ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA SURABAYA NOMOR
2339/Pdt.g/2005/PA.Sby TENTANG H}AD}A>NAHANAKKEPADA
AYAHKARENA IBU WANITA KARIRSKRIPSI
Oleh :
ARIF MASDUKHIN NIM : C01211083
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI HUKUM PERDATA ISLAM SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian studi pustaka dengan judul,‛ ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Surabaya No. 2339/Pdt.G/2005/Pa.Sby Tentang H{ada{>nah Anak kepada Ayah karena Ibu
Wanita Karir‛. Penilitian ini adalah bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimanakah pertimbangan hakim PA Surabaya dalam putusan No 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby tetang H{ada{>nah Anak kepada Ayah karena Ibu Wanita Karir dan Bagaimana analisis hukum Islam terhadap putusan No. 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby tentang h}ad}a>nah anak kepada Ayah karena ibu wanita karir ?
Data dihimpun melalui teknik dokumentasi dari putusan pengaadilan Agama Surabaya yang mengandung permasalahan. Kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan pola pikir induktif.
Hasil penilitian menyimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan majlis hakim dalam memutuskan memberikan hak asuh anak kepada ayah, yaitu dengan dasar hukum yang digunakan oleh hakim adalah dasar ketentuan pasal 2 huruf (b) jo pasal 14 jo pasal 20 Undang- Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang
‚ Perlindungan Anak ‛. menyatakan dalam prinsip- prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi: kepentingan yang terbaik bagi anak. sedangkan jika dilihat dari hukum Islam yang memakai pendapat ulama’ Pertama, bahwasaya seorang had{in harus memiliki tanggung jawab dan lebih mementingkan anaknya namun dalam masalah ini ibu tidak memiliki kriteria untuk menjadi hadin karena terlalu banyak berkecimpung dengan pekerjaannya. Kedua, h{ad}anah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam h}ad}}a>nah, maka yang diutamakan adalah hak anak
DAFTAR ISI
COVER DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR...viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan batasan masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Kegunaan hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 10
H. Metode penelitian ... 12
BAB II TINJAUAN TENTANG HADANAH
A. Had{a>nah (Pengasuhan Anak) ... 17
1. Pengertian H{ad{a>nah secara umum ... 17
2. PengertianH{ad}}a>nah menurut Kompilasi Hukum Islam ... 15
3. Pengertian H{ad{a>nah menurut fiqih ... 22
B.Dasar hukum had{a>nah ... 26
C.Syarat-syarat hadanah ... 28
D.Sebab-Sebab Beralihnya Hak Asuh Anak Kepada Ayah... 33
BAB III DASAR PERTIMBANGAN PENGADILAN AGAMA SURABAYA NOMOR : 2339/PDT.G/2005/PA. SBY TENTANG PELIMPAHAN HAK SUH ANAK KARENA IBU WANITA KARIR... 39
A.deskripsi putusan nomor 2339/pdtg/2005/PA/ Sby tentang hak asuh anak kkepada ayah karena ibu wanita karir ... 39
1. duduk perkara ... 39
2. pertimbangan pengadilan agama surabaya ... 54
3. putusan pengadilan agama surabaya ... 65
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA SURABAYA NOMOR
A. analisis hukum dan dasar pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam pemberian h{ad{a>nah kepada ayah
karena ibu wanita karir ... 67 B. analisis hukum islam terhadap putusan pengadilan agama
surabaya nomor 2339//pdtg/2005.PA>.Sby tentangh{ad{a>nah anak kepada ayah karena ibu wanita
karir ... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77 B. Saran-saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan manusia di dunia ini dari jenis laki- laki
dan perempuan untuk saling mengenal dan saling berpasang pasangan agar
cenderung satu sama lain saling menyayangi dan saling mencintai serta guna
saling menyalurkan hasrat yang ada pada dirinya . Namun untuk menjalin kasih
sayang antara lain jenis, Allah SWT memberikan jalan atau solusi dengan suatu
ikatan yang didalam agama islam dinamakan pernikahan atau perkawinan.
Perkawinan adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.1Adapun
hikmah yang terkandung dalam perkawinan dapat menjaga kehormatan diri
sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan.
Juga berfaedah untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus
melahirkan dan mempunyai keturunan.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 , menegaskan perkawinan
adalah akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan ghali>z{an untuk menaati perintah
1
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu pernikahan
bukan hanya sebuah ikatan semata namun juga sebagai bentuk pengabdian dan
penghambaan kita kepada Allah.
Orang yang melakukan perkawinan hendaklah menyiapkan dengan baik dan
matang dari mental maupun fisiknya untuk mencapai tujuan pernikahan yang
sangat mulia. tujuan penikahan tersebut, yaitu menciptakan sebuah keluarga
yang damai dan tenteram. Sebagaimana digambarkan oleh firman Allah SWT:
ِِ َوِإ ًةََْْرَو ًةَدَوَم ْمُكَلْ يَ ب َلَ َجَو اَهْ يَلِإ اوُلُكْسَتِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْوَأ ِ ِتاَيآ ْنِمَو
َووُ َكَفَ تَ ي ٍدْوَ ِل ٍتاَيآ َكِلَذ
(
٢١
)
Artinya:Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu berarti benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Ru>m 30: 21)2
Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah keluarga yang di
dalamnya tercipta:
1. Saki<nah, artinya tenang;
2. Mawaddah, keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, yang berkaitan
dengan hal-hal yang bersifat jasmani;
3. Rah{mah, keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.3
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 1
dikatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
2
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Walaupun demikian bukan berarti semua yang telah melakukan ikatan
perkawinan akan mencapai tujuan pernikahan tersebut. Terkadang dalam rumah
tangga terjadi konflik dan ketidak cocokan di tengah-tengah perjalanan hidupnya
yang disebabkan berbagai faktor, baik itu faktor internal atau eksternal yang
tidak bisa dicari jalan perdamaiannya sehingga memaksa mereka untuk
mengambil keputusan yang terbaik untuk kelangsungan hidup mereka
masing-masing dengan cara bercerai.5 Walaupun bercerai itu adalah perbuatan yang halal
namun dibenci oleh Allah, seperti dalam hadist Rasulullah saw :
لاق مع نبا نع
:
ملس و يلع ها لص ها لوسر لاق
" :
قَطلا ها يا لَْا ضغبا
(
اور
مكاْا حص و جام نبا و دواد وبا
6
Artinya: Dari ibnu Umar berkata, Rasululah saw bersabda : segala sesuatu yang halal sangat dibenci oleh allah adalah talak. (H.R Abu da>ud, Ibnu maja>h)
Maksud hadist di atas yaitu adapun perkara yang halal namun sangat di benci
oleh allah yaitu Talak.
Kalau tujuan perkawinan membentuk keluarga yang saki<nah tidak mungkin
terwujudkan, cinta dan kasih sayang (mawaddah warah{{mah) tidak bisa lagi
dikembangkan, maka untuk mengeluarkan pasangan suami istri ini dari
4Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. 5
Musthafa Kamal, dkk, Fikih Islam (Sesuai Dengan Putusan Majelis Tarjih), (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri 2002), 273.
penderitaan yang berkepanjangan, hukum Islam memperbolehkan seorang suami
menjatuhkan talak.
