• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA METAFORIK BEHAS (BERAS) DALAM TRADISI TANDAK TAWUR SUKU DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAH 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA METAFORIK BEHAS (BERAS) DALAM TRADISI TANDAK TAWUR SUKU DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAH 1"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA METAFORIK BEHAS (BERAS)

DALAM TRADISI TANDAK TAWUR SUKU DAYAK NGAJU

DI KALIMANTAN TENGAH

1

Oleh : Misrita2 Abstrak

Tradisi tandak tawur behas ‘beras’ masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah merupakan salah satu bagian atau babak dari acara

manawur (menabur) dalam acara awal dari sesuatu ‘gawi’

(kerja/upacara/pesta) yang menyangkut kematian (gawi matei) maupun kehidupan (gawi belum). Tawur adalah sebuah aktivitas sakral yang dilakukan oleh pemimpin adat suku Dayak. Tawur merupakan sebuah tindak tutur ritual untuk menyampaikan semacam permohonan atau doa kepada Sangiang sebagai Wujud Tertinggi dengan medium behas

‘beras’ sebagai perantara hubungan antara manusia dengan wujud

tertinggi tersebut. Dalam budaya Dayak Ngaju behas ‘beras’ diyakini sebagai perlambang dewa yang memiliki keutamaan-keutamaan, ia dapat sampai, bertemu, dan pada akhirnya dapat menyampaikan permohonan manusia kepada Wujud Tertinggi. Berdasarkan penelitian terhadap narasi tandak tawur behas ‘beras’, makalah ini akan memaparkan makna metaforik beras yang ada dalam naskah tandak tawur ini.

Beras dalam tradisi agraris seperti Indonesia merupakan tanaman unggulan walaupun sebagian daerah lain masih mengandalkan tanaman yang lain. Keberadaan beras yang melimpah di Nusantara sepertinya tidak pernah lepas dari mitos Dewi Sri yang dianggap sebagai

1 Makalah disajikan dalam Persidangan Kebangsaan Alam dalam Kesusastraan,

di University Sains Malaysia Tgl. 16-17 Julai 2010

2 Dosen Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah ; Kandidat Doktor

(2)

2

penjelmaan dewi padi lambang kesuburan. Sehingga sebagai wujud rasa terima kasih ungkapan-ungkapan syukur seringkali melibatkan beras sebagai simbol rasa kebersyukurannya pada Dewi padi. Dalam budaya Dayakpun beras kemudian dijadikan media pesan atau duta untuk menghadap sanghyang. Karena dalam tradisi atau alam pikir orang Dayak bahwa beras adalah merupakan jelmaan Putir Selung Tamanang yang dalam budaya Jawa dikenal sebagai Dewi Sri.

(3)

3 1. PENDAHULUAN

Pada dasarnya manusia hidup dalam dunia metafora (metaphor

we live by). Dalam kesehariannya, baik dalam berfikir, menciptakan

sebuah pengalaman, dan beraksi manusia selalu menggunakan metafora. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh (lakoff & Johnson, 1986:3-6)

‘…the way we think, what we experience, and what we do everyday is very much a matter of metaphor….Metaphor is not just a matter of language, that is, of

mere words…human thought processes are largerly metaphorical. That is what we mean when we say that the human conceptual system is metaphorical

structured and defined’

Oleh karena itu, bahasa sebagai sebuah ungkapan konsep dan pikiran manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari metafora. Metafora sebagai sebuah khazanah linguistik selalu hadir dalam setiap bahasa komunikasi manusia. Komunikasi manusia, entah berupa komunikasi lisan maupun tulisan selalu menggunakan metafora.

Suku Dayak Ngaju adalah salah satu suku di Kalimantan Tengah yang masih memelihara komunikasi melalui tradisi lisan dalam sastra tradisionalnya mempunyai khazanah metafora tersendiri. Makalah

dengan judul Makna Metaforik Behas (Beras)

Dalam Tradisi Tandak Tawur Suku Dayak Ngaju Di Kalimantan Tengah ini akan mengkaji metafora dengan fokus pada

tradisi ‘manawur’ (menabur beras).

