x
BAH{RAIN DALAM AL-QURAN
(Studi Komparatif terhadap kitab Faid} al-Rabba>ni fi> al-Tafsi>r wa al-H{adi>th karya Syeikh Ahmad Al-Tija>ni dan kitab Majma’ al-Baya>n fi> tafsi>r al-Quran karya Syeikh Abi> Ali Al-Fad}l bin Al-H{asan Al-T{abarsi> tentang Q.S. Al-Rahman 19-20)
TESIS
Disusun dan diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Tafsir
oleh Ahmad Naufal
F05212075
PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL SURABAYA
ix
ABSTRAK
Ahmad Naufal (F05212075) Bah}rain dalam Al-Quran, (Studi Komparatif terhadap kitab Faid} al-Rabba>ni fi> Tafsi>r wa al-H{adi>th karya Syeikh Ahmad Al-Tija>ni dan kitab Majma’ al-Baya>n fi> tafsi>r al-Quran karya Syeikh Abi> Ali Al-Fad}l bin Al-H{asan Al-T{abarsi> tentang Q.S. AL-RAHMAN 19-20). Tesis, Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengetahui Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th
dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran terhadap Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 tentang kata
Bah}rain dan Barzah}}.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (Library research). Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode tah}lili dan content analisys
untuk menggali kandungan makna bah}rain dan barzah} dalam Q.S. Al-rahman 19-20.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni tentang Q.S>. Al-Rahman 19-20 tertuju pada dua lafadz yaitu Bah}rain dan
Barzah}. Bah}rain berarti dua dimensi yaitu dimensi Ulu>hiyah dan dimensi
Khali>qah. Sedangkan yang yang dimaksud barzah} adalah Nabi Muhammad saw. Penafsiran Syeikh Abu Ali al-Fadl bin al-Hasan al-T{abarsi mengenai Q.S. Al-Rahman 19-20 juga tertuju pada dua lafadz yaitu Bah}rain dan Barzah}. Namun menurut beliau yang dimaksud dengan Bah}rain adalah Sayyidina Ali kw dan Sayyidah Fatimah ra. Sedangkan yang dimaksud Barzah} adalah Nabi Muhammad saw.
Melihat penafsiran keduanya, Bila dilihat dari segi sumber penafsirannya, maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk tafsir bi al-Iqtira>ni/Isha>ri. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk tafsir bi al-Iqtira>ni/Isha>ri. Bila dilihat dari cara penjelasannya, maka penafsiran Al-Tija>ni dan Al-T{abarsi termasuk baya>ni. Bila dilihat dari keluasan penjelasannya, maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk Ijma>li. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk Tafsili/it}na>bi. Bila dilihat dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk maud}u>‘i. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk tah}lili. Bila dilihat dari coraknya, maka penafsiran Al-Tija>ni termasuk
Sufi. Sedangkan Al-T{abarsi termasuk I’tiqa>di.
vii
DAFTAR ISI
Pernyataan Keaslian ... i
Persetujuan ... ii
Pengesahan tim penguji ...iii
Transliterasi ... iv
Persembahan ... v
Kata pengantar ... vi
Daftar isi ... vii
Abstrak ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1
B. Identifikasi dan batasan masalah ……….. 6
C. Rumusan masalah ... 7
D. Tujuan penelitian ………... 7
E. Kegunaan penelitian ………... 9
F. Kerangka teoritik ……….………... 9
G. Penelitian terdahulu ……… 17
H. Metode penelitian ... 19
I. Sistematika pembahasan ... 26
BAB II BIOGRAFI SYEIKH AHMAD AL-TIJA<NI DAN SYEIKH ABI<> ALI< AL-FAD{L BIN AL-H{ASAN AL-T{ABARSI A. Mengenal Syeikh Ahmad Al-Tija>ni... 27
1. Riwayat Hidup Syeikh Ahmad Al-Tija>ni ………...……. 27
2. Karya Syeikh Ahmad Al-Tija>ni ………... 46
3. Pokok Pikiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni ………...……... 47
B. Mengenal Syeikh Abi<> Ali< Al-Fad{l Bin Al-H{asan Al-T{abarsi ... 56
1. Riwayat Hidup Syeikh Al-T{abarsi …....……… …… 56
2. Karya Syeikh Al-T{abarsi ……….……… …… 57
viii
BAB III PERBANDINGAN ANTARA KITAB FAID{ AL-RABBA<NI DAN
MAJMA’ AL-BAYA<N
A. Kitab FAID{ AL-RABBA<NI ... 88
B. Kitab MAJMA’ AL-BAYA<N ... 93
BAB IV PENAFSIRAN AL-TIJA<NI DAN AL-T{ABARSI TENTANG KATA BAH{RAIN DALAM Q.S. AL-RAHMAN AYAT 19-20 A. Penafsiran Al-Tija>ni tentang Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 …….. 99
B. Penafsiran Al-T{abarsi tentang Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 ... 114
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 120
B. Saran ... 121
C. Lampiran ………. 123
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran
moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam posisinya
sebagai kitab petunjuk, al-Quran diyakini tidak akan pernah lekang dan
lapuk dimakan zaman. Akan tetapi dalam kenyataannya, teks al-Quran
sering kali dipahami secara parsial dan ideologis sehingga
menyebabkannya seolah menjadi teks yang mati dan tak lagi relevan
dengan perkembangan zaman. Fenomena inilah yang menggelisahkan
para mufassir modern-kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad
Syahrur, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid.
Setiap manusia pada abad ke-21 ini serta generasi berikutnya
dituntut pula untuk memahami al-Quran sebagaimana tuntutan yang
pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya
al-Quran. Dan kunci gudang penyimpanan yang terkandung dalam al-Quran
adalah tafsir. Tanpa tafsir, seseorang tidak mungkin sampai kepada
gudang penyimpanan yang penuh mutiara dan permata itu, tapi hanya
sampai pada bentuk lahir lafadz-lafadz al-Quran yang dibaca ayat-ayatnya
setiap pagi dan sore.
Usaha memahami dan menjelaskan serta menemukan kandungan
al-Quran itulah yang disebut tafsir. Jadi, tafsir merupakan hasil
tafsir itu termasuk budaya. Hasil pemikiran setiap orang dapat
dipengaruhi bukan saja oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh
pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, budaya,
kecenderungan, interest, motivasi mufassir, missi yang diemban dan
lain-lain sebagainya, yang tentunya hasil pemikiran itu akan berbeda-beda
antara satu dengan yang lain.
Dinamika penafsiran Al-Quran memang tidak pernah mengalami
kemandegan sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw.1 Berbagai macam metode penafsiran telah ditawarkan
oleh para mufassir baik klasik maupun modern. Perbedaan-perbedaan
inilah yang menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian
berkembang menjadi suatu aliran tafsir yang bermacam-macam.
Sejarah pernah mencatat bahwa masalah penafsiran al-Quran
rupanya menjadi salah satu persoalan serius, disamping mulai tumbuhnya
intrik-intrik politik, yang memicu keretakan, bahkan berujung pada
perpecahan umat Islam generasi awal. Karena masalah ini, umat Islam
terpetak-petak dalam beberapa golongan bahkan kadangkala antara satu
golongan dengan lainnya saling bermusuhan.
Menafsirkan al-Quran memang merupakan salah satu kebutuhan
pokok umat Islam untuk menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam
kitab suci tersebut. Pada saat Nabi Muhammad saw hidup, proses
penafsiran tidak terlalu banyak mengalami kesulitan sebab kesukaran
1 Amin al-Khuli, Mana>hij Tajdi>d fi al-Nah}w wa al-Bala>gah wa al-Tafsi>r wa al-Adab (Kairo : Da>r
dalam memahami al-Quran seketika itu juga bisa langsung ditanyakan
kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dipahami karena selain
posisinya sebagai nabi, Muhammad-lah yang menerima wahyu al-Quran
sekaligus berkewajiban menyampaikan dan menjelaskannya kepada umat
manusia.2
Di sini tampak bahwa Nabi Muhammad saw memegang otoritas
penuh dalam proses penafsiran dalam permulaan generasi Islam.