Akibat dari perceraian menimbulkan berbagai permasalahan yang ada pada
suami istri setelah pra-nikah, mulai dari harta bersama, nafkah mut’ah, masa
iddah bagi istri yang dicerai dan hak asuh anak (h}ad}a>nah) bagi pasangan suami
istri yang telah memiliki anak.
Hak pengasuhan anak, dalam arti mendidik dan menjaganya untuk masa
ketika anak-anak itu membutuhkan pengasuh setelah perceraian disebut dengan
h}ad}a>nah. dalam agama islam pengasuhan anak ini adalah menjadi kewajiban dan
tanggung jawab bagi pihak yang terkait baik dari pihak ayah mapun ibu untuk
mendidik anaknya baik dari segi mental dan fisiknya, karena anak adalah sebuah
titipan dan amanah dari sang Kha>liq.
Anak dalam undang-undang perlindungan anak pada pasal 1 menyebutkan
anak adalah yng belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.7 Sedangkan dalam KHI (kompilasi Hukum Islam)
menyebutkan anak adalah orang yang belum genap 21 tahun dan belum pernah
menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri. Dari segi berbangsa,
anak adalah penerus bangasa, aset yang sangat berharga dan sebagai aset yang
penting bagi negara jikalau anak bangsa rusak maka rusak pula negara itu, oleh
karenanya negara wajib memberi perlindungan kepada anak dari kekerasan,
diskrimainasi serta memberikan hak dan kebebasannya.
7
Hal pendidikan anak, orang tua sangat bertanggung jawab dengan hal ini
untuk mendidiknya dari segi fisik maupun mentalnya baik orang tua tersebut
masih hidup bersama atau sesudah berpisah. Sebagaimana terdapat dalam
undang-undang perlindungan anak pasal 26 ayat 1 huruf (a) menyatakan ‚ Orang
tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara,
mendidik dan melindungi anak‛.8
Agama Islam pengasuhan anak dan yang betanggung jawab untuk
mendidiknya terdapat dua macam yaitu pertama, yang berhak untuk mengasuh
anaknya yaitu ibunya jikalau anak itu tujuh tahun dan ini sesuai pendapat imam
Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.9Kedua, anak itu sudah dewasa dan lebih dari
tujuh tahun itu bisa memilih bapaknya atau ibunya untuk menjadi pengasuh dan
pendidiknya.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf (a), menyebutkan dalam hal
tejadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya.10 Kemudian dalam Pasal 156 huruf (a),
akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah, anak yang belum mumayyiz
berhak mendapatkan h}ad}a>nah dari ibunya.11
Betapa pentingnya peranan ibu kepada anaknya yang belum mumayyiz
apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian. Adapun pengasuhan anak yang
belum mumayyiz jikalau kita melihat argumen yang ada baik dari segi hukum
8
Ibid., 4. 9
Muhammad Bin Abdurrahman, Fiqih Empat Madzhab.( Bandung: Hasyimi, Cet 14,2013), 393. 10
Undang-undang R.I No 1 tahun 1974 tentang perkawina dan Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Citra Umbara, 2012), 352.
11
Islam atau hukum positif, maka yang paling berhak mendapatkan untuk
mengasuh anak yang belum mumayyiz adalah pihak ibu.
Berbeda dengan putusan Pengadilan Agama Subaya No. 2339/pdtg/
2005/PA.Sby yang kasus perkaranya yaitu perceraian, yang pada akibatnya
menuju pada hak untuk mengasuh anaknya yang anak masih berumur 1 tahun 3
bulan dan mengalami kekurangan pada tangannya. sehingga dalam hal ini anak
tersebut sangat membutuhkan perhatian khusus, adapun sang suami sebagai
pemohon dan mempunyai ternak ayam dan sang istri sebagai termohon bekerja
pada PT. Buraq Air Lines Surabaya yang bekerjanya mulai jam 07.00 sampai jam
17.00, dalam perkara ini diputuskan hakim dan diberikan kepada sang pemohon
yaitu kepada ayahnya karena sang ibu berwanita karir yaitu bekerja di PT. Buraq
Air Lines Surabaya yang dalam pertimbangan hukumnya hampir tiap harinya ibu
itu bekerja, sehingga tidak ada waktu luang untuk mengasuh dan mendidik
anaknya, oleh karena itu dengan dalih ini hak pengasuhan anak diberikan kepada
sang ayah.
Oleh karena itu, menjadi hal menarik untuk diteliti, putusan majlis hakim,
dasar hukum, alasan serta implikasi lain dalam putusan yang berkekutan tetap
yang disepakati oleh maslis hakim. Inilah yang menjadikan penulis untuk
mengkaji dalam skripsi yang berjudul Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan
Pengadilan Agama Surabaya No. 2339/pdt.g/2005/PA.Sby Tentang Pelimpahan
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Pengerian h{ad{a>nah.
2. Dasar Hukum h{ad{a>nah.
3. Ketentuan h{ad{a>nah.
4. Syarat- syarat h{ad{a>nah.
5. Dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Surabaya atas putusan nomor yang
memberikan hak asuh anak kepada bapak karena ibu wanita karir.
6. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surabaya atas putusan nomor
2339/Pdt.G/2005/PA.Sby.
7. Analisis Hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Surabaya nomor
2339/Pdt.g/2005/PA.Sby tentang h{ad{a>nah. kepada Ayah karena ibu wanita
karir.
Untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada judul skripsi ini, maka
penulis membatasi penelitian ini pada masalah berikut:
1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam putusan No.
2339/Pdt.G/2005/PA.Sby tentang h{ad{a>nah. kepada bapak.
2. Analisis Hukum Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Surabaya dalam putusan No. 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby kepada bapak karena
ibu wanita karir Pengadilan Agama Surabaya Nomor
C.Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pertimbangan hakim PA Surabaya dalam menentukan hak
had{a>nah akibat perceraian dalam putusan No 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby
tentang h}ad}a>nah kepada bapak karena ibu wanita karir ?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama Surabaya pada putusan No. 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby tentang h}ad}a>nah
kepada bapak karena ibu wanita karir ?
D.Kajian Pustaka
Permasalahan ini memang belum ada yang membahas dan menelitinya.
Adapun terdapat skripsi yang mirip dengan pembahasan hadlanah anak kepada
ayah, sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis oleh Asmudi, (2011) Hak h{ad{a>nah Kepada Ayah Dalam Perspektif Maqa>sid Asy-Syari>’ah (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Yogyakarta Nomor : 08/Pdt.G/2009/Pta Yk).Skripsi thesis, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. dalam skripsi ini membahas Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta dalam memberikan putusah hak had{anah kepada seorang ayah,
yang tertuang dalam amar putusan nomor: 08/Pdt.G/2009/PTA Yk, yang
semestinya hak hadanah anak yang belum mumayyiz adalah kepada ibunya.