2. LATAR BELAKANG : SINOPSIS, LANDASAN TEORI

Behas (beras) dalam budaya Dayak Ngaju memiliki arti khusus

selain sebagai makanan pokok, penunjang hidup, juga berperan sebagai media komunikasi antara manusia dengan Ranying Hatalla (Wujud Tertinggi). Itulah sebabnya dalam setiap ritual adat beras selalu ada.

(4)

4

Dalam ritual adat beras biasanya ditaburkan ke udara, ke atas kepala manusia, maksudnya agar dewi dan dewa padi ikut menghadiri acara yang sedang dilaksanakan. Tradisi menabur beras ini disebut pula sebagai ritual manawur behas atau tawur.

Acara manawur (menabur) sebagai bagian dalam acara awal dari sesuatu ‘gawi’ (kerja/upacara/pesta) yang menyangkut kematian (gawi

matei) maupun kehidupan (gawi belum). Tawur adalah sebuah aktivitas

sakral yang dilakukan oleh pemimpin adat suku Dayak. Tawur merupakan sebuah tindak tutur ritual untuk menyampaikan semacam permohonan atau doa kepada Sang Pencipta dalam bahasa Dayak Kuno (bahasa Sangen) yang diyakini mempunyai kekuatan tertentu untuk melakukan apa yang di luar nalar manusia. Tandak atau Karunya

Tawur (puji-pujian atau syair-syair mengenai beras) dapat dibagi

menjadi babak-babak yang seluruhnya dituturkan oleh kelompok balian yang terdiri dari tujuh orang dengan ketambung (gendang panjang) sebagai pengiring yang dipimpin oleh seorang ketua atau upo yang duduk di tengah.

Gambar 1

(5)

5

Sebagai pemimpin dalam ritual ini Balian Upo bertugas mamalas (mengusap) behas (beras) dengan darah, minyak dan menyan sambil membacakan tandak (karunya) tawur dengan iringan katambung. Isu sentral yang terdapat dalam pesan-pesan tandak tawur khususnya babak mengantarkan roh beras menghadap dewa adalah :

1. Membangunkan ganan behas atau roh beras, dengan palas minyak, darah dan menyan,

2. Puji-pujian dan pesan-pesan kepada roh beras, 3. Pemberangkatan roh beras,

4. Sampainya roh beras di negeri Sangiang atau Dewata, 5. Menghadap Dewa yang bersangkutan,

6. Turun,

7. Puji-pujian dan terima kasih kepada roh beras atas tugasnya. Naskah tandak tawur yang disajikan berikut ini diambil dari (Scharer, 1966) dan (Buku Tawur, 2005) yang diterbitkan oleh Kanwil Depag Provinsi Kalimantan Tengah. Fox (1971) menanggapi karya Scharer sebagai suatu hasil karya yang unik dalam studi paralelisme.

Sebagai sebuah komunikasi lisan tradisional, bahasa Tandak

Tawur memiliki ciri-ciri seperti yang diungkapkan oleh Fox

In communication of this kind, parallelism is promoted to the status of canon, and paired correspondences, at semantic and syntacmatic levels, result in what is essentially a dyadic language -the pehenomenon as ‘speaking in pairs’.

Dalam sebuah komunikasi lisan tradisonal (oral communication) paralelisme merupakan kaidahnya. Pasangan yang berkorespondensi (berpadanan) sebagai pembentuk paralelisme dapat dalam bentuk sintaksis dan makna. Pasangan ini akan menghasilkan apa yang secara esensial disebut bahasa berpasangan atau dyadic language (dualisme bahasa) fenomena tutur yang selalu mempunyai padanan. Bahasa berpasangan, menurut Fox, tidak hanya sekedar sebuah makna komunikasi yang unik. Lebih dari itu telah menjadi kendaraan utama

(6)

6

untuk melindungi dan mentransmisikan pengetahuan budaya (cultural

knowledge) dari sebuah masyarakat (region) (Fox,1988:1-2).