Keterangan-keterangan Nabi Muhammad saw kemudian diriwayatkan
para sahabat dalam bentuk hadis. Hal inilah yang kemudian dinamakan
Tafsi>r al-Nabawi>. Tetapi sayang, Tafsi>r al-Nabawi> tidak bisa dijumpai
dalam bentuk karya utuh, karena tradisi penulisan belum benar-benar
berkembang matang ketika itu.3
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, persoalan demi persoalan
terus menggelombang termasuk dalam ranah penafsiran al-Quran umat
Islam generasi awal (masa sahabat). Mereka mengalami krisis figur
pemegang otoritas terhadap upaya menafsirkan al-Quran. Dalam kondisi
demikian, penafsiran terhadap al-Quran berkembang liar, apalagi terhadap
ayat-ayat yang mendukung kepentingan mereka. Penafsiran al-Quran
kemudian menjadi pijakan justifikasi dan legitimasi doktrinal terhadap
berbagai kepentingan tersebut.
2 Q.S. Al-Nah}l (16) : 44.
3 Syaiful Amin Ghafur, “Potret Dinamika Penafsiran Al-Quran”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran
Tak heran jika dalam kondisi ini umat Islam, sekali lagi terbelah
bahkan terpetak-petak menjadi banyak golongan, misalnya Sunni, Syi’ah,
Khawarij, dan Muktazilah. Mereka terlibat konflik satu sama lain,
terutama dalam persoalan teologis. Masing-masing mereka mengklaim
dirinya yang paling benar dalam menafsirkan al-Quran. Sementara
golongan selain dirinya adalah salah -bahkan dikafirkan- dan, karena itu,
menyimpang dari ajaran Islam.
Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi> adalah termasuk
sebagian dari ulama masyhur dari golongan Syi’ah yang menafsirkan
al-Quran melalui karyanya yang cukup fenomenal yaitu Majma’ al-Baya>n fi
Tafsi>r al-Quran. Kitab ini menjadi referensi utama bagi golongan syi’ah
dalam doktrin teologi ajaran mereka.
Pemikiran dan ide-ide beliau banyak kita dapatkan melalui
membaca kitab ini. Banyak penafsiran-penafsiran beliau yang
ditumpahkan secara komprehensif dalam kitab ini.
Syeikh Ahmad Al-Tija>ni juga termasuk sebagian dari ulama
pendiri Tariqat. Penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-Quran cukup
mempengaruhi Tariqat Tija>niyah dalam aktifitas ke-Tariqat-annya.
Kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th adalah karya
Syeikh Ahmad Al-Tija>ni di bidang tafsir dan hadis yang cukup layak
untuk dikaji. Mengingat hasil pemikiran beliau cukup banyak tersalurkan
dalam kitab ini.Salah satu tema penafsiran yang menarik untuk dikaji saat
Bah}rain dalam al-Quran apalagi dipandang oleh Syeikh Ahmad Al-Tija>ni
dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi. Kedua mufassir ini
mempunyai latar belakang yang berbeda, sehingga hasil pemikiran beliau
tentang Bah}rain akan menambah wacana baru dalam khazanah keilmuan
tafsir al-Quran.
Kata bah}rain disebut sebanyak 5 kali dalam al-Quran,4 kata ini
merupakan muthanna dari kata al-bah}r (laut) yang terulang dalam
al-Quran sebanyak 33 kali.5 Kata al-Bahrain yang diartikan dua laut
terletak surat al-Kahfi ayat 60, surat al-Furqan ayat 53, surat al-Naml
ayat 61, surat al-Fathir ayat 12, dan surat al-Rahman ayat 19.6 Semua
ayat ini dari segi teks diartikan sama yakni “dua laut”, akan tetapi
dari segi penafsiran dan konteks ayat, kemungkinan maknanya berbeda.
Beberapa mufasir menafsirkan bahrain (dua laut) dengan makna
yang berbeda-beda. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-Bah}rain adalah Sungai
Eufrat di Irak dan Teluk Persia di pantai Basyah serta daerah di
sekitar kerajaan Bahrain dewasa ini.7
Selanjutnya ada juga yang memahami kedua laut yang dimaksud
adalah lautan yang memenuhi tiga perempat bumi ini serta sungai
4 Muhammad Fu‘ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz} Al-Quran Al-Karim, (Kairo:
Pustaka Dar Al-Hadis, 2001),140.
5Ibid. 6 Ibid.
yang ditampung oleh tanah dan yang memancarkan mata air- mata air
serta sungai-sungai besar yang kemudian mengalir ke laut.8
Sementara ada lagi yang menafsirkan al-Bah}rain dengan
bertemunya dua laut tapi tidak bercampur airnya, diartikan dengan muara
sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin
dari laut.9
Karena itulah, kajian ini akan berusaha mengupas gagasan
penafsiran kedua tokoh tersebut melalui karyanya Majma’ al-Baya>n fi
Tafsi>r al-Quran dan Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th. Dan kajian
ini akan difokuskan pada tafsiran Q.S. Al-Rahman ayat 19-20 tentang
kata Bah}rain yang berbunyi
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian
bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui
masing-masing.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah.
Masalah-masalah penelitian yang berkaitan dengan judul di atas
dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid}
al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl
bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi>
8 Ibid.
Tafsi>r al-Quran terhadap kata Bah}rain dalam Q.S. Al-Rahman
ayat 19-20.
2. Konsep
Bah}rain
dalam Al-quran.3. Urgensi, Signifikansi, dan implikasi penafsiran Al-Tija>ni
terhadap aliran Tariqat Tija>niyah.
4. Urgensi Signifikansi, dan implikasi penafsiran Al-Tabarsi>
terhadap aliran Teologi Syi’ah.
5. Persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Tija>ni> dan Al-T{abarsi
terhadap Q.S. Al-Rahman ayat 19-20.
6. Tanggapan ahli Tarekat terhadap pendapat Al-Tija>ni.
7. Tanggapan sekte ahli sunnah terhadap sekte syi’ah.
8. Posisi Nabi Muhammad saw menurut Tijany dan Syi’ah.
Masalah yang dapat diidentifikasikan dalam penelitian ini cukup
banyak dan tentu saja tidak semua masalah itu dapat diteliti secara
sekaligus. Oleh karena itu, perlu dibatasi hanya pada masalah-masalah
sebagaimana berikut :
1. Penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid}
al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl
bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi
Tafsi>r al-Quran terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahman
2. Persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Tija>ni> dan Al-T{abarsi
terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahman ayat 19-20.
C. Rumusan Masalah.
Bertolak dari latar belakang di atas, fokus penelitian ini adalah
penafsiran Q.S. Al-Rah{ma>n ayat 19-20. Oleh karena itu
permasalahan-permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai obyek kajian dari penelitian
ini adalah :
1. Bagaimanakah penafsiran Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab
Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th terhadap kata bah}rain
dalam Q.S. Al-Rahma>n ayat 19-20 ?
2. Bagaimanakah penafsiran Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan
Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran
terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahma>n ayat 19-20 ?
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara kedua penafsiran
di atas ?
D. Tujuan Penelitian.
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian yang hendak dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam penafsiran
Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r
wa al-H{adi>th terhadap kata bah}rain dalam Q.S. Al-Rahma>n ayat
2. Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam penafsiran
Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab
Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran terhadap kata bah}rain dalam
Q.S. Al-Rahma>n ayat 19-20.
3. Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam aspek-aspek
persamaan dan perbedaan kedua penafsiran di atas.
E. Kegunaan Penelitian.
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai tugas akhir Program Pendidikan Pasca Sarjana UIN Sunan
Ampel Surabaya.