Dan penetapan hak hadanah ini akan dilihat dari sudut pandang Maqa>sid
anak diberikan kepada ayah karena demi kemaslahatan anaknya yang sesuai
dengan tujuan syarak.12
2. Skripsi yang ditulis olehSiti Munawwaroh, fakultas syariah UIN Syarif hidayatullah tahun 2011 yang berjudul ‚Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada
Bapak Karena Istri Mafq>ud,yang dalam skripsi ini membahas bagaimana
metode ijtihad hakim dalam memutuskan peralihan hak asuh anak kepada
bapak yang diseebabkan karena sang ibu mafq>udatu istri hilang. Dan dalam
skripsi ini pelimpahan hak asuh anak kepada bapak seperti demikian
diperbolehkan dan menyetujui putusan hakim, karena demi kepentingan sang
anak dan kemaslahatannya.13
3. Skripsi yang ditulis oleh A. Nafidzul Azizi , fakultas Syariah UIN sunan
ampel ‚Analisis hukum Islam terhadap hak asuh anak belum dewasa yang
diberikan kepada ayah‛ yang dalam skripsi ini menyatakan bahwa hak asuh
anak kepada ayah diperbolehkan asalkan itu demi sang anak dan untuk
kebaikannya dan kemaslahatannya.14
4. Azkiyah, Hanum (2014) Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo No.103/Pdt.G/2011/Pa.Sda Tentang Hak Asuh Anak
Yang Diberikan Kepada Isteri Yang Murtad.Penulis ini sama dengan diatas meneliti
tentang hak asuh anak yang diberikan kepada istri yang murtad namun dalam
12
Asmudi, “Hak Hadanah Kepada Ayah Dalam Perspektif Maqa>sid Asy-Syari>’ah (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Nomor : 08/Pdt.G/2009/Pta Yk)‛,(Skripsi--UIN Sunan Kali Jaga, 2011).
13
Siti Munawwaroh, “Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Karena Istri Mafqud (Analisa Yuriprudensi No: 881/Pdt.G/2008/P.A.JB)‛,(Skripsi--UIN Syarif hidayatullah tahun 2011). 14
menganalisanya penulis ini dengan menggunakan hukum islam.15 Dan adapun
hasilnya dalam skripsi ini tidak menyetujui dengan apa yang diputuskan oleh
sang hakim karena agama adalah paling penting. Setiap orang lahir adalah suci
namun orang tualah yang bisa menjadikannya kafir ataupun menjadi muslim
Selama pengkajian pustaka, penulis sama sekali belum menemukan
penelitian tentang pelimpahan hak asuh anak yang diberikan kepada bapak
karena ibu wanita karir, sehingga penulis bermaksud mengadakan penelitian
dengan judul:
‚Analisis Hukum Islam Tentang Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor
2339/Pdt.G/2005/PA.Sby Tentang Palimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak
Sebab Ibu Wanita Karir‛
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dihasilkan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui petimbangan hakim dalam menentukan hak hadlanah
akibat perceraian dalam putusan No 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby dan
implikasiya.
2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap putusan No.
2339/Pdt.G/2005/PA.Sby tentang hadlanah anak kepada bapak karena ibu
wanita karir dan implikasinya.
15
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna,
setidaknya mencakup dua hal:
1. Memperkaya h{azanah dan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan
wawasan khususnya di bidang hukum keluarga Islam yang berkaitan dengan
hada>nah.
2. Dapat memahami pertimbangan hakim dalam memutus perkara putusan
Nomor 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby. Serta dapat dijadikan wawasan bagi para
pihak dalam menetapakan putusan yang menyangkut di dalamnya hadlanah di
Pengadilan Agama lain.
G.Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi ini, yakni
‚Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama No.
2339/pdt.g/2005/PA.Sby Tentang Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak
Karena Ibu Wanita Karir‛. Maka perlu kiranya untuk memperjelas maksud dari
judul tersebut dengan pengertian sebagai berikut:
Analisis
Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan yang berkenaan
dengan kehidupan berdasarkan al-Quran dan hadist,
namunlebih ditekankan pada pendapat ulama serta
Putusan Pengadilan : pernyataan hakim yang dituangkan kedalam bentuktertulis
dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum,sebagai suatu bentuk produk pengadilan Agama .16
seperti pada putusa PA Surabaya no. 2339/Pdt.g/2005/
PA.Sby
Pelimpahan : melimpahkan, memindahkan wewenang atauhak.17
Hak Asuh Anak : dalam Islam hak asuh anak ini disebut dengan h}ad}a>nah,
hada>nah adalah merawat dan mendidik seseorang yang
belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya,
karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri.18
Wanita Karir : dalam kamus besar indonesia wanita berarti wanita
dewasa,19sedangkan karir berarti wanita yang
berkecimpung dengan kedgiatan profesi.
16
Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 148.
17
Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://www.artikata.com/arti-370753-pelimpahan.html. Di akses 13 April 2015.
18
Amir Naruddin,dkk. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 7. 19
H.Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Terkait dengan rumusan masalah di atas, data yang dikumpulkan adalah
sebagai berikut:
a) Salinan putusan pengadilan agama surabaya NO.2339/pdtg/2005/Sby
tentang tentang h}ad}a>nah kepada Ayah karena ibu wanita karir.
b) Data tentang Hukum Islam yang menjelaskan tentang h}ad}a>nah.
2. Sumber data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersumber
pada data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan. Dan data
yang diproleh atau dikumpilkan peneliti dari sumber-sumber yang biasanya
diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu,
yaitu:
a) Data primer
a. Salinan putusan pengadilan agama surabaya NO.2339/pdg/2005/Sby
tentang tentang h}ad}a>nah kepada Ayah karena ibu wanita karir.
b) Data sekunder
Sumber sekunder adalah bahan yang menjelaskan sumber primer, seperti
rancangan undang- undang, dan pendapat pakar hukum,20 seperti :
1. Undang- Undang perlindungan Anak N0 23 tahun 2002
2. Kompilasi Hukum Islam
20
3. Al-Qadhi Abu Syuja’, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i (Penjelasan KitabMatan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Quran dan Hadis).
4. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara
FiqihMunakahat dan Undang-Undang Perkawinan.
5. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia.
6. Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam.
7. Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram.
8. M. Qurrais Sihab, Membumikan Al-Qur’an
9. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab.
10. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.
11. Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II.
12. Wahbah az-Zuh}aili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Dokumentasi, yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang
diperlukan dalam permasalahan penelitian, lalu ditelaah secara intens
sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian
suatu kejadian.21 Untuk lebih menyempurnakan penelitian ini, Penulis
menggunakan teknik dokumentasi, supaya penelitian ini memiliki nilai
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu berupa bukti tertulis berupa
putusan perkara No. 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby di Pengadilan Agama
21
Surabaya tentang pelimpahan hak asuh anak kepada bapak karena ibu
wanita karir.
b) Wawancara, yaitu suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau
tanya jawab.22 Peneliti mengadakan wawancara langsung kepada responden
yaitu ketua hakim yang memutuskan di Pengadilan Agama Surabaya untuk
digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data melalui komunikasi
tanya jawab yang berlandaskan tujuan penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari pengamatan atau
sumber-sumber tertulis. Adapun
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan usaha-usaha untuk memberikan interpretasi
terhadap data yang telah tersusun. Analisis data ini dilakukan dengan metode
kualitatif, artinya analisis data tersebut ditujukan kepada data yang sifatnya
berdasarkan kualitas, mutu, dan sifat fakta atau gejala yang bena-benar
berlaku. Data metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
deskriptifanalisis, yaitu metode yang diawali dengan menjelaskan atau
menggambarkan data hasil penelitian untuk selanjutnya menggunakan cara
22
berfikir induktif yaitu menjelaskan permasalahan-permasalahan khusus
(mengandung pembuktian dan contoh-contoh fakta) yang diakhiri dengan
kesimpulan yang berupa pernyataan umum. lalu menilai apakah pertimbangan
hakim di Pengadilan Agama Surabaya dalam putusan perkara tentang
pemberian hadanah kepada ayah karena ibu wanita karir sesuai dengan
hukum Islam atau tidak.
I. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini mempunyai alur yang jelas, terfokus, dan
terarah pada pokok persoalan, maka penulis menggunakan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan sebagai pengantar kepada isi tulisan. Yang
terdiri dari latar belakang masalah yang berisi diskripsi umum tentang masalah
yang akan diteliti. Kemudian diberi batasan masalah yang berisi beberapa pokok
masalah yang diteliti dalam skripsi ini, setelah dibatasi baru dirumuskan
masalahnya, kajian pustaka yaitu menyebutkan beberapa penelitian terdahulu
yang memiliki beberapa kaitan dengan skripsi yang akan dibahas serta
menyatakan bahwa tidak terjadi kesamaan dengan karya ilmiah orang lain,
selanjutnya tujuan dan kegunaan berisi tujuan yang ingin dicapai dan manfaat
yang akan dihasilkan dalam skripsi ini,selanjutnya yaitu Definisi operasional,
metode penelitian dan terakhir yaitu sistematika pembahasan.
Bab kedua yakni tinjauan umum tentang perceraian dan dan tentang
alasan-alasan perceraian. Isinya sebagai berikut: pertama, menguraikan tentang
Bab ketiga merupakan deskripsi putusan Majlis Hakim No.
2339/Pdt.G/2005/PA.Sby di Pengadilan Agama Surabaya tentang pemberian
h{ad{a>nah kepada ayah karena ibu wanita karir.
Bab keempat adalah merupakan analisis terhadap putusan
No.2339/Pdt.G/2005/PA.Sby di Pengadilan Agama Surabaya yang dianalisis
menggunakan hukum Islam dalam hal ini diutamakan dalam pendapat ulama dan
masalahah mursalah terhadap putusan tersebeut. Setelah dinilai apakah
pertimbangan hakim yang ada pada putusan tersebut sesuai dengan hukum Islam
atau tidak.
Bab kelima merupakan bab terakhir yang merupakan penutup, yang berisi
kesimpulan dan saran. Setelah bab penutup dilengkapi dengan daftar pustaka dan
BAB II
TINJAUAN TENTANG
H{AD{A<NAH
A. H{ad{a>nah (Pengasuhan Anak)
1. Pengertian H{ad{a>nah secara umum
Kebanyakan orang (terutama para orang tua atau suami isteri) memang sudah mengerti dan menyadari bahwa memelihara anak yang telah dilahirkannya merupakan sebuah kewajiban. Akan tetapi ada juga diantara mereka yang keliru melaksanakan pemeliharaan anak tersebut. Sehingga ada yang hanya mementingkan pertumbuhan fisik anaknya saja dan mencukupi kebutuhan materi anak secara berlebihan, tanpa memperhatikan pertumbuhan jiwa anak dan pencukupan kebutuhan spiritual anak yang berupa perhatian terhadap perkembangan mentalnya dan pemberian kasih sayang baginya.
Kekeliruan tersebut mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman orang tua terhadap arti dan pengertian h{ad{a>nah, serta kewajiban yang ada padanya. H{ad}a>nah berasal dari kata ‚H{id{an‛,artinya: lambung. Dan seperti kata: Had}ana at{-t}a>iru baid }ahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya.1 H}ad}a>nah menurut Mahmud Yunus dalam Kamus Arab Indonesia ‚h{ad{a>na
-yah{d{unu-h{ad{nan‛, yang berarti mengasuh anak, memeluk anak.2 Selain itu juga bermakna
mendekap, memeluk, mengasuh dan merawat.
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8,( Bandung; Al Maarif,1997),Hal 160
Secara etimologis H{ad{a>nah adalah al janbu yang berarti erat atau dekat sebab H{ad{a>nah pada hakikatnya yaitu usaha menghimpun anak-anak yang masih kecil agar menjadi dekat dan erat.3 Adapun secara terminologis adalah memelihara anak-anak yang masih kecil baik laki - laki maupun perempuan, atau menjaga kepentingannya karena belum dapat berdiri sendiri, serta melindungi diri dari segala yang membahayakan dirinya sesuai dengan kadar kemampuannya.4
H{ad}}a>nah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau dipangkuan.5 Menurut Muhammad Bin Ismail Salah Al-Amir Al-Kahlani atau yang disebut dengan nama Sa’ani, mengartikan h}ad}}a>nahadalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.6
Menurut para ahli fiqih h}ad}}a>nah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya dan merusak, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi dan memikul tanggung jawabnya.7
3 Ahmad Warson, Kamus Arab – Indonesia Al Munawwir,( Surabaya: Pustaka Progresif,1997),hal 295.
4 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam,(Badung:CV Pustaka Setia, 2000), hal 224.
5. DEPAG RI, Ilmu Fiqih, direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985, jilid 2, 2006.
6 As-San’ani, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), cet ke 3, 37.
Dalam ensiklopedia Islam dijelaskan, bahwa h}ad}}a>nahadalah mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis menembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.8
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan, bahwa h}ad}}a>nahadalah mengasuh atau memelihara anak yang masih kecil atau dibawah umur dari segala segi fisiknya, mentalnya, maupun moralnya dari pengaruh yang buruk dikarenakan anak tersebut belum dapat mengurus dirinya sendiri dan masih memerlukan bantuan orang lain, agar menjadi manusia yang dapat bertanggung jawab dalam hidupnya.
Pada dasarnya, pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tua, pemeliharaan ini meliputi berbagai bidang baik masalah ekonomi, perhatian dan kasih sayang, maupun pendidikan yang mencakup pendidikan agama maupun pendidikan umum.Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan isteri turut membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi keluarga tersebut, karena hal itu yang terpenting adalah kerjasama dan saling membantu antara suami isteri dalam memelihara anak tersebut sampai berdiri sendiri atau dewasa.
2. Pengertian H{ad}}a>nah menurut Kompilasi Hukum Islam
Pemeliharaan anak (h}ad}}a>nah) terdiri dari dua kata adalah, kata
‚pemelihara‛ dan kata ‚anak‛, pemeliharaan berasal dari kata ‚pelihara‛ yang
memiliki arti jaga, rawat. Sedangkan kata pemeliharaan berarti proses, cara, perbuatan, memeliharakan, penjagaan, perawatan, pendidikan.9
Menurut Yahya Harahap, pemeliharaan adalah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya, serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua.10Jadi pemeliharaan anak tersebut meliputi pengawasan, pelayanan dan pembelanjaan dalam arti yang luas. Pengawasan berarti membentuk lingkungan anak dalam suasana yang sehat, baik jasmani maupun rohani, sehingga anak menjadi manusia yang memiliki jiwa sosial. Pelayanan berarti menanamkan rasa kasih sayang orang tua terhadap anak.11 Sedangkan kebutuhan hidup adalah kebutuhan primer atas tempat tinggal,makanan dan pakaian menjadi kebutuhan hidup yang lebih ditekankan pada soal nafkah.
