• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECENDERUNGAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI 38 KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KECENDERUNGAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI 38 KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN SKRIPSI"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

KECENDERUNGAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI

38 KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2006-2010

SKRIPSI

RITA YULIHANE 0906620120

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA EKSTENSI

DEPOK JANUARI 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

KECENDERUNGAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI

38 KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2006-2010

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

RITA YULIHANE 0906620120

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT KEKHUSUSAN EPIDEMIOLOGI

DEPOK JANUARI 2012

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta dan Faktor yang Mempengaruhinya di 38 Kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 dengan tepat waktu. Skripsi ini ditulis sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masya.rakat.

Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan tanggapan dari berbagai pihak guna memperbaiki kesalahan dan kekurangan tersebut pada masa yang akan datang.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. dr. Ratna Djuwita, MPH, selaku Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

2. Ibu Renti Mahkota, SKM, M.Epid, selaku pembimbing skripsi yang senantiasa sabar dan meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran dalam mengarahkan dan membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. dr. Yovsyah, M.Kes yang telah bersedia meluangkan waktunya menjadi

penguji dalam ujian sidang skripsi dan telah memberikan sebuah ilmu yang sangat berarti kepada penulis untuk perbaikan skripsi ini.

4. dr. Christina Widaningrum, M.Kes, sebagai penguji luar yang telah memberikan masukan yang sangat berarti dalam perbaikan skripsi dan juga telah memfasilitasi penulis untuk mendapatkan izin belajar serta bantuan biaya kuliah.

5. Pihak Netherland Leprosy Relief; Ibu Dianne van Oosterhout, ibu Sorta Arta, dan mba Yasmin yang telah memberikan bantuan biaya kuliah untuk penulis. 6. Pak Sulistheo Wibowo, SKM, dan mba Vera Citra staf P2 Dinkes Provinsi Jawa Timur dan staf BPS yang banyak memberikan pertolongan kepada penulis dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan.

(7)

7. Keluarga tercinta, ibu, ayah, suami, anakku yang sholeh Ibrohim Muhammad ‘Isa serta adik-adik yang tak henti-hentinya memberikan semangat, kasih sayang dan kesabarannya kepada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan di subdit P2 kusta dan frambusia. Terima kasih atas dukungan, do’a, kerjasama dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan kuliah.

9. Teman-teman ekstensi epidemiologi 2009 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, semangat juang dan motivasinya. 10. Adik-adik regular epid 2008, mba Erni, mba Tika, mba Luri, mba Titi, mba

Cahya, mba Panji, dll yang telah tulus dan tak hentinya memberikan dan menawarkan bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi

11. Keluarga besar yang rutin berkumpul di hari Sabtu. Mba Mitri, bu Mahmudah, dkk. Terima kasih atas do’a dan pengertiannya. Semoga ikatan ukhuwah yang dibangun kekal hingga kita kembali bertemu di jannahNya 12. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih

atas doa dan dukungannya.

Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini memiliki manfaat dan nilai bagi kita semua dan di masa yang akan datang kiranya dapat menjadi rujukan untuk penulisan yang lebih baik lagi.

Depok, 18 Januari 2012

Rita Yulihane 0906620120

(8)
(9)

Nama : Rita Yulihane Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Juli 1980

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah dengan Iswanto

Jumlah anak : 1. Ibrahim Muhammad ‘Isa

Agama : Islam

Alamat : Papan Mas Blok A 12 No. 25 Rt. 08/04 Kelurahan Setia Mekar Kec. Tambun Selatan Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat

Email : ryulihane@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1986-1992 Sekolah Dasar Negeri Mekar Sari 02 Tambun 2. Tahun 1992-1995 Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tambun 3. Tahun 1995-1998 Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bekasi 4. Tahun 1999-2002 Diploma III Akademi Kesehatan Lingkungan

Depkes Jakarta

5. Tahun 2009-2011 Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Indonesia, Jurusan Epidemiologi

Riwayat Pekerjaan

(10)

ABSTRAK

Nama : Rita Yulihane

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Departemen : Epidemiologi

Judul : Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di 38 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010

Pada tingkat global maupun nasional, status kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat telah berhasil dieliminasi pada tahun 2000. Namun demikian sejak tahun 2000-2010 masih saja ditemukan kasus baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di 38 kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010. Desain penelitian ini adalah studi ekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur menunjukkan penurunan begitupula dengan penemuan kasus kusta secara aktif. Berbeda halnya dengan penemuan kasus kusta secara pasif, cakupan imunisasi BCG, dan kepadatan penduduk. Wilayah yang topografinya rendah cenderung memiliki angka penemuan kasus baru kusta yang lebih tinggi. Hasil uji pearson’s correlation menunjukkan bahwa penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif, cakupan imunisasi BCG dan topografi memiliki hubungan bermakna dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p 0,0001). Kepadatan penduduk tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p > 0,05). Fokus program pengendalian kusta hendaknya lebih mengarahkan kepada kegiatan penemuan kasus secara aktif khususnya di wilayah yang topografinya rendah bekerjasama dengan progam imunisasi. Penemuan kasus secara aktif dengan modifikasi penyuluhan akan meningkatkan penemuan kasus secara pasif yang pada akhirnya akan menurunkan angka penemuan kasus baru.

Kata kunci: kusta, angka penemuan kasus baru, penemuan kasus aktif, penemuan kasus pasif, BCG, kepadatan penduduk, dan topografi.

(11)

ABSTRACT

Name : Rita Yulihane

Study Program : Public Health Department : Epidemiology

Title : Trend of Leprosy New Case Detection Rate and RelatedFactors in 38 districts in East Java Province, Year of 2006-2010

At the global and national level, the status of leprosy as a public health problem has been successfully eliminated in 2000. However, since the year 2000-2010 new case of leprosy annually has detected. The aim of this study is determine the Trend of leprosy new case detection rate and factors influencing in 38 districts in East Java Province, 2006-2010. The design of this research is ecological study. The results indicate that the trend of leprosy new case detection rate in 38 districts showed decrease similarly with active leprosy case finding. Unlike the case with passive case finding of leprosy, BCG immunization coverage and population density. Low topography regions tend to have the leprosy new case detection rate is higher. Pearson’s correlation test results indicate that passive case finding, active case finding, BCG immunization coverage, and topography have a meaningful association with the leprosy new case detection rate (p-value<0,05). Population density had no significant association (p-values>0,05). The focus of leprosy control programs should be more directed to the active case finding, especially in areas of low topography integration with the immunization program. The active case finding with the modification education would increase passive case finding, eventually will reduce the new case detection rates of leprosy. Key words: leprosy, new case detection, passive case detection, active case detection, BCG, population density, topography

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .... ... vii

ABSTRAK... ... viii

ABSTRACT... ... ix

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TABEL... ... xiii

DAFTAR GRAFIK... ...xiv

DAFTAR GAMBAR... ... ...xvi

DAFTAR SINGKATAN... ... ...xvii

DAFTAR LAMPIRAN... ... ...xviii

1 PENDAHULUAN... ... ...1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Pertanyaan Penelitian ... 4 1.4 Tujuan ... 5 1.4.1 Tujuan Umum ... 5 1.4.2 Tujuan Khusus ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.5 Ruang Lingkup ... 6 2 TINJAUAN PUSTAKA... ... ...7 2.1 Kusta ... 7 2.2 Penyebab ... 7 2.3 Sumber Penularan ... 7 2.4 Lingkungan ... 8