Paralelisme sebagai sebuah fenomena linguistik dirumuskan lengkap oleh Jakobson bahwa ‘poetic language consists of an elementary

operation: bringing together of two elements is defined as parallelism’

(Jakobson,1966). Bahasa puitik berisikan sebuah operasi yang mendasar, yakni menampilkan secara bersama dua elemen. Kedua elemen yang ditampilkan itu didefinisikan sebagai paralelisme. Secara lebih mendalam definisi ini memberikan argumentasi bahwa perbandingan (comparison), metamorfosis (metamorphosis), metafora

(metaphor) adalah ‘varian-varian semantik’ (semantic variants) dari

operasi paralelisme. Perbandingan adalah sebuah contoh dari paralelisme, metamorfosis adalah paralelisme yang diproyeksikan dalam waktu; metafora merupakan paralelisme yang direduksikan pada sebuah maksud. Dengan demikian paralelisme adalah sebuah perluasan dari prinsip binari dari oposisi sebuah fonetik, sintaksis dan level semantik dari sebuah ekspresi.

Sebagai sebuah gaya bahasa, senada dengan Black, menurut Keraf maupun Wachid, metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.

Dari pengertian-pengertian ini dapat dikatakan bahwa metafora adalah ungkapan-ungkapan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung oleh lambang kiasnya tetapi makna itu ada dalam lambang kiasnya berdasarkan persamaan yang dimiliki. Bertolak dari sini dapat dilihat bahwa metafora memiliki tiga elemen pokok di dalamnya (Richard,1965:97; Saeed,1998:303; Palmer,1996:223; Wijana,2000:20-22; Ullman,1983:213; Parera,2004:133; Potts,1994:502):

(7)

7

1. Target domain (pebanding) : konsep, obyek, yang dideskripsikan, dibicarakan,dikiaskan,dilambangkan atau dibandingkan

2. Source domain (pembanding) : konsep yang mendeskripsikan atau mengkiaskan atau melambangkan target domain. Dalam arti ini source domain adalah lambang atau kiasan itu sendiri

3. Sense atau persamaan : relasi persamaan antara target atau source domain. Relasi persamaan ini dapat berupa persamaan obyektif seperti bentuk, tempat, sifat atau kombinasi diantaranya, persamaan emotif, persamaan konsep, fungsi dan persamaan sosial budaya.

Dalam kaitan dengan source domain (pembanding), menurut Halley (1980:139-154; bdk.Wahab,1991:65-109) kemudian dipertegas oleh Lunsford (1980:155-169) dalam menciptakan metafora, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Hal ini karena persepsi atau proses berfikir manusia terjadi di dalam lingkungan tempat ia hidup. Dalam kajian ilmiah proses interaksi manusia dengan keseluruhan lingkungannya ini, lebih dikenal dengan term sistem ekologi. Sistem ekologi inilah yang menentukan ruang persepsi manusia.

Berdasarkan identifikasi terhadap ketiga elemen utama metafora di atas, dalam kajian ini dapat dijelaskan makna metafora beras beserta hal-hal yang bertalian dengan beras dalam tradisi tandak Tawur suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.

3. PEMBAHASAN

Gambaran perjalanan Roh Beras ke dunia atas

9

7

RHL JBB

(8)

8 6 3 4 5 2 1

Gawi belum ‘pesta hidup’ Gawi matei ‘pesta hidup’ Keterangan :

1 Pantai danum kalunen (alam semesta) 6 Manyan (menyan)

2 Balian (para pemimpin upacara ritual manawur)

7 Pantai Danum Sangiang (alam atas)

3 Daha (darah) 8 Balai Sangiang (tempat tinggal para

dewa)

4 Behas (beras) 9 Ranying Hatala Langit (Wujud

Tertinggi) penguasa alam atas, Jata Balawang Bulau (Wujud Tertinggi) penguasa alam bawah.