2. Sebagai sumbangsih bagi dunia intelektual dalam studi pemikiran
dan penafsiran, khususnya dalam ilmu tafsir.
F. Kerangka Teoritik.
Sebuah ilmu, menurut Bahm, disebut dengan ilmu pengetahuan
apabila memenuhi enam komponen yang saling terkait satu sama lain,
yaitu : masalah, sikap, metode, aktifitas, kesimpulan dan efek. Pandangan
Bahm ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa suatu studi
bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila : a). Mempunyai obyek
kajian yang empiris atau memiliki evidensi empiris yang membedakannya
dari ilmu pengetahuan yang lain, baik obyek formal maupun obyek
materialnya; 10 b) memiliki sistematisasi/struktur keilmuan yang berbeda
10 Saefudin A.M., Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi (Bandung : Mizan, 1997), 127;
dari disiplin ilmu lainnya. Struktur ini akan membedakan ilmu
pengetahuan dari pengetahuan biasa yang dengannya ilmu pengetahuan
memiliki pertalian yang tertib diantara bagian-bagiannya.11 c). Memiliki
metode pengembangan yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diteliti
dan dikembangkan secara terus menerus.
Metode yang disebutkan terakhir ini merupakan cara yang teratur
dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau cara kerja sistematik
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang sudah ditentukan.12 Menurut Bahm, metode sebagai komponen
ketiga dari ilmu pengetahuan, merupakan essensi pengetahuan dan sebab
pengetahuan sebagai teori akan selalu berubah. Sedangkan metode
merupakan pengetahuan yang tidak pernah dan tidak akan berubah. Jadi
metode menempati posisi krusial dalam sistematika ilmu pengetahuan.
Islam juga memandang bahwa metode sangat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Namun seperti natur keilmuan islam
yang paling utama adalah menitik beratkan pada moral dan manfaat bagi
manusia. Maka Islam tidak hanya berhenti pada tahapan metodologis
tersebut, melainkan dilanjutkan dengan pembahasan dampak ilmu
pengetahuan pada kehidupan manusia. Akibat titik akhir pengetahuan
barat hanya berhenti pada bagaimana memperoleh ilmu, dengan
paradigma materialismenya, telah membawa barat pada krisis global
multi dimensi yang memperihatinkan.
Capra dalam hal ini mengatakan bahwa pada awal dua dasawarsa
terakhir abad ke dua puluh, manusia berada dalam sebuah krisis global
yang serius, yaitu krisis komplek dan multi dimensional yang
sendi-sendinya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan, mata
pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi,
teknologi, dan politik.
Krisis ini, menurut Copra menyangkut dimensi-dimensi
intelektual, moral, dan spiritual; sebuah krisis yang belum pernah terjadi
sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia13.
Agar manusia terhindar dari itu, epistemologi islam sejak awal
kelahirannya telah memperlakukan metode penelitian pada dasarnya
adalah satu (Unity) berangkat dari Pencipta yang satu (The Unity of the
Creator), kesatuan Ilmu Pengetahuan (The Unity of Knowledge),
Kesatuan Kreasi (The Unity of Creation), kesatuan manusia (The Unity
of Mankind), dan manusia harus secara sadar hidup dalam mainstream
kesatuan kosmik (The Unity of Cosmic) agar tidak merusak ritme
sosio-ekologi.
Adapun berbagai cara atau metode yang digunakan para ilmuwan
yang berbeda-beda bukan menunjukkan pada banyaknya metode
penelitian selama tetap bersandar pada pandangan dunia Islam tentang
realitas yang disebutkan terakhir. Pandangan seperti ini tetap sejalan
dengan sebagian pemikir epistemologi muslim, seperti Ibn H{azm, yang
13 Fritjof Capra, Science, Society and The Rising Culture, Terj. M. Thoyibi (Yogyakarta :
membedakan antara knowledge dan science. Meski demikian, yang
dimaksudkan dengan science di sini tidak dibatasi hanya pada ilmu-ilmu
empiris, seperti matematika, teologi, kosmologi, metafisika, dan
eskatologi.14
Pandangan ini juga tetap sejalan dengan sebagian pemikir Islam
yang tidak membedakan antara knowledge dan science, sebab ilmu,
menurut Mehdi Golshani, menunjuk pada setiap pengetahuan termasuk
ilmu yang diperoleh melalui wahyu dan penelitian.15 Pengetahuan seperti
ini juga diamini dengan pandangan Syed Muhammad Dawilah el-Edrus
yang membagi pengetahuan pada ilmu duniawiyah dan ilmu
ukhrowiyah.16
Metode tafsir adalah cara bagaimana pelaksanaan interpretasi
al-Quran dapat dengan mudah dilaksanakan. Namun karena metode tafsir
sebagai sebuah kajian keilmuan lebih belakang lahirnya dibandingkan
dengan tafsirnya, maka tidak sedikit orang yang menggunakan metode
tafsir sebagai piranti analisis penafsiran al-Quran, melainkan
dimanfaatkan untuk memahami hasil penafsiran yang sudah dilakukan
para ulama salaf.
14 Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung : Mizan, 2002), 57-58.
15 Mehdi golshani, “Science and The Scared : Scared Science vs Secular Science” Makalah
disampaikan dalam International Conference on religion and Science in the Post Colonialism di UGM Yogyakarta padaa tanggal 12-15 Januari 2003, 1.
16 Syed Muhammad Dawilah el-Edrus, Islamic Epistemologi: an Introduction to the theory of
Sebagai ini pula, metode tafsir dirasakan lebih tertinggal daripada
perkembangan tafsirnya, karena tafsir lahir jauh sebelum metode tafsir
dijadikan obyek kajian ilmiyah.17 Bahkan tafsir al-Quran sudah ada sejak
masa awal turunnya al-Quran. Sekalipun pada masa awal
perkembangannya, penafsiran al-Quran lebih merupakan hak prerogatif
Nabi Muhammad saw sebagai penerima dan yang paling mengerti maksud
al-Quran, dalam perkembangannya penafsiran al-Quran dilakukan oleh
beberapa sahabat tertentu yang disampaikan pada beberapa muridnya.
Pada masa awal perkembangannya, metode tafsir berfungsi
sebagai alat untuk mengkaji bagaimana cara para ulama melakukan
penafsiran yang kemudian dituangkan dalam ilmu tafsir, sedangkan
beberapa ilmu yang berfungsi untuk dijadikan sebagai instrumen analisis
al-Quran dituangkan dalam Ilmu Al-Quran. Pakar hukum Islam (Fuqaha)
mempunyai disiplin tersendiri untuk melakukan analisis al-Quran yang
dituangkan dalam usul fikih. Oleh karena itu, disiplin ilmu yang
disebutkan paling akhir ini pada dasarnya merupakan salah satu bagian
keilmuan metodologis dalam melakukan interpretasi al-Quran.
Sebagaimana dijelaskan di atas, penafsiran terhadap al-Quran pada
dasarnya adalah otoritas Nabi Muhammad saw karena hanya Nabilah
yang memahami apa yang dimaksudkan oleh wahyu. Akan tetapi, karena
Nabi Muhammad saw tidak menjelaskan sseluruh ayat yang ada dalam
17 Said Agil Munawar dalam pengantar Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir
Quran, maka ssetelah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat
memahami al-Quran dengan cara bertanya pada para sahabat lainnya yang
lebih mengerti yang dikenal ahli tafsir. Artinya, pada masa sahabat ini,
sudah ada penafsiran al-Quran sekalipun bersifat riwayat, yakni belum
dikodifikasi atau tertulis dalam sebuah kitab tafsir. Cara penafsiran
seperti ini berjalan hingga paruh abad ke 2 Hijriyah.
