TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN MAIN
HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PENGEROYOKAN
(STUDI PUTUSAN NOMOR 184/Pid/2015/PT. Bdg)
S K R I P S I
Oleh
Fatma Bekti Palupi Rofita
NIM. C03213018
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Islam
Prodi Hukum Pidana Islam (Jinayah)
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan Main Hakim Secara Bersama-sama Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan (Studi Putusan Nomor 184/Pid/2015/PT. Bdg)” adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg), serta bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg).
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan studi kepustakaan atau library research. Tipe penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan theoritical normative atau normatif dan berdasarkan pada perundang-undangan dan prinsip-prinsip atau asas yang berlaku. Pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan Yuridis Normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan metode library research atau metode studi perpustakaan yang dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum, baik berbentuk primer maupun sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara inventarisasi atau mengkategorisasi pokok bahasan penulis, sedangkan bahan hukum sekunder diolah menggunakan analisis. Analisis bahan hukum menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pengadilan Tinggi Bandung yang telah memeriksa dan mengadili kasus tindak pidana pengeroyokan yang menyebabkan luka-luka. Para terdakwa dikenai pasal 170 Ayat (1) tentang kekerasan, yakni dengan putusan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 184/Pid/2015/Pt. Bdg tentang tindak pidana pengeroyokan menurut hukum pidana Islam dapat dikategorikan dalam tawa̅fuq, yaitu perbuatan jarimah yang dilakukan oleh lebih dari seorang tanpa direncanakan dan disepakati sejak awal. Mereka tiba-tiba melakukan jarimah secara sendiri-sendiri. Sehingga dalam hukum pidana Islam, terdakwa I dikenakan diat lima ekor unta untuk pertanggungjawaban gigi depan yang patah, namun terdakwa II dijatuhi huku̅matu al-‘adl. Unsur-unsur ishtira̅k dalam kasus jarimah tawa̅fuq ini, yaitu: Adanya perbuatan yang dilarang yaitu perbuatan tawa̅fuq; Adanya unsur materiil jarimah tawa̅fuq adalah turut serta berbuat jarimah; Dilakukan secara bersama-sama. Sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dalam kasus ini dilakukan oleh lima orang pelaku, tetapi yang tertangkap hanya dua orang, sedangkan tiga orang lainnya masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO); Tanpa adanya kesepakatan sebelumnya.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan main hakim sendiri tidak diperbolehkan di Indonesia. Hal ini karena selain meresahkan masyarakat, juga membuat para penegak hukum kewalahan dalam menjalani tugas-tugasnya karena sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat dalam penegakan hukum, serta menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan. Oleh karena itu, perlu ketegasan hukuman bagi yang melakukan tindakan main hakim sendiri agar dapat membuat jera bagi pelaku tindak pidana main hakim sendiri (pengeroyokan).
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka diharapkan adanya partisipasi dan kesadaran dari masyarakat agar tidak melakukan tindakan main hakim sendiri serta perlunya penegakan hukum dengan seadil-adilnya dari aparat hukum agar masyarakat tidak melakukan tindakan di luar kewenangan yang seharusnya.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang masalah ... 1
B. Identifikasi masalah dan batasan masalah ... 8
C. Rumusan masalah ... 10
D. Kajian pustaka ... 10
E. Tujuan penelitian ... 16
F. Kegunaan hasil penelitian ... 16
G. Definisi operasional ... 17
H. Metode penelitian ... 19
1. Tipe penelitian ... 19
2. Pendekatan masalah ... 19
4. Teknik pengumpulan bahan hukum ... 23
5. Analisis bahan hukum ... 24
I. Sistematika pembahasan ... 24
BAB II TINDAKAN MAIN HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM ... 27
A. Turut serta melakukan jarimah dalam hukum pidana Islam ... 27
1. Pengertian turut serta melakukan jarimah ... 27
2. Bentuk turut serta melakukan jarimah ... 29
3. Unsur-unsur jarimah ... 38
B. Tindak pidana pelukaan atau pengeroyokan dalam Islam ... 40
C. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam ... 47
1. Pengertian pertanggungjawaban pidana ... 47
2. Dasar hukum pertanggungjawaban pidana ... 51
D. Pertanggungjawaban pidana turut serta melakukan jarimah ... 53
BAB III TINDAKAN MAIN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 184/PID/2015/PT. Bdg SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN ... 65
A. Deskripsi kasus tindakan main hakim secara bersama-sama terhadap tindak pidana pengeroyokan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 184/Pid/2015/PT. Bdg ... 65
B. Keterangan-keterangan saksi ... 66
C. Pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan Tinggi Bandung dalam menyelesaikan kasus tindakan main hakim secara bersama-sama bagi tindak pidana pengeroyokan ... 72
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG NO. 184/Pid/2015/PT. Bdg TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA
BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN ... 78
A. Analisis pertanggungjawaban pidana terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 184/Pid/2015/PT. Bdg tentang tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan ... 78
B. Analisis menurut hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 184/Pid/2015/PT. Bdg tentang tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan ... 85
BAB V PENUTUP ... 89
A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Timbulnya berbagai macam perilaku dalam masyarakat menyebabkan
perkembangan kehidupan dalam masyarakat itu sendiri, seperti di bidang
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Jika dilihat dari kacamata
hukum, perilaku-perilaku masyarakat tersebut telah mengalami
penyimpangan, seperti seseorang yang melakukan kejahatan penganiayaan,
pembunuhan, perampokan, dan sebagainya. Telah dibentuknya peraturan
yang melarang perbuatan itu agar tidak dilakukan, masih tidak memberi rasa
jera terhadap masyarakat. Bahkan, tindak pidana yang terjadi dalam
masyarakat semakin meningkat per tahunnya, seperti di Jakarta dengan
angka kejahatan selama tahun 2016 mengalami penurunan dibanding tahun
sebelumnya. Namun, waktu kejahatan (crime clock) mengalami percepatan
selama 8 detik, dari 12 menit 26 detik di tahun 2015 menjadi 12 menit 18
detik di tahun 2016.1
1Mei Amelia R, Kapolda Metro: Kejahatan di Jakarta Terjadi Tiap 12 Menit 18 Detik,
2
Di zaman yang serba canggih dan modern ini mempengaruhi pula
pada kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Kemajuan teknologi
bertambah pesat, sehingga timbul jenis kejahatan baru dengan modus
operandi baru, seperti perekaman pembicaraan tanpa izin, penyadapan
telepon, delik komputer, dan cyber sampai pada delik lingkungan hidup
belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam KUHP.2 Terhadap
kejahatan-kejahatan yang sudah terjadi dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa
karena mereka yang berbuat menyimpang tidak takut terhadap sanksi pidana
yang akan mereka terima jika mereka melakukan perbuatan menyimpang
tersebut. Melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan seperti
melakukan penganiayaan terhadap orang lain sehingga membuat orang
pingsan atau tidak berdaya sebagaimana Pasal 89 KUHP, yaitu:
‚Membuat orang pingsan atau tidak berdaya dipersamakan dengan menggunakan kekerasan.‛
Penjelasan pasal tersebut di atas:3
Apa yang diterapkan terhadap ‚menggunakan kekerasan‛ dinyatakan
diterapkan pula terhadap ‚membuat orang pingsan atau tidak berdaya‛.
