• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan: studi putusan nomor 184/pid/2015/PT. Bdg.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan: studi putusan nomor 184/pid/2015/PT. Bdg."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN MAIN

HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA

PENGEROYOKAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR 184/Pid/2015/PT. Bdg)

S K R I P S I

Oleh

Fatma Bekti Palupi Rofita

NIM. C03213018

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Islam

Prodi Hukum Pidana Islam (Jinayah)

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan Main Hakim Secara Bersama-sama Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan (Studi Putusan Nomor 184/Pid/2015/PT. Bdg)” adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg), serta bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg).

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan studi kepustakaan atau library research. Tipe penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan theoritical normative atau normatif dan berdasarkan pada perundang-undangan dan prinsip-prinsip atau asas yang berlaku. Pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan Yuridis Normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan metode library research atau metode studi perpustakaan yang dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum, baik berbentuk primer maupun sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara inventarisasi atau mengkategorisasi pokok bahasan penulis, sedangkan bahan hukum sekunder diolah menggunakan analisis. Analisis bahan hukum menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pengadilan Tinggi Bandung yang telah memeriksa dan mengadili kasus tindak pidana pengeroyokan yang menyebabkan luka-luka. Para terdakwa dikenai pasal 170 Ayat (1) tentang kekerasan, yakni dengan putusan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 184/Pid/2015/Pt. Bdg tentang tindak pidana pengeroyokan menurut hukum pidana Islam dapat dikategorikan dalam tawa̅fuq, yaitu perbuatan jarimah yang dilakukan oleh lebih dari seorang tanpa direncanakan dan disepakati sejak awal. Mereka tiba-tiba melakukan jarimah secara sendiri-sendiri. Sehingga dalam hukum pidana Islam, terdakwa I dikenakan diat lima ekor unta untuk pertanggungjawaban gigi depan yang patah, namun terdakwa II dijatuhi huku̅matu al-‘adl. Unsur-unsur ishtira̅k dalam kasus jarimah tawa̅fuq ini, yaitu: Adanya perbuatan yang dilarang yaitu perbuatan tawa̅fuq; Adanya unsur materiil jarimah tawa̅fuq adalah turut serta berbuat jarimah; Dilakukan secara bersama-sama. Sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dalam kasus ini dilakukan oleh lima orang pelaku, tetapi yang tertangkap hanya dua orang, sedangkan tiga orang lainnya masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO); Tanpa adanya kesepakatan sebelumnya.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan main hakim sendiri tidak diperbolehkan di Indonesia. Hal ini karena selain meresahkan masyarakat, juga membuat para penegak hukum kewalahan dalam menjalani tugas-tugasnya karena sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat dalam penegakan hukum, serta menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan. Oleh karena itu, perlu ketegasan hukuman bagi yang melakukan tindakan main hakim sendiri agar dapat membuat jera bagi pelaku tindak pidana main hakim sendiri (pengeroyokan).

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka diharapkan adanya partisipasi dan kesadaran dari masyarakat agar tidak melakukan tindakan main hakim sendiri serta perlunya penegakan hukum dengan seadil-adilnya dari aparat hukum agar masyarakat tidak melakukan tindakan di luar kewenangan yang seharusnya.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi masalah dan batasan masalah ... 8

C. Rumusan masalah ... 10

D. Kajian pustaka ... 10

E. Tujuan penelitian ... 16

F. Kegunaan hasil penelitian ... 16

G. Definisi operasional ... 17

H. Metode penelitian ... 19

1. Tipe penelitian ... 19

2. Pendekatan masalah ... 19

(8)

4. Teknik pengumpulan bahan hukum ... 23

5. Analisis bahan hukum ... 24

I. Sistematika pembahasan ... 24

BAB II TINDAKAN MAIN HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM ... 27

A. Turut serta melakukan jarimah dalam hukum pidana Islam ... 27

1. Pengertian turut serta melakukan jarimah ... 27

2. Bentuk turut serta melakukan jarimah ... 29

3. Unsur-unsur jarimah ... 38

B. Tindak pidana pelukaan atau pengeroyokan dalam Islam ... 40

C. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam ... 47

1. Pengertian pertanggungjawaban pidana ... 47

2. Dasar hukum pertanggungjawaban pidana ... 51

D. Pertanggungjawaban pidana turut serta melakukan jarimah ... 53

BAB III TINDAKAN MAIN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 184/PID/2015/PT. Bdg SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN ... 65

A. Deskripsi kasus tindakan main hakim secara bersama-sama terhadap tindak pidana pengeroyokan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 184/Pid/2015/PT. Bdg ... 65

B. Keterangan-keterangan saksi ... 66

C. Pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan Tinggi Bandung dalam menyelesaikan kasus tindakan main hakim secara bersama-sama bagi tindak pidana pengeroyokan ... 72

(9)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG NO. 184/Pid/2015/PT. Bdg TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA

BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN ... 78

A. Analisis pertanggungjawaban pidana terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 184/Pid/2015/PT. Bdg tentang tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan ... 78

B. Analisis menurut hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 184/Pid/2015/PT. Bdg tentang tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan ... 85

BAB V PENUTUP ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Timbulnya berbagai macam perilaku dalam masyarakat menyebabkan

perkembangan kehidupan dalam masyarakat itu sendiri, seperti di bidang

sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Jika dilihat dari kacamata

hukum, perilaku-perilaku masyarakat tersebut telah mengalami

penyimpangan, seperti seseorang yang melakukan kejahatan penganiayaan,

pembunuhan, perampokan, dan sebagainya. Telah dibentuknya peraturan

yang melarang perbuatan itu agar tidak dilakukan, masih tidak memberi rasa

jera terhadap masyarakat. Bahkan, tindak pidana yang terjadi dalam

masyarakat semakin meningkat per tahunnya, seperti di Jakarta dengan

angka kejahatan selama tahun 2016 mengalami penurunan dibanding tahun

sebelumnya. Namun, waktu kejahatan (crime clock) mengalami percepatan

selama 8 detik, dari 12 menit 26 detik di tahun 2015 menjadi 12 menit 18

detik di tahun 2016.1

1Mei Amelia R, Kapolda Metro: Kejahatan di Jakarta Terjadi Tiap 12 Menit 18 Detik,

(11)

2

Di zaman yang serba canggih dan modern ini mempengaruhi pula

pada kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Kemajuan teknologi

bertambah pesat, sehingga timbul jenis kejahatan baru dengan modus

operandi baru, seperti perekaman pembicaraan tanpa izin, penyadapan

telepon, delik komputer, dan cyber sampai pada delik lingkungan hidup

belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam KUHP.2 Terhadap

kejahatan-kejahatan yang sudah terjadi dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa

karena mereka yang berbuat menyimpang tidak takut terhadap sanksi pidana

yang akan mereka terima jika mereka melakukan perbuatan menyimpang

tersebut. Melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan seperti

melakukan penganiayaan terhadap orang lain sehingga membuat orang

pingsan atau tidak berdaya sebagaimana Pasal 89 KUHP, yaitu:

‚Membuat orang pingsan atau tidak berdaya dipersamakan dengan menggunakan kekerasan.‛

Penjelasan pasal tersebut di atas:3

Apa yang diterapkan terhadap ‚menggunakan kekerasan‛ dinyatakan

diterapkan pula terhadap ‚membuat orang pingsan atau tidak berdaya‛.