5 Minyak (minyak)

3.1 MAKNA DAN ELEMEN METAFORA BERAS DALAM TANDAK TAWUR 3.1.1 Hakekat dan hal-hal yang bertalian dengan Beras

3.1.1.1 Beras sebagai perlambang kekayaan dan kesuburan (Raja Angking TingangPutir Selung Tamanang)

(Behas) Je nangkaloma awi Raja

Angking Tingang Beras yang dilindungi oleh Raja Angking Tingang

(behas) je nampaharing awi Putir

Selung Tamanang beras yang dijaga oleh putri Selung Tamanang Yang menjadi pebanding (target atau tenor) dari metafora ini adalah beras dalam budaya masyarakat Dayak Ngaju. Pembanding (citra atau vehicle) dari metafora ini adalah Raja Angking Langit (Raja yang menjamin kekayaan) – Putir Selung Tamanang (Putri yang menjamin kesuburan). Untuk dapat memahami makna metafora dan ground (persamaan) yang mendasari penggunaan metafora ini, terlebih dahulu akan digambarkan siapa itu raja angking tingang dan putir selung tamanang dalam masyarakat Dayak Ngaju.

(9)

9

Dalam mitologi Dayak Ngaju asal mula padi (parei-behas) berasal dari pantis kambang kabanteran bulan lelak lumpung matanandau

‘tetesan bulan di langit ke tujuh’ dan tumbuh di bukit kagantung gandang (langit ke tujuh) tempat tinggal putir selung tamanang dan raja

angking tingang. Putir Selung Tamanang dan Raja Angking Tingang adalah dua orang pembantu terdekat Ranying Hatalla (Wujud Tertinggi) yang ditugaskan untuk menjaga dan melindungi beras. Keduanya selalu berada dekat Ranying. Adapun beras yang ada di pantai danum

kalunen (bumi) diturunkan dari langit ke tujuh oleh kedua pembantu

terdekat Ranying tersebut. Roh yang ada dalam beras adalah roh mereka berdua.

Dalam tradisi masyarakat agraris nusantara khususnya di Kalimantan Tengah, melimpahnya hasil panen padi berkaitan erat dengan kesuburan. Kesuburan identik dengan perempuan, karena perempuan yang melahirkan keturunan. Dalam hal ini, Putir Selung Tamanang digambarkan sebagai dewi kesuburan3 dalam masyarakat agraris di Kalimantan, Konsep perempuan sebagai simbol kesuburan berkaitan erat dengan masalah produksi dan reproduksi, maka dimunculkanlah seorang tokoh Raja Angking Tingang. Jadi Raja Angking Tingang dihadirkan dalam mitologi tersebut sebagai pelengkap simbol kesuburan.

3.1.1.2 Beras sebagai kekayaan alam : tabur – emas (tawur-rabia)

Nyakiku ikau tuh, tawur, hapan

daha manuk kupalis, engkau ini, beras, dengan darah (ayam)

Imalasku ikau tuh, rabia, sawung ambun, panggirih punoi, rungkoi ambun

kupalis, engkau ini, beras, dengan darah (ayam) sabung, sari punai, embun burung

3 Mitos tentang kultus dewi kesuburan ini hampir sama di seluruh nusantara

hanya penamaannya yang berbeda, di Jawa, Madura, Banyumas disebut Dewi Sri, di Pasundan Jawa Barat di kenal dengan dengan nama Ni Pohaci, dll.