2.5 Riwayat Alamiah Penyakit ... 8

2.6 Diagnosis, klasifikasi, dan pengobatan ... 9

2.7 Faktor yang mempengaruhi terjadinya kusta ... 10

2.7.1 Usia... ... 10

2.7.2 Jenis kelamin... ... 11

(13)

2.7.4 Vaksinasi BCG... ... 11

2.7.5 Sosio-ekonomi... ... 12

2.7.6 Status kontak dengan kasus... ... 12

2.7.7 Geografi... ... 12

2.7.8 Topografi... ... 13

2.7.9 Program pengendalian penyakit kusta... ... 13

3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... ... ...16 3.1 Kerangka Teori ... 16 3.2 Kerangka Konsep ... 17 3.3 Definisi Operasional ... 18 4 METODOLOGI PENELITIAN... ... ...20 4.1 Jenis Penelitian ... 20

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

4.4 Pengumpulan Data ... 21

4.5 Pengolahan Data ... 21

4.5 Analisa Data ... 21

5 HASIL... ... ...23

5.1 Gambaran Umum Wilayah ... 23

5.2 Analisis Univariat ... 24

5.2.1 Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 Wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 24

5.2.2 Kecenderungan penemuan kasus secara pasif 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 28

5.2.3 Kecenderungan penemuan kasus secara aktif di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 30

5.2.4 Kecenderungan cakupan vaksinasi BCG di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 31

5.2.5 Kecenderungan kepadatan penduduk di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 33

5.2.6 Topografi di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 35

5.3 Analisis Bivariat ... .... 36 5.3.1 Analisis hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka

(14)

Timur tahun 2006-2010... ... 36

5.3.2 Analisis hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 37

5.3.3 Analisis hubungan cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 38

5.3.4 Analisis hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 40

5.3.5 Analisis hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010... ... 41

6 PEMBAHASAN... ... ...43

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 43

6.2 Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ... 43

6.3 Hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ... 44

6.4 Hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ... 45

6.5 Hubungan cakupan vaksinasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ... 46

6.6 Hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 2010 ... 47

6.7 Hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ... 47

6 KESIMPULAN DAN SARAN... ... ...48

7.1 Kesimpulan ... 48

7.2 Saran ... ...48

(15)

Tabel 5.1 Definisi Operasional... ... ... 18 Tabel 5.1 Analisis Korelasi dan Regresi Penemuan Kasus secara Pasif

dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta... ... ... 36 Tabel 5.2 Analisis Korelasi dan Regresi Penemuan Kasus secara Aktif

dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta... ... ... 38 Tabel 5.3 Analisis Korelasi dan Regresi Cakupan Imunisasi BCG dengan

Angka Penemuan Kasus Baru Kusta... ... ... 39 Tabel 5.4 Analisis Korelasi dan Regresi Kepadatan Penduduk dengan

Angka Penemuan Kasus Baru Kusta... ... ... 40 Tabel 5.5 Analisis Korelasi dan Regresi Topografi dengan Angka

(16)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Indonesia Tahun 2000-2010... ... ... 3 Grafik 5.1 Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Penyakit Kusta

(CDR) per 100.000 penduduk dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010... ... ... 25 Grafik 5.2. Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Penyakit Kusta

(CDR) per 100.000 penduduk berdasarkan wilayah

kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010... ... 25 Grafik 5.3 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif dari 38

kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010... ... 28 Grafik 5.4 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif berdasarkan

wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun

2006-2010... ... ... 29 Grafik 5.5 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif dari 38

kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010... ... 30 Grafik 5.6 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif berdasarkan

wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun

2006-2010... ... ... 31 Grafik 5.7 Kecenderungan proporsi cakupan imunisasi BCG dari 38

kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010... ... 32 Grafik 5.8 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG berdasarkan wilayah

kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010... ... 33 Grafik 5.9 Kecenderungan kepadatan penduduk dari 38 kabupaten/kota

provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ... .... 34 Grafik 5.10 Kecenderungan kepadatan penduduk berdasarkan wilayah

kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ... .... 34 Grafik 5.11 Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Pasif dengan

(17)

Grafik 5.12 Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta ... .... 38 Grafik 5.13 Diagram Tebar Hubungan Cakupan Imunisasi BCG dengan

Angka Penemuan Kasus Baru Kusta ... .... 39 Grafik 5.14 Diagram Tebar Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Angka

Penemuan Kasus Baru Kusta ... .... 40 Grafik 5.15 Diagram Tebar Hubungan Topografi dengan Angka Penemuan

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kerangka Teori ... 16 Gambar 3.2 Kerangka Konsep ... 17 Gambar 5.1 Wilayah Administrasi Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ... 25 Gambar 5.2 Penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000

penduduk di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ... 27 Gambar 5.3 Topografi wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun

(19)

Bappenas : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

BCG : Bacille Calmette Guerin

BPS : Biro Pusat Statistik

BTA : Basil Tahan Asam

CDR : Case Detection Rate

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

MDT : Multi Drug Therapy

MB : Multi Basiler

PB : Pausi Basiler

mdpl : meter di atas permukaan laut

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor lampiran

1. Output Pengolahan Data Bivariat pada Penelitian Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta dan Faktor yang Mempengaruhinya Di 38 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.

(21)

Universitas Indonesia 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sampai saat ini masih menghadapi beban ganda penyakit. Selain penyakit menular dan penyakit tidak menular, Indonesia juga masih dihadapkan pada beberapa penyakit yang terabaikan (neglected disease) seperti kusta, frambusia, filaria dan schistosomiasis. Oleh karenanya arah kebijakan dan strategi pembangunan bidang sosial budaya khususnya kesehatan antara lain dengan mengupayakan eliminasi penyakit yang terabaikan tersebut. (Bappenas, 2010).

Kusta yang termasuk dalam penyakit terabaikan merupakan penyakit infeksi kronis yang bermanifestasi pada kelainan kulit dan saraf tepi. (WHO, 2009, Lockwood, 2004). Di antara penyakit menular lainnya, penyakit kusta yang sering kali menimbulkan kecacatan permanen. (WHO, 2009). Penyakit kusta ditakuti karena kerusakan yang ditimbulkannya seperti kelemahan dan anastesi pada tangan dan kaki. Dua juta orang diseluruh dunia diperkirakan menjadi disabilitas oleh karena penyakit ini. (Lockwood, 2004). Penyakit dan masalah kecacatan fisik inilah yang pada akhirnya menimbulkan stigma sosial dan diskriminasi serta dampak ekonomi tidak hanya bagi kasusnya namun juga bagi anggota keluarga yang lainnya.