1. Pingsan berarti kehilangan sama sekali akan kesadaran.

2 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), 1

3 Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru,

(12)

3

2. Tidak berdaya berarti suatu keadaan dimana seseorang tidak mempunyai

daya atas anggota badannya; jadi suatu saat kehilangan sementara akan

daya atas otot-ototnya.

3. Menggunakan kekerasan berarti menggunakan suatu kekuatan yang

memungkinkan dipatahkannya perlawanan dari pihak lawan.

Allah swt. telah menyiapkan suatu siksaan terhadap orang yang

pertama melakukan pembunuhan yaitu siksaan yang belum pernah disiapkan

terhadap siapapun diantara makhluk-Nya.4 Hal ini mengindikasikan bahwa

sekelompok orang yang menghakimi pelaku tindak pidana tersebut

benar-benar telah menunjukkan diri sebagai seseorang yang telah kehilangan

moralitas dan benar-benar telah melampaui batas wilayah kemanusiaan.

Di dalam KUHP, jika terjadi tindakan main hakim sendiri tergolong

dalam Pasal 170 KUHP:

‚Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.‛5

Jika terdapat seorang pelaku melakukan tindak pidana, kemudian

secara tidak sengaja masyarakat mengetahui aksi pelaku tersebut, masyarakat

secara langsung melakukan aksi pengeroyokan dengan memukuli pelaku

sampai babak belur. Pengeroyokan sendiri berasal dari kata dasar ‘keroyok’

(13)

4

yaitu menyerang beramai-ramai (orang banyak). Istilah pengeroyokan adalah

proses, cara, perbuatan mengeroyok.6 Aksi tersebut lebih dikenal dengan

istilah Main Hakim Sendiri (dihakimi massa). Dalam hal ini, pengertian Main

hakim sendiri adalah menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukum

yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran,

dan sebagainya).7 Atau berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang

dianggap bersalah.8

Dalam kriminologi, terdapat mass situation tentang situasi yang

timbul di masa keruh, dimana masa bertindak dengan kekerasan terhadap

orang. Mass situation dengan kemungkinan memuncak bagi pengaruh

sugestif, bagi kecenderungan-kecenderungan agresif, pembalasan dendam,

dan ketamaan, tanpa adanya risiko yang biasanya untuk mendapatkan

perlawanan dan pemidanaan.9

Main hakim sendiri bukanlah ciri masyarakat demokratis. Demokrasi

di Indonesia bisa pudar jika masyarakatnya cenderung memilih cara

kekerasan dalam menyelesaikan konflik yang ada. Masyarakat seharusnya

dapat menahan emosi. Dalam penjelasan surat Umar, Umar berkata:

6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005), 556

7 Meity Taqdir Qodratillah, et.al, Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar, (Jakarta: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), 289

8 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), 383

9 Stephan Hurwitz [Disadur oleh Ny. L. Moeljatno], Kriminologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1986),

(14)

5

‚Jauhilah emosi, kejenuhan, kegelisahan, dan menyakiti manusia saat

bersengketa. Sesungguhnya keputusan yang benar akan mendapat pahala dari

Allah dan selalu dikenang.‛10 Jika rasa keadilan itu belum juga ditemukan,

masyarakat masih bisa mencoba menyelesaikannya melalui hukum yang ada.

Para pelaku tindak pidana juga mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan.

Mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang butuh dibina, bukan

dibinasakan. Seringkali, mereka cenderung menggunakan kekuatan tangan

untuk memukuli orang lain, dan tidak secara akal dan hati mereka.

Masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri bisa dikarenakan

beberapa faktor, yaitu: Rendahnya kepercayaan publik terhadap aparat

hukum yang dianggap tidak bertindak adil, sehingga dapat memunculkan

anarkisme11; Lemahnya penegakan hukum serta maraknya putusan hakim

yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat itu membuat

kekecewaan; Proses hukum yang mudah diintervensi; Tidak adanya kepastian

hukum; Proses hukum yang panjang, berbelit-belit, dan mahal

mengakibatkan masyarakat mengambil langkah sendiri; Tiadanya hukum

yang tegas dan adil serta tidak memberikan efek jera. Pidana penjara saja

tidak membuat jera dan juga tidak mendidik pelaku; Selain itu, juga

10 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 276

11Tim Ensiklopedia Khazanah Islam Dunia, Ensiklopedia Khazanah Islam Dunia tentang Fenomena

Main Hakim Sendiri, Bolehkah Dalam Agama Islam?,

(15)

6

banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi menyebabkan masyarakat ragu

akan penegakan hukum di Indonesia.

Dari faktor-faktor tersebut di atas, dapat dijadikan PR (Pekerjaan

Rumah) bagi pemerintah serta aparat hukum untuk lebih menegakkan hukum

dengan seadil-adilnya agar kepercayaan masyarakat terhadap penegakan

hukum di Indonesia tidak memudar. Masyarakat juga sebaiknya ikut andil

dalam mencegah tindakan main hakim sendiri (dari semua elemen

masyarakat). Jangan terpengaruh provokasi-provokasi yang kian marak

terjadi di masyarakat untuk saling mengadu domba pihak satu dengan pihak

lainnya! Karena tidak bisa dibenarkan pula jika membalas pelanggar hukum

dengan cara melanggar hukum.

Dalam Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja, melainkan

juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Sanksi atau

hukuman dalam Islam ditentukan bagi suatu kejahatan dirasa sangat adil dan

efektif membuat pelaku kejahatan jera untuk tidak mengulangi kejahatan,

misalnya jika ada seseorang menganiaya orang lain, maka hukumannya harus

sepadan dengan apa yang sudah dilakukan pelaku tersebut.

Berdasarkan peristiwa tersebut, hukuman setimpal dengan

menganiaya pelakunya sering dituding terlampau kejam dan tidak adil.

(16)

7

dipenuhi. Selain itu, harus dilihat juga apakah sistem yang ada telah

menjamin pemenuhan kebutuhan paling mendasar manusia.12

Perilaku main hakim sendiri dalam hukum pidana Islam tergolong

jarimah kisas-diat karena kisas sendiri merupakan hukuman balasan/setimpal

dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Adapun klasifikasi

tindak pidana Islam jenis kisas-diat dilihat dari segi berat ringannya

hukuman, yaitu:13 Jarimah kisas-diat yakni perbuatan yang diancam dengan

hukuman kisas dan diat. Yang termasuk dalam kategori jarimah kisas-diat:

pembunuhan sengaja (al-qatl al-‘amd), pembunuhan semi sengaja (al-qatl

shibh al-‘amd), pembunuhan keliru (al-qatl al-khat}}}a‘), penganiayaan sengaja

(al-jarh al-‘amd), dan penganiayaan salah (al-jarh al-khat}a‘).