1. Pingsan berarti kehilangan sama sekali akan kesadaran.
2 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), 1
3 Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru,
3
2. Tidak berdaya berarti suatu keadaan dimana seseorang tidak mempunyai
daya atas anggota badannya; jadi suatu saat kehilangan sementara akan
daya atas otot-ototnya.
3. Menggunakan kekerasan berarti menggunakan suatu kekuatan yang
memungkinkan dipatahkannya perlawanan dari pihak lawan.
Allah swt. telah menyiapkan suatu siksaan terhadap orang yang
pertama melakukan pembunuhan yaitu siksaan yang belum pernah disiapkan
terhadap siapapun diantara makhluk-Nya.4 Hal ini mengindikasikan bahwa
sekelompok orang yang menghakimi pelaku tindak pidana tersebut
benar-benar telah menunjukkan diri sebagai seseorang yang telah kehilangan
moralitas dan benar-benar telah melampaui batas wilayah kemanusiaan.
Di dalam KUHP, jika terjadi tindakan main hakim sendiri tergolong
dalam Pasal 170 KUHP:
‚Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.‛5
Jika terdapat seorang pelaku melakukan tindak pidana, kemudian
secara tidak sengaja masyarakat mengetahui aksi pelaku tersebut, masyarakat
secara langsung melakukan aksi pengeroyokan dengan memukuli pelaku
sampai babak belur. Pengeroyokan sendiri berasal dari kata dasar ‘keroyok’
4
yaitu menyerang beramai-ramai (orang banyak). Istilah pengeroyokan adalah
proses, cara, perbuatan mengeroyok.6 Aksi tersebut lebih dikenal dengan
istilah Main Hakim Sendiri (dihakimi massa). Dalam hal ini, pengertian Main
hakim sendiri adalah menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukum
yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran,
dan sebagainya).7 Atau berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang
dianggap bersalah.8
Dalam kriminologi, terdapat mass situation tentang situasi yang
timbul di masa keruh, dimana masa bertindak dengan kekerasan terhadap
orang. Mass situation dengan kemungkinan memuncak bagi pengaruh
sugestif, bagi kecenderungan-kecenderungan agresif, pembalasan dendam,
dan ketamaan, tanpa adanya risiko yang biasanya untuk mendapatkan
perlawanan dan pemidanaan.9
Main hakim sendiri bukanlah ciri masyarakat demokratis. Demokrasi
di Indonesia bisa pudar jika masyarakatnya cenderung memilih cara
kekerasan dalam menyelesaikan konflik yang ada. Masyarakat seharusnya
dapat menahan emosi. Dalam penjelasan surat Umar, Umar berkata:
6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), 556
7 Meity Taqdir Qodratillah, et.al, Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar, (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), 289
8 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), 383
9 Stephan Hurwitz [Disadur oleh Ny. L. Moeljatno], Kriminologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1986),
5
‚Jauhilah emosi, kejenuhan, kegelisahan, dan menyakiti manusia saat
bersengketa. Sesungguhnya keputusan yang benar akan mendapat pahala dari
Allah dan selalu dikenang.‛10 Jika rasa keadilan itu belum juga ditemukan,
masyarakat masih bisa mencoba menyelesaikannya melalui hukum yang ada.
Para pelaku tindak pidana juga mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan.
Mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang butuh dibina, bukan
dibinasakan. Seringkali, mereka cenderung menggunakan kekuatan tangan
untuk memukuli orang lain, dan tidak secara akal dan hati mereka.
Masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri bisa dikarenakan
beberapa faktor, yaitu: Rendahnya kepercayaan publik terhadap aparat
hukum yang dianggap tidak bertindak adil, sehingga dapat memunculkan
anarkisme11; Lemahnya penegakan hukum serta maraknya putusan hakim
yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat itu membuat
kekecewaan; Proses hukum yang mudah diintervensi; Tidak adanya kepastian
hukum; Proses hukum yang panjang, berbelit-belit, dan mahal
mengakibatkan masyarakat mengambil langkah sendiri; Tiadanya hukum
yang tegas dan adil serta tidak memberikan efek jera. Pidana penjara saja
tidak membuat jera dan juga tidak mendidik pelaku; Selain itu, juga
10 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 276
11Tim Ensiklopedia Khazanah Islam Dunia, Ensiklopedia Khazanah Islam Dunia tentang Fenomena
Main Hakim Sendiri, Bolehkah Dalam Agama Islam?,
6
banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi menyebabkan masyarakat ragu
akan penegakan hukum di Indonesia.
Dari faktor-faktor tersebut di atas, dapat dijadikan PR (Pekerjaan
Rumah) bagi pemerintah serta aparat hukum untuk lebih menegakkan hukum
dengan seadil-adilnya agar kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum di Indonesia tidak memudar. Masyarakat juga sebaiknya ikut andil
dalam mencegah tindakan main hakim sendiri (dari semua elemen
masyarakat). Jangan terpengaruh provokasi-provokasi yang kian marak
terjadi di masyarakat untuk saling mengadu domba pihak satu dengan pihak
lainnya! Karena tidak bisa dibenarkan pula jika membalas pelanggar hukum
dengan cara melanggar hukum.
Dalam Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja, melainkan
juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Sanksi atau
hukuman dalam Islam ditentukan bagi suatu kejahatan dirasa sangat adil dan
efektif membuat pelaku kejahatan jera untuk tidak mengulangi kejahatan,
misalnya jika ada seseorang menganiaya orang lain, maka hukumannya harus
sepadan dengan apa yang sudah dilakukan pelaku tersebut.
Berdasarkan peristiwa tersebut, hukuman setimpal dengan
menganiaya pelakunya sering dituding terlampau kejam dan tidak adil.