Sejak pertama kali MDT (Multi Drug Therapy) diperkenalkan hampir 15 juta kasus yang didiagnosis kusta sembuh dengan MDT dan sedikit kasus relaps yang dilaporkan. (WHO, 2009). Meskipun MDT sangat efektif dalam menyembuhkan infeksi mikobakteri namun MDT tidak dapat menyembuhkan kerusakan saraf yang telah terjadi. (Lockwood, 2004)

Pada tahun 1991, majelis Kesehatan Dunia telah menetapkan target untuk mengeliminasi kusta pada tahun 2000. Eliminasi yang dimaksud adalah penurunan prevalensi menjadi kurang dari 1 per 10000 penduduk. (WHO, 2009). Dan pada tahun 2001, melalui sidang WHA yang ke 44 dideklarasikan bahwa kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat telah berhasil dieliminasi pada tahun 2000. Penggunaan MDT

(22)

2

Universitas Indonesia

dan perubahan jangka waktu pengobatan merupakan upaya yang menyertai resolusi tersebut (Rodrigues, Lockwood, 2011)

Penggunaan kata eliminasi dalam resolusi telah menyebabkan persepsi bahwa kusta akan menghilang, akibatnya sumber daya untuk penelitian dan upaya pengendalian kusta menjadi berkurang. Hal ini membuat WHO memperbaharui Rencana Strategi Eliminasi Kusta, sehingga kata eliminasi diganti dengan frase “mengurangi beban penyakit kusta”. Istilah ini mencakup beban langsung yang disebabkan oleh penyakit dan beban yang ditimbulkan karena kecacatan. (Rodrigues, Lockwood, 2011)

Beban penyakit kusta dapat dilihat dengan 3 cara, salah satunya angka insidens. Angka insidens merupakan ukuran epidemiologi yang paling relevan. Namun angka insidens sulit diukur secara langsung sehingga digunakan angka penemuan kasus baru sebagai indikator proksi. Pada tingkat global angka penemuan kasus baru menunjukkan penurunan yang perlahan, tapi di beberapa daerah menunjukkan statis. (WHO, 2009)

Fakta bahwa tidak semua negara menunjukkan penurunan kecenderungan kasus baru dilaporkan oleh WHO. Dikatakan bahwa antara tahun 2006 dan 2007 terjadi peningkatan penemuan kasus baru di 10 negara seperti Angola, Cina, Republik Demokratik Congo, Pantai Gading, Ethiopia, Madagaskar, Nepal, Nigeria, Srilanka, bahkan Indonesia. Peningkatan yang tajam diamati terjadi di negara Sudan sedangkan penurunan seperti yang terjadi di India, Myanmar dan Filipina relatif lambat atau stabil. (WHO, 2009)

Berdasarkan laporan WHO, pada tahun 2010 di tingkat global 95% kasus baru disumbangkan oleh 17 negara yang melaporkan lebih dari 1000 kasus baru tiap tahunnya. Terdapat 192.246 kasus kusta terdaftar dan 228.474 kasus baru. (WHO, 2011)

Meskipun di tingkat global kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat namun di beberapa negara penyakit kusta masih belum berhasil dieliminasi. Setiap tahunnya juga masih banyak ditemukan kasus baru. Dari 17

(23)

Universitas Indonesia

negara yang melaporkan penemuan kasus baru lebih dari 1000 kasus, Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Brazil. (WHO, 2011)

Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000, namun demikian kasus baru masih saja terus ditemukan sampai saat ini. Jumlah kasus baru yang ditemukan setiap tahunnya berkisar antara 14.000 – 19.000 kasus. Jumlah kasus baru tertinggi ditemukan pada tahun 2005 yaitu sebesar 19.695 kasus dan jumlah kasus baru terendah ditemukan pada tahun 2000 yaitu 14.697 kasus. (Kemenkes RI, 2010)

Program pengendalian kusta telah menargetkan angka penemuan kasus baru sebesar kurang dari 5 per 100.000 penduduk. Namun sejak tahun 2000 hingga tahun 2010 target tersebut belum pernah tercapai. Angka penemuan kasus baru masih berkisar antara 7,21 hingga 8,99 per 100.000 penduduk. Angka penemuan tertinggi ditemukan pada tahun 2005 yaitu 8,99 per 100.000 penduduk dan angka penemuan terendah ditemukan pada tahun 2001 yaitu 7,21 per 100.000 penduduk. (Kemenkes RI, 2010) Kecenderungan angka penemuan kasus baru Indonesia sejak tahun 2000 ditampilkan dalam grafik berikut:

Grafik 1.1 Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Indonesia, Tahun 2000-2010 0,86 0,87 0,95 0,87 0,93 0,98 1,03 0,95 0,94 0,910,84 7,22 7,21 7,76 7,51 7,8 8,99 8,27 7,84 7,6 7,49 7,22 0 2 4 6 8 10 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Angka prevalens Angka penemuan kasus baru

Sumber: Subdit P2 Kusta & Frambusia, Ditjen PP & PL

Di tingkat provinsi, masih banyak yang angka penemuan kasus barunya di atas target nasional. Provinsi tersebut antara lain Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah,

(24)

4

Universitas Indonesia

Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, NTT, Papua, Papua Barat. Angka penemuan kasus baru tertinggi ditemui di provinsi Maluku Utara yaitu 49,01 per 100.000 penduduk. Sedangkan provinsi yang mempunyai jumlah kasus baru tertinggi adalah provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 4653 kasus. (Kemenkes RI, 2010)

Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kasus baru paling banyak di Indonesia. Dari total kasus baru di Indonesia, Jawa Timur menyumbang kasus sebesar 23 – 35%. Angka penemuan kasus baru pun sejak tahun 2000 belum pernah turun di bawah 5 per 100.000 penduduk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa diperlukan sebuah upaya untuk menggambarkan kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dan faktor yang mempengaruhinya pada wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahuinya kecenderungan angka penemuan kasus baru, faktor operasional, cakupan imunisasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) dan topografi di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah kecenderungan angka penemuan kasus baru di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

2. Bagaimanakah kecenderungan penemuan kasus secara pasif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

3. Bagaimanakah kecenderungan penemuan kasus secara aktif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

4. Bagaimanakah kecenderungan cakupan imunisasi BCG di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

5. Bagaimanakah kecenderungan kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

(25)

Universitas Indonesia

6. Bagaimanakah gambaran topografi (ketinggian wilayah) di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur

7. Bagaimanakah korelasi antara penemuan kasus pasif, penemuan kasus aktif, cakupan vaksinasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk), topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan faktor operasional (penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif), cakupan imunisasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) dan topografi dengan angka penemuan kasus baru 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya kecenderungan angka penemuan kasus baru di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

2. Diketahuinya kecenderungan penemuan kasus secara pasif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

3. Diketahuinya kecenderungan penemuan kasus secara aktif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

4. Diketahuinya kecenderungan cakupan vaksinasi BCG di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

5. Diketahuinya gambaran kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010

6. Diketahuinya gambaran topografi (ketinggian wilayah) 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur

7. Diketahuinya korelasi antara cakupan vaksinasi BCG, penemuan kasus aktif, penemuan kasus pasif, kondisi sosial ekonomi (tingkat pendidikan), topografi

(26)

6

Universitas Indonesia

dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam memahami variabilitas penemuan kasus baru penyakit kusta dan kecenderungannya berdasarkan variabel faktor operasional, cakupan vaksinasi BCG, kondisi sosial ekonomi dan topografi.