Dengan demikian, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan

masyarakat sangat tidak menghargai hak hidup orang lain dengan memukuli

sampai membunuhnya. Hal ini termasuk dalam perlindungan terhadap jiwa

yang berimplikasi terhadap penerapan hukuman bagi pelaku yang

mengganggu jiwa seseorang. Oleh karena itu, hukum Islam melarang

membunuh dan melukai anggota badan.

12 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda,

(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 17

(17)

8

Dalam KUHP itu sendiri tidak menjelaskan secara khusus mengenai

aturan main hakim sendiri. Hanya ketentuan tentang kekerasan. Begitu pula,

dalam hukum pidana Islam mengatur jarimah yang dilakukan oleh beberapa

orang. Diantara mereka ada yang berbuat langsung dan ada pula yang tidak,

tetapi menjadi sebab (perantara) terjadinya. Ada juga perbuatan jarimah yang

dilakukan lebih dari seorang tanpa direncanakan dan disepakati sejak awal

(tawa̅fuq). Sedangkan, perbuatan jarimah yang dilakukan lebih dari seorang,

direncanakan dan disepakati sejak awal disebut jarimah tama̅lu’.14 Jika

melihat yang sudah terjadi, seringkali masyarakat yang melakukan main

hakim sendiri tergolong jarimah tawa̅fuq karena dilakukan lebih dari seorang

tanpa direncanakan dan tanpa disepakati sejak awal. Atau, masing-masing

pelaku berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul

seketika itu.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi, penulis

mengidentifikasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

14 Jaih Mubarok, et.al, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka

(18)

9

1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindakan main hakim sendiri secara

bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan.

2. Faktor-faktor timbulnya perilaku main hakim sendiri di masyarakat

terhadap pelaku tindak pidana.

3. Sanksi pelaku tindakan main hakim sendiri bagi pelaku tindak pidana

pengeroyokan.

4. Pertanggungjawaban pidana tindakan main hakim sendiri bagi pelaku

tindak pidana pengeroyokan.

5. Ketentuan hukum tentang main hakim sendiri yang terdapat dalam Pasal

55 KUHP, Pasal 170 KUHP, serta Pasal 351 KUHP.

6. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara

bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi

penulisan penelitian ini dengan batasan:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan main hakim secara

bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan

No. 184/Pid/2015/PT. Bdg).

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara

bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan

(19)

10

C. Rumusan Masalah

Sejalan dengan latar belakang masalah di atas, masalah yang akan dicari

jawabannya melalui penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan main hakim

secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi

putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg) ?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim

secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi

putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg) ?

D. Kajian Pustaka

Adapun kajian pustaka berikut agar tidak ada pengulangan dari kajian

atau penelitian lain. Dalam skripsi di Fakultas Syari’ah dan Hukum belum

ada yang membahas ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan

Main Hakim Secara Bersama-Sama Bagi Pelaku Tindak Pidana

Pengeroyokan (Studi Putusan Nomor 184/Pid/2015/Pt. Bdg)‛. Akan tetapi

yang ada hanyalah masalah pengeroyokan dan kekerasan yang pernah dibahas

(20)

11

1. Ima Indriani dalam skripsinya tentang ‚Tindak Pidana Pengeroyokan

Oleh Anak di Bawah Umur Menurut Hukum Pidana Islam (Studi Analisis

Putusan No. 39/Pid.B/2004/PN.Sda. PN Sidoarjo).‛15 Dalam skripsinya

dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang masih di bawah umur dan

belum dewasa, serta belum kawin. Untuk kriteria anak di bawah umur

sebagai berikut:

a) UU No.1 Tahun 1974: Usia minimal melakukan perkawinan adalah

16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Usia tersebut bukan

lagi anak-anak, sehingga sudah boleh menikah;

b) UU No. 3 Tahun 1997: Batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang

anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18

tahun dan belum pernah kawin, sehingga tak layak untuk diajukan ke

meja hijau dalam sidang anak.

Namun, jika ditinjau dari perspektif agama, moral, pendidikan dan

sosial, dimana masyarakat memandang apabila terjadi suatu tindak

pidana, baik yang dilakukan orang dewasa maupun anak di bawah umur,

hukum harus tetap ditegakkan sesuai dengan keadilan. Allah

memerintahkan untuk berlaku adil dalam firman-Nya: (QS. An-Nisaa’ :

58)

(21)

‚Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghukum di antara manusia hendaklah kamu menghukum dengan adil...‛16

Pada dasarnya, anak di bawah umur dalam Islam lebih dikenal dengan

anak pada periode tamyiz tetapi belum baligh sehingga tidak dikenakan

pertanggungjawaban pidana. Namun, karena Islam tidak

mengesampingkan kepentingan masyarakat dan suka akan ketentraman

dan perdamaian, maka pelaku jarimah yang belum dewasa tetap dijatuhi

hukuman. Hukuman tersebut adalah hukuman pengajaran seperti

memasukkannya ke tempat rehabilitasi dan/atau sekolah, meletakkannya

di bawah pengawasan khusus, dan sebagainya.

2. Sedangkan, untuk tindak pidana kekerasan dilihat dari perspektif hukum

pidana Islam yang juga telah dijelaskan oleh Budi Sutomo dalam

skripsinya tentang ‚Tindak Pidana Kekerasan di Desa Duduk Sampeyan

Dilihat dari Perspektif Hukum Pidana Islam Berikut Sanksi Hukumnya

(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Gresik)‛17 yang menyatakan

bahwa dalam KUHP, tindak pidana kekerasan mempunyai arti yang

16 Nazri Adlany, et.al, Al Quran Terjemah Indonesia, (Jakarta: PT. Sari Agung, 2002), 158

(22)

13

sangat luas sehingga perlu adanya klasifikasi itu sendiri di dalam

pasal-pasalnya. Penelitian ini mengenai tindak pidana kekerasan diatur dalam

Pasal 351 jo. Pasal 55 (1) KUHP. Para pelaku yang telah melakukan

pemukulan terhadap korbannya menggolongkan tindak pidana kekerasan

ini ke dalam tindak kejahatan terhadap selain jiwa atau tindak pidana

terhadap anggota tubuh. Sanksinya adalah hukuman kisas (hukuman

setimpal) atau diat.