7
dipenuhi. Selain itu, harus dilihat juga apakah sistem yang ada telah
menjamin pemenuhan kebutuhan paling mendasar manusia.12
Perilaku main hakim sendiri dalam hukum pidana Islam tergolong
jarimah kisas-diat karena kisas sendiri merupakan hukuman balasan/setimpal
dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Adapun klasifikasi
tindak pidana Islam jenis kisas-diat dilihat dari segi berat ringannya
hukuman, yaitu:13 Jarimah kisas-diat yakni perbuatan yang diancam dengan
hukuman kisas dan diat. Yang termasuk dalam kategori jarimah kisas-diat:
pembunuhan sengaja (al-qatl al-‘amd), pembunuhan semi sengaja (al-qatl
shibh al-‘amd), pembunuhan keliru (al-qatl al-khat}}}a‘), penganiayaan sengaja
(al-jarh al-‘amd), dan penganiayaan salah (al-jarh al-khat}a‘).
Dengan demikian, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan
masyarakat sangat tidak menghargai hak hidup orang lain dengan memukuli
sampai membunuhnya. Hal ini termasuk dalam perlindungan terhadap jiwa
yang berimplikasi terhadap penerapan hukuman bagi pelaku yang
mengganggu jiwa seseorang. Oleh karena itu, hukum Islam melarang
membunuh dan melukai anggota badan.
12 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 17
8
Dalam KUHP itu sendiri tidak menjelaskan secara khusus mengenai
aturan main hakim sendiri. Hanya ketentuan tentang kekerasan. Begitu pula,
dalam hukum pidana Islam mengatur jarimah yang dilakukan oleh beberapa
orang. Diantara mereka ada yang berbuat langsung dan ada pula yang tidak,
tetapi menjadi sebab (perantara) terjadinya. Ada juga perbuatan jarimah yang
dilakukan lebih dari seorang tanpa direncanakan dan disepakati sejak awal
(tawa̅fuq). Sedangkan, perbuatan jarimah yang dilakukan lebih dari seorang,
direncanakan dan disepakati sejak awal disebut jarimah tama̅lu’.14 Jika
melihat yang sudah terjadi, seringkali masyarakat yang melakukan main
hakim sendiri tergolong jarimah tawa̅fuq karena dilakukan lebih dari seorang
tanpa direncanakan dan tanpa disepakati sejak awal. Atau, masing-masing
pelaku berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul
seketika itu.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi, penulis
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
14 Jaih Mubarok, et.al, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka
9
1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindakan main hakim sendiri secara
bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan.
2. Faktor-faktor timbulnya perilaku main hakim sendiri di masyarakat
terhadap pelaku tindak pidana.
3. Sanksi pelaku tindakan main hakim sendiri bagi pelaku tindak pidana
pengeroyokan.
4. Pertanggungjawaban pidana tindakan main hakim sendiri bagi pelaku
tindak pidana pengeroyokan.
5. Ketentuan hukum tentang main hakim sendiri yang terdapat dalam Pasal
55 KUHP, Pasal 170 KUHP, serta Pasal 351 KUHP.
6. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara
bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi
penulisan penelitian ini dengan batasan:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan main hakim secara
bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan
No. 184/Pid/2015/PT. Bdg).
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim secara
bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi putusan
10
C. Rumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang masalah di atas, masalah yang akan dicari
jawabannya melalui penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan main hakim
secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi
putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg) ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan main hakim
secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan (Studi
putusan No. 184/Pid/2015/PT. Bdg) ?
D. Kajian Pustaka
Adapun kajian pustaka berikut agar tidak ada pengulangan dari kajian
atau penelitian lain. Dalam skripsi di Fakultas Syari’ah dan Hukum belum
ada yang membahas ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan
Main Hakim Secara Bersama-Sama Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pengeroyokan (Studi Putusan Nomor 184/Pid/2015/Pt. Bdg)‛. Akan tetapi
yang ada hanyalah masalah pengeroyokan dan kekerasan yang pernah dibahas
11
1. Ima Indriani dalam skripsinya tentang ‚Tindak Pidana Pengeroyokan
Oleh Anak di Bawah Umur Menurut Hukum Pidana Islam (Studi Analisis
Putusan No. 39/Pid.B/2004/PN.Sda. PN Sidoarjo).‛15 Dalam skripsinya
dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang masih di bawah umur dan
belum dewasa, serta belum kawin. Untuk kriteria anak di bawah umur
sebagai berikut:
a) UU No.1 Tahun 1974: Usia minimal melakukan perkawinan adalah
16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Usia tersebut bukan
lagi anak-anak, sehingga sudah boleh menikah;
b) UU No. 3 Tahun 1997: Batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang
anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18
tahun dan belum pernah kawin, sehingga tak layak untuk diajukan ke
meja hijau dalam sidang anak.
Namun, jika ditinjau dari perspektif agama, moral, pendidikan dan
sosial, dimana masyarakat memandang apabila terjadi suatu tindak
pidana, baik yang dilakukan orang dewasa maupun anak di bawah umur,
hukum harus tetap ditegakkan sesuai dengan keadilan. Allah
memerintahkan untuk berlaku adil dalam firman-Nya: (QS. An-Nisaa’ :
58)
‚Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghukum di antara manusia hendaklah kamu menghukum dengan adil...‛16
Pada dasarnya, anak di bawah umur dalam Islam lebih dikenal dengan
anak pada periode tamyiz tetapi belum baligh sehingga tidak dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Namun, karena Islam tidak
mengesampingkan kepentingan masyarakat dan suka akan ketentraman
dan perdamaian, maka pelaku jarimah yang belum dewasa tetap dijatuhi
hukuman. Hukuman tersebut adalah hukuman pengajaran seperti
memasukkannya ke tempat rehabilitasi dan/atau sekolah, meletakkannya
di bawah pengawasan khusus, dan sebagainya.
2. Sedangkan, untuk tindak pidana kekerasan dilihat dari perspektif hukum
pidana Islam yang juga telah dijelaskan oleh Budi Sutomo dalam
skripsinya tentang ‚Tindak Pidana Kekerasan di Desa Duduk Sampeyan
Dilihat dari Perspektif Hukum Pidana Islam Berikut Sanksi Hukumnya
(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Gresik)‛17 yang menyatakan
bahwa dalam KUHP, tindak pidana kekerasan mempunyai arti yang
16 Nazri Adlany, et.al, Al Quran Terjemah Indonesia, (Jakarta: PT. Sari Agung, 2002), 158
13
sangat luas sehingga perlu adanya klasifikasi itu sendiri di dalam
pasal-pasalnya. Penelitian ini mengenai tindak pidana kekerasan diatur dalam
Pasal 351 jo. Pasal 55 (1) KUHP. Para pelaku yang telah melakukan
pemukulan terhadap korbannya menggolongkan tindak pidana kekerasan
ini ke dalam tindak kejahatan terhadap selain jiwa atau tindak pidana
terhadap anggota tubuh. Sanksinya adalah hukuman kisas (hukuman
setimpal) atau diat.