Setelah paruh kedua abad II Hijriyah, Ulama membukukan tafsir
al-Quran sebagai bagian dari atau menjadi bab dalam kitab-kitab hadis.18
Cara pembukuan seperti ini berjalan sekitar satu abad lamanya hingga
pada sekitar dasawarsa terakhir abad ke-3 Hijriyah atau dasawarsa
pertama abad ke-4 Hijriyah kitab tafsir dikodifikasi tersendiri. Pada masa
ini bab tafsir dalam beberapa kitab tafsir yang berkembang pada abad ke
3 Hijriyah masih tetap ada.19
Diantara tokoh yang paling terkenal pada masa ini, bahkan hingga
sekarang, ialah, Muhammad bin Jari>r al-T{abari> (224-310 H), dengan
kitabnya Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ayi al-Quran. Sekalipun kitab ini
merupakan kitab tafsir yang paling terkenal dan ditulis oleh seorang
tokoh yang terpopuler intelektualitasnya, corak penafsiran masih tampak
berpegang teguh pada cara penafsiran bi al-Riwa>yah seperti yang
dikembangkan sebelumnya. Hanya saja dalam kitab ini sudah tampak
adanya upaya penafsiran al-Quran dengan menggunakan analisis
18 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Ta>ri>kh al-Khulafa> (Mesir, Maktabat al-Sa’adah, 1952), 261.
19 Muhammad Ajaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>s, Ulu>muhu wa must}alah}uhu (Beirut : Da>r al-Fikr,
kebahasaan yang bersifat leksikografis, yakni pembahasan berdasarkan
analisis tata bahasa Arab (I’ra>b) atau belakangan disebut dengan
pendekatan atau metode analisis struktural.20
Corak tafsir bi al-ma’thu>r ini masih terus mendominasi model
tafsir yang berkembang hingga paruh pertama abad IV Hijriyah. Pada
paruh kedua abad ini, metode tafsir bi al-Ra’yi mulai bermunculan ke
permukaan. Penulis berasumsi munculnya metode tafsir bi al-Ra’yi ini
dipengaruhi oleh masa kecemerlangan kelompok rasionalis Muktazilah
yang berjaya pada masa sebelumnya. Di antara tafsir yang mengikuti
aliran rasionalisme ini adalah al-Kashsha>f, karya al-Zamakhshari>.
Semua corak yang berkembang pada masa ini menggunakan
metode tah}li>li>, yakni penafsiran ayat-ayat al-Quran sesuai dengan urutan
Mush}af Uthma>ni. Metode ini berjalan berabad-abad lamanya, hingga
paruh pertama abad XIV Masehi. Al-Shatibi (w. 1388 M) berpendapat
bahwa setiap permasalahan yang terkandung dalam sebuah surat
mempunyai hubungan dengan ayat lainnya. Oleh sebab itu, kata
al-Shatibi, untuk memahami secara utuh permasalahan tersebut diperlukan
pemahaman dari awal hingga akhir surat.21
Hingga saat ini, dapat dimaklumi bahwa pada masing-masing
generasi, pengembangan metode tafsir memberikan ciri khas tersendiri
20 Abd Al-Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-irfa>n fi Ulu>m al-Quran, Juz II (Kairo : Da>r D}ar
al-H{adi>th, 2003), 29.
21 Abu> Ish}a>q Al-Shatibi>, Al-Muwa>faqat fi> Ushu>l al-Shari’ah (Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,
sesuai dengan permasalahan dan perkembangan keilmuan dan metode
tafsir. Saat ini, di mana metodologi penelitian sudah menemukan
karakteristiknya, sistem pembagian terhadap tafsir pun perlu dikaji
berdasarkan atas keilmuan metodologis, sehingga dapat memperkokoh
karakter tafsir masing-masing. Namun demikian, sebagian ulama tafsir
belum menjadikan metodologi sebagai salah satu alternatif di dalam
klasifikasi metode tafsir, sehingga tidak mudah dipahami.
Abd al-H{ay al-Farmawi, misalnya membagi metode tafsir pada
empat macam metode penafsiran, yaitu metode Tah}li>li> (analisis), Ijma>li
(Global), Muqa>rin (Komparatif), dan Maud{u>’i (tematik).22 Cara
pembagian metode seperti ini kurang tepat jika ditinjau dari ilmu metode
(metodologi) dalam penelitian Ilmu Pengetahuan. Sistem pembagian ini
juga telah mengakibatkan kebingungan dalam menentukan kategorisasi
tafsir di kalangan mahasiswa atau dosen ahli metodologi penelitian.
Sistem kategorisasi metode tafsir yang lebih mudah dipahami
secara epistemologis dan berdasarkan metodologi penelitian modern,
menurut Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A23 seharusnya dibagi menjadi
4 kategori : (1) sumber tafsirnya, (2) cara penjelasannya, (3) keluasan
penjelasannya. (4) sasaran dan tertib ayat.
22 Abd al-H{ay al-Farma>wi>, Al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Maud}u>’i (Kairo : al-H}ad}oroh al-Garbiyah,
1977), 33. Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i : Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 1996), 11. Lihat juga Ali Hasan Al-arid, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1992), 40.
23 Ridlwan Nasir, Perspektif Baru Metode Tafsir Muqarin dalam Memahami al-Quran, (Surabaya
Dari segi sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi 3
macam, yaitu bi al-ma’thu>r, bi al-ra’yi, dan bi al-Iqtira>ni/Isha>ri. Dari segi
cara penjelasannya, metode ini terbagi menjadi 2 macam yaitu baya>ni dan
muqa>rin. dari segi keluasan penjelasannya, metode ini terbagi menjadi 2
macam yaitu Ijma>li dan it}na>bi/tafsi>li. Dan dari segi sasaran dan tertib
ayat, metode ini terbagi menjadi 3 macam yaitu tah}li>li, maudu>’i, dan
nuzuli>.
Sedangkan kecenderungan (corak/naz’ah) penafsirannya terbagi
menjadi 7, yaitu Lugawi, fiqhi/ahkam, sufi, i’tiqadi, falsafi, asri/ilmi, dan
ijtima’i.
Model kategorisasi metodologis seperti ini yang digunakan
penulis dalam menganalisis kajian ini.
G. Penelitian Terdahulu.
Saat penelitian ini akan dilakukan, penulis menemukan satu
penelitian skripsi yang mengupas tentang Q.S. Al-Rah}ma>n ayat 19-20 ini.
Yaitu skripsi saudari Nuri Qomariyah Marita yang berjudul KONSEP
GEOLOGI LAUT DALAM AL-QURAN DAN SAINS ; Analisa Surat
al-Rahman [55] : 19-20, Surat Al-Naml [27] : 61, dan Surat Al-Furqan [25] :
53.
Dalam metode penafsiran, Nuri menggunakan metode maudhu>’i,
dalam metode pembahasan, Nuri menggunakan metode
dan pendapat untuk kemudian dikaji kembali dan membandingkan
isyarat-isyarat ilmiah yang diberitakan al-Qur’an, dengan temuan-temuan
ahli geologi terutama yang berhubungan dengan konsep geologi laut,
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.
Adapun teknik penulisan, Nuri menggunakan buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQDA, 2007.” Nuri berkesimpulan
bahwa Konsep Geologi Laut dalam Quran dan Sains; Analisa surat
al-Rahman/55: 19-20, Surat al-Naml/27: 61, dan Surat al-Furqan/25: 53
menjadikan ayat ini sebagai salah satu mukjizat ilamiah al-Quran, dalam
ilmu sains menyatakan karena gaya fisika yang dinamakan “tegangan
permukaan”, air dari laut yang saling bersebelahan dan tidak menyatu.
Akibat adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan mencegah
lautan dari bercampur satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang
memisahkan (permeabilitas). pada dasarnya semua para ahli menyatakan
bahwa adanya pengaruh dari kadar sifat fisika dan kimia yang berbeda
dengan rasa air dan warna yang berbeda.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode
deskriptif-komparatif. Dan sebagai obyek kajian ini adalah Q.S.
Al-Rahman ayat 19-20 menurut Syeikh Ahmad Al-Tija>ni> dalam kitab Faid}
al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Fadl bin
Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Quran.