(10)

10

Metafora yang bertenor tawur-rabia (beras – emas) dan kekayaan alam ini didasarkan pada ground (persamaan) budaya. Keyakinan dan kepercayaan akan sifat-sifat benda yang sama yaitu sebagai kekayaan alam yang sangat bernilai. Wilayah kalimantan tengah adalah salah satu wilayah penghasil emas yang sangat melimpah. Emas dengan mudah didapatkan tersembunyi di dasar sungai-sungai ataupun di dalam tanah. Emas ini pulalah yang menjadi salah satu daya tarik orang-orang dari luar wilayah kalimantan datang untuk mencari nafkah. 3.1.1.3 Beras yang membawa pesan/duta : menyambung ucapan –

menyambung kata (manuntung rawei-manambing tisui)

Mangat ikau tau manuntung

raweiku, supaya engkau (beras) dapat menyambung ucapanku,

uka pandai balitam manambing

tisuiku, kabantukan Sali jalayan juga menyambung kataku, di tengah pandai dirimu (beras) rumah dewa

Manuntung – manambing adalah istilah yang pada dasarnya digunakan untuk kegiatan atau aksi untuk menambah panjang kain atau celana dengan cara dijahit pada sebelah atas. Metafora manuntung rawei (menyambung ucapan) – manambing tisui (menyambung kata) mempunyai pengertian membawa pesan atau semacam doa atau permohonan manusia kepada Sang Hyang (Wujud Tertinggi) di dunia atas.

3.1.1.4 Siap melaksanakan tugas : bangun – berguncang (hatarinjet - pararuguh)

hatarinjet ganam bangun rohmu,

pararuguh balatam bangunlah jiwamu

Hatarinjet – pararuguh (bangun – berguncang) merupakan istilah dalam bahasa sangiang (bahasa ritual masyarakat dayak) yang berarti membangunkan roh. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa beras memiliki roh yaitu putir selung tamanang dan raja angking

(11)

11

tingang. Karena keduanya diminta untuk membawa pesan atau doa ke wujud tertinggi, maka keduanya harus dibangunkan terlebih dahulu dengan cara digoncang-goncangkan, seperti membangunkan orang dari tidurnya, agar siap menerima tugas.

Makna dari metafora ini adalah beras (behas), bangun ( dalam hal ini rohnya). Target atau pembanding dari metafora ini adalah tindakan roh beras bangun bersiap untuk melakukan sesuatu (membawa pesan manusia kepada wujud tertinggi). Pembanding metafora ini adalah tindakan makhluk bernyawa, yakni manusia yang disiapkan untuk membawa pesan. Dengan demikian persamaan metafora ini adalah tindakan menggoyang-goyang untuk membangunkan seseorang agar bersiap melaksanakan tugas.

3.1.1.5 jangan kagetan : terkejut mati – terkesima (tarewen matei – kasabanen nihau)

tarewen matei kalabuan jaringku mati terkejut kena perangkap

kasabanen nihau kalaketan

karahku terkesima kena perangkap

Sentral dari metafora ini adalah dari tarewen matei (mati terkejut) dan kasabanen nihau (terkesima). Makna yang diberikan metafora ini adalah jadi manusia tidak boleh kagetan atau mudah terkesima jika melihat sesuatu/hal yang baru atau luar biasa, karena orang yang kagetan adalah orang yang mudah diperdaya orang lain. Dalam pernyataan metafora kalabuan jaring – kalaketan karah (kena perangkap) kagetan dicitrakan dengan seekor burung yang sedang memakan padi atau beras di ladang. Jika lengah akan mudah kena perangkap petani. Dasar persamaan di sini adalah persamaan sifat, yaitu jangan lengah, terperangah, terlena, terkesima.

3.1.1.6 Jangan sombong : dada lesung – ujung kayu (usuk lisung – lawin tapang)

(12)

12

usuk lisung dada lesung

lawin tapang ujung kayu

Kebiasaan dalam masyarakat agraris nusantara ketika membuat tepung dari beras mereka menggunakan lesung dan alu yang terbuat dari kayu ulin sebagai alat produksinya. Dalam pemikiran masyarakat Dayak khususnya Dayak Ngaju lesung jika sedang tidak digunakan maka diletakkan dengan posisi tertelungkup, seperti yang diketahui bentuk lisung dalam posisi tertelungkup ini sama dengan bentuk dada manusia atau burung yang dibusungkan untuk menunjukan keindahan tubuhnya. Manusia yang membusungkan dada adalah manusia sombong dalam konsep masyarakat Dayak.