Yahya Harahap tidak memasukkan pendidikan sebagai bagian dari pemeliharaan, hal ini berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang memisahkan pemeliharaan dengan pendidikan, namun keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
9Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) cet ke 2, 661
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan istilah pemeliharaan anak yang dimuat dalam bab XIV pasal 98, 105, dan 106. Dalam pasal 98 dijelaskan bahwa batas usia anak mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 12 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum menikah.
Pasal 105 dan 106 secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak dan harta. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur 12 tahun adalah hak ibunya, jika sudah mumayyiz maka anak tersebut disuruh memilih siapa diantara ayah atau ibu yang memegang hak pemeliharaannya.
Namun biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, selain itu juga orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa, dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban orang tua tersebut.
mendapatkan h}ad}}a>nah dari ibunya, kecuali bila telah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan.
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 point c dinyatakan apabila pemegang h}ad}}a>nah ternyata tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan h}ad}}a>nah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak h}ad}}a>nah kepada kerabat lain yang mempunyai hak h}ad}}a>nah pula.
Mengambil dari syarat-syarat yang terdapat pada pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan dan pasal 156 point c Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka seorang pengasuh harus dapat dipercaya dan mampu untuk melaksanakan kewajban dan pemeliharaan dan pengasuhan anak (h}ad}}a>nah), disamping itu seorang pengasuh harus taat beribadah.
3. Pengertian H{ad}}a>nah menurut fiqih
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut h}ad}}a>nah. Secara etimologis, h}ad}}a>nah jamaknya ahd}ha>n atau hud}hu>m terambil dari kata hid}hnadalah anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-ka>yh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan h}ad}ha>nat-tha’i>r bayd}ha>hu>, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit) telurnya itu ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya.12 Demikian pula sebutan h}ad}}a>nah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.13
H{ad}}a>nah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan.14h}ad}}a>nah juga berarti ‚disamping‛ atau berada ‚di bawah ketiak‛. Sedangkan secara terminologis, h}ad}}a>nah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.15
Dalam kajian fiqih, pemeliharaan anak biasa disebut dengan h}ad}}a>nah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk
12 Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 296.
13 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), cet ke 14, 173.
14 DEPAG RI, Ilmu Fiqih, direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985, jilid 2, 2006.
melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.16
Para ulama fiqih mendefinisikan h}ad}}a>nah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, medidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.17
Dalam kitab Subullus Salam disebutkan bahwa h}ad}}a>nah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikan serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.18
Dalam literatur fiqih, h}ad}}a>nah didefinisikan dalam beberapa terminologi diantaranya :
a. Menurut Muhammad Ibnu Ismail Al-Shan’ani.19
ُ ّ ُضَي ْوَا ُ ُكِلْهُ ي امَع ُ ُتَ ياَقِوَو ُ ُتَيِبْ َ تَو ِ ِرْوُمُاِب ّلِ َتْسَي َ ْنَم ُ ْفِح
Artinya :‚pemeliharaan orang yang belum mampu mengurus diri sendiri serta pendidikannya dan penjagaan dari sesuatu yang dapat membinasakan atau
membahayakan‛.
b. Menurut Sayyid Sabiq:20
16 Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 67 17 Sayyid Sabiq, Fiqih Al Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), 287.
18 Imam Muhammad Ibnu Islam As-Shan’ani, Subulu Al-Salam juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960), 227.
ِ ِرْوُمُاِب ّلِ َتْسَي َ َو ُزّ يَُُ َ يِذَلا ِ ْوُ تْ مَلا ِوَا ِْ ِغ لا ِ ْفِِِ ِداَيِ لا ِنَع ٌةَراَبِع
اًيِلْ َعَو اًيِسْفَ نَو اًيِمْسِج ُ ُتَيِبْ َ تَو ُ ّ ُضَيَو ِ يِذْ ُ ي اَِِ ُ ُتَ ياَقِوَو ُ ُحِلْ ُي اَِ ُ َ َهَ َ تَو
ِ ِتَيِلوُ ْسَِ ِ ََْ ِ اَو ِةاَيَْا ِتاَ ِبَتِب ِضوُهّ للا ىَلَع يَو َي َك
Artinya : ‚perumpamaan pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna dan
bertanggung jawab‛.
c. Menurut Qalyubi dan Umairah :21
ُ ُحِلْ ُي اَِ ُ ُتَيِب ْ َ تَو ِ ِرْوُمُاِب لِ َتْسَي َ ْنَم ُ ْفِح ُةَناَضَْا
Artinya : ‚h}ad}}a>nah adalah penjagaan anak yang tidak dapat mengurus urusannya dan pendidikan anak dengan hal-hal yang baik‛.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan h}ad}}a>nah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayyiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan tanggung jawab. H{ad}}a>nah diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan,yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum sanggup mengatur sendiri.22
20 Sayyid Sabiq, Fiqih Al Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), 289.
21 Syeikh Al-Qalyubi Wa Al-‘Umairah, Al-Ma>h}alli Juz IV, (Kairo: Dar Wahya Al-Kutub, 1971), 88.
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, h}ad}}a>nah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam h}ad}}a>nah, maka yang diutamakan adalah hak anak.23
Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam Islam, yakni al-h}ad}}a>nah, memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.24
Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut :25
1. Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan. 2. Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan.
5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan. 6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi
kelangsungan hidupnya.
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
23Wahbah Al-Zuhaili, Al-FiqhuAl-Isla>mi Wa Adilla>tuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), 279.
24 Abdur Rozak Kusein, Hak Anak dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 49.
Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqih. Barulah setelah diberlakukannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI, masalah h}ad}}a>nahmenjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan meyelesaikannya.26
B.Dasar Hukum H{ad}}a>nah
Para ulama sepakat bahwa pemeliharaan anak itu adalah wajib, sebagaimana wajib memelihara selama dalam pernikahan, adapun dasar hukum dari h}ad}}a>nah atau pengasuhan anak adalah surat At-Tahrim ayat 6 :27
ٌظ ََِغ ٌةَكِئ َََم اَهْ يَلَع ُةَراَجِْْاَو ُساَللا اَُدوُقَو اًراَن ْمُكيِلَْأَو ْمُكَسُفْ نَأ اوُق اوُلَمآ َنيِذَلا اَهّ يَأ اَي
َووُ َمْ ُ ي اَم َووُلَ ْفَ يَو ْمَُ َمَأ اَم َ َللا َووُ ْ َ ي َ ٌداَ ِ
Artinya : ‚hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan‛.