Jadi penelitian terhadap Q.S. Al-Rah}ma>n ayat 19-20 akan menjadi
lebih berbeda dengan penelitian sebelumnya. Dan akan lebih menarik
apalagi dilihat dari pandangan seorang tokoh yaitu Syeikh Ahmad
Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Syeikh
Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi
Tafsi>r al-Quran
Penulis memilih dua tokoh tersebut dalam mengupas Q.S.
Al-Rah}ma>n ayat 19-20 ini karena penafsirannya yang cenderung agak
berbeda dengan mufassir pada umumnya. Penafsirannya yang isha>ri>,
bercorak teologis, ber ‘bau’ sufistik dan terdapat unsur batiniyah yang
dijadikan sebagai pendekatannya menambah aroma ke-sedap-an dalam
penelitian ini.
H. Metode Penelitian.
Setiap penelitian tidak dapat lepas dari suatu metode, karena
metode adalah cara yang ditempuh untuk menemukan, menggali, dan
melahirkan ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran ilmiyah.24
1. Model penelitian
Penelitian ini menggunakan model kualitatif. Yaitu penelitian
yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya realistic setting.
Penelitian kualitatif sebagai suatu konsep keseluruhan untuk
24 Erna Widodo dan Mukhtar, Konstruksi ke arah Penelitian Penelitian Deskriptif (Yogyakarta :
mengungkap rahasia sesuatu, dilakukan dengan menghimpun data
dalam keadaan yang sewajarnya, mempergunakan cara kerja yang
sistematik, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak
kehilangan sifat ilmiyah.25
2. Jenis penelitian
Penulisan ini adalah Library Research (Penulisan Pustaka).
Karena sasaran penelitian ini adalah literatur yang berkaitan dengan
obyek penelitian, yaitu berupa kitab-kitab tafsir yang menjelaskan
tentang tema yang diangkat dalam penelitian ini. Karena jenis
penelitian ini merupakan library research, maka teknik pengumpulan
data pada penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi literatur.
Artinya data-data yang dijadikan rujukan penelitian diperoleh dari
benda-benda atau sumber-sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal
dan lain sebagainya.26
Juga karena penulisan ini erat kaitannya dengan bidang tafsir
maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan tafsir.
Sebagai pegangan dalam penulisan tesis dan pengolahan data
untuk memperoleh hasil yang valid, penulis menggunakan beberapa
metode dalam tulisan tesis ini, yaitu :
1. Bahan data
a. Bahan data primer
25 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (tk : Gajah Mada University, 1996),
174-175.
Bahan data yang penulis gunakan adalah Q.S.
Al-Rah}ma>n ayat 19-20 terutama kitab Faid} Rabba>ni> fi
al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r Al-Quran.
b. Bahan data sekunder
Sedangkan bahan data sekunder yang penulis gunakan
adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku yang membicarakan
tentang topik yang berhubungan langsung maupun tidak
langsung dengan judul dan pokok bahasan kajian ini.
2. Metode pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan
ini, penulis menggunakan metode telaah pustaka. Penulis berusaha
mengumpulkan berbagai informasi baik berupa teori-teori
generalisasi maupun konsep yang dikemukakan para ahli yang ada
pada sumber kepustakaan, buku-buku, majalah, paper, dan lain
sebagainya yang dapat membantu menjawab persoalan yang
dibahas.27
Pengumpulan data yang berhubungan dengan penulisan ini
dilakukan dengan melalui studi kepustakaan. Karena penulisan ini
berkaitan dengan pemahaman ayat Al-Quran, maka secara
27 Anton Baker dan Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filasafat, (Yogyakarta : Kanisius,
metodologi penulisan ini dapat dimasukkan dalam kategori
penulisan explorative.28
Maksudnya, dalam penulisan ini akan dipaparkan
kandungan yang ada dalam Q.S. Rah}ma>n 19-20 dalam kitab Faid}
al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa al-H{adi>th dan Majma’ al-Baya>n fi Tafsi>r
Al-Quran yang merupakan interpretasi dari Syeikh Ahmad
Al-Tija>ni> dan Syeikh Abi> Ali Al-Fadl bin Al-H{asan Al-T{abarsi dalam
memahami maksud, isi maupun kandungan yang ada di dalam ayat
tersebut. Sehingga dari sini akan mempermudah dalam kajian ini.
3. Metode analisis data
Apabila pengumpulan data telah dilakukan dan data sudah
terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data
dengan menggunakan metode sebagai berikut :
a. Metode Tah}li>li>
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh
berupa data kepustakaan dan buku-buku yang berhubungan
dengan tema yang dibahas, penulis juga menggunakan
metode tah}li>li>, atau yang dinamai oleh Ba>qir Al-S{adr
sebagai metode tajzi'iy. Tah}li>li> adalah salah satu metode
tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan
28 Suharsimi Ari Kunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta :
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana
tercantum di dalam mushaf.29
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang
mufassir diuraikan, bermula dari arti kosakata, asba>b
al-nuzul, muna>sabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks
atau kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat
luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan,
karena sering kali satu pokok bahasan diuraikan sisinya
atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi,
menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan al-Qur'an
dengan metode tah}li>li> tidak lain kecuali dalam rangka
upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi
pemahaman akan kemukjizatan al-Qur'an.30
Seorang penafsir yang mengikuti metode ini
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara runtut dari awal
hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan
mus}h}af 'Uthma>ni. Untuk itu ia akan menguraikan kosakata
dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga
unsur-unsur i’jaz dan bala>gh}ah, serta kandungannya dalam
berbagai aspek pengetahuan dan hukum.
29 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), 86.
Dalam pembahasannya, penafsir biasanya menunjuk
riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi,
sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dan
kisah isra'iliyat. Oleh karena pembahasan yang terlalu luas
itu maka tidak tertutup kemungkinan penafsirannya
diwarnai bias subjektifitas penafsir, baik latar belakang
keilmuan maupun aliran madzhab yang diyakininya.
Sehingga menyebabkan adanya kecenderungan khusus
yang teraplikasikan dalam karya mereka.31 Dalam
menggunakan metode ini, penulis tidak mutlak
menggunakannya secara keseluruhan. Dalam artian, penulis
tidak menggunakan semua kriteria yang ada karena
keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis hanya mengkaji
ayat al-qur'an dengan menggunakan penafsiran dari mu
Marokosir yang ada.
b. Metode Contents Analysis (analisis isi)
Untuk memperoleh kesimpulan yang tepat
maka penulis menggunakan metode analisis
kualitatif dengan metode analisis isi (contents
analysis) yaitu suatu teknik untuk mengambil
kesimpulan dengan mengidentifikasi
karakteristik khusus suatu pesan secara subyektif
dan sistematis.32
c. Metode Komparatif Analysis (perbandingan isi)
Metode ini digunakan untuk
membandingkan pemikiran Syeikh Ahmad
Al-Tija>ni> dalam kitab Faid} al-Rabba>ni> fi al-Tafsi>r wa
al-H{adi>th dan Syeikh Abi> Ali Fadl bin
Al-H{asan Al-T{abarsi> dalam kitab Majma’ al-Baya>n fi
Tafsi>r al-Quran tentang Q.S. Al-Rah}ma>n ayat
19-20.
Metode Muqa>ran (Komparatif) sebagai
salah satu metode yang berkembang dalam dunia
penafsiran, menjadi pilihan yang tepat
dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode
ini selain menghimpun sejumlah ayat yang
dijadikan obyek studi juga berusaha
membandingkan pendapat dua mufassir tersebut di
atas untuk mendapatkan informasi berkenaan
dengan identitas dan pola pikir masing-masing
mufassir serta orientasi dan aliran yang mereka
anut.33
32 Bruce A Chadwick, et.all, Metode Ilmu Pengetahuan Sosial, terj. Sulistiya, (Semarang: IKIP
Semarang Press, 1991), 27.