1.5.2 Peneliti lain

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan data dasar bagi penelitian sejenis berikutnya khususnya dalam mengupas permasalahan kecenderungan angka penemuan kasus baru dan faktor – faktor yang mempengaruhinya.

1.5.3 Dinas Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan bagi pengelola program dalam upaya pengendalian penyakit kusta yang berbasis data. Dengan demikian, semua kegiatan program pengendalian penyakit kusta lebih diarahkan atau difokuskan pada kegiatan dan wilayah yang dapat menurunkan angka penemuan kasus baru kusta.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta, penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif, cakupan vaksinasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) dan topografi. Lokasi yang menjadi wilayah penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur yang berjumlah 38. Data yang diambil berasal dari tahun 2006 – 2010. Penelitian ini menggunakan rancangan studi ekologi. Data akan dianalisis secara univariat dan bivariat.

(27)

7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta

Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. Leprae) yang kali pertama menyerang saraf tepi selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, system retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. (Depkes RI, 2007 dan S. Sjamsoe, dkk, 2003). Hanya sebagian keIKl orang yang memperlihatkan gejala kusta akan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Namun, banyak orang yang terinfeksi kuman kusta namun tidak muncul gejala. (Sjamsoe, dkk, 2003)

2.2 Penyebab

Mycobacterium Leprae diketahui sebagai penyebab terjadinya penyakit kusta. Sarjana dari Norwegia yaitu GH Armaeur Hansen pada tahun 1873 menemukan kuman ini. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8µ, lebar 0,2-0,5µ. Hidup secara berkelompok namun adapula yang tersebar satu-satu. Biasanya hidup dalam jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo. Kuman kusta dibandingkan dengan kuman lain memerlukan waktu yang lama untuk membelah diri, yaitu 12-21 hari. Oleh karenanya masa inkubasinya menjadi lama yaitu rata-rata 2 – 5 tahun. (S. Sjamsoe, dkk, 2003)

2.3 Sumber Penularan

Sampai saat ini baru manusia yang diketahui sebagai satu-satunya sumber penularan kuman kusta, meskipun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. (Depkes RI, 2007). Penderita kusta tipe MB diketahui paling banyak membawa bakteri M. leprae. (Hastings, 1985)

(28)

8

Universitas Indonesia

2.4 Lingkungan

Duncan (1994) mengatakan bahwa negara yang beriklim tropis memiliki prevalensi kusta yang lebih tinggi. (Hasyim, 2007) Pendapat ini juga didukung oleh studi yang dilakukan Kerr-Pontes pada tahun 2004 bahwa ada perbedaan trend penyakit kusta berdasarkan distribusi geografis pada tingkat subkontinental seperti ditemukan di negara Afrika, Asia Tenggara, Eropa Utara, Amerika Utara, dan Amerika Tengah yang memiliki iklim tropis dan subtropis. (Kerr-Pontes, 2004) Hal ini wajar terjadi karena M. leprae berdasarkan bukti yang ada lebih senang tumbuh dalam temperature kurang dari 37°C. Pada tikus temperatur optimum yang dibutuhkan oleh M. leprae untuk pertumbuhannya antara 27-30°C. (Hastings, 1985) Sebuah studi yang dilakukan di Jawa Timur menemukan 9 (64,3%) dari 14 sampel air telaga yang diperiksa mengandung BTA positif. Dan setelah dilakukan uji PCR ada 6 sampel (71,4%) yang menunjukkan DNA positif. (Agusni, 2006) Namun belum ada penelitian yang membuktikan bahwa kuman kusta yang ada di air dapat menginfeksi manusia.

2.5 Riwayat Alamiah Penyakit

Saluran napas bagian atas dan kulit dari penderita tipe Lepromatosa telah terbukti merupakan sumber keluarnya M. leprae. (Hastings, 1985) Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-1010. Setelah keluar dari mukosa hidung dalam kondisi tropis kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sampai dengan 9 hari. (Depkes RI, 2007)

Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Penderita kusta tipe MB dapat menularkan penyakit kusta dengan cara penularan langsung. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Namun, penderita yang sudah minum MDT tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain. (Depkes RI, 2007)

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini juga belum dapat dipastikan. Namun, diperkirakan ada dua pintu masuk utama kuman

(29)

Universitas Indonesia

kusta yaitu kulit dan saluran nafas bagian atas. (Hastings, 1985) Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, viabilitas dan virulensi kuman. (S. Sjamsoe, dkk, 2003) Ilustrasi imunitas seseorang digambarkan seperti berikut bahwa dari 100 orang yang terpapar kuman kusta, hanya 5 orang yang dapat berkembang menjadi kusta, dan 95 orang lainnya telah mempunyai kekebalan. Dari 5 orang tersebut, 3 orang dapat sembuh sendiri dan 2 orang sembuh melalui pengobatan. (Depkes RI, 2007)

2.6 Diagnosis, Klasifikasi, dan Pengobatan

Penyakit kusta sering kali menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit lain. Oleh karenanya dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit ini secara tepat dan membedakannya dengan penyakit lain yang serupa agar tidak membuat kesalahan yang dapat merugikan penderita. (S. Sjamsoe, dkk, 2003)

Berdasarkan buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta tahun 2007, diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan pada tanda-tanda utama, yaitu : a. Lesi atau kelainan kulit yang mati rasa. Lesi dapat berbentuk keputih-putihan

atau kemerah-merahan

b. Penebalan saraf tepi yang disetai gangguan fungsi saraf, baik fungsi saraf sensoris, saraf otonom maupun saraf motoris

c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif) Seseorang didiagnosis sebagai penderita kusta bilamana terdapat salah satu dari tanda-tanda utama tersebut di atas.

Bila diagnosis telah ditegakkan maka langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan kusta sesuai dengan tipe yang ada pada penderita. Beberapa jenis klasifikasi yang umum digunakan untuk penyakit kusta, diantaranya:

a. Klasifikasi Madrid (1953), digunakan secara internasional. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi 4 tipe yaitu Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline – Dimorphous (B), dan Lepromatosa (L)

b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962), digunakan untuk kepentingan riset. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tuberkuloid (TT), Borderline

(30)

10

Universitas Indonesia

Tuberkuloid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa (LL)

c. Klasifikasi WHO (1988), digunakan untuk kepentingan program. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi 2 tipe yaitu Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB)

Klasifikasi yang digunakan di Indonesia mengacu pada klasifikasi yang ditetapkan oleh WHO.

Setelah penderita didiagnosis dan diklasifikasi selanjutnya penderita diobati. Penderita akan diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman kusta, sehingga pengobatan akan memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang ada sebelum pengobatan. (Depkes RI, 2007)

Sampai tahun 1982, Dapson merupakan obat utama bagi pengobatan penderita kusta. Namun ketika banyak dilaporkan resistensi terhadap Dapson, WHO melalui kelompok studi kemoterapinya secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. (Bakker, 2005 dan S. Sjamsoe, dkk, 2003)

Rejimen MDT terdiri atas kombinasi obat-obat Dapson, rifampisin dan klofazimin. Pengobatan bagi penderita kusta tipe PB diberikan 6 blister MDT yang dihabiskan dalam jangka waktu 6 bulan dan bagi penderita kusta tipe MB diberikan 12 blister MDT yang dihabiskan dalam jangka waktu 12 bulan. (Depkes RI, 2007)

2.7 Faktor yang mempengaruhi terjadinya kusta

Beberapa faktor diketahui dapat menyebabkan terjadinya penyakit kusta. Faktor tersebut diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ras atau etnik, vaksinasi BCG, status sosio-ekonomi, status kontak dengan penderita, geografi, topografi dan pelayanan kesehatan.