Yang dimaksud dengan memelihara keluarga pada ayat diatas yakni mengasuh dan mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi agama.28
Dan dasar hukum h}ad}}a>nah yang lain sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 233 :29
َِْْلِماَك َِْْلْوَح َنَُد َ ْوَأ َنْ ِضْ ُ ي ُتاَ ِلاَوْلاَو
َةَعاَضَ لا َمِتُي ْوَأ َداَرَأ ْنَمِل
ۚ
ُ َل ِدوُلْوَمْلا ىَلَعَو
ِفوُ ْ َمْلاِب َنُهُ تَوْسِكَو َنُهُ قْزِر
ۚ
اَهَ ْسُو َ ِإ ٌسْفَ ن ُفَلَكُت َ
ۚ
َ َو اَِ َلَوِب ٌةَ ِلاَو َراَضُت َ
ِ ِ َلَوِب ُ َل ٌدوُلْوَم
ۚ
َََف ٍرُواَشَتَو اَمُهْ لِم ٍضاَ َ ت ْنَع ً اَ ِف اَداَرَأ ْوِإَف َكِلَٰذ ُلْثِم ِثِراَوْلا ىَلَعَو
اَمِهْيَلَع َحاَلُج
ْمُتْيَ تآ اَم ْمُتْمَلَس اَذِإ ْمُكْيَلَع َحاَلُج َََف ْمُكَد َ ْوَأ اوُ ِضْ َ تْسَت ْوَأ ُُْْدَرَأ ْوِإَو
ِفوُ ْ َمْلاِب
ٌ ِ َب َووُلَمْ َ ت اَِ َ َللا َوَأ اوُمَلْعاَو َ َللا اوُ َ تاَو
Artinya : ‚para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, adalah bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduannya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduannya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduannya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Maksud dalil diatas adalah bahwasannya orang tua berkewajiban untuk menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya serta kesehatan baik secara fisik maupun psikis, karena masa-masa itulah sangat mempengaruhi anak dari segi perawatan, pengasuhan dan pendidikan yang harus diberikan dan
28Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) 392-393.
diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Hal tersebut merupakan upaya mewujudkan manusia yang berkualitas dan berakhlak tinggi.30
C.Syarat-syarat H{ad}}a>nah
Tidak semua orang bisa mendapatkan hak asuh. Ada sejumlah ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pengasuhan.31Pemeliharaan atau pengasuhan anak memiliki dua rukun, adalah orang tua yang mengasuh yang disebut h}ad}hin dan anak yang diasuh disebut mahd}hu>n. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memeliharahasil perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.
Seorang yang bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut :32
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
30Ibid, 150.
31Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1975), cet ke 15, 404.
3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq adalah tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamnya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahd}hu>n) itu adalah :
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurusi hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.
Sedangkan menurut Abd. Rahman Ghazaly ini ada sedikit perbedaan dengan apa yang telah diungkakan oleh sayyid sa>biq yaitu dalam fiqh munakahat, dikatakan syarat-syarat h}ad}hin adalah sebagai berikut:33
1. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan h}ad}}a>nah dengan baik, seperti h}ad}hi>nah terikat dengan pekerjaan yang
berjauhan tempatnya dengan tempat si anak atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.
2. Hendaklah ia orang mukallaf, adalah telah baligh, berakal, dan tidak terganggu ingatannya. h}ad}}a>nahadalah suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab, sedangkan orang yang belum mukallaf adalah orang yang tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan h}ad}}a>nah.
4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berbuhungan dengan budi pekerti anak.
5. Hendaklah h}ad}hi>nah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak, jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak maka h}ad}hi>nah itu berhak melaksanakan h}ad}}a>nah, seperti ia kawin dengan paman si anak.
6. H{ad}hi>nah hendaklah orang yang tidak membenci si anak, jika h}ad}hi>nah orang yang membenci si anak dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan.
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan h}ad}}a>nah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah karena ibu memiliki rasa kasih sayang yang lebih dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia sangat muda dibutuhkan kasih sayang.
maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi menjadi tiga kelompok, adalah syarat umum untuk para pengasuh wanita dan pria, syarat khusus untuk wanita, dan syarat khusus untuk pria.
1. Syarat umum untuk pengasuhan wanita dan pria a. Baligh (dewasa)
b. Berakal, ulama Madzhab maliki menambahkannya dengan cerdas, dan ulama Madzhab Hambali menambahkan bahwa pengasuh tidak menderita penyakit yang berbahaya / menular.
c. Memiliki kemampuan dalam mengasuh, merawat dan mendidik anak. d. Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik.
e. Beragama Islam.34
Fuqaha berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh non-muslim.35 Ulama Madzhab Syafi’I dan Madzhab Hambali mensyaratkan
bahwa pengasuh harus seorang muslim atau muslimah, karena orang non Islam tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disamping itu dikhawatirkan juga pengasuh akan akan menyeret anak itu masuk ke dalam agamanya. Akan tetapi ulama Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh itu seorang muslimah, jika ia wanita. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh memilih pada anak untuk berada di bawah asuhan ayahnya yang muslim atau
34Satria Efendi, 172.
pada ibunya yang musyrik, tetapi anak itu memilih ibunya. Lalu Rasulullah SAW bersabda :
اَ َذَخَأَف اَهْ يِبَأ ََإ ةَيِبَ لا ِتَلاَمَف اَِ ْا َمُهَللا
.
دواد وبا اور
36
Artinya : ‚Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayahnya‛. (HR. Abu Daud).
Dalam hal pengasuh anak adalah laki-laki, timbul pertanyaan apakah disyaratkan ia seorang muslim. Ulama Madzhab Hanafi mensyaratkan pengasuh laki-laki harus sama-sama muslim dengan anak yang diasuhnya. Akan tetapi, Ulama Madzhab maliki tidak mensyaratkan laki-laki pengasuh harus seorang muslim.37
Akan tetapi alangkah lebih baik kalau seandainya anak tersebut, baik anak laki-laki ataupun anak perempuan jika diasuh oleh orang yang seagama dengannya (Islam), dan tidak dibenarkan anak tersebut diasuh oleh nonmuslim. Dasarnya adalah demi kemaslahatan dan sebagai sarana preventif (sad
al-dzari’ah) agar anak tersebut tetap konsisten dengan agamanya dan tidak terpengaruh dengan agama pengasuhnya. Karena secara praktis biasanya anak-anak akan mengikuti agama dan tradisi orang tua atau orang-orang yang sering berkomunikasi dengan mereka.
2. Syarat khusus untuk pengasuh wanita38
36Al Maktabah Al Syamilah, Sunan Abi Daud, (Al-Qahirah: Daarul Fikr, 2008), juz ke 4, No. 2244, 681
37Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008) cet ke 1, 123.
Menurut para ahli fiqih syarat khusus untuk pengasuh wanita adalah sebagai berikut :
a. Wanita pengasuh tidak mempunyai suami (belum kawin) setelah dicerai suaminya.
b. Wanita pengasuh merupakan mahram (haram dinikahi) anak, seperti ibu, saudara perempuan ibu dan nenek. Oleh sebab itu, menurut Ulama fiqih, saudara perempuan ibu tidak boleh menjadi pengasuh anak itu, karena bukan mahramnya.
c. Menurut ulama Madzhab Maliki, pengasuh tidak boleh mengasuh anak tersebut dengan sikap yang tidak baik, seperti marah dan membenci anak itu. Ulama fiqih lain tidak mengemukakan syarat ini.
d. Ulama Madzhab Syafi’I dan Madzhab Hambali menambahkan syarat,
apabila anak asuh masih dalam usia menyusu pada pengasuhnya, tetapi ternyata air susu pengasuhnya tidak ada atau ia enggan untuk menyusukan anak itu, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh.
