• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHRAIN DALAM AL QURAN : STUDI KOMPARATIF TERHADAP KITAB FAID AL RABBANI FI AL TAFSIR WA AL HADITH KARYA SYEIKH AHMAD AL TIJANI DAN KITAB MAJMA AL BAYAN FI TAFSIR AL QURAN KARYA SYEIKH ABI ALI AL FADL BIN AL HASAN AL TABARSI TENTANG Q.S. AL RAHMAN 19-20.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAHRAIN DALAM AL QURAN : STUDI KOMPARATIF TERHADAP KITAB FAID AL RABBANI FI AL TAFSIR WA AL HADITH KARYA SYEIKH AHMAD AL TIJANI DAN KITAB MAJMA AL BAYAN FI TAFSIR AL QURAN KARYA SYEIKH ABI ALI AL FADL BIN AL HASAN AL TABARSI TENTANG Q.S. AL RAHMAN 19-20."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

x

BAH{RAIN DALAM AL-QURAN

(Studi Komparatif terhadap kitab Faid} al-Rabba>ni fi> al-Tafsi>r wa al-H{adi>th karya Syeikh Ahmad Al-Tija>ni dan kitab Majma’ al-Baya>n fi> tafsi>r al-Quran karya Syeikh Abi> Ali Al-Fad}l bin Al-H{asan Al-T{abarsi> tentang Q.S. Al-Rahman 19-20)

TESIS

Disusun dan diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Tafsir

oleh Ahmad Naufal

F05212075

PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ix

ABSTRAK

Ahmad Naufal (F05212075) Bah}rain dalam Al-Quran, (Studi Komparatif terhadap kitab Faid} al-Rabba>ni fi> Tafsi>r wa al-H{adi>th karya Syeikh Ahmad Al-Tija>ni dan kitab Majma’ al-Baya>n fi> tafsi>r al-Quran karya Syeikh Abi> Ali Al-Fad}l bin Al-H{asan Al-T{abarsi> tentang Q.S. AL-RAHMAN 19-20). Tesis, Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).

Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengetahui Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th

dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran terhadap Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 tentang kata

Bah}rain dan Barzah}}.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (Library research). Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode tah}lili dan content analisys

untuk menggali kandungan makna bah}rain dan barzah} dalam Q.S. Al-rahman 19-20.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni tentang Q.S>. Al-Rahman 19-20 tertuju pada dua lafadz yaitu Bah}rain dan

Barzah}. Bah}rain berarti dua dimensi yaitu dimensi Ulu>hiyah dan dimensi

Khali>qah. Sedangkan yang yang dimaksud barzah} adalah Nabi Muhammad saw. Penafsiran Syeikh Abu Ali al-Fadl bin al-Hasan al-T{abarsi mengenai Q.S. Al-Rahman 19-20 juga tertuju pada dua lafadz yaitu Bah}rain dan Barzah}. Namun menurut beliau yang dimaksud dengan Bah}rain adalah Sayyidina Ali kw dan Sayyidah Fatimah ra. Sedangkan yang dimaksud Barzah} adalah Nabi Muhammad saw.

Melihat penafsiran keduanya, Bila dilihat dari segi sumber penafsirannya, maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk tafsir bi al-Iqtira>ni/Isha>ri. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk tafsir bi al-Iqtira>ni/Isha>ri. Bila dilihat dari cara penjelasannya, maka penafsiran Al-Tija>ni dan Al-T{abarsi termasuk baya>ni. Bila dilihat dari keluasan penjelasannya, maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk Ijma>li. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk Tafsili/it}na>bi. Bila dilihat dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk maud}u>‘i. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk tah}lili. Bila dilihat dari coraknya, maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk

Sufi. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk I’tiqa>di.

(6)

vii

DAFTAR ISI

Pernyataan Keaslian ... i

Persetujuan ... ii

Pengesahan tim penguji ...iii

Transliterasi ... iv

Persembahan ... v

Kata pengantar ... vi

Daftar isi ... vii

Abstrak ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Identifikasi dan batasan masalah ……….. 6

C. Rumusan masalah ... 7

D. Tujuan penelitian ………... 7

E. Kegunaan penelitian ………... 9

F. Kerangka teoritik ……….………... 9

G. Penelitian terdahulu ……… 17

H. Metode penelitian ... 19

I. Sistematika pembahasan ... 26

BAB II BIOGRAFI SYEIKH AHMAD AL-TIJA<NI DAN SYEIKH ABI<> ALI< AL-FAD{L BIN AL-H{ASAN AL-T{ABARSI A. Mengenal Syeikh Ahmad Al-Tija>ni... 27

1. Riwayat Hidup Syeikh Ahmad Al-Tija>ni ………...……. 27

2. Karya Syeikh Ahmad Al-Tija>ni ………... 46

3. Pokok Pikiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni ………...……... 47

B. Mengenal Syeikh Abi<> Ali< Al-Fad{l Bin Al-H{asan Al-T{abarsi ... 56

1. Riwayat Hidup Syeikh Al-T{abarsi …....……… …… 56

2. Karya Syeikh Al-T{abarsi ……….……… …… 57

(7)

viii

BAB III PERBANDINGAN ANTARA KITAB FAID{ AL-RABBA<NI DAN

MAJMA’ AL-BAYA<N

A. Kitab FAID{ AL-RABBA<NI ... 88

B. Kitab MAJMA’ AL-BAYA<N ... 93

BAB IV PENAFSIRAN AL-TIJA<NI DAN AL-T{ABARSI TENTANG KATA BAH{RAIN DALAM Q.S. AL-RAHMAN AYAT 19-20 A. Penafsiran Al-Tija>ni tentang Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 …….. 99

B. Penafsiran Al-T{abarsi tentang Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 ... 114

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 121

C. Lampiran ………. 123

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran

moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam posisinya

sebagai kitab petunjuk, al-Quran diyakini tidak akan pernah lekang dan

lapuk dimakan zaman. Akan tetapi dalam kenyataannya, teks al-Quran

sering kali dipahami secara parsial dan ideologis sehingga

menyebabkannya seolah menjadi teks yang mati dan tak lagi relevan

dengan perkembangan zaman. Fenomena inilah yang menggelisahkan

para mufassir modern-kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad

Syahrur, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid.

Setiap manusia pada abad ke-21 ini serta generasi berikutnya

dituntut pula untuk memahami al-Quran sebagaimana tuntutan yang

pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya

al-Quran. Dan kunci gudang penyimpanan yang terkandung dalam al-Quran

adalah tafsir. Tanpa tafsir, seseorang tidak mungkin sampai kepada

gudang penyimpanan yang penuh mutiara dan permata itu, tapi hanya

sampai pada bentuk lahir lafadz-lafadz al-Quran yang dibaca ayat-ayatnya

setiap pagi dan sore.

Usaha memahami dan menjelaskan serta menemukan kandungan

al-Quran itulah yang disebut tafsir. Jadi, tafsir merupakan hasil

(9)

tafsir itu termasuk budaya. Hasil pemikiran setiap orang dapat

dipengaruhi bukan saja oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh

pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, budaya,

kecenderungan, interest, motivasi mufassir, missi yang diemban dan

lain-lain sebagainya, yang tentunya hasil pemikiran itu akan berbeda-beda

antara satu dengan yang lain.

Dinamika penafsiran Al-Quran memang tidak pernah mengalami

kemandegan sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Nabi

Muhammad saw.1 Berbagai macam metode penafsiran telah ditawarkan

oleh para mufassir baik klasik maupun modern. Perbedaan-perbedaan

inilah yang menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian

berkembang menjadi suatu aliran tafsir yang bermacam-macam.

Sejarah pernah mencatat bahwa masalah penafsiran al-Quran

rupanya menjadi salah satu persoalan serius, disamping mulai tumbuhnya

intrik-intrik politik, yang memicu keretakan, bahkan berujung pada

perpecahan umat Islam generasi awal. Karena masalah ini, umat Islam

terpetak-petak dalam beberapa golongan bahkan kadangkala antara satu

golongan dengan lainnya saling bermusuhan.