Namun, karena adanya pemaafan dari korban, maka para terdakwa
bebas dari hukuman kisas. Sehingga, ulil amri dapat menjatuhkan
hukuman takzir kepada mereka dengan hukuman penjara dengan kadar
yang berbeda-beda sesuai dengan perbuatan yang dilakukan
masing-masing pelaku. Sedangkan, terhadap perusakan barang yang dilakukan
oleh para pelaku diancam dengan hukuman kisas atau mengganti dengan
barang serupa atau harganya.
3. Dian Rachmawati dalam skripsinya, ‚Hukuman Bagi Pelaku Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqh Jinayah: Studi Putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 65/PID.B/2012/PN.Sda‛ bahwa dasar
pertimbangan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Sidoarjo kepada
terdakwa mempertimbangkan unsur-unsur dalam UU No. 23 Tahun 2004
Pasal 44 Ayat (1) tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
14
korban dalam rumah tangga, dengan hukuman pidana penjara selama 6
bulan dan dibebankan biaya perkara sejumlah Rp 2.500,00. Sedangkan,
menurut hukum pidana Islam dikategorikan sebagai jarimah
penganiayaan terhadap shajjaj (pelukaan pada muka dan kepala) yang
hukumannya yaitu diat dan hukuman tersebut diserahkan kepada ulil amri
atau pemerintah. Dikarenakan memukul istri hingga robek kulitnya.18
4. Ahmad Syarif Abdillah dalam skripsinya, ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor
832/PID.B/2012/PN.Sda Tentang Kasus Tindak Pidana Pencurian
Dengan Kekerasan‛19, bahwa hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo
mempertimbangkan unsur-unsur dalam pasal 362 dan pasal 365 ayat (2)
KUHP, yaitu:
a. Unsur Obyektif : Barang siapa (subyek atau pelaku tindak pidana);
Mengambil (membawa barang tersebut dari tempat asalnya ke tempat
lain); Barang (sesuatu yang bernilai); Seluruhnya atau sebagian milik
orang lain.
b. Unsur Subyektif: Dengan maksud memiliki; Secara melawan hukum.
18 Skripsi Dian Rachmawati (NIM: C03210018) tentang ‚Hukuman Bagi Pelaku Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqh Jinayah: Studi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 65/PID.B/2012/PN.Sda.‛ (Skripsi--Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014)
15
Pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa
adalah hukuman penjara selama 2 tahun. Hukuman tersebut sudah
maksimal, karena korban hanya mengalami penganiayaan ringan serta
para terdakwa mau mengembalikan barang tersebut. Jika menurut hukum
pidana Islam, dapat dikategorikan jarimah hira̅bah ringan tipe 2 yaitu
merampok tanpa membunuh, sehingga terdakwa dikenai hukuman takzir
karena mempertimbangkan berbagai sudut pandang para ulama. Oleh
karena itu, hukuman tersebut diserahkan kepada ulil amri atau
pemerintah.
Walaupun masalah kejahatan kekerasan telah dibahas oleh penulis
sebelumnya, tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian sebelumnya tetap
menjadi bahan rujukan atau masukan dalam penelitian ini, tentu saja acuan
konsepnya berbeda, karena permasalahan yang dibahas juga tidak sama. Dari
keempat skripsi tersebut, jelaslah belum dibahas secara rinci mengenai
Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan Main Hakim Secara
Bersama-Sama Bagi Pelaku Tindak Pidana Pengeroyokan (Studi Putusan
Nomor 184/Pid/2015/Pt. Bdg). Oleh karena itu, berangkat dari keempat
16
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kejelasan pertanggungjawaban pidana terhadap
tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana
pengeroyokan.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam tentang tindakan main
hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:
1. Segi Teoritis, sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang hukum pidana Islam yang berkaitan dengan masalah
tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku tindak pidana
pengeroyokan.
2. Segi Praktis, sebagai bahan acuan, pertimbangan, dan penyusunan bagi
mahasiswa dan penegak hukum lainnya dalam penegakan hukum pidana
positif dan hukum pidana Islam tentang tindakan main hakim secara
17
G. Definisi Operasional
Penelitian ini berjudul ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Tindakan Main Hakim Secara Bersama-Sama Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pengeroyokan (Studi Putusan Nomor 184/Pid/2015/PT. Bdg)‛, untuk
memperoleh gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman serta
menghindari kesulitan dan memudahkan pemahaman mengenai skripsi ini,
maka perlu adanya pembatasan dan penjelasan mengenai istilah pokok
pembahasan dalam judul penelitian ini sebagai berikut:
1. Penghakiman: Proses, perbuatan, cara menghakimi.20
2. Main Hakim Sendiri: Menghakimi orang lain tanpa mempedulikan
hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan,
pembakaran, dan sebagainya): ia menjadi korban pengeroyokan.21
Main hakim dalam skripsi ini adalah tindakan main hakim yang
dilakukan oleh lima orang dengan pemukulan dan pengeroyokan terhadap
korbannya pada hari Minggu, tanggal 19 Oktober 2014 sekitar pukul
13.00 WIB di Jl. Perwira RT 02 RW 05 Kelurahan Sawah Gede
Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur.
20 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: AMELIA Surabaya, 2003),
164
18
3. Ishtira̅k fi al-Jari̅mah: Turut serta berbuat jarimah secara bersama-sama,
baik melalui kesepakatan atu kebetulan, menghasut, menyuruh orang,
memeberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk.22
4. Pelaku: Yang melakukan.
5. Tindak Pidana: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib
hukum) yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.
6. Pengeroyokan: Menyerang beramai-ramai (orang banyak).23
7. Hukum Islam: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul mengenai tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.24
8. Hukum Pidana Islam: Ketentuan-ketentuan hukum syarak yang melarang
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap
ketentuan hukum tersebut dikenai hukuman berupa penderitaan badan
atau harta.25 Hukum pidana Islam dalam skripsi ini menggunakan buku
fikih jinayah.