Namun, karena adanya pemaafan dari korban, maka para terdakwa

bebas dari hukuman kisas. Sehingga, ulil amri dapat menjatuhkan

hukuman takzir kepada mereka dengan hukuman penjara dengan kadar

yang berbeda-beda sesuai dengan perbuatan yang dilakukan

masing-masing pelaku. Sedangkan, terhadap perusakan barang yang dilakukan

oleh para pelaku diancam dengan hukuman kisas atau mengganti dengan

barang serupa atau harganya.

3. Dian Rachmawati dalam skripsinya, ‚Hukuman Bagi Pelaku Tindak

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqh Jinayah: Studi Putusan

Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 65/PID.B/2012/PN.Sda‛ bahwa dasar

pertimbangan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Sidoarjo kepada

terdakwa mempertimbangkan unsur-unsur dalam UU No. 23 Tahun 2004

Pasal 44 Ayat (1) tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

(23)

14

korban dalam rumah tangga, dengan hukuman pidana penjara selama 6

bulan dan dibebankan biaya perkara sejumlah Rp 2.500,00. Sedangkan,

menurut hukum pidana Islam dikategorikan sebagai jarimah

penganiayaan terhadap shajjaj (pelukaan pada muka dan kepala) yang

hukumannya yaitu diat dan hukuman tersebut diserahkan kepada ulil amri

atau pemerintah. Dikarenakan memukul istri hingga robek kulitnya.18

4. Ahmad Syarif Abdillah dalam skripsinya, ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor

832/PID.B/2012/PN.Sda Tentang Kasus Tindak Pidana Pencurian

Dengan Kekerasan‛19, bahwa hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo

mempertimbangkan unsur-unsur dalam pasal 362 dan pasal 365 ayat (2)

KUHP, yaitu:

a. Unsur Obyektif : Barang siapa (subyek atau pelaku tindak pidana);

Mengambil (membawa barang tersebut dari tempat asalnya ke tempat

lain); Barang (sesuatu yang bernilai); Seluruhnya atau sebagian milik

orang lain.

b. Unsur Subyektif: Dengan maksud memiliki; Secara melawan hukum.

18 Skripsi Dian Rachmawati (NIM: C03210018) tentang ‚Hukuman Bagi Pelaku Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqh Jinayah: Studi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 65/PID.B/2012/PN.Sda.‛ (Skripsi--Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014)

(24)

15

Pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa

adalah hukuman penjara selama 2 tahun. Hukuman tersebut sudah

maksimal, karena korban hanya mengalami penganiayaan ringan serta

para terdakwa mau mengembalikan barang tersebut. Jika menurut hukum

pidana Islam, dapat dikategorikan jarimah hira̅bah ringan tipe 2 yaitu

merampok tanpa membunuh, sehingga terdakwa dikenai hukuman takzir

karena mempertimbangkan berbagai sudut pandang para ulama. Oleh

karena itu, hukuman tersebut diserahkan kepada ulil amri atau

pemerintah.

Walaupun masalah kejahatan kekerasan telah dibahas oleh penulis

sebelumnya, tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian sebelumnya tetap

menjadi bahan rujukan atau masukan dalam penelitian ini, tentu saja acuan

konsepnya berbeda, karena permasalahan yang dibahas juga tidak sama. Dari

keempat skripsi tersebut, jelaslah belum dibahas secara rinci mengenai

Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan Main Hakim Secara

Bersama-Sama Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan (Studi Putusan

Nomor 184/Pid/2015/Pt. Bdg). Oleh karena itu, berangkat dari keempat

(25)

16

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kejelasan pertanggungjawaban pidana terhadap

tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana

pengeroyokan.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam tentang tindakan main

hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:

1. Segi Teoritis, sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya di bidang hukum pidana Islam yang berkaitan dengan masalah

tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana

pengeroyokan.

2. Segi Praktis, sebagai bahan acuan, pertimbangan, dan penyusunan bagi

mahasiswa dan penegak hukum lainnya dalam penegakan hukum pidana

positif dan hukum pidana Islam tentang tindakan main hakim secara

(26)

17

G. Definisi Operasional

Penelitian ini berjudul ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap

Tindakan Main Hakim Secara Bersama-Sama Bagi Pelaku Tindak Pidana

Pengeroyokan (Studi Putusan Nomor 184/Pid/2015/PT. Bdg)‛, untuk

memperoleh gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman serta

menghindari kesulitan dan memudahkan pemahaman mengenai skripsi ini,

maka perlu adanya pembatasan dan penjelasan mengenai istilah pokok

pembahasan dalam judul penelitian ini sebagai berikut:

1. Penghakiman: Proses, perbuatan, cara menghakimi.20

2. Main Hakim Sendiri: Menghakimi orang lain tanpa mempedulikan

hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan,

pembakaran, dan sebagainya): ia menjadi korban pengeroyokan.21

Main hakim dalam skripsi ini adalah tindakan main hakim yang

dilakukan oleh lima orang dengan pemukulan dan pengeroyokan terhadap

korbannya pada hari Minggu, tanggal 19 Oktober 2014 sekitar pukul

13.00 WIB di Jl. Perwira RT 02 RW 05 Kelurahan Sawah Gede

Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur.

20 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: AMELIA Surabaya, 2003),

164

(27)

18

3. Ishtira̅k fi al-Jari̅mah: Turut serta berbuat jarimah secara bersama-sama,

baik melalui kesepakatan atu kebetulan, menghasut, menyuruh orang,

memeberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk.22

4. Pelaku: Yang melakukan.

5. Tindak Pidana: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib

hukum) yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku, dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

6. Pengeroyokan: Menyerang beramai-ramai (orang banyak).23

7. Hukum Islam: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan

sunnah Rasul mengenai tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan

diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.24

8. Hukum Pidana Islam: Ketentuan-ketentuan hukum syarak yang melarang

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap

ketentuan hukum tersebut dikenai hukuman berupa penderitaan badan

atau harta.25 Hukum pidana Islam dalam skripsi ini menggunakan buku

fikih jinayah.

Hukum pidana Islam dalam kasus ini adalah ketentuan hukum dari

alquran dan hadis yang mengatur perbuatan yang dilarang tentang tindak

22 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-Dasar Fiqh Jinayah, (Surabaya: Pustaka Idea,

2015), 73

(28)

19

pidana main hakim secara bersama-sama (jarimah tawa̅fuq) dengan

melakukan pemukulan dan pengeroyokan oleh dua orang pelaku pada hari

Minggu, tanggal 19 Oktober 2014 sekitar pukul 13.00 WIB di Jl. Perwira

RT 02 RW 05 Kelurahan Sawah Gede Kecamatan Cianjur Kabupaten

Cianjur.

H. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian

Penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan

sebagaimana telah disebutkan dalam rumusan masalah di atas dengan

menggunakan theoritical normative atau normatif dan berdasarkan pada

perundang-undangan dan prinsip-prinsip atau asas yang berlaku.