2.7.1. Usia

Kusta diketahui terjadi pada semua umur antara bayi sampai dengan lanjut usia. Penderita kusta termuda, yaitu usia 3 minggu pernah dilaporkan di Negara

(31)

Universitas Indonesia

Martinique. Meskipun banyak wilayah endemis tinggi yang menunjukkan pola distribusi kusta yang sama pada semua umur, masih ada wilayah yang menunjukkan pola yang berbeda. Di wilayah tersebut kejadian kusta lebih sering ditemukan pada usia anak dibandingkan dewasa. (Hastings, 1985) Hasil dari 13 penelitian didapatkan gambaran bahwa ada hubungan antara usia dengan kejadian kusta. Namun hanya 10 penelitian yang menunjukkan tingginya angka insiden kusta pada anak usia 5-14 tahun. (Bakker, 2005)

2.7.2 Jenis kelamin

Meskipun kusta terjadi pada semua jenis kelamin, sebagian besar negara di dunia kecuali beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terkena kusta dibandingkan perempuan dengan rasio 2:1. (Hastings, 1985) Hasil dari 13 studi kohort menunjukkan bahwa peningkatan risiko (Relative Risk) untuk terkena kusta pada laki-laki bervariasi yaitu 0,8 di Malawi hingga 1,9 di Pilipina. Namun, terjadi bias informasi bila membandingkan angka insiden kusta pada laki-laki dan perempuan. Hal ini terkait dengan akses ke pelayanan kesehatan. (Bakker, 2005) 2.7.3 Ras atau etnik

Di beberapa negara kejadian kusta menunjukkan variasi yang cukup besar antara beberapa etnik. Di Myanmar, kasus kusta tipe MB lebih banyak ditemukan pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik Indian yang tinggal bersama-sama dalam negara tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, kasus kusta tipe MB lebih banyak ditemukan pada etnik China, baru kemudian etnik Melayu dan Indian. Di India, kasus kusta yang parah lebih banyak terjadi pada etnik Anglo-Indian dibandingkan etnik Indian. Sedangkan di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik lainnya. (Hastings, 1985, Depkes, 2007) 2.7.4 Vaksinasi BCG

Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa pemberian vaksinasi BCG dapat memberikan perlindungan seseorang terhadap kusta. Studi yang dilakukan di Malawi pada tahun 1996 menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan sebesar 50%, dan dengan pemberian dua dosis dapat memberikan perlindungan terhadap kusta hingga 80%. Hasil yang sama juga

(32)

12

Universitas Indonesia

ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan di Brazil bahwa pemberian vaksin BCG pada kelompok umur yang berbeda dapat melindungi seseorang terhadap kusta. Pemberian vaksin BCG pada kelompok umur 18-29 tahun sebesar 86% (95% IK: 77-92), pada kelompok umur 30-39 tahun sebesar 54% (95% IK: -37-85), dan pada kelompok usia 40 tahun atau lebih sebesar 32% (95% IK: -3-56). Meskipun efikasi dari vaksin BCG yang ditemukan di beberapa negara juga bervariasi yaitu antara 20-80%. (Depkes, 2007, Rodrigues,et al, 2007, Bakker, 2005)

2.7.5 Sosio-ekonomi

Secara umum dapat dipercaya bahwa perbaikan kondisi sosio ekonomi dapat menurunkan efek insiden kusta. Studi yang dilakukan di Malawi menunjukkan bahwa risiko terkena kusta dapat menurun dengan meningkatnya status pendidikan. Hal yang sama juga berlaku bagi kualitas keadaan rumah. Di Brazil, analisis multivariat menunjukkan korelasi negatif antara pendidikan, pertumbuhan penduduk, status sosio-ekonomi, dan keberadaan jalan dengan angka penemuan kasus baru. Angka insiden kusta ditemukan berkorelasi dengan jumlah penduduk. (Bakker, 2005, Kerr-Pontes.et.al, 2004)

2.7.6 Status kontak dengan penderita

Studi retrospektif yang dilakukan di kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa kontak dengan penderita tipe MB mempunyai risiko 2,8 kali (95% IK: 1,8-4,4) lebih tinggi untuk terkena kusta dibandingkan kontak dengan penderita tipe PB. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan di Tumaluntung bahwa bukan hanya kontak serumah dengan penderita tipe MB yang mempunyai risiko 13,7 kali lebih tinggi (95% IK: 8-24) untuk terkena kusta namun kontak yang tinggal disebelah rumah penderita tipe MB pun dapat berisiko 6,2 kali (95% IK: 3,4-11,2) untuk terkena kusta. Sedangkan kontak dengan penderita tipe PB mempunyai risiko 5,2 kali (95% IK: 2,3-11,8). (Bakker, 2005)

2.7.7 Geografi

Di Malawi, dilakukan penelitian tentang distribusi geografi angka insiden kusta dengan menggunakan foto udara untuk menentukan jarak ke sungai, jalan dan tepi danau, dan kepadatan penduduk per kilometer persegi. Ditemukan perbedaan

(33)

Universitas Indonesia

insiden di wilayah sebelah utara dan selatan. Hasilnya, angka insiden meningkat seiring dengan meningkatnya jarak dari jalan utama dan menurun seiring dengan peningkatan jarak dari sungai atau danau. (Bakker, 2005) Ada korelasi positif antara kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta (p=0,011)

2.7.8 Topografi

Topografi merupakan ketinggian wilayah yang dihitung dari permukaan air laut. Ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif antara topografi dengan angka penemuan kasus baru di 14 wilayah kabupaten/kota provinsi Sumatera Selatan. Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi angka penemuan kasus barunya lebih rendah dibandingkan dengan angka penemuan kasus baru di wilayah yang topografinya rendah (Hasyim, 2007)

2.7.9 Program Pengendalian kusta

Pada prinsipnya upaya pengendalian penyakit kusta berdasarkan pada penemuan secara dini dan pengobatan secara tuntas. Tujuan dari pengendalian penyakit kusta adalah menurunkan angka insiden yaitu dengan memutus mata rantai penularan dan mencegah kecacatan pada semua penderita yang baru ditemukan. (Bakker, 2005)

Kebijakan dalam rangka pengendalian penyakit kusta adalah dengan mengintegrasikan program kusta ke dalam pelayanan kesehatan dasar di tingkat puskesmas dan juga mengobati penderita kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi dari WHO serta memperkuat sistem rujukan yang telah ada. (Depkes RI, 2007)

Kegiatan yang dapat dilakukan dalam program pengendalian kusta adalah tata laksana penderita dan tata laksana progam. Tata laksana penderita meliputi penemuan, diagnosis, klasifikasi, pengobatan, pencegahan cacat, dan rehabilitasi medik. Sedangkan tata laksana progam antara lain perencanaan, pelatihan, penyuluhan dan advokasi, supervisi, pencatatan dan pelaporan, monitoring dan evaluasi, pengelolaan logistik. (Depkes RI, 2007)