Hukum pidana Islam dalam kasus ini adalah ketentuan hukum dari
alquran dan hadis yang mengatur perbuatan yang dilarang tentang tindak
22 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-Dasar Fiqh Jinayah, (Surabaya: Pustaka Idea,
2015), 73
19
pidana main hakim secara bersama-sama (jarimah tawa̅fuq) dengan
melakukan pemukulan dan pengeroyokan oleh dua orang pelaku pada hari
Minggu, tanggal 19 Oktober 2014 sekitar pukul 13.00 WIB di Jl. Perwira
RT 02 RW 05 Kelurahan Sawah Gede Kecamatan Cianjur Kabupaten
Cianjur.
H. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan
sebagaimana telah disebutkan dalam rumusan masalah di atas dengan
menggunakan theoritical normative atau normatif dan berdasarkan pada
perundang-undangan dan prinsip-prinsip atau asas yang berlaku.
Penelitian normatif adalah penelitian yang menjelaskan secara sistematis
mengenai kategori hukum tertentu dan menganalisis data yang mana
terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
b. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan
Yuridis Normatif dengan menggunakan Pendekatan
20
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.26 Bagi penelitian untuk
kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya
dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.
Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan
isu yang dihadapi.
Pendekatan kasus (Case Approach) adalah pendekatan yang
dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.27
c. Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
21
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun bahan-bahan
sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.28
Bahan-bahan hukum primer yang dikumpulkan dalam penulisan
skripsi ini adalah peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
terkait masalah tindakan main hakim secara bersama-sama bagi pelaku
tindak pidana pengeroyokan.
Sedangkan, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini terdiri atas pendapat para sarjana atau ahli yang tertuang
dalam buku dan literature, karya ilmiah berupa skripsi dan artikel media
internet yang memiliki keterkaitan dengan judul dan permasalahan yang
akan dibahas.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari:
1) Bahan Hukum primer, yaitu:
a. Alquran dan Hadits.
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 170 (1).
28
22
c. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 184/Pid/2015/PT.
Bdg.
2) Bahan Hukum sekunder, yaitu:
a. Abdillah, Ahmad Syarif. ‚Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor
832/PID.B/2012/PN.Sda Tentang Kasus Tindak Pidana Pencurian
Dengan Kekerasan‛. Skripsi - Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2013.
b. Indriani, Ima. ‚Tindak Pidana Pengeroyokan Oleh Anak di Bawah
Umur Menurut Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Putusan
No. 39/Pid.B/2004/PN.Sda.)‛. Skripsi - Fakultas Syariah IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 2008.
c. Rachmawati, Dian. ‚Hukuman Bagi Pelaku Tindak Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Perspektif Fiqh Jinayah: Studi Putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 65/PID.B/2012/PN.Sda‛. Skripsi -
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.
d. Sutomo, Budi. ‚Tindak Pidana Kekerasan di Desa Duduk
Sampeyan Dilihat dari Perspektif Hukum Pidana Islam Berikut
Sanksi Hukumnya (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Gresik)‛. Skripsi - Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya,
23
e. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian
ini, maka dipergunakan teknik sebagai berikut:
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penyusunan skripsi ini
adalah dengan metode library research atau metode studi perpustakaan
yang dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum, baik berbentuk
primer maupun sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara
inventarisasi atau mengkategorisasi pokok bahasan penulis, sedangkan
bahan hukum sekunder diolah menggunakan analisis. Bahan hukum
primer, yaitu bahan yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik
melalui wawancara, observasi, maupun laporan dalam bentuk dokumen
tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.29
Sedangkan, bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek
penelitian. Data sekundernya dalam penelitian ini adalah buku-buku atau
bahan-bahan pustaka lainnya, seperti koran, jurnal, artikel, buku dan
lainnya yang berkaitan dengan masalah tindakan main hakim secara
24
bersama-sama dalam tindak pidana pengeroyokan yang ditinjau menurut
hukum pidana Islam.
e. Analisis Bahan Hukum
Tujuan dari analisis bahan hukum adalah finding the law atau
menemukan hukum. Salah satu metode penemuan hukum adalah dengan
cara melalui interpretasi atau penafsiran. Metode interpretasi ini adalah
sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.30 Pada skripsi
ini, penulis menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi
sistematis. Interpretasi gramatikal adalah cara penafsiran atau penjelasan
yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan
undang-undang dengan menggunakan menurut bahasa, susun kata, dan bunyinya.
Sedangkan, interpretasi sistematis adalah menafsirkan undang-undang
sebagai dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan
menghubungkannya dengan undang-undang lain.31
I. Sistematika Pembahasan
Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka
penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
25
Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar isi
skripsi. Dalam bab ini, dibahas mengenai Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian
Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional,
Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua merupakan penjelasan tentang tindakan main hakim secara
bersama-sama bagi pelaku tindak pidana pengeroyokan dalam hukum pidana
Islam, yang meliputi: definisi, bentuk-bentuk, unsur-unsur, dasar hukum,
serta pertanggungjawaban pidana.
Bab ketiga membahas tentang deskripsi mengenai tindakan main
hakim secara bersama-sama dalam putusan No. 184/Pid.B/2015/PT.Bdg
mulai dari kronologi peristiwa, keterangan-keterangan saksi, dan
pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan hukuman bagi pelaku tindak
pidana pengeroyokan, sampai pada pertanggungjawaban pidana yang harus
diterima para pelaku.
Bab keempat membahas analisis putusan. Pada bab ini, penulis akan
menyajikan pembahasan tentang analisis pertanggungjawaban pidana dan
tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Nomor 184/Pid/2015/PT. Bdg tentang tindakan main hakim secara
26
Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban
dari pertanyaan pokok yang telah dikemukakan sebelumnya. Di samping itu,
juga dikemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan tindakan main
27
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM SECARA BERSAMA-SAMA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Turut Serta Melakukan Jarimah
1. Pengertian Turut Serta Melakukan Jarimah
Secara etimologis, turut serta dalam bahasa Arab adalah al-ishtira̅k. Dalam
hukum pidana Islam, istilah ini disebut al-ishtira̅k fi al-jari̅mah (delik
penyertaan) atau ishtira̅k al-jari̅mah. Secara terminologis, turut serta berbuat
jarimah ialah melakukan tindak pidana (jarimah) secara bersama-sama, baik
melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang, memberi
bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk.32 Dalam suatu hadis yang
diriwayatkan oleh al-Dar Qutni, Rasulullah bersabda:
ا َ َ ْ َ َذِ
ُ ُ
َ َ ْ َ ي ِ ا ُ َ ُْ َ َ َلََ ي ِ ا ُ َلْ َُ ُ َ َْا ُ َ ََلََ َ َ ُ ا
‚Jika ada seseorang menahan orang dan ada orang lain yang membunuhnya, maka orang yang membunuh hendaknya dibunuh dan ada orang menahan
hendaknya dikurung.‛33
32
Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-Dasar Fiqh Jinayah, 73
33
28
Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara
perseorangan dan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Turut serta
melakukan jarimah ialah melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui
kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan
atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari definisi tersebut, dapat diketahui
bahwa sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki bersama, secara
kebetulan, sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau memberi fasilitas bagi
terselenggaranya suatu jarimah.34
Ahmad Hanafi membagi kerja sama dalam berbuat jarimah dalam empat
kemungkinan:35
a. Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil bagiannya
dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan
bersama-sama.
b. Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan
jarimah.
c. Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah.
d. Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan berbagai cara,
tanpa turut serta melakukannya.