Menafsirkan al-Quran memang merupakan salah satu kebutuhan

pokok umat Islam untuk menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam

kitab suci tersebut. Pada saat Nabi Muhammad saw hidup, proses

penafsiran tidak terlalu banyak mengalami kesulitan sebab kesukaran

1 Amin al-Khuli, Mana>hij Tajdi>d fi al-Nah}w wa al-Bala>gah wa al-Tafsi>r wa al-Adab (Kairo : Da>r

(10)

dalam memahami al-Quran seketika itu juga bisa langsung ditanyakan

kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dipahami karena selain

posisinya sebagai nabi, Muhammad-lah yang menerima wahyu al-Quran

sekaligus berkewajiban menyampaikan dan menjelaskannya kepada umat

manusia.2

Di sini tampak bahwa Nabi Muhammad saw memegang otoritas

penuh dalam proses penafsiran dalam permulaan generasi Islam.

Keterangan-keterangan Nabi Muhammad saw kemudian diriwayatkan

para sahabat dalam bentuk hadis. Hal inilah yang kemudian dinamakan

Tafsi>r al-Nabawi>. Tetapi sayang, Tafsi>r al-Nabawi> tidak bisa dijumpai

dalam bentuk karya utuh, karena tradisi penulisan belum benar-benar

berkembang matang ketika itu.3

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, persoalan demi persoalan

terus menggelombang termasuk dalam ranah penafsiran al-Quran umat

Islam generasi awal (masa sahabat). Mereka mengalami krisis figur

pemegang otoritas terhadap upaya menafsirkan al-Quran. Dalam kondisi

demikian, penafsiran terhadap al-Quran berkembang liar, apalagi terhadap

ayat-ayat yang mendukung kepentingan mereka. Penafsiran al-Quran

kemudian menjadi pijakan justifikasi dan legitimasi doktrinal terhadap

berbagai kepentingan tersebut.

2 Q.S. Al-Nah}l (16) : 44.

3 Syaiful Amin Ghafur, “Potret Dinamika Penafsiran Al-Quran”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran

(11)

Tak heran jika dalam kondisi ini umat Islam, sekali lagi terbelah

bahkan terpetak-petak menjadi banyak golongan, misalnya Sunni, Syi’ah,

Khawarij, dan Muktazilah. Mereka terlibat konflik satu sama lain,

terutama dalam persoalan teologis. Masing-masing mereka mengklaim

dirinya yang paling benar dalam menafsirkan al-Quran. Sementara

golongan selain dirinya adalah salah -bahkan dikafirkan- dan, karena itu,

menyimpang dari ajaran Islam.

Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi> adalah termasuk

sebagian dari ulama masyhur dari golongan Syi’ah yang menafsirkan

al-Quran melalui karyanya yang cukup fenomenal yaitu Majma’ al-Baya>n fi

Tafsi>r al-Quran. Kitab ini menjadi referensi utama bagi golongan syi’ah

dalam doktrin teologi ajaran mereka.

Pemikiran dan ide-ide beliau banyak kita dapatkan melalui

membaca kitab ini. Banyak penafsiran-penafsiran beliau yang

ditumpahkan secara komprehensif dalam kitab ini.

Syeikh Ahmad Al-Tija>ni juga termasuk sebagian dari ulama

pendiri Tariqat. Penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-Quran cukup

mempengaruhi Tariqat Tija>niyah dalam aktifitas ke-Tariqat-annya.

Kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th adalah karya

Syeikh Ahmad Al-Tija>ni di bidang tafsir dan hadis yang cukup layak

untuk dikaji. Mengingat hasil pemikiran beliau cukup banyak tersalurkan

dalam kitab ini.Salah satu tema penafsiran yang menarik untuk dikaji saat

(12)

Bah}rain dalam al-Quran apalagi dipandang oleh Syeikh Ahmad Al-Tija>ni

dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi. Kedua mufassir ini

mempunyai latar belakang yang berbeda, sehingga hasil pemikiran beliau

tentang Bah}rain akan menambah wacana baru dalam khazanah keilmuan

tafsir al-Quran.

Kata bah}rain disebut sebanyak 5 kali dalam al-Quran,4 kata ini

merupakan muthanna dari kata al-bah}r (laut) yang terulang dalam

al-Quran sebanyak 33 kali.5 Kata al-Bahrain yang diartikan dua laut

terletak surat al-Kahfi ayat 60, surat al-Furqan ayat 53, surat al-Naml

ayat 61, surat al-Fathir ayat 12, dan surat al-Rahman ayat 19.6 Semua

ayat ini dari segi teks diartikan sama yakni “dua laut”, akan tetapi

dari segi penafsiran dan konteks ayat, kemungkinan maknanya berbeda.

Beberapa mufasir menafsirkan bahrain (dua laut) dengan makna

yang berbeda-beda. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah

menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-Bah}rain adalah Sungai

Eufrat di Irak dan Teluk Persia di pantai Basyah serta daerah di

sekitar kerajaan Bahrain dewasa ini.7

Selanjutnya ada juga yang memahami kedua laut yang dimaksud

adalah lautan yang memenuhi tiga perempat bumi ini serta sungai

4 Muhammad Fu‘ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz} Al-Quran Al-Karim, (Kairo:

Pustaka Dar Al-Hadis, 2001),140.

5Ibid. 6 Ibid.

(13)

yang ditampung oleh tanah dan yang memancarkan mata air- mata air

serta sungai-sungai besar yang kemudian mengalir ke laut.8

Sementara ada lagi yang menafsirkan al-Bah}rain dengan

bertemunya dua laut tapi tidak bercampur airnya, diartikan dengan muara

sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin

dari laut.9

Karena itulah, kajian ini akan berusaha mengupas gagasan

penafsiran kedua tokoh tersebut melalui karyanya Majma’ al-Baya>n fi

Tafsi>r al-Quran dan Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th. Dan kajian

ini akan difokuskan pada tafsiran Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 tentang

kata Bah}rain yang berbunyi









Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian

bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui

masing-masing.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah.

Masalah-masalah penelitian yang berkaitan dengan judul di atas

dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid}

al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl

bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi>

8 Ibid.

(14)

Tafsi>r al-Quran terhadap kata Bah}rain dalam Q.S. Al-Rahman

ayat 19-20.

2. Konsep

Bah}rain

dalam Al-quran.

3. Urgensi, Signifikansi, dan implikasi penafsiran Al-Tija>ni

terhadap aliran Tariqat Tija>niyah.

4. Urgensi Signifikansi, dan implikasi penafsiran Al-Tabarsi>

terhadap aliran Teologi Syi’ah.

5. Persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Tija>ni> dan Al-T{abarsi

terhadap Q.S. Al-Rahman ayat 19-20.

6. Tanggapan ahli Tarekat terhadap pendapat Al-Tija>ni.

7. Tanggapan sekte ahli sunnah terhadap sekte syi’ah.

8. Posisi Nabi Muhammad saw menurut Tijany dan Syi’ah.

Masalah yang dapat diidentifikasikan dalam penelitian ini cukup

banyak dan tentu saja tidak semua masalah itu dapat diteliti secara

sekaligus. Oleh karena itu, perlu dibatasi hanya pada masalah-masalah

sebagaimana berikut :

1. Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid}

al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl

bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi

Tafsi>r al-Quran terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahman

(15)

2. Persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Tija>ni> dan Al-T{abarsi

terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahman ayat 19-20.

C. Rumusan Masalah.

Bertolak dari latar belakang di atas, fokus penelitian ini adalah

penafsiran Q.S. Al-Rah{ma>n ayat 19-20. Oleh karena itu

permasalahan-permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai obyek kajian dari penelitian

ini adalah :

1. Bagaimanakah penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab

Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th terhadap kata bah}rain

dalam Q.S. Al-Rahma>n ayat 19-20 ?

2. Bagaimanakah penafsiran Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan

Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran

terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahma>n ayat 19-20 ?

3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara kedua penafsiran

di atas ?

D. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan

penelitian yang hendak dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam penafsiran

Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r

wa al-H{adi>th terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahma>n ayat

(16)

2. Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam penafsiran

Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab

Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran terhadap kata bah}rain dalam

Q.S. Al-Rahma>n ayat 19-20.

3. Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam aspek-aspek

persamaan dan perbedaan kedua penafsiran di atas.

E. Kegunaan Penelitian.

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai tugas akhir Program Pendidikan Pasca Sarjana UIN Sunan

Ampel Surabaya.

2. Sebagai sumbangsih bagi dunia intelektual dalam studi pemikiran

dan penafsiran, khususnya dalam ilmu tafsir.

F. Kerangka Teoritik.

Sebuah ilmu, menurut Bahm, disebut dengan ilmu pengetahuan

apabila memenuhi enam komponen yang saling terkait satu sama lain,

yaitu : masalah, sikap, metode, aktifitas, kesimpulan dan efek. Pandangan

Bahm ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa suatu studi

bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila : a). Mempunyai obyek

kajian yang empiris atau memiliki evidensi empiris yang membedakannya

dari ilmu pengetahuan yang lain, baik obyek formal maupun obyek

materialnya; 10 b) memiliki sistematisasi/struktur keilmuan yang berbeda

10 Saefudin A.M., Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi (Bandung : Mizan, 1997), 127;

(17)

dari disiplin ilmu lainnya. Struktur ini akan membedakan ilmu

pengetahuan dari pengetahuan biasa yang dengannya ilmu pengetahuan

memiliki pertalian yang tertib diantara bagian-bagiannya.11 c). Memiliki

metode pengembangan yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diteliti

dan dikembangkan secara terus menerus.

Metode yang disebutkan terakhir ini merupakan cara yang teratur

dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau cara kerja sistematik

untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan

yang sudah ditentukan.12 Menurut Bahm, metode sebagai komponen

ketiga dari ilmu pengetahuan, merupakan essensi pengetahuan dan sebab

pengetahuan sebagai teori akan selalu berubah. Sedangkan metode

merupakan pengetahuan yang tidak pernah dan tidak akan berubah. Jadi

metode menempati posisi krusial dalam sistematika ilmu pengetahuan.

Islam juga memandang bahwa metode sangat penting dalam

perkembangan ilmu pengetahuan. Namun seperti natur keilmuan islam

yang paling utama adalah menitik beratkan pada moral dan manfaat bagi

manusia. Maka Islam tidak hanya berhenti pada tahapan metodologis

tersebut, melainkan dilanjutkan dengan pembahasan dampak ilmu

pengetahuan pada kehidupan manusia. Akibat titik akhir pengetahuan

barat hanya berhenti pada bagaimana memperoleh ilmu, dengan

paradigma materialismenya, telah membawa barat pada krisis global

multi dimensi yang memperihatinkan.

(18)

Capra dalam hal ini mengatakan bahwa pada awal dua dasawarsa

terakhir abad ke dua puluh, manusia berada dalam sebuah krisis global

yang serius, yaitu krisis komplek dan multi dimensional yang

sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan, mata

pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi,

teknologi, dan politik.

Krisis ini, menurut Copra menyangkut dimensi-dimensi

intelektual, moral, dan spiritual; sebuah krisis yang belum pernah terjadi

sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia13.

Agar manusia terhindar dari itu, epistemologi islam sejak awal

kelahirannya telah memperlakukan metode penelitian pada dasarnya

adalah satu (Unity) berangkat dari Pencipta yang satu (The Unity of the

Creator), kesatuan Ilmu Pengetahuan (The Unity of Knowledge),

Kesatuan Kreasi (The Unity of Creation), kesatuan manusia (The Unity

of Mankind), dan manusia harus secara sadar hidup dalam mainstream

kesatuan kosmik (The Unity of Cosmic) agar tidak merusak ritme

sosio-ekologi.

Adapun berbagai cara atau metode yang digunakan para ilmuwan

yang berbeda-beda bukan menunjukkan pada banyaknya metode

penelitian selama tetap bersandar pada pandangan dunia Islam tentang

realitas yang disebutkan terakhir. Pandangan seperti ini tetap sejalan

dengan sebagian pemikir epistemologi muslim, seperti Ibn H{azm, yang

13 Fritjof Capra, Science, Society and The Rising Culture, Terj. M. Thoyibi (Yogyakarta :

(19)

membedakan antara knowledge dan science. Meski demikian, yang

dimaksudkan dengan science di sini tidak dibatasi hanya pada ilmu-ilmu

empiris, seperti matematika, teologi, kosmologi, metafisika, dan

eskatologi.14

Pandangan ini juga tetap sejalan dengan sebagian pemikir Islam

yang tidak membedakan antara knowledge dan science, sebab ilmu,

menurut Mehdi Golshani, menunjuk pada setiap pengetahuan termasuk

ilmu yang diperoleh melalui wahyu dan penelitian.15 Pengetahuan seperti

ini juga diamini dengan pandangan Syed Muhammad Dawilah el-Edrus

yang membagi pengetahuan pada ilmu duniawiyah dan ilmu

ukhrowiyah.16

Metode tafsir adalah cara bagaimana pelaksanaan interpretasi

al-Quran dapat dengan mudah dilaksanakan. Namun karena metode tafsir

sebagai sebuah kajian keilmuan lebih belakang lahirnya dibandingkan

dengan tafsirnya, maka tidak sedikit orang yang menggunakan metode

tafsir sebagai piranti analisis penafsiran al-Quran, melainkan

dimanfaatkan untuk memahami hasil penafsiran yang sudah dilakukan

para ulama salaf.

14 Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung : Mizan, 2002), 57-58.

15 Mehdi golshani, “Science and The Scared : Scared Science vs Secular Science” Makalah

disampaikan dalam International Conference on religion and Science in the Post Colonialism di UGM Yogyakarta padaa tanggal 12-15 Januari 2003, 1.

16 Syed Muhammad Dawilah el-Edrus, Islamic Epistemologi: an Introduction to the theory of

(20)

Sebagai ini pula, metode tafsir dirasakan lebih tertinggal daripada

perkembangan tafsirnya, karena tafsir lahir jauh sebelum metode tafsir

dijadikan obyek kajian ilmiyah.17 Bahkan tafsir al-Quran sudah ada sejak

masa awal turunnya al-Quran. Sekalipun pada masa awal

perkembangannya, penafsiran al-Quran lebih merupakan hak prerogatif

Nabi Muhammad saw sebagai penerima dan yang paling mengerti maksud

al-Quran, dalam perkembangannya penafsiran al-Quran dilakukan oleh

beberapa sahabat tertentu yang disampaikan pada beberapa muridnya.

Pada masa awal perkembangannya, metode tafsir berfungsi

sebagai alat untuk mengkaji bagaimana cara para ulama melakukan

penafsiran yang kemudian dituangkan dalam ilmu tafsir, sedangkan

beberapa ilmu yang berfungsi untuk dijadikan sebagai instrumen analisis

al-Quran dituangkan dalam Ilmu Al-Quran. Pakar hukum Islam (Fuqaha)

mempunyai disiplin tersendiri untuk melakukan analisis al-Quran yang

dituangkan dalam usul fikih. Oleh karena itu, disiplin ilmu yang

disebutkan paling akhir ini pada dasarnya merupakan salah satu bagian

keilmuan metodologis dalam melakukan interpretasi al-Quran.

Sebagaimana dijelaskan di atas, penafsiran terhadap al-Quran pada

dasarnya adalah otoritas Nabi Muhammad saw karena hanya Nabilah

yang memahami apa yang dimaksudkan oleh wahyu. Akan tetapi, karena

Nabi Muhammad saw tidak menjelaskan sseluruh ayat yang ada dalam

17 Said Agil Munawar dalam pengantar Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir

(21)

Quran, maka ssetelah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat

memahami al-Quran dengan cara bertanya pada para sahabat lainnya yang

lebih mengerti yang dikenal ahli tafsir. Artinya, pada masa sahabat ini,

sudah ada penafsiran al-Quran sekalipun bersifat riwayat, yakni belum

dikodifikasi atau tertulis dalam sebuah kitab tafsir. Cara penafsiran

seperti ini berjalan hingga paruh abad ke 2 Hijriyah.