3. Syarat-syarat khusus bagi laki-laki
Jika anak kecil tersebut tidak memiliki pengasuh wanita, maka pengasuhnya dapat dilakukan oleh kaum pria, selagi ia memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Jika pengasuhnya adalah mahram (haram dinikahi)
disenangi pengasuh laki-laki, ketika tidak ada wanita yang berhak melakukan h}ad}}a>nah baginya.
b. Pengasuh yang bukan mahram (boleh dinikahi)
Jika ada orang yang bukan muhrim bagi anak, maka itu diperbolehkan dengan syarat pengasuh tersebut memenuhi kriteria h}ad}}a>nah, yakni adanya wanita yang ikut membantu laki-laki tersebut dalam mengasuh anak.39
D.Sebab-Sebab Beralihnya Hak Asuh Anak Kepada Ayah.
Seseorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, baik seperti makan minum dll. Oleh karena itu orang yang menjaganya perlu rasa kasih sayang, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik di kemudian hari. Dan memiliki syarat-syarat tersebut yakninya wanita.40
Oleh karena itu agama menetapkan bahwa wanitalah yang pantas dalam
pemeliharaan ini. Sebagaimana di sebutkan dalam hadist, yang artinya :41
Artinya : Dari Abdullah Bin Umar bahwasanyaseorang wanita berkata : ya rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, air susukulah yang diminumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah rasulullah: engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi dengan laki-laki lain.42
39Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Anak, Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta: Al-Mawardi, 2004), 134. 40
Syekh Ibrohim Al Baijuri, Hasyiyah Al Baijuri Ala Syarhi Ibnu Qasim Al Ghuzi, Cet. 2, Bairut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1999,195.
41
Habibir Rahman A’dzami, Musnaf ‘Abdul Razaq Shan’ani Juz 11, Bairut: Majlis ‘Ilmi,
1403, 7/153. 42
Dalam hal ini seharusnya ibu tidak mengundurkan diri dan harus mendidik anak tersebut hingga tamyi>z diantaranya
a. Ibu belum menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila ibu sakit maka yang menggantikan posisi tersebut ibunya ibu dan seterusnya ke atas, karena mereka menduduki kedudukan ibu, kemudian ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas, karena mereka menduduki tempat ayah. Kemudian ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya kemudian seterusnya ke atas. Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya ke atas. Saudara-saudara perempuan ibu, dan saudara-saudara perempuan ayah.43Dalam hal peralihan hak asuh anak dikarenakan ibu menikah lagi ini kepada ayah dilihat dari silsilah dan aturan yang ada setelah ibu hak h}ad}a>nahnya jatuh kepada ibunya ibu namun dalam hal ini berbeda langsung dialihkan kepada ayah karena si ibu tidak menikah dengan laki-laki yang mempunyai hubungan mahram kepada anak tersebut tetapi menikah dengan laki-laki lain, seperti yang dipaparkan dalam kitab Hasyiyah Al Baijuri menurut Syekh Ibrohim Al Baijuri salah satu syarat hak h}ad}a>nah itu Menyepi, dalam hal ini menyepi dari laki-laki lain yang artinya
tidak menikah dengan laki-laki lain selain menikah dengan mahrom dari si anak tersebut seperti paman, anaknya paman, dan anaknya saodara.44Maka dari itu ayah lebih berhak atas h}ad}a>nah tersebut. Pendapat Mushtafa Al-
Bugha dalam kitabnya Al- Fiqh Al- Manhaji tentang h}ad}a>nah itu adalah
43
Ali Muhammad Mu’awadl, Mughnil Muhtaj, Juz 5, Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994, 191-192.
44
bahwa h}ad}a>nah terhadap perempuan (ibu) dan h}ad}a>nah terhadap laki-laki (ayah).45
b. Ibu yang mempunyai perilaku tidak baik yaitu jika ibu itu murtad atau durjana (menyia-nyiakan anak) seperti zina, jadi penyanyi, mencuri, suka teriak atau tidak dapat dipercaya, suka keluar rumah dan meninggalkan anak sendirian, sering mengajak berjualan pada malam hari sehingga anak tidak sempat belajar untuk pelajaran di pendidikan keesokan harinya, berdusta/bohong.
h}ad}a>nah terhadap perempuan (ibu) yaitu: Ibu lebih berhak mengasuh anak
setelah terjadi perpisahan, baik karena talak atau ditinggal mati suami, ini menurut kesepakatan ulama dengan alasan besar kasih sayang ibu kecuali jika ibu itu murtad46 atau durjana (menyia-nyiakan anak) seperti zina, jadi penyanyi, mencuri, suka teriak atau tidak dapat dipercaya, suka keluar rumah dan meninggalkan anak sendirian.
Dasar hukum yang mengutamakan ibu adalah dalam hadis Nabi:
Artinya: ‚Dari Abdullah bi Umar ra, sesungguhnya seorang perempuan
berkata: ya Rasulullah sesungguhnya anak ini di dalam perutku ia bertempat, dari putingku ia minum, dan ia selalu ku rawat dan berkumpul denganku. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan dan ia menghendaki akan mengambil anakitu dariku, maka Rasul berkata kepada perempuan itu: engkau lebih berhak selagi engkau belum menikah lagi‛. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh Hakim). 47
Dasar hukum pengasuhan anak menurut Imam asy- Syafi’i dari pihak wanita:
45
34 Mushtafa Al- Bugha’, et.al, Al-Fiqh Al-Manhaji, Cet.2, Damaskus: Darul Mustafa, 2010, 451. 46
Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid Nasyir, Sunan Abu Dawud Juz 4, Bairut: Maktabah
‘Ishriyah Shidan, 248.
47
Syafi’iyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, saudara permpuan, bibi dari jalur ibu,
anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, bibi dari jalur ayah, lalu orang-orang yang dapat bagian ashobah dalam urutan warisan, seperti pendapat Hanafiyah.48
Sedangkan hak h}ad}a>nah terhadap laki-laki (ayah) yaitu: Apabila si mahdhun tidak mempunyai kerabat dari pihak wanita seperti yang disebutkan diatas, maka hak asuh anak berpindah kepada pihak laki-laki dengan urutan orang yang dapat as}a>bah yaitu ayah, kakek, sampi keatas,saudara anak perempuan dan anak laki-laki mereka sampai kebawah paman dari jalur ayah, anak laki-laki-laki-laki nmereka ini adalah pendapat Hanafiyah dan yang lain, serta yang benar menurut Syafi’iyah
adapun anak laki-laki dari paman. Maka dia tidak berhak untuk mengasuh anak perempuan yang sudah punya daya tarik dengan alasan yang menghindari fitnah, tapi (dia anak laki-laki paman) hanya berhak mengasuh anak yang masih kecil.49
Artinya: ‚Dari Abi Hurairah R.A. Sesungguhnya seorang perempuan
berkata: ya Rasulullah sesungguhnya suamiku menghendaki kebergian
bersama anakku mengambil air dari sumur Abi ‘Inabah, maka datang
suaminya. Nabi bersabda: Hai anak ini bapakmu dan ini ibumu, maka peganglah dengan tangan mana yang kau maui, maka anak itu mengambil tangan ibunya, terjadilah talak atasnya‛. (H.R. Ahmad dan Imam empat disahihkan oleh Tirmidzi).50
Melihat beberapa hadits diatas dapat disimpulkan dalam kitab Al ‘Um
mengatakan ketika ibu dan bapak bercerai dan keduanya disatu kampung, maka
48
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islam Wa Adillatuh, Juz VII, Damaskus: Darul Fikr, 1989, 722.