I. Sistematika Pembahasan.
Agar penulisan ini dapat dipaparkan secara sistematis dan mudah
dipahami, maka dalam pembahasan ini digunakan sistematika sebagai
berikut :
Bab pertama, pendahuluan, merupakan kajian awal untuk
mengetahui pokok dari penulisan ini yang menjelaskan latar belakang
diadakannya penulisan, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan kegunaan
penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, mengupas biografi dan pemikiran dari Syeikh Ahmad
Al-Tija>ni> dan Syeikh Al-T{abarsi.
Bab ketiga, Perbandingan kitab Faid} al-Rabba>ni karya Syeikh
Ahmad Al-Tija>ni dan Majma’ al-Baya>n karya Syeikh Abi> Ali Al-Fad{l bin
Al-H{asan Al-T{abarsi.
Bab keempat, karena tesis ini berkaitan dengan Q.S. Al-Rah}ma>n
ayat 19-20, maka akan dipaparkan pendapat Syeikh Ahmad Al-Tija>ni dan
Syeikh Abi> Ali Al-Fad{l bin Al-H{asan Al-T{abarsi> mengenai ayat tersebut
berikut analisisnya.
Bab kelima, adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
menjadi hasil dari penulisan sekaligus menjadi jawaban atas rumusan
masalah, dan saran-saran.
Demikianlah sistematika penulisan ini disusun semoga dapat
BAB II
BIOGRAFI SYEIKH AHMAD AL-TIJA>NI DAN SYEIKH ABI<> ALI< AL-FAD{L BIN AL-H{ASAN AL-T{ABARSI
A. Mengenal Syeikh Ahmad Al-Tija>ni
1. Riwayat hidup Syeikh Ahmad al-Tija>ni
Syeikh Ahmad al-Tija>ni (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui ajaran tariqat yang dikembangkannya yakni Tariqat Tija>niyah. Untuk mengetahui kehidupan Syeikh Ahmad al-Tija>ni, Penulis menelusurinya melalui Kitab-kitab yang memuat kehidupan dan ajaran Syeikh Ahmad al-Tija>ni terutama kitab-kitab yang di tulis Khalifah/murid Syeikh Ahmad al-Tija>ni diantaranya kitab Jawa>hir al-Ma>’ani (Mutiara-mutiara makna) karya Syeikh Ali Harazim.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani Al-Tija>ni lahir pada
Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H/1737 M di Ain Madhi atau disebut juga
dengan Madhawi, provinsi Laghouat di Sahara Timur Aljazair.1 Dan
beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H dan Mengenai tempat meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis
1 Sidi Ali Kharazim, Jawa>hir al-Ma’a>ni wa bulu>g al-Ma’a>ni, (Magrib : Dar Rashad al-hadithah, 2007), 23. Lihat juga KH. A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran tarekat dalam Tasawuf
28
tentang Syeikh Ahmad al-Tija>ni, beliau wafat di kota Fas Maroko.2 Dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir pada tahun 1150 H.
Hal ini bisa dimengerti karena sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syeikh Ahmad al-Tija>ni mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Fas Maroko.
Secara geneologis Syeikh Ahmad al-Tija>ni memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. Silsilah lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad (dijuluki dengan panggilan Ibn Umar) ibn Ibn Mukhtar Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad (dijuluki al-Alwani) Ibn Ahmad ibn Ali Ibn Abdillah Ibn Abbas Ibn Abdil Jabbar Ibn Idris Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Ali Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Muthanna Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi T{alib, suami Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasulullah saw.3
Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu
Abdillah Muhammad bin Al-Sanusi Al-Tija>ni Al-Madhawi.4
2 http://zawiyahpangandaran.blogspot.co.id/2013/01/biografi-syaikh-ahmad-bin-muhammad-at.html
3 KH Mas Umar Baidlowi, Faidh al-Rabba>ni, (Surabaya : tp, 1983), 6-7. Lihat juga KH. A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran tarekat dalam Tasawuf , 351.
Nama al-Tija>ni diambil dari suku Tija>nah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar Tilimsan, Aljazair dari pihak ibu, dan Syeikh Ahmad al-Tija>ni berasal dari suku tersebut. Kabilah ini banyak
melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh.5
Keluarga Syeikh Ahmad Al-Tija>ni adalah keluarga yang dibentuk dengan tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syeikh Ahmad al-Tija>ni adalah seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (ﺎﻘﺣ يدﻟو تﻧأ). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah s}ahi>h.”6
Ketika Syeikh Ahmad al-Tija>ni memasuki usia baligh, beliau dinikahkan oleh ayahnya. Dalam kitab-kitab yang menulis riwayat
hidup Syeikh Ahmad al-Tija>ni tidak dijelaskan waktu dan tempat dimana beliau menikah. Namun apabila dihubungkan dengan tahun
meninggal kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni tahun 1166 H karena penyakit
t}a’un/lepra yang mewabah.7 Diduga beliau menikah antara usia 15-16
tahun, sebab beliau lahir pada tahun 1150 H.
5 http://zawiyahpangandaran.blogspot.co.id/2013/01/biografi-syaikh-ahmad-bin-muhammad at.html , (20 oktober 2015).
30
Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak
secara berturut-turut memimpin zawiyah.8
Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muh}ammadiyah.
Orang tua Syeikh Ahmad al-Tija>ni sangat mempercayakan pendidikan masa kecilnya kepada Sayid Muhammad bin Hamawi Al-Tija>ni. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain
Madhi.9 Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi
bertemu Allah SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam
Warash sampai khatam. Allah SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H10.
Syeikh Ahmad al-Tija>ni banyak mempelajari cabang ilmu dari Syeikh Hamawi. Bahkan pada umur 7 tahun telah hafal Al-qur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi Al-Tija>ni.
8 Pesantren Sufi tempat kegiatan tariqat yang beliau dirikan 9 KH Mas Umar Baidlowi, Faidh al-Rabba>ni, 6-7
Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengan sempurna. Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Us}u>l, Furu’ dan Adab.
beliau telah mendapatkan dasar-dasar agama yang baik terutama hadis susunan Imam Malik ibn Anas, pemikiran kalam Asy’ari dan berbagai uraian tentang tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syeikh Ahmad al-Tija>ni sudah dikenal sebagai ulama yang cerdas, mempunyai banyak murid, serta mulai memberi fatwa.
Di samping Hamawi, Syeikh Ahmad al-Tija>ni Kemudian
belajar berbagai ilmu agama dan menguasai kitab Mukhtas}ar
al-Syaikh al-Khali>l, karya Imam Malik, Risalah al-Jama>’ah al-S}u>fiyah bi
Bila>d al-Isla>m, karya Abu Qasim al-Qushairi, dan Muqaddimah karya
Ibn Rusyd dan al-Akhd}ari, dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabru>k bin Bu’a>fiyah Al-Mad}o>wi Al-Tija>ni.11
Berikutnya beliau melanjutkan menuntut ilmu di negerinya sendiri (Ain Mad}i, Aljazair) hingga menguasai dan mendalami berbagai bidang ilmu yang bermanfaat. Bahkan beliau mampu menjawab semua cabang persoalan dan permasalahan keilmuan. Padahal beliau masih berusia sangat muda.