34
29
2. Bentuk Turut Serta Melakukan Jarimah
Tindak pidana adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya pula
oleh beberapa orang yang masing-masing berandil dalam melaksanaknnya.
Apabila dilakukan oleh beberapa orang, bentuk kerjasama diantara mereka tidak
keluar dari empat kondisi berikut:36
1. Pelaku turut melakukan tindak pidana (medeplegen), yakni melakukan unsur
material tindak pidana bersama orang lain (memberikan bagiannya dalam
melaksanakan pidana tersebut).
2. Pelaku mengadakan permufakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana.
3. Pelaku menghasut (menggerakkan/uitlokken) orang lain untuk melakukan
tindak pidana.
4. Pelaku memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya tindak pidana
dengan berbagai cara, tanpa turut serta melakukan.
Untuk membedakan antara turut berbuat langsung dengan berbuat tidak
langsung, fukaha memberikan pembedaan:
1. Orang yang turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah
disebut shari̅k muba̅shir, dan perbuatannya disebut ishtira̅k muba̅shir.
30
2. Orang yang tidak turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah
disebut shari̅k mutasabbib, dan perbuatannya disebut ishtira̅k ghayr muba̅shir
atau ishtira̅k bi al-tasabbub.37
Dasar pembedaan antara keduanya: yang pertama melakukan secara langsung
unsur material tindak pidana, karena itu ia dinamakan shari̅k fil muba̅syarah
(pelaku langsung), sedangkan yang kedua menjai sebab terjadinya tindak pidana,
baik karena janji, manghasut, atau memberikan bantuan, tetapi tidak turut serta
secara langsung melakukan unsur material tindak pidana karena itu dinamakan
shari̅k bit tasabbub (pelaku tidak langsung).38
1. Turut serta secara langsung (al-ishtira̅k al-muba̅shir) terjadi apabila
orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang-orang. Yang
dimaksud ‚melakukan jarimah dengan nyata‛ adalah bahwa orang yang turut
serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung meskipun tidak
sampai selesai. Pelaku dianggap cukup sebagai turut serta secara langsung
apabila ia telah melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan jarimah. Misalnya: dua orang (A dan B) akan membunuh
seseorang (C). A sudah memukul kepala dengan besi kemudian pergi, dan B
meneruskan sehingga C meninggal. Dalam hal ini, A tidak turut serta
menyelesaikan jarimah, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan
37 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 136-137
31
permulaan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Contoh ini
menggambarkan bahwa A dianggap sebagai orang yang turut serta secara
langsung.39
Bentuk perbuatan secara tidak langsung juga dianggap turut serta secara
langsung apabila pelaku menjadi kaki tangan atau alat. Misalnya, apabila
seesorang memerintah anak di bawah umur untuk membunuh orang dan
perintah itu dilaksanakan, maka orang yang memerintah dianggap sebagai
pelaku langsung. Menurut Imam Abu Hanifah, orang yang memerintah
tersebut tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali apabila perintahnya
itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakannya. Dengan demikian,
apabila perintah itu tidak sampai pada tingkatan paksaan, maka perbuatan itu
tetap dianggap sebagai turut serta secara tidak langsung.
Dalam hukum pidana Islam, turut serta berbuat langsung dapat terjadi
apabila seseorang melakukan perbuatan yang dipandang sebagai permulaan
pelaksanaan jarimah yang sudah cukup dianggap sebagai maksiat. Apabila
seseorang melakukan tindak pidana percobaan, baik selesai atau tidak, maka
tindakannya tidak berpengaruh pada kedudukan seseorang yang turut berbuat
langsung tetapi berpengaruh pada besarnya hukuman. Artinya, apabila
jarimah yang dikerjakan selesai dan jarimah itu berupa hudud, maka pelaku
32
dijatuhi hukuman hudud. Jika tidak selesai, maka pelaku dijatuhi hukuman
takzir.
Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan dan
adakalanya dilakukan secara terencana. Kerja sama yang dilakukan secara
kebetulan disebut tawa̅fuq. Tawa̅fuq adalah beberapa orang yang melakukan
suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Mereka
secara tiba-tiba melakukan jarimah secara sendiri-sendiri. Jadi, kejahatan itu
terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara
tiba-tiba. Misalnya, A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai
dendam kepada B kebetulan lewat dan ia menusukkan pisau ke perut B
sehingga meninggal. Dalam hal ini, A dan C bersama-sama membunuh B,
tetapi antara mereka tidak ada kesepakatan sebelumnya.40 Dalam kasus ini,
pertanggungjawaban mereka bergantung kepada perbuatan masing-masing
sesuai dengan kaidah:
Tama̅lu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama
40 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Islam: Dasar-dasar Fiqh Jinayah, 78
41 Abdul al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina̅’i al-Islâmi Muqa̅ranan bi al-Qanu̅n al-Wadh’i Jilid II,
33
dan terencana. Mereka bekerja sama melakukan jarimah secara langsung sesuai
dengan kesepakatan. Misalnya, A dan B bersepakat untuk membunuh C. A
kemudian mengikat C dan memukulnya sampai meninggal. Dalam hal ini, A
dan B dianggap sebagai pelaku atau orang yang turut serta secara langsung atas
dasar kesepakatan. Mereka memiliki tugas masing-masing. Mereka harus
mempertanggungjawabkan perbuatan jarimah secara keseluruhan, yaitu
pembunuhan42, jika mereka terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut
sesuai dengan kaidah:
ْ َ ٍ ْ ِ َ ُ ُ َ ْ ُ
ُ
ْ ُا َملا ٍ َا َ ِ ٍ ْ ِ َ ِ ْ ِ
‚Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tama̅lu’
dituntut dari hasil keseluruhan perbuatan yang turut serta berbuat jarimah.‛43
Kaidah ini dipegang oleh jumhur termasuk di dalamnya Ibnu Taimiyah. Ia
menyatakan:
ْنِ َ ْمُهَ َْ ََِ ْمِحْ َ َ ُدْ ُ ْاُ ٌبِ َ ُ َ ََلََ ْ ُ َ ََ ْمُحَ َْ ََِ ْمَُْْ ٌثَ َََ ٌمْ ُصْ َ َ َلََ ِ ْ ُ َ ََلَ َذِ
ُ ُ َْ َمِا َ ْمُهَ ْ ََ َ ٌ ِ ََ ْ َ ْمُهَ ْ ََ َن َ
‚Apabila orang-orang berserikat melakukan pembunuhan secara langsung, maka hukumannya adalah kisas terhadap mereka yang terlibat, meskipun sebagian mereka melakukan pembunuhan, sedangkan sebagian lagi hanya menjaga saja.‛44
34
Berbeda dengan jumhur, Abu Hanifah menyatakan:
ْ ُا َمَلا َ ِ ِ َ ََلا َْ ََ ً ْ ِ
‚Tidak ada perbedaan (pertanggungjawaban) antara tawa̅fuq dengan
tama̅lu’.‛45
Pertanggungjawaban pelaku secara langsung dalam tawa̅fuq dan tama̅lu’,
fukaha berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, pertanggungjawaban pelaku
antara tawa̅fuq dan tama̅lu’ terdapat perbedaan. Di dalam tawa̅fuq,
masing-masing pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak
bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Di dalam tama̅lu’, para pelaku
harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka secara keseluruhan. Jika
korbannya meninggal, masing-masing pelaku dianggap sebagai pembunuh.