Penelitian normatif adalah penelitian yang menjelaskan secara sistematis

mengenai kategori hukum tertentu dan menganalisis data yang mana

terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan

Yuridis Normatif dengan menggunakan Pendekatan

(29)

20

Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.26 Bagi penelitian untuk

kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan

kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya

dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.

Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan

isu yang dihadapi.

Pendekatan kasus (Case Approach) adalah pendekatan yang

dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.27

c. Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini

adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum

primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

(30)

21

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun bahan-bahan

sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku

teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar

atas putusan pengadilan.28

Bahan-bahan hukum primer yang dikumpulkan dalam penulisan

skripsi ini adalah peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

terkait masalah tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku

tindak pidana pengeroyokan.

Sedangkan, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini terdiri atas pendapat para sarjana atau ahli yang tertuang

dalam buku dan literature, karya ilmiah berupa skripsi dan artikel media

internet yang memiliki keterkaitan dengan judul dan permasalahan yang

akan dibahas.

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari:

1) Bahan Hukum primer, yaitu:

a. Alquran dan Hadits.

b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 170 (1).

28

(31)

22

c. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 184/Pid/2015/PT.

Bdg.

2) Bahan Hukum sekunder, yaitu:

a. Abdillah, Ahmad Syarif. ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor

832/PID.B/2012/PN.Sda Tentang Kasus Tindak Pidana Pencurian

Dengan Kekerasan‛. Skripsi - Fakultas Syariah IAIN Sunan

Ampel Surabaya, 2013.

b. Indriani, Ima. ‚Tindak Pidana Pengeroyokan Oleh Anak di Bawah

Umur Menurut Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Putusan

No. 39/Pid.B/2004/PN.Sda.)‛. Skripsi - Fakultas Syariah IAIN

Sunan Ampel Surabaya, 2008.

c. Rachmawati, Dian. ‚Hukuman Bagi Pelaku Tindak Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqh Jinayah: Studi Putusan

Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 65/PID.B/2012/PN.Sda‛. Skripsi -

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.

d. Sutomo, Budi. ‚Tindak Pidana Kekerasan di Desa Duduk

Sampeyan Dilihat dari Perspektif Hukum Pidana Islam Berikut

Sanksi Hukumnya (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Gresik)‛. Skripsi - Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya,

(32)

23

e. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),

Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian

ini, maka dipergunakan teknik sebagai berikut:

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penyusunan skripsi ini

adalah dengan metode library research atau metode studi perpustakaan

yang dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum, baik berbentuk

primer maupun sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara

inventarisasi atau mengkategorisasi pokok bahasan penulis, sedangkan

bahan hukum sekunder diolah menggunakan analisis. Bahan hukum

primer, yaitu bahan yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik

melalui wawancara, observasi, maupun laporan dalam bentuk dokumen

tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.29

Sedangkan, bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang diperoleh dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek

penelitian. Data sekundernya dalam penelitian ini adalah buku-buku atau

bahan-bahan pustaka lainnya, seperti koran, jurnal, artikel, buku dan

lainnya yang berkaitan dengan masalah tindakan main hakim secara

(33)

24

bersama-sama dalam tindak pidana pengeroyokan yang ditinjau menurut

hukum pidana Islam.

e. Analisis Bahan Hukum

Tujuan dari analisis bahan hukum adalah finding the law atau

menemukan hukum. Salah satu metode penemuan hukum adalah dengan

cara melalui interpretasi atau penafsiran. Metode interpretasi ini adalah

sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.30 Pada skripsi

ini, penulis menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi

sistematis. Interpretasi gramatikal adalah cara penafsiran atau penjelasan

yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan

undang-undang dengan menggunakan menurut bahasa, susun kata, dan bunyinya.

Sedangkan, interpretasi sistematis adalah menafsirkan undang-undang

sebagai dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan

menghubungkannya dengan undang-undang lain.31

I. Sistematika Pembahasan

Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka

penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

(34)

25

Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar isi

skripsi. Dalam bab ini, dibahas mengenai Latar Belakang Masalah,

Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian

Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional,

Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua merupakan penjelasan tentang tindakan main hakim secara

bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan dalam hukum pidana

Islam, yang meliputi: definisi, bentuk-bentuk, unsur-unsur, dasar hukum,

serta pertanggungjawaban pidana.

Bab ketiga membahas tentang deskripsi mengenai tindakan main

hakim secara bersama-sama dalam putusan No. 184/Pid.B/2015/PT.Bdg

mulai dari kronologi peristiwa, keterangan-keterangan saksi, dan

pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan hukuman bagi pelaku tindak

pidana pengeroyokan, sampai pada pertanggungjawaban pidana yang harus

diterima para pelaku.

Bab keempat membahas analisis putusan. Pada bab ini, penulis akan

menyajikan pembahasan tentang analisis pertanggungjawaban pidana dan

tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung

Nomor 184/Pid/2015/PT. Bdg tentang tindakan main hakim secara

(35)

26

Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban

dari pertanyaan pokok yang telah dikemukakan sebelumnya. Di samping itu,

juga dikemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan tindakan main

(36)

27

(37)

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN

DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Turut Serta Melakukan Jarimah

1. Pengertian Turut Serta Melakukan Jarimah

Secara etimologis, turut serta dalam bahasa Arab adalah al-ishtira̅k. Dalam

hukum pidana Islam, istilah ini disebut al-ishtira̅k fi al-jari̅mah (delik

penyertaan) atau ishtira̅k al-jari̅mah. Secara terminologis, turut serta berbuat

jarimah ialah melakukan tindak pidana (jarimah) secara bersama-sama, baik

melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang, memberi

bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk.32 Dalam suatu hadis yang

diriwayatkan oleh al-Dar Qutni, Rasulullah bersabda:

ا َ َ ْ َ َذِ

ُ ُ

َ َ ْ َ ي ِ ا ُ َ ُْ َ َ َلََ ي ِ ا ُ َلْ َُ ُ َ َْا ُ َ ََلََ َ َ ُ ا

‚Jika ada seseorang menahan orang dan ada orang lain yang membunuhnya, maka orang yang membunuh hendaknya dibunuh dan ada orang menahan

hendaknya dikurung.‛33

32

Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-Dasar Fiqh Jinayah, 73

33

(38)

28

Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara

perseorangan dan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Turut serta

melakukan jarimah ialah melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui

kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan

atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari definisi tersebut, dapat diketahui

bahwa sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki bersama, secara

kebetulan, sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau memberi fasilitas bagi

terselenggaranya suatu jarimah.34

Ahmad Hanafi membagi kerja sama dalam berbuat jarimah dalam empat

kemungkinan:35

a. Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil bagiannya

dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan

bersama-sama.

b. Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan

jarimah.

c. Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah.

d. Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan berbagai cara,

tanpa turut serta melakukannya.