Beliau termasuk pemuda yang rajin dan tekun belajar, suka berdiskusi dan saling belajar mengajar dengan orang lain. Beliau suka menulis (mengarang) berbagai cabang keilmuan dan kemudian
32
membacakannya kepada orang lain seperti tafsir, hadis, fiqih, tauhid, dan ilmu lainnya. Setiap orang yang bertanya, mampu dijawabnya dengan seketika, seolah-olah terdapat (jawaban di) papan tulis di
depan beliau.12
Dalam usia yang relatif muda, Syeikh Ahmad al-Tija>ni telah menunjukkan kelebihan dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendidikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh Ahmad al-Tija>ni tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar,
menulis dan memberi fatwa.13
Selanjutnya beliau pergi menuju kota Fas Maroko. Disana beliau mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda : “akan ada di
negeri Maghrib (Maroko) sebuah kota yang disebut Fas (Maroko),
penduduknya giat menghadap Qiblat (suka beribadah), rajin melaksanakan sholat, penduduknya suka menegakkan kebenaran, orang-orang yang memusuhinya tidak akan mampu menyentuh (membahayakan)-nya, Allah swt menjauhkan mereka dari segala
mara bahaya hingga hari kiamat.”14
Menginjak usia 21 tahun Syeikh Ahmad al-Tija>ni melakukan
berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas Maroko. Melakukan
12 KH Mas Umar Baidlowi, Faidh al-Rabbani, 7-8 13 Ibid.
banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, ahli agama,
rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki.15
Orang pertama yang beliau temui adalah Sidi Abu Muhammad al-T{ayyib ibn Muhammad ibn Abdillah yang lebih terkenal dengan
julukan Alwa>ni. Berikutnya beliau menjumpai seorang wali qutub
besar yaitu Maulana Ahmad Al-S{aqali Al-Idrisiyah ra, salah seorang ternama dalam Tariqat Khalwatiyah di Fas Maroko. Dalam pertemuannya ini Al-S{aqali tidak banyak melakukan pembahasan.
Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya.16
Kemudian beliau naik ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kashsha>f yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad al-Tija>ni :
ﻲﻟذﺎﺷﻟا مﺎﻘﻣ كردﺗ نأ دﺑ ﻻ
Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-qut}b al-kabi>r Maulana Abi al-Hasan al-Sha>dhili>.17
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari
Tariqat Sha>dhiliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya
15 Ibid.
34
menunjukkan bahwa Syeikh Ahmad al-Tija>ni akan mencapai kedudukan Abil Hasan Al-Syadzili.
Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh Ahmad al-Tija>ni dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Maroko Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut.
Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh Ahmad al-Tija>ni dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh Ahmad al-Tija>ni. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar
tahun 1185 H.18
Wali Qut}ub lain yang ditemui Syeikh Ahmad al-Tija>ni adalah Maulana T{ayyib bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas Maroko.
Legenda keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan Qut}ub.
Maulana Al-T{ayyib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk kepada manusia di jalan Allah dan
kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Maulana Al-Tiha>mi yang menggantikan Sayid Muhammad yang menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089 H.), kakek Al-T{ayyib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya keluarga Al-T{ayyib secara turun-temurun memegang Tariqat Jazuliyah. Hal ini terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepada Ahmad bin Ali Al-Sharsori, salah seorang tokoh Tariqat Jazuliyah.
Ciri pokok tarekat ini adalah dengan memperbanyak shalawat. Ayah Al-T{ayyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai kedudukan Qut}ub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi, melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29
Muharam 1120 H.19
Dalam pertemuannya dengan Al-T{ayyib, Syeikh Ahmad al-Tija>ni mengambil wirid darinya. Bahkan dalam ijazah-nya, Al-T{ayyib
telah memberikan izin kepada Syeikh Ahmad al-Tija>ni untuk
memberikan talqi>n20 pada orang yang hendak mengambil wiridnya.
Akan tetapi Syeikh Ahmad al-Tija>ni menolak hak talqi>n tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan belum
berminat untuk memegang salah satu jenisnya.
19 Ibid.
36
Di sini Syeikh Ahmad al-Tija>ni menunjukkan ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh Ahmad al-Tija>ni belum mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. Al-T{ayyib adalah salah satu guru yang diakui oleh Syeikh Ahmad al-Tija>ni pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari Ahad, Bulan Rabi’ al-Thani, tahun 1181 H.
Berikutnya beliau menemui seorang wali yang salih, cucu al-Arif al-Ra>bih} Sidi Abdullah ibn Sidi Al-Arabi ibn Ahmad ibn
Muhammad al-Andalusi di Fas Maroko. Tariqatnya bercorak Ishra>q
(konsep cahaya). Pertemuan ini banyak memperbincangkan beberapa masalah.
Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya, Sidi Abdullah ibn Sidi Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh Ahmad al-Tija>ni selanjutnya. Sidi Abdullah ibn Sidi Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia akhirat dan pada akhir perjumpaannya berkata:
كﺪﯿﺑ ﺬ ٔ ﯾ ﷲ كﺪﯿﺑ ﺬ ٔ ﯾ ﷲ كﺪﯿﺑ ﺬ ٔ ﯾ ﷲ
Allah swt akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Allah akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Allah akan
menuntun tanganmu (menolongmu). 21
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H.
Di kota Fas Maroko ini, Syeikh Ahmad al-Tija>ni juga pernah mengambil Tariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalqinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan.
Tariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Tariqat Na>s}iriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Nazani. Tidak berapa lama tariqat ini pun ditinggalkan. Kemudian Tariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang Qut}ub yang masyhur dengan Al-Ghumari Al-Sijlimasi Al-S{a>diqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Namun pada
akhirnya tariqat ini pun juga ditinggalkan.22
Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni mengambil ijazah dari Tokoh Malmatiyah, Sayid Abu al-Abbas Ahmad Al-T{awashi di
Tazah. Al-T{awash mengajarkan salah satu isim (nama ilahi)
kepadanya dan berkata:
ةﺪ ﻮﻟاو ةﻮﻠﳋا مﺰﻟا
ﻚﯿﻠ ﷲ ﺢ ﻔﯾ ﱴﺣ ﱪﺻاو ﺮ او
Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga
Allah memberikan futu>h} kepadamu. Sesungguhnya dirimu
akan memperoleh kedudukan yang agung.23
Perkataan Al-T{awashi> agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tija>ni, sehingga ia mengulangi perkataannya:
38
ﻚﯿﻠ ﷲ ﺢ ﻔ ﻓ ةﺪ و ﻻو ةﻮﻠ ﲑ ﻦﻣ ﻪﯿﻠ مد و ﺮ ا اﺬﻫ مﺰﻟٕا
Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus khalwah dan
menyendiri. Maka Allah akan memberikan futu>h} kepadamu
atas keadaan tersebut.24
Perkataan Al-T{awashi> yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedua inilah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh Syeikh Ahmad al-Tija>ni yang kemudian menjadi ciri utama Tariqatnya.
Di samping itu, Al-T{awa>shi> juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh Ahmad al-Tija>ni. Beliau
melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. Al-T{awashi> meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di
Tazah.25
Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Tariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian
tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Rabbaniyah untuk
menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai ke-khas-an seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas Maroko, Syeikh Ahmad al-Tija>ni
segera kembali ke negaranya yaitu Aljazair dan menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Sahara Dhar, tidak jauh dari Ain Madhi. Seorang wali qut}ub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Balad al-Abyad}) yang pada akhirnya paling banyak mewarnai
corak kehidupan Syeikh Ahmad al-Tija>ni. Ini terjadi pada tahun 1176
H/1762 M.26
Syeikh Ahmad al-Tija>ni menetap di Zawiyahnya beberapa tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Dan di sela-sela pengabdiannya, Syeikh Ahmad al-Tija>ni sering sambang (pulang) ke rumahnya. Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kashsha>f dari Gunung Zabib bahwa futu>h}-nya akan diperoleh di sana.
