAB III KESIMPULAN

Sampai saat ini salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik terang keberhasilan penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau dikenal dengan sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai terutama di negara–negara sedang berkembang. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2007 diperoleh prevalens ADB pada anak balita di Indonesia adalah 40-45%. Penyebab ADB sendiri adalah asupan inadekuat, konsumsi susu sapi yang berlebih, perdarahan saluran cerna, diare kronis dan infeksi kronis.

Pencegahan dapat dilakukan melalui asupan makanan dan suplementasi zat besi. Anemia defisiensi besi hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi Besi Untuk Anak. Badan Penerbit IDAI; 2011.

2. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia gizi besi. Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono, penyusun. Gizi dalam angka sampai dengan tahun 2003. Jakarta: DEPKES; 2005. 3. Kliegman R, Behrman R, Nelson W. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. 4. Pedoman Pelayanan Medis; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI;

2009.

5. Harrison's principles of internal medicine. New York, N.Y. [u.a.]: McGraw -Hill; 2012..

6. ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI DAN ANAK [Internet]. IDAI. 2013 [cited 5 June 2016]. Available from: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak

7. Bajaj L, Berman S, Berman S. Berman's pediatric decision making. Philadelphia, PA: Elsevier/Mosby; 2011.

8. Raspati H, Reniarti L, dkk. 2006. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab Anemia Gizi pada balita sangat banyak diantaranya : Pengadaan zat besi yang tidak cukup seperti cadangan besi yang tidak cukup, Berat lahir rendah, lbu mengandung

Analisis variabel asupan zat gizi menunjukkan hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dan vitamin A terhadap responsifitas asupan zat besi, dimana semakin

Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel- sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah

Bayi yng lhir BBLR mempunyai reerve zat besi yang lebih rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama..

Anemia defisiensi besi berhubungan dengan penam- pilan yang buruk dalam psikomotor dan skala perkembangan mental dan tingkatan tingkah laku pada bayi, nilai yang rendah dalam uji

Anemia defisiensi besi berhubungan dengan penam- pilan yang buruk dalam psikomotor dan skala perkembangan mental dan tingkatan tingkah laku pada bayi, nilai yang rendah dalam uji

52 Aulia Dewi Fitripancari, 2023 HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DAN VITAMIN C, FREKUENSI KONSUMSI MINUMAN BERISIKO, DAN PERILAKU DIET DENGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI REMAJA PUTRI SMAN 6

Kebutuhan besi pada bayi sekitar 0,5 mg/hari tapi jumlah ini tidak mencukupi pada Asi sehingga bayi yang hanya mendapatkan Asi saja bisa berisiko untuk menjadi anemia defisiensi besi,