Setelah paruh kedua abad II Hijriyah, Ulama membukukan tafsir

al-Quran sebagai bagian dari atau menjadi bab dalam kitab-kitab hadis.18

Cara pembukuan seperti ini berjalan sekitar satu abad lamanya hingga

pada sekitar dasawarsa terakhir abad ke-3 Hijriyah atau dasawarsa

pertama abad ke-4 Hijriyah kitab tafsir dikodifikasi tersendiri. Pada masa

ini bab tafsir dalam beberapa kitab tafsir yang berkembang pada abad ke

3 Hijriyah masih tetap ada.19

Diantara tokoh yang paling terkenal pada masa ini, bahkan hingga

sekarang, ialah, Muhammad bin Jari>r al-T{abari> (224-310 H), dengan

kitabnya Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ayi al-Quran. Sekalipun kitab ini

merupakan kitab tafsir yang paling terkenal dan ditulis oleh seorang

tokoh yang terpopuler intelektualitasnya, corak penafsiran masih tampak

berpegang teguh pada cara penafsiran bi al-Riwa>yah seperti yang

dikembangkan sebelumnya. Hanya saja dalam kitab ini sudah tampak

adanya upaya penafsiran al-Quran dengan menggunakan analisis

18 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Ta>ri>kh al-Khulafa> (Mesir, Maktabat al-Sa’adah, 1952), 261.

19 Muhammad Ajaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>s, Ulu>muhu wa must}alah}uhu (Beirut : Da>r al-Fikr,

(22)

kebahasaan yang bersifat leksikografis, yakni pembahasan berdasarkan

analisis tata bahasa Arab (I’ra>b) atau belakangan disebut dengan

pendekatan atau metode analisis struktural.20

Corak tafsir bi al-ma’thu>r ini masih terus mendominasi model

tafsir yang berkembang hingga paruh pertama abad IV Hijriyah. Pada

paruh kedua abad ini, metode tafsir bi al-Ra’yi mulai bermunculan ke

permukaan. Penulis berasumsi munculnya metode tafsir bi al-Ra’yi ini

dipengaruhi oleh masa kecemerlangan kelompok rasionalis Muktazilah

yang berjaya pada masa sebelumnya. Di antara tafsir yang mengikuti

aliran rasionalisme ini adalah al-Kashsha>f, karya al-Zamakhshari>.

Semua corak yang berkembang pada masa ini menggunakan

metode tah}li>li>, yakni penafsiran ayat-ayat al-Quran sesuai dengan urutan

Mush}af Uthma>ni. Metode ini berjalan berabad-abad lamanya, hingga

paruh pertama abad XIV Masehi. Al-Shatibi (w. 1388 M) berpendapat

bahwa setiap permasalahan yang terkandung dalam sebuah surat

mempunyai hubungan dengan ayat lainnya. Oleh sebab itu, kata

al-Shatibi, untuk memahami secara utuh permasalahan tersebut diperlukan

pemahaman dari awal hingga akhir surat.21

Hingga saat ini, dapat dimaklumi bahwa pada masing-masing

generasi, pengembangan metode tafsir memberikan ciri khas tersendiri

20 Abd Al-Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-irfa>n fi Ulu>m al-Quran, Juz II (Kairo : Da>r D}ar

al-H{adi>th, 2003), 29.

21 Abu> Ish}a>q Al-Shatibi>, Al-Muwa>faqat fi> Ushu>l al-Shari’ah (Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,

(23)

sesuai dengan permasalahan dan perkembangan keilmuan dan metode

tafsir. Saat ini, di mana metodologi penelitian sudah menemukan

karakteristiknya, sistem pembagian terhadap tafsir pun perlu dikaji

berdasarkan atas keilmuan metodologis, sehingga dapat memperkokoh

karakter tafsir masing-masing. Namun demikian, sebagian ulama tafsir

belum menjadikan metodologi sebagai salah satu alternatif di dalam

klasifikasi metode tafsir, sehingga tidak mudah dipahami.

Abd al-H{ay al-Farmawi, misalnya membagi metode tafsir pada

empat macam metode penafsiran, yaitu metode Tah}li>li> (analisis), Ijma>li

(Global), Muqa>rin (Komparatif), dan Maud{u>’i (tematik).22 Cara

pembagian metode seperti ini kurang tepat jika ditinjau dari ilmu metode

(metodologi) dalam penelitian Ilmu Pengetahuan. Sistem pembagian ini

juga telah mengakibatkan kebingungan dalam menentukan kategorisasi

tafsir di kalangan mahasiswa atau dosen ahli metodologi penelitian.

Sistem kategorisasi metode tafsir yang lebih mudah dipahami

secara epistemologis dan berdasarkan metodologi penelitian modern,

menurut Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A23 seharusnya dibagi menjadi

4 kategori : (1) sumber tafsirnya, (2) cara penjelasannya, (3) keluasan

penjelasannya. (4) sasaran dan tertib ayat.

22 Abd al-H{ay al-Farma>wi>, Al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Maud}u>’i (Kairo : al-H}ad}oroh al-Garbiyah,

1977), 33. Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i : Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 1996), 11. Lihat juga Ali Hasan Al-arid, Sejarah dan

Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1992), 40.

23 Ridlwan Nasir, Perspektif Baru Metode Tafsir Muqarin dalam Memahami al-Quran, (Surabaya

(24)

Dari segi sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi 3

macam, yaitu bi al-ma’thu>r, bi al-ra’yi, dan bi al-Iqtira>ni/Isha>ri. Dari segi

cara penjelasannya, metode ini terbagi menjadi 2 macam yaitu baya>ni dan

muqa>rin. dari segi keluasan penjelasannya, metode ini terbagi menjadi 2

macam yaitu Ijma>li dan it}na>bi/tafsi>li. Dan dari segi sasaran dan tertib

ayat, metode ini terbagi menjadi 3 macam yaitu tah}li>li, maudu>’i, dan

nuzuli>.

Sedangkan kecenderungan (corak/naz’ah) penafsirannya terbagi

menjadi 7, yaitu Lugawi, fiqhi/ahkam, sufi, i’tiqadi, falsafi, asri/ilmi, dan

ijtima’i.

Model kategorisasi metodologis seperti ini yang digunakan

penulis dalam menganalisis kajian ini.

G. Penelitian Terdahulu.

Saat penelitian ini akan dilakukan, penulis menemukan satu

penelitian skripsi yang mengupas tentang Q.S. Al-Rah}ma>n ayat 19-20 ini.

Yaitu skripsi saudari Nuri Qomariyah Marita yang berjudul KONSEP

GEOLOGI LAUT DALAM AL-QURAN DAN SAINS ; Analisa Surat

al-Rahman [55] : 19-20, Surat Al-Naml [27] : 61, dan Surat Al-Furqan [25] :

53.

Dalam metode penafsiran, Nuri menggunakan metode maudhu>’i,

dalam metode pembahasan, Nuri menggunakan metode

(25)

dan pendapat untuk kemudian dikaji kembali dan membandingkan

isyarat-isyarat ilmiah yang diberitakan al-Qur’an, dengan temuan-temuan

ahli geologi terutama yang berhubungan dengan konsep geologi laut,

sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.

Adapun teknik penulisan, Nuri menggunakan buku “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQDA, 2007.” Nuri berkesimpulan

bahwa Konsep Geologi Laut dalam Quran dan Sains; Analisa surat

al-Rahman/55: 19-20, Surat al-Naml/27: 61, dan Surat al-Furqan/25: 53

menjadikan ayat ini sebagai salah satu mukjizat ilamiah al-Quran, dalam

ilmu sains menyatakan karena gaya fisika yang dinamakan “tegangan

permukaan”, air dari laut yang saling bersebelahan dan tidak menyatu.

Akibat adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan mencegah

lautan dari bercampur satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang

memisahkan (permeabilitas). pada dasarnya semua para ahli menyatakan

bahwa adanya pengaruh dari kadar sifat fisika dan kimia yang berbeda

dengan rasa air dan warna yang berbeda.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode

deskriptif-komparatif. Dan sebagai obyek kajian ini adalah Q.S.

Al-Rahman ayat 19-20 menurut Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid}

al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Fadl bin

Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran.