34

(39)

29

2. Bentuk Turut Serta Melakukan Jarimah

Tindak pidana adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya pula

oleh beberapa orang yang masing-masing berandil dalam melaksanaknnya.

Apabila dilakukan oleh beberapa orang, bentuk kerjasama diantara mereka tidak

keluar dari empat kondisi berikut:36

1. Pelaku turut melakukan tindak pidana (medeplegen), yakni melakukan unsur

material tindak pidana bersama orang lain (memberikan bagiannya dalam

melaksanakan pidana tersebut).

2. Pelaku mengadakan permufakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu

tindak pidana.

3. Pelaku menghasut (menggerakkan/uitlokken) orang lain untuk melakukan

tindak pidana.

4. Pelaku memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya tindak pidana

dengan berbagai cara, tanpa turut serta melakukan.

Untuk membedakan antara turut berbuat langsung dengan berbuat tidak

langsung, fukaha memberikan pembedaan:

1. Orang yang turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah

disebut shari̅k muba̅shir, dan perbuatannya disebut ishtira̅k muba̅shir.

(40)

30

2. Orang yang tidak turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah

disebut shari̅k mutasabbib, dan perbuatannya disebut ishtira̅k ghayr muba̅shir

atau ishtira̅k bi al-tasabbub.37

Dasar pembedaan antara keduanya: yang pertama melakukan secara langsung

unsur material tindak pidana, karena itu ia dinamakan shari̅k fil muba̅syarah

(pelaku langsung), sedangkan yang kedua menjai sebab terjadinya tindak pidana,

baik karena janji, manghasut, atau memberikan bantuan, tetapi tidak turut serta

secara langsung melakukan unsur material tindak pidana karena itu dinamakan

shari̅k bit tasabbub (pelaku tidak langsung).38

1. Turut serta secara langsung (al-ishtira̅k al-muba̅shir) terjadi apabila

orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang-orang. Yang

dimaksud ‚melakukan jarimah dengan nyata‛ adalah bahwa orang yang turut

serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung meskipun tidak

sampai selesai. Pelaku dianggap cukup sebagai turut serta secara langsung

apabila ia telah melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan

pelaksanaan jarimah. Misalnya: dua orang (A dan B) akan membunuh

seseorang (C). A sudah memukul kepala dengan besi kemudian pergi, dan B

meneruskan sehingga C meninggal. Dalam hal ini, A tidak turut serta

menyelesaikan jarimah, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan

37 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 136-137

(41)

31

permulaan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Contoh ini

menggambarkan bahwa A dianggap sebagai orang yang turut serta secara

langsung.39

Bentuk perbuatan secara tidak langsung juga dianggap turut serta secara

langsung apabila pelaku menjadi kaki tangan atau alat. Misalnya, apabila

seesorang memerintah anak di bawah umur untuk membunuh orang dan

perintah itu dilaksanakan, maka orang yang memerintah dianggap sebagai

pelaku langsung. Menurut Imam Abu Hanifah, orang yang memerintah

tersebut tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali apabila perintahnya

itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakannya. Dengan demikian,

apabila perintah itu tidak sampai pada tingkatan paksaan, maka perbuatan itu

tetap dianggap sebagai turut serta secara tidak langsung.

Dalam hukum pidana Islam, turut serta berbuat langsung dapat terjadi

apabila seseorang melakukan perbuatan yang dipandang sebagai permulaan

pelaksanaan jarimah yang sudah cukup dianggap sebagai maksiat. Apabila

seseorang melakukan tindak pidana percobaan, baik selesai atau tidak, maka

tindakannya tidak berpengaruh pada kedudukan seseorang yang turut berbuat

langsung tetapi berpengaruh pada besarnya hukuman. Artinya, apabila

jarimah yang dikerjakan selesai dan jarimah itu berupa hudud, maka pelaku

(42)

32

dijatuhi hukuman hudud. Jika tidak selesai, maka pelaku dijatuhi hukuman

takzir.

Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan dan

adakalanya dilakukan secara terencana. Kerja sama yang dilakukan secara

kebetulan disebut tawa̅fuq. Tawa̅fuq adalah beberapa orang yang melakukan

suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Mereka

secara tiba-tiba melakukan jarimah secara sendiri-sendiri. Jadi, kejahatan itu

terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara

tiba-tiba. Misalnya, A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai

dendam kepada B kebetulan lewat dan ia menusukkan pisau ke perut B

sehingga meninggal. Dalam hal ini, A dan C bersama-sama membunuh B,

tetapi antara mereka tidak ada kesepakatan sebelumnya.40 Dalam kasus ini,

pertanggungjawaban mereka bergantung kepada perbuatan masing-masing

sesuai dengan kaidah:

Tama̅lu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama

40 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-dasar Fiqh Jinayah, 78

41 Abdul al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina̅’i al-Islâmi Muqa̅ranan bi al-Qanu̅n al-Wadh’i Jilid II,

(43)

33

dan terencana. Mereka bekerja sama melakukan jarimah secara langsung sesuai

dengan kesepakatan. Misalnya, A dan B bersepakat untuk membunuh C. A

kemudian mengikat C dan memukulnya sampai meninggal. Dalam hal ini, A

dan B dianggap sebagai pelaku atau orang yang turut serta secara langsung atas

dasar kesepakatan. Mereka memiliki tugas masing-masing. Mereka harus

mempertanggungjawabkan perbuatan jarimah secara keseluruhan, yaitu

pembunuhan42, jika mereka terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut

sesuai dengan kaidah:

ْ َ ٍ ْ ِ َ ُ ُ َ ْ ُ

ُ

ْ ُا َملا ٍ َا َ ِ ٍ ْ ِ َ ِ ْ ِ

‚Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tama̅lu’

dituntut dari hasil keseluruhan perbuatan yang turut serta berbuat jarimah.‛43

Kaidah ini dipegang oleh jumhur termasuk di dalamnya Ibnu Taimiyah. Ia

menyatakan:

ْنِ َ ْمُهَ َْ ََِ ْمِحْ َ َ ُدْ ُ ْاُ ٌبِ َ ُ َ ََلََ ْ ُ َ ََ ْمُحَ َْ ََِ ْمَُْْ ٌثَ َََ ٌمْ ُصْ َ َ َلََ ِ ْ ُ َ ََلَ َذِ

ُ ُ َْ َمِا َ ْمُهَ ْ ََ َ ٌ ِ ََ ْ َ ْمُهَ ْ ََ َن َ

‚Apabila orang-orang berserikat melakukan pembunuhan secara langsung, maka hukumannya adalah kisas terhadap mereka yang terlibat, meskipun sebagian mereka melakukan pembunuhan, sedangkan sebagian lagi hanya menjaga saja.‛44

(44)

34

Berbeda dengan jumhur, Abu Hanifah menyatakan:

ْ ُا َمَلا َ ِ ِ َ ََلا َْ ََ ً ْ ِ

‚Tidak ada perbedaan (pertanggungjawaban) antara tawa̅fuq dengan

tama̅lu’.‛45

Pertanggungjawaban pelaku secara langsung dalam tawa̅fuq dan tama̅lu’,

fukaha berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, pertanggungjawaban pelaku

antara tawa̅fuq dan tama̅lu’ terdapat perbedaan. Di dalam tawa̅fuq,

masing-masing pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak

bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Di dalam tama̅lu’, para pelaku

harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka secara keseluruhan. Jika

korbannya meninggal, masing-masing pelaku dianggap sebagai pembunuh.