Yang menjadi metafora dalam kalimat ini dada (usuk) pada frase usuk lisung (dada lesung). Pembanding dari metafora ini adalah dada manusia atau hewan (burung), sedangkan pebandingnya adalah sombong. Persamaan yang mendasari metafora ini adalah persamaan bentuk, yakni membusung.

3.1.1.7 Panen berhasil : tanah bergalang ular (petak sintel habalambang tambun)

petak sintel habalambang tambun tanah bergalang ular

Petak sintel (tanah liat) adalah media tanam yang baik untuk

tumbuhnya tanaman padi. Di tanah yang seperti ini pulalah banyak hidup ular pemakan tikus yang sangat membantu untuk menjaga tanaman padi dari hama tikus. Jika tanaman padi ini tidak dimakan tikus maka panen akan berhasil.

3.1.1.8 Tanah subur : tanah berderetan gong (liang deret habangkalan garantung)

liang habangkalan garantung tanah berderetan gong

Dalam teks penceritaan tawur, hadirnya istilah habangkalan

(13)

13

sebuah pernyataan metafora. Garantung (gong) dalam budaya dayak merupakan benda suci yang dapat memberikan berkah atau tuah. Jika tanah mendapat berkah yang banyak dari gong maka tanah tersebut akan menjadi subur untuk digunakan sebagai media untuk menanam padi. Pembanding dari metafora ini adalah habangkalan garantung (berderetan gong), pebandingnya adalah tanah subur. Adapun ground yang mendasari metafora ini adalah kemampuan gong sebagai pemberi berkah yang menyuburkan tanah ladang untuk menanam padi.

3.1.1.9 Tumbuh subur : bertunaslah engkau taring (lampang ikau gawi-gawing)

lampang ikau gawi-gawing bertunaslah engkau taring

Target yang dilukiskan metafora ini adalah tanaman padi yang tumbuh subur. Dalam pernyataan metafora lampang ikau gawi-gawing (bertunaslah engkau taring), tumbuhan padi yang bertunas dicitrakan dengan taring seekor ular. Ground yang menjadi dasar metafora ini adanya persamaan bentuk tunas padi yang tumbuh subur seperti taring-taring ular.

4. KESIMPULAN

Sebagai sebuah komoditi pokok yang tersebar di berbagai wilayah di nusantara dan telah ada sejak dahulu beras begitu kuat mengakar di alam pikiran masyarakat khususnya masyarakat tradisional sebagaimana masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.

Beras bagi masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dipandang dengan berbagai persepsinya baik beras sebagai yang profan maupun beras sebagai hal yang transenden. Beras begitu komplek penggambarannya dalam alam pikiran dayak, ia bisa menjadi perlambang kesuburan, kekayaan, mediator manusia dan wujud tertinggi, kekayaan alam, kesederhanaan dll. Beras merupakan komponen sesaji yang wajib dalam setiap ritual-ritual adat Dayak.

(14)

14

Bahkan dalam ritual Tandak tawur beras merupakan subyek utama dalam mengemban tugas sebagai duta atau media komunikasi antara alam realitas dan metafisik. Apresiasi tinggi masyarakat nusantara terhadap beras tidak terlepas dari proses panjang pengolahannnya sejak mulai dari padi hingga menjadi beras dan selanjutnya menjadi nasi yang siap untuk dikonsumsi.

5. Bibliography

. ---(2005). Buku Tawur Palangka Raya : Kanwil Depag Provinsi Kalimantan Tengah.

Fox, J. (1988). Essays on the Ritual Languages of Eastern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Fox, J. (1971). Semantic Parallelism in Rotiness Ritual Language. Harvard University.