(26)

Jadi penelitian terhadap Q.S. Al-Rah}ma>n ayat 19-20 akan menjadi

lebih berbeda dengan penelitian sebelumnya. Dan akan lebih menarik

apalagi dilihat dari pandangan seorang tokoh yaitu Syeikh Ahmad

Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh

Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi

Tafsi>r al-Quran

Penulis memilih dua tokoh tersebut dalam mengupas Q.S.

Al-Rah}ma>n ayat 19-20 ini karena penafsirannya yang cenderung agak

berbeda dengan mufassir pada umumnya. Penafsirannya yang isha>ri>,

bercorak teologis, ber ‘bau’ sufistik dan terdapat unsur batiniyah yang

dijadikan sebagai pendekatannya menambah aroma ke-sedap-an dalam

penelitian ini.

H. Metode Penelitian.

Setiap penelitian tidak dapat lepas dari suatu metode, karena

metode adalah cara yang ditempuh untuk menemukan, menggali, dan

melahirkan ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran ilmiyah.24

1. Model penelitian

Penelitian ini menggunakan model kualitatif. Yaitu penelitian

yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan

dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya realistic setting.

Penelitian kualitatif sebagai suatu konsep keseluruhan untuk

24 Erna Widodo dan Mukhtar, Konstruksi ke arah Penelitian Penelitian Deskriptif (Yogyakarta :

(27)

mengungkap rahasia sesuatu, dilakukan dengan menghimpun data

dalam keadaan yang sewajarnya, mempergunakan cara kerja yang

sistematik, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak

kehilangan sifat ilmiyah.25

2. Jenis penelitian

Penulisan ini adalah Library Research (Penulisan Pustaka).

Karena sasaran penelitian ini adalah literatur yang berkaitan dengan

obyek penelitian, yaitu berupa kitab-kitab tafsir yang menjelaskan

tentang tema yang diangkat dalam penelitian ini. Karena jenis

penelitian ini merupakan library research, maka teknik pengumpulan

data pada penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi literatur.

Artinya data-data yang dijadikan rujukan penelitian diperoleh dari

benda-benda atau sumber-sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal

dan lain sebagainya.26

Juga karena penulisan ini erat kaitannya dengan bidang tafsir

maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan tafsir.

Sebagai pegangan dalam penulisan tesis dan pengolahan data

untuk memperoleh hasil yang valid, penulis menggunakan beberapa

metode dalam tulisan tesis ini, yaitu :

1. Bahan data

a. Bahan data primer

25 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (tk : Gajah Mada University, 1996),

174-175.

(28)

Bahan data yang penulis gunakan adalah Q.S.

Al-Rah}ma>n ayat 19-20 terutama kitab Faid} Rabba>ni> fi

al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r Al-Quran.

b. Bahan data sekunder

Sedangkan bahan data sekunder yang penulis gunakan

adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku yang membicarakan

tentang topik yang berhubungan langsung maupun tidak

langsung dengan judul dan pokok bahasan kajian ini.

2. Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan

ini, penulis menggunakan metode telaah pustaka. Penulis berusaha

mengumpulkan berbagai informasi baik berupa teori-teori

generalisasi maupun konsep yang dikemukakan para ahli yang ada

pada sumber kepustakaan, buku-buku, majalah, paper, dan lain

sebagainya yang dapat membantu menjawab persoalan yang

dibahas.27

Pengumpulan data yang berhubungan dengan penulisan ini

dilakukan dengan melalui studi kepustakaan. Karena penulisan ini

berkaitan dengan pemahaman ayat Al-Quran, maka secara

27 Anton Baker dan Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filasafat, (Yogyakarta : Kanisius,

(29)

metodologi penulisan ini dapat dimasukkan dalam kategori

penulisan explorative.28

Maksudnya, dalam penulisan ini akan dipaparkan

kandungan yang ada dalam Q.S. Rah}ma>n 19-20 dalam kitab Faid}

al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r

Al-Quran yang merupakan interpretasi dari Syeikh Ahmad

Al-Tija>ni> dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam

memahami maksud, isi maupun kandungan yang ada di dalam ayat

tersebut. Sehingga dari sini akan mempermudah dalam kajian ini.

3. Metode analisis data

Apabila pengumpulan data telah dilakukan dan data sudah

terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data

dengan menggunakan metode sebagai berikut :

a. Metode Tah}li>li>

Dalam menganalisis data yang telah diperoleh

berupa data kepustakaan dan buku-buku yang berhubungan

dengan tema yang dibahas, penulis juga menggunakan

metode tah}li>li>, atau yang dinamai oleh Ba>qir Al-S{adr

sebagai metode tajzi'iy. Tah}li>li> adalah salah satu metode

tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan

ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan

28 Suharsimi Ari Kunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta :

(30)

memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana

tercantum di dalam mushaf.29

Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang

mufassir diuraikan, bermula dari arti kosakata, asba>b

al-nuzul, muna>sabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks

atau kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat

luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan,

karena sering kali satu pokok bahasan diuraikan sisinya

atau kelanjutannya, pada ayat lain.

Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi,

menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan al-Qur'an

dengan metode tah}li>li> tidak lain kecuali dalam rangka

upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi

pemahaman akan kemukjizatan al-Qur'an.30

Seorang penafsir yang mengikuti metode ini

menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara runtut dari awal

hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan

mus}h}af 'Uthma>ni. Untuk itu ia akan menguraikan kosakata

dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga

unsur-unsur i’jaz dan bala>gh}ah, serta kandungannya dalam

berbagai aspek pengetahuan dan hukum.

29 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), 86.

(31)

Dalam pembahasannya, penafsir biasanya menunjuk

riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi,

sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dan

kisah isra'iliyat. Oleh karena pembahasan yang terlalu luas

itu maka tidak tertutup kemungkinan penafsirannya

diwarnai bias subjektifitas penafsir, baik latar belakang

keilmuan maupun aliran madzhab yang diyakininya.

Sehingga menyebabkan adanya kecenderungan khusus

yang teraplikasikan dalam karya mereka.31 Dalam

menggunakan metode ini, penulis tidak mutlak

menggunakannya secara keseluruhan. Dalam artian, penulis

tidak menggunakan semua kriteria yang ada karena

keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis hanya mengkaji

ayat al-qur'an dengan menggunakan penafsiran dari mu

Marokosir yang ada.

b. Metode Contents Analysis (analisis isi)

Untuk memperoleh kesimpulan yang tepat

maka penulis menggunakan metode analisis

kualitatif dengan metode analisis isi (contents

analysis) yaitu suatu teknik untuk mengambil

kesimpulan dengan mengidentifikasi

(32)

karakteristik khusus suatu pesan secara subyektif

dan sistematis.32

c. Metode Komparatif Analysis (perbandingan isi)

Metode ini digunakan untuk

membandingkan pemikiran Syeikh Ahmad

Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa

al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Fadl bin

Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi

Tafsi>r al-Quran tentang Q.S. Al-Rah}ma>n ayat

19-20.

Metode Muqa>ran (Komparatif) sebagai

salah satu metode yang berkembang dalam dunia

penafsiran, menjadi pilihan yang tepat

dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode

ini selain menghimpun sejumlah ayat yang

dijadikan obyek studi juga berusaha

membandingkan pendapat dua mufassir tersebut di

atas untuk mendapatkan informasi berkenaan

dengan identitas dan pola pikir masing-masing

mufassir serta orientasi dan aliran yang mereka

anut.33

32 Bruce A Chadwick, et.all, Metode Ilmu Pengetahuan Sosial, terj. Sulistiya, (Semarang: IKIP

Semarang Press, 1991), 27.

(33)

I. Sistematika Pembahasan.

Agar penulisan ini dapat dipaparkan secara sistematis dan mudah

dipahami, maka dalam pembahasan ini digunakan sistematika sebagai

berikut :

Bab pertama, pendahuluan, merupakan kajian awal untuk

mengetahui pokok dari penulisan ini yang menjelaskan latar belakang

diadakannya penulisan, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan kegunaan

penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua, mengupas biografi dan pemikiran dari Syeikh Ahmad

Al-Tija>ni> dan Syeikh Al-T{abarsi.