Menurut Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyah, antara pertanggungjawaban

para pelaku dalam tawa̅fuq dan tama̅lu’ tidak ada perbedaan. Artinya,

masing-masing pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak

bertanggung jawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan.46

45 Abdul al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina̅’i al-Islâmi Muqa̅ranan bi al-Qanu̅n al-Wadh’i Jilid II, 361

46

(45)

35

2. Turut Serta Melakukan Jarimah Secara Tidak Langsung

Turut serta melakukan jarimah secara tidak langsung (al-ishtira̅k bi

al-tasabbub) adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain

untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang

lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai

kesengajaan. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur turut serta berbuat tidak

langsung ada tiga macam.

Pertama, adanya perbuatan yang dapat dihukum.

Kedua, adanya niat dari orang yang turut berbuat agar dengan sikapnya itu

perbuatan tersebut dapat terjadi.

Ketiga, cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah mengadakan kesepakatan,

menyuruh atau memberi bantuan.47

a. Adanya Perbuatan Yang Dapat Dihukum

Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan

yang dapat dihukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai

melainkan cukup walaupun baru percobaan saja. Juga tidak disyaratkan pelaku

langsung harus dihukum langsung.

b. Adanya Niat Dari Orang Yang Turut Berbuat

(46)

36

Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, juga disyaratkan adanya niat

dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau

bantuannya itu perbuatannya itu dapat terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu

yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap turut berbuat dalam semua

jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimahnya

ditentukan, tetapi yang terjadi jarimah lain yang tidak dimaksudkannya maka

tidak terdapat turut berbuat, meskipun karena persepakatan, suruhan atau

bantuan tersebut ia bisa dijatuhi hukuman.

c. Cara Mewujudkan Perbuatan

Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan cara sebagai berikut:48

1) Persepakatan

Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan

kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada

persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat. Meskipun ada

persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang disepakati maka juga

tidak ada turut berbuat. Dengan demikian, untuk terjadinya turut berbuat

dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari

persepakatan itu. Dalam hal ini, Imam Malik mempunyai pendapat sendiri,

(47)

37

yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan orang lain,

dimana seorang menjadi pelaku langung, sedangkan yang lain hanya turut

hadir dan menyaksikan pelaksanaan jarimah tersebut, maka orang yang

menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat langsung. Pendapat ini

berlaku dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan jalan

persepakatan, suruhan ataupun bantuan.

2) Suruhan atau hasutan

Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk

melakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pendorong untuk

dilakukannya jarimah itu. Bujukan atau hasutan terhadap orang lain untuk

melakukan suatu jarimah merupakan suatu maksiat yang sudah bisa dijatuhi

hukuman. Dalam tingkatan yang paling rendah, dorongan bisa berupa

memberi semangat kepada orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan ini

terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu

mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintahnya, seperti orang tua

terhadap anaknya atau atasan terhadap bawahannya.49

3) Memberi Bantuan

Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam

melaksanakan suatu jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak

(48)

38

langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya. Seperti mengamati

jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Para fukaha

membedakan antara pelaku langsung (muba̅shir) dengan pemberi bantuan

(al-mu’in). Pelaku langsung (muba̅shir) adalah orang yang melakukan perbuatan

yang dilarang. Sedangkan, pemberi bantuan (al-mu’in) adalah orang yang

tidak berbuat atau mencoba berbuat, melainkan hanya menolong pembuat

langsung dengan perbuatan-perbuatan yang pada lahirnya tidak ada

sangkut-pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan juga tidak dianggap

sebagai permulaan pelaksanaan dari perbuatan yang dilarang tersebut.

3. Unsur-Unsur Jarimah

Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila

unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang

khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus

hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang

satu dengan jarimah yang lain. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa

unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:50

a. Unsur formal ( ُ ِ ْ لا ُ ْ ا َ ) yaitu adanya nas (ketentuan) yang melarang

perbuatan tersebut dilakukan dan mengancamnya dengan hukuman.

(49)

39

Dalam hukum positif, unsur ini dikenal dengan asas legalitas, yaitu suatu

perbuatan dianggap tidak dapat melawan hukum dan pelakunya tidak

dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang melarang perbuatan

itu dilakukan.

b. Unsur material ( يِد َمْا ُ ْ ا َ ) yaitu adanya tingkah laku yang membentuk

jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak

berbuat (negatif)/berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam

hukum pidana Islam disebut dengan ar-rukn al-madi.

c. Unsur moral ( ِ َد َا ُ ْ ا َ ) yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukalaf

yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana

yang dilakukannya.

Kedua, unsur khusus. Yang dimaksud dengan unsur khusus ialah

unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan

berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jarimah

yang lainnya. Misalnya, pada jarimah pencurian harus terpenuhi unsur

perbuatan dan benda. Perbuatan itu dilakukan dengan cara

sembunyi-sembunyi, barang itu milik orang lain secara sempurna dan benda itu sudah

ada pada penguasaan pihak pencuri. Syarat yang berkaitan dengan benda,

bahwa benda itu berupa harta, ada pada tempat penyimpanan, dan mencapai

(50)

40

jarimah hira̅bah (penyamunan), pelakunya harus mukalaf, membawa senjata,

jauh dari keramaian, dan menggunakan senjata.51

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara unsur yang umum

dan khusus pada jarimah ada perbedaan. Unsur umum jarimah macamnya

hanya satu dan sama pada setiap jarimah, sedangkan unsur yang khusus

bermacam-macam serta berbeda-beda pada setiap jarimah.

B. Tindak Pidana Pelukaan atau Pengeroyokan Dalam Islam

Melukai/penganiayaan (jinayah terhadap selain jiwa) bisa sengaja, semi

sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini, para ulama membaginya menjadi lima

macam, yaitu: (1) iba̅nat al-at}ra̅f, yaitu memotong anggota tubuh, termasuk di

dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi, dan sebagainya; (2)

idhh}ab ma’a al-at}ra̅f, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan

itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta,

bisu, dan sebagainya; (3) as-shajjaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka

(secara khusus); (4) al-jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala

termasuk di dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada

(51)

41

dan yang tidak masuk ke dalam perut atau rongga dada; dan (5) pelukaan yang

tidak masuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.52

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pelukaan dengan tangan kosong

atau cambuk itu diancam dengan sanksi takzir, sekalipun menurut ibn al-Qayyim

dan sebagian Hanabilah pelaku pelukaan terakhir diancam dengan sanksi kisas.53

Adapun dalil tentang larangan menganiaya ini adalah :



‚Dan kami Telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) itu bahwa jiwa

(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Maka, barangsiapa yang dengan rela melepaskan (hak kisas) nya, maka yang demikian adalah tebusan dosa baginya. Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu orang-orang yang zalim.‛ (QS.