Halley, M. C. (1980). Concrete Abstraction : The Linguistic Universe of Metaphor. London: Routledge & Kaegan Paul.

Jakobson, R. (1966). Grammatical Paralelisme and Its Russian Fecet (Vol. 42). lakoff, G., & Johnson, M. (1986:3-6). Metaphor We Live By. Chicago: The

University of Chicago Press.

Lunsford, R. F. (1980). Byron's Spatial Metaphor: A Psycholinguistics Approach. London: Routledge & Kaegan Paul.

Palmer, G. B. (1996). Toward A Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.

Parera, J. (2004). Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Potts, M. (1994). Hopkins and the Theory of Metaphor. Washington: American Catholic Philosophical Association Catholic University of America.

Richards, I. A. (1965). The Philosophy of Rhetoric . New York: Oxford University Press.

Saeed, J. I. (1998). Semantics. Oxford: Blackwell Publisher.

Scharer, H. (1966). Der Totenkul; Der Ngadju Dayak in Sud-Borneo . S Gravenhage Martinus Nijhoff.

Ullman, S. (1983). Semantics, An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Black Well .

Wahab, A. (1991). Isu Linguistik dan Pengajaran Bahasa dan Sastra . Surabaya: Airlangga University Press.

(15)

15

Wijana, I. D. (2000). Semantik Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Lampiran :

Naskah Tandak Tawur

(babak : Roh Beras Menghadap Dewa) c

1 Behas je nangkaloma awi Raja Angking Penyang, nampaharing awi Putir Selong Tamanang

beras yang dilindungi oleh Raja Angking Penyang ,

dijaga oleh Putri Selong Tamanang,

D

2 Nyakiku ikau toh, tawur, hapan daha manuk Kupalas dengan darah ayam engkau ini, tabur, I

Imalasku ikau toh, rabia, sawung ambun, panggirih punoy, rungkoy ambun

Kupalis engkau ini, emas, dengan embun sabung, sari punai, embunnya burung

D

3 Mangat ikau tau basaloh ampin oloh kalunen intu Balay Sangiang

Supaya engkau menjelma seperti manusia di Balai Sangiang

Mangat ikau tau manuntung raweyku, uka panday balitam

manambing tisuyku,

kabantukan Sali Jalayan

Supaya engkau bisa menuntun pesanku, agar dirimu dapat menyambung maksudku, di tengah rumah Dewa.

E

4 Ehem, behas, Hatarinjet ganam, Wahai, beras, Bergeraklah rohmu,

Pararuguh labatan, Bangunlah jiwamu,

F

5 Ela kalabuan jaringku, ikau tarewen matey Jangan engkau terkejut mati kena jaringku, Isen ikau kasabanen nihau

kalaketan karahku,

Pantang engkau sombong

angkuh/lupa diri kena jalinanku G

6 Ela pajanjuri bara usuk lisung, ikau manggare arepm Jangan engkau sebut dirimu keluaran dari dada lesung, Isen ikau mansuwa balitam

panantekey bara lawin tapang Pantang engkau elukan diri lepasan dari ujung kayu tapang I

7 Ie bitim lawo into petak sintel habalambang tambon, Demikianlah, engkau turun ke tanah sintal bergalang ular, Harende balitam mejen liang

deret habangkalan garantung Hadir dirimu di tanah berderetan gong N

8 Melay ka uju andau kauju alem, Lampang ikau gawi-gawing kilau gawing darung hanjaliwan,

Setelah tujuh hari tujuh malam, bertunaslah engkau taring-taring bagai taring ular sendok,

Referensi

Dokumen terkait

Belian Sentiu memiliki makna yang kompleks. Penyajiannya tidak saja dapat menghidupkan mitos-mitos sebagai lambang identitas kelompok, namun juga mampu menjaga keseimbangan antara

Karena itu, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan merancang suatu dokumentasi melalui media audio visual, dengan tujuan mendokumentasikan nilai-nilai