Syeikh Ahmad al-Tija>ni memasuki Aljazair pada tahun 1180
H. Di daerah Azwawi, Syeikh menemui seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman Al-Azhari.
Syeikh mengambil Tariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari
meninggal pada permulaan Muharam tahun 1180 H.27
Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni menuju ke Tilmisan pada tahun 1181 H dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadis dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan taqarrub dengan ber-tawajjuh pada
keagungan rubu>biyah dengan menyatakan ke-s}iddiq-an
40
nya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan ilmunya. Sehingga mulai terlihat ke-futu>h}-an yang membuka
beberapa hijab yang menghalangai antara seorang hamba dan
Al-Quddu>s (Allah). Syeikh Ahmad al-Tija>ni menyatakan hijab yang
tersingkap adalah 165.000 hijab. Mata batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan Irfan.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh Ahmad al-Tija>ni pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ahmad al-Tija>ni berangkat dari Tilmisan
pada tahun 1186 H.28
Dalam perjalanannya Syeikh Ahmad al-Tija>ni berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Di kota inilah, beliau belajar mengenai tarekat secara lebih intens sambil mengajar ilmu tasawuf dengan mengajarkan kitab Al-H{ikam karya Ibn At}aillah Sakandari (w. 709 H/1309 M). Di daerah ini juga Syeikh Ahmad al-Tija>ni berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang
terkenal, Sayid Abd al-S{amad Al-Rah}awi, salah seorang dari 4 murid
wali Qut}ub negeri tersebut. 29
Wali Qut}ub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya.
Syeikh Ahmad al-Tija>ni meminta supaya Sayid Abd al-S{amad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya. Dan wali Qutub tersebut sempat mengatakan
ًﺔﯿِﻧ َر ًةَرﺎ َﺷاَو ًةَرﺎ َﺸِ ً ْﻮُﺒْﺤَﻣ َﻞ َﺳْر ُبْﻮُﺒْﺤَﳌا
(Al-Mah}bu>b/ Allah swt mengirim Mah}bu>ban/ utusan sebagai berita gembira dan isha>rah Rabba>niyah).30
Selanjutnya, Syeikh Ahmad al-Tija>ni melanjutkan
perjalanannya ke negeri Mesir dengan tujuan untuk menemui Syeikh
Sidi Mahmud al-Kurdi (w. 1195 H/1781 M). Di saat bertemu untuk
pertama kalinya, beliau mengatakan pada Syeikh Ahmad al-Tija>ni :31
ةﺮﺧٔ او ﺎﯿﻧ ا ﰱ ﷲ ﺪﻨﻋ ﺐﯾﻮﺒﳏ ﺖﻧٔ
Engkau adalah kekasih Allah di dunia akhirat. Syeikh Ahmad al-Tija>ni pun bertanya :
ﷲ ﻦﻣ لﺎﻗ ؟ اﺬﻫ ﻦ ٔ ﻦﻣ
dari mana anda bisa tahu? Dari Allah. Jawabnya.32
Setelah beberapa hari berlalu, Syeikh Sidi Mahmud al-Kurdi bertanya tentang tujuannya. Dan Syeikh Ahmad al-Tija>ni pun menyampaikan bahwa tujuannya adalah ingin mendapatkan
42
Qut}ba>niyyat al-‘Uz}ma33. Lalu Syeikh Sidi Mahmud al-Kurdi
mengatakan bahwa beliau telah mendapatkan yang lebih dari itu. Pada tahun 1187 H/1773 M beliau melanjutkan perjalanannya ke Makkah al-Mukarramah untuk melakukan ibadah haji. Di tengah perjalanannya, pada bulan Syawal 1187 H/Pebruari 1774 M, beliau berusaha menemui seorang tokoh sufi besar Syeikh Imam Abi al-Abbas sidi Muhammad bin Abdillah al-Hindi. Namun beliau tidak
berhasil menemuinya. 34
Dua bulan kemudian, Al-Hindi wafat. Sebelumnya ia
mengirim Khadim-nya dan menuliskan pesan bahwa ia tidak bisa
menemui seorang pun dan mengatakan bahwa Syeikh Ahmad al-Tija>ni telah mewarisi seluruh ilmu, asra>r, h}ikam, mawa>hib dan
anwa>r-nya. Dan akan sampai pada maqam Syeikh Abu Hasan al-Sha>dhili
ra.35
Setelah menjalankan ritual ibadah haji dengan sempurna, Syeikh Ahmad al-Tija>ni melanjutkan perjalanannya menuju Madinah
al-Munawwarah untuk ziarah ke makam Baginda Nabi Muhammad saw. Beliau sampai di Madinah penuh dengan rasa ta’zi>m dan sangat
memulyakan Nabi Muhammad saw.
Seusai ziarah, beliau menemui Muhammad bin Abd al-Karim
al-Qurashi al-Madani al-Shafi’i (w. 1130 H-1189 H/1718-1776 M).
33 Pangkat tertinggi untuk para wali.
Seorang wali Qutub yang terkenal dengan al-Samman, Pendiri Tariqat al-Sammaniyah. Al-Samman ini kemudian memberikan berita bahwa Syeikh Ahmad al-Tija>ni akan menjadi wali Qut}ub yang
berpengaruh.36
Pada tahun 1191 H/1777 M, Syeikh Ahmad al-Tija>ni meninggalkan Haramain menuju Afrika. Beliau singgah di Kairo (Mesir) untuk menemui gurunya lagi yaitu Syeikh Mahmud al-Kurdi. Syeikh Mahmud al-Kurdi memberikan ijazah kepada beliau untuk
menyebarkan Tariqat Khalwatiyah di Afrika Utara.37
Syeikh Ahmad al-Tija>ni tidak langsung pulang ke negeri asalnya (Aljazair), tetapi mampir ke Fas (Maroko). Setelah menziarahi makam Syeikh Ahmad bin Idris, Syeikh Ahmad al-Tija>ni pergi ke Tilimsan (Aljazair) dan menetap di sana selama satu tahun
hingga 1196 H/1782 M.38
Berikutnya, Syeikh Ahmad al-Tija>ni meninggalkan Tilimsan menuju Shala>lah dan tinggal di sana selama satu tahun, selanjutnya
beliau Khalwat dan Uzlah di padang pasir/sahara Bu Samghoun
(Aljazair) yang terletak di padang Sahara, 90 KM sebelah selatan
Geryvile hingga di tempat inilah beliau mengalami kejadian luar
44
biasa, mendapatkan ilham (al-Fath} al-Akbar), beliau bertemu dengan
Rasulullah saw, dalam keadaan jaga (yaqz}ah)39.
Selanjutnya Syeikh Ahmad al-Tija>ni di-talqi>n (dibimbing) istighfar 100 kali dan s}alawat 100 kali, selanjutnya Rasulullah saw.
bersabda kepada Syeikh Ahmad Al-Tija>ni :
ﯿﻠ قﻮﻠ ﺔ ﻣﻻ
ﻪ
ﻖ ﻘﺤﺘﻟا ﲆ كﺪﳑو ﻚﺘﻄﺳاو ﺎﻓ ﻖﯾﺮﻄﻟا خﺎﯿﺷٔ ﻦﻣ
.
ﻊﯿﲨ ﻚﻨﻋ كﺮ ﺎﻓ
قﺮﻄﻟا ﻊﯿﲨ ﻦﻣ تﺬ ا ﺎﻣ
.
ﻚﻣﺎﻘﻣ ﻞﺼﺗ ﱴﺣ سﺎﻨﻟا ﻦﻋ لاﱱ اﻻو ةﻮﻠ ﲑ ﻦﻣ ﺔﻘﯾﺮﻄﻟا ﻩﺬﻫ مﺰﻟا
ءﺎﯿﻟو ﻊﯿﲨ ﻚﻨﻋ كﺮ او ةﺪﻫﺎﳎ ةﱶﻛﻻو جﺮﺣﻻو ﻖﯿﺿ ﲑ ﻦﻣ ﺎ ﲆ ﺖﻧاو ﻪﺑ تﺪ و ى ا
.
Tak ada karunia bagi makhluk (dari guru-guru tariqat) atas kamu. Maka akulah wasit}ah (perantaramu) dan pemberi atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya. (oleh karena itu), Tinggalkanlah semua tariqat yang telah kamu ambil.
Tekunilah tariqat ini tanpa khalwat dan tidak menjauh dari
manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan padamu, dan tetaplah atas keadaanmu ini tanpa kesulitan,