Menurut Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyah, antara pertanggungjawaban
para pelaku dalam tawa̅fuq dan tama̅lu’ tidak ada perbedaan. Artinya,
masing-masing pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak
bertanggung jawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan.46
45 Abdul al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina̅’i al-Islâmi Muqa̅ranan bi al-Qanu̅n al-Wadh’i Jilid II, 361
46
35
2. Turut Serta Melakukan Jarimah Secara Tidak Langsung
Turut serta melakukan jarimah secara tidak langsung (al-ishtira̅k bi
al-tasabbub) adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain
untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang
lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai
kesengajaan. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur turut serta berbuat tidak
langsung ada tiga macam.
Pertama, adanya perbuatan yang dapat dihukum.
Kedua, adanya niat dari orang yang turut berbuat agar dengan sikapnya itu
perbuatan tersebut dapat terjadi.
Ketiga, cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah mengadakan kesepakatan,
menyuruh atau memberi bantuan.47
a. Adanya Perbuatan Yang Dapat Dihukum
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan
yang dapat dihukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai
melainkan cukup walaupun baru percobaan saja. Juga tidak disyaratkan pelaku
langsung harus dihukum langsung.
b. Adanya Niat Dari Orang Yang Turut Berbuat
36
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, juga disyaratkan adanya niat
dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau
bantuannya itu perbuatannya itu dapat terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu
yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap turut berbuat dalam semua
jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimahnya
ditentukan, tetapi yang terjadi jarimah lain yang tidak dimaksudkannya maka
tidak terdapat turut berbuat, meskipun karena persepakatan, suruhan atau
bantuan tersebut ia bisa dijatuhi hukuman.
c. Cara Mewujudkan Perbuatan
Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan cara sebagai berikut:48
1) Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan
kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada
persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat. Meskipun ada
persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang disepakati maka juga
tidak ada turut berbuat. Dengan demikian, untuk terjadinya turut berbuat
dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari
persepakatan itu. Dalam hal ini, Imam Malik mempunyai pendapat sendiri,
37
yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan orang lain,
dimana seorang menjadi pelaku langung, sedangkan yang lain hanya turut
hadir dan menyaksikan pelaksanaan jarimah tersebut, maka orang yang
menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat langsung. Pendapat ini
berlaku dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan jalan
persepakatan, suruhan ataupun bantuan.
2) Suruhan atau hasutan
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk
melakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pendorong untuk
dilakukannya jarimah itu. Bujukan atau hasutan terhadap orang lain untuk
melakukan suatu jarimah merupakan suatu maksiat yang sudah bisa dijatuhi
hukuman. Dalam tingkatan yang paling rendah, dorongan bisa berupa
memberi semangat kepada orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan ini
terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu
mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintahnya, seperti orang tua
terhadap anaknya atau atasan terhadap bawahannya.49
3) Memberi Bantuan
Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam
melaksanakan suatu jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak
38
langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya. Seperti mengamati
jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Para fukaha
membedakan antara pelaku langsung (muba̅shir) dengan pemberi bantuan
(al-mu’in). Pelaku langsung (muba̅shir) adalah orang yang melakukan perbuatan
yang dilarang. Sedangkan, pemberi bantuan (al-mu’in) adalah orang yang
tidak berbuat atau mencoba berbuat, melainkan hanya menolong pembuat
langsung dengan perbuatan-perbuatan yang pada lahirnya tidak ada
sangkut-pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan juga tidak dianggap
sebagai permulaan pelaksanaan dari perbuatan yang dilarang tersebut.
3. Unsur-Unsur Jarimah
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila
unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang
khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus
hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang
satu dengan jarimah yang lain. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa
unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:50
a. Unsur formal ( ُ ِ ْ لا ُ ْ ا َ ) yaitu adanya nas (ketentuan) yang melarang
perbuatan tersebut dilakukan dan mengancamnya dengan hukuman.
39
Dalam hukum positif, unsur ini dikenal dengan asas legalitas, yaitu suatu
perbuatan dianggap tidak dapat melawan hukum dan pelakunya tidak
dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang melarang perbuatan
itu dilakukan.
b. Unsur material ( يِد َمْا ُ ْ ا َ ) yaitu adanya tingkah laku yang membentuk
jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak
berbuat (negatif)/berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam
hukum pidana Islam disebut dengan ar-rukn al-madi.
c. Unsur moral ( ِ َد َا ُ ْ ا َ ) yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukalaf
yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukannya.