Bab ketiga, Perbandingan kitab Faid} al-Rabba>ni karya Syeikh

Ahmad Al-Tija>ni dan Majma’ al-Baya>n karya Syeikh Abi> Ali Al-Fad{l bin

Al-H{asan Al-T{abarsi.

Bab keempat, karena tesis ini berkaitan dengan Q.S. Al-Rah}ma>n

ayat 19-20, maka akan dipaparkan pendapat Syeikh Ahmad Al-Tija>ni dan

Syeikh Abi> Ali Al-Fad{l bin Al-H{asan Al-T{abarsi> mengenai ayat tersebut

berikut analisisnya.

Bab kelima, adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan yang

menjadi hasil dari penulisan sekaligus menjadi jawaban atas rumusan

masalah, dan saran-saran.

Demikianlah sistematika penulisan ini disusun semoga dapat

(34)

BAB II

BIOGRAFI SYEIKH AHMAD AL-TIJA>NI DAN SYEIKH ABI<> ALI< AL-FAD{L BIN AL-H{ASAN AL-T{ABARSI

A. Mengenal Syeikh Ahmad Al-Tija>ni

1. Riwayat hidup Syeikh Ahmad al-Tija>ni

Syeikh Ahmad al-Tija>ni (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui ajaran tariqat yang dikembangkannya yakni Tariqat Tija>niyah. Untuk mengetahui kehidupan Syeikh Ahmad al-Tija>ni, Penulis menelusurinya melalui Kitab-kitab yang memuat kehidupan dan ajaran Syeikh Ahmad al-Tija>ni terutama kitab-kitab yang di tulis Khalifah/murid Syeikh Ahmad al-Tija>ni diantaranya kitab Jawa>hir al-Ma>’ani (Mutiara-mutiara makna) karya Syeikh Ali Harazim.

Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani Al-Tija>ni lahir pada

Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H/1737 M di Ain Madhi atau disebut juga

dengan Madhawi, provinsi Laghouat di Sahara Timur Aljazair.1 Dan

beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H dan Mengenai tempat meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis

1 Sidi Ali Kharazim, Jawa>hir al-Ma’a>ni wa bulu>g al-Ma’a>ni, (Magrib : Dar Rashad al-hadithah, 2007), 23. Lihat juga KH. A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran tarekat dalam Tasawuf

(35)

28

tentang Syeikh Ahmad al-Tija>ni, beliau wafat di kota Fas Maroko.2 Dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir pada tahun 1150 H.

Hal ini bisa dimengerti karena sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syeikh Ahmad al-Tija>ni mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Fas Maroko.

Secara geneologis Syeikh Ahmad al-Tija>ni memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. Silsilah lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad (dijuluki dengan panggilan Ibn Umar) ibn Ibn Mukhtar Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad (dijuluki al-Alwani) Ibn Ahmad ibn Ali Ibn Abdillah Ibn Abbas Ibn Abdil Jabbar Ibn Idris Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Ali Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Muthanna Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi T{alib, suami Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasulullah saw.3

Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu

Abdillah Muhammad bin Al-Sanusi Al-Tija>ni Al-Madhawi.4

2 http://zawiyahpangandaran.blogspot.co.id/2013/01/biografi-syaikh-ahmad-bin-muhammad-at.html

3 KH Mas Umar Baidlowi, Faidh al-Rabba>ni, (Surabaya : tp, 1983), 6-7. Lihat juga KH. A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran tarekat dalam Tasawuf , 351.

(36)

Nama al-Tija>ni diambil dari suku Tija>nah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar Tilimsan, Aljazair dari pihak ibu, dan Syeikh Ahmad al-Tija>ni berasal dari suku tersebut. Kabilah ini banyak

melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh.5

Keluarga Syeikh Ahmad Al-Tija>ni adalah keluarga yang dibentuk dengan tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syeikh Ahmad al-Tija>ni adalah seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (ﺎﻘﺣ يدﻟو تﻧأ). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah s}ahi>h.”6

Ketika Syeikh Ahmad al-Tija>ni memasuki usia baligh, beliau dinikahkan oleh ayahnya. Dalam kitab-kitab yang menulis riwayat

hidup Syeikh Ahmad al-Tija>ni tidak dijelaskan waktu dan tempat dimana beliau menikah. Namun apabila dihubungkan dengan tahun

meninggal kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni tahun 1166 H karena penyakit

t}a’un/lepra yang mewabah.7 Diduga beliau menikah antara usia 15-16

tahun, sebab beliau lahir pada tahun 1150 H.

5 http://zawiyahpangandaran.blogspot.co.id/2013/01/biografi-syaikh-ahmad-bin-muhammad at.html , (20 oktober 2015).

(37)

30

Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak

secara berturut-turut memimpin zawiyah.8

Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muh}ammadiyah.

Orang tua Syeikh Ahmad al-Tija>ni sangat mempercayakan pendidikan masa kecilnya kepada Sayid Muhammad bin Hamawi Al-Tija>ni. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain

Madhi.9 Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi

bertemu Allah SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam

Warash sampai khatam. Allah SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H10.

Syeikh Ahmad al-Tija>ni banyak mempelajari cabang ilmu dari Syeikh Hamawi. Bahkan pada umur 7 tahun telah hafal Al-qur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi Al-Tija>ni.

8 Pesantren Sufi tempat kegiatan tariqat yang beliau dirikan 9 KH Mas Umar Baidlowi, Faidh al-Rabba>ni, 6-7

(38)

Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengan sempurna. Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Us}u>l, Furu’ dan Adab.

beliau telah mendapatkan dasar-dasar agama yang baik terutama hadis susunan Imam Malik ibn Anas, pemikiran kalam Asy’ari dan berbagai uraian tentang tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syeikh Ahmad al-Tija>ni sudah dikenal sebagai ulama yang cerdas, mempunyai banyak murid, serta mulai memberi fatwa.

Di samping Hamawi, Syeikh Ahmad al-Tija>ni Kemudian

belajar berbagai ilmu agama dan menguasai kitab Mukhtas}ar

al-Syaikh al-Khali>l, karya Imam Malik, Risalah al-Jama>’ah al-S}u>fiyah bi

Bila>d al-Isla>m, karya Abu Qasim al-Qushairi, dan Muqaddimah karya

Ibn Rusyd dan al-Akhd}ari, dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabru>k bin Bu’a>fiyah Al-Mad}o>wi Al-Tija>ni.11

Berikutnya beliau melanjutkan menuntut ilmu di negerinya sendiri (Ain Mad}i, Aljazair) hingga menguasai dan mendalami berbagai bidang ilmu yang bermanfaat. Bahkan beliau mampu menjawab semua cabang persoalan dan permasalahan keilmuan. Padahal beliau masih berusia sangat muda.

Beliau termasuk pemuda yang rajin dan tekun belajar, suka berdiskusi dan saling belajar mengajar dengan orang lain. Beliau suka menulis (mengarang) berbagai cabang keilmuan dan kemudian

(39)

32

membacakannya kepada orang lain seperti tafsir, hadis, fiqih, tauhid, dan ilmu lainnya. Setiap orang yang bertanya, mampu dijawabnya dengan seketika, seolah-olah terdapat (jawaban di) papan tulis di

depan beliau.12

Dalam usia yang relatif muda, Syeikh Ahmad al-Tija>ni telah menunjukkan kelebihan dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendidikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh Ahmad al-Tija>ni tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar,

menulis dan memberi fatwa.13

Selanjutnya beliau pergi menuju kota Fas Maroko. Disana beliau mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda : “akan ada di

negeri Maghrib (Maroko) sebuah kota yang disebut Fas (Maroko),

penduduknya giat menghadap Qiblat (suka beribadah), rajin melaksanakan sholat, penduduknya suka menegakkan kebenaran, orang-orang yang memusuhinya tidak akan mampu menyentuh (membahayakan)-nya, Allah swt menjauhkan mereka dari segala

mara bahaya hingga hari kiamat.”14

Menginjak usia 21 tahun Syeikh Ahmad al-Tija>ni melakukan

berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas Maroko. Melakukan

12 KH Mas Umar Baidlowi, Faidh al-Rabbani, 7-8 13 Ibid.

(40)

banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, ahli agama,

rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki.15

Orang pertama yang beliau temui adalah Sidi Abu Muhammad al-T{ayyib ibn Muhammad ibn Abdillah yang lebih terkenal dengan

julukan Alwa>ni. Berikutnya beliau menjumpai seorang wali qutub

besar yaitu Maulana Ahmad Al-S{aqali Al-Idrisiyah ra, salah seorang ternama dalam Tariqat Khalwatiyah di Fas Maroko. Dalam pertemuannya ini Al-S{aqali tidak banyak melakukan pembahasan.

Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya.16

Kemudian beliau naik ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kashsha>f yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad al-Tija>ni :

ﻲﻟذﺎﺷﻟا مﺎﻘﻣ كردﺗ نأ دﺑ ﻻ

Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-qut}b al-kabi>r Maulana Abi al-Hasan al-Sha>dhili>.17

Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari

Tariqat Sha>dhiliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya

15 Ibid.

(41)

34

menunjukkan bahwa Syeikh Ahmad al-Tija>ni akan mencapai kedudukan Abil Hasan Al-Syadzili.

Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh Ahmad al-Tija>ni dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Maroko Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut.

Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh Ahmad al-Tija>ni dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh Ahmad al-Tija>ni. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar

tahun 1185 H.18

Wali Qut}ub lain yang ditemui Syeikh Ahmad al-Tija>ni adalah Maulana T{ayyib bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas Maroko.

Legenda keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan Qut}ub.

Maulana Al-T{ayyib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk kepada manusia di jalan Allah dan

(42)

kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Maulana Al-Tiha>mi yang menggantikan Sayid Muhammad yang menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089 H.), kakek Al-T{ayyib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya keluarga Al-T{ayyib secara turun-temurun memegang Tariqat Jazuliyah. Hal ini terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepada Ahmad bin Ali Al-Sharsori, salah seorang tokoh Tariqat Jazuliyah.

Ciri pokok tarekat ini adalah dengan memperbanyak shalawat. Ayah Al-T{ayyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai kedudukan Qut}ub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi, melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29

Muharam 1120 H.19

Dalam pertemuannya dengan Al-T{ayyib, Syeikh Ahmad al-Tija>ni mengambil wirid darinya. Bahkan dalam ijazah-nya, Al-T{ayyib

telah memberikan izin kepada Syeikh Ahmad al-Tija>ni untuk

memberikan talqi>n20 pada orang yang hendak mengambil wiridnya.

Akan tetapi Syeikh Ahmad al-Tija>ni menolak hak talqi>n tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan belum

berminat untuk memegang salah satu jenisnya.

19 Ibid.

(43)

36

Di sini Syeikh Ahmad al-Tija>ni menunjukkan ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh Ahmad al-Tija>ni belum mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. Al-T{ayyib adalah salah satu guru yang diakui oleh Syeikh Ahmad al-Tija>ni pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari Ahad, Bulan Rabi’ al-Thani, tahun 1181 H.

Berikutnya beliau menemui seorang wali yang salih, cucu al-Arif al-Ra>bih} Sidi Abdullah ibn Sidi Al-Arabi ibn Ahmad ibn

Muhammad al-Andalusi di Fas Maroko. Tariqatnya bercorak Ishra>q

(konsep cahaya). Pertemuan ini banyak memperbincangkan beberapa masalah.

Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya, Sidi Abdullah ibn Sidi Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh Ahmad al-Tija>ni selanjutnya. Sidi Abdullah ibn Sidi Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia akhirat dan pada akhir perjumpaannya berkata:

كﺪﯿﺑ ﺬ ٔ ﯾ ﷲ كﺪﯿﺑ ﺬ ٔ ﯾ ﷲ كﺪﯿﺑ ﺬ ٔ ﯾ ﷲ

Allah swt akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Allah akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Allah akan

menuntun tanganmu (menolongmu). 21

Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H.

(44)

Di kota Fas Maroko ini, Syeikh Ahmad al-Tija>ni juga pernah mengambil Tariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalqinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan.

Tariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Tariqat Na>s}iriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Nazani. Tidak berapa lama tariqat ini pun ditinggalkan. Kemudian Tariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang Qut}ub yang masyhur dengan Al-Ghumari Al-Sijlimasi Al-S{a>diqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Namun pada

akhirnya tariqat ini pun juga ditinggalkan.22

Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni mengambil ijazah dari Tokoh Malmatiyah, Sayid Abu al-Abbas Ahmad Al-T{awashi di

Tazah. Al-T{awash mengajarkan salah satu isim (nama ilahi)

kepadanya dan berkata:

ةﺪ ﻮﻟاو ةﻮﻠﳋا مﺰﻟا

ﻚﯿﻠ ﷲ ﺢ ﻔﯾ ﱴﺣ ﱪﺻاو ﺮ او

Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga

Allah memberikan futu>h} kepadamu. Sesungguhnya dirimu

akan memperoleh kedudukan yang agung.23

Perkataan Al-T{awashi> agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tija>ni, sehingga ia mengulangi perkataannya:

(45)

38

ﻚﯿﻠ ﷲ ﺢ ﻔ ﻓ ةﺪ و ﻻو ةﻮﻠ ﲑ ﻦﻣ ﻪﯿﻠ مد و ﺮ ا اﺬﻫ مﺰﻟٕا

Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus khalwah dan

menyendiri. Maka Allah akan memberikan futu>h} kepadamu

atas keadaan tersebut.24

Perkataan Al-T{awashi> yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedua inilah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh Syeikh Ahmad al-Tija>ni yang kemudian menjadi ciri utama Tariqatnya.

Di samping itu, Al-T{awa>shi> juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh Ahmad al-Tija>ni. Beliau

melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. Al-T{awashi> meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di

Tazah.25

Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Tariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian

tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Rabbaniyah untuk

menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai ke-khas-an seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.

Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas Maroko, Syeikh Ahmad al-Tija>ni

(46)

segera kembali ke negaranya yaitu Aljazair dan menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Sahara Dhar, tidak jauh dari Ain Madhi. Seorang wali qut}ub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Balad al-Abyad}) yang pada akhirnya paling banyak mewarnai

corak kehidupan Syeikh Ahmad al-Tija>ni. Ini terjadi pada tahun 1176

H/1762 M.26

Syeikh Ahmad al-Tija>ni menetap di Zawiyahnya beberapa tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Dan di sela-sela pengabdiannya, Syeikh Ahmad al-Tija>ni sering sambang (pulang) ke rumahnya. Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kashsha>f dari Gunung Zabib bahwa futu>h}-nya akan diperoleh di sana.

Syeikh Ahmad al-Tija>ni memasuki Aljazair pada tahun 1180

H. Di daerah Azwawi, Syeikh menemui seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman Al-Azhari.

Syeikh mengambil Tariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari

meninggal pada permulaan Muharam tahun 1180 H.27

Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni menuju ke Tilmisan pada tahun 1181 H dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadis dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan taqarrub dengan ber-tawajjuh pada

keagungan rubu>biyah dengan menyatakan ke-s}iddiq-an

(47)

40

nya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan ilmunya. Sehingga mulai terlihat ke-futu>h}-an yang membuka

beberapa hijab yang menghalangai antara seorang hamba dan

Al-Quddu>s (Allah). Syeikh Ahmad al-Tija>ni menyatakan hijab yang

tersingkap adalah 165.000 hijab. Mata batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan Irfan.

Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh Ahmad al-Tija>ni pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ahmad al-Tija>ni berangkat dari Tilmisan

pada tahun 1186 H.28

Dalam perjalanannya Syeikh Ahmad al-Tija>ni berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Di kota inilah, beliau belajar mengenai tarekat secara lebih intens sambil mengajar ilmu tasawuf dengan mengajarkan kitab Al-H{ikam karya Ibn At}aillah Sakandari (w. 709 H/1309 M). Di daerah ini juga Syeikh Ahmad al-Tija>ni berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang

terkenal, Sayid Abd al-S{amad Al-Rah}awi, salah seorang dari 4 murid

wali Qut}ub negeri tersebut. 29

Wali Qut}ub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya.