49
Ibid.,723. 50
Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid Nasyir, Sunan Abu Dawud Juz 4, Bairut: Maktabah
ibu yang lebih berhak atas pengasuhan anaknya, sebelum dia menikah lagi dan selama anak itu masih kecil.
Apabila salah seorang dari mereka sudah berumur tujuh atau delapan tahun dan anak itu sudah berakal (mampu membedakan antara mudharat dan manfaat), maka dia disuruh memilih antara bapak ibunya dan ibunya.
Dan ia nanti berada pada siapa dari keduanya itu, yang dipilihnya. Sama saja baik laki-laki dan perempuan,kemudian anak itu disuruh pergi belajar ke sekolah dan bekerja, kalau ia pandai dalam pekerjaan itu tinggal bersama ibunya namun ayahnya tetap memberikan nafkahnya.
Adapun kalau anak itu memilih bapaknya, maka tidaklah bagi bapak melarang ibunya untuk datang kepada anak itu dalam beberapa hari.51
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Apabila anak sudah mumayyiz, maka diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Adapun biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah.52 Dalam Pasal 156 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah: anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan h}ad}a>nah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia‛.
Kompikasi Hukum Islam bahwa pengasuhan anak yang belum mumayyiz
adalah hak ibunya. Dalam Kompilasi Hukum Islam ini yang dikatakan belum
51
Prof. TK. H. Ismail Yakub SH. MA. Terjemahan Al- Um Karangan Imam As-Syafi’i, Juz VII (Jakarta : C.V. Faizan, 1983), 396-397
52
mumayyiz itu anak yang belum mencapai umur 12 tahun. Hal ini dikarenakan
ibu mempunyai tahap kasih sayang serta kesabaran yang lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga dan mendidik anaknya terlebih bagi anak yang masih dalam usia menyusui, ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang. Namun apabila ia tidak memiliki kesemuanya maka ayahlah yang dapat menggatikannya sebagai hadin.
BAB III
DASAR PERTIMBANGAN PENGADILAN AGAMA SURABAYA NOMOR : 2339/PDT.G/2005/PA. SBY TENTANG H}AD}}A>NAH ANAK KEPADA AYAH
KARENA IBU WANITA KARIR
A.Deskripsi Putusan No. 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby Tentang H}Ad}}A>Nah Anak Kepada Ayah Karena Ibu Wanita Karir
1. Duduk perkara
Guna memperjelas skripsi ini, maka penulis akan memaparkan permasalahan perceraian yang ada dalam putusan Nomor 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby. perkara ini dalam proses persidangan diperikasa oleh majlis hakim yang terdiri dari ketua majlis Drs. Sulaiman, M.hum serta Drs. H. ABD. SYUKUR, SH.MH, dan Drs. H. Kasman madyaningpada, SH masing- masing sebagai hakim anggota dan MOH> Nurholis, SH. Sebagai panitera pengganti.
1) Duduk perkara
Pada tanggal 29 nopember 2005 pemohon ( suami ) mengajukan gugatannya yang didaftarkan ke kepaniteraan pengadilan agama surabaya dengan Nomor 2339/Pdt.G/2005/PA.Sby yang berisi gugatan cerai dan hak asuh anak. Dalam perkara ini penggugat memberika kuasa kepada XXXX, advokat yang berkantor di surabaya.
nomor XXXX.
Selesai melangsugkan perkawinan antara emohon dan termohon hidup bersama sebagaimana layaknya suami istri yang berkediamamn di daerah XXXX, surabaya. Dan dari perkawinan tersebut telah menghasilkan seorang anak laki- laki yang diberi nama XXXX pada tanggal 23 maret 2005 sesuai dengan kutipan akte kelahiran N0. 6358/2005.
Semula kehidupan anntara pemohon dan termmohon dalam keadaan rukun namun ketika mulai masuk pada bulan ke-3 perkawinan, rumah tangga antara pemohon dan termohon mulai goyah karena seringnya terjai perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan lagi yang disebabkan karena:
Antara pemohon dan termohn sudah tidak ada keharmonisan selayaknya
suami istri, karena termohon sering mencari masalah, sehingga timbul ertengkaran antara pemohon dan termohon, pemohon sudah mengingatkkan kepada termohon bahwa perbuatan yang dilakukan itu akan menyebabkan kehidupan keluarga menjadi tidak tentram, namunihak termohon tidak memperhatikannya;
Adapun pertengkarannya tesebut berlangsunng terus menerus bahkan semakin memuncak ketika anak pemohon dan termohon terlahir pada 23 maret 2005, dikarenakan tangan anaknya tidak sempurna, pemohon ingin temohon memperhatikan lebih memperhatikan putranya tetapi sika termmohon justru semakin tidak peduli terhadap pemohon dan putrnya, sering pergi tanpa tujuan yang jelas, sehingga merawat anak terssebut adalah pemohon;
termohon sudah tidak terjadi lagi oleh karenanya termohon pada bulan september 2005 pergi dari rumah dengan tanpa seijin dari pemohon sebagai suami/ imam keluarga;
Belakngan diketahui oleh pemohon apabila sikap termohon yang sering mencari masalah disebabkan adanya ganngguan orang ketiga yaitu termohn mempunyai hubungan gelap dengan ppria lain.
Namun dari kejadian semuanya itu pemohon sudah berusaha hidup rukun dengan termohon namun tetap tidak berhasil, dan juga keluarga pihak pemohon maupun termohon sudah seringkali memberi nasihat juga sudah sering mendamaikan perselisihan antara pemohon dan termohon, akan tetapi upaya kedua belah pihak unuk mendamaikan tersebut tidak pernah merubah keadaan rumah tangga pemohon dan termohon menjadi baik, dan percekckan tetap menjadi terus menerus tanpa ada penyelesaia,
Dengan alasan- alasan tersebut di atas, pemohon memohon kepada pengadilan agama surabaya unutk berkenan memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan sebagai berikut;
1. Mengbulkan permohonan veri dari pihak pemohon
2. Menetapkan memberi ijin kapada pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon
3. Menetapkan pemohon sebagai wali dari anaknya
4. Membebankan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Di depan sidang, majlis hakim telah berusaha mendamaikan kedua pihak berperkara akan tetapi tidak berhasil sehingga pemeriksaan erkara ini dimulaidengan membacakan surat permohonan pemohon yang isinya dipetahankan oleh pemohon.
Atas permohnan pemohon tersebut termohon mengajukan jaawaban secara tertulis tertanggal 10 mei 2006 yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut;
1. Benar 2. Benar
karenakan sikap pemohon yang tidak siap mental dengan kondisi putranya yang tidak sempurna, sehingga timbul sifat pemohon offer protection kepada putranya, pemohon selalu berkuasa dan merasa paling berhak dan mengatur dan merawat putra kami, bahkan termohon tidak diberi kepercayaan dalam merawat putrannya. Selain itu juga pendapat dan saran termohon dalam merawat putranya selalu dibantah oleh pemohon namun jika keluarga dari pihak pemohon yang membei saran pendapatn