Kedua, unsur khusus. Yang dimaksud dengan unsur khusus ialah
unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan
berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jarimah
yang lainnya. Misalnya, pada jarimah pencurian harus terpenuhi unsur
perbuatan dan benda. Perbuatan itu dilakukan dengan cara
sembunyi-sembunyi, barang itu milik orang lain secara sempurna dan benda itu sudah
ada pada penguasaan pihak pencuri. Syarat yang berkaitan dengan benda,
bahwa benda itu berupa harta, ada pada tempat penyimpanan, dan mencapai
40
jarimah hira̅bah (penyamunan), pelakunya harus mukalaf, membawa senjata,
jauh dari keramaian, dan menggunakan senjata.51
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara unsur yang umum
dan khusus pada jarimah ada perbedaan. Unsur umum jarimah macamnya
hanya satu dan sama pada setiap jarimah, sedangkan unsur yang khusus
bermacam-macam serta berbeda-beda pada setiap jarimah.
B. Tindak Pidana Pelukaan atau Pengeroyokan Dalam Islam
Melukai/penganiayaan (jinayah terhadap selain jiwa) bisa sengaja, semi
sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini, para ulama membaginya menjadi lima
macam, yaitu: (1) iba̅nat al-at}ra̅f, yaitu memotong anggota tubuh, termasuk di
dalamnya pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi, dan sebagainya; (2)
idhh}ab ma’a al-at}ra̅f, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan
itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta,
bisu, dan sebagainya; (3) as-shajjaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka
(secara khusus); (4) al-jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala
termasuk di dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada
41
dan yang tidak masuk ke dalam perut atau rongga dada; dan (5) pelukaan yang
tidak masuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.52
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pelukaan dengan tangan kosong
atau cambuk itu diancam dengan sanksi takzir, sekalipun menurut ibn al-Qayyim
dan sebagian Hanabilah pelaku pelukaan terakhir diancam dengan sanksi kisas.53
Adapun dalil tentang larangan menganiaya ini adalah :
‚Dan kami Telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) itu bahwa jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Maka, barangsiapa yang dengan rela melepaskan (hak kisas) nya, maka yang demikian adalah tebusan dosa baginya. Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu orang-orang yang zalim.‛ (QS.
Al-‚Maka, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah mereka sebagaimana mereka menyerang kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan
52 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 38
42
ketahuilah, seseungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.‛ (QS. A-l-Baqarah: 194)55
1. Tindak Pidana Atas Selain Jiwa
Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa, seperti
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah setiap perbuatan menyakiti
orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan
nyawanya. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh
Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan
melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota
badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan
hidupnya masih tetap tidak terganggu.56
Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan
dalam definisi di atas, adalah perbuatan menyakiti. Dengan demikian, yang
termasuk dalam pengertian perbuatan menyakiti, setiap pelanggaran yang
bersifat menyakiti atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan,
pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan.
55 Nazri Adlany, et.al, Al Quran Terjemah Indonesia, 54
43
2. Pembagian Tindak Pidana Atas Selain Jiwa
Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana atas
selain jiwa ini, yaitu:57
a) Ditinjau dari segi niatnya, dan
b) Ditinjau dari segi objek (sasarannya).
a) Ditinjau Dari Segi Niatnya
Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat
dibagi kepada dua bagian: Tindak pidana atas selain jiwa dengan
sengaja, dan Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja.
Pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, seperti
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah
ُ ْمَ ْا َ
ُه
ِن َ ْ ُ اْ ِ ْصَ ِ ِ ْ ِلا ِ َ ْ ِ ْ ِ َ مَ ََ َ َ
‚Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum.‛58
Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan suatu asumsi
dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, pelaku sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya
perbuatannya itu mengenai dan menyakiti orang lain. Sedangkan,
57 Ibid, 180
44
pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau
karena kesalahan, pelaku memang sengaja melakukan suatu
perbuatan, tetapi perbuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan
untuk mengenai atau menyakiti orang lain. Namun, kenyataannya
memang ada korban yang terkena oleh perbuatannya itu.
b) Ditinjau dari Segi Objek/Sasarannya
Ditinjau dari objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain
jiwa, baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi kepada lima
bagian.59
1. Penganiayaan Atas Anggota Badan dan Semacamnya
Adapun yang dimaksud dengan jenis penganiayaan ini adalah
tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang
disetarakan dengan anggota badan, baik berupa pemotongan atau
pelukaan. Dalam kelompok ini termasuk pemotongan tangan,
kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir,
pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan rambut, alis,
bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah.
45
2. Menghilangkan Manfaat Anggota Badan sedangkan Jenisnya
Masih Utuh
Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang
merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota
badannya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota
badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang
maka perbuatannya termasuk kelompok pertama, yaitu perusakan
anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman,
perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain.60
3. Shajjaj
Yang dimaksud shajjaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka
dan kepala. Sedangkan, pelukaan atas badan selain muka dan kepala
termasuk kelompok keempat, yaitu jira̅h.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan
pada bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang
saja, seperti dahi. Sedangkan, pipi yang banyak dagingnya tidak
termasuk shajjaj, tetapi ulama yang lain berpendapat bahwa shajjaj
adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak. Adapun
46
organ-organ tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun
ada pada bagian muka, seperti mata, telinga, dan lain-lain tidak
termasuk shajjaj.61
4. Al-Jira̅h
Al-Jira̅h adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah,
kepala, dan at}ra̅f. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jira̅h ini
meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. al-Jira̅h ada dua
macam, yaitu Ja̅ifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam
dari dada dan perut, baik pelukaannya dari depan, belakang, maupun
samping; dan Ghair ja̅ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke
bagian dalam dari dada atau perut, melainkan hanya pada bagian
luarnya saja.62
5. Tindakan Selain yang Telah Disebutkan di Atas
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap
tindakan pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak
at}ra̅f atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan
luka shajjaj atau jira̅h. Sebagai contoh, dapat dikemukakan, seperti
pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki, atau badan, tetapi tidak
47
sampai menimbulkan atau mengakibatkan luka, melainkan hanya
memar, muka merah, atau terasa sakit.
Hanafiyah sebenarnya hanya membagi tindak pidana atas selain
jiwa ini kepada empat bagian, tanpa memasukkan bagian yang kelima
karena bagian yang kelima ini adalah suatu tindakan yang tidak
mengakibatkan luka pada at}ra̅f (anggota badan), tidak menghilangkan
manfaatnya, juga tidak menimbulkan luka shajjaj, dan tidak pula luka
pada jira̅h. Dengan demikian, akibat perbuatan tersebut sangat ringan,
sehingga oleh karenanya mungkin lebih tepat untuk dimasukkan pada
takzir.63
C. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Secara terminologis, pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Termasuk di dalam
pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang ditimbulkan dari apa yang
diupayakan atau tidak diupayakan atas dasar kemauan sendiri. Hal ini karena