Al-‚Maka, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah mereka sebagaimana mereka menyerang kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan

52 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 38

(52)

42

ketahuilah, seseungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.‛ (QS. A-l-Baqarah: 194)55

1. Tindak Pidana Atas Selain Jiwa

Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa, seperti

dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah setiap perbuatan menyakiti

orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan

nyawanya. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh

Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan

melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota

badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan

hidupnya masih tetap tidak terganggu.56

Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan

dalam definisi di atas, adalah perbuatan menyakiti. Dengan demikian, yang

termasuk dalam pengertian perbuatan menyakiti, setiap pelanggaran yang

bersifat menyakiti atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan,

pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan.

55 Nazri Adlany, et.al, Al Quran Terjemah Indonesia, 54

(53)

43

2. Pembagian Tindak Pidana Atas Selain Jiwa

Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana atas

selain jiwa ini, yaitu:57

a) Ditinjau dari segi niatnya, dan

b) Ditinjau dari segi objek (sasarannya).

a) Ditinjau Dari Segi Niatnya

Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat

dibagi kepada dua bagian: Tindak pidana atas selain jiwa dengan

sengaja, dan Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja.

Pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, seperti

dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah

ُ ْمَ ْا َ

ُه

ِن َ ْ ُ اْ ِ ْصَ ِ ِ ْ ِلا ِ َ ْ ِ ْ ِ َ مَ ََ َ َ

‚Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum.‛58

Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan suatu asumsi

dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, pelaku sengaja

melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya

perbuatannya itu mengenai dan menyakiti orang lain. Sedangkan,

57 Ibid, 180

(54)

44

pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau

karena kesalahan, pelaku memang sengaja melakukan suatu

perbuatan, tetapi perbuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan

untuk mengenai atau menyakiti orang lain. Namun, kenyataannya

memang ada korban yang terkena oleh perbuatannya itu.

b) Ditinjau dari Segi Objek/Sasarannya

Ditinjau dari objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain

jiwa, baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi kepada lima

bagian.59

1. Penganiayaan Atas Anggota Badan dan Semacamnya

Adapun yang dimaksud dengan jenis penganiayaan ini adalah

tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang

disetarakan dengan anggota badan, baik berupa pemotongan atau

pelukaan. Dalam kelompok ini termasuk pemotongan tangan,

kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir,

pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan rambut, alis,

bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah.

(55)

45

2. Menghilangkan Manfaat Anggota Badan sedangkan Jenisnya

Masih Utuh

Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang

merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota

badannya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota

badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang

maka perbuatannya termasuk kelompok pertama, yaitu perusakan

anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah

menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman,

perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain.60

3. Shajjaj

Yang dimaksud shajjaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka

dan kepala. Sedangkan, pelukaan atas badan selain muka dan kepala

termasuk kelompok keempat, yaitu jira̅h.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan

pada bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang

saja, seperti dahi. Sedangkan, pipi yang banyak dagingnya tidak

termasuk shajjaj, tetapi ulama yang lain berpendapat bahwa shajjaj

adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak. Adapun

(56)

46

organ-organ tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun

ada pada bagian muka, seperti mata, telinga, dan lain-lain tidak

termasuk shajjaj.61

4. Al-Jira̅h

Al-Jira̅h adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah,

kepala, dan at}ra̅f. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jira̅h ini

meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. al-Jira̅h ada dua

macam, yaitu Ja̅ifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam

dari dada dan perut, baik pelukaannya dari depan, belakang, maupun

samping; dan Ghair ja̅ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke

bagian dalam dari dada atau perut, melainkan hanya pada bagian

luarnya saja.62

5. Tindakan Selain yang Telah Disebutkan di Atas

Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap

tindakan pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak

at}ra̅f atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan

luka shajjaj atau jira̅h. Sebagai contoh, dapat dikemukakan, seperti

pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki, atau badan, tetapi tidak

(57)

47

sampai menimbulkan atau mengakibatkan luka, melainkan hanya

memar, muka merah, atau terasa sakit.

Hanafiyah sebenarnya hanya membagi tindak pidana atas selain

jiwa ini kepada empat bagian, tanpa memasukkan bagian yang kelima

karena bagian yang kelima ini adalah suatu tindakan yang tidak

mengakibatkan luka pada at}ra̅f (anggota badan), tidak menghilangkan

manfaatnya, juga tidak menimbulkan luka shajjaj, dan tidak pula luka

pada jira̅h. Dengan demikian, akibat perbuatan tersebut sangat ringan,

sehingga oleh karenanya mungkin lebih tepat untuk dimasukkan pada

takzir.63

C. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Secara terminologis, pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang

untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Termasuk di dalam

pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang ditimbulkan dari apa yang

diupayakan atau tidak diupayakan atas dasar kemauan sendiri. Hal ini karena

Referensi

Dokumen terkait

Sur at Kuasa bagi yang di w akilkan, yang namanya ter cantum dal am Akta Pendir ian/ Per ubahan – per usahaan dan ditandatangani oleh k edua bel ah pi hak yang

Bentuk tugas seperti mengisi lembar catatan buku yang dibaca dan tanggapan personal tentang buku yang dibaca juga dibuat sebagai pilihan (tidak diwajibkan). Pemberian tugas

lembaga otoritas terkait seperti bank central dan guidelines tentang kerangka penerapan sistem ekonomi Islam dalam lembaga keuangan syariah di Singapura. 1.Kebijakan

Pada kondisi setelah diberi perlakuan metode pembelajaran brainstorming, kelompok perlakuan memiliki pencapaian kreativitas sebesar 80%, sedangkan untuk kelompok kontrol

Sistem pengawasan pasar merupakan sistem yang dibuat oleh bursa efek dengan tujuan agar sistem tersebut dapat memberikan optimalisasi keamanan transaksi dari praktek penipuan,

sehingga tidak bisa menyatakan semangat kepada diri sendiri. 4) Konseli menganggap tugas- tugas yang ada adalah beban sehingga sering mengeluh dan mengerjakan

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

Mereka tidak dapat memahami bahawa keputusan mungkin boleh dibuat dan seringkali dapat dicapai dengan cara lain, dengan keputusan yang sama baik, atau bahkan lebih