(34)

14

Universitas Indonesia

Ada 3 indikator utama yang digunakan untuk monitoring tren epidemiologi kusta yaitu jumlah dan angka kasus baru yang ditemukan dalam 1 tahun per 100.000 penduduk, jumlah dan angka kasus baru yang ditemukan dengan cacat tingkat 2 dalam 1 tahun per 100.00 penduduk, dan proporsi penderita yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu. (WHO, 2009)

Di antara indikator lainnya, angka penemuan kasus baru yang paling sering digunakan untuk menentukan besarnya masalah kusta di suatu wilayah. Angka penemuan kasus baru digunakan untuk menghitung berapa jumlah kebutuhan MDT yang harus disuplai ke suatu daerah. Tren angka penemuan kasus baru juga dapat digunakan untuk menilai apakah kegiatan yang bertujuan untuk mengendalikan kusta efektif. Beberapa faktor operasional yang diketahui dapat mempengaruhi angka penemuan kasus baru kusta antara lain:

1. Spesifisitas diagnosis

Perubahan definisi kasus, kriteria diagnosis yang berbeda dan digunakan selama bertahun-tahun serta kelemahan kontrol kualitas pemeriksaan penderita berakibat pada akurasi diagnosis. Di India, angka over diagnosis ditemukan berkisar antara 6-13%. Over diagnosis lebih banyak dijumpai di daerah perkotaan disbanding daerah pedesaan. (Gupte, 2006)

2. Sensitifitas diagnosis

Selain spesifisitas diagnosis, faktor yang dapat mempengaruhi angka penemuan penderita baru kusta adalah sensitifitas. Sensitifitas sebagaimana Gupte menyebutkan antara lain seperti kemiskinan, kecacatan, stigma, gender, aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. (Gupte, 2006)

3. Penemuan kasus secara pasif atau pelaporan sukarela

Penemuan penderita secara pasif berdasarkan adanya orang yang datang mencari pengobatan ke puskesmas atau sarana kesehatan lainnya atas kemauan sendiri atau saran dari orang lain. Penderita ini biasanya datang sudah dalam kondisi stadium lanjut. (Depkes RI, 2007) Di provinsi Tamilnadu, India ditemukan bahwa proporsi pelaporan diri secara sukarela setelah integrasi

(35)

Universitas Indonesia

program kusta ke dalam pelayanan kesehatan sebesar 25%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan sebelum integrasi yaitu sebesar 14%. (Gupte, 2006)

4. Re-registrasi

Registrasi kembali penderita yang telah sembuh sebagai penderita baru ditemukan pada kegiatan penemuan kasus aktif seperti LEC (Leprosy Elimination Campaign). Kisarannya antara 33-82%. Hal ini terjadi karena kurangnya supervisi dan ketidakpatuhan terhadap pedoman nasional dan internasional. (Gupte, 2006) Di Indonesia sendiri, penderita kusta yang ditemukan di daerah endemis rendah harus dikonfirmasi kepada pengelola program tingkat kabupaten dan provinsi. (Depkes RI, 2007)

5. Penemuan kasus secara aktif

Penemuan kasus secara aktif maksudnya adalah penderita yang ditemukan melalui kegiatan-kegiatan aktif yang dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan. Kegiatan ini mencakup pemeriksaan kontak penderita, Rapid Village Survey, pemeriksaan anak sekolah, dan lain-lain. (Depkes RI, 2007) Di India, setelah dilaksanakan kegiatan penemuan kasus secara aktif (MLEC), kasus baru yang dilaporkan 90%nya adalah kasus yang melaporkan secara sukarela. Setelah terjadi kenaikan angka penemuan kasus baru selanjutnya angka penemuan kembali menurun. (Gupte, 2006)

(36)

16

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN

DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Berbagai faktor resiko diketahui dapat mempengaruhi angka penemuan kasus baru kusta maka berdasarkan literature yang ada digambarkan kerangka teori seperti di bawah ini. Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Epidemiological and Modelling Stuides (Bakker, 2005, Hastings, 1985, Kerr-Pontes, 2004, Gupte, 2006, Hasyim, 2007) yang dimodifikasi:

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Teori

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

Faktor individu : − Usia − Jenis kelamin − Ras / Etnik − Vaksninasi BCG Faktor operasional : − Sensifitas diagnosis − Spesifisitas diagnosis − Re-registrasi − Penemuan kasus secara pasif − Penemuan kasus secara aktif Angka penemuan kasus baru kusta

Faktor makro : − Geografi (jarak ke

sungai, jarak ke jalan dan atau danau) − Topografi Faktor komunitas : − Sosio-ekonomi (pendapatan per kapita, pendidikan, kondisi rumah, pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk, keberadaan jalan)

Status kontak dengan penderita

Cara penularan : Kontak kulit

Penularan melalui udara (droplet infection) Lingkungan tempat kuman kusta berkembang biak: Tanah, air, bianatang reservoir yaitu armadillo

(37)

Universitas Indonesia

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen terdiri dari penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif, cakupan vaksinasi BCG, kepadatan penduduk dan topografi. Sedang variabel yang dipengaruhinya adalah angka penemuan kasus baru kusta. Berikut adalah kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini:

Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

Penemuan kasus secara aktif

Topografi

Cakupan vaksinasi BCG

Kepadatan penduduk Penemuan kasus secara pasif

Angka penemuan kasus baru kusta

(38)

18

Universitas Indonesia

3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil ukur Skala Angka kasus baru kusta Jumlah penderita yang baru ditemukan dan belum pernah mendapat MDT (Multi Drug Therapy) pada periode satu tahun per 100.000 penduduk Laporan rutin program kusta Pencatatan hasil laporan penemuan penderita baru kusta Jumlah penderita baru yang ditemukan per 100.000 penduduk Rasio Penemuan kasus secara pasif Persentase penderita yang melaporkan diri secara sukarela Laporan rutin program kusta Pencatatan hasil laporan penemuan penderita baru melalui kegiatan pasif Persentase penemuan penderita baru yang melaporkan diri secara sukarela Rasio Penemuan kasus secara aktif Persentase penderita yang ditemukan melalui kegiatan pemeriksaan kontak, Rapid Village Survey (RVS), Survey anak sekolah Laporan rutin program kusta Pencatatan hasil laporan penemuan penderita baru melalui kegiatan aktif Persentase penemuan penderita baru melalui : Pemeriksaan kontak, RVS, survey anak sekolah Rasio Cakupan vaksinasi BCG Persentase balita yang mendapat Laporan rutin program imunisasi Pencatatan hasil laporan vaksinasi rutin Persentase cakupan vaksinasi BCG Rasio

(39)

Universitas Indonesia vaksinasi BCG Kepadatan penduduk Perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah Daftar isian BPS provinsi Jawa Timur Pencatatan hasil laporan yang diperoleh dari BPS Provinsi Jawa Timur dengan membagi jumlah penduduk suatu wilayah per luas daerah (km2) Kepadatan penduduk per km2 Rasio

Topografi Jarak suatu wilayah dari permukaan laut Mengukur jarak suatu wilayah dari permukaan laut Peta digital wilayah provinsi Jawa Timur Ketinggian dari permukaan laut Rasio

(40)

20

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Studi yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan studi deskriptif yang menggunakan desain korelasi atau ekologi. Menurut Murti, studi ekologi bertujuan mendeskripsikan hubungan korelasi antara penyakit dengan variabel prediktor, dengan membandingkan kasus berdasarkan wilayah atau geografi. Studi ini tidak hanya bermanfaat untuk memahami fenomena alami pada populasi bahkan dapat pula menguji penerapan tentang etiologi penyakit pada setting yang nyata. (Murti, 2003)

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan angka penemuan kasus baru kusta di tingkat kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010. Unit analisis pada penelitian ini adalah populasi yaitu angka penemuan penderita baru kusta per wilayah per tahun.