(48)

Syeikh Ahmad al-Tija>ni meminta supaya Sayid Abd al-S{amad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya. Dan wali Qutub tersebut sempat mengatakan

ًﺔﯿِﻧ َر ًةَرﺎ َﺷاَو ًةَرﺎ َﺸِ ً ْﻮُﺒْﺤَﻣ َﻞ َﺳْر ُبْﻮُﺒْﺤَﳌا

(Al-Mah}bu>b/ Allah swt mengirim Mah}bu>ban/ utusan sebagai berita gembira dan isha>rah Rabba>niyah).30

Selanjutnya, Syeikh Ahmad al-Tija>ni melanjutkan

perjalanannya ke negeri Mesir dengan tujuan untuk menemui Syeikh

Sidi Mahmud al-Kurdi (w. 1195 H/1781 M). Di saat bertemu untuk

pertama kalinya, beliau mengatakan pada Syeikh Ahmad al-Tija>ni :31

ةﺮﺧٔ او ﺎﯿﻧ ا ﰱ ﷲ ﺪﻨﻋ ﺐﯾﻮﺒﳏ ﺖﻧٔ

Engkau adalah kekasih Allah di dunia akhirat. Syeikh Ahmad al-Tija>ni pun bertanya :

ﷲ ﻦﻣ لﺎﻗ ؟ اﺬﻫ ﻦ ٔ ﻦﻣ

dari mana anda bisa tahu? Dari Allah. Jawabnya.32

Setelah beberapa hari berlalu, Syeikh Sidi Mahmud al-Kurdi bertanya tentang tujuannya. Dan Syeikh Ahmad al-Tija>ni pun menyampaikan bahwa tujuannya adalah ingin mendapatkan

(49)

42

Qut}ba>niyyat al-‘Uz}ma33. Lalu Syeikh Sidi Mahmud al-Kurdi

mengatakan bahwa beliau telah mendapatkan yang lebih dari itu. Pada tahun 1187 H/1773 M beliau melanjutkan perjalanannya ke Makkah al-Mukarramah untuk melakukan ibadah haji. Di tengah perjalanannya, pada bulan Syawal 1187 H/Pebruari 1774 M, beliau berusaha menemui seorang tokoh sufi besar Syeikh Imam Abi al-Abbas sidi Muhammad bin Abdillah al-Hindi. Namun beliau tidak

berhasil menemuinya. 34

Dua bulan kemudian, Al-Hindi wafat. Sebelumnya ia

mengirim Khadim-nya dan menuliskan pesan bahwa ia tidak bisa

menemui seorang pun dan mengatakan bahwa Syeikh Ahmad al-Tija>ni telah mewarisi seluruh ilmu, asra>r, h}ikam, mawa>hib dan

anwa>r-nya. Dan akan sampai pada maqam Syeikh Abu Hasan al-Sha>dhili

ra.35

Setelah menjalankan ritual ibadah haji dengan sempurna, Syeikh Ahmad al-Tija>ni melanjutkan perjalanannya menuju Madinah

al-Munawwarah untuk ziarah ke makam Baginda Nabi Muhammad saw. Beliau sampai di Madinah penuh dengan rasa ta’zi>m dan sangat

memulyakan Nabi Muhammad saw.

Seusai ziarah, beliau menemui Muhammad bin Abd al-Karim

al-Qurashi al-Madani al-Shafi’i (w. 1130 H-1189 H/1718-1776 M).

33 Pangkat tertinggi untuk para wali.

(50)

Seorang wali Qutub yang terkenal dengan al-Samman, Pendiri Tariqat al-Sammaniyah. Al-Samman ini kemudian memberikan berita bahwa Syeikh Ahmad al-Tija>ni akan menjadi wali Qut}ub yang

berpengaruh.36

Pada tahun 1191 H/1777 M, Syeikh Ahmad al-Tija>ni meninggalkan Haramain menuju Afrika. Beliau singgah di Kairo (Mesir) untuk menemui gurunya lagi yaitu Syeikh Mahmud al-Kurdi. Syeikh Mahmud al-Kurdi memberikan ijazah kepada beliau untuk

menyebarkan Tariqat Khalwatiyah di Afrika Utara.37

Syeikh Ahmad al-Tija>ni tidak langsung pulang ke negeri asalnya (Aljazair), tetapi mampir ke Fas (Maroko). Setelah menziarahi makam Syeikh Ahmad bin Idris, Syeikh Ahmad al-Tija>ni pergi ke Tilimsan (Aljazair) dan menetap di sana selama satu tahun

hingga 1196 H/1782 M.38

Berikutnya, Syeikh Ahmad al-Tija>ni meninggalkan Tilimsan menuju Shala>lah dan tinggal di sana selama satu tahun, selanjutnya

beliau Khalwat dan Uzlah di padang pasir/sahara Bu Samghoun

(Aljazair) yang terletak di padang Sahara, 90 KM sebelah selatan

Geryvile hingga di tempat inilah beliau mengalami kejadian luar

(51)

44

biasa, mendapatkan ilham (al-Fath} al-Akbar), beliau bertemu dengan

Rasulullah saw, dalam keadaan jaga (yaqz}ah)39.

Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni di-talqi>n (dibimbing) istighfar 100 kali dan s}alawat 100 kali, selanjutnya Rasulullah saw.

bersabda kepada Syeikh Ahmad Al-Tija>ni :

ﯿﻠ قﻮﻠ ﺔ ﻣﻻ

ﻖ ﻘﺤﺘﻟا ﲆ كﺪﳑو ﻚﺘﻄﺳاو ﺎﻓ ﻖﯾﺮﻄﻟا خﺎﯿﺷٔ ﻦﻣ

.

ﻊﯿﲨ ﻚﻨﻋ كﺮ ﺎﻓ

قﺮﻄﻟا ﻊﯿﲨ ﻦﻣ تﺬ ا ﺎﻣ

.

ﻚﻣﺎﻘﻣ ﻞﺼﺗ ﱴﺣ سﺎﻨﻟا ﻦﻋ لاﱱ اﻻو ةﻮﻠ ﲑ ﻦﻣ ﺔﻘﯾﺮﻄﻟا ﻩﺬﻫ مﺰﻟا

ءﺎﯿﻟو ﻊﯿﲨ ﻚﻨﻋ كﺮ او ةﺪﻫﺎﳎ ةﱶﻛﻻو جﺮﺣﻻو ﻖﯿﺿ ﲑ ﻦﻣ ﺎ ﲆ ﺖﻧاو ﻪﺑ تﺪ و ى ا

.

Tak ada karunia bagi makhluk (dari guru-guru tariqat) atas kamu. Maka akulah wasit}ah (perantaramu) dan pemberi atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya. (oleh karena itu), Tinggalkanlah semua tariqat yang telah kamu ambil.

Tekunilah tariqat ini tanpa khalwat dan tidak menjauh dari

manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan padamu, dan tetaplah atas keadaanmu ini tanpa kesulitan,

Referensi

Dokumen terkait

7 Pada masing-masing tabel diatas dapat dilihat bahwa perubahan tegangan yang lebih jauh perubahannya merupakan sumbu utama yang menjadi titik perubahan, dalam

Hasil dari metode agregat planning dalam perencanaan produksi hollow dengan ukuran 15 mm x 35 mm x 0.30 mm di PT Mulcindo Steel Industry dengan

Namun saat ini hal tersebut, yaitu filosofi yang harusnya diketahui oleh orang-orang yang terjun didunia IT, apakah akan jadi Mesin (seperti komputernya), Marketing

Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di sepanjang kawasan perairan lotik (sungai) dan lentik (danau) dan berdasarkan penggunaan lahan di sekitar

Berdasarkan identifikasi terhadap ketiga elemen utama metafora di atas, dalam kajian ini dapat dijelaskan makna metafora beras beserta hal-hal yang bertalian dengan beras

Hubungan antara pemakaian masker dengan konsentrasi timbal (Pb) dalam darah dianalisa menggunakan SPSS dengan uji Fisher-exact sehingga diperoleh nilai signifikansi (p

Kelompok yang benar – benar terlibat dalam konflik kelompok, muncul dari sekian banyak kelompok kepentingan tersebut. Dahrendorf merasa bahwa konsep kepentingan laten