4.2 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan pada ketersediaan data sekunder penyakit kusta dan cakupan vaksinasi BCG. Pengumpulan data sekunder penelitian dilakukan oleh peneliti selama ± 1 bulan.

4.3 Populasi dan sampel

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh penemuan penderita baru penyakit kusta di provinsi Jawa Timur. Sedangkan populasi studinya adalah penemuan penderita baru penyakit kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010. Sampel dalam penelitian ini adalah penemuan penderita baru penyakit kusta per wilayah kabupaten/kota per tahun dalam kurun waktu 2006 – 2010.

(41)

Universitas Indonesia

4.4 Pengumpulan data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari laporan rutin program kusta dan laporan rutin program imunisasi seluruh wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari :

a. Data penemuan kasus baru kusta b. Data cakupan vaksinasi BCG

c. Data penemuan penderita baru yang ditemukan melalui penemuan aktif d. Data penemuan penderita baru yang ditemukan melalui penemuan pasif e. Data kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) yang diperoleh melalui

BPS daerah f. Data topografi 4.5 Pengolahan

Setelah proses pengumpulan data selesai, tahap selanjutnya yaitu pengolahan data. Data diolah secara manual dengan bantuan komputer dan menggunakan program Microsoft Excel. Program SPSS digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.

4.6 Analisis data

Tahap selanjutnya setelah pengolahan data selesai data akan dianalisis dengan menggunakan dua tahap yaitu :

4.6.1 Analisis univariat

Data yang digunakan dalam penelitian ini berjenis numerik sehingga untuk mendeskripsikannya digunakan ukuran tengah dan ukuran variasi. Bila data kategorik yang dikumpulkan ternyata tidak menunjukkan adanya nilai ekstrim (distribusi normal) akan digunakan nilai median dan interquartil. (Hastono, 2002)

Data akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik beserta penjelasannya untuk memudahkan interpretasi dan visualisasi data.

(42)

22

Universitas Indonesia

4.6.2 Analisis bivariat

Analisa yang akan digunakan untuk menguji hubungan antara variabel dependen (angka penemuan kasus baru kusta) dengan variabel independen (faktor yang mempengaruhi angka penemuan kasus baru). Uji yang digunakan adalah uji korelasi yaitu untuk mengetahui derajat / keeratan hubungan dan arah hubungan dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) dengan nilai p < 0,05. Interpretasi kekuatan hubungan antara dua variabel dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. 0 : tidak ada korelasi antara dua variabel b. >0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah

c. >0,25 – 0,5 : Korelasi sedang d. >0,5 – 0,75 : Korelasi kuat

e. >0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat f. 1 : korelasi sempurna

(43)

23

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum wilayah

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di pulau Jawa. Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua yaitu Jawa Timur daratan dan kepulauan Madura. Luas wilayah daratan hampir mencakup 90% luas wilayah provinsi, sedang luas kepulauan sekitar 10%nya. Provinsi ini mempunyai 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.156 km2 dan luas wilayah lautan sebesar 110.764,28 km2. Wilayahnya membentang antara 111°0’ BT dan 7°12’LS-8°48’LS. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, selatan dengan Samudera Indonesia, Timur dengan selat Bali dan barat dengan provinsi Jawa tengah. (Dinkes Jatim, 2010)

Wilayah administrasi provinsi Jawa Timur dibagi atas 29 kabupaten dan 9 kota. Yang termasuk wilayah kabupaten adalah Pacitan, Ponorogo, Kecenderunganggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sedangkan yang termasuk wilayah kota adalah Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Mojokerto. Jawa Timur mempunyai 662 kecamatan dan 8507 kelurahan/desa. (Dinkes Jatim, 2010)

Jumlah penduduk provinsi Jawa Timur berdasarkan hasil proyeksi yang dilakukan BPS sebesar 38.026.550 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 2,39% dan kepadatan sebesar 806 jiwa per kilometer persegi. Rasio rata-rata jiwa per kepala keluarga adalah 4 jiwa. Kepadatan penduduk di kota lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk di wilayah kabupaten. (Dinkes Jatim, 2010)

(44)

24

Universitas Indonesia

Gambar 5.1

Wilayah administrasi provinsi Jawa Timur tahun 2010

5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Sejak tahun 2006 – 2010 kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur menunjukkan penurunan meskipun terjadi lonjakan kenaikan angka penemuan kasus pada tahun 2009. Kecenderungan tersebut ditampilkan dalam grafik seperti berikut:

(45)

Universitas Indonesia

Grafik 5.1 Kecenderungan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk dari 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.1 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata angka penemuan kasus baru dari 38 kabupaten/kota adalah 14,29 per 100.000 penduduk. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2008 sehingga menjadi 12,83 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2009, terjadi kenaikan angka penemuan yaitu sebesar 14,63 per 100.000 penduduk, kemudian pada tahun 2010 kembali menurun hingga menjadi 12,37 per 100.000 penduduk.

(46)

26

Universitas Indonesia

Grafik 5.2 Kecenderungan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun

2006-2010

Dari grafik 5.2 di atas terlihat bahwa angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 cenderung menurun meskipun pada tahun 2009 menunjukkan peningkatan dan kembali menurun pada tahun 2010. Wilayah kabupaten/kota yang menunjukkan penurunan angka penemuan kasus baru kusta antara lain Jombang, Kediri, Malang, kota Malang Mojokerto, Ngawi, Pacitan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Tuban, dan Sidoarjo.

(47)

Universitas Indonesia Gambar 5.2 Penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk

(48)

28

Universitas Indonesia

Gambar 5.2 di atas menunjukkan bahwa wilayah kabupaten/kota yang berada di sebelah utara penemuan kasus baru kustanya lebih tinggi dibandingkan wilayah kabupaten/kota yang terletak di sebelah selatan. Penemuan kasus baru kusta paling tinggi berada di kabupaten Sampang dengan CDR 64,29 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus baru penyakit kusta terendah berada di kota Batu dengan CDR 0,22 per 100.000 penduduk.

5.2.2 Kecenderungan proporsi penemuan kasus kusta secara pasif di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006-2010 cenderung menunjukkan peningkatan meskipun pada tahun 2008 dan 2009 terjadi penurunan. Berikut adalah tampilan kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.

Grafik 5.3 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.3 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata proporsi penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota adalah 64,71%. Angka tersebut meningkat hingga tahun 2007 sehingga menjadi 71,46%. Pada

(49)

Universitas Indonesia

tahun 2008 dan 2009, terjadi penurunan dan kembali meningkat hingga menjadi 73,59% pada tahun 2010.

Grafik 5.4 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.4 di atas terlihat bahwa proporsi penemuan kasus kusta secara pasif di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan meskipun terjadi penurunan penemuan di tahun 2008 dan 2009. Proporsi penemuan kasus kusta secara pasif paling tinggi berada di kabupaten Magetan dan kota Blitar dengan proporsi 100%. Proporsi penemuan kasus baru penyakit kusta secara pasif terendah berada di kabupaten Sumenep dengan proporsi 19,47%.

(50)

30

Universitas Indonesia

5.2.3 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan penurunan. Berikut adalah tampilan kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.

Grafik 5.5 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.5 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata proporsi penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota adalah 32,66%. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2010 sehingga menjadi 23,78%.

(51)

Universitas Indonesia

Grafik 5.6 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.6 di atas terlihat bahwa proporsi penemuan kasus kusta secara aktif di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan penurunan. Proporsi penemuan kasus kusta secara aktif paling tinggi berada di kabupaten Sumenep dengan proporsi 80,53%. Proporsi penemuan kasus baru penyakit kusta secara pasif terendah berada di kota Batu, kota Blitar dan kabupaten Magetan dengan proporsi 0%.

5.2.4 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan meskipun terjadi penurunan di tahun 2007. Berikut adalah tampilan kecenderungan cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.

(52)

32

Universitas Indonesia

Grafik 5.7 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.7 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota adalah 91,67%. Angka tersebut menurun pada tahun 2007 sehingga menjadi 88,97%. Namun sejak tahun 2007 cakupan imunisasi BCG terus meningkat hingga menjadi 103,10% pada tahun 2010.

(53)

Universitas Indonesia

Grafik 5.8 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.8 di atas terlihat bahwa proporsi cakupan imunisasi BCG di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan. Proporsi cakupan imunisasi BCG paling tinggi berada di kota Mojokerto dengan proporsi 119,64%. Cakupan imunisasi BCG terendah berada di kabupaten Sumenep dengan proporsi 67,67%.

5.2.5 Kecenderungan kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan. Berikut adalah tampilan kecenderungan kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.

(54)

34

Universitas Indonesia

Grafik 5.9 Kecenderungan kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Dari grafik 5.9 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata kepadatan penduduk dari 38 kabupaten/kota adalah 1714 jiwa. Angka tersebut terus menunjukkan peningkatan sehingga menjadi 1756 jiwa pada tahun 2010.

Grafik 5.10 Kecenderungan kepadatan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010

(55)

Universitas Indonesia

Dari grafik 5.10 di atas terlihat bahwa kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan. Kepadatan penduduk paling tinggi berada di kota Surabaya yaitu sebesar 8285 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk terendah berada di kabupaten Pacitan dengan 380 jiwa per kilometer persegi.

5.2.6. Topografi di 38 wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2010 Secara umum, provinsi Jawa Timur terbagi menjadi dua dataran yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi merupakan dataran yang terletak di atas 100mdpl sedang dataran rendah merupakan dataran yang terletak di bawah 100mdpl.

Gambar 5.3

Topografi wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur Tahun 2010

Dari gambar 5.3 di atas dapat dilihat bahwa beberapa kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur memiliki topografi yang tinggi. Wilayah kabupaten/kota yang topografinya paling tinggi berada di kota Batu dengan ketinggian 871

(56)

36

Universitas Indonesia

mdpl. Sedang kota yang topografinya paling rendah berada di kota Surabaya dengan 2 mdpl.

5.3 Analisis Bivariat

5.3.1 Analisis hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang kuat (r = 0,671) dan berpola negatif. Artinya semakin tinggi penemuan kasus secara pasif, semakin turun angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,450 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 45.0% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,0001). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut :

Tabel 5.1 Analisis Korelasi dan Regresi Penemuan Kasus secara Pasif dengan Penemuan Kasus Baru Kusta

Variabel r R2 Persamaan garis Nilai p Penemuan Pasif - 0,671 0,450 Kusta =44.21 – 0.44 (Pasif) 0.0001

Dari persamaan garis juga diketahui bahwa setiap kenaikan 1 persen penemuan pasif akan menurunkan 0.44 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:

(57)

Universitas Indonesia

Grafik 5.11 Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Pasif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

5.3.2. Analisis hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang sangat kuat (r = 0,796) dan berpola positif. Artinya semakin tinggi penemuan kasus secara aktif, semakin tinggi pula angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,633 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 63,3% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,0001). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:

(58)

38

Universitas Indonesia

Tabel 5.2 Analisis Korelasi dengan Regresi Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

Variabel r R2 Persamaan garis Nilai p Penemuan Aktif 0,796 0,633 Kusta = - 1.58 + 0.55 (Aktif) 0.0001

Dari persamaan garis diketahui bahwa setiap kenaikan 1 persen penemuan kasus secara aktif akan meningkatkan 0.55 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:

Grafik 5.12 Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

5.3.3 Analisis hubungan hubungan cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang kuat (r = 0,571) dan berpola negatif. Artinya semakin tinggi cakupan imunisasi BCG, semakin turun angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,326 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 32,6% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji

(59)

Universitas Indonesia

statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,001). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 5.3 Analisis Korelasi dan Regresi Cakupan imunisasi BCG dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

Variabel r R2 Persamaan garis Nilai p Cakupan BCG -0,571 0,326 Kusta = 98,67 - 0.081(BCG) 0.001

Dari persamaan garis diketahui bahwa setiap kenaikan 1 persen cakupan imunisasi BCG akan menurunkan 0.081 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:

Grafik 5.13 Diagram Tebar Hubungan Cakupan Imunisasi BCG dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta

Referensi

Dokumen terkait

Kontribusi Universitas Syiah Kuala untuk Aceh dan Indonesia, atau bahkan untuk dunia, Insya Allah akan semakin meningkat dengan bertambahnya tiga orang guru

Dengan berdiskusi dalam kelompok masing-masing, siswa diharapkan dapat menentukan volume bola menggunakan model setengah bola dan kerucut yang jari-jarinya

Setelah berdiskusi dalam kelompok, siswa diminta membuat daftar kegiatan yang bisa dilakukan dalan kondisi cuaca tertentu dan pakaian yang harus dikenakan saat kondisi

Pada nilai koefisien suku bunga luar negeri dalam hal ini adalah Sibor paling besar mempe- ngaruhi kondisi dari tingkat suku bunga pasar uang antar bank

Hasil penelitian ini sebagai berikut : profil kemampuan pemecahan masalah matematis subyek dengan gaya kognitif reflektif sudah memenuhi ciri kognitif reflektif dan tahapan

Dengan besarnya potensi pasar pengguna smartphone yang memiliki platform Android, tentu menjadi sebuah potensi dalam pengembangan mobile learning pada pembelajaran

Materi yang dianggap paling sulit oleh siswa dan guru adalah sama yaitu materi sistem regulasi.. Materi yang dianggap sulit oleh siswa dan guru juga sama, yaitu materi